Anda di halaman 1dari 16

AL-‘ADATU MUHKAMATUN

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah :

Qowaid Fiqiyah

Dosen pengampu :

Dr. Ahmad Wahidi, M.HI.

Di susun oleh :

Mochamad Dimas Syarifullah (22301057)

David irham maulana (991116919)

KELAS D

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah swt, atas berkahan dan
limpahan rahmat-Nya kepada kami sehingga makalah yang berjudul “Al- Adatu Muhkamatun”
ini dapat terselesaikan. Kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Dr. Ahmad Wahidi M.
HI. Dan pada semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya makalah ini. Kami
menyadari bahwa dalam penysunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kami berharap kepada semua pihak yang membaca jika masih ada kesalah atau kekurangan
dalam penulisan makalah ini mohon memberikan kritik dan saran demi perbaikan makalah
selanjutnya. Kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini
dapat membawa kemanfaatan bagi kita semua. Aamiin yaa robbal „aalamiin.

Kediri ,12 Oktober 2023

Team Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................0
BAB 1 .........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................1
A. Latar Belakang ....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................................2
BAB II ........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN .........................................................................................................................3
A. Pengertian Al-‘adah Muhakkamah ......................................................................................3
B. Dasar Hukum Al-‘adah .......................................................................................................4
C.Kekecualian dari kaidah .......................................................................................................6
D. Kaidah-Kaidah Cabang .......................................................................................................6
BAB III ..................................................................................................................................... 12
PENUTUPAN........................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan....................................................................................................................... 12
B.Saran.................................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 13
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully(menyeluruh) yang
mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa‟id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah,
diantaranya adalah seperti pembahasan dalam makalah ini yaitu al-adah almuhakkamah (adat
atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari
kebiasaan-kebiasaanbaik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat
dijadikandasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembangdi
dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akanmengetahui segala
permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu darimasalah-masalah fiqih sehingga
dapat dengan bijak dalam menerapkanhukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang
seringkali berubah-ubah.

Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi masalah-
masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau kebiasaan ) serta lebih
mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih
khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu
tentang adat (kebiasaan) dengan kaidah, al-‘adah al-muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan
itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum. Dalam makalah ini akan dikaji mengenai
pengertian al-‘aadah, dasar-dasar hukum, cabang kaidah al-a’aadah muhkamah.

1
B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan Pengertian Kaidah Al-‘adah Al-Muhakkamah !

2.Sebutkan Dasar hukum Kaidah Al-‘adah Al-Muhakkamah !

3. Sebutkan Cabang-cabang kaidah Al-‘adah Al-Mukammah beserta contohnya !

4. Jelaskan Perbedaan antara Al’adah dan Al’Urf !

C. Tujuan

1. untuk mengetahui arti Kaidah Al-‘adah Al-Muhakkamah.

2. untuk mengetahui Dasar hukum Kaidah Al-‘adah Al-Muhakkamah.

3. untuk mengetahui Cabang-cabang kaidah Al-‘adah Al-Mukammah beserta contohnya.

4. untuk mengetahui Perbedaan antara Al’adah dan Al’Urf.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-‘adah Muhakkamah
Adah ‫( م َح َّك َمة ْال َعادَة‬adat) itu bisa dijadikan patokan hukum” Yang dimaksud dengan kaidah
ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak
ada dalil dari syar’i. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada dasarnya
atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara
hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah
berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus
berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat
meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah
dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan
sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai
ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi
secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang
hukum-hukum syara’.

Secara bahasa,al-‘adah diambil dari kata a-‘aud (‫ )العود‬atau al-mu’awadah (‫ )المعاودة‬yang


artinya berulang(‫])التكرار‬.

Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-‘adah dengan:

‫السليمة الطباع عند المقبولة المتكررة األمور من النفوس فى يستقر عما عبارة‬

“Sesuatu ungkapandari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang terulang-ulang
yaang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”

3
Para ulama mengartikan al-‘adah dalam pengertian yang sama karena substansinya sama,
meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya al-‘urf didefinisikan dengan:

‫ف َما ه َو ْالع ْرف‬ َ ‫ار َحتَّى َوأ َ ْفعَاله ْم أ َ ْق َواله ْم فى َوا ْعتَادَه النَّاس‬
َ َ‫علَيْه تَع‬
َ ‫ار‬ َ ‫ص‬َ َ‫طردًا ٰذلك‬
َّ ‫غَالبًا أ َ ْو م‬

“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya
dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum” Tampaknya lebih tepat
apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan dengan: ‘Apa yang dianggap baik dan benar oleh
manusia secara umum (al-‘adah al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.

Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada dua macam pertimbangan yang harus
diperhatikan. Pertama, pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya, dimana
dan kapan terjadinya, bagaimana proses kejadiannya, mengapa terjadi, dan siapa saja pelakunya.
Kedua, perimbangan hukum. Dalam perimbangan hukum inilah terutama hukum-hukum yang
tidak tegas disebutkan dalam Al-Qur’andan Al-Hadis, adat kebiasaan harus menjadi
pertimbangan dalam memutuskan perkara.

Sedangkan arti “muhakkamah” adalah yang dijadikan hukum atau juga putusan hakim
dalam pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim
dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau. Jadi maksud kaidah ini bahwa
sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan
hukum syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama
tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin
ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.

B. Dasar Hukum Al-‘adah


Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabi, ternyata
banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadis nabi yang menguatkannya. Sedangkan kaidah tersebut
setelah di kritisi dan di asah oleh para ulama sepanjang sejarah hukum Islam, akhirnya menjadi
kaidah yang mapan.

Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah sebagai berikut:

4
‫ض ب ْالع ْرف َوأْم ْر ْالعَ ْف َو خذ‬ َ َ‫ْال َجاهلين‬
ْ ‫عن َوأَعْر‬

Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpaling dari orang-orang yang bodoh”(QS. Al-A’raaf:199)

‫علَيْه َّن الَّذي مثْل َولَه َّن‬


َ ‫ب ْال َم ْعروف‬

Artinya: “Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 228)

َ ‫ب ْال َم ْعروف َو‬


‫عاشروه َّن‬

Artinya: “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (baik)” (an-
Nisa:19)

ْ ‫عش ََرة إ‬
َ َّ‫ط َعام فَ َكف‬
‫ارته‬ َ ‫سط م ْن َم‬
َ َ‫ساكين‬ ْ ‫كس َْوته ْم أ َ ْو أ َ ْهليك ْم ت‬
َ ‫طعمونَ َما أ َ ْو‬

Artinya: “Kaffarat (melanggar sumpah) ialah memeberi makan sepuluh orang miskin
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian” (QS. al-
Maidah:89)

Kataawsath tidak di nash-kan ukurannya dengan ketentuan yang pasti, maka ukurannya
kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau pakaian yang dimakan atau dipakai oleh
kkeluarga tersebut.

Adapun Hadist-hadis nabi diantaranya:

ْ َ ‫ص َلة َ أَفَأَدَع أ‬
ْ َ‫طهر فَ َل أ ْست ََحاض إنِّي قَال‬
‫ت‬ َّ ‫ث َّم ف ْي َها ت َحيْضيْنَ ك ْنت الَّت ْي ْاألَيَّام قَد َْر ال‬
َّ ‫ص َلة َ دَعي َولَك ْن ع ْرق ذَلك إ َّن َل فَ َقا َل ال‬
‫صلِّي َو ا ْغت َسلي‬
َ

Artinya: “Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, dia berkata: “Saya ini
berada dalam kondisi haidh yang tidak berhenti apakah saya harus meninggalkan shalat”? nabi
menjawab:” Tidak, itu adalah darah penyakit, tapi tinggalkanlah shalat berdasarkan ukuran hari-
hari yang engkau biasa menstruasi. Kemudian mandilah dan shaalatlah”. (HR.Al-Bukhari dari
‘Aisyah)

5
Dari hadis diatas, jelas bahwa kebiasaan paawanita, baik itu menstruasi, nifas, dan
menghitung waktu hamil yang paling panjang adalah jadi pegangan dalam penetapan hukum.
Kata-kata qadra ayyam dan seterusnya menunjukkan bahwa ukuran-ukuran terteentu bagi wanita
mengikuti yang biasa terjadi pada diri mereka.

C. Kekecualian dari kaidah


Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa al-‘adah yang dipertimbangkan dalam
penetapan hukum adalah al-‘adah al-shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah
tersebut tidak dapat digunakan apabila:

al-‘adah bertentangan dengan nash baik Al-Qur’an maupun Al-Hadis, seperti: kebiasaan judi,
menyabung ayam, kebiasaan menanam kepala hewan korban waktu mebuat jembatan, kebiasaan
memelihara babi atau mmperjual belikan daging babi, dan lain sebagainnya.

al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemaslahatan


termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kesukaran, seperti: memboroskan
harta,hura-hura dalam acara perayaan,memasuki tempat karaoke atau diskotik, dan lain
sebagainnya. al-‘adah berlaku pada umumnya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang
biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak di
anggap adat

D. Kaidah-Kaidah Cabang
Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidahal-‘adah muhkamah adalah sebagai berikut:

‫به العمل يجب حجة الناس إستعمال‬

Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/dalil)
yang wajib diamalkan”

Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaaan dimasyarakat,
menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Contohnya: menjahitkan
pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang,
jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.

6
‫غلبت أو اضطردت إذا العادة تعتبر إنما‬

Artinya: “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang
terus-menerus berlaku atau berlaku umum.

Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum,
apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-sekali terjadi dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini
sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakkandan
bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: apabila seseprang berlangganan majalah atau surat
abar, maka majalah atau surat kabar itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak
mendapat majalah atau surat kabar tersebut maka ia bisa komplain(mengadukannya) dan
menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.

‫للنادر ل الشائع للغالب العبرة‬

Artinya: “Adat yang diakui adalah yang umunya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi”

Ibnu Ruayidi menggunakan ungkapan lain yaitu:

‫بالنادر ل بالمعتاد الحكم‬

Artinya: “Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”

Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bula
menggunakan kaidah diatas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.
Demikian pula menentukan menopause dengan 55 tahun.

‫طا ك َْال َم ْشر ْوط ع ْرفًا ْال َم ْعر ْوف‬


ً ‫ش َْر‬

Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang diisyaratkan dengan suatu
syarat”

7
Maksudnya : adat kebiasaaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu
syarat yang di buat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya : apabila orang
bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-
orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntutt bayaran. Lain halnya
apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu
rumah yang sedang di bangun. Lalu dia bekerja disitu, maka dia harus dibayar upahnya seperti
yang lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang
cat apabila dibayar, dia mendapatkan bayaran.

‫بَ ْينَه ْم ك َْال َم ْشر ْوط التُّجَّار بَيْنَ ْال َم ْعر ْوف‬

Artinya: “ Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara
mereka”

Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang muamalah saja, dan itu
pun dikalangan pedagang. Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara
pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi. Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau ‘urf
yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam
kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala
sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi (status hukum)
sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara mereka,
walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi
kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja, akan tetapi juga
berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun
bukan jual beli. Adapun contoh aplikasi kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi
penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang
dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.

Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya pengiriman barang
menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga
walaupun dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos) pengiriman,
maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab penjual.

8
‫ص كَالت َّ ْعييْن ب ْالع ْرف الت َّ ْعييْن‬
ِّ َّ‫بالن‬

Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”

Maksudnya kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat seperti
telah dikemukakan pada bagian c. Adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan
hukum berdasarkan nash. Contohnya: apabila sseseorang menyewa rumah atau toko tanpa
menjelaskan siapa yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka si penyewa bisa
memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan
izin orang yang menyewakan.

‫عادَة ً ْالم ْمتَنَع‬


َ ‫َحق ْيقَةً ك َْالم ْمتَنَع‬

Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkann adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku
dalam kenyataan’

Maksudnya kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan
secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Contohnya: seseorang
mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjekaskan
dari mana asal harta tersebut. Sama halnya seseperti seseorang mengaku anak si A, tetapi
ternyata umur dia lebih tua dari si A yang diakui sebagai bapaknya.

‫ْال َعادَة بدَ َللَة تتْ َرك ْال َحق ْيقَة‬

Artinya: “Arti hakiki ( yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”

Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditunjukkan
oleh adat kebiasaan. Contohnya; yang disebut jual beli adalah penyerahan uang danpenerimaan

9
barang olehsipembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual.
Akan tetapi, apabila sipembeli sudahmenyerahkan tanda jadi (uang muka),maka berdasarkan
adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjualtidak bisa lagi membatalkan jual
belinnya meskipun harga barang naik.

‫اللفظى كاإلذن العرفى اإلذن‬

Artinya: “Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin
menurut ucapan”

Perbedaan antara Al-’Adah dengan Al-’Urf, Proses pembentukan ‘adah adalah


akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan
tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah
muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur
yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian
menjadi ‘urf.

Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya,
tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung
suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda. Sekalipun demikian,
fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan
oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam
membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak
menjadi persoalan urgen, selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti masuk dalam ketegori
‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah
dilakukan oleh individu maupun kolektif.

Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan
‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:

‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan
oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.

10
‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok,
serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan. Sedangkan persamaannya, ‘urf dan ‘adah
merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan
berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya. Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah
adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya,
istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya
melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok,
sementara al-’Urf harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat
aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan
al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan
berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula
dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf yang sering disebut dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat
(kepantasan).

11
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa
Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah
atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara
al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun
kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat
hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya.
persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat,
tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum
yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa
hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah
bilamana adat istiadat itu berubah.

B. Saran
Demikian makalah yang bisa kami uraikan, pasti banyak kekurangan dari segi penulisan
dan redaksi yamg dikutip. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca.
Kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan untuk memperbaiki kinerja kedepan.
Karena kesempurnaan hanya milik Allah sedangkan kekhilafan datangnya darikami.
Terimakasih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’, Syarh Qawa’id Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-
Qolam, 1996), 237

Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’, Syarh Qawa’id Fiqhiyah,.

Dr.H. Darmawan,SHI,MHI , Kaidah-Kaidah FIQHIYYAH,Cet.1:Revka Prima Media , 2020

Buku Qawaid Fiqhiyyah, Toha Andiko.pdf - Repository IAIN Bengkulu


http://repository.iainbengkulu.ac.id/4071/1/Buku%20Qawaid%20Fiqhiyyah%2C%20Toha%20A
ndiko.pdf. Diakses pada tanggal 12 oktober 2023 pukul 23.59

13

Anda mungkin juga menyukai