Anda di halaman 1dari 15

Kaidah - Kaidah Ushuliyah Dan Fiqqiyah

Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Dr. H. Hafid Rustiawan M.Ag

Di Susun Oleh Kelompok 12 \ 2A :


Muhammad Faishal Hafizh 221210010
Yuri Nur Hidayatul Haq 221210011
Sukronul Majid 221210027
Varid Jiwantoro 221210035

Jurusan Pendidikan Agama Islam


Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Serang. 2023 M \ 1444 H
Kata Pengantar

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah


memberikan rahmat dan karunianya. Tidak lupa sholawat serta salam semoga terlimpah
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Pengertian Kaidah Ushuliyah Dan kaidah Fiqhiyah”. Adapun
makalah ini di susun dalam rangka pemenuhan Tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Adapun penyusunan Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Ushul Fiqh. Oleh karena itu, izinkan pada kesempatan hari ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr. H. Hafid Rustiawan M.Ag selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh
yang telah memberikan bimbingan dan arahan untuk menyelesaikan tugas makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca dan kami juga merasa bahwa masih banyak keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

29 Mei 2023

II
Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................................II


Bab I....................................................................................................................................1
Pendahuluan.........................................................................................................................1
a) Latar Belakang.........................................................................................................1
b) Rumusan Masalah....................................................................................................1
c) Tujuan Masalah ......................................................................................................1
Bab II..................................................................................................................................2
a) Pembahasan ............................................................................................................2
b) Pengertian Kadiah - Kaidah Ushuliyah Dan Kaidah Fiqqiyah................................2
c) Urgensi Kaidah Fiqhiyah.........................................................................................6
d) Kedudukan Kaidah Fiqhiyah...................................................................................7
e) Perbedaan Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah............................................................10
Bab III.................................................................................................................................11
Penutup...............................................................................................................................11
a) Kesimpulan..............................................................................................................11
Daftar Pustaka...................................................................................................................12

III
Bab 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Qawaidu fiqhiyah (kaidah-kaidah furu’iyah) dan Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah
asasiyah) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa. Banyak dari kita
yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul
fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
Melihat dari fungsinya kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai
sarana ushul dalam menggali hukum syar’i. maka dari itu kedua ushul ini sangat penting
untuk di pelajari.
Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-
kaidah fiqh. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguaai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah?
2. Apa tujuan mempelajari kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah?
3. Apa manfaat mempelajari kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Kaidah - Kaidah Ushuliyah Dan Fiqihiyah
2. Mengetahui Pembagian Kaidah Fiqhiyah
3. Mengetahui Manfaat Kaidah Fiqhiyah
4. Mengetahui sitematika Kaidah Fiqhiyah
Bab II
Pembahasan

A. Pengertian Kaidah - Kaidah Ushuliyah Dan Kaidah Fiqhiyah

Qawaid adalah bentuk jamak dari kata kaidah yang berarti secara Bahasa bermakna
asas, dasar, atau pondasi, baik dalam arti yang kongkrit maupun yang abstrak, seperti kata-
kata Qawa’id al-bait yang artinya pondasi rumah, atau Qawa’id al-din yang artinya dasar-
dasar agama, atau Qawa’id al-ilm yang artinya kaidah-kaidah ilmu.

‫ت َوِإ ْس َما ِعي ُل َربَّنَا تَقَبَّلْ ِمنَّا ۖ ِإنَّكَ َأ ْنتَ ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم‬
ِ ‫وَِإ ْذ يَرْ فَ ُع ِإ ْب َرا ِهي ُم ْالقَ َوا ِع َد ِمنَ ْالبَ ْي‬
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar baitulla bersama Ismail. (Q.S Al-
Baqarah: 127)
ُ ‫قَ ْد َم َك َر الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم فََأتَى هَّللا ُ بُ ْنيَانَهُ ْم ِمنَ ْالقَ َوا ِع ِد فَخَ َّر َعلَ ْي ِه ُم ال َّس ْقفُ ِم ْن فَوْ قِ ِه ْم َوَأتَاهُ ُم ْال َع َذابُ ِم ْن َحي‬
َ‫ْث اَل يَ ْش ُعرُون‬
Allah menganjurkan bangunan mereka dari pondasi-pondasinya (Q.S An-Nahl: 26).
Dari dua ayat diatas, bias disimpulkan bahwa arti kaidah adalah dasar, asas atau
pondasi, tempat yang diatasnya berdiri suatu bangunan.
Pengertian kaidah semacam ini dapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam
ilmu nahwu, (Gemmer) Bahasa Arab, seperti Maf’ul itu Manshub dan Fa’il itu marfu. Ini
adalah yang disebut dengan Aal-Qawaid An-nashwiyah (Kaidah Nahwu).1
Al-Qawaid diartikan secara etimologis adalah kaidah berarti aturan, patokan, alas
bangunan atau undag-undang.2 Sementara terminologis, kaidah adalah aturan yang bersifat
Universal (Kully) yang diikuti oleh aturan-aturan yang banyak.3
Al-Fikhiyyah berasal dari kata Fiqh, yang berarti huku-hukum syariah yang bersifat
amaliah yang digali dari sumber-sumber terperinci. Dan secara terminologi menurut
Musthofa Al-zarka sebagaimana dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan menyatakan bahwa
kaidah Fikhiyyah adalah dasar-dasar Fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk
undang-undang yang berisi undang-undang syara’ yang umum terhadap sebagai pristiwa
hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut. Kaidah Fikhiyyah berfungsi
untuk memudahkan Mujtahid mengisbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’
dan kemaslahatan manusia yang berpegang dengan kaidah-kaidah Fikhiyyah, para mujtahid
merasa lebih mudah dalam mengisbatkan hukum bagi suatu masalah yakni menggolongkan
masalah serupa dibawah lingkup satu kaidah4

1
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan 1, (Jakarta, DU Publishing), Hlm 320.
2
Mahmud Yunus, Kamus Aarab Indonesia (Jakarta, Hidakarya Agung, 1989), Hlm 315.
3
A. Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih (Jakarta, Kencana, 2010), hlm 4.
4
Nurhayati, Ali Imran Sanaga, Figh dan Ushul Fiqh. (Jakarta, Prenadamedia ,2018) hlm,67
Al-Ushuliyyah berasal dari kata al-ashl yang jamaknya al-ushul yang ditambah
dengan ya’nisbah (ya’ yang berfungsi untuk membangsakan menjelaskan). Secara etimologi
al-ashl berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”, Al-Qawaid Al-Ushuliyyah
adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, yang bertitk tolak pada pengambilan dalil atau
peraturan yang dijadikan dalam penggalian hukum. Al-Qawaid Al-Ushuliyyah berarti kaidah-
kaidah para ulama untuk menggali hukum yang ada dalam Quran yang mana kaidah-kaidah
itu sebenarnya berdasarkan makna dan tujuannya yang diungkapkan oleh para ahli para
Bahasa Arab (pakar lnguistik Arab) sehingga Ushuliyyah disebut dengan kaidah Istinbatiyah
atau ada yang menyebutnya dengan kaidah Lughawiyah (Kebebasan).5

B. Dasar Hukum Kaidah Ushuliyah


Adapun dasar hukum Al-Qawaid Al-Ushuliyyah adalah sebuah landasan, fondasi
dasar dalam Istinbath dan penetapan hukum syara’ yang bersifat praktis dari sumber-sumber
asli.6 Selain itu, kaidah Ushuliyah memiliki sifat dinamis sesuai dengan kebutuna dan
pemahaman pada setiap zaman yang tidak mendobrak syarat dan ketentuan yang berlaku atau
yang disepakati oleh ulama, bersifat deduktif dan dalam praktiknya diciptakan terlebih dahulu
baru diterapkan atau diaplikasikan serta secara struktur kalimatnya ringkas.7
Perumusan kaidah-kaidah Ushuliyah setidaknya bersumber pada empath al, yatu Rushus
Quran, Rushus al-Sunnah/al-Hadis, Bahasa dan ilmu Bahasa Arab serta akal/rasio.
Masing-masing dari empat sumber ini memiliki kaidah atau hukum tersendiri8
1. Nash Quran.
2. Nash al-Sunnah/al-Hadis.
3. Bahasa dan Ilmu Arab.
4. Akal/Rasio.

Kombinasi wahyu dan akal dalam perumusan kaidah ini menunjukkan bahwa kaidah ini
yang bermuara pada ilmu ushul fiqh merupakan falsafah Islam actual yang berfungsi

5
Nurhayati, Ali Imran Sanaga, Figh dan Ushul Fiqh. (Jakarta, Prenadamedia ,2018) hlm, 57.
6
http://www.researchgate.net/publication/331357014-Online-25September2019.
7
Maksud deduktif di sini adalah bahwa aplikasi dari kaidah ushul didasarkan dari dalil-dalil umum yang
kemudian menghasilkan pedoman atau hukum yang khusus. Sementara itu, yang dimaksud ringkasan adalah
bahwa kaidah ushul biasanya hanya terdiri atas kalimat dari beberapa kata saja, Ushul Fiqh, Sebuah
Pengamatan Awal, hlm 294-297 M. Hasbi Ash-Shiddiegy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta, Bulan Bintang) Hlm
443.
8
Muhammad Sulaiman al-Aasyqar, Al-Wadh Fi Ushul Al-Fiqh (Amman: Dar al- Salam) Hlm 11.
mengawasi aktivitas manusia dan sebuah epistimologi hukum sangat penting yang dihasilkan
peradaban Islam.9

C. Pembagian Kaidah Fiqhiyah

1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.
Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang
begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai
syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya
lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.

2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah
yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah fiqh yang
tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang
tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
 Kaidah kunci
 Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya,
dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu : ”Menolak kerusakan
(kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

9
A. Yasid, Epistimologi Ushul Fiqh: Antara Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme Istinbath al-Ahkam,
dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 45, No. 1. 2011. HLM 1027-1028.
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh
adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia
mendapatkan kemaslahatan.
 Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran
hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
 Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
 Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah
al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha
utsmaniah.

D. Manfaat Kaidah Fiqhiyah


Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
 Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh.
 Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum
bagi masalah-masalah yang dihadapi.
 Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda.
 Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)


 Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
 Kaidah dapat membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan.
 Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij
untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
 Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-
bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta
meringkasnya dalam satu topik.
 Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan
maslahat yang lebih besar.
 Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah
cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

E. Urgensi Kaidah Fiqhiyah


Kaidah fiqhiyah dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
I. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa
nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
II. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah
dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat
dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata,
pidana, ekonomi dan undang-undang dasar, telah sempurna dengan adanya nash-nash yang
menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas
suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa
lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan
dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy
dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil
ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

F. Kedudukan Kaidah Fiqhiyah


Kaidah fiqhiyah dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang
dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya
ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri.
Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.

Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya,


berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap
kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah
mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak
mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan
sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam konteks studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyah yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad
al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum
fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam konteks studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’iah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqh yang di
dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari
furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
G. Sistematika Kaidah Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan kaidah fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah
asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang
disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah
ada 5 macam, yaitu :
1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2. Kemudharatan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.

Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.”
Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah
asasiah, walaupun kebahasaannya masih tetap diakui.
Dan dalam dasar Hukum kaidah Ushuliyah ini memiliki dua landasan hukum yaitu.
Lughawiyyah.. dan al-Tasyri’iyah. bagian pertama adalah melihat dari sumber ajaran Islam
dari aspek-aspek kebahasaan seperti Thuruq dilalah al-nash dan uslub al-lughah al-
arabiyyah10, sedangkan yang kedua melihat daritujuan-tujuan persyariatan (al-maqashid al-
syari’ah).
Al-Qawaid al-Tasyri’iyah berguna sebagai sandaran dan fondasi dalam istinbath dan
penetapan hukum dari sumber primer ajaran Islam, maka diharuskan memelihara prinsip-
prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama ushul dalam proses istinbath hukum agar
pembentukan hukum tidak keluar dari tujuan yang dimaksud, yaitu mengantarkan manusa
kepada kemaslahatan dan keadilan.11 Prinsip-prisip dalam istinbath hukum, menurut Khalaf,
terbagi menjadi lima yaitu.
 Al-Maqhud al-Aammin al-Tasyi
 Fi mahuwa haqq Aallah wama huwa haqq al-mukallaf
 Fi mayasugh al-ijtihadfih
 Fi nash al-hukm
 Fi al-ta’arudl wa al-tarjih.

Contoh hukum Al-Qawaid Al-Ushuliyyah

10
Abdul Khalaf, Ushul Fiqh (Kairo, al-Haramain, 2004) hlm 180.
11
Abdul Wahab, Khalaf, Ushul Fiqh (Kairo, al-Haramain, 2004) hlm 197.
a) Kaidah:
ِ ْ‫اَ ْل ِع ْب َرةُ بِ ُع ُموْ ِم الَّل ْف ِظ اَل بِ ُخصُو‬
ِ َ‫ص ال َّسب‬
‫ب‬
Artinya: “yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafadz bukan
sebab khusus (latar belakang kejadian).
b) Kaidah.
‫َض َو ْال َما نِ َع قَ ِد َم ْال َما نِ َع‬
ِ ‫اِ َذا اجْ تَ َم َع ْال ُم ْقت‬
Artinya: “Bila dalil yang menyeruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang”.
c) Kaidah.

ِ ‫الَ ِع ْب َر ِة للِ ِّد الَلَ ِة فِى ُمقَا بَلَ ِة التَّصْ ِري‬


‫ْح‬
Artinya: “makna implisit dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit”
d) Kaidah.
‫اَلنَّ ِك َرةُ فِى َمقَ ِام النَّ ْف ِي تُفِ ْي ُد ْال ُع ُمو َم‬
Artinya: “ lafadz nakirah dalam kalimat negative (nafi) mengandung pengertian umum”
e) Kaidah
‫اَلنَّصَّ ُمقَ َّد ٌم َعلَى الظَّا ِه ِر‬
Artinya “petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir” .
f) Kaidah
َ ْ‫اََأل ْم ُر يُفِ ْي ُد ال ُوجُو‬
‫ب‬
Artinya: “Petunjuk perintah amr menunjukan wajib”
g) Kaidah
ْ ِ‫الَ َم َسا َغ ل‬
ِّ‫الج ْتتِهَا ِد فِى َموْ رُوْ ِدالنَّص‬
Artinya: “tidak dibenarkan ijtihad dalam masalah yang ada nash nya”
h) Kaidah
ْ ‫اَ ْل ُم‬
ُ َ ‫طل‬
‫ق يُحْ َم ُل ال ُمقَيَّ ِد‬
Artinya.” Dalalah lafadz mutlak dibawa pada dalalah lafadz muqayyad”
i) Kaidah
ِ ‫اََأل ْم ُربِال َّشى ِءنَ ْه ٌي ع َْن‬
‫ض ِّد ِه‬
Artinya,”perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”12

H. Perbedaan Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqh

12
Rachmat Syafe’I, Ilmu Fiqih (Bandung, Pustaka Setia, 1999), Hlm 147-149.
 Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
 Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul
setelah furu’.
 Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-
dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang terhimpun di
dalam kaidah.

Bab III
Penutup

Kesimpulan
Dilihat dari tata Bahasa Arab, rangkaian kata ushul dan kata fiqh tersebut dinamakan
dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul
bagi fiqh. Kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut Bahasa, berarti
sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
Qowaid fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-
hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang
akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil dan cara
penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil
Dengan berpegangan kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih
mudah dalam menginstinbatkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Daftar Pustaka
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan 1, (Jakarta, DU Publishing),
Mahmud Yunus, Kamus Aarab Indonesia (Jakarta, Hidakarya Agung, 1989),
Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih (Jakarta, Kencana, 2010),
Nurhayati, Ali Imran Sanaga, Figh dan Ushul Fiqh. (Jakarta, Prenadamedia ,2018)
http://www.researchgate.net/publication/331357014.
M. Hasbi Ash-Shiddiegy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta, Bulan Bintang)
Muhammad Sulaiman al-Aasyqar, Al-Wadh Fi Ushul Al-Fiqh (Amman: Dar al- Salam)
A. Yasid, Epistimologi Ushul Fiqh: Antara Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme
Istinbath al-Ahkam, dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 45, No. 1. 2011
Abdul Wahab, Khalaf, Ushul Fiqh (Kairo, al-Haramain, 2004)

Anda mungkin juga menyukai