QAWAID FIQHIYYAH
DOSEN PENGAMPU : ALI KADARISMAN, M.HI.
KELOMPOK 1
FAKULTAS SYARIAH
HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIKII IBRAHIM
MALANG
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya kepada kita. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman yang sangat dipanuti oleh
pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW. Sehingga kita dapat menyelesaikan
makalah yang menjadi tugas pertama semester empat
Makalah yang berjudul Qawaid Fiqhyyah aplikasi dari kami selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah tersebut. Selain itu bertujuan untuk mempelajari dan
mengetahui lebih dalam.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………..i
Daftar
Isi…………………………………………………………………………...ii
Pendahuluan……………………………………………………………………….1
Latar
Belakang……………………………………………………………..1
Rumusan Masalah…………………………………………………………1
Pembahasan………………………………………………………………………..2
iii
Sejarah munculnya kaidah Fiqhiyyah, Faktor-faktor pendorong, Masa
Pembentukan, Masa Perkembangan dan Pembukuan, Masa Kematangan
dan Penyempurnaan………………………………………………………
19
Daftar Pustaka……………………………………………………………27
ii
Pendahuluan
Latar Belakang
Sumber hukum islam adalah wahyu Allah yang dituangkan di dalam AL-
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan
dengan dengan hukum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah
keseluruhan ayat. Demikian pula apabila dibandingkan dengan masalah yang
harus diberi ketetapan hukum, yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini.
Rumusan Masalah
iv
3) Pembagian Qawaid Fiqhiyyah
4) Tujuan, Urgensi, Kedudukan Qawaid Fiqhiyyah
5) Hubungan Qawaid Fiqhiyyah dengan Fiqh, Ushul Fiqh, dan Qawaid
Ushuliyah
6) Sejarah munculnya kaidah Fiqhiyyah, Faktor-faktor pendorong, Masa
Pembentukan, Masa Perkembangan dan Pembukuan, Masa Kematangan
dan Penyempurnaan
7) Buku-buku sumber Kaidah Fiqhiyyah Empat Madzhab.
PEMBAHASAN
Qawaid al-fiqhiyyah merupakan tarqib idhofi yang tersusun dari dua kata
yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah, yang mana masing-masing dari setiap kata tersebut
memiliki arti tersendiri. Qawaid merupakan kata yang berbentuk jama’(plural)
dari kata Qaidah yang secara etimologi berarti landasan, dasar-dasar, atau fondasi
baik bersifat konkrit atau indrawi (hissi) seperti fondasi rumah, maupun yang
bersifat abstrak , non-materi atau non-indrawi (ma’nawi) seperti ushul al-din
(dasar-dasar agama) .1
Lafadz Qaidah yang berarti landasan atau fondasi yang bersifat materi,
seperti yang tertera pada al-qur’an surat al-Baqoroh ayat 127 dan al-Bahl ayat 26:
v
Artinya: “Maka Alloh menghancurkan rumah-rumah mereka dari dasar-dasarnya
(fondasi)”…(Q.S. al-Nahl 26)
ضية كلية من حيث إشتما لها بالقوة على أحكم جز ئيات مو ضو عها
Artinya: “Proposisi universal yang berpotensi mencakup hukum-hukum juz’I
yang masuk kedalam ruang lingkupnya”.
Dari beberapa definisi tersebut diatas masih bersifat umum, karena masih
dapat mencakup qaidah-qaidah dalam bentuk ilmu lain seperti qawaid ushuliyyah
(qaidah-qaidah dalam ilmu ushul fiqih) atau qawaid nahwiyyah (qaidah-qaidah
dalam ilmu nahwu). Definisi qaidah yang masih bersifat universal ini bisa
digunakan pada setiap qaidah pada bidang ilmu dan dapat diaplikasikan kepada
juz’inya. Misalnya pada ilmu nahwu yang memiliki qaidah ”setiap fail harus
beri’rob rofa’” atau “setiap maf’ul selalu nasab”.
2
Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat
Fuqaha, Disertasi, 1929 H/2008 M, hlm. 25.
vi
Dengan demikian maka kata qaidah masih menimbulkan ambiguitas dan
belum interpretable, sehingga belum memiliki kejelasan dalam maksudnya, yang
mana hal yang seperti ini dalam ilmu mantiq (logika) tidak jami’ dan mani’.
Sehingga masih harus diperinci dengan menyambungkan kata juz’inya, maka
ketika sudah di sambungkan dengan juz’inya maka akan terlihat maksud dari ke-
kullian makna qaidah itu sendiri. Kemudian imam dari ke- kulliannya ini kata
qaidah disambung dengan kata fiqhiyyah sehinnga jelas maksud dari qaidah
tersebut ,yaitu qaidah-qaidah pada ilmu fiqhiyyah. Seperti pendapat al-Hamawi al-
Hanafi (w. 1098 H), komentator (pensyarah) kitab al-Asybah wa al-Nadhair karya
إن القاعدة هى عند الفقاهاء غيرها عند النحاة واألصوليين} إد هي عند الفقهاء
حكم أكثري ال كلي ينطبق على أكثر جزئياته لتعرف أحكامه
Artinya: Qaidah menurut fuqaha berbeda dengan Qaidah menurut ahli nahwu
dan ahli ushul fiqih. Menurut fuqaha qaidah hukum mayoritas (aktsari) bukan
hukum universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada maypritas bagiannya
(juz’iyyat), dimana hukum-hukum bagian (juz’iyyat) dapat diidentifikasi dari
padanya.3
3
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 10.
vii
Secara etimologi kata al-Assybah merupakan bentuk jama’ dari kata al-
Sybhu yang berarti seperti/al-mitslu. Dan adapun kata al-Nadhair adalh bentuk
jama’ dari kata al-Nadhirah (bentuk muannats dari kata al-Nadhir) yang berarti al-
Mitslu al-mutsawi yang berarti sama/identik. Seangkan penjelasan tentang al-
Assybah Wa al-Nadhair menurut al-Hamawi (w.1098 H) dalam kitabnya Syarah
al-Assybah wa al-Nadhair ialah masalah-masalah yang saling menyerupai
meskipun dalam hal hukumnya berbeda , karena sesuatu yang tersembunyi yang
(hanya) dapat diketahui oleh ketajaman berfikir para fuqaha. Adapun kata al-
Assybah wa al-Nadhair diambil dari surat Umar Bin Khatab kepada Abu Musa
al-Asy’ari yang berisi ”pahamilah, pahamilah terhadap apa yang
menggelisahkan dada/hatimu dari apa yang tidak ditemukan ketentuannya dari
al-Kitab (qur’an) dan al-sunnah. Ketahuilah ia dari sayang semisal dan serupa,
lalu qiyaskanlah setiap perkara padanya. Peganglah apa yang lebih dicintai
alloh dan yang lebih menyerupai kebenarannya menurut pendapatmu”. Dari surat
ini Alamah Najm al-Din al-Nafasi (w.573) berpendapat bahwa apabila suatu
perkara tidak diketahui jawabannya, kembalilah pada perkara yang serupa
dengannya, pastilah akan diketahui jawabannya.
Dari surat Umar diatas, maka dapat diketahui makna dari Assybah tetapi
belum menjelaskan makna al-Nadhair. Akan tetapi para fuqha menggandengkan
kedua kata tersebut karena memiliki kedekatan makna seperti makna al-wudhu’
dengan al-Ghuslu. Sehingga memungkinkan keduanya untuk disatukan dibawah
sebuah judul. Menurut al-Suyuti (w.911 H) kata al-Amatsal merupakan kata yang
bermakna paling khusus diatara keduanya. Kemudian al-Syibhah lebih umum dari
amtsal dan lebih khusus dari kata al-Nadhair. Dengan demikian dapat difahami
bahwa al-amtsal menuntuk kesamaan dalam seluuruh segi, kemudia assibhah
menuntut kesamaan dalam sebagian besar ,dan munadharah menuntut adanya
sebagian kesamaan walaupun hanya satu bagian saja.
viii
Nadhair tidak hanya membahas tentang Qawaid Fiqhiyyah akan tetapi juga
dhawabi, furuq, dan ilmu-ilmu fiqih lainnya.4
Pada umumnya setiap kalimat yang didahului dengan kata kulli maka
menunjukkan kulliyyat, baik ketika menjadi qawaid maupun dhawabit. Adapun
kulliyyat yang merupakan jawami’ al-Kalim sperti sabda Nabi sebagai berikut:
1. Setiap perkara yang tidak sempurna kecuali dengan perkara, maka tidak
boleh memilih salah satunya.
4
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 25.
ix
Al-Furu’ al-Fiqhiyyah merupakan kebalikan dari qawaid al-fiqhiyyah.
Yamg membuat keterbalikan dari keduanya ialah, bila qawaid fiqhiyyah menuntut
adanya persamaan hukum, sedang al-furu’ al fiqhiyyah tidak ada kesamaan
hukum. Al-furuq adalah mengetahui perbedaan diantara dua masalah yang sama,
dan menjadikan hukum kedua tersebut menjadi tidak sama. Abu Muhammad al-
Juwaini (w.438 H) berpendapat bahwa kadang-kadang masalah-masalah syara’
memiliki bentuk yang sama, tetapi berbeda dalam hal hukum. Hal ini dekarekan
illat yang menyebabkan keharusan adanya perbedaan pada penerapan hukum
tersebut.5
5
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 27.
6
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 28.
x
kandungannya, kalua qawaid fiqhiyyah mengandung hukum fiqih yang dapat
diaflikasikan pada furu’nya, sedangkan Nadhariyyat fiqhiyyah tidak mengandung
hukum fiqih seperti nadhariyyat al-milki (kaidah-kaidah kepemilikian),
nadhariyyat al-Buthlan (kaidah-kaidah pembatalan), dan nadhariyyat al-faskh
(kaidah-kaidah faskh). Kemudian ia juga menyatakan bahwasanya qaidah tidak
mencakup syarat dan rukun sedang nadhariyyat fiqhiyyah mengharuskan
mencakup syarat dan rukun.
Syihabuddi al-Qarafi (w.684) orang yang pertama antara dua masalah ini,
ia menyatakan “syari’at Muhammad mencakup ushul dan furu’. Ushulnya itu
terbagi menjadi dua, yaitu ushul fiqih dan qawaid fiqhiyyah kulliyyah. Secara
umum, ushuhl fiqih mengkaji kaidah-kaidh hukum yang timbul dari lafadz, seperti
amar menunjukkan wajib, nahyi menunjukkan haram, bentuk-bentuk umum (am
dan khas) serta nasakh dan Mansukh. Kaidah-kaidah fiqhiyyah kulliyyah, yaitu
kaidh-kaidah yang bernilai tinggi dan banyak jumlahnya, mencakup rahasia-
rahasia hukum syara’ dan hikmah-hikmahnya, serta mencakup cabang-cabang
xi
hukum yang tak terhingga. Kaidah-kaidah ini tidak disebutkan dalam ushul fiqih,
tetapi hanya disinyalkan secara global.7
xii
Diantara keistimewaan qawaid fiqhiyyah yang tidak ada pada qawaid usuliyyah :
Terkadang kita menemui kaidah fiqh yang redaksinya sama dengan hadis
Nabi, sehingga hadis tersebut menjadi kaidah fiqh. tidak heran bila
redaksinya sama, yakni satu sisi sebagai hadis nabi dan satu sisi sebagai
kaidah fiqh. Hadis Nabi tersebut ada yang berkedudukan sebagai qawa’id
‘ammah (kaidah fiqh umum) dan ada yang berkedudukan sebagai qawa’id
khassah (kaidah fiqh khusus). Misalnya :
Hadis ini berkedudukan sebagai qawa’id khassah (kaidah fiqh khusus) karena
permasalahannya hanya terkait dengan kerusakan yang dilakukan oleh
binatang.8 Diantara kaidah fiqh yang redaksinya sama dengan Hadis
diantaranya :
8
Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus : Dar al-Qalam,2000) V, h.276
xiii
a. } البينة على المدعى واليمين على من انكر { رواه مسلم والترمدى
”Penggugat harus menunjukkan bukti, sedangkan yang menolak
dapat mendapatkan sumpah” (H.R. Muslimah dan al-Tirmizi)
Ahli fiqh membentuk kaidah fiqh berdasarkan hadis ini dengan redaksi :
9
Al-Asybah Wa Al-Nadhair (al-Suyuti, Semarang: Toha Putra, 1996) ,h.136
10
Jornal hlm 131
xiv
Kaidah fiqh ini terbentuk dari spirit yang terkandung dalam teks atau
redaksi al-Qur’an dan Hadis Nabi. Misalnya :kaidah fiqh دهاaا صaور بمقaاالم11
(setiap perkara tergantung pada maksudnya). Kaidah ini digali dari ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad diantaranya :
عaaد وقaaوت فقaaومن يخرج من بيته مهاجرا الى هللا ورسوله ثم يدركه الم
} 100: 5/اجره على هللا { النساء
Artinya : “Brang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ketempat yang dimaksud) maka
sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah” (Q.S.an-Nisa’
(5):100).
Hadis nabi
11
Muhammad Yasin al-Fawaid, al-Janiyyah Hasyiyah al-Mawahib al-Sanniyah Syarh al-Faraid al-
Bahiyyah fi Nadhm al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h.103
12
Abu Hamid al-Ghazaly, Al-Musthafa,(Beirut: ihyau al-Turats al-‘Araby, 1997), juz 2,h.139
xv
Kaidah yang dimaksudkan adalah al-qawa’id al-khams yang sangat
popular dikalangan Mazhab Syafi’i dan mazhab lainnya dengan urutan
yang tidak selalu sama. Kaidah tersebut adalah :
االجتهاد الينقض باالجتهاد (ijtihad yang lalu tidak batal oleh ijtihad
yang kemudian)
النكاح اليفسد بفساد الصداق (akad nikah tidak rusak dengan rusaknya
mahar)14
13
Muhammad Yasin al-Fadani, al-fawaid al-Janiyyah Hasiyah al-Mawahib al-Sanniyah syarh al-
Faraid al-Bahiyyah fi Nadm al-Qawa’id al-Fiqhiyyah h.382-383
14
Al-Suyuti,al-Asybah wa al-Nadhair, h.505
xvi
Kaidah Fiqh yang masuk dalam kategori adalah kaidah fiqh inti,kaidah
fiqh pokok, mayoritas kaidah fiqh umum kaidah dan sebagian fiqh khusus.
Dalam satu mahzab tidak tentu para pengikutnya dapat menyepakati suatu
pendapat. Artinya pada kasus ini para pengikut satu mazhab tertentu tidak
menyepakati kaidah-kaidah fiqh tersebut.
المانع الطارئ ه}}ل ه}}و كالمق}}ارن (apakah penghalang yang baru seperti
penghalang yang menyertai?). Misal, menambah air musta’mal dengan air
lain sehingga menjadi banyak. Kaidah fiqh ini tidak disepakati oleh Ulama
Syafi’iyyah. Menurut sebagian ulama, penghalang yang baru seperti
menyertai, sedangkan menurut ulama lain, tidak seperti yang menyertai.
Menurut al-Suyuti yang paling sahih adalah air musta’mal tersebut menjadi
suci dan mensucikan. 15
Para imam mahzab sangat menjujung tinggi ilmu qawa’id fiqhiyyah ini
yang merupakan salah satu cabang dari ilmu syari’at. Bahkan sebagian ulama’
mengatakan faktor penyebab terbelakangnya fiqh adalah kurangnya perhatian
terhadap qawa’id fiqhiyyah. Adapun tujuan terbentuknya qawa’id fiqhiyyah
diantaranya :
15
Al-suyuti, al-Asybah wa al-Nadhair h.111-112
xvii
c. Mempermudah fuqaha dalam menetapkan hukum amaliyyah mukallaf. Misal,
bagaimana hukum orang yang dipaksa meminum khamar, boleh tidak ?
melalui pendekatan kaidah atau kasus ini dapat dijawab, yaitu boleh
meminum khamar karena terpaksa (madarat)
Selain tujuan dari pembentukan qawa’id fiqhiyyah para ulama juga memberikan
pendapatnya mengenai urgensi (kegunaan) dari qawa’id fiqhiyyah diantaranya
a. Dengan mengetahui kaidah fiqh kita dapat memberi solusi dari berbagai
perbedaan pendapat dikalangan ulama atau setidaknya menguatkan pendapat
yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fiqh.
b. Orang yang menguasai kaidah fiqh disamping kaidah ushul akan memiliki
keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepaada kebenaran,
kebaikan dan keindahan. 17
c. Qawa’id fiqhiyyah berguna dalam penyelesaian berbagai problematika yang
semakin kompleks.
Kedudukan
Ilmu Qawa’id fiqhiyyah ini mempunyai kedudukan sangat penting dalam
sejarah perkembangan hukum islam. Hukum islam yang telah diistinbat kan oleh
ushul fiqh diikat oleh Qawa’id fiqhiyyah agar lebih mudah diisentifikasi dan
16
Ade Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2008) hlm. 39
17
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2006), hlm. 26
xviii
difahami. Para ahli fiqh memandang ilmu ini sangat besar peranannya
dalammembuka cakrawala dan melatih malakah (daya rasa) fiqh. Al-Qarafi
memandang kedudukan ilmu ini sebagai berikut :
a. Ilmu qawa’id fiqhiyyah berkedudukan istimewa dalam deretan keilmuan
islam,karena dapat mengangkat ahli fiqhnya ke posisi yang terhormat dengan
penguasaan dan keterampilan yang ia miliki.
b. Ilmu qawa’id fiqhiyyah dapat menunjukkan keistimewaan dan keagungan
ilmu fiqh.
c. Ilmu qawa’id fiqhiyyah menjadi media yang dapat mempermudah ahli fiqh
dalam berfatwa.
d. Ilmu qawa’id fiqhiyyah membuat fiqh menjadi lebih sistematis yang dapat
mempermudah seseorang dalam mengidentifikasi fiqh yang kompleks.
Selain kedua ahli fiqh tersebut adapula Mustafa al-zarqa yang menjelaskan
kedudukan dari kaidah fiqh ini. Menurut beliau “kaidah-kaidah fiqh ini
mengandung prinsip-prinsip yang jelas dan beberapa aturan fiqh yang sifatnya
general. Kaidah-kaidah ini mengikat berbagai cabang hukum yang bersifat
praktis dengan berbagai dlawabit yang menjelaskan bahwa setiap cabang hukum
memiliki satu manat (‘illat) dan segi keterkaitan meski objeknya berbeda. 18
Dari berbagai pernyataan para ahli fiqh diatas dapat kita simpulkan bahwa
18
Mustafa ahmad al-zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, (Damaskus : Matba’ah Jami’ah, 1983),
cet.ke-7, Juz 2, h.943
xix
c. Kaidah-kaidah fiqh akan mengembangkan malakah (daya rasa) fiqh
seseorang dan membuatnya mampu mentakhrij berbagai hukum fiqh yang tak
terbatas, sesuai kaidah imam mazhabnya.
d. Kaidah-kaidah fiqh akan mempermudah sesorang dalam mengetahui berbagai
cabang hukum dan menghimpunnya dalam satu tema dan mengecualikan
berbagai pengecualian dari masing-masing kaidah.
e. Mengikat hukum yang mempunyai kemaslahatan yang saling berdekatan.
f. Kaidah-kaidah fiqh merupakan titik temu dari beberapa masalah fiqh.19
g. Kaidah fiqh dapat masuk pada kelompok ijtihad model kedua yakni berkaitan
dengan penerapan hukum. 20
واقيمواالصرة واتواالزكاة
“tegakkanlah shalat dan keluarkan zakat”
Bagaimana caranya firman Allah ini dapat menetapkan kewajiban shalat
dan zakat ? caranya dengan menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk
19
Ade Dedi Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat
Fuqaha (Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), hlm. 224
20
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hlm 227
xx
mengeluarkan hukum dari sumbernya. Firman Allah ini berbentuk perintah,
dalam ilmu ushul fiqh, asal dari kata perintah adalah wajib selama tidak ada
dalil yang merubah ketentuan tersebut.
Melalui kaidah dan ketentuan ushul fiqh inilah hukum wajib atas shalat dan
zakat dikeluarkan dari Firman Allah tersebut.
Firman Allah tersebut adalah dalil atau sumber hukum, kewajiban dalam hukum
syara’ tersebut adalah fiqh dan ketentuan atau aturan ushul fiqh tersebut adalah
qawa’id ushuliyyah. Dengan demikian qawa’id ushuliyyah adalah sejumlah
ketentuan atau peraturan untuk menggali hukum syara’. Hal itu dapat
digambarkan dengan skema berikut :
Dengan demikian makin banyaknya hukum fiqh yang diistinbatkan oleh para
ulama membuat banyak hukum fiqh yang harus dihafal. Agar praktis, para ulama
membuat teori atau aturan umum agar mudah diidentifikasi, teori inilah yang
kemudian disebut dengan qawa’id fiqhiyyah. Disamping itu, qawa’id fiqhiyyah.
Dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam menetapkan hukum perbuatan
mukallaf yang terkadang ada kendala.
xxi
Kewajiban Shalat tepat waktu = Hukum Syara’
Perbuatan Mukallaf
Qawa’id Fiqhiyyah
xxii
Demikian hubungan anatara fiqh (hukum syara’), ushul fiqh, qawa’id
ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah. Hukum syara’ (fiqh) adalah hukum istinbat
dari nas (al-Qur’an dan Sunnah) melalui pendekatan ushul fiqh yang diantaranya
menggunakan qawa’id ushuliyyah. Hukum Syara’(fiqh) yang telah diistinbat
tersebut diikat oleh qawa’id fiqhiyyah, dengan maksud agar lebih mudah
difahami dan diidentifikasi21 .
21
Rohayana, Ilmu-ilmu Qawaid Fiqhiyyah, hlm. 37.
xxiii
c. Secara praktis, pembentukan Qawaid Fiqhiyyah didorong
oleh pengalaman para ulama di lapangan.22
- Masa pembentukan
22
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 41-43
23
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 48
24
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), hlm. 56
xxiv
madzhab Hanafi dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al-Dabbas al-
Hanafi, seorang ulama yang hidup pada abad III dan IV H.
xxv
dalam rentangan waktu itu (abad IV-XII H) hamper dapat
menyempurnakan ilmu Qawaid Fiqhiyyah.25
25
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008),hlm. 59-64
26
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh. Cetakan pertama. Jakarta. Hal 19
27
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 68
28
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 19
xxvi
sebagai kitab fiqh perbandingan (muwazan), sebelum
kemudian menjadi kitab Qawaid Fiqhiyyah. Contoh kaidah
adalah sebagai berikut
xxvii
Al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawaid wa al-Fawaid al-
Fiqhiyyah karya Ibnu Hamzah al-Husaini (w.1305 H)
Qawaid al-Fiqh karya al-Mujadidi
ii. Kitab-kitab Kaidah Fiqh Madzhab Maliki
Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Imam Malik,
karangan Ibnu Haris al-Husyni (w.361 H) meskipun dalam
kitab ini lebih banyak dhabit daripada kaidah fiqh.33
Al-Furu’, karangan al-Qurafi (w.684 H). ada kurang lebih
33
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 20
34
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 84
35
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), 85
36
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 20
37
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 89
xxviii
menolak mafsadah). Hukum mubah, sunnah dan wajib
adalah maslahat sedangkanmakruh dan haram hukumnya
mafsadah.
Al-Asybah wa al-Nadhir (w. 716 H), karangan Ibnu al-
Wakil,nama lengkapnya Abdullah bin al-Murahili.
Al-majmu al-Mudzhab fi Qawaid al-Mazhab, karangan
Abu Sa’id al-Ala’I (w. 761 H), sering pula disebut
Shalahuddin.
Al-Asybah wa al-Nadhair, karangan Taj al-Din Ibnu al-
Subki (w. 771 H). yang menarik dari kitab ini antara lain :
kaidah disusun dengan menyebut kaidah-kaidah pokok,
kemudian disusul dengan kaidah fiqih yang penting dan
disebutnya dengan al-Qawaid al-Ammah, karena tidak
hanya berlaku pada bab-bab tertentu. Kemudian disusul
dengan al-Dhawabit al-Fiqhiyyah yang disebutnya dengan
al Qawaid al-Khashah, kemudian membahas sebagian
masalah-masalah fiqh yang dicakup oleh kaidah-kaidah
tadi.
Al-Mansur fi tartib al-Qawaid al-Fiqhiyyah atau al-Qawaid
al-Furu’, karangan al-Zarkasyi (w.794 H)
Al-Asybah wa al-Nadhair, karangan Imam al-Suyuti (w.
911 H)
Al-Istigna fi al-Farqi wa al-Iatitsna, karangan Badrudin al-
Bakri.38
iv. Kitab-kitab Kaidah Fiqh Madzhab Hanbali
Al-Qawaid al-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu
Taimiyah (661-728 H).
Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu Qadhi al-Jabal (w.
771 H).
Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, karangan Ibnu
Rajab al-Rahman bin Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad
38
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 21
xxix
Rajab.
Al-Qawaid al-Kulliyat wa al-Dhawabith al-Fiqhiyyah,
karangan Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).39
Qawaid Majallah al-Ahkam al-Syariyyah ‘Ala Mazhab al-
Imam Ahmad bin Hanbal karya Ahmad bin Abdullah al-
Qari al-Hanafi (1309-1359 H).40
Daftar Pustaka
39
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal 22
40
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 105
xxx
6. Ahmad, Mustafa al-zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, (Damaskus :
Matba’ah Jami’ah, 1983), cet.ke-7, Juz 2
xxxi