Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

QAWAID FIQHIYYAH
DOSEN PENGAMPU : ALI KADARISMAN, M.HI.

KELOMPOK 1

ADDINA SILMI KAFFAH (18210002)


MUH. ‘AINUN NI’AM (18210169)
MAHESA ALMAHDI (18210171)

FAKULTAS SYARIAH
HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIKII IBRAHIM
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya kepada kita. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman yang sangat dipanuti oleh
pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW. Sehingga kita dapat menyelesaikan
makalah yang menjadi tugas pertama semester empat

Makalah yang berjudul Qawaid Fiqhyyah aplikasi dari kami selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah tersebut. Selain itu bertujuan untuk mempelajari dan
mengetahui lebih dalam.

Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan,


terutama disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat kerjasama yang
solid dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat
diselesaikan dengan baik.

Besar harapan mudah mudahan makalah yang sederhana ini dapat


bermanfaat dan maslahat bagi semua orang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar……………………………………………………………………..i

Daftar
Isi…………………………………………………………………………...ii

Pendahuluan……………………………………………………………………….1

Latar
Belakang……………………………………………………………..1

Rumusan Masalah…………………………………………………………1

Pembahasan………………………………………………………………………..2

Pengertian Kaidah Fiqhiyyah……………………………………………...2

Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan al-Assybah wa al-


Nadhair………….4

Perbedaan Qawaid al-Fiqhiyyah dengan al-


Kulliyyat……………………..5

Perbedaan Antara Qawaid al-Fiqhiyyah dengan al-Furu’ al-Fiqhiyyah……


6

Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyyah dengan Nadhariyyat


Fiqhiyyah……...7

Perbedaan Qawid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyyah…………………


8

Pembagian Qawaid Fiqhiyyah……………………………………………


10

Tujuan, Urgensi, Kedudukan Qawaid Fiqhiyyah…………………...


…….14

Hubungan Qawaid Fiqhiyyah dengan Fiqh, Ushul Fiqh, dan Qawaid


Ushuliyah………………………………………………………………...16

iii
Sejarah munculnya kaidah Fiqhiyyah, Faktor-faktor pendorong, Masa
Pembentukan, Masa Perkembangan dan Pembukuan, Masa Kematangan
dan Penyempurnaan………………………………………………………
19

Buku-buku sumber Kaidah Fiqhiyyah Empat


Madzhab………………….22

Daftar Pustaka……………………………………………………………27

ii

Pendahuluan

Latar Belakang

Sumber hukum islam adalah wahyu Allah yang dituangkan di dalam AL-
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan
dengan dengan hukum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah
keseluruhan ayat. Demikian pula apabila dibandingkan dengan masalah yang
harus diberi ketetapan hukum, yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini.

Adapun dalam persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam nash


secara terinci menjadi bidang ijtihad. Berijtihad dalam hal-hal yang tidak secara
tegas dijelaskan oleh nash. Jadi, tidak semua pemecahan masalah hukum atas
berbagai kehidupan manusia di dunia ini dirinci secera jelas dan tegas dalam nash.

Oleh karena itu, lewat pendekatan linguistic (al-Qawaid al-Lughowiyyah),


para ahli ashul berusaha menetapkan kaidah-kaidah hukum

Rumusan Masalah

1) Pengertian Kaidah Fiqhiyyah


2) Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan al-Asybah wa al-Nadhair, al-
Kulliyat, Al-Furu’ al-Fiqhiyyah, Nadhariyah Fiqhiyyah, Qawaid
Ushuliyah

iv
3) Pembagian Qawaid Fiqhiyyah
4) Tujuan, Urgensi, Kedudukan Qawaid Fiqhiyyah
5) Hubungan Qawaid Fiqhiyyah dengan Fiqh, Ushul Fiqh, dan Qawaid
Ushuliyah
6) Sejarah munculnya kaidah Fiqhiyyah, Faktor-faktor pendorong, Masa
Pembentukan, Masa Perkembangan dan Pembukuan, Masa Kematangan
dan Penyempurnaan
7) Buku-buku sumber Kaidah Fiqhiyyah Empat Madzhab.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Qawaid al-Fiqhiyyah

Qawaid al-fiqhiyyah merupakan tarqib idhofi yang tersusun dari dua kata
yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah, yang mana masing-masing dari setiap kata tersebut
memiliki arti tersendiri. Qawaid merupakan kata yang berbentuk jama’(plural)
dari kata Qaidah yang secara etimologi berarti landasan, dasar-dasar, atau fondasi
baik bersifat konkrit atau indrawi (hissi) seperti fondasi rumah, maupun yang
bersifat abstrak , non-materi atau non-indrawi (ma’nawi) seperti ushul al-din
(dasar-dasar agama) .1

Lafadz Qaidah yang berarti landasan atau fondasi yang bersifat materi,
seperti yang tertera pada al-qur’an surat al-Baqoroh ayat 127 dan al-Bahl ayat 26:

‫و إد يرفع إبراهيم القواعد من البيب وإسماعيل‬


Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar (fondasi)
baitulloh Bersama ismail”…. (Q.S. al-Baqarah 127)

‫فأ تى هللا بنيا نهم من القواعد‬


1
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, hlm. 2.

v
Artinya: “Maka Alloh menghancurkan rumah-rumah mereka dari dasar-dasarnya
(fondasi)”…(Q.S. al-Nahl 26)

Dan adapun makna qaidah secara terminologi menurut al-Taftazani (w.791


H) mendifinisikan qaidah “ hukum yang bersifat universal (kulli) dan dapat di
aplikasikan kepada seluruh juz’inya (bagiannya) dimana persoalan juz’I tersebut
dapat diidentifikasi darinya”.

Dan ulama lain seperti al-Jurjani mendifinisikan qaidah sebagai berikut

‫قَضية كلية منطبقة عل جميع جز ئيا تها‬


Artinya: ”Proporsisi kulli yang dapat di aplikasikan kepada seluruh juz’inya”.

Abu al-Baqa’ al-kafawi al-Hanafi (w. 1094) mendefinisikan qaidah sebagai


berikut:

‫ضية كلية من حيث إشتما لها بالقوة على أحكم جز ئيات مو ضو عها‬
Artinya: “Proposisi universal yang berpotensi mencakup hukum-hukum juz’I
yang masuk kedalam ruang lingkupnya”.

Menurut al-Tahanawi al-Hanafi (w.1394 H) dalam istilah para ulama’ ,


qaidah identik dengan maksud ashal, masalah, qanun, maqshud, dan dhabit. Dan
kemudain al-tanahawi mendefinisikan qaidah dengan “sesuatu yang bersifat
universal (kulli) dan dapat diaplikasikan kepada seluruh juz’i-nya (bagian),
dimana hukum-hukum juz’I tersebut dapat diidentifikasikan daripadanya”.2

Dari beberapa definisi tersebut diatas masih bersifat umum, karena masih
dapat mencakup qaidah-qaidah dalam bentuk ilmu lain seperti qawaid ushuliyyah
(qaidah-qaidah dalam ilmu ushul fiqih) atau qawaid nahwiyyah (qaidah-qaidah
dalam ilmu nahwu). Definisi qaidah yang masih bersifat universal ini bisa
digunakan pada setiap qaidah pada bidang ilmu dan dapat diaplikasikan kepada
juz’inya. Misalnya pada ilmu nahwu yang memiliki qaidah ”setiap fail harus
beri’rob rofa’” atau “setiap maf’ul selalu nasab”.

2
Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat
Fuqaha, Disertasi, 1929 H/2008 M, hlm. 25.

vi
Dengan demikian maka kata qaidah masih menimbulkan ambiguitas dan
belum interpretable, sehingga belum memiliki kejelasan dalam maksudnya, yang
mana hal yang seperti ini dalam ilmu mantiq (logika) tidak jami’ dan mani’.
Sehingga masih harus diperinci dengan menyambungkan kata juz’inya, maka
ketika sudah di sambungkan dengan juz’inya maka akan terlihat maksud dari ke-
kullian makna qaidah itu sendiri. Kemudian imam dari ke- kulliannya ini kata
qaidah disambung dengan kata fiqhiyyah sehinnga jelas maksud dari qaidah
tersebut ,yaitu qaidah-qaidah pada ilmu fiqhiyyah. Seperti pendapat al-Hamawi al-
Hanafi (w. 1098 H), komentator (pensyarah) kitab al-Asybah wa al-Nadhair karya

Ibnu Nujaim (w. 970) mendifinisikan qaidah fiqhiyyah sebagai berikut.

‫إن القاعدة هى عند الفقاهاء غيرها عند النحاة واألصوليين} إد هي عند الفقهاء‬
‫حكم أكثري ال كلي ينطبق على أكثر جزئياته لتعرف أحكامه‬
Artinya: Qaidah menurut fuqaha berbeda dengan Qaidah menurut ahli nahwu
dan ahli ushul fiqih. Menurut fuqaha qaidah hukum mayoritas (aktsari) bukan
hukum universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada maypritas bagiannya
(juz’iyyat), dimana hukum-hukum bagian (juz’iyyat) dapat diidentifikasi dari
padanya.3

2. A. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan al-Assybah wa al-Nadhair.

Bagi orang yang belum mengetahui mendalam tentang tentang al-Assybah


wa al-Nadhair kemudian membacanya, maka ia akan beranggapan bahwa antara
Qawaid al-fiqhiyyah dan al-Asyyibah wa al-Nadhair itu sama. Akan tetapi setelah
dikaji secara terperinci mengenai keduanya maka akan detemukan bahwa
keduanya memiliki perbedaan. Orang yang menganggap keduanya sama itu
mungkin dikarenakan bahwasanya kitab al-Assybah wa al-Nadhair itu selalu
membahas tentang Qawaid fiqhiyyah.

3
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 10.

vii
Secara etimologi kata al-Assybah merupakan bentuk jama’ dari kata al-
Sybhu yang berarti seperti/al-mitslu. Dan adapun kata al-Nadhair adalh bentuk
jama’ dari kata al-Nadhirah (bentuk muannats dari kata al-Nadhir) yang berarti al-
Mitslu al-mutsawi yang berarti sama/identik. Seangkan penjelasan tentang al-
Assybah Wa al-Nadhair menurut al-Hamawi (w.1098 H) dalam kitabnya Syarah
al-Assybah wa al-Nadhair ialah masalah-masalah yang saling menyerupai
meskipun dalam hal hukumnya berbeda , karena sesuatu yang tersembunyi yang
(hanya) dapat diketahui oleh ketajaman berfikir para fuqaha. Adapun kata al-
Assybah wa al-Nadhair diambil dari surat Umar Bin Khatab kepada Abu Musa
al-Asy’ari yang berisi ”pahamilah, pahamilah terhadap apa yang
menggelisahkan dada/hatimu dari apa yang tidak ditemukan ketentuannya dari
al-Kitab (qur’an) dan al-sunnah. Ketahuilah ia dari sayang semisal dan serupa,
lalu qiyaskanlah setiap perkara padanya. Peganglah apa yang lebih dicintai
alloh dan yang lebih menyerupai kebenarannya menurut pendapatmu”. Dari surat
ini Alamah Najm al-Din al-Nafasi (w.573) berpendapat bahwa apabila suatu
perkara tidak diketahui jawabannya, kembalilah pada perkara yang serupa
dengannya, pastilah akan diketahui jawabannya.

Dari surat Umar diatas, maka dapat diketahui makna dari Assybah tetapi
belum menjelaskan makna al-Nadhair. Akan tetapi para fuqha menggandengkan
kedua kata tersebut karena memiliki kedekatan makna seperti makna al-wudhu’
dengan al-Ghuslu. Sehingga memungkinkan keduanya untuk disatukan dibawah
sebuah judul. Menurut al-Suyuti (w.911 H) kata al-Amatsal merupakan kata yang
bermakna paling khusus diatara keduanya. Kemudian al-Syibhah lebih umum dari
amtsal dan lebih khusus dari kata al-Nadhair. Dengan demikian dapat difahami
bahwa al-amtsal menuntuk kesamaan dalam seluuruh segi, kemudia assibhah
menuntut kesamaan dalam sebagian besar ,dan munadharah menuntut adanya
sebagian kesamaan walaupun hanya satu bagian saja.

Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat perbedaan antara al-Asyybah wa


al-Nadhair dengan Qawaid al-Fiqhiyyah. al-Assybhah wa al-Nadhair memiliki
cakupan yang lebih luas dari Qawaid al-fighiyyah. Karena al-Assybhah wa al-

viii
Nadhair tidak hanya membahas tentang Qawaid Fiqhiyyah akan tetapi juga
dhawabi, furuq, dan ilmu-ilmu fiqih lainnya.4

B. Perbedaan Qawaid al-Fiqhiyyah dengan al-Kulliyyat

Diantara Assybah wa al-Nadhair ada juga yang dianngap juga sebagai


Qaqaid Fiqhiyyah yaitu Kulliyyat, Padahal istilah dari keduanya ini juga berbeda.
Qaidah Kulliyyat dapat diindetikkan dengan Ashal karena sama-sama mencakup
qaidah dan dhawabit. apabila Kulliyyat mencakup tentang furu’ dan berbagai bab
masalah, maka ia disebut Qawaid Fiqhiyyah. Dan apabila kulliyyat hanya
mencakup furu’ dari satu bab masalah, maka ia disebut dhawabit.

Pada umumnya setiap kalimat yang didahului dengan kata kulli maka
menunjukkan kulliyyat, baik ketika menjadi qawaid maupun dhawabit. Adapun
kulliyyat yang merupakan jawami’ al-Kalim sperti sabda Nabi sebagai berikut:

1. setiap pemimpin akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.


2. Setiap yang memabukkan ialah haram.

Dan diantara Kulliyyat yang menjadi Qawaid Fiqhiyyah sebagai berikut:

1. Setiap perkara yang tidak sempurna kecuali dengan perkara, maka tidak
boleh memilih salah satunya.

Dan kulliyyat yang berarti dhawabit fiqhiyyah sebagai berikut:

Setiap keadaan yang orang salat dalam keadaan tersebut mampu


menunaikan kefarduan salat sebagaimana yang telah difardukan alloh, maka
laksanakanlah salat dalam keadaan itu. Seseorang melaksanakan salat sesuai
dengan kemampuannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kulliyyat
berbeda dengan Qawaid Fiqhiyyah, karena Kulliyyat dapat mencakup qawaid dan
dhawabit. Dan kulliyyat itu lebih umum dari qawaid.

C. Perbedaan Antara Qawaid al-Fiqhiyyah dengan al-Furu’ al-


Fiqhiyyah

4
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 25.

ix
Al-Furu’ al-Fiqhiyyah merupakan kebalikan dari qawaid al-fiqhiyyah.
Yamg membuat keterbalikan dari keduanya ialah, bila qawaid fiqhiyyah menuntut
adanya persamaan hukum, sedang al-furu’ al fiqhiyyah tidak ada kesamaan
hukum. Al-furuq adalah mengetahui perbedaan diantara dua masalah yang sama,
dan menjadikan hukum kedua tersebut menjadi tidak sama. Abu Muhammad al-
Juwaini (w.438 H) berpendapat bahwa kadang-kadang masalah-masalah syara’
memiliki bentuk yang sama, tetapi berbeda dalam hal hukum. Hal ini dekarekan
illat yang menyebabkan keharusan adanya perbedaan pada penerapan hukum
tersebut.5

Diantara contoh dari al-Furu’ adalah sebagai berikut: “apabila tanah


dimasukkan kedlam air, dan merubah warna, bau, dan rasanya, maka kesucian
dalam tanah tersebut tidak akan hilang. Akan tetapi apabila minyak, sabun, atau
garam dilemparkan kedalam air dan merubah salah satu dari sifat air tersebut.
Maka kesucian pada air tersebut menjadi hilang”. Hal ini dikarenakan ari datn
tanah sama-sama suci dan dapat untuk mensucikan. Sehingga tercampurnya antara
keduanya tidak akan menghilangkan sifat suci pada keduanya.

D. Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyyah dengan Nadhariyyat


Fiqhiyyah.

Nadhariyyat FIqhiyyah (terori-teori fiqih) merupaka istilah yang ada pada


hukum islam. Para ulama’ kontemporer menggunakan istilah ini agar supaya
dapat dipemudah dlam memadukan kajian fiqih dengan hukum positif. Para
ulama’ kontemporer memfortmat masalah-masalah fiqih dengan sitem baru ini.
Begitu juga mereka menyusun berbagai karya tulis dengan menggunakan sitem
baru ini.6

Menurut Ahmad Bin Abdullah Bin Hamid, pentahqiq kitab al-Qawaid


karya al-Maqqari al-Maliki (w.758 H) ada persamaan dan juga ada perbedaan
antara keduanya. Adapun persamaannya adalah sama-sama mencakup berbagai
masalah dari bab yang berbeda-beda. Sedangkan perbedaannya ialah terletak pada

5
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 27.
6
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm. 28.

x
kandungannya, kalua qawaid fiqhiyyah mengandung hukum fiqih yang dapat
diaflikasikan pada furu’nya, sedangkan Nadhariyyat fiqhiyyah tidak mengandung
hukum fiqih seperti nadhariyyat al-milki (kaidah-kaidah kepemilikian),
nadhariyyat al-Buthlan (kaidah-kaidah pembatalan), dan nadhariyyat al-faskh
(kaidah-kaidah faskh). Kemudian ia juga menyatakan bahwasanya qaidah tidak
mencakup syarat dan rukun sedang nadhariyyat fiqhiyyah mengharuskan
mencakup syarat dan rukun.

Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ nadhariyyat ialah undang-undang dan


pemahaman-pemahaman besar (teori-teori umum) yang membentuk sebuah
system yang bersifat undang-undang, tematik, dan menyebar dalam fiqih islam,
dengan menggunakan pola tertentu yang mana undang-undang tersebut
menghukumi seluruh unsur system setiap perkara yang berkaitan dengan cabang
hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya.

Dari penjelasan daiatas dapat diketahui bahwa qawaid fiqhiyyah berbed


denga nadhariyyat fiqhiyyah. Cakupan qawaid fiqhiyyah lebih sempit daripada
cakupan nadhriyyat fiqhiyyah. Nadhariyyat fiqhiyyah merupakan teori umum
tentang fiqhih sedangkan qawiad fiqhiyyah merupakan unsur yang ada pada teori
tersebut. Misalnya teori umum tentang adat atau tradisi, amaka didalamnya ada
qawaid fiqhiyyah seperti al-‘adah muhakkamah (adat dapat dipertimbangkan
sebagai hukum) dan al-tsabit bi al-ma’ruf ka al-tsabit bi al-nash (sesuatu yang
ditetapkan atas dasar ‘urf, identic dengan sesuatu yang ditetpkan melalui nash).

E. Perbedaan Qawid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyyah.

Syihabuddi al-Qarafi (w.684) orang yang pertama antara dua masalah ini,
ia menyatakan “syari’at Muhammad mencakup ushul dan furu’. Ushulnya itu
terbagi menjadi dua, yaitu ushul fiqih dan qawaid fiqhiyyah kulliyyah. Secara
umum, ushuhl fiqih mengkaji kaidah-kaidh hukum yang timbul dari lafadz, seperti
amar menunjukkan wajib, nahyi menunjukkan haram, bentuk-bentuk umum (am
dan khas) serta nasakh dan Mansukh. Kaidah-kaidah fiqhiyyah kulliyyah, yaitu
kaidh-kaidah yang bernilai tinggi dan banyak jumlahnya, mencakup rahasia-
rahasia hukum syara’ dan hikmah-hikmahnya, serta mencakup cabang-cabang

xi
hukum yang tak terhingga. Kaidah-kaidah ini tidak disebutkan dalam ushul fiqih,
tetapi hanya disinyalkan secara global.7

Menurut Ibnu Taimiyyah (w.728 H) menyatakan bahwa ushul fiqih dan


qawaid fiqhiyyah itu berbeda, karea ushul fiqih mencakum dalil-dalil umum
sedangkan qawaid fiqhiyyah mencakup hukum-hukum umum.

Ali Ahmad al-Nadhawi membedakan qawaid fiqhiyyah dengan qawaid


ushuliyyah sebagai berikut:

1. Ilmu ushul fiqih merupakan parameter cara beristimbath hukum yang


benar. Qawaid ushuliyyah adalah jembatan penghubung antara dalil
dengan hukum. Tugas dari qawaid ushuliyyah ialah mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil yang terperinci. Qawaid fiqhiyyah qadliyah aktsariyyah
atau kulliyyah (mayoritas) yang juz’i-juz’imya (parsial-parsialnya)
beberapa masalah fiqih dan ruang lingkupnya perbuatan mukallaf.
2. Qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyyah yang dapat diaplikasikan
pada setiap juz dan ruanglingkupnya. ini berbeda dengan qaidah fiqhiyyah
yang merupakan kaidah aghlabiyyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan
pada sebagian besar juznya, karena ada pengecualiannya.
3. Qawaid ushuliyyah merupakan jalan untuk mengeluarkan hukum syara’
amali. Qawaid fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa
yang memiliki illat yang sama.
4. Qawaid fiqhiyyah lahir setelah furu’, karena qawaid fiqhiyyah bertugas
menghimpun furu’ dan mengoleksi makna-maknanya. Qawiad usuliyyiah
ada sebelum furu’ yang mana akan menjadi bagi seorang faqih dalam
menetapkan hukum.
5. Qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah sebagian ada yang sama.
Persamaannya ialah keduanya sama-sama mempunyai kaidah yang
mencakup berbagai juz (parsial). Perbedaannya ialah qaidah ushul
mencakup macam-macam hukum tafsili yang dapat mengeluarkan hukum
sayra’, sedangkan qaidah fiqhiyyah hanya mencakup hukum-hukum fiqih
saja.
7
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008)
cet-I, hlm.30.

xii
Diantara keistimewaan qawaid fiqhiyyah yang tidak ada pada qawaid usuliyyah :

1. Memelihara dan menghimpun berbagai hukum yang sama. Juga dapat


dijadikan barometer pada hukum yang masuk pada ruanglingkupnya.
2. Mampu menunjukkan hukum-hukum yang sama illatnya.
3. Sebagian besar malah ushul fiqih tidak mengkaji hikmah tasyri’ dan
maksudnya, tetapi mengkaji bagaimana mengeluarkan hukum dari lafadz-
lafadz syari’ dengan menggunakan kaidah yang dapat mengeluarkan furu’
dari lafadz-lafadz syari’ tersebut. Sedangkan qawaid fiqhiyyah mengkaji
maksud-maksud syara’ secara umum maupun khusus juga sebagai alat
pengukur dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia hukum dan hikmah-
hikmahnya.

3. Pembagian Qawa’id Fiqhiyyah

A. Ditinjau Dari Aspek Redaksi Kaidah Fiqh.

1. Kaidah Fiqh Yang Redaksinya Sama Dengan Teks Hadis

Terkadang kita menemui kaidah fiqh yang redaksinya sama dengan hadis
Nabi, sehingga hadis tersebut menjadi kaidah fiqh. tidak heran bila
redaksinya sama, yakni satu sisi sebagai hadis nabi dan satu sisi sebagai
kaidah fiqh. Hadis Nabi tersebut ada yang berkedudukan sebagai qawa’id
‘ammah (kaidah fiqh umum) dan ada yang berkedudukan sebagai qawa’id
khassah (kaidah fiqh khusus). Misalnya :

}‫العجماء جرحها جبار {رواه البخارى‬


Artinya : “Kerusakan yang dilakukan oleh binatang tidak dapat dikenakan
ganti rugi/denda” (H.R. al-Bukhari).

Hadis ini berkedudukan sebagai qawa’id khassah (kaidah fiqh khusus) karena
permasalahannya hanya terkait dengan kerusakan yang dilakukan oleh
binatang.8 Diantara kaidah fiqh yang redaksinya sama dengan Hadis
diantaranya :

8
Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus : Dar al-Qalam,2000) V, h.276

xiii
a. } ‫البينة على المدعى واليمين على من انكر { رواه مسلم والترمدى‬
”Penggugat harus menunjukkan bukti, sedangkan yang menolak
dapat mendapatkan sumpah” (H.R. Muslimah dan al-Tirmizi)

b. } ‫الخراج بالضمان { رواه ابن ماجه وابو داود‬


Artinya : berhak memperoleh hasil, karena harus menanggung
kerugian”

c. }‫ال ضرر والضرار { رواه البخارى‬


Artinya : “Tidak boleh memadlaratkan dan dimadlaratkan” (H.R. al-
Bukhari)

d. ‫ادرؤاالحدود بالشبهات {رواه البخارى‬


Artinya : “Hindari hukuman hudud apabila terjadi
kesyubhatan/kesamaran”9 (H.R. al-Bukhari)

Ahli fiqh membentuk kaidah fiqh berdasarkan hadis ini dengan redaksi :

‫الحدود تسقط بالشبهات او الحدودتدرا بالشبهات‬


(hukuman hudud dapat gugur karena kesyubhatan, atau dapat
ditinggalkan karena kesyubhatan). Kaidah ini didukung oleh
pernyataan‘Umar bin Khattab ‫الي من ان اقيمها بالشبهات الءن اخطئ فى درء الحدود‬
‫بالشبهات احب‬

(kesalahan saya dalam meninggalkan hudud karena adanya kesyubhatan


lebih saya sukai daripada menjalankan hukuman hudud yang didalamnya
ada kesyubhatan). Bila ditelusuri, kebenaran kasus diatas akan terungkap,
yakni meninggalkan hukuman hudud bila terjadi kesyubhatan10.

2. Kaidah Fiqh Yang Digali Dari Petunjuk Al-Qur’an Dan Hadis

9
Al-Asybah Wa Al-Nadhair (al-Suyuti, Semarang: Toha Putra, 1996) ,h.136
10
Jornal hlm 131

xiv
Kaidah fiqh ini terbentuk dari spirit yang terkandung dalam teks atau
redaksi al-Qur’an dan Hadis Nabi. Misalnya :kaidah fiqh ‫دها‬a‫ا ص‬a‫ور بمق‬a‫االم‬11
(setiap perkara tergantung pada maksudnya). Kaidah ini digali dari ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad diantaranya :

‫ع‬aa‫د وق‬aa‫وت فق‬aa‫ومن يخرج من بيته مهاجرا الى هللا ورسوله ثم يدركه الم‬
} 100: 5/‫اجره على هللا { النساء‬
Artinya : “Brang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ketempat yang dimaksud) maka
sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah” (Q.S.an-Nisa’
(5):100).

Hadis nabi

} ‫انما االعمال بالنيات {رواه اصحاب السنة‬


Artinya : “Amal itu tergantung kepada niatnya” (H.R. Ashab al-Sittah)

B. Ditinjau Dari Aspek Ruang Lingkupnya

1. Kaidah Fiqh Inti

Kaidah fiqh inti adalah ‫جلب المص}}}الح و درء المفاسد‬12 (menarik


maslahat dan menolak mafsadat). Kaidah fiqh ini adalah inti dari seluruh
kaidah fiqh yang ada, karena pada dasarnya seluruh kaidah fiqh harus tetap
berpjak pada maslahat dan mafsadat. Kaidah fiqh ini mempunyai cakupan
ruang lingkup paling luas.

2. Kaidah Fiqh Pokok (Al-Qowa’id Al-Khams)

11
Muhammad Yasin al-Fawaid, al-Janiyyah Hasyiyah al-Mawahib al-Sanniyah Syarh al-Faraid al-
Bahiyyah fi Nadhm al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h.103
12
Abu Hamid al-Ghazaly, Al-Musthafa,(Beirut: ihyau al-Turats al-‘Araby, 1997), juz 2,h.139

xv
Kaidah yang dimaksudkan adalah al-qawa’id al-khams yang sangat
popular dikalangan Mazhab Syafi’i dan mazhab lainnya dengan urutan
yang tidak selalu sama. Kaidah tersebut adalah :

 ‫( االءمور بمقاصدها‬setiap perkara tergantung maksudnya)


 ‫( المشقة ةجلب التيسير‬kesulitan dapat menarik kemudahan)
 ‫( اليقين ال ي}}}زال بالشك‬keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh
keraguan)

 ‫( الضرر يزال‬kemadaratan harus dihilangkan)


 ‫( العادة محكمة‬adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbanagan hukum)
3. Kaidah Fiqh Umum (Al-Qowa’id Al-Ammah)

 ‫االجتهاد الينقض باالجتهاد‬ (ijtihad yang lalu tidak batal oleh ijtihad
yang kemudian)

 ‫التابع تابع‬ (pengikut itu hukumnya adalah mengikuti)

 ‫( الت}}ابع يس}}قط بس}}قوط المتب}}وع‬pengikut menjadi gugur dengan


gugurnya yang diikuti)

 ‫ التابع ال يتقدم على المتبوع‬13(pengikut tidak mendahului yang diikuti)


 ‫( يغتف}}}ر فى التواب}}}ع م}}}ا ال يغتف}}}ر فى غيرها‬dimaafkan hal yang
mengikuti dan tidak dimaafkan hal yang tidak mengikuti)

4. Kaidah Fiqh Khusus (Al-Qowa’id Al-Khassah)

‫النكاح اليفسد بفساد الصداق‬ (akad nikah tidak rusak dengan rusaknya
mahar)14

C. Ditinjau Dari Aspek Kesepakatan Ulama

1. Kaidah Fiqh Yang Disepakati Ulama Berbagai Mazhab

13
Muhammad Yasin al-Fadani, al-fawaid al-Janiyyah Hasiyah al-Mawahib al-Sanniyah syarh al-
Faraid al-Bahiyyah fi Nadm al-Qawa’id al-Fiqhiyyah h.382-383
14
Al-Suyuti,al-Asybah wa al-Nadhair, h.505

xvi
Kaidah Fiqh yang masuk dalam kategori adalah kaidah fiqh inti,kaidah
fiqh pokok, mayoritas kaidah fiqh umum kaidah dan sebagian fiqh khusus.

2. Kaidah Fiqh Yang Disepakati Ulama Satu Mazhab.

Misalnya ‫اليجتمعان‬ ‫( االجر والضمان‬sewa dan menanggung resiko tidak


dapat berkumpul). Kaidah fiqh ini disepakati oleh Mazhab Hanafi, namun
tidak disepakati oleh jumhur ulama fiqh.

3. Kaidah Fiqh Yang Tidak Disepakati Ulama Satu Mazhab

Dalam satu mahzab tidak tentu para pengikutnya dapat menyepakati suatu
pendapat. Artinya pada kasus ini para pengikut satu mazhab tertentu tidak
menyepakati kaidah-kaidah fiqh tersebut.

‫المانع الطارئ ه}}ل ه}}و كالمق}}ارن‬ (apakah penghalang yang baru seperti
penghalang yang menyertai?). Misal, menambah air musta’mal dengan air
lain sehingga menjadi banyak. Kaidah fiqh ini tidak disepakati oleh Ulama
Syafi’iyyah. Menurut sebagian ulama, penghalang yang baru seperti
menyertai, sedangkan menurut ulama lain, tidak seperti yang menyertai.
Menurut al-Suyuti yang paling sahih adalah air musta’mal tersebut menjadi
suci dan mensucikan. 15

4. Tujuan, Urgensi, dan kedudukan Qawa’id Fiqhiyyah

Para imam mahzab sangat menjujung tinggi ilmu qawa’id fiqhiyyah ini
yang merupakan salah satu cabang dari ilmu syari’at. Bahkan sebagian ulama’
mengatakan faktor penyebab terbelakangnya fiqh adalah kurangnya perhatian
terhadap qawa’id fiqhiyyah. Adapun tujuan terbentuknya qawa’id fiqhiyyah
diantaranya :

a. Sebagai barometer dalam pengidentifikasian berbagai hukum yang masuk


dalam ruang lingkupnya serta menghimpun permasalahan yang sama
b. Sebagai petunjuk bila terdapat beberapa hukum yang sama illat meskupun
berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan maslahat.

15
Al-suyuti, al-Asybah wa al-Nadhair h.111-112

xvii
c. Mempermudah fuqaha dalam menetapkan hukum amaliyyah mukallaf. Misal,
bagaimana hukum orang yang dipaksa meminum khamar, boleh tidak ?
melalui pendekatan kaidah atau kasus ini dapat dijawab, yaitu boleh
meminum khamar karena terpaksa (madarat)

Selain tujuan dari pembentukan qawa’id fiqhiyyah para ulama juga memberikan
pendapatnya mengenai urgensi (kegunaan) dari qawa’id fiqhiyyah diantaranya

a. Imam al-sarakhsi memaparkan bahwa siapapun yang menghukumi masalah


cabang dengan ashal dan benar-benar memahaminya, maka mudah baginya
untuk menyimpulkan.
b. Menurut Ibnu nujaim (w.970H) sebenarnya qawa’id fiqhiyyah merupakan
ushul fiqh, namun, derajatnya naik ketingkat ijtihad meski dalam berfatwa.
c. Imam al-qarafi (w.680H) berpendapat bahwa kaidah ini memiliki
kepentingan dan manfaat yang besar. Orang yang tekun dalam
mempelajarinya pantas menjadi seorang faqih dan mendapat kemuliaan serta
beberapa rahasia fiqh. Oleh karenanya, orang yang tekum mempelajari akan
diberi kumdahan dalam berfatwa. 16

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

a. Dengan mengetahui kaidah fiqh kita dapat memberi solusi dari berbagai
perbedaan pendapat dikalangan ulama atau setidaknya menguatkan pendapat
yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fiqh.
b. Orang yang menguasai kaidah fiqh disamping kaidah ushul akan memiliki
keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepaada kebenaran,
kebaikan dan keindahan. 17
c. Qawa’id fiqhiyyah berguna dalam penyelesaian berbagai problematika yang
semakin kompleks.
Kedudukan
Ilmu Qawa’id fiqhiyyah ini mempunyai kedudukan sangat penting dalam
sejarah perkembangan hukum islam. Hukum islam yang telah diistinbat kan oleh
ushul fiqh diikat oleh Qawa’id fiqhiyyah agar lebih mudah diisentifikasi dan

16
Ade Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2008) hlm. 39
17
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2006), hlm. 26

xviii
difahami. Para ahli fiqh memandang ilmu ini sangat besar peranannya
dalammembuka cakrawala dan melatih malakah (daya rasa) fiqh. Al-Qarafi
memandang kedudukan ilmu ini sebagai berikut :
a. Ilmu qawa’id fiqhiyyah berkedudukan istimewa dalam deretan keilmuan
islam,karena dapat mengangkat ahli fiqhnya ke posisi yang terhormat dengan
penguasaan dan keterampilan yang ia miliki.
b. Ilmu qawa’id fiqhiyyah dapat menunjukkan keistimewaan dan keagungan
ilmu fiqh.
c. Ilmu qawa’id fiqhiyyah menjadi media yang dapat mempermudah ahli fiqh
dalam berfatwa.
d. Ilmu qawa’id fiqhiyyah membuat fiqh menjadi lebih sistematis yang dapat
mempermudah seseorang dalam mengidentifikasi fiqh yang kompleks.

Demikian halnya dengan Al-Qarafi, al-Suyuti juga memandang penting ilmu


ini karena dapat membuat seseorang mampu melakukan ilhaq dan takhrij
terhadap berbagai masalah fiqh. Dengan ilmu kaidah fiqh ini berbagai persoalan
fiqh yang belum jelas ketentuannya dapat saling dikaitkan dan dikeluarkan
dengan metode menyamakannya dengan problematika fiqh yang lain.

Selain kedua ahli fiqh tersebut adapula Mustafa al-zarqa yang menjelaskan
kedudukan dari kaidah fiqh ini. Menurut beliau “kaidah-kaidah fiqh ini
mengandung prinsip-prinsip yang jelas dan beberapa aturan fiqh yang sifatnya
general. Kaidah-kaidah ini mengikat berbagai cabang hukum yang bersifat
praktis dengan berbagai dlawabit yang menjelaskan bahwa setiap cabang hukum
memiliki satu manat (‘illat) dan segi keterkaitan meski objeknya berbeda. 18

Dari berbagai pernyataan para ahli fiqh diatas dapat kita simpulkan bahwa

a. Kaidah-kaidah fiqh ini mempunyai perkembangan penting untuk


mempermudah pemahaman tentang hukum Islam, dengan menghimpun
berbagai hukum yang bercabang dalam satu kaidah.
b. Pengkajian atas kaidah-kaidah fiqh dapat membantu memlihara dan
mengukat berbagai maslah yang salingbertentangan.

18
Mustafa ahmad al-zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, (Damaskus : Matba’ah Jami’ah, 1983),
cet.ke-7, Juz 2, h.943

xix
c. Kaidah-kaidah fiqh akan mengembangkan malakah (daya rasa) fiqh
seseorang dan membuatnya mampu mentakhrij berbagai hukum fiqh yang tak
terbatas, sesuai kaidah imam mazhabnya.
d. Kaidah-kaidah fiqh akan mempermudah sesorang dalam mengetahui berbagai
cabang hukum dan menghimpunnya dalam satu tema dan mengecualikan
berbagai pengecualian dari masing-masing kaidah.
e. Mengikat hukum yang mempunyai kemaslahatan yang saling berdekatan.
f. Kaidah-kaidah fiqh merupakan titik temu dari beberapa masalah fiqh.19
g. Kaidah fiqh dapat masuk pada kelompok ijtihad model kedua yakni berkaitan
dengan penerapan hukum. 20

5. Hubungan qowa’id fiqhiyyah dengan fiqh, ushul fiqh dan qowa’id


ushuliyyah.
Perkembangan fiqh dan ushul fiqh sama pentingnya dalam
mengungkap relasi antara qawa’id fiqhiyah dengan ushul fiqh, qawa’id
ushuliyyah dan fiqh. Keempat ilmu ini tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Pada dasarnya fiqh itulah yang menjadi pokok pembicaraan
dari qawa’id fiqhiyah, ushul fiqh dan qawa’id ushuliyyah.
Ushul fiqh adalah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dengan
metode istibath (penggalian). Hukum yang digali dari dalil itulah yang
dinamakan fiqh. Produk hukum atau fiqh ini dikeluarkan melalui alat yang
bernama ushul fiqh.
Misalnya hukum wajib shalat dan zakat yang diistinbatkan dari ayat al-
qur’an surat al-baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi

‫واقيمواالصرة واتواالزكاة‬
“tegakkanlah shalat dan keluarkan zakat”
Bagaimana caranya firman Allah ini dapat menetapkan kewajiban shalat
dan zakat ? caranya dengan menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk

19
Ade Dedi Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat
Fuqaha (Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), hlm. 224
20
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hlm 227

xx
mengeluarkan hukum dari sumbernya. Firman Allah ini berbentuk perintah,
dalam ilmu ushul fiqh, asal dari kata perintah adalah wajib selama tidak ada
dalil yang merubah ketentuan tersebut.
Melalui kaidah dan ketentuan ushul fiqh inilah hukum wajib atas shalat dan
zakat dikeluarkan dari Firman Allah tersebut.
Firman Allah tersebut adalah dalil atau sumber hukum, kewajiban dalam hukum
syara’ tersebut adalah fiqh dan ketentuan atau aturan ushul fiqh tersebut adalah
qawa’id ushuliyyah. Dengan demikian qawa’id ushuliyyah adalah sejumlah
ketentuan atau peraturan untuk menggali hukum syara’. Hal itu dapat
digambarkan dengan skema berikut :

Q.S Al-Baqarah (2) ayat 43 = sumber hukum

Kaidah ushul fiqh = ‫= االصل فى االمر للوجوب‬alat istinbat

Kewajiban shalat dan zakat = fiqh

Dengan demikian makin banyaknya hukum fiqh yang diistinbatkan oleh para
ulama membuat banyak hukum fiqh yang harus dihafal. Agar praktis, para ulama
membuat teori atau aturan umum agar mudah diidentifikasi, teori inilah yang
kemudian disebut dengan qawa’id fiqhiyyah. Disamping itu, qawa’id fiqhiyyah.
Dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam menetapkan hukum perbuatan
mukallaf yang terkadang ada kendala.

Misalnya : Seorang Mukallaf diancam akan dibunuh jika ia mengerjakan


shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus ini, mukallaf tersebut boleh menunda
shalat dari waktunya karena adanya madharat yakni jiwanya terancam. Hukum
boleh ini diperoleh melalui pendekatan qawa’id fiqhiyyah yaitu dengan kaidah :
(kemadharatan membolehkan yang dilarang). Inilah perbedaan dari qawa’id
ushuliyyah dengan qawa’id fiqhiyyah. Qawa’id ushuliyyah mengkaji dalil hukum
(Al-Qur’an dan Sunnah) dan hukum syara’, sedangkan qawa’id fiqhiyyah
mengkaji perbuatan mukallaf dan hukum syara’. Gambarannya sebagai berikut

xxi
Kewajiban Shalat tepat waktu = Hukum Syara’

Ancaman Bunuh = Kemadharatan

‫ =الضرورة تبيح المحظورة‬Kaidah Fiqh

Kebolehan Shalat Tidak Tepat Waktu = Hukum Darurat

Demikianlah prosedur penetapan hukum syara’ melalui pendekatan ushul


fiqh dan qawa’id fiqhiyyah. Secara teoritis keempat ilmu tersebut datang
berurutan, namun secara praktis keempatnya dituntut ada secara bersamaan seperti

Nash Al-Qur’an dan Sunnah

Ushul Fiqh (Qawa’id Ushuliyyah)

Hukum Syara’ (Fiqh/Syari’at)

Perbuatan Mukallaf

Qawa’id Fiqhiyyah

xxii
Demikian hubungan anatara fiqh (hukum syara’), ushul fiqh, qawa’id
ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah. Hukum syara’ (fiqh) adalah hukum istinbat
dari nas (al-Qur’an dan Sunnah) melalui pendekatan ushul fiqh yang diantaranya
menggunakan qawa’id ushuliyyah. Hukum Syara’(fiqh) yang telah diistinbat
tersebut diikat oleh qawa’id fiqhiyyah, dengan maksud agar lebih mudah
difahami dan diidentifikasi21 .

6. Sejarah munculnya kaidah fiqhiyyah :


- Factor-faktor pendorong penyusunan Qawaid Fiqhiyyah

Salah satunya dapat ditarik dari pernyataan Muhammad al-Zarqa


(w.1357 H) dalam kitabnya Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah. “ Seandainya
tidak ada Qawaid (Fiqhiyyah), tentu hukum-hukum fiqh akan menjadi
(hukum) furu’ yang berserakan dan kadang-kadang lahiriahnya tampak
bertentangan, tanpa ada ushul (kaidah) yang dapat mengokohkannya
dalam pikiran, menampakkan ‘illat-‘illatnya, menentukan arah-arah
pembentukannya, dan membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan
padanya.”

Imam al-Qarafi (w.680 H) dalam kitabnya al-furuq. “menyatakan


bahwa siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal juziyah saja,
hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umur
tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya mereka yang memperdalam
fiqh melalui kaidah-kaidah fiqh tidak harus menghapalkan berbagai
macam juz fiqh, karena telah tercakup oleh kulliyah.

Berdasarkan kepada dua pernyataan tersebut di atas , dapat


dikemukakan beberapa factor pendorong penyusunan Qawaid Fiqhiyyah
sebagai berikut :

a. Makin bertambah banyaknya hukum fiqh


b. Factor lain adalah adanya dorongan dari nash (al-Quran dan
Sunnah) untuk membentuk Qawaid Fiqhiyyah.

21
Rohayana, Ilmu-ilmu Qawaid Fiqhiyyah, hlm. 37.

xxiii
c. Secara praktis, pembentukan Qawaid Fiqhiyyah didorong
oleh pengalaman para ulama di lapangan.22
- Masa pembentukan

Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum islam)


merupakan embrio kelahiran Qawaid Fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW
menyampaikan hadits-hadits yang jawami’ ammah (singkat dan padat).
Hadits-hadits tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang
sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian hadits Nabi Muhammad
SAW di samping sebagai sumber hukum, juga sebagai Qawaid
Fiqhiyyah.23

Dengan demikian, peletakan batu pertama pembentukan Qawaid


Fiqhiyyah telah dimulai sejak tiga kurun pertama (1, 2, dan 3 H),
meskipun dalam bentuk yang sederhana. Ini karena pada saat itu, Qawaid
Fiqhiyyah belum begitu perlu dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu
tersendiri.

Kaidah yang dibentuk pada kurun ke-1,2 dan 3 H mempunyai


pengaruh yang kuat terhadap kitab-kitab fiqh sesudahnya. Kaidah tersebut
kadang-kadang dijadikan sebagai penjelasan/syarah hadits Nabi
Muhammad SAW.24

- Masa perkembangan dan pembukuan

Qawaid Fiqhiyyah menjadi salah satu disiplin ilmu tersendiri pada


abad IV H, dan dimatangkan pada abad-abad sesudahnya. Perjalanan
sejarah menunjukkan bahwa fuqaha Hanafiah menjadi orang pertama yang
mengkaji Qawaid Fiqhiyyah. Pengumpulan Qawaid Fiqhiyyah dalam

22
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 41-43
23
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 48
24
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), hlm. 56

xxiv
madzhab Hanafi dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al-Dabbas al-
Hanafi, seorang ulama yang hidup pada abad III dan IV H.

Qawaid Fiqhiyyah yang dikumpulkan oleh Abu Thahir al-Dabbas


tidak mudah untuk diidentifikasi, kecuali beberapa kaidah dasar yang
popular tersebut. Pada abad V H. Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H) telah
melakukan kajian ilmiah tentang Qawaid Fiqhiyyah, dan
menggabungkannya dengan kaidah al-Kharki (w. 340 H). kajian al-
Dabbusi ini dapat dilihat dalam karya besarnya Ta’sis al-Nadhar. Dengan
demikian, abad IV H dapat dikatakan sebagai abad atau fase
perkembangan dan pengkodifikasian kaidah fiqhiyyah. Abad IV H
merupakan awal penyusunan kitab-kitab kaidah, sehingga dapat dianggap
sebagai awal kelahiran pengkodifikasian ilmu kaidah.

Pada abad V H tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji


masalah Qawaid Fiqhiyyah selain kitab Ta’sis al-Nadhar karya al-
Dabbusi. Begitu juga abad ke VI H. hal ini tidak berarti bahwa pada dua
abad ini kreatifitas para ulama terputus dalam mengkaji ilmu Qawaid
Fiqhiyyah, tetapi kemungkinan perjalanan sejarah tidak dapat melacaknya.

Pada abad VII H, ilmu Qawaid Fiqhiyyah berkembang pesat


meskipun belum mencapai puncaknya. Pada abad VIII H, mengalami
masa keemasan, ditandai dengan banyak munculnya kitab-kitab Qawaid
Fiqhiyyah. Dalam hal ini, ulama Syafiiyah termasuk yang paling kreatif.
Pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya sebelumnya,
dengan demikian ilmu Qawaid Fiqhiyyah berkembang secara berangsur-
angsur.

Pada abad X H, pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah semakin


berkembang. Pada abad XI dan XII H, juga terus semakin berkembang.
Dengan demikian , fase kedua dari ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah fase
perkembangan dan pembukuan (pengkodifikasian). Para ulama yang hidup

xxv
dalam rentangan waktu itu (abad IV-XII H) hamper dapat
menyempurnakan ilmu Qawaid Fiqhiyyah.25

- Masa kematangan dan penyempurnaan

Pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika


disusun Majallat al-Ahkam al-Adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada
masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada
akhir abad XIII H (1292 H). majallat al-Ahkam al Adliyyah ini menjadi
rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.

7. Buku-Buku Sumber Kaidah Empat Madzhab


i. Kitab-kitab Kaidah Fiqh Madzhab Hanafi
 Ushul al-Karkhi (260-340 H) yang lebih dikenal dengan
Abu Hasan al-Karkhi yang didalamnya memuat 37 kaidah
fiqh.26 Kitab ushul al-Karkhi dianggap sebagai karya tulis
pertama dalam ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Penyusun kitab
memulai setiap kaidah dengan kata ‫ األصل‬diantara kaidah
yang ada dalam kitab ini adalah sebagai berikut

: ‫من‬ ‫األصل أن من ساعده الظاهر فالقول قوله والبينة على‬


‫يدعى خالف الظاهر‬ ( yang menjadi kaidah, orang yang
dibantu oleh indicator lahir maka pengakuan yang diterima
adalah pengakuannya, sedangkan bukti bagi orang uang
menggugat).27
 Ta’sis al-Nadhar, karangan Abu Zaid al-Dabusi (w.430 H).
didalam kitab tersebut dicantumkan 86 kaidah fiqh.28 Objek
kajian kitab ini adalah rahasia timbulnya perbedaan
pendapat dikalangan fuqaha. Dengan demikian, ia dianggap

25
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008),hlm. 59-64
26
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh. Cetakan pertama. Jakarta. Hal 19
27
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 68
28
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 19

xxvi
sebagai kitab fiqh perbandingan (muwazan), sebelum
kemudian menjadi kitab Qawaid Fiqhiyyah. Contoh kaidah
adalah sebagai berikut

: ‫األصل عند أبى حنيفة أن الش}يئ إدا غلب علي}ه وج}وده‬


‫( يجع}}}ل ك}}}ا لموج}}}ود حقيق}}}ة وإن لم يوجد‬menurut Abu
Hanifah (w.150 H), yang menjadi kaidah, apabila sesuatu
didominasi oleh wujudnya, makai a dianggap sebagai suatu
yang benar-benar maujud (ada) meskipun sebenarnya tidak
ada).29
 Al-Asybah wa al-Nadhair karya Ibnu Nujaim (w.970 H).
terkenal dengan nama Ibnu Nuzaim al-Hanafi al- Mishri,
terdapat 25 kaidah. Ke-25 kaidah tersebut dibagi dalam dua
pembahasan

o Kaidah pokok ‫صدها‬ ‫اآلمور بمقا‬


o Kaidah furu’ ‫إلجتهاد‬ ‫اآل جتهاد ال ينقض با‬.30
 Majami’ al-Haqaiq, karangan Abi Said al-Khadimi seorang
fakih madzhab Hanafi yang memuat 154 kaidah. Kaidah-
kaidah fiqhnya disusun berdasarkan abjad huruf hijaiyah.

Contohnya ‫( التابع ال يف}}رد ب}}ا لحكم‬sesuatu yang menjadi


pengikut tidak dapat menyendiri dalam hukum).31
 Majalah al-Ahkam al-Adliyah, yang disusun oleh ulama-
ulama terkemuka Turki Ustmani, yang diketahui oleh
Ahmad Udat Basya, seorang ulama ahli hukum islam
terkenal yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri
kehakiman kekhalifahan Turki Ustmani. Ada 99 kaidah di
bidang fiqh muamalah dengan 1851 pasal.32
29
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal. 71
30
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), 74
31
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008),. 77
32
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal. 80

xxvii
 Al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawaid wa al-Fawaid al-
Fiqhiyyah karya Ibnu Hamzah al-Husaini (w.1305 H)
 Qawaid al-Fiqh karya al-Mujadidi
ii. Kitab-kitab Kaidah Fiqh Madzhab Maliki
 Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Imam Malik,
karangan Ibnu Haris al-Husyni (w.361 H) meskipun dalam
kitab ini lebih banyak dhabit daripada kaidah fiqh.33
 Al-Furu’, karangan al-Qurafi (w.684 H). ada kurang lebih

548 kaidah. Contoh ‫الوس}}اءل تتب}}ع المقاص}}د فى أحكامها‬


(hukum sesuatu yang menjadi wasilah/perantara mengikuti
tujuannya).34
 Al-Qawaid karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H), memuat
kurang lebih 100 kaidah. Contoh

‫مراع}}}اة المقاص}}}د مقدم}}}ة على رعاي}}}ة الوس}}}اءل أب}}}دا‬


(pemeliharaan lebih diutamakan daripada pemeliharaan
terhadap wasilah/perantara).35
 Idhah al-Masalik ila Qawaid al-Imam Malik karya al-
Winsyarisi (w.914 H). mengandung 118 kaidah. 36
 Al-Is’af bi al-Thalab Mukhtasyar Syarh al-Manhaj al-
Munkhatab ‘Ala Qawaid al-Madzhab karya al-Tawani.

Contoh ‫الخالف‬ ‫( مراعة‬memelihara perbedaan pendapat).37


iii. Kitab-kitab Kaidah Fiqh Madzhab al-Syafi’i
 Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, karangan Izzuddin
bin Abd al-Salam (577-660 H) yang digelari dengan Sultan
al-Ulama. Kitab ini mengembalikan seluruh kaidah kepada
jalb al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid (maraih maslahat dan

33
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 20
34
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 84
35
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), 85
36
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 20
37
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 89

xxviii
menolak mafsadah). Hukum mubah, sunnah dan wajib
adalah maslahat sedangkanmakruh dan haram hukumnya
mafsadah.
 Al-Asybah wa al-Nadhir (w. 716 H), karangan Ibnu al-
Wakil,nama lengkapnya Abdullah bin al-Murahili.
 Al-majmu al-Mudzhab fi Qawaid al-Mazhab, karangan
Abu Sa’id al-Ala’I (w. 761 H), sering pula disebut
Shalahuddin.
 Al-Asybah wa al-Nadhair, karangan Taj al-Din Ibnu al-
Subki (w. 771 H). yang menarik dari kitab ini antara lain :
kaidah disusun dengan menyebut kaidah-kaidah pokok,
kemudian disusul dengan kaidah fiqih yang penting dan
disebutnya dengan al-Qawaid al-Ammah, karena tidak
hanya berlaku pada bab-bab tertentu. Kemudian disusul
dengan al-Dhawabit al-Fiqhiyyah yang disebutnya dengan
al Qawaid al-Khashah, kemudian membahas sebagian
masalah-masalah fiqh yang dicakup oleh kaidah-kaidah
tadi.
 Al-Mansur fi tartib al-Qawaid al-Fiqhiyyah atau al-Qawaid
al-Furu’, karangan al-Zarkasyi (w.794 H)
 Al-Asybah wa al-Nadhair, karangan Imam al-Suyuti (w.
911 H)
 Al-Istigna fi al-Farqi wa al-Iatitsna, karangan Badrudin al-
Bakri.38
iv. Kitab-kitab Kaidah Fiqh Madzhab Hanbali
 Al-Qawaid al-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu
Taimiyah (661-728 H).
 Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu Qadhi al-Jabal (w.
771 H).
 Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, karangan Ibnu
Rajab al-Rahman bin Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad

38
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal. 21

xxix
Rajab.
 Al-Qawaid al-Kulliyat wa al-Dhawabith al-Fiqhiyyah,
karangan Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).39
 Qawaid Majallah al-Ahkam al-Syariyyah ‘Ala Mazhab al-
Imam Ahmad bin Hanbal karya Ahmad bin Abdullah al-
Qari al-Hanafi (1309-1359 H).40

Daftar Pustaka

1. Djazuli, Ahmad. kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I


2. Rohayana, Ade Dedi, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap
Perbedaan Pendapat Fuqaha, Disertasi, 1929 H/2008 M
3. al-Nadawi, Ali Ahmad, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus : Dar al-
Qalam,2000) V
4. al-Fadani, Muhammad Yasin, al-fawaid al-Janiyyah Hasiyah al-Mawahib
al-Sanniyah syarh al-Faraid al-Bahiyyah fi Nadm al-Qawa’id al-
Fiqhiyyah
5. al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadhair (Semarang: Toha Putra, 1996)

39
Prof. H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih,(Jakarta: Kencana, 2006), cet-I, Hal 22
40
Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Fuqaha
(Jakarta : UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2008), Hal 105

xxx
6. Ahmad, Mustafa al-zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, (Damaskus :
Matba’ah Jami’ah, 1983), cet.ke-7, Juz 2

xxxi

Anda mungkin juga menyukai