Anda di halaman 1dari 25

RESUME USHUL FIQH LANJUTAN

DISUSUN OLEH :

NAMA : Rini Agustiani (1730103167)

JINAYAH 5 (LIMA)

MATA KULIAH: USHUL FIQH LANJUTAN

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN AKADEMIK 2018/2019

0
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat taufik dan hidayah – Nya sehingga Penulisan RESUME ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan RESUME ini, itu dikarenakan
kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari
Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan
pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.

Penulis, 13 November 2018

                                                                              
Rini Agustiani

1
Tujuan masalah

1. untuk mengetahui qowaid al fiqhiya?

2.Untuk mengetahui perbedaan qowaid fiqihiyah dan ussuhliya?

3. untuk mengetahui furu?

Rumusan maslah

1. apa itu qowaid al fiqhiya?

2. apa perbedaan qowaid fiqihiyah dan ussuhliya?

3. apa itu furu?

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar...........................................................................................................1

Daftar Isi..................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 3

A. Latar belakang....................................................................................................... 3

B. Tujuan ...................................................................................................................4

C. Rumusan Masalah.................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................5

A. pengertian qowaid al fiqhiya………………..……………………………..……..5

B. penertian qowaidh ushuliyah..................................................................................5

C.  kaidah fur’u...............................................................................……………….................…………7

D.. KAIDAH FURU YANG DISEPAKATI...............................................................8

E. NERAPAN KAIDAH FIQH DALAM KASUS KONTEMPORER ..........................9


BAB III PENUTUP....................................................................................................11

Kesimpulan................................................................................................................11

Daftar Pustaka………………………………………………………….……………12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Allah Maha Adil tidak mengabaikan dan melalaikan hak setiap ahli waris. Bahkan
dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna telah menentukan pembagian setiap ahli waris
dengan adil dan penuh bijaksana.

Perlu diketahui bahwa semua kitab tentang waris yang telah ditulis / disusun oleh para ulama
merupakan penjelasan dari apa yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an yakni penjabaran
kandungan ayat-ayat bagi kita sudah jelas yaitu membagi yang adil.

'Aul dan Radd merupakan bagian dari tata cara pembagian warisan yang merupakan hasil
ijtihad sahabat yaitu sayyidina Umar Ibn Khattab ra dan diteruskan oleh para Imam Mujtahid
kemudian para ulama yang dijadikan sebagai pedoman dalam pembagian warisan.

'Aul dan Radd ini juga termuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan salah satu
bahan rujukan dalam pemecahan masalah kewarisan di Indonesia (Pengadilan Agama)
merupakan hasil dari kesepakatan / masukan para Ulama yang bersumber dari kitab-kitan
sumber hukum lainnya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah

Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah
bermakna asas, dasar, atau fondasi,1 baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak,
seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya
dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di
dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26.

B. Pengertian Qaidah Ushuliyyah

Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh.
Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi
ataupun bukan”.

Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :

a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl
dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.

b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW :
”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.

c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat
dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.

Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari
perkataan tersebut.

d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak
ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap

1
http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/qawaid-fiqhiyyah-dan-qawaid-ushuliyyah.html

5
mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut
harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya
dianggap tetap.

e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu
Hamid Al-Ghazali)

A. Urgensi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya al-qawā’id al-fiqhiyyah merupakan suatu


disiplin ilmu yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pengembangan wacana
intelektual yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman, hal tersebut dapat dirasakan oleh
orang-orang yang menggelutinya, di dalamnya terdapat sejumlah kaidah atau konsep, baik
berupa konsep pokok atau asasi maupun konsep-konsep cabang yang merupakan hasil
penjabaran dari konsep asasi tersebut, yang pada aplikasinya semua konsep itu dapat
digunakan dalam memberikan interpretasi dalam berbagai wacana fiqh konservatif maupun
kontemporer.

Al-qawā’id al-fiqhiyyah dikategorikan sebagai dalīl syar’ī yang memungkinkan


adanya istinbāţ hukum-hukum darinya apabila bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah,
sehingga ber-ḥujjah dengannya merupakan cerminan hujjah dari sumber pengambilannya
(al-Qur’ān dan Sunnah). Misalnya kaidah yang berbunyi: al-masyaqqatu tajlibu al-taisīra,
sumber kaidah ini adalah firman Allah SWT dalam QS. al-Ḥajj (22):78): ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي‬
ٍ ‫ َر‬aa‫ ِّدي ِْن ِم ْن َح‬aa‫“ ال‬Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
‫ج‬
kesempitan”.2 Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh para fuqahā’ berdasarkan hasil
istiqrā’ mereka terhadap berbagai permasalahan fiqh yang serupa, maka dalam hal ini, para
ulamā’ berbeda pendapat mengenai ber-ḥujjah dengan kaidah-kaidah fiqh tersebut. Di antara
mereka ada yang tidak menerima kaidah-kaidah tersebut sebagai dasar dalam istinbāţ hukum,
namun dapat dijadikan sebagai penguat (syāhid) terhadap dalīl syar’ī, sebagaimana perdapat

2
bdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah, (t. Cet;
‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999), hAL. 25.

6
dari Ibnu Farḥūn. Namun sebagian ulamā yang lain berpendapat mengenai kebolehan ber-
hujjah dengan kaidah-kaidah fiqh tersebut, sebagaimana pendapat Imām al-Qarāfī.3[2]
Secara ringkas dapat disebutkan beberapa hal yang merupakan urgensi ilmu al-
qawā’id al-fiqhiyyah, di anataranya adalah:
1.      Dengan kaidah-kaidah fiqh,
2.  Seorang faqīh yang dalam memberikan interpretasi senantiasa menggunakan kaidah-kaidah
fiqh,.
3.    Kaidah-kaidah fiqh memudahkan para fuqahā’ untuk mengetahui status hukum yang
terdapat pada berbagai permasalahan,
5.   Kaidah-kaidah fiqh menumbuhkan kemampuan ber-istinbāţ pada seorang peneliti terhadap
wacana-wacana fiqh,

A. Definisi Qawaid Ushuliyah (kaidah-kaidah ushuliyah)

            Secara umum, dalil itu ada dua, yaitu dalil tafshili (terinci) dan dalil ijmali (global).
Yang dimaksud dalil tafshili adalah alquran dan sunnah, sedangkan yang dimaksud dalil
ijmali adalah ushul fiqih. Kemudian dalil syara’ ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan
global (kulli dan mujmal), dan ada yang hanya ditunjukan bagi hokum tertentu dari cabang
hokum tertentu, apabila dalil itu bersifat menyeluruh dan berkaitan dengan sumber dan
hokum, maka itu disebut qawaid ushuliyah.

         Perbedaan Qowaid Ushuliyyah dengan Qowa’id fiqhiyyah


Menurut Ali Ahmad al- Nadawi (1994:68-69) perbedaan kaidah ushul fiqih dengan
kaidah fiqih adalah sebagai berikut:
a.       Kaidah ushul fiqih apabila dikaitkan dengan fiqih merupakan parameter bagi istimbath
hokum secara benar. Kedudukannya seperti ilmu nahwu dalam hal pembicaraan dan
penulisan. Kaidah ushul fiqih merupakan jembatan penghubung antara dalil-dalil dengan
hokum. Kaidah-kaidah ushul fiqih mengeluarkan hokum dari dalil-dalil tafshili dan ruang
lingkupnya selalu dalil dan hokum. Adapun kaidah-kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah
universal atau dominan yang bagian-bagianya adalah beberapamasalah fiqih, dan ruang
lingkupnya selalu perbuatan mukalaf.

7
b.      Kaidah-kaidah ushul fiqih merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan
kepada seluruh bagian dan ruang lingkupnya, sedangkan kaidah-kaidah fiqih tidak.
c.       Kaidah-kaidah ushul merupakan dhari’ah (jalan) dalam mengeluarkan hukum-hukum
syara’yang bersifat praktis,sedangkan kaidah-kaidah fiqih merupakan kumpulan darihukum-
hukum serupa yang mempunyai ‘ilat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai
persoalan dan mempermudah mengidentifikasikannya.
d.      Eksistensi kaidah-kaidah ushul fiqih baik dalam tataran ide maupun kenyataan berada
sebelum lahirnya hokum-hukum fiqih, sedangkan kaidah-kaidah fiqih setelah lahirnya
hokum-hukum fiqih.4
e.       Kaidah-kaidah ushul fiqih adalah kumpulan dalil-dalil fiqih yang dapat mengeluarkan
hokum-hukum syara’, sedangkan kaidah-kaidah fiqih adalah kumpulan hokum-hukum syara’.

2.Signifikansi Qowaid Ushuliyyah


Kaidah-kaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Karena, sumber hokum islam
itu adalah wahyu yang berupa bahasa, yaitu alquran dan sunnah. Oleh karena itu,  Kaidah
ushuliyyah mempunyai fungsi yang sangat besar dalam memahami bahasa wahyu tersebut,
karena tanpa alat yang akan digunakan untuk memahami wahyu yang berupa bahasa itu akan
kesulitan dalam memahami maksud yang dikandung oleh ayat alquran dan sunnah Nabi
Muhammad.
Dengan demikian, kaidah-kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat atau metode dalam
menggali ketentuan-ketentuan hokum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu  dan
mengeluarkan hokum islam dari sumber-sumbernya.
Menguasai kaidah-kaidah ushuliyyah dapat mempermudah seorang ahli fiqih dalam
mengetahui dan mengistinbath hokum allah dari sumber-sumbernya, yaitu alquran dan
sunnah.

A. METODE PEMBENTUKAN DALAM CONTOH KASUS

Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

4
https://dibilikkamar.blogspot.com/2017/01/kaidah-qawaid-ushuliyah.html

8
‫يب لَهُ َم ْن يَ ْسَألُنِى‬َ ‫اآلخ ُر يَقُو ُل َم ْن يَ ْدعُونِى فََأ ْست َِج‬
ِ ‫ث اللَّ ْي ِل‬
ُ ُ‫ك َوتَ َعالَى ُك َّل لَ ْيلَ ٍة ِإلَى ال َّس َما ِء ال ُّد ْنيَا ِحينَ يَ ْبقَى ثُل‬
َ ‫يَ ْن ِز ُل َربُّنَا تَبَا َر‬
ُ‫فَُأ ْع ِطيَهُ َم ْن يَ ْستَ ْغفِ ُرنِى فََأ ْغفِ َر لَه‬

“Rabb kita tabaroka wa ta’ala setiap malamnya turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga
malam terakhir. Rabb mengatakan, “Barangsiapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku
kabulkan. Barangsiapa meminta padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa meminta
ampun padaKu, Aku akan mengampuninya”.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)

Sebagian orang menanyakan, “Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia? Ini berarti
‘Arsy-Nya kosong. ” Atau mungkin ada yang menyatakan, “Kalau begitu Allah akan terus
turun ke langit dunia karena jika di daerah A adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi
yang lain beberapa saat akan mengalami sepertiga malam juga. Ini akan berlangsung terus
menerus.” Inilah akal-akalan yang muncul dari sebagian orang. Jawabannya sebenarnya
cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini, kita harus bersikap pasrah, tunduk dan menerima
dalil. Tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan
tugas kita adalah menerima secara lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu
mungkin saja logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama
sekali logika kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja kita kurang sempurna
dalam memahaminya. Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita
katakan, “Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula
para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran mengenai hal ini. Jadi,
dalam masalah menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak
angkat bicara. Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit
dunia), namun mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a’lam (Allah yang lebih
mengetahui).” Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat,
sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula. Mungkin yang kita
bayangkan tadi: “Bagaimana Allah bisa turun ke langit dunia? Berarti ‘Arsy-Nya kosong”;
yang kita bayangkan sebenarnya adalah keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah
bahwa Allah itu jauh berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan. 5

Allah Ta’ala berfirman,


5
: https://rumaysho.com/345-contoh-kasus-akal-dianggap-bertentangan-dengan-dalil-syari.html

9
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11).

Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka ini belum tentu tidak bisa terjadi pada
Allah yang Maha Besar.

A. Kaidah Asasiyyah

‫ﺍﻷ ُ ُﻣﻮ ُﺮ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ‬ 


“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari
panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan
tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk
melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan
suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut
bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau
kebiasaan
.

[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika

hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
[5] Misalnya seperti, niat
untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka
hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa
dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu di hati, bukan di
lisan, hal itu berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu
thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya. Oleh karena
itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia
lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai
niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau

10
seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama
sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu
adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:
1.    Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2.    Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.    Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunnah.

B. KAIDAH QOWAID USHULIYAH

Qawaid Fiqhiyah, fiqh, ushul fiqh dan qawaid fiqhiyah tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih,
karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih.
Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara
tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid usuliyah
tersebut adalah fiqih.
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
‫معرفة دال ئل الفقه اجماال وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد‬
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan
(syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :

1. Dalil (sum‫ال‬er hukum)


2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan
sumbernya.

Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum
dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian
hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang
digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih
adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari

11
dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.6
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-
Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
.......  ‫واقيموا الصالة وءاتواالزكوة‬

“dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ..

6
Qawaid Fiqhiyah, fiqh, ushul fiqh dan qawaid fiqhiyah tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih,
karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih.

Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara
tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid usuliyah
tersebut adalah fiqih.
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
‫معرفة دال ئل الفقه اجماال وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد‬
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan
(syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :

1. Dalil (sum‫ال‬er hukum)

2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.

3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan


sumbernya.

Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum
dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian
hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang
digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih
adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari
dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
12
1. 'Aul menurut bahasa mempunyai arti berbuat dzalim dan menyimpang, tambahan dan naik.
Menurut istilah ialah lebih besarnya jumlah yang harus dibagikan dalam perhitungannya.

2. Radd menurut bahasa adalah penolakan atau penyerahan, menurut istilah ilmu faraidh:
penolakan kepada Dzawil furudh yaitu harta yang masih lebih sesudah mereka
mengambil bagiannya masing-masing (furudnya masing-masing)

A. KAIDAH FURU YANG DISEPAKATI

SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN KAIDAH-KAIDAH USHUL

Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal
(prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci
kita jelaskan dibawah ini.

Pertama: Al Qur’an.

Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW,
untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang
mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang
bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari
segalah penyakitnya. Allah berfirman :

“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)

Dan firman Allah:

Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-
Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
.......  ‫واقيموا الصالة وءاتواالزكوة‬

“dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”

13
“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An
Nahl: 89)

Ini adalah kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang tahu itu, maka tidak perlu di
perpanjang di sini.

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari Al Qur’an adalah:

1. Sunnah adalah sumber hukum yang di akui, dengan dalil

‫ إن هو إال وحي يوحي‬ ‫وما ينطق عن الهوي‬

2. Al Qur’an bisa difahami dari uslub-uslub bahasa arab, dengan dalil

‫إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون‬

3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai hukum pada permasalahan yang tidak memiliki dalil,
dengan dalil

‫حذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين‬

Kedua: As Sunnah

Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan mengutusnya


sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-
pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi
dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih
rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak
lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144).

Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah
tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh
rasulullah. Allah berfirman yang artinya:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang

14
(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang
yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)

Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan
salah satu sumber agama islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat:
53,132,144, 172  juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi.
Bahkan didalam surat Al Hasyr Allah berfirman:

“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.“

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari hadits adalah:

1. Perintah yang mutlak hukumnya wajib (‫)األمر المطلق يفيد الوجوب‬


2. Ijma’ merupakah hujjah yang di akui secara syar’I (‫)اإلجماع حجة معتبرة شرعا‬
3. Jika berkumpul perintah dan larangan maka larangan di dahulukan ( ‫إذا اجتمع اآلمر‬
‫)والمحرم قدم المحرم‬
4. Qiyas merupakan hujjah yang di akui secara syar’I (‫)القياس حجة معتبرة شرعا‬

Ketiga: Ijma’

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:

1. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
2. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
3. Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang
sebelumnya”.

Keempat: Akal

Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena kita tidak akan faham
islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika
dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah?
Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa

15
alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita fahami
bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat
taklif dalam islam.

Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak
bisa berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum
Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal
merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.7

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari akal adalah:

1. Al Qur’an merupakan dalil yang di akui.


2. Baik dan buruk hanya di ketahui melalui syar’I bukan akal.
3. Yang lebih kuat didahulukan dari yang lemah.

Kelima: Perkataan Sahabat

Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah


adalah:

1. Hadits-hadits Ahad zonniyah


2. Qiyas adalah hujjah
3. Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
4. Orang awam boleh taqlid
5. Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’

A. Kaidah yang Tidak Disepakati: Kaidah Ke-1 Sampai Kaidah Ke-10


1.      Kaidah Pertama
َ ‫ض ْه ٌر َم ْقصُوْ َرةٌ َأ ْم‬
‫صاَل ةُ ُم ْستَقِلَّةُ؟‬ ُ ُ‫اَ ْل ُج ْم َعة‬
“Shalat Jum’at itu merupakan shalat Dzuhur yang diringkas, ataukah shalat tersendiri?”.
Pendapat pertama : Shalat Jum’at merupakan shalat Dzuhur yang diringkas.
Pendapat kedua : Shalat Jum’at merupakan shalat tersendiri.
Contoh persoalan:

7
Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-
Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun.HLN 77-78

16
Dapatkah shalat Jum’at dijama’ dengan shalat Ashar? Menurut pendapat pertama
yaitu boleh. Sedangkan pendapat kedua yaitu tidak memperbolehkan.
2.      Kaidah Kedua
‫صاَل ةُ َج َما َع ٍة َأوْ اِ ْف َرا ٍد؟‬ ِّ ‫ث ْال َمجْ هُوْ ِل ْال َحا ِل ِإ َذا قُ ْلنَا بِال‬
َ ‫ص َّح ِة هَلْ ِه َي‬ ِ ‫صاَل ةُ خ َْلفَ ْال ُمحْ ِد‬
َّ َ‫ال‬
“Shalat di belakang orang yang hadats yang tidak diketahui keadaannya, kalau kita
mengagapnya sah, apakah shalat itu merupakan shalat jama’ah ataukah shalat sendirian?”.
Pendapat pertama : Shalat itu merupakan shalat jama’ah.
Pendapat kedua : Shalat itu dihitung sebagaimana shalat sendirian.
3.      Kaidah Ketiga
‫صالَ تُهُ نَ ْفالً َأوْ تَ ْبطُلُ؟‬ ُ ْ‫ض َأوْ َأ ْثنَا ِئ ِه بَطَ َل فَر‬
َ ‫ضهُ َوهَلْ ِه َى تَ ْب‬
َ ‫ق‬ ٍ ْ‫ض ُدوْ نَ النَّ ْف ِل فِ ْى َأ َّو ِل فَر‬
َ ْ‫َم ْن َأتَى بِ َمايُنَا فِى ْالفَر‬
“Orang yang melakukan hal-hal yang meniadakan fardlu bukan sunnah (seperti
meninggalkan syarat atau rukun), baik pada permulaan fardlu atau di tengahnya, maka
batallah fardlunya, tetapi apakah kemudian shalatnya menjadi sunnah ataukah batal sama
sekali?”.

4.      Kaidah Keempat


‫ب َأ ِو ْال َجا ِئ ِز؟ اَلنَّ ْذ ُر‬ ِ ‫ك بِ ِه َم ْسلَكَ ْال َو‬
ِ ‫اج‬ ُ َ‫هَلْ يُ ْسل‬
“Nadzar itu apakah berlaku sebagaimana wajib, ataukah jaiz?”.
5.      Kaidah Kelima
) ‫صيَ ِغ ْال ُعقُوْ ِد َأوْ بِ َم َعا نِ ْيهَا ( قو الن‬
ِ ِ‫هَ ِل ْال ِع ْب َرةُ ب‬
“Apakah yang dihitung itu shighotnya aqad atau ma’nanya“. (ada dua pendapat).
Terdapat dua pendapat yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa yang dihitung itu
hanya shighatnya saja bukan maknanya. Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa
yang dihitung adalah maknanya.
.
6.      Kaidah Keenam
ِ ‫ان اَوْ َجانِبٌ ْال َع‬
) ‫اريَة ( قوالن‬ َّ ‫ارةُ لِل َّر ْه ِن هَ ِل ْال ُم َغلَّبُ فِ ْيهَا َجانِبُ ال‬
ِ ‫ض َم‬ َ ‫اَ ْل َعيْنُ ْال ُم ْستَ َع‬
“Barang yang dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan aspek dhoman atau aspek
ariyyah“. (ada dua pendapat).
Terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa
barang yang dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan dhoman. Sedangkan qaul yang
kedua mengatakan bahwa barang yang dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan aspek
ariyyah.

17
7.      Kaidah Ketujuh
) ‫ْال َح َوا لَةٌ هَلْ ِه َي بَ ْي ٌع اَ ِو ا ْستِفَا ٌء ( خال ف‬
“Hawalah itu bernama norma jual beli atau membayar hutang”. (perbedaan pendapat).
Terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa
hawalah sebagai jual beli. Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa hawalah sebagai
hutang.
8.      Kaidah Kedelapan
ٌ ‫اَِإْل َرا ُء ِه َى ِإ ْسقَاطٌ َأوْ تَ ْملِ ْي‬
‫ك‬
“Apakah ibra’ itu menggugurkan atau menjadikan kepemilikan”.
Terdapat dua pendapat yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa ibra’ itu
menggugurkan. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ibra’itu menjadikan
kepemilikan.
pertama bapak tidak boleh rujuk atau mencabut ucapannya. Sedangkan menurut
pendapat yang kedua bapak boleh saja rujuk atas ucapannya.

9.      Kaidah Kesembilan


‫اَِإْل قَالَةُ هَلْ ِه َي فَ ْس ٌخ َأوْ بَ ْي ٌع‬
“Iqolah masuk dalam kategori fasakh atau bai’ (jual beli kembali)“.
Iqolah dan fasakh menurut artinya sama, akan tetapi menurut pandangan fiqih dari segi
penggunaannya fasakh artinya membatalkan persetujuan, sedangkan iqolah artinya
meninggalkan sebuah transaksi.
Terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa itu
berarti fasakh. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa itu berarti bai’.
Jika hal ini berarti fasakh atau merusak akad, maka iqolah boleh. Akan tetapi jika dianggap
sebagai bai’ atau penjualan kembali, maka iqolah tidak boleh karena seorang muslim yang
menjual budak muslim kepada orang kafir itu tidak diperbolehkan.
10.  Kaidah Kesepuluh
َ ْ‫ض َمانَ َع ْق ٍد َأو‬
‫ض َمانَ يَ ٍد‬ ِ ‫ج قَ ْب َل ْالقَب‬
َ ‫ْض َمضْ ُموْ ٌن‬ ِ ْ‫ق ْال ُم َعيَّنُ فِى يَ ِد ال َّزو‬
ُ ‫صدَا‬
َّ ‫ال‬
“Mas kawin mu’ayan yang masih berada ditangan suami belum diserahkan kepada istrinya
apakah disebut madzmun dhoman akad ataukah madzmun yad”.
Terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa
ditanggung dengan dhoman akad. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ditanggung
dengan madzmun yad.

18
A. PENERAPAN KAIDAH FIQH DALAM KASUS KONTEMPORER
Dengan qawa’id fiqhiyyah para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup
bagi umat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat.
Islam memberi kesempatan kepada umatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu
para ulama untuk melakukan ijtihad. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang
dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id
fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id
telah dirumuskan oleh para fuqaha dari kalangan empat madzhab. Bahkan dari 99 qawa’id
dalam al-Majallah, lebih dari 70 qawa’id dapat diinterpretasikan secara langsung sebagai
memiliki implikasi yang bersifat ekonomis, sekalipun tidak dapat lepas dari perspektif yang
lain, seperti social, politik, hukum, dan sebagainya.

Oleh sebab itu untuk membantu umat Islam dalam membahas suatu tema hukum ekonomi
Islam maka mempelajari kaidah fiqhiyyah merupakan suatu keharusan untuk memperoleh
kemudahan mengetahui hukum-hukum kontemporer ekonomi yang tidak memiliki nash
sharîh (dalil pasti) dalam Alquran maupun hadis.

A. MAQASID SYARIAH

1.      Pengertian Maqasid al-Syariah


Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah.
Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah
secara bahasa berarti ‫ المواضع تحدر الى الماء‬yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju
air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.

Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda


berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah, al-maqasid al-
syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqasid min syar’i al-hukm.

Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:


‫وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا‬...‫هذه الشريعة‬8
“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
di akhirat.”

19
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu.
Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah
maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid,
malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid9 pun tidak pernah memberikan
definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara'
di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam
karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang
menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas
mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad
dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu
sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.

A.    Pengertian dinamika dan Elastisitas

Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti, selalu bergerak, berkembang dan
dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan.
sedangkan elastic yaitu (kiasan) tidak tetap, perubahan, separti sebuah benda yang
dapat yang dikembalikan kebentuk semula disebut elastis. Benda-benda yang mempunyai
elastisitas atau sifat elastic seperti karet gelang, pegas dan lain-lain disebut elastic.

B.     Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam Merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata” Islam”. Kedua kata
itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam
Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia.
Secara etimologis, kata hukum berakar pada kata atau huruf ‫م‬ ,‫ك‬ ,‫ح‬ , yang berarti
menolak. Dari sinilah terben-tuk kata ‫الحكم‬ , yang berarti menolak
kelaliman/penganiayaan. Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefenisikan hukum
dengan titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa

9
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet.
Pertama, 1401H/1992M, m.s. 131

20
tuntutan, pilihan, maupun larangan. Sedangkan ulama fikih mengartikannya dengan efek
yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib, haram dan mubagh.
Selain defenisi yang dikemukakan diatas, kata hukum mengandung pengertian yang
begitu luas. Tetapi secara sederhana, hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah
laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku
dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”

21
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah dasar-dasar atau asas-asas yang
berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah
secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih
dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul,
yang tidak jelas hukumnya didalam nash.
Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah
ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah cabang fiqh yaitu Gharar, riba dan Bai Al-Dayn. Jual beli gharar adalah,
semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan pertaruhan, atau perjudian. Bai’ al-Dayn
adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Riba adalah
adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan
ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung.
2007)
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta : Amzah.
Ade Dedi Rohayana,  Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 2008)
Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
2006).
Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-
Islamiyah, Beirut-Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun.HLN 77-78

http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/qawaid-fiqhiyyah-dan-qawaid-ushuliyyah.html

23
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan
zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti ist
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha

Anda mungkin juga menyukai