DISUSUN OLEH :
JINAYAH 5 (LIMA)
0
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat taufik dan hidayah – Nya sehingga Penulisan RESUME ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan RESUME ini, itu dikarenakan
kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari
Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan
pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.
Rini Agustiani
1
Tujuan masalah
Rumusan maslah
2
DAFTAR ISI
Kata pengantar...........................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 3
A. Latar belakang....................................................................................................... 3
B. Tujuan ...................................................................................................................4
C. Rumusan Masalah.................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................5
Kesimpulan................................................................................................................11
Daftar Pustaka………………………………………………………….……………12
3
BAB I
PENDAHULUAN
Allah Maha Adil tidak mengabaikan dan melalaikan hak setiap ahli waris. Bahkan
dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna telah menentukan pembagian setiap ahli waris
dengan adil dan penuh bijaksana.
Perlu diketahui bahwa semua kitab tentang waris yang telah ditulis / disusun oleh para ulama
merupakan penjelasan dari apa yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an yakni penjabaran
kandungan ayat-ayat bagi kita sudah jelas yaitu membagi yang adil.
'Aul dan Radd merupakan bagian dari tata cara pembagian warisan yang merupakan hasil
ijtihad sahabat yaitu sayyidina Umar Ibn Khattab ra dan diteruskan oleh para Imam Mujtahid
kemudian para ulama yang dijadikan sebagai pedoman dalam pembagian warisan.
'Aul dan Radd ini juga termuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan salah satu
bahan rujukan dalam pemecahan masalah kewarisan di Indonesia (Pengadilan Agama)
merupakan hasil dari kesepakatan / masukan para Ulama yang bersumber dari kitab-kitan
sumber hukum lainnya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah
bermakna asas, dasar, atau fondasi,1 baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak,
seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya
dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di
dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26.
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh.
Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi
ataupun bukan”.
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl
dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW :
”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat
dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari
perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak
ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap
1
http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/qawaid-fiqhiyyah-dan-qawaid-ushuliyyah.html
5
mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut
harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya
dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu
Hamid Al-Ghazali)
2
bdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah, (t. Cet;
‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999), hAL. 25.
6
dari Ibnu Farḥūn. Namun sebagian ulamā yang lain berpendapat mengenai kebolehan ber-
hujjah dengan kaidah-kaidah fiqh tersebut, sebagaimana pendapat Imām al-Qarāfī.3[2]
Secara ringkas dapat disebutkan beberapa hal yang merupakan urgensi ilmu al-
qawā’id al-fiqhiyyah, di anataranya adalah:
1. Dengan kaidah-kaidah fiqh,
2. Seorang faqīh yang dalam memberikan interpretasi senantiasa menggunakan kaidah-kaidah
fiqh,.
3. Kaidah-kaidah fiqh memudahkan para fuqahā’ untuk mengetahui status hukum yang
terdapat pada berbagai permasalahan,
5. Kaidah-kaidah fiqh menumbuhkan kemampuan ber-istinbāţ pada seorang peneliti terhadap
wacana-wacana fiqh,
Secara umum, dalil itu ada dua, yaitu dalil tafshili (terinci) dan dalil ijmali (global).
Yang dimaksud dalil tafshili adalah alquran dan sunnah, sedangkan yang dimaksud dalil
ijmali adalah ushul fiqih. Kemudian dalil syara’ ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan
global (kulli dan mujmal), dan ada yang hanya ditunjukan bagi hokum tertentu dari cabang
hokum tertentu, apabila dalil itu bersifat menyeluruh dan berkaitan dengan sumber dan
hokum, maka itu disebut qawaid ushuliyah.
7
b. Kaidah-kaidah ushul fiqih merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan
kepada seluruh bagian dan ruang lingkupnya, sedangkan kaidah-kaidah fiqih tidak.
c. Kaidah-kaidah ushul merupakan dhari’ah (jalan) dalam mengeluarkan hukum-hukum
syara’yang bersifat praktis,sedangkan kaidah-kaidah fiqih merupakan kumpulan darihukum-
hukum serupa yang mempunyai ‘ilat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai
persoalan dan mempermudah mengidentifikasikannya.
d. Eksistensi kaidah-kaidah ushul fiqih baik dalam tataran ide maupun kenyataan berada
sebelum lahirnya hokum-hukum fiqih, sedangkan kaidah-kaidah fiqih setelah lahirnya
hokum-hukum fiqih.4
e. Kaidah-kaidah ushul fiqih adalah kumpulan dalil-dalil fiqih yang dapat mengeluarkan
hokum-hukum syara’, sedangkan kaidah-kaidah fiqih adalah kumpulan hokum-hukum syara’.
Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir.
4
https://dibilikkamar.blogspot.com/2017/01/kaidah-qawaid-ushuliyah.html
8
يب لَهُ َم ْن يَ ْسَألُنِىَ اآلخ ُر يَقُو ُل َم ْن يَ ْدعُونِى فََأ ْست َِج
ِ ث اللَّ ْي ِل
ُ ُك َوتَ َعالَى ُك َّل لَ ْيلَ ٍة ِإلَى ال َّس َما ِء ال ُّد ْنيَا ِحينَ يَ ْبقَى ثُل
َ يَ ْن ِز ُل َربُّنَا تَبَا َر
ُفَُأ ْع ِطيَهُ َم ْن يَ ْستَ ْغفِ ُرنِى فََأ ْغفِ َر لَه
“Rabb kita tabaroka wa ta’ala setiap malamnya turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga
malam terakhir. Rabb mengatakan, “Barangsiapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku
kabulkan. Barangsiapa meminta padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa meminta
ampun padaKu, Aku akan mengampuninya”.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Sebagian orang menanyakan, “Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia? Ini berarti
‘Arsy-Nya kosong. ” Atau mungkin ada yang menyatakan, “Kalau begitu Allah akan terus
turun ke langit dunia karena jika di daerah A adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi
yang lain beberapa saat akan mengalami sepertiga malam juga. Ini akan berlangsung terus
menerus.” Inilah akal-akalan yang muncul dari sebagian orang. Jawabannya sebenarnya
cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini, kita harus bersikap pasrah, tunduk dan menerima
dalil. Tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan
tugas kita adalah menerima secara lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu
mungkin saja logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama
sekali logika kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja kita kurang sempurna
dalam memahaminya. Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita
katakan, “Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula
para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran mengenai hal ini. Jadi,
dalam masalah menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak
angkat bicara. Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit
dunia), namun mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a’lam (Allah yang lebih
mengetahui).” Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat,
sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula. Mungkin yang kita
bayangkan tadi: “Bagaimana Allah bisa turun ke langit dunia? Berarti ‘Arsy-Nya kosong”;
yang kita bayangkan sebenarnya adalah keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah
bahwa Allah itu jauh berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan. 5
9
ِ َْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب
صي ُر َ لَي
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11).
Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka ini belum tentu tidak bisa terjadi pada
Allah yang Maha Besar.
A. Kaidah Asasiyyah
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika
hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
[5] Misalnya seperti, niat
untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka
hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa
dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu di hati, bukan di
lisan, hal itu berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu
thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya. Oleh karena
itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia
lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai
niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau
10
seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama
sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu
adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunnah.
Qawaid Fiqhiyah, fiqh, ushul fiqh dan qawaid fiqhiyah tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih,
karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih.
Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara
tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid usuliyah
tersebut adalah fiqih.
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
معرفة دال ئل الفقه اجماال وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan
(syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum
dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian
hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang
digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih
adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari
11
dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.6
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-
Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
....... واقيموا الصالة وءاتواالزكوة
6
Qawaid Fiqhiyah, fiqh, ushul fiqh dan qawaid fiqhiyah tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih,
karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih.
Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara
tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid usuliyah
tersebut adalah fiqih.
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
معرفة دال ئل الفقه اجماال وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan
(syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum
dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian
hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang
digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih
adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari
dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
12
1. 'Aul menurut bahasa mempunyai arti berbuat dzalim dan menyimpang, tambahan dan naik.
Menurut istilah ialah lebih besarnya jumlah yang harus dibagikan dalam perhitungannya.
2. Radd menurut bahasa adalah penolakan atau penyerahan, menurut istilah ilmu faraidh:
penolakan kepada Dzawil furudh yaitu harta yang masih lebih sesudah mereka
mengambil bagiannya masing-masing (furudnya masing-masing)
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal
(prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci
kita jelaskan dibawah ini.
Pertama: Al Qur’an.
Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW,
untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang
mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang
bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari
segalah penyakitnya. Allah berfirman :
“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-
Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
....... واقيموا الصالة وءاتواالزكوة
13
“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An
Nahl: 89)
Ini adalah kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang tahu itu, maka tidak perlu di
perpanjang di sini.
3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai hukum pada permasalahan yang tidak memiliki dalil,
dengan dalil
Kedua: As Sunnah
Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah
tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh
rasulullah. Allah berfirman yang artinya:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
14
(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang
yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)
Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan
salah satu sumber agama islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat:
53,132,144, 172 juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi.
Bahkan didalam surat Al Hasyr Allah berfirman:
“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.“
Ketiga: Ijma’
1. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
2. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
3. Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang
sebelumnya”.
Keempat: Akal
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena kita tidak akan faham
islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika
dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah?
Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa
15
alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita fahami
bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat
taklif dalam islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak
bisa berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum
Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal
merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.7
7
Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-
Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun.HLN 77-78
16
Dapatkah shalat Jum’at dijama’ dengan shalat Ashar? Menurut pendapat pertama
yaitu boleh. Sedangkan pendapat kedua yaitu tidak memperbolehkan.
2. Kaidah Kedua
صاَل ةُ َج َما َع ٍة َأوْ اِ ْف َرا ٍد؟ ِّ ث ْال َمجْ هُوْ ِل ْال َحا ِل ِإ َذا قُ ْلنَا بِال
َ ص َّح ِة هَلْ ِه َي ِ صاَل ةُ خ َْلفَ ْال ُمحْ ِد
َّ َال
“Shalat di belakang orang yang hadats yang tidak diketahui keadaannya, kalau kita
mengagapnya sah, apakah shalat itu merupakan shalat jama’ah ataukah shalat sendirian?”.
Pendapat pertama : Shalat itu merupakan shalat jama’ah.
Pendapat kedua : Shalat itu dihitung sebagaimana shalat sendirian.
3. Kaidah Ketiga
صالَ تُهُ نَ ْفالً َأوْ تَ ْبطُلُ؟ ُ ْض َأوْ َأ ْثنَا ِئ ِه بَطَ َل فَر
َ ضهُ َوهَلْ ِه َى تَ ْب
َ ق ٍ ْض ُدوْ نَ النَّ ْف ِل فِ ْى َأ َّو ِل فَر
َ َْم ْن َأتَى بِ َمايُنَا فِى ْالفَر
“Orang yang melakukan hal-hal yang meniadakan fardlu bukan sunnah (seperti
meninggalkan syarat atau rukun), baik pada permulaan fardlu atau di tengahnya, maka
batallah fardlunya, tetapi apakah kemudian shalatnya menjadi sunnah ataukah batal sama
sekali?”.
17
7. Kaidah Ketujuh
) ْال َح َوا لَةٌ هَلْ ِه َي بَ ْي ٌع اَ ِو ا ْستِفَا ٌء ( خال ف
“Hawalah itu bernama norma jual beli atau membayar hutang”. (perbedaan pendapat).
Terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa
hawalah sebagai jual beli. Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa hawalah sebagai
hutang.
8. Kaidah Kedelapan
ٌ اَِإْل َرا ُء ِه َى ِإ ْسقَاطٌ َأوْ تَ ْملِ ْي
ك
“Apakah ibra’ itu menggugurkan atau menjadikan kepemilikan”.
Terdapat dua pendapat yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa ibra’ itu
menggugurkan. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ibra’itu menjadikan
kepemilikan.
pertama bapak tidak boleh rujuk atau mencabut ucapannya. Sedangkan menurut
pendapat yang kedua bapak boleh saja rujuk atas ucapannya.
18
A. PENERAPAN KAIDAH FIQH DALAM KASUS KONTEMPORER
Dengan qawa’id fiqhiyyah para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup
bagi umat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat.
Islam memberi kesempatan kepada umatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu
para ulama untuk melakukan ijtihad. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang
dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id
fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id
telah dirumuskan oleh para fuqaha dari kalangan empat madzhab. Bahkan dari 99 qawa’id
dalam al-Majallah, lebih dari 70 qawa’id dapat diinterpretasikan secara langsung sebagai
memiliki implikasi yang bersifat ekonomis, sekalipun tidak dapat lepas dari perspektif yang
lain, seperti social, politik, hukum, dan sebagainya.
Oleh sebab itu untuk membantu umat Islam dalam membahas suatu tema hukum ekonomi
Islam maka mempelajari kaidah fiqhiyyah merupakan suatu keharusan untuk memperoleh
kemudahan mengetahui hukum-hukum kontemporer ekonomi yang tidak memiliki nash
sharîh (dalil pasti) dalam Alquran maupun hadis.
A. MAQASID SYARIAH
19
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu.
Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah
maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid,
malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid9 pun tidak pernah memberikan
definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara'
di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam
karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang
menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas
mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad
dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu
sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti, selalu bergerak, berkembang dan
dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan.
sedangkan elastic yaitu (kiasan) tidak tetap, perubahan, separti sebuah benda yang
dapat yang dikembalikan kebentuk semula disebut elastis. Benda-benda yang mempunyai
elastisitas atau sifat elastic seperti karet gelang, pegas dan lain-lain disebut elastic.
Hukum Islam Merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata” Islam”. Kedua kata
itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam
Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia.
Secara etimologis, kata hukum berakar pada kata atau huruf م ,ك ,ح , yang berarti
menolak. Dari sinilah terben-tuk kata الحكم , yang berarti menolak
kelaliman/penganiayaan. Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefenisikan hukum
dengan titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa
9
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet.
Pertama, 1401H/1992M, m.s. 131
20
tuntutan, pilihan, maupun larangan. Sedangkan ulama fikih mengartikannya dengan efek
yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib, haram dan mubagh.
Selain defenisi yang dikemukakan diatas, kata hukum mengandung pengertian yang
begitu luas. Tetapi secara sederhana, hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah
laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku
dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah dasar-dasar atau asas-asas yang
berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah
secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih
dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul,
yang tidak jelas hukumnya didalam nash.
Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah
ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah cabang fiqh yaitu Gharar, riba dan Bai Al-Dayn. Jual beli gharar adalah,
semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan pertaruhan, atau perjudian. Bai’ al-Dayn
adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Riba adalah
adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan
ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung.
2007)
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta : Amzah.
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 2008)
Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
2006).
Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-
Islamiyah, Beirut-Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun.HLN 77-78
http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/qawaid-fiqhiyyah-dan-qawaid-ushuliyyah.html
23
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan
zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti ist
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha
[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka ha