Nama :
Dina Maulina (220202108)
St Afni Barokah (220202139)
Gina Astari (220202135)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memeberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “ruang lingkup ushul fiqh”.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas dari Ibu Nunung
Musfita, M.S.I. pada mata kuliah Ushul Fiqh 1. Selain itu makalah ini untuk
menambah wawasan mengenai jumlah ismiyah . Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada Ibu Nunung Musfita, M.S.I.
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala urusan
kita. Amin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................II
DAFTAR ISI.............................................................................III
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................1
A. Latar belakang....................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................1
C. Tujuan................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................3
A. Pengertian Ushul Fiqh.......................................................3
B. Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu..............................4
C. Perbedaan Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah.................5
BAB III PENUTUP.....................................................................7
A. Kesimpulan......................................................................7
B. Saran.................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA..................................................................8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup, segala persoalan hukum yang
timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum
dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Quran. Dalam keadaan tertentu yang tidak
ditemukan jawabannya dalam Al-Quran, beliau memberikan jawaban melalui
penetapan beliau yang disebut hadis atau sunnah. Al-Quran dan penjelasannya dalam
bentuk hadis disebut “Sumber pokok hukum islam”.
Al-Quran turun dalam bahasa Arab. Demikian pula hadis yang disampaikan Nabi,
juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang
bahasa Arab itu sebagai ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti dari lafadznya
dan maksud dari setiap ungkapannya. Pengalaman mereka dalam menyertai
kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang
turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengtahui rahasia dari setiap
hukum yang ditetapkan Allah.
Karenanya, mereka tidak merasa memerlukan sesuatu dibalik itu dalam usaha
mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada sebagaimana mereka
tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami Al-Quran dan hadis Nabi yang
berbahasa Arab itu. Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam
kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya mereka mencari jawabnya
dalam al quran. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam al quran,
mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadis Nabi.
Bila dalam hadis Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka
menemukan daya nalar yang dinamakan Ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari
titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah
ditetapkan dalam al quran dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada
usaha “Memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum
syara’.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian Ushul Fiqh?
2. Jelaskan definisi Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu!
1
3. Jelaskan perbedaan Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah!
C. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan
kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum
hukum syara’ yang bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah
ushul serta bahasanya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang
terkandung di dalamnya.
Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan
ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu. Memang dengan
metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara’ dan telah
terjabar secara rinci dalam kitrab kitab fiqh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqh
Kata “Ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata
“fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Kata ini
muncul sebanyak 20 kali dalam al quran dengan arti paham itu, umpamanya dalam
surat al Kahfi (18) : 93 :
َح ٓىّٰت ِاَذ ا َبَلَغ َبَنْي الَّس َّد ْيِن َو َج َد ِم ْن ُد ْو ِهِن َم ا َقْو ًم ۙا اَّل َياَك ُد ْو َن َيْفَقُهْو َن َقْو اًل
“...dia mendapati dihadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak
memahami pembicaraan”.
Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami 2 bahasa pokok dari ilmu
fiqh, yaitu bahasa tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua
tentang dalil-dalil tafsili.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata ashl seacara etimologi berarti
“pondasi”. Secara istilah, ashl mempunyai beberapa arti, diantaranya: Dalil (landasan
hukum), Qa’idah (ketentuan yang bersifat umum yang berlaku sebagai dasar atau
pondasi sesuatu yang ada dalam cakupannya), Rajih (yang terkuat dari beberapa
probabilitas atau kemungkinan), Mustashhab (memberlakukan hukum yang sudah ada
atau yang diyakini selama tidak ada dalil yang mengubahnya ketika terjadi keraguan
dalam satu masalah).
Kalau dihubungkan kata ushul itu dengan fiqh atau disebut juga sumber fiqh. Dari
arti etimologi ini dirumuskanlah definisi dari ushul fiqh itu menjadi ilmu tentang
sumber-sumber hukum islam.
Dalam bentuk yang lebih lengkap dikatakan ilmu tentang sumber hukum syara’
dan cara penunjukannya terhadap hukum syara’. Inilah definisi yang biasa digunakan
ahli ushul masa-masa awal atau al-mutaqaddimun seperti Ibnu Subki dan Al Ghazali.
Abu Husein Al Bashriy dari ahli ushul fiqh ulama kalam muktazilah melihat ushul
fiqh itu bukan dari sumber ushul fiqh tapi dari segi cara mendapatkan fiqh itu.
Oleh karena itu, dia mengartikan ushul fiqh itu dengan thurq al-fiqh yang
diartikannya dengan pemikiran shahih yang membawa kepada fiqh. Pengertian ini
3
diikuti oleh ulama dan penulis ushul fiqh kontenporer yang mengartikan ushul fiqh
dengan metodologi fiqh.
Penulis dan ahli ushul kontenporer seperti Abu Jahrah dan Abdul Wahab khalaf
memandang kajian ushul fiqh itu begitu luas dan tidak hanya terbatas pada sumber-
sumber hukum saja tapi lebih melihat pada hukum syara’ itu sendiri dan cara cara
menghasilkan hukum dari sumber-sumbernya itu. Oleh karena itu, mereka
memberikan definisi yang lebih lengkap dari yang dikemukakan ulama ushul fiqh
mutaqaddimin sebagaimana disebutkan di atas, yaitu ilmu tentang ketentuan atau
kaidah yang membimbing seseorang dalam memahami sumber hukum syara’ dan
mengistinbathkan (mengeluarkan) hukum syara’ dari sumber-sumber yang terperinci.
Atau dalam bentuk sederhana: kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum dari sumbernya.
Umpamanya dalam kitab fiqh ditemukan ungkapan shalat itu hukumnya wajib.
Wajibnya melakukan shalat itu disebut hukum syara’. Tidak ada tersebut dalam
alquran atau sunnah Nabi ungkapan shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam
al quran hanya suruhan untuk melaksanakan shalat yang bunyinya laksanakanlah
shalat.
Ucapan Allah laksanakan shalat itu disebut dalil syara’ untuk merumuskan
wajibnya shalat yang dinamai hukum syara’ itu dari firman Allah laksanakanlah
shalat yang disebut dalil syara’ itu ada aturannya yang dirumuskan dalam bentuk
kaidah-kaidah, yang berbunyi “setiap suruhan itu menimbulkan hukum wajib”.
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menunjukkan cara-cara mengeluarkan
hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ushul fiqh”.
Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dan fiqh.
Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara
cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan
hukum syara’ dari dalilnya ; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah
digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu. 1
4
dapat digunakan menarik kesimpulan hukum syara’ yang parsial dari dalil-dalilnya
yang spesifik”.
Sementara Ali Hasbullah mengemukakan definisi ushul fiqh dengan :
“Sekumpulan kaidah yang digunakan untuk menarik kesimpulan hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan manusia, dari dalil-dalil yang spesifik itu”.2
Sedangkan Al Baidawi mendefinisikan : “Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh
secara umum, dan cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut, serta tentang
hal ihwal mujtahid”.
Apabila ketiga definisi di atas dipadukan, maka dapat diketahui bahwa ushul fiqh
terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut.
1. Ushul fiqh merupakan suatu disiplin ilmu.
2. Ushul fiqh merupakan sekumpulan dalil dan kaidah atau rumusan-rumusan yang
bersifat umum. Karena dalil-dalil dan kaidah tersebut bersifat umum maka ia
tidak secara langsung menunjuk hukum-hukum syara’ secara terperinci.
3. Kaidah-kaidah yang terdapat dalam ushul fiqh berfungsi untuk menarik dan
melahirkan hukum-hukum syara’. Dengan demikian, kaidah-kaidah yang tidak
berfungsi menarik kesimpulan yang melahirkan hukum-hukum syara’, (misalnya
hukum kebiasaan/adat, dan hukum akal/logika) tidak disebut kaidah ushul fiqh.
4. Ditegaskan pula, bahwa hukum-hukum fikih yang dihasilkan itu bersifat
amaliyah (perbuatan manusia (baik aktif/berbuat, maupun pasif/tidak berbuat)).
5. Hukum-hukum fiqh yang disimpulkan dari al quran dan sunnah merupakan hasil
ijtihad.
6. Karena hukum-hukum tersebut tidak secara langsung berasal dari Al quran dan
sunnah, maka tingkat kekuatan hukum-hukum tersebut hanya bersifat zhanni
(relative,kuat dugaan), bukan bersifat qath’i (absolute, pasti benar).3
2
Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyri al-Islami. Misr: Dar al-Ma’rif. 1976, hlm.3
3
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A., Ushul Fiqh, Edisi Pertama cetakan ke 3 (Jakarta : AMZAH, 2014), hal. 7-10
5
hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang sama;
seperti kaidah khiyar, atau kaidah-kaidah fasakh secara umum.4
Menurut T. M. Hasbi ash- Shiddieqy memberikan pengertian kaidah fiqhiyyah
dengan; “ Kaidah fiqhiyyah itu mencakup rahasia-rahasia syara’ dan hikmah-
hikmahnya yang dengannya seluruh furu’ dapat diikat, dan dapat diketahui hukum-
hukumnya serta dapat diselami maksudnya”.5
4
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh Jilid 1. Edisi Pertama (Jakarta, KENCANA, 2008), hal. 42
5
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, C.V. Mulya, Jakarta, 1967, hal. 18.
6
Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan maka tidak boleh
meninggalkan semuanya
Contoh kaidah:
Seorang yang tidak mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu
dengan dirham maka lakukanlah.
Seserang yang tidak mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang studi
(fan) sekaligus, maka tidak boleh meninggalkan keseluruhannya.
Seseorang yang merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak
sepuluh rakaat, maka lakukanlah shalat malam empat rakaat.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, adalah perkataan ulama ahli fiqh:
ما ال يدرك كله ال يترك بعضه
Sesuatu yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka tidak boleh
tinggalkan sebagiannya.
3. الميسور ال يسقط بالمعسور
Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit.
Contoh kaidah:
Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya
membasuh anggota badan yang tersisah ketika bersuci.
Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutup
aurat berdasarkan kemampuannya tersebut.
Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia
wajib membaca sebagian yang ia ketahui tersebut.
Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada
ditempat jauh
(ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada
ditangannya.
Nabi SAW. bersabda :
رواه شيخان.وما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم
Artinya:“Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.”
(HR. Bukhari Muslim)
4. ما حرم فعله حرم طلبه
Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya.
Contoh kaidah:
7
Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan
upah orang-orang yang meratapi kematian orang lain.
8
5. Dengan kaidah ushul serta bahasanya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan
hukum yang terkandung di dalam Al-Quran dan Hadist.6
6
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, M.A., Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana 2005). hlm. 14
9
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”.
Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti “fiqh” dari segi
istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana
disebutkan di atas, yaitu : “ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili. Kata ushul yang merupakan jamak
dari kata ashl secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi lainnya”.
2. Para ulama mengemukakan definisi ushul fiqh secara agak berbeda-beda, sesuai
dengan penekanan makna dan sudut pandang mereka masing-masing.
3. Adapun perbedaan antara “ushul fiqh” dengan “kaidah fiqhiyyah” terletak pada
lingkup bahasannya kaidah fiqhiyyah berada dalam lingkup bahasan fiqh, bukan
dalam lingkup bahasan ushul fiqh. Ushul fiqh menjelaskan ketentuan atau aturan yang
harus diikuti seorang mujtahid untuk menghindari dirinya dari kesalahan dalam
usahanya merumuskan hukum syara’ dari dalilnya. Adapun kaidah fiqhiyyah adalah
kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang
sama ; seperti kaidah khiyar atau kaidah fasakh secara umum.
B. Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh Jilid 1. Edisi Pertama (Jakarta,
KENCANA, 2008)
Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyri al-Islami. Misr: Dar al-Ma’rif. 1976
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A., Ushul Fiqh, Edisi Pertama cetakan ke 3 (Jakarta :
AMZAH, 2014)
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, C.V. Mulya, Jakarta, 1967
11