Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

ILMU FIKIH
“AL - AHKAM”

DOSEN : Dra. Hj. Andi Nirwana, M.HI

DI SUSUN OLEH :
(Kelompok 1)
1. Hairunnisa (30500118021)
2. Herani (30500118032)
3. Wahidin (30500118009)
4. Nur Faizi Hasyim (30500118008)

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT, DAN POLITIK


JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
Tahun Pelajaran : 2018 - 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Gowa, 9 April 2019

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................... i


Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
Bab I ( PENDAHULUAN )
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................... 5
1.3 Tujuan............................................................................................................. 5
1.4 Manfaat........................................................................................................... 5
Bab II ( PEMBAHASAN )
2.1 Al - Qur’an sebagai sumber Hukum Pertama................................................. 6
2.2 As - Sunnah sebagai sumber Hukum kedua................................................... 17
2.3 Ijma’ sebagai sumber Hukum ketiga.............................................................. 24
2.4 Qiyas sebagai sumber Hukum keempat......................................................... 32
2.5 Hukum - hukum dalam konteks Ushul Fiqih................................................. 39
Bab III ( PENUTUP )
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 49
3.2 Kritik dan Saran............................................................................................. 50
3.3 Daftar Pustaka................................................................................................ 51

iii
Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Membahas tentang hukum tentu akan kita temukan banyak sekali hukum-
hukum yang didalamnya mengatur secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan
hukum tersebut. Seperti adanya KUHP yang mengatur tentang hukum pidana.
Dalam keseharian kita sebagai seorang muslim tentunya terdapat hukum-hukum
yang juga mengatur tata cara kita dalam menjalakan suatu amaliyah.

Dalam agama Islam sendiri terdapat beberapa ilmu yang di dalamnya juga
mempunyai aturan-aturan khusus terkait bidang tersebut. Dalam ilmu tajwid
misalnya, hukum-hukumnya adalah mengenai tata cara membaca al-quran. Tak
terkecuali dengan ilmu ushul fiqih.

Bedasarkan hal tersebut pemakalah bermaksud untuk memaparkan maksud


atau arti hukum (al-hakam) dalam konteks ilmu ushul fiqih. Dengan harapan dapat
memberikan pemahaman kepada para pembaca khusunya kepada pemakalah
sendiri untuk memahami arti khusus al-hakam dalam ushul fiqih.

Dalam pembahasan ini akan dipaparkan tentang pengertian al-hakam,


macam-macamnya dan unsur-unsur yang terkandung di dalamya. Semoga dengan
penyajian makalah ini dapat menambah keilmuan kita dengan harapan agar dapat
lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga mendapatkan ilmu yang
manfaat.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Menjelaskan Al - Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama.


2. Menjelaskan As - Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah Al -
Qur’an.
3. Menjelaskan Ijma’ sebagai sumber hukum ketiga.
4. Menjelaskan Qiyas sebagai sumber hukum keempat.
5. Menjelaskan Hukum - hukum dalam konteks Ushul Fiqih.

1.3 Tujuan

1. Agar mampu menjelaskan bahwa Al - Qur’an sebagai sumber hukum


pertama.
2. Agar mampu menjelasakan bahwa As - Sunnah sebagai sumber hukum
kedua setelah Al - Qur’an.
3. Agar mampu menjelaskan bahwa Ijma’ sebagai sumber hukum ketiga.
4. Agar mampu menjelaskan bahwa Qiyas sebagai sumber hukum keempat.
5. Agar mampu menjelaskan apa saja Hukum - hukum dalam konteks Ushul
Fiqih.

1.4 Manfaat

1. Agar dapat mengetahui bahwa Al - Qur’an adalah sumber hukum pertama.


2. Agar dapat mengetahui bahwa As - Sunnah adalah sumber hukum kedua.
3. Agar dapat mengetahui bahwa Ijma’ adalah sumber hukum ketiga.
4. Agar dapat mengetahui bahwa Qiyas adalah sumber hukum keempat.
5. Agar dapat mengetahui apa saja Hukum - hukum dalam konteks Ushul
Fiqih.

5
Bab II

PEMBAHASAN

2.1 Al - Qur’an sebagai sumber Hukum Pertama

Pada dasarnya al-Qur’an adalah sumber setiap ilmu yang lahir dalam sejarah dan
peradaban keilmuan Islam. Bahkan menurut Ali Jum’ah, dengan mengutip Ibn
Muqillah dan Abi Hayyan, ia berkata bahwa diciptakannya ilmu khat (kaligrafi)
juga dimaksudkan untuk ber-khidmah terhadap nash wahyu (al-Qur’an).1 Hal ini
menunjukkan, bahwa al-Qur’an merupakan dasar dari setiap ilmu dalam Islam.

Namun, sebagai objek kajian sering terjadi tumpang tindih pembahasan di antara
ilmu-ilmu keislaman hingga mengaburkan posisi al-Qur’an sebagai sebuah objek
kajian. Padahal secara khusus terdapat satu ilmu yang secara lengkap dan lebih
detail membahas setiap sisi al-Qur’an yaitu ‘Ulum al-Qur’an (Ilmu-ilmu al-
Qur’an).

Nuruddin ‘Itr mendefinisikan ‘Ulum al-Qur’an sebagaimana berikut:2

‫ وإعجازه‬،‫ وتفسيره‬،‫ وكتابته‬،‫ وترتيبه وجمعه‬،‫المباحث الكلية التي تتعلق بالقرآن الكريم من ناحية نزوله‬
‫ وغير ذلك‬،‫وناسخه ومنسوخه‬

Artinya :

“Pembahasan-pembahasan beragam ilmu secara global yang terkait dengan al-


Qur’an seperti dari sisi turunnya, kodifikasinya, tafsirnya, i’jaznya, nasikh
mansukh dan lain-lain”

1
Ali Jum’ah, al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar as-Salam, 1422 H/2001
M), hlm. 10, 19.
2
Nuruddin ‘Itr, Ulum al-Qur’an al-Karim, hlm. 8.

6
Secara umum, al-Qur’an sebagai objek kajian Ushul Fiqih, dimaksudkan sebagai
sumber hukum Islam atau sumber fiqih dan bukan kitab yang mengkompilasi
hukum fiqih. Dan oleh sebab itu setiap pembahasan al-Qur’an dalam ilmu Ushul
Fiqih dimaksudkan untuk membuahkan hukum fiqih. Dalam konteks ini asy-
Syathibi berkata:3

‫ أ َ ْو ََل تَكُونُ ع َْونًا فِي‬،‫ أ َ ْو آدَاب ش َْر ِعيَّة‬،‫علَ ْيهَا فُ ُروع فِ ْق ِهيَّة‬ ُ ‫سأَلَ ٍة َم ْر‬
ُ ُ ‫سو َم ٍة فِي أ‬
َ ‫صو ِل ا ْل ِف ْق ِه ََل يَ ْنبَنِي‬ ْ ‫ُك ُّل َم‬
ُ ُ ‫ضعُهَا فِي أ‬
‫صو ِل ا ْل ِف ْق ِه ع َِاريَة‬ ْ ‫ذَ ِلكَ ؛ فَ َو‬.

Artinya :

“Setiap masalah yang terdapat dalam ilmu Ushul Fiqih, namun tidak
membuahkan fiqih, atau tidak menjadi penyangga keberadan fiqih, maka
meletakkannya sebagai objek Ushul Fiqih terhitung tidak berguna.”

Jika diamati, pada dasarnya pembahasan tentang al-Qur’an dalam Ushul Fiqih
akan terkait dengan tiga pondasi (istimdad) ilmu Ushul Fiqih itu sendiri, yatu: (1)
Ilmu Kalam, (2) Bahasa Arab, dan (3) Fiqih.

Ilmu kalam menjadi pondasi dalam pelegitimasian al-Qur’an (hujjiyyah al-


Qur’an) sebagai sumber hukum Islam. Di mana pertanyaan yang muncul adalah,
apa dasar al-Qur’an dapat menjadi sumber hukum Islam?. Termasuk dalam hal
ini, pembatasan definisi dari al-Qur’an itu sendiri, sehingga hakikat dari istilah al-
Qur’an tidak menjadi bias dan dipahami secara keliru.

Pondasi kedua, ilmu Bahasa Arab. Ilmu ini menjadi pondasi dalam Ilmu Ushul
Fiqih, terkait dengan objek utama Ushul Fiqih yang berbahasa Arab, yaitu syariah
Islam yang terwujud dalam al-Qur’an dan Sunnah. Asy-Syathibi berkata:4

‫ َل مدخل فيها لأللسن العجمية‬،‫إن هذه الشريعة المباركة عربية‬

3
Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat, (t.t: Dar Ibnu Affan, 1417/1997), hlm. 4/125.
4
Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat, hlm. 2/101.

7
Artinya :

“Sesungguhnya syariat yang berkah ini adalah “Arabiyyah” (dengan lisan Arab),
(itu sebabnya) tidak ada pintu masuk (untuk memahaminya) dengan lisan ‘ajam
(selain Arab).”

Dari kaidah-kaidah Bahasa Arab inilah, disusun metodologi istinbath (penggalian)


hukum syariah dari al-Qur’an, seperti kaidah seputar amr, nahy, aam
khos, muthlaq muqayyad, manthuq mafhum, dan lainnya.

Dan terakhir, dari pondisi ilmu fiqih, kajian tentang al-Qur’an dalam Ushul Fiqih
dimaksudkan untuk menggali hukum-hukum fiqih dari teks al-Qur’an sebagai
cara menjalani kehidupan yang dikehendaki oleh pembuat syariat, Allah swt.
Termasuk dalam hal ini, dalam rangka mendapatkan gambaran yang utuh
(tashawwur) tentang permasalahan yang muncul di tengah manusia, untuk dicari
jawabannya dari al-Qur’an sebagai tibyan li kulli syai’ (penjelas setiap sesuatu).

Untuk lebih mendapati gambaran yang cukup detail tentang al-Qur’an sebagai
objek kajian Ushul Fiqih, maka akan dibahas dalam beberapa pembahasan
berikut:

1. Definisi al-Qur’an

Secara etimologis, kata al-Quran berasal dari Bahasa Arab dengan


bentuk mashdar dari kata kerja qara’a (‫)قرأ‬, yang bermakna membaca. Makna
bahasa ini dapat ditemukan dalam al-Quran surat al-Qiyamah ayat 17-18.5

Sedangan secara terminologis, para ulama mendefinisikan al-Quran dengan


beragam redaksi, di antaranya definisi berikut:6

5
rtinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah, mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. (17) Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu. (18). (QS. Al-Qiyamah: 17-18).
6
Pada dasarnya sebagai kitab dan kumpulan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw, Allah swt dalam al-Qur’an telah menjelaskan hakikat al-Qur’an itu sendiri, lihat: QS.
Fusshilat: 44, QS. An-Nahl: 89, 102, QS. Maryam: 97, QS. Yasin: 70, QS. An-Naml: 76, QS. Al-
An'aam: 70, QS. Az-Zumar: 55-59, QS. Shaad: 29, dan QS. Ibrahim: 52.

8
‫العرب وال ُمتعبّ ُد بِتِالوتِ ِه‬
ُ ‫نز ُل على ُمح ّمد ِبل ْف ِظ ِه العربي ِ والم ْنقُو ُل بِالتّوات ُر ويُتح ّدى بِ ِه‬
ّ ‫كال ُم هللاِ ال ُم‬

Artinya :

“Perkataan (kalam) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang
sampai kepada kita dengan periwayatan yang mutawatir, dengan berbahasa
Arab, dimana dengan ayat itu Allah menantang orang Arab untuk membuat
tandingannya, dan membacanya merupakan ibadah.”

Dari definisi di atas, al-Quran dapat dibedakan dengan hal lainnya, berdasarkan
uraian berikut:

Pertama: Kalam (perkataan) Allah. Penyebutan al-Quran sebagai perkataan Allah


untuk membedakannya dengan perkataan makhluk. Maka dengan demikian
seluruh perkataan selain perkataan Allah bukanlah al-Qur’an.

Kedua: Diturunkan kepada Muhammad saw dengan bahasa Arab. Berdasarkan


pembatasan ini, maka kalam Allah yang tidak diturunkan kepada Muhammad dan
tidak berbahasa Arab bukanlah al-Qur’an,7seperti Taurat yang diturunkan kepada
nabi Musa as. dan Zabur yang kepada nabi Dawud as., di mana kedua-duanya
berbahasa Ibrani. Injil yang berbahasa Suryani dan diturunkan kepada nabi Isa as.
Dan juga Shuhuf Ibrahim dan Shuhuf Musa. Demikian pula tidak disebut ayat-
ayat al-Quran, terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa lain atau tafsir manusia atas
al-Qur’an, sekalipun berbahasa Arab.

Ketiga: Diriwayatkan secara mutawatir. Berdasarkan pembatasan ini maka kalam


Allah swt yang diturunkan kepada Muhammad namun tidak mutawatir bukanlah
al-Qur’an. Seperti ayat-ayat yang diriwayatkan secara syaz atau ahad. Demikian
pula hadits qudsi, yaitu hadits yang disandarkan kepada Allah swt dari sisi
periwayatannya, namun bukan al-Qur’an.

7
Informasi al-Qur’an tentang bahasa al-Qur’an yang berbahasa Arab dapat dilihat pada ayat-ayat
berikut: QS. Yusuf: 2, QS. Ar-Ra’d: 37, QS. An-Nahl: 103, QS. Thaha: 113.

9
Sedangkan yang dimaksud dengan mutawatir adalah bahwa jumlah perawi yang
meriwayatkan kalam Allah dari Rasulullah itu sangat banyak dan tersebar luas
dimana-mana, sehingga mustahil mereka kompak untuk berdusta. Di samping
para periwayat itu juga sepakat bahwa apa yang diriwayatkan adalah lafaz al-
Qur’an.

Keempat: Menantang Orang Arab (mu’jiz), untuk membuat


semisalnya.8 Pembatasan ini untuk tidak memasukkan hadits Qudsi. Sebab hadits
qudsi adalah perkataan yang juga disandaran kepada Allah swt, namun ia tidak
bersifat mukjizat atau tidak bertujuan untuk menentang orang Arab yang saat al-
Qur’an diturunkan sangat bangga dengan keindahan bahasa dan sastranya. Di
mana tantangan al-Qur’an tersebut, yaitu untuk membuat yang semisal dengan al-
Qur’an meski satu ayat, tidak pernah bisa mereka jawab.9

Kelima: Membacanya merupakan ibadah yang berpahala. Terlepas apakah


pembacanya mengerti maksudnya ataupun tidak. Hal ini pun untuk
membedakannya dengan wahyu yang Allah turunkan kepada Muhammad saw
selain al-Qur’an yaitu hadits atau Sunnah. Di mana membacanya tidak
mendatangkan pahala jika hanya sekedar dibaca, kecuali bila dengan maksud
untuk dipelajari dan dijalankan pesannya.

2. Hujjiyah al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang paling utama, pertama, dan
pokok. Di mana landasan hujjiyyah atau legalitasnya didasarkan kepada dua hal:

a. Ijma’ Umat

Umat Islam telah sepakat bahwa al-Qur’an adalah dasar hukum Islam, dan
bahwasannya ia diturunkan oleh Allah swt. Demikian pula kehujjahannya

8
Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) berkata, “Tiada perbedaan di antara orang-orang berakal
(‘uqala’) bahwa kitab Allah (al-Qur’an) adalah mu’jiz (memiliki mukjizat), sebab bangsa Arab tidak
mampu menentangnya. (Badruddin az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqih, (t.t: Dar al-
Kutubi, 1414/1994), cet. 1, hlm. 2/183).
9
Tantangan Allah itu bisa dilihat dalam QS. Al-Baqarah: 23, QS. Hud: 13, QS. Al-Qashash: 49, QS.
Al-Isra’: 88, dan QS. Yunus: 37-38.

10
didasarkan kepada posisi al-Qur’an sebagai pelegitimasi dalil-dalil hukum
lainnya.

Di samping itu, legitimasinya juga didasarkan kepada orisinalitas al-Qur’an


sebagai wahyu yang disepakati oleh umat keterjagaanya dari distorsi dan
penyelewengan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya:

Pertama: Sejarah telah menjelaskan dengan penjelasan yang tidak diragukan


bahwa al-Qur’an telah ditulis sejak diterima oleh Nabi Muhammad saw. Dan
status Muhammad saw sebagai sosok yang jujur dan terpercaya (al-amin), telah
diakui oleh kawan maupun lawan. Bahkan Allah swt sendiri telah mengancam
Muhammad, untuk tidak sekali-kali berani mengadakan perkataan dari dirinya
atas nama Allah swt:

ِ ‫علَ ْي َنا بَعْضَ األقَا ِوي ِل * أل َخ ْذنَا ِم ْنهُ ِبا ْليَ ِم‬
)46-44 :‫ين * ث ُ َّم لَقَ َط ْعنَا ِم ْنهُ ا ْل َوتِينَ (الحاقة‬ َ ‫َولَ ْو تَقَ َّو َل‬

Artinya :

“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama)


Kami (44) Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya (45)
Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (46) (QS. Al-Haqqah:
44-46).

Kedua: Selain ditulis, al-Quran juga sampai kepada kita melalui jalur hafalan yang
merupakan keunggulan bangsa Arab. Dan ini merupakan penjagaan pertama dan
utama yang dilakukan terhadap al-Qur’an oleh sumbangsih manusia. Sebab al-
Quran diturunkan dalam format suara dan bukan dalam format teks. Dan
kelebihan bahasa Arab itu mudah dihafal dibandingkan menghafal kalimat dalam
bahasa lainnya. Maka tak heran jika di setiap generasi bahkan hingga saat ini, al-
Qur’an telah dihafal secara utuh oleh jutaan manusia.

Ketiga: Penjilidan al-Qur’an sudah dilakukan sejak masa khalifah Abu Bakar ash-
Shiddiq ra. sebagai khalifah pertama umat Islam pengganti Rasulullah saw. Yang
mana usaha itu dilakukan dalam rangka untuk menjaga hilangnya hafalan al-

11
Qur’an dari banyak shahabat, yang disebabkan wafatnya sebagian penghafal al-
Qur’an sebagai syuhada pada perang Yamamah dan peperangan lainnya.

Keempat: Telah dilakukannya standarisasi penulisan teks al-Qur’an pada masa


khalifah Utsman bin Affan ra (khalifah ke-3) yang disepakati oleh para shahabat
Nabi saw. Bahkan standar penulisan ini yang disebut dengan rasm
utsmani merupakan salah satu syarat legalitas ke-mutawatir-an bacaan (qira’at)
al-Qur’an.

b. Legitimasi Al-Qur’an

Di samping ijma’ umat, legalitas al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam juga
didasarkan pada statement al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana firman Allah swt:

َّ َ‫اس ِب َما أ َ َراك‬


)105 :‫َّللاُ َو ََل تَك ُْن ِل ْل َخا ِئ ِنينَ َخ ِصي ًما (النساء‬ َ َ‫ِإنَّا أ َ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْيكَ ا ْل ِكت‬
ِ َّ‫اب ِبا ْلحَقّ ِ ِلتَحْ ُك َم َب ْينَ الن‬

Artinya :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. an
Nisa’: 105).

3. Qira’at al-Qur’an dan Hujjiyyahnya

Di antara kajian al-Qur’an dalam Ilmu Ushul Fiqih yang menjadi satu perhatian
khusus para ulama adalah terkait ragam periwayatan qira’at al-Qur’an. Sebab
qira’at al-Qur’an merupakan salah satu sebab terjadi perbedaan dalam
penyimpulan hukum fiqih, di mana hal tersebut merupakan tujuan pokok
disusunnya ilmu Ushul Fiqih.

a. Pengertian dan Ragam Qira’at al-Qur’an

Adapun yang menjadi titik perdebatan para sarjana Ushul Fiqih dalam qira’at al-
Qur’an adalah qira’at yang bersifat syazah. Yaitu apakah bacaan al-Qur’an yang

12
diriwayatkan oleh shahabat dari Nabi saw namun tidak bersifat mutawatir
termasuk dikatagorikan al-Qur’an atau tidak?. Jika bukan bagian dari al-Qur’an,
apakah statusnya yang dikaitkan dengan hukum, dapat dijadikan hujjah atau dalil
dalam menetapkan hukum?.

Sebelum membahas dua masalah di atas, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan Qira’at dan klasifikasinya.

Qira’at (‫ )القراءات‬secara bahasa artinya adalah bacaan. Adapun secara terminologis


didefinisikan oleh Abu Syamah al-Maqdisi (w. 665 H) dalam kitabnya Ibraz al-
Ma’ani dan dan al-Banna’ (w. 1117 H) dalam Ittihaf Fudhala’ al-
Basyar sebagaimana berikut:10

‫علم بكيفية أداء كلمات القرآن الكريم واختالفها معزوا لناقله‬.

Artinya :

“Ilmu tentang tata-cara membaca al-Qur’an dan perbedaan-perbedaanya yang


disandarkan kepada pentransmisinya.”

Secara umum, kemudian ulama membedakan Qira’at al-Qur’an menjadi dua jenis:
(1) Qira’at Mutawatirah, dan (2) Qira’at Syazzah.

Namun yang harus dipahami, bahwa pada dasarnya Qira’at dan al-Qur’an
merupakan dua substansi yang berbeda sebagaimana dijelaskan oleh az-Zarkasyi
(w. 794 H) yang dinukil oleh as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Itqan.11 Namun
demikian, Qira’at bisa digolongkan sebagai teks al-Qur’an bilamana memenuhi
beberapa persyaratan yang sekaligus menjadi syarat atas Qira’at mutawatirah.

10
Abu Syamah Abdurrahman bin Ismail, Ibraz al-Ma’ani min Hirz al-Amani, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th), hlm. 772, Ahmad al-Banna’, Ittihaf Fudhala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah
‘Asyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1427/2006), cet. 3, hlm. 6.
11
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-‘Ammah, 1394/1974),
hlm. 273.

13
Syarat tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Jazari (w. 833 H) dalam an-
Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr, yaitu:12

1) Qira’at tersebut sesuai dengan salah satu kaidah dari kaidah-kaidah bahasa
Arab (Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah) yang diakui.
2) Qira’at tersebut bersumber dari Nabi saw, melalui sanad yang shahih.
3) Qira’at tersebut tidak menyalahi rasm ‘utsmani atau standarisasi penulisan
yang telah dikukuhkan pada masa khalifah Utsman bin Affan ra.

Jika ketiga syarat di atas terpenuhi, maka Qira’at tersebut disebut dengan Qira’at
Mutawatirah dan dapat ditetapkan serta diakui aspek qur’aniyyah-nya (ke-
qur’anan-nya). Sedangkan jika syarat pertama dan kedua terpenuhi, namun
tulisannya menyalahi atau berbeda dengan rasm ‘utsmani, maka Qira’at tersebut
disebut dengan Qira’at Syazzah. Dan jenis qira’at inilah yang diperselisihkan
legalitasnya oleh ulama Ushul Fiqih.

Setidaknya total Qira’at yang diakui keshahihannya (dari aspek sanad) oleh para
ulama sebanyak 14 Qira’at. Di mana tujuh (7) Qira’at di antaranya, para ulama
sepakat mengakui sebagai Qira’at Mutawatirah. Tiga (3) yang lain disepakati
sebagai Qira’at Syazzah. Dan empat (4) lainnya diperselisihkan apakah tergolong
Qira’at Mutawatirah atau Qira’at Syazzah.

Adapun ke-tujuh Qira’at yang disepakati sebagai qira’at mutawatirah, adalah:

1) Qira’at Ibnu ‘Amir asy-Syami (w. 118 H), yaitu qira’at Abdullah bin
‘Amir al-Yahshabi asy-Syami. Adapun rawi qira’at Ibnu ‘Amir adalah
Hisyam bin ‘Ammar (w. 245 H) dan Ibnu Zhakwan Abdullah bin Ahmad
(w. 240 H).
2) Qira’at Ibnu Katsir al-Makki (w. 120 H), yaitu qira’at Abdullah bin
Katsir. Adapun rawi qira’at Ibnu Katsir adalah al-Bazzi Ahmad bin

12
Muhammad Ibnu al-Jazari, an-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th), hlm. 9.

14
Muhammad al-Makki (w. 250 H) dan Qunbul Muhammad bin
Abdurrahman al-Makki al-Makhzumi (w. 291 H).
3) Qira’at ‘Ashim al-Kufi (w. 128 H), yaitu qira’at ‘Ashim bin Abi an-
Najud. Adapun rawi qira’at ‘Ashim adalah Syu’bah Abu Bakar Syu’bah
bin Abbas al-Kufi (w. 193 H) dan Hafsh bin Sulaiman al-Bazzaz al-Kufi
(w. 180 H).
4) Qira’at Abu ‘Amr al-Bashri (w. 154 H), yaitu qira’at Ziyan bin al-‘Ala’
al-Mazini. Adapun rawi qira’at Abu ‘Amr adalah ad-Duuri Abu ‘Amr
Hafhs bin Umar ad-Duuri (w. 246 H) dan as-Susi Abu Su’aib Shalih bin
Ziyad as-Susi (w. 261 H).
5) Qira’at Hamzah al-Kufi (w. 156 H), yaitu qira’at Hamzah bin Habib az-
Zayyat at-Taimi. Adapun rawi qira’at Hamzah adalah Khalaf bin Hisyam
al-Bazzaz (w. 229 H) dan Khallad bin Khalid ash-Shairafi (w. 220 H).
6) Qira’at Nafi’ al-Madani (w. 169 H), yaitru qira’at Nafi’ bin
Abdurrahman. Adapun rawi qira’at Nafi’ adalah Qalun Isa bin Minya al-
Madani (w. 220 H) dan Warasy Utsman bin Said al-Mishri (w. 197 H).
7) Qira’at al-Kisa’i al-Kufi (w. 189 H), yaitu qira’at Ali bin Hamzah al-Kufi.
Adapun rawi qira’at al-Kisa’i adalah Abu al-Harits al-Laits bin Khalid al-
Baghdadi (w. 240 H) dan Hafsh ad-Duri rawi Abu ‘Amr.

Sedangkan ke-tiga Qira’at yang diperselisihkan statusnya antara mutawatir dan


syazah, adalah:

1) Qira’at Abu Ja’far al-Madani (w. 128 H atau 132 H), yaitu qira’at Yazid
bin al-Qa’qa’. Adapun rawinya adalah Isa Ibnu Wardan (w. 160 H) dan
Ibnu Jamaz Sulaiman bin Muslim al-Madani (w. 170 H).
2) Qira’at Ya’qub al-Bashri (w. 205 H), yaitu qira’at Ya’qub bin Ishaq al-
Hadhrami. Adapun rawinya adalah Ruwais Muhammad bin al-Mutawakkil
al-Bashri (w. 238 H) dan Ruh bin Abdul Mu’min al-Bashri (w. 234 H atau
235 H).

15
3) Qira’at Khalaf (w. 229 H), yaitu qira’at Khalaf bin Hisyam al-Bazzar al-
Baghdadi. Adapun rawinya adalah Ishaq bin Ibrahim al-Warraq al-Maruzi
(w. 286 H) dan Idris bin Abdul Karim al-Haddad al-Baghdadi (w. 292 H).

Sementara itu ke-empat qira’at yang disepakati sebagai qira’at syazzah, adalah:

1) Qira’at al-Hasan al-Bashri (w. 110 H).


2) Qira’at Muhammad bin Abdurrahman Ibnu Muhaishan (w. 123 H).
3) Qira’at Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi (w. 202 H).
4) Qira’at Muhammad bin Ahmad asy-Syanbuzi (w. 388 H).

b. Hujjiyyah Qira’at al-Qur’an


1) Hujjiyyah Qira’at Mutawatirah

Para ulama sepakat bahwa Qira’at Mutawatirah berstatus hujjah dalam


menetapkan hukum syara’. Bahkan teks dan lafaz al-Qur’an dengan qira’at inilah
yang haram untuk diingkari seorang muslim serta dihukumi kafir bagi yang
menentang dan mengingkarinya.13

2) Hujjiyyah Qira’at Syazzah

Sedangkan terkait hujjiyyah Qira’at Syazzah, setidaknya para ulama terpecah


menjadi dua mazhab:

a) Mazhab pertama: Qira’at Syazzah adalah Hujjah.

Pendapat ini dianut oleh kalangan al-Hanafiyyah, satu riwayat dari Imam Malik,
imam asy-Syafi’i, dan imam Ahmad, bahwa Qira’at Syazzah dapat dijadikan dalil
dalam menetapkan hukum.

Argumentasi mereka adalah meskipun Qira’at Syazzah tidak diakui qur’aniyyah-


nya karena memang tidak diriwayatkan secara mutawatir, akan tetapi, ia

13
Muhammad Ibnu al-Jazari, an-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr, hlm. 9, 14, Jalaluddin as-Suyuthi, al-
Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 1/76.

16
berkedudukan sebagai khabar ahad dari Nabi saw, sedang beramal dengan khabar
ahad adalah wajib dan sifat hujjahnya adalah zhanni.

b) Mazhab kedua: Qira’at Syazzah Bukanlah Hujjah.

Pendapat ini dianut oleh satu riwayat imam Malik, dan satu riwayat imam asy-
Syafi’i yang dishahihkan oleh al-Amidi, Ibnu al-Hajib, Ibnu as-Sam’ani, dan an-
Nawawi, serta satu riwayat imam Ahmad.

Argumentasi mereka adalah bahwa qira’at syazzah tidak bisa digolongkan sebagai
khabar ahad atau hadits nabi, karena perawinya hanya bermaksud meriwayatkan
al-Qur’an, sedang al-Qur’an mesti diriwayatkan secara mutawatir. Adapun Qira’at
Syazzah tentu tidak diriwayatkan secara mutawatir, maka atas dasar ini qira’at
syazzah tidak bisa digolongkan sebagai khabar ahad ataupun al-Qur’an.

Implikasi Perbedaan:

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari implikasi perbedaan pendapat ini
akan diutarakan satu contoh dari implikasi perbedaan atas status legalitas Qira’at
syazzah. Yaitu masalah, apakah puasa kaffarat atas pembatalan sumpah (kaffarah
al-yamin), wajib dilakukan secara berturut-turut atau tidak?.

Dalam hal ini, mazhab Hanafi dan Hanbali mewajibkannya, berdasarkan Qira’at
Syazzah dari Ibnu Mas’ud tentang kaffarat puasa atas pembatalan sumpah, “Maka
berpuasalah tiga hari secara berturut-turut (fa shiyam tsalatsata
ayyamin mutatabi’at”). Sedangkan mazhab Maliki dan Syafi’i tidak
menganggapnya wajib.

2.2 As - Sunnah sebagai sumber Hukum kedua

Untuk mengetahui secara kongkrit fungsi dan kedudukan Hadis dalam Islam, kita
perlu mengetahui lebih dahulu tentang tugas-tugas yang dibebankan kepada Nabi
Muhammad saw. Dalam al-Qur’an kita dapati bahwa nabi saw. mempunyai tugas
dan wewenang sebagai berikut.

17
1. Menjelaskan kitab Allah (al-Qur’an)

Tugas ini berdasarkan firman Allah, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (al-
Qur’an) agar kamu menerangkan kepada manusia tentang apa yang diturunkan
kepada mereka”. (Q.S al-Nahl : 44). Penjelasan Nabi saw. terhadap al-Qur’an itu
dapat berupa perkataan beliau, dan dapat pula berupa perbuatan beliau. Dua hal
ini merupakan bagian terbesar dari apa yang disebut Hadis Nabawi. Karenanya,
penolakan terhadap Hadis sebenarnya juga merupakan penolakan terhadap al-
Qur’an, karena Hadis yang berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an tadi telah
memperoleh legitimasi dari al-Qur’an. Bahkan Hadis merupakan konsekwensi
logis dari al-Qur’an.14

2. Nabi saw. wajib ditaati (mutha’)15

“Sosok yang harus dipatuhi”. Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang
memerintahkan ketundukan penuh kepada Nabi saw. Allah berfirman yang
artinya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah.”16

Lebih jauh Allah swt. berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Taatilah Allah dan
Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir”.17

Satu ayat secara eksplisit khusus menyatakan bahwa menaati Nabi saw. adalah
menaati Allah yang artinya, “Barangsiapa menaati Rasul itu, sesungguuhnya ia
telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling, (dari ketaatan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.18

14
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 35
15
M. M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum; sanggahan atas : The origins of
Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, Pustaka Firdaus, Jakarta, cet-I, 2004. Hlm. 15-16
16
Al-Qur’an, 4: 64
17
Al-Qur’an, 3: 32
18
Al-Qur’an, 4: 80

18
Dalam konteks kehidupan sekarang, taat kepada Allah berarti taat kepada ajaran-
ajaran yang termaktub dalam al-Qur’an, sementara taat kepada Rasul berarti taat
kepada ajran-ajaran yang terhimpun dalam hadis Nabawi. Karenanya, tidak
mungkin seorang muslim memisahkan apa yang berasal dari Nabi saw. (Hadis)
dari apa yang datang dari Allah (al-Qur’an). Karena memisahkan Hadis dari al-
Qur’an sama artinya dengan memisahkan al-Qur’an dari kehidupan manusia.19

3. Menetapkan hukum

Dalam hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan al-Qur’an, ia bukan


penjelas dan bukan penguat. Akan tetapi, Sunnah sendirilah yang menjelaskan
sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya menerangkan yang
tersirat dalam surah Al-baqarah: 275 dan An-nisa’: 29: “Hai orang-orang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu.” (QS. An-nisa:29)

Demikian juga keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap


binatang yang berbelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibi
dan paman wanitanya. Hadis tasyri’ diterima oleh para ulama karena kapasitas
hadis juga sebagai wahyu dai Allah swt. yang menyatu dengan al-Qur’an,
hakikatnya ia juga merupakan penjelasan secara implisit dalam al-Qur’an.

4. Memberikan teladan

Tugas nabi ini berdasarkan firman Allah, “sesungguhnya telah terdapat pada diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”20

Nabi saw` bertugas memberikan suri teladan kepada umatnya, sementara umatnya
wajib mencontoh dan meniru teladan-teladan itu.21

19
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 36
20
Al-Qur’an, 33: 21.
21
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 34

19
Setelah mengetahui tugas dan wewenang nabi saw. di atas, maka dapat diketahui
bahwa kedudukan Sunnah itu sebagai berikut.

1) Sunnah sebagai penguat Al-Qur'an,


2) Sunnah sebagai penjelas Al-Qur'an, QS an-Nahl : 44, yang artinya :
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan
kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Kehadiran Sunnah sebagai penjelas terhadap hal-hal yang global, penguat


secara mutlak, sebagai taksis terhadap dalil Al-Qur'an yang masih umum.

3) Sunnah sebagai musyar'i (pembuat syari'at): memuat hal-hal yang belum


ada dalam Al-Qur'an, tidak memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam Al-
Qur'an tapi membuat hal-hal yang landasnya ada dalam Al-Qur'an.22

Dari tiga poin di atas, kemudian fungsi hadis dapat dijabarkan dalam beberapa
poin yang oleh ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar
ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadis terhadap al-Qur’an, yaitu
sebagai berikut.23

1. Bayan Taqrir24

Posisi hadis sebagai penguat (taqrir) atau memperkuat keterangan al-qur’an


(ta’kid). Sebagian ulama menyebut bayan ta’kid atau bayan taqrir. Artinya hadis
menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-qur’an, misalnya hadis tentang shalat,
zakat, puasa, dan haji, menjelaskan ayat-ayat al-qur’an tentang hal itu juga:

Dari Ibnu Umar R.A berkata: rasulullah SAW bersabda: islam didirikan
atas lima perkara; menyaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan

22
Selviyanti Kaawoan, Memahami ushul fiqhi, Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo,
2015. hlm. 43-45
23
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, cet-II. Hlm. 18
24
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, cet-II. Hlm. 18-19

20
bahwa Muhammad utusan Allah, mendierikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan
puasa ramadhan. (HR. Al-Bukhari)

Hadis di atas memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, dan puasa


dalam AL-qur’an surah Al-Baqarah (2): 83 dan 183 dan perintah haji pada surah
Al-Imran (3): 97.

2. Bayan Tafsir25

Hadis sebagai penjelas (tafsir) terhadap Al-qur’an dan fungsi inilah yang
terbanyak pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai
berikut.

a. Tafshil Al-mujamal

Hadis member penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat
global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama
menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir. Misalnya perintah shalat pada
beberapa ayat dalam Al-qur’an hanya diterangkan secara global, yaitu dirikanlah
shalat, tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya; berapa kali sehari
semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.
Perincian itu terdapat pada hadis Nabi, misalnya sabda Nabi:

Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Al_Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bagaimana shalat itu dilaksanakan secara benar


sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an. Demikian juga masalah haji
danzakat. Dalam masalah haji Nabi bersabda:

Ambilah (dariku) ibadah hajimu. (HR. Muslim)

25
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, cet-II. Hlm. 19-21

21
a. Takhsis Al-amm

Hadis mengkhususkan ayat-ayat Al-qur’an yang umu, sebagian ulama


menyebutnya bayan takhshis. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam Surah An-
Nisa’ (4): 11:

Allah mensyariatkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:


bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.

Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris,
baik anak laki-laki, anak perempuan, satu, dan atau banyak, orangtua (bapak dan
ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada, dan
seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan
(takhshis) dengan hadis nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para
Nabi, berlainan agama, dan pembunuh. Misalnya sabda Nabi:

Kami-kelompok para Nabi-tidak meninggalkan harta waris, apa yang kami


tinggalkan sebagai sedekah.

Dan sabda Nabi:

Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka). (HR. At-Tirmizi)

b. Taqyid Al-Muthlaq

Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-qur’an. Artinya, Al-qur’an


keterangannya secara muthlak, kemudian dibatasi dengan hadis yang muqayyad
(taqyid/muqayyad) = dibatasi, muthlaq, = tidak terbatas). Sebagian ulama
menyebut bayan taqyid. Misalnya firman Allah dalam surah Al-Maidah (5): 38:

Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka.

Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlaq nama tangan, tanpa
dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan
pergelangan tangan. Kata tangan mutlaq meliputi hasta dari bahu pundak, lengan,
dan sampai telapak tangan. Kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dengan

22
hadis, ketika ada seorang pencuri datang ke hadapan Nabi dan diputuskan
hukuman pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan tangan.

c. Bayan Naskhi26

Hadis menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an. Misalnya


kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surah al-Baqarah (2): 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara makruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.”

Ayat di atas di-nasakh dengan hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah memberikan hak
kepada setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris.”
(HR. An-Nasa’i)

d. Bayan Tasyri’

Hadis menciptakan syariat (tasyri’) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an.27 Dala
hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskn al-Qur’an, ia bukan penjelas
dan bukan penguat (ta’kid). Akan tetapi, Sunnah sendirilah yang menjelaskan
sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an.28 Dalam
hal-hal tertentu yang tidak ada keterangannya dalm al-Qur’an, Nabi saw.
dianugerahi otoritas untuk menetapkan hukum secara independen. Al-Qur’an,
surah al-a’raf, 157, telah memberikan otoritas kepada Nabi saw., “...Rasul/Nabi
menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik, dan mengharamkan bagi
mereka segala hal yang buruk.”. otoritas ini bahkan diperkokoh dengan ayat yang
lain, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (al-Hasyr, 7). karenanya, menolak
hukum-hukum yang telah ditetapkan secara independen oleh Nabi saw.

26
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, cet-II. Hlm. 22
27
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, cet-II. Hlm. 22
28
Ibid.

23
sebenarnya merupakan penolakan terhadap ayat al-Qur’an yang memberikan
otoritas kepada Nabi saw.29

Itulah beberapa keterangan sekilas tentang fungsi As-Sunnah sebagai penjelas al-
Qur’an. Secara ringkas, dapat disimpulkan, bahwa tan As-Sunnah, tidak mungkin
kita dapat melaksanakan al-Qur’an. Sebab, bagaimana mungkin kita akan dapat
menjalankan shalat, zakat, dan haji-yang diperintahkan al-Qur’an-tanpa
penjelasan tata caranya yang rinci dari As-Sunnah?30

2.3 Ijma’ sebagai sumber Hukum ketiga

Sumber hukum ketiga adalah ijma’, setelah al-Qur’an dan Sunnah. Dalam
kitab ‫الوجيز في اصول الفقه‬, Dr. Abdul Karim Zaidan menjelaskan, ijma’ secara
bahasa ada dua makna:

Peneguhan dan kebulatan tekad (‫)العزم والتصميم علي الشيئ‬, seperti contoh: ‫َل صيام لمن‬
‫(يجمع الصيام من الليل‬tidak dianggap puasa orang yang meneguhkan dan
membulatkan tekadnya atau niatnya dari malam hari).

Kesepakatan (‫)اَلتفاق‬, seperti contoh dalam QS. Yunus 71: ‫فاجمعوا امركم‬
‫(وشركاءكم‬karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakanku).

Adapun secara istilah, ijma’ adalah kesepakatan ulama mujtahid dari umat Islam
tentang hukum syara’ dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad ( ‫اتفاق‬
‫المجتهدين من اَلمة اَلسالمية في عصر من العصور علي حكم شرعي بعد وفاة النبي صلي هللا عليه‬
‫)وسلم‬.

Definisi ini menegaskan beberapa hal:

Pertama, kesepakatan ulama non-mujtahid tidak dianggap ijma’. Mujtahid adalah


orang yang mempunyai kemampuan yang menyatu dalam jiwanya untuk
melahirkan hukum syara’ dari dalil-dalil terperinci ( ‫والمجتهد هو من قامت فيه ملكة‬

29
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 36
30
Al-insan, Jurnal Kajian Islam, Hadits Nabi; otentisitas dan upaya destruksinya. Hlm. 60

24
‫)استنباط اَلحكام الشرعية من ادلتها التفصيلية‬. Mujtahid kadang disebut faqih, ahlul halli
wal aqdi, ahlir ra’yi, ahlul ijtihad, atau ulama umat.

Sedangkan non-mujtahid adalah orang yang tidak mempunyai kompetensi


melahirkan hukum, seperti orang ami (orang yang belum mencapai derajat
mujtahid), atau orang yang tidak mempunyai ilmu tentang persoalan-persoalan
syara’, atau orang yang mempunyai kompetensi dalam satu cabang ilmu (fan) atau
ilmu lain, seperti kedokteran dan arsitektur.

Kedua, kesepakatan sebagian mujtahid tidak dianggap ijma’, seperti kesepakatan


penduduk Madinah, penduduk Haramain (Makkah-Madinah), atau kesepakatan
kelompok tertentu.

Sebagian ulama berpendapat: perbedaan satu, dua, atau tiga ulama tidak merusak
ijma’.

Sebagian ulama lain menyatakan: kesepakatan mayoritas, meksipun tidak ijma’,


adalah hujjah yang wajib diikuti, karena kesepakatan mayoritas menunjukkan
kebenaran ada pada mereka, dan mereka mempunyai dalil yang pasti dan unggul
yang mendorong terjadinya kesepakatan. Selain itu, menurut kebiasaan, sungguh
langka jika ada dalil orang yang berbeda itu unggul.

Namun menurut Abdul Karim Zaidan, kesepakatan mengharuskan cakupannya


menyeluruh, tidak ada yang dikecualikan. Jika ada perbedaan, meskipun satu,
maka tidak bisa dikatakan ijma’, tidak bisa menjadi hujjah, dan tidak wajib diikuti
karena mayoritas tidak menunjukkan dalil yang pasti benarnya. Terkadang
mayoritas itu salah dan kebenaran bersama kaum minoritas. Meskipun demikian,
mengambil pendapat mayoritas lebih menentramkan dan lebih diterima jika tidak
jelas keunggulan dalil orang yang menentang.

Ketiga, mujtahid harus beragama Islam.

Keempat, kesepakatan ulama mujtahid wajib dibuktikan kebenarannya secara


sempurna dalam kajian yang serius yang dilakukan secara kolektif. Dalam
konteks ini tidak disyaratkan bubarnya masa (‫)انقراض العصر‬, seperti kematian

25
ulama mujtahid yang terlibat dalam proses ijma’. Oleh sebab itu, jika ada sebagian
mujtahid yang menarik kembali pendapatnya tidak akan merusak ijma’. Lahirnya
mujtahid baru yang belum ada pada waktu ijma’ dan lahirnya pendapat yang
menentang tidak merusak ijma’.

Kelima, masalah yang disepakati ada dalam konteks hukum syara’, seperti hukum
wajib, haram, sunnah, dan lainnya. Jika konsensus tidak dalam hukum syara’,
seperti masalah olah raga, kedokteran, dan bahasa, maka tidak dikatakan ijma’.

Keenam, ijma’ dianggap benar jika dilakukan setelah wafatnya Nabi.

Dasar Kehujjahan Ijma’:

Pertama, firman Allah dalam QS. An-Nisa’ 115:

ْ ُ‫سبِي ِل ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِلّ ِه َماتَ َولَّى َون‬


‫ص ِل ِه َج َه َّن َم‬ َ ‫سو َل ِمن بَ ْع ِد َمات َ َبيَّنَ لَهُ ا ْل ُهدَى َو َيتَّبِ ْع‬
َ ‫غي َْر‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫َو َمن يُشَاق‬
ً ‫سآ َءتْ َم ِص‬
‫يرا‬ َ ‫{ َو‬115}

Artinya :

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan


mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. 4:115).

‫وجه الدَللة‬:
Allah mengancam orang-orang yang menentang jalan orang-orang mukmin
karena jalan orang-orang mukmin adalah jalan benar yang wajib diikuti.
Sedangkan jalan lain adalah batal yang wajib ditinggal. Sesuatu yang disepakati di
antara orang mukmin adalah jalan mereka yang benar dan wajib diikuti. Inilah
pengertian ijma’.

Kedua, banyak sunnah yang menunjukkan bahwa umat ini dijaga dari salah ketika
mereka bersepakat dalam suatu urusan. Seperti sabda Nabi: ‫َلتجتمع امتي علي‬
‫(خطاء‬umatku tidak bersepakat pada kesalahan), dan hadis: ‫َلتجتمع امتي علي‬
‫(ضاللة‬umatku tidak bersepakat pada kesesatan). Hadis ini meskipun ahadi, namun

26
maknanya mutawatir, sehingga mengandung kepastian bahwa kesepakatan umat
adalah sebuah kebenaran. Kesepakatan umat digambarkan dengan kesepakatan
mujtahidnya yang merupakan golongan yang mempunyai gagasan dan
pengetahuan. Sedangkan yang lain mengikuti mereka.

Ketiga, kesepakatan mujtahid pasti mempunyai pijakan dalil syara’ karena dalam
berijtihad mereka bukan berdasarkan hawa nafsu, tapi sesuai dengan metode
resmi, pedoman tertentu, dan cara yang dibatasi yang menjaga mereka dari
keinginan hawa nafsu. Jika mujtahid sudah bersepakat, maka pasti ada dalil syara’
yang menunjukkan dengan pasti.

KH MA. Sahal Mahfudh dalam kitab ‫البيان الملمع عن الفاظ اللمع‬menjelaskan, ijma’
hanya bisa terjadi jika ada dalil, seperti al-Qur’an, sunnah, perbuatan Nabi,
ketetapan Nabi, qiyas, dan seluruh metode ijtihad. Imam Dawud dan Ibn Jarir
menolak qiyas menjadi dalil ijma’.

Macam-Macam Ijma’

Dalam kitab ‫شرح منظومة الورقات في اصول الفقه‬karya Sayyid Muhammad bin Alawi
al-Maliki al-Hasani, dijelaskan, ijma’ dibagi dua:

Pertama, ijma’ qauli (‫)اجماع قولي‬. Misalnya, mereka berkata: hal ini boleh, haram,
sunnah, dan lain-lain.

Kedua, ijma’ fi’li (‫)اجماع فعلي‬. Misalnya, para mujtahid melakukan pekerjaan yang
menunjukkan kebolehan pekerjaan tersebut. Jika tidak menunjukkan bolehnya
pekerjaan tersebut, maka para mujtahid itu sepakat pada kesesatan dan hal ini
tidak boleh, karena umat Nabi Muhammad dijaga bersepakat pada kesesatan.

Ketiga, ijma’ sukuti (‫)اجماع سكوتي‬, yaitu ijma’ di mana sebagian mujtahid
menyampaikan pendapat dan sebagian mujtahid melakukan suatu pekerjaan, yang
pendapat dan pekerjaan mujtahid tersebut menyebar kepada mujtahid yang lain
dan mujtahid yang lain diam dan tidak mengingkari setelah melakukan kajian dan
analisis mendalam dalam waktu yang cukup.

27
Sedangkan Abdul Karim Zaidan membagi ijma’ menjadi dua:

Pertama, ijma’ sharih (‫)اجماع صريح‬, yaitu: kesepakatan mereka dalam satu masalah
di mana masing-masing mujtahid menyampaikan gagasannya secara eksplisit.
Jika dalam satu tempat, maka mereka menyampaikan gagasan masing-masing dan
bersepakat. Jika tidak dalam satu tempat, maka mereka menyampaikan gagasan
dan gagasan mereka sama, sehingga sepakat.

Potret lainnya adalah sebagian mujtahid memberikan fatwa dalam satu masalah,
kemudian fatwanya sampai kepada mujtahid lain, dan secara terbuka mereka
menyatakan sepakat. Gambaran lainnya adalah seorang mujtahid mengambil
keputusan dalam satu masalah dengan hukum tertentu, kemudian hukum ini
sampai kepada mujtahid lain, dan mereka secara terbuka menyatakan sepakat,
baik dari sisi ucapan, fatwa, dan keputusan pengadilan.

Kedua, ijma’ sukuti (‫)اجماع سكوتي‬, yaitu: jika ada mujtahid yang menyampaikan
gagasannya, kemudian gagasan tersebut popular dan sampai kepada mujtahid lain.
Mereka kemudian tidak merespons atau diam dan tidak mengingkarinya secara
jelas dan tidak menyetujuinya dengan jelas dalam kondisi tidak ada hal yang
melarang mereka untuk menyampaikan gagasan. Misalnya, ada waktu cukup
untuk melakukan kajian mendalam dan tidak ada situasi yang mengancam
mujtahid untuk menyampaikan gagasan.

Dalam kitab ‫علم اصول الفقه‬Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan, ijma’ sharih
adalah hujjah syara’ menurut madzhab mayoritas ulama (‫)جمهور العلماء‬. Sedangkan
ijma’ sukuti menurut mayoritas ulama tidak menjadi hujjah syara’ karena ia
adalah pendapat sebagian individu mujtahid. Sedangkan ulama madzhab Hanafi
menjadikannya sebagai hujjah dengan syarat mujtahid yang tidak berkomentar
(diam) tersebut sudah disodori persoalan dan gagasan mujtahid lain dalam
persoalan tersebut, ada waktu untuk mengkajinya, dan tidak ada faktor yang
menunjukkan adanya sesuatu yang menjadikannya takut untuk menyampaikan
gagasan.

28
Alasannya adalah sebagai berikut:

‫َلن سكوت المجتهد في مقام اَلستفتاء والبيان والتشريع بعد فترة البحث والدرس ومع انتفاء ما يمنعه‬
‫من ابداء راْيه لو كان مخالفا دليل علي موافقته الراْي الذي ابدي اذ لو كان مخالفا ما وسعه السكوت‬

Diamnya mujtahid yang punya fungsi sebagai tempat meminta fatwa, menjelaskan
hukum, dan melahirkan syariat Islam setelah ada waktu untuk mengkaji dan
meneliti secara mendalam dan tidak ada sesuatu yang mencegah untuk
menyampaikan gagasan jika ia menentang adalah tanda bahwa ia sepakat pada
gagasan tersebut. Ketika ia menentang, maka tidak mungkin dia diam.

Meskipun demikian, pendapat unggul adalah madzhab mayoritas ulama, yang


menyatakan bahwa ijma’ sukuti tidak termasuk hujjah. Argumentasinya adalah:
diamnya mujtahid disebabkan banyak faktor, baik yang berkaitan dengan jiwanya
(‫ )النفسي‬dan selain jiwanya (‫)غير النفسي‬. Semua faktor ini tidak bisa dipaksakan
bahwa diamnya menunjukkan adanya kesesuaian dan keridlaan dengan pendapat
mujtahid lain. Orang yang diam dianggap tidak punya pendapat dan tidak bisa
dianggap ia mempunyai pendapat yang sesuai dengan pendapat lain atau berbeda
(‫)فالساكت َل راْي له وَلينسب اليه قول موافق او مخالف‬. Kebanyakan ijma’ adalah ijma’
sukuti ini.

Ijma’: Hujjah Dalam Segala Hal

KH MA. Sahal Mahfudh dalam kitab ‫البيان الملمع عن الفاظ اللمع‬menjelaskan, ijma’
menjadi hujjah dalam semua hukum syara’, seperti ibadah, mu’amalat, hukum
pidana, pernikahan, dan lain-lain dalam masalah hukum halal dan haram, fatwa,
dan hukum-hukum.

Sedangkan hukum akal dibagi dua.

Pertama, sesuatu yang wajib mendahulukan pekerjaan dari pada mengetahui


sahnya secara syara’, seperti barunya alam, penetapan Dzat Yang Mencipta,
penetapan sifat-sifatNya, penetapan kenabian, dan yang menyerupainya. Dalam
hal ini, ijma’ tidak menjadi hujjah karena ijma’ adalah dalil syara’ yang

29
ditetapkan dengan jalan sam’u (mendengar wahyu). Maka, tidak boleh
menetapkan hukum yang wajib diketahui sebelum sam’u (mendengar wahyu).

Kedua, sesuatu yang tidak wajib mendahulukan pekerjaan di atas sam’u.


Misalnya, bolehnya melihat Allah, ampunan Allah kepada orang-orang yang
berdosa, dan lainnya yang bisa diketahui setelah mendengarkan wahyu. Ijma’
dalam hal ini menjadi hujjah karena hal itu boleh diketahui setelah adanya syara’
dan ijma’ termasuk dalil syara’, maka boleh menetapkan hukum itu dengan ijma’.

Adapun persoalan-persoalan dunia, seperti mengatur tentara, perang,


pembangunan, industri, pertanian, dan lainnya dari kemaslahatan dunia, maka
ijma’ tidak menjadi hujjah karena ijma’ dalam masalah itu tidak lebih banyak dari
sabda Nabi dan sabda Nabi hanya menjadi hujjah dalam ijma’ syara’, bukan pada
kemaslahatan dunia (‫)وقد ثبت ان قوله انما هو حجة في اجماع الشرع دون مصالح الدنيا‬.

Mungkinkan Terjadi Ijma’?

Para ulama berbeda pendapat. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan perdebatan ini.
Sebagian ulama menyatakan, ijma’ tidak mungkin bisa terjadi, karena tidak ada
ukuran untuk menilai seseorang mencapai derajat mujtahid. Jika dimungkin
adanya mujtahid di dunia Islam ketika sedang ada peristiwa, maka mengumpulkan
mereka dengan jalan yang menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan atau
mendekati adalah sesuatu yang sulit.

Perbedaan tempat dan pandangan mempersulit untuk mengumpulkan mereka dan


pendapatnya. Jika mungkin mereka berkumpul, maka siapa yang menanggung
bahwa mujtahid yang menyampaikan gagasan dalam satu masalah tetap masih
konsisten dengan pendapatnya setelah pendapatnya sampai kepada mujtahid lain
atau ia mencabut pendapatnya. Sedangkan syarat ijma’ adalah kesepakatan
seluruh mujtahid dalam satu waktu pada satu hukum suatu peristiwa ( ‫والشرط َلنعقاد‬
‫)اَلجماع ان يثبت اتفاق المجتهدين جميعا في وقت واحد علي حكم واحد في واقعة‬.

Hal lain yang menguatkan tidak mungkin terjadi ijma’ adalah sandaran dalil. Jika
dalilnya qath’i, maka semua jelas, sehingga tidak membutuhkan ijma’ mujtahid.

30
Sedangkan ketika dalilnya dhanni, maka mustahil terjadi ijma’, karena dalil
dhanni adalah tempatnya perbedaan.

Meskipun demikian, mayoritas ulama menyatakan: ijma’ mungkin terjadi secara


adat. Orang yang mengingkari ijma’ adalah keraguan pada sesuatu yang sudah
terjadi. Salah satu contohnya adalah ijma’ dalam masa pemerintaha Abu Bakar,
keharaman gajih babi, bagian waris nenek adalah 1/6, dan lain-lain.

Abdul Wahab Khallaf termasuk ulama yang menyatakan, ijma’ tidak terjadi
secara adat jika masalah ijma’ ini diserahkan kepada individu umat Islam dan
mungkin terjadi ijma’ jika masalah ini diserahkan kepada pemerintahan Islam.
Masing-masing pemerintah mampu menentukan syarat-syarat orang-orang yang
sudah mencapai tingkat ijtihad dan memberikan ijazah resmi kepada orang yang
memenuhi kualifikasinya. Dengan ini, pemerintah bisa mengetahui pandangan
semua mujtahid terhadap masalah tertentu. Jika pandangan seluruh mujtahid
sepakat dalam satu satu hukum, maka hal ini menjadi ijma’ yang merupakan
hukum syara’ yang wajib diikuti seluruh umat Islam.

Meskipun demikian, Abdul Wahhab Khallaf menyatakan, secara praktek, ijma’


tidak terjadi. Praktek yang dilakukan sahabat Abu Bakar ketika menyelesaikan
masalah dengan mengajak musyawarah para sahabat bukan ijma’, tapi hasil
musyawarah jamaah yang hadir, bukan hasil pendapat individu. Abu Bakar tidak
mungkin mengumpulkan semua sahabat yang ada di Makkah, Syam, Yaman, dan
tempat-tempat perang. Hanya sahabat yang mungkin bisa diajak kumpul
dikumpulkan untuk membahas satu masalah dan keputusan yang diambil sahabat
Abu Bakar adalah pendapat jama’ah dan pendapat jamaah lebih dekat kepada
kebenaran dari pada pendapat individu. Praktek seperti ini juga yang dilakukan
sahabat Umar. Hal inilah yang menurut ahli fiqh dikatakan ijma’. Namun,
hakikatnya hal ini adalah syariat jamaah, bukan individu dan hal ini tidak terjadi
kecuali pada masa sahabat ( ‫فهو في الحقيقة تشريع الجماعة َل الفرد وهو ما وجد اَل في عصر‬
‫)الصحابة‬.

31
2.4 Qiyas sebagai sumber Hukum keempat

A. Sumber hukum keempat yang disepakati ulama adalah qiyas.

KH MA. Sahal Mahfudh dalam kitab ‫البيان الملمع عن الفاظ اللمع‬menjelaskan qiyas
adalah menyamakan cabang (‫ )فرع‬dengan asal (‫ )اصل‬dalam sebagian hukumnya
karena ada makna/ illat yang menggabungkan keduanya ( ‫القياس حمل فرع علي اصل في‬
‫)بعض احكامه بمعني يجمع بينهما‬.

Cabang dinamakan sesuatu yang disamakan (‫ )مقيس‬dan asal dinamakan sesuatu


yang dijadikan persamaan (‫)مقيس عليه‬.

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab ‫المحصول في علم اصول الفقه‬menjelaskan


definisi qiyas yang disampaikan al-Qadli Abu Bakar yang dipilih mayoritas ulama
adalah:

‫ من اثبات حكم او صفة او‬: ‫حمل معلوم علي معلوم في اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما‬
‫نفيهما عنهما‬

Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
dalam penetapan hukum keduanya atau menafikan hukum keduanya karena ada
sesuatu yang menggabungkan keduanya, baik dalam konteks menetapkan hukum
atau sifat atau menafikan keduanya.

Abdul Wahhab Khallaf dalam ‫علم اصول الفقه‬menjelaskan, qiyas adalah


menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash hukumnya kepada kejadian yang
ada nash hukumnya dalam hukum yang menjadi ketetapan nash karena persamaan
illat hukum antara dua kejadian tersebut ( ‫الحاق واقعة َل نص علي حكمها بواقعة ورد نص‬
‫)حكمها بواقعة ورد نص بحكمها في الحكم الذي ورد به النص لتساوي الواقعتين في علة الحكم‬.

B. Hujjah Syara’

Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, qiyas adalah hujjah syara’ menurut mayoritas
ulama dengan empat dasar:

32
Pertama, al-Qur’an, yaitu: )2 ‫فاعتبروا ياْولي اَلبصار (الحشر‬. Maka ambillah (kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.

Ayat ini mendorong umat Islam untuk beri’tibar, yaitu melewati dari hukum asal
ke hukum cabang (qiyas).

Kedua, sunnah, yaitu: khabar sahabat Mu’adz yang terkenal, yaitu ketika Nabi
mengutus Mua’dz dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, Nabi bertanya kepada
keduanya: dengan apa kamu mengambil keputusan (‫)بم تقضيان ؟‬.

Keduanya menjawab: jika kami tidak menemukan hukum dalam sunnah, maka
kita menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian kepada sesuatu
yang lebih mendekati kepada kebenaran, kami mengamalkannya ( ‫اذا لم نجد الحكم في‬
‫)السنة نقيس اَلمر باَلمر فما كان اقرب الي الحق عملنابه‬. Nabi kemudian bersabda: kamu
berdua benar (‫)اصبتما‬.

Dalam kasus lain, Nabi bersabda kepada sahabat Ibn Mas’ud: ambillah keputusan
dengan al-Qur’an dan sunnah jika kamu menemukannya. Kemudian jika kamu
tidak menemukan hukum dalam dua sumber itu, maka berijtihadlah (bersungguh-
sungguh berpikir untuk melahirkan pemikiran) dalam menyampaikan pendapatmu
(‫ فان لم تجد الحكم فيهما فاجتهد راْيك‬,‫)اقض بالكتاب والسنة اذا وجدتهما‬.

Ketiga, ijma’. Mengamalkan qiyas adalah hasil ijma’ antara sahabat dan
kesepakatan sahabat adalah kebenaran, maka mengamalkan qiyas adalah
kebenaran (‫)فالعمل بالقياس حق‬. Salah satu yang sering dikutip adalah surat Umar bin
Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari yang menyatakan: ‫اعرف اَلشباه والنظائر وقس‬
‫(اَلمور براْيك‬ketahui sesuatu yang serupa dan yang sama, dan samakan status
hukum semua perkara dengan pendapatmu).

Dalam riwayat lain, Umar bin Khatab menulis:

‫اقض بما في كتاب هللا تعالي فان جاءك ما ليس في كتاب هللا فاقض بما في سنة رسول هللا صلي هللا عليه‬
‫وسلم فان جاءك ما ليس فيها فاقض بما اجمع عليه اهل العلم فان لم تجد فال عليك ان تقضي‬

33
Ambillah keputusan sesuai dengan apa yang ada dalam kitab Allah Ta’ala, maka
jika datang kepadamu perkara yang tidak ada dalam kitab Allah, maka ambil
keputusan dengan apa yang ada dalam sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam, maka jika datang kepadamu sesuatu yang tidak ada dalam sunnah
Rasul, maka ambil keputusan dengan apa yang disepakati golongan ahli ilmu,
kemudian jika kamu tidak menemukan pada golongan ahli ilmu, maka janganlah
kamu mengambil keputusan.

Keempat, dalil rasional (‫)المعقول‬, yaitu: qiyas melahirkan pemikiran menolak


bahaya, maka wajib mengamalkannya. Orang yang yakin bahwa hukum asal
mempunyai illat dan ia mengetahui bahwa illat tersebut ada dalam cabang, maka
ia harus menyatakan bahwa hukum cabang tersebut sama dengan hukum asal.

Di sisi lain ada ilmu keyakinan (‫)علم يقيني‬, yaitu: menentang hukum Allah
menyebabkan siksa. Maka dari sini disimpulkan bahwa qiyas mempunyai fungsi
mampu menangkap adanya bahaya. Orang yang berakal mengetahui dengan cepat
bahwa tidak mungkin keluar dari dua hal yang bertentangan dan tidak mungkin
menggabungkan keduanya. Maka, dalam konteks ini, wajib mengunggulkan salah
satu keduanya, dan dipastikan bahwa mengunggulkan sesuatu, pasti sesuatu itu
tidak ada bahaya.

Fungsi mengamalkan qiyas tidak ada makna lain kecuali hal ini ( ‫وَل معني لجواز‬
‫)العمل بالقياس اَل هذا القدر‬.

C. Contoh Qiyas

Abdul Wahhab Khallaf memberikan lima contoh qiyas, baik dalam hukum syara’
maupun dalam hukum positif Negara.
Pertama, minum khamar adalah haram berdasarkan QS. Al-Maidah 90:

‫ش ْي َطا ِن َفاجْ تَ ِنبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم‬ ُ ْ‫َاب َواْأل َ ْزَلَ ُم ِرج‬


َ ‫سُُ ِّم ْن‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ ُ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ ءا َ َمنُوا إِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر َواْألَنص‬
َ‫{ ت ُ ْف ِل ُحون‬90}

34
Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (


berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS. 5:90).

Keharaman ini didasarkan pada illat, yaitu: memabukkan (‫)اسكار‬. Maka peresan
kurma (‫ )نبيذ‬hukumnya juga haram karena memabukkan, sehingga haram
diminum.

Kedua, ahli waris yang membunuh orang yang hartanya diwarisi dilarang
mewarisi harta orang yang dibunuhnya berdasarkan sabda Nabi: ‫(َل يرث القاتل‬orang
yang membunuh tidak boleh mewarisi).

Alasannya adalah membunuh ahli warisnya adalah mempercepat sesuatu sebelum


waktunya, sehingga ia dihukum dengan menghalangi tujuannya ( ‫من استعجل شيئا قبل‬
‫)اوانه عوقب بحرمانه‬. Illat ini ditemukan pada kasus orang yang diberi wasiat ( ‫الموصي‬
‫ )له‬membunuh orang yang memberi wasiat (‫)الموصي‬. Maka, orang yang diberi
wasiat tidak bisa menerima harta wasiat (‫ )الموصي به‬dari orang yang memberi
wasiat.

Ketiga, hukum jual beli waktu adzan shalat jum’at adalah makruh sesuai firman
Allah QS. Al-Jum’h 62:9:

ْ ‫صالَ ِة ِمن يَ ْو ِم ا ْل ُج ُمعَ ِة فَا‬


‫سعَ ْوا إِ َلى ِذك ِْر هللاِ َوذَ ُروا ا ْلبَ ْي َع ذَ ِل ُك ْم َخي ُْرُُ لَّ ُك ْم إِن‬ َ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا إِذَا نُود‬
َّ ‫ِي ِلل‬
َ‫{ كُنت ُ ْم ت َ ْع َل ُمون‬9}

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. 62:9).

Illatnya adalah: kesibukannya memalingkan seseorang untuk mengerjakan shalat


jum’at (‫)شغله عن الصالة‬. Maka, sewa, gadai, dan kerja apapun pada waktu adzat

35
shalat jum’at hukumnya makruh karena kesibukan tersebut bisa memalingkan diri
dari kewajiban mengerjakan shalat.

Keempat, tanda tangan di atas kertas dalam hukum positif menjadi bukti dengan
alasan: tanda tangan menunjukkan keaslian orangnya (‫)توقيع الموقع دال علي شخصه‬.
Maka, kertas yang dibubuhi jari yang dicelup dengan tinta (cap jempol) juga bisa
menjadi bukti karena illatnya sama, yaitu menunjukkan keaslian orangnya.

Kelima, pencurian antara orangtua dan anak dan antara suami-istri tidak boleh
diadili pelakunya kecuali apa permohonan resmi dalam hukum positif karena ada
illat: hubungan kerabat dan pasangan (‫)عالقة القرابة والزوجية‬. Maka, dalam hal ini,
mengambil harta tanpa ijin (ghashab), menerbitkan cek tanpa kredit, kejahatan
limbah, dan lain-lain disamakan hukumnya dengan mencuri, yaitu tidak bisa
diadili tanpa ada permohonan resmi dari yang dirugikan.

D. Rukun Qiyas

Abdul Wahhab Khallaf menjelakan, rukun qiyas terdiri dari empat hal:

Pertama, asal (‫)اصل‬, yaitu: sesuatu yang status hukumnya ada nash. Asal ini
dinamakan : ‫ المحمول عليه‬,‫المقيس عليه‬, dan ‫المشبه به‬.

Kedua, cabang (‫)فرع‬, yaitu sesuatu yang status hukumnya tidak ada nash dan
status hukumnya ingin disamakan dengan status hukum asal. Ini
dinamakan: ‫ المحمول‬,‫المقيس‬, dan ‫المشبه‬

Ketiga, hukum asal (‫)حكم اَلصل‬, yaitu hukum syara’ yang menjadi kandungan nash.

Keempat, illat (‫)علة‬, yaitu: sifat yang menjadi dasar hukum asal dan dasar adanya
hukum dalam cabang.

Meminum khamar adalah asal yang diharamkan sesuai firman Allah QS. Al-
Maidah 90 dengan illat memabukkan. Maka, peresan kurma (‫ )نبيذ‬adalah cabang
karena tidak ada nashnya, kemudian disamakan status hukumnya dengan khamr
karena sama-sama memabukkan.

36
Contoh lainnya adalah: ada enam hal yang diharamkan dalam praktek riba fadl
dan riba nasiah jika salah satu dari keenam hal ini dipertukarkan, yaitu: emas,
perak, biji gandum, biji gandum sya’ir, kurma, dan garam.

Illatnya adalah: enam hal ini ukurannya pasti, baik timbangan atau takarannya jika
sama jenisnya. Jagung, padi, dan kacang adalah cabang yang belum ada
keterangan nash namun ketiga jenis tanaman ini sama dengan enam di atas bahwa
ketiga tanaman ini bisa ditakar, maka ketiganya hukumnya sama dengan keenam
jenis di atas yang haram dipertukarkan dengan sejenisnya.

E. Syarat-Syarat Qiyas

Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan syarat-syarat qiyas, yaitu:

Syarat asal adalah hukumnya ditetapkan dengan nash. Sedangkan syarat cabang
adalah hukumnya tidak ditetapkan dengan nash dan tidak dengan ijma’.

Sedangkan rukun ketiga, yaitu hukum asal disyaratkan beberapa hal:

Pertama, hukumnya adalah hukum syara’ amali yang ditetapkan dengan nash.

Kedua, hukum asal termasuk hukum yang illatnya bisa ditemukan akal. Jika
illatnya tidak mampu ditemukan dengan akal, maka tidak mungkin dikembangkan
dengan qiyas karena dasar qiyas adalah menemukan illat hukum asal dan
menemukan adanya illat tersebut dalam cabang ( ‫َلن اساس القياس ادراك علة حكم اَلصل‬
‫)وادراك تحققها في الفرع‬.

Secara luas dijelaskan, bahwa semua hukum syara’ amali disyariatkan untuk
kemaslahatan manusia dan dibangun berdasarkan ‘illat. Tidak ada satu hukum
yang disyariatkan tanpa illat.

Dalam hal ini, hukum dibagi dua:

Hukum-hukum yang Allah merahasiakan illatnya dan hanya Allah yang tahu dan
tidak ada jalan untuk mengetahui illat ini. Tujuannya adalah menguji hamba-
hamba Allah apakah mereka tunduk dan melaksanakan perintah atau tidak.

37
Hukum ini dinamakan hukum yang sifatnya dogmatik atau supra rasional ( ‫اَلحكام‬
‫)التعبدية او غير معقولة المعني‬. Contohnya adalah: batasan rakaat shalat, batasan kadar
nishab dalam harta zakat, batasan pidana dan kafarah, dan bagian warisan.

Hukum-hukum Allah yang tidak hanya Allah yang tahu, tapi Allah membimbing
akal manusia untuk mengetahui illatnya dengan nash atau dalil lain yang dijadikan
sebagai petunjuk. Hukum ini dinamakan dengan hukum yang rasional ( ‫اَلحكام‬
‫)المعقولة المعني‬. Hukum inilah yang bisa dikembangkan dari asal kepada cabang
dengan metode qiyas. Hukum yang bisa dikembangkan dua:

Pertama, hukum yang utama yang tidak termasuk pengecualian dari hukum
umum (‫)احكام مبتداءة اي ليست استثناء من احكام كلية‬, seperti haramnya minum khamr,
yang digunakan untuk menyamakan status hukum semua minuman yang
memabukkan.

Kedua, hukum yang sifatnya pengecualian dari hukum umum ( ‫احكام مستثناة من‬
‫)احكام كلية‬, seperti memberikan kemurahan dalam kasus jual beli kurma basah yang
dijual dengan kurma kering (‫ )ترخيص العرايا‬yang merupakan pengecualian menjual
satu jenis dengan sejenisnya secara tidak imbang (‫)متفاضال‬, yang bisa
dikembangkan dalam kasus menjual anggur basah dan anggur kering. Contoh
lainnya adalah tetapnya puasa orang yang makan dalam keadaan lupa yang
merupakan pengecualian dari batalnya puasa sebab kemasukan makanan ke dalam
perut yang dikembangkan kepada tetapnya orang puasa yang makan dalam
keadaan salah atau dipaksa dan tetapnya shalat yang berbicara dalam keadaan
lupa.

Ketiga, hukum asal tidak bersifat khusus. Artinya, tidak bisa dikembangkan pada
kasus lain. hukum yang khusus hanya ada dua.

1) illat hukum tidak bisa dikembangkan pada selain asal, seperti meringkas
shalat pada orang yang bepergian. Ini adalah hukum rasional yang
bertujuan menolak kecapean (‫)دفع المشقة‬, namun illatnya adalah bepergian.
Sedangkan bepergian tidak bisa digambarkan pada selain jarak (‫)مسافة‬.
Begitu juga hukum kebolehan mengusap muzah (sepatu kulit) adalah

38
hukum rasional untuk mempermudah dan menghilangkan kesulitan.
Namun, illatnya adalah memakai muzah yang tidak bisa digambarkan pada
selain memakai muzah.
2) hukum yang menunjukkan adanya kekhushusan. Misalnya khusus pada
Nabi, yaitu menikah lebih dari empat istri, haramnya menikahi istri Nabi
setelah wafatnya Nabi, dan dalam konteks Qadla’, Nabi merasa sudah
cukup dengan persaksian satu orang, yaitu Huzaimah bin Tsabit.

Keempat, ‘illat. Illat adalah sifat yang ada dalam asal yang menjadi dasar
bangunan hukum asal dan untuk mengetahui hukum cabang. Memabukkan adalah
sifat yang ada dalam khamr yang menjadi dasar keharamannya. Sifat inilah yang
digunakan untuk mengetahui keharaman setiap anggur yang memabukkan.
Melewati batas adalah sifat yang menjadi keharaman jual beli manusia atas jual
beli saudaranya, maka sifat ini juga ada dalam keharaman menyewakan orang
yang sudah disewa oleh saudaranya. Inilah yang dimaksud ulama ushul fiqh yang
mengatakan bahwa illat adalah sesuatu yang menunjukkan/ memberitahu hukum
(‫)العلة هي المعرف للحكم‬. Illat juga dikatakan: tempat bergantungnya hukum, sebab
dan tanda hukum (‫)العلة هي مناط الحكم وسببه وامارته‬.

2.5 Hukum - hukum dalam konteks Ushul Fiqih

A. Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih

Al-ahkam (‫ )األحكم‬maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari
kata hukmun )‫(حكم‬yang artinya

keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu

ٍ ‫طاب االشرع ال ُمتع ِلّق ِبأ َ ْفعال ال ُم َك َّل ِفين من طل‬


‫ب أوتخيير أووضع‬ ُ ‫ما اْقتضاهُ ِخ‬

"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan


denganperbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau
pilihan atau peletakan"

39
Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‫( ِخطاب االشرع‬seruan syariat) adalah Al
Quran dan As Sunnah.

Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam

ٍ َ‫ َطل‬.
1. Tuntunan ‫ب‬

Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau
pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan
(wajib) ataupun hanya keutamaan

2. Pilihan ‫تخيِيْر‬.

Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu
ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk
memilih melakukan ataupun tidak atau sering disebut mubah

3. Peletakan ‫وضع‬

Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda,
atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat
dikatakan “sah” atau “batal”

Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul
fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait dengan amalan manusia yang
bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari
titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang
dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang
dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan
akhlak.Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum
yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.

B. Pembagian Al-Ahkam

Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.

a. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)

40
b. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)
1) Al-Ahkam at-Taklifiyyah

Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah),


Harom, Makruh, dan Mubah.

a. Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan
harus" dan makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

‫اإل لزام‬
ِ ‫ع على وج ِه‬
ُ ‫ما أمر ِب ِه الشار‬

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan"

Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:

b. Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu


a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan
berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban
memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat
dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan
sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk
melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan
lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang
melanggar sumpah.
2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai
berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf.
Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.

41
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian
mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).

Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.

3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut
ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.

Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.

b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan


kadarnya.

Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.

4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi
menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis
perbuatannya.

Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.

b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa


pilihan.

Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan
boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan
berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin

b. Mandub. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan
makna mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

‫ماأمر ِب ِه الشرع َل على وجه اإللزام‬

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk


keharusan”4

42
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah terdapat
beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’, mustahab, dan
ihsan.

Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu,

1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat


dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang
dianjurkan).
3. Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang" dan
makna haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

‫ما نهى عنهُ الشا رع على وجه اإللزام بِالتَّرك‬

"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan".

4. Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah "yang dimurkai"
dan makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

‫ما نهى عنهُ الشارع َل على وجه اإللزام ِبالتَّرك‬

"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan
untukditinggalkan".

5. Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah "yang diumumkan
dan dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul
fiqih adalah,

‫ وَل نهي ِلذات ِه‬,‫ما َل يتعلَّق به أمر‬

"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan


secara asalnya"5.

43
2. Al-Ahkam al-Wadh’iyyah
1) Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum,
sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya,
perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2) Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya
hukum bergantung kepadanya
3) Azimah, yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi
seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa
wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam
dan lain sebagainya.
4) Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai
keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai
pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.

Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.

a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini


dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama
selain Allah, dalam Keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.
b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur
yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi
sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli
yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem
pesanan).
d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat
terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian
kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak
boleh melakukan sholat selain di masjid.

44
5) Mani’ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak
adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi,
akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa
diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.

Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris.


Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak
saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang
bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.

6) Sah

‫اثار ف ْعل ِه عليه عبادةً عقدًا‬


ُ ‫ما ترتّبت‬

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah


ataupun akad."

7) Fasid

‫اثار ف ْعل ِه عليه عبادةً عقدًا‬


ُ ‫ماَل ترتّبت‬

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu


ibadah atau akad."

C. Unsur-Unsur Hukum Islam


1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (ِ ‫) َمحْ كُوم بِ ِه \ َمحْ كُوم فِيْه‬
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi

ِ ‫ف الَّذِى ت َ َع َّلقَ ِب ِه ُح ْك ُم‬


‫هللا‬ ِ َّ‫ ه َُو ال ِف ْع ُل الُم َكل‬: ‫ال َمحْ كُو ُم ِف ْي ِه‬

“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan


hukum Allah (hukum syara’).” Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan
Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:

1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.


2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram

45
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi

Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.

a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf


sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa
benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada
kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat
dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada
taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana.
Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti
burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya,
supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih (‫علَ ْي ِه‬
َ ‫) َمحْ ك ُْوم‬

Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah
SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah
SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua,
menjauhi zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut
ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau
orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT
selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang
menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan
kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.

b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf).

Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :

46
1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu
berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun
melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak
dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya.
Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang
yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau
wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah
SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang
tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.

Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau


menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

a) Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima


kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin
tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia
tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup
mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan
yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah
ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para
ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang
keahlian). ini menjadi dua kelompok.

Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh


mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya,
gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang
terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak
memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.

47
Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan
manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan
sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu
sendiri.

b) Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum


mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah
dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
c) Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan
kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat
(mukallaf).
3. Hakim.

Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada
perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu
ialah khithabAllah yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang
berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani'
bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan di antara mereka bahwa satu-
satunya Hakim adalah Allah.

48
Bab III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pada dasarnya al-Qur’an adalah sumber setiap ilmu yang lahir dalam
sejarah dan peradaban keilmuan Islam. Bahkan menurut Ali Jum’ah,
dengan mengutip Ibn Muqillah dan Abi Hayyan, ia berkata bahwa
diciptakannya ilmu khat (kaligrafi) juga dimaksudkan untuk ber-khidmah
terhadap nash wahyu (al-Qur’an). Hal ini menunjukkan, bahwa al-Qur’an
merupakan dasar dari setiap ilmu dalam Islam.
Namun, sebagai objek kajian sering terjadi tumpang tindih pembahasan di
antara ilmu-ilmu keislaman hingga mengaburkan posisi al-Qur’an sebagai
sebuah objek kajian. Padahal secara khusus terdapat satu ilmu yang secara
lengkap dan lebih detail membahas setiap sisi al-Qur’an yaitu ‘Ulum al-
Qur’an (Ilmu-ilmu al-Qur’an).
2. fungsi As-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an. Secara ringkas, dapat
disimpulkan, bahwa tan As-Sunnah, tidak mungkin kita dapat
melaksanakan al-Qur’an. Sebab, bagaimana mungkin kita akan dapat
menjalankan shalat, zakat, dan haji-yang diperintahkan al-Qur’an-tanpa
penjelasan tata caranya yang rinci dari As-Sunnah.
3. Meskipun demikian, Abdul Wahhab Khallaf menyatakan, secara praktek,
ijma’ tidak terjadi. Praktek yang dilakukan sahabat Abu Bakar ketika
menyelesaikan masalah dengan mengajak musyawarah para sahabat bukan
ijma’, tapi hasil musyawarah jamaah yang hadir, bukan hasil pendapat
individu. Abu Bakar tidak mungkin mengumpulkan semua sahabat yang
ada di Makkah, Syam, Yaman, dan tempat-tempat perang. Hanya sahabat
yang mungkin bisa diajak kumpul dikumpulkan untuk membahas satu
masalah dan keputusan yang diambil sahabat Abu Bakar adalah pendapat
jama’ah dan pendapat jamaah lebih dekat kepada kebenaran dari pada
pendapat individu. Praktek seperti ini juga yang dilakukan sahabat Umar.

49
Hal inilah yang menurut ahli fiqh dikatakan ijma’. Namun, hakikatnya hal
ini adalah syariat jamaah, bukan individu dan hal ini tidak terjadi kecuali
pada masa sahabat ( ‫فهو في الحقيقة تشريع الجماعة َل الفرد وهو ما وجد اَل في عصر‬
‫)الصحابة‬.
4. Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam penetapan hukum keduanya atau menafikan hukum
keduanya karena ada sesuatu yang menggabungkan keduanya, baik dalam
konteks menetapkan hukum atau sifat atau menafikan keduanya.
5. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah
Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang
dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia,
yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan
dengan akidah dan akhlak. Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam
ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah
dan akhlaq.
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua
macam.
a. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
b. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)
Unsur-Unsur Hukum Islam yaitu Mahkum Bihi / Mahkum Fihi, Mahkum
‘Alaih dan Hakim

3.2 Kritik dan Saran

“Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak salah dan kurangnya.
Untuk itu demi kemajuan dan perbaikan kedepan penulis mengharap saran dan
kritiknya.”

50
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, cet-II

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008.

Al-Qur’an

Al-insan, Jurnal Kajian Islam, Hadits Nabi; otentisitas dan upaya destruksinya.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid , Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.

M. M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum; sanggahan atas : The


origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, Pustaka Firdaus, Jakarta,
cet-I, 2004.

Selviyanti Kaawoan, Memahami ushul fiqhi, Sultan Amai Press IAIN Sultan
Amai, Gorontalo, 2015.

Isnan Ansory, Lc, MA, “Al-Qur’an Sebagai Objek Ilmu Ushul Fiqih (Bagian-1)”,
https://www.rumahfiqih.com/z-133-al-qur%E2%80%99an-sebagai-objek-ilmu-
ushul-fiqih-(bagian-1).html

“Al - Ahkam (Hukum - hukum dalam konteks Ushul Fiqih)”,


http://dewebolo.blogspot.com/2013/01/al-ahkam-hukum-hukum-dalam-
konteks_18.html

“Ngaji Ushul Fiqh 10: Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Ketiga”,


https://bangkitmedia.com/ngaji-ushul-fiqh-10-ijma-sebagai-sumber-hukum-
ketiga/

Jamal Ma’mur Asmani, “Ngaji Ushul Fiqh 11: Qiyas Sebagai Sumber Hukum
Keempat”, https://bangkitmedia.com/ngaji-ushul-fiqh-11-qiyas-sebagai-sumber-
hukum-keempat/

51

Anda mungkin juga menyukai