Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

RESOLUSI KONFLIK
“TEORI IDENTITAS SOSIAL”

DOSEN : Guruh Ryan Aulia, S.Pd., M.Han


DI SUSUN OLEH :
(Kelompok 2)
NO. NAMA MAHASISWA NIM
1 NUR JANNAH .HM 30500118014
2 NUR MILASARI 30500118016
3 ST. NURHALISAH 30500118018
4 SYAMSINAR 30500118019
5 NURMAJEDAH 30500118020
6 HAIRUNNISA 30500118021
7 WARDAH SYAMHA 30500118022
8 IAN OKTAVIANI 30500118023
9 NILA HARNIATI 30500118025
10 SALMIAH 30500118026

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT, DAN POLITIK


JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
Tahun Pelajaran : 2020 – 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmatNYA


sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 23 Oktober 2020

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................4

B. Rumusan Masalah.........................................................................................5

C. Tujuan...........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6

A. Identitas.........................................................................................................6

B. Konsep Diri.................................................................................................10

BAB III PENUTUP..............................................................................................14

A. Kesimpulan.................................................................................................14

B. Kritik dan Saran..........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah mahkluk yang bertanya akan dirinya. Mahkluk yang harus
mencari identitas dirinya. Mahkluk dengan kesadaran di manakah seharusnya dia
berada. Keadaan tersebut tidak terjadi pada mahkluk-mahkluk lainnya, hewan,
tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya.

Aristoteles menyebut manusia sebagai hewan yang berpikir. Ketika


manusia berpikir, pada saat itu manusia menyadari akan keberadaannya. I think,
there for I am, demikian Descartes menyebutnya.[1] Karena manusia adalah
hewan yang berpikir, maka yang menyadari keberadaan sesuatu yang lain dan
yang menyadari sesuatu yang lain itu ada adalah manusia bukan yang lain
tersebut.

Berpikir adalah proses akan lahirnya kesadaran. Kesadaran berarti sadar


akan sesuatu (Edmund Husserl).[2] Kesadaran akan sesuatu maksudnya adalah
ada diri selain diri kita yang berada di luar sana atau di luar diri, adanya subjek
dan objek. kesadaran menimbulkan juga pemilahan, keraguan, dan pencarian
makna.

Berbeda dengan yang lainnya (the other), kesadaran menyebabkan


manusia selalu ingin bertanya. Dia selalu tidak puas akan dirinya (Sartre),[3]
selalu mencari dan berubah tidak pernah menetap. Bahkan dia pun
mempertanyakan ke-akuannya. Aku ini siapa ? dia itu siapa ? berbedakah aku
dengannya ? kenapa aku ini ada ?

Ketika manusia bertanya akan dirinya, disitulah sebenarnya manusia telah


berupaya membedakan dirinya dengan yang lain, atau kita dengan mereka. Dalam
perbedaan tersebut timbul pula identitas aku, mereka, dan yang lain.[4]Misal saja
jika aku bertanya aku siapa, pastilah aku juga akan memposisikan aku dimana dan
orang lain itu dimana. Misalnya nama ku Idham, Idham orang mana? Idham orang

4
Padang, dan dia siapa? Dia Nelda, dan Nelda orang Medan. Nelda seperti ini dan
aku seperti ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan identitas?
2. Apa yang dimaksud dengan konsep diri?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan identitas
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep diri

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Identitas
Identitas Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan
kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara
kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri sendiri dan orang lain;
kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua gambaran diri, baik
yang diterima dari orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan
siapa dirinya serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri
dan orang lain.
Identitas diri seseorang juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri
fisik, disposisi yang dianut dan diyakininya serta daya-daya kemampuan yang
dimilikinya. Kesemuanya merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut
dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan
yang telah dilalui sebelumnya.
Buat Fromm (1947), Identitas diri dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan dari identitas sosial seseorang dalam konteks komunitasnya. Selain
mahkluk individual yang membangun identitas dirinya berdasarkan konsep atau
gambaran dan cita-cita diri ideal yang secara sadar dan bebas dipilih, manusia
sekaligus juga mahkluk sosial yang dalam membangun identitas dirinya tidak
dapat melepaskan diri dari norma yang mengikat semua warga masyarakat tempat
ia hidup dan peran sosial yang diembannya dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat begitu dekat dengan diri kita, sehingga kita sering lupa bahwa
masyarakat itu sendiri berisi begitu banyak cara dalam mengadapi kehidupan
(Fromm).[5] Kita sering menganggap cara kita memperlakukan sesuatu adalah
satu-satunya cara yang tersedia. Kita harus belajar bahwa semua itu telah menjadi
alam bawah sadar bagi kita semua, atau lebih tepatnya alam bawah sadar sosial.
Jarang sekali kita menganggap tindakan kita bukan berasal dari kehendak bebas
kita sendiri. Sebaliknya, kita hanya mengikuti tatanan yang sudah ada dan tidak
pernah kita pertanyakan lebih lanjut.

6
Erikson (1989)[6] membedakan dua macam identitas, yakni identitas
pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi seseorang berpangkal pada pengalaman
lansung bahwa selama perjalanan waktu yang telah lewat, kendati mengalami
berbagai perubahan, ia tetap tinggal sebagai pribadi yang sama. Identitas pribadi
baru dapat disebut identitas Ego kalau identitas itu disertai dengan kualitas
eksistensial sebagai subyek yang otonom yang mampu menyelesaikan konflik-
konflik di dalam batinnya sendiri serta masyarakatnya. Menurut erikson, proses
pembentukan identitas berlangsung secara pelan-pelan dan pada awalnya terjadi
secara tak sadar dalam inti diri individu. Proses pembentukan identitas yang
berangsur-angsur itu sebenarnya sudah dimulai pada periode pertama, yakni
periode kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar.
Karena demikian pentingnya identitas, maka dalam perkembangan teori
psikologi sosial, teori tentang identitas pada kelanjutannya menjadi sebuah kajian
tersendiri. Teori tersebut dinamakan dengan teori Identitas Sosial yang dibawa
dan diperkenalkan pertama kali oleh Henri Tajfel dan John Turner.
a. Teori Identitas Sosial
Banyak para tokoh yang mendefinisikan identitas sosial. Definisi
mengenai Identitas sosial pun bermacam-macam menurut para tokoh. Menurut
Michael A Hogg dan Dominic Abrams (1998), “Identitas sosial didefinisikan
sebagai 'pengetahuan individu bahwa ia milik kelompok sosial tertentu
bersama-sama dengan beberapa makna emosional dan nilai dari keanggotaan
kelompok (Tajfel 1972a: 31), dimana kelompok sosial adalah' dua atau lebih
individu yang berbagi Identifikasi sosial baik umum maupun pribadi, atau
yang hampir sama, artinya menganggap diri mereka sebagai anggota dari
kategori sosial yang sama '(Turner 1982:15)”.
Kutipan ini menyampaikan beberapa aspek fundamental dari pendekatan
identitas sosial. Identitas, khusunya identitas sosial, dan rasa memiliki dalam
suatu kelompok yang berkaitan erat dalam arti bahwa konsepsi seseorang atau
identitas seseorang sebagian besar terdiri dari self-deskripsi dalam hal
karakteristik mendefinisikan kelompok-kelompok sosial yang mereka miliki.
Kedekatan ini bersifat psikologis, tidak hanya pengetahuan tentang atribut
kelompok. Identifikasi dengan kelompok sosial adalah keadaan psikologis

7
yang sangat berbeda dari keadaan ketika masuk ke dalam satu kategori sosial
atau yang lain. Hal ini fenomena nyata dan memiliki konsekuensi diri
evaluatif yang penting.
Jadi menurut teori tersebut, dijelaskan lagi oleh penulis bahawa identitas
sosial merupakan atribut yang dimiliki oleh seorang individu dimana individu
tersebut merupakan bagian dari suatu kelompok sosial, atribut tersebut
kemudian digunakan untuk memperkenalkan adanya kelompok sosialnya dan
membedakan kelompok sosialnya tersebut dengan kelompok sosial lain.
Sesama anggota dalam suatu kelompok sosial memiliki rasa kedekatan dan
beberapa ciri atau karakteristik yang berbeda dengan kelompok sosial lain.
Kedekatan yang dibangun dalam kelompok ini tidak hanya dalam bentuk
kedekatan fisik misalnya intensitas dalam pertemuan, namun juga kedekatan
psikologis dimana sesama anggota dalam suatu kelompok memiliki tujuan dan
pemikiran yang sama.

b. konsep dalam mengkonseptualisasikan Identitas Sosial

1) Persepsi dalam konteks antar kelompok Dengan bergabung dan


mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka status yang dimiliki
oleh kelompok tersebut akan mempengaruhi persepsi setiap individu
didalamnya. Persepsi tersebut kemudian menuntut individu untuk
memberikan penilaian, baik terhadap kelompoknya tersebut maupun
terhadap kelompok yang lain.

2) Daya tarik in-group Seorang individu yang tergabung dalam suatu


kelompok social pasti didasari oleh suatu alasan tertentu yang berasal dari
dirinya. Dan suatu kelompok dapat menarik individu untuk bergabung
didalamnya karena tentunya ada sesuatu yang unik atau menarik untuk
diikuti. Hal seperti ini bergantung pada kelompok. Diantaranya adalah apa
jenis kelompok tersebut, bagaimana struktur dan kegiatannya, bagaimana
para anggotanya, dan kejelasan identitasnya di masyarakat. Secara umum,
in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana seseorang
mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas umum).
Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas

8
berbeda dengan “in group”. Adanya perasaan “in group” sering
menimbulkan “in group bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap
baik kelompoknya sendiri. Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael
Billig (1982) in group bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada
out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi
kemungkinan karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang
pada umumnya disertai devaluasi kelompok lain. Berdasarkan Social
Identity Theory, Henry Tajfel dan John Tunner (1982) mengemukakan
bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in group favoritism”,
yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang
lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group. Dari teori
tersebut dapat dikatakan bahwa seorang individu akan berusaha memilih
dan memperteguh keyakinan untuk bergabung dengan kelompok
favoritnya dibandingkan dengan kelompok lain.

3) Keyakinan yang saling terkait Ketika seorang individu telah bergabung


dengan suatu kelompok sosial dan memiliki identitas sosial sebagai
anggota kelompok tersebut, individu tersebut akan bertahan dengan
identitasnya apabila dia merasa nyaman dengan kelompok sosial yang
diikuti. Rasa kedekatan dan kekeluargaan akan dengan sendirinya tercipta
antar anggota kelompok, hal ini meliputi keseluruhan aspek konsep diri
seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori
keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna.
Dan hal seperti ini bisa dikatakan keyakinan antar anggota kelompok yang
saling berkaitan. Seorang indivdu akan memiliki kelekatan emosional
terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah
menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang
memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan
harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas
kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Jadi keyakinan
yang dimiliki oleh anggota kelompok dengan anggota lain lah yang
mempertahanan eksistensi kelompoknya dan identitas sosialnya sebagai
kelompok sosial.

9
4) Dipersonalisasi Ketika individu sudah bergabung dalam kelompok
kemudian merasa menjadi bagian dalam suatu kelompok, maka individu
tersebut akan cenderung mengurangi nilai dan sifat yang menjadi
karakteristik dalam diri individu yang sebenarnya, sesuai dengan nilai
yang ada dalam kelompok tempat individu bergabung. Dengan memenuhi
nilai yang ada dalam kelompok, seorang anggota kelompok akan bisa
bertahan dalam kelompok tersebut dan bertahan dengan identitas sosial
yang dimilikinya. Namun, hal ini juga dapat disebabkan oleh perasaan
takut tidak „dianggap‟ dalam kelompoknya karena telah mengabaikan
nilai ataupun kekhasan yang ada dalam kelompok tersebut. Mereka
menyatakan bahwa rasa aman dan tidak aman adalah dua tipe dasar
identitas yang mendasari keempat dimensi tersebut. Sedangkan peran
mana yang dimainkan dalam identitas sosial dalam hubungan antar
kelompok adalah tergantung pada dimensi mana yang berlaku saat ini.
Individu cenderung akan mengevaluasi out-group dengan lebih baik, lebih
membuka dirinya dan bahkan akan lebih sedikit bias bila membandingkan
in-group dengan out-group ketika derajat identitas aman lebih tinggi
daripada identitas tidak aman, begitu juga sebaliknya.

D. Konsep Diri
Konsep diri adalah identitas diri seseorang sebagai suatu skema dasar
yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri yang
terorganisir. Berfungsi untuk mengolah informasi tentang diri sendiri, motivasi,
keadaan emosional, kemampuan, dll. Kita bekerja sangat keras untuk melindungi
citra diri kita dari informasi yang mengancam, untuk mempertahankan konsistensi
diri kita, dan untuk menemukan alasan pada setiap inkonsistensi. Self defensive
yaitu ketertutupan pada informasi muncul ketika sadar tidak disukai orang lain.
Orang cenderung menolak perubahan dan salah memahami atau berusaha
meluruskan informasi yang tidak konsisten dengan konsep diri mereka. Ketika
perhatian difokuskan pada aspek yang tidak berhubungan dengan identitas
seseorang, hasilnya ia akan lebih terbuka pada informasi dan sikap untuk
mempertahankan dirinya sendiri akan berkurang.

10
a. Aspek - aspek dalam diri

1) Kesadaran diri Subjektif (subjective self-awareness):


kemampuan membedakan diri dan lingkungan fisik dan sosialnya. Tahap
ini terjadi saat kita masih kecil. Contoh: ketika kita mulai bisa
membedakan diri kita dengan lingkunga. dan orang lain.
2) Kesadaran diri objektif (objective self-awareness):
kemampuan menjadikan diri sendiri sebagai obyek perhatian, kesadaran
akan pikirannya (mengetahui dan mengingat). Tahap ini terjadi ketika kita
mulai dewasa. Contoh: saat kita berkata kasar dengan orang lain,
seringkali kita berpikir: “seharusnya saya tidak sejudes itu tadi, saya kasar
sekali yah.”
3) Kesadaran diri simbolik (symbolic self-awareness):
kemampuan membentuk representasi kognitif diri yang absrak melalui
bahasa yang memungkinkan manusia berinteraksi dan berkomunikasi
dengan lingkungannya. Contoh: konsep diri Rudi: Saya adalah seorang OB
(office boy). Maka konsep diri seorang OB yang dimiliki oleh Rudi itu
akan membantunya bersikap sebagai seorang OB di kantornya (mau
disuruh-suruh, dll)

b. Elemen pembentuk konsep diri ada 5, yaitu:

1) Identitas social,
Contoh: identitas kita sebagai anggota kelompok tertentu, contoh: saya
adalah mahasiswa IPB, saya orang Jawa.
2) Atribut personal, apa yang saya miliki.
Contoh: saya memiliki tinggi 167cm
3) Pengalaman masa lalu
4) Kondisi saat ini,
Contoh: Rudi baru saja di PHK, maka saat ini konsep diri Rudi adalah
“saya orang yang di PHK.”
5) Harapan di masa depan atau rangkuman memori, pengetahuan dan
imajinasi tentang 1. diri sendiri,

11
Contoh: Susi ingin menjadi Pragawati ketika dewasa, maka konsep diri
“saya calon pragawati” telah tertanam di diri Susi dan membentuk tingkah
lakunya: jalan berlenggak-lenggok.

c. Konsep diri terstruktur menjadi 2 bagian, yaitu:

1) Konsep diri sentral


Yaitu konsep diri inti dan cenderung ekstrem, yang bisa positif atau
negative dan relative sulit dirubah karena dielaborasi lebih detil, di
konsolidasi lebih kuat, dan diyakini dengan kepastian yang lebih besar.

2) Konsep diri peripheral


Konsep diri yang tidak terlalu kuat terbentuk dan relative mudah dirubah.
Contoh dari konsep diri sentral dan peripheral: Susi sangat ahli di bidang
matematika, kalau soal matematika dia pakarnya. Sementara di bidang
seni, olahraga dan lainnya dia tidak begitu hebat. Di sini, kkonsep diri
sentral Susi adalah ahli matematika, sedangkan bidang lainnya adalah
konsep diri periferalnya.

d. Konsep diri Sosial

Konsep diri social (social self) yaitu suatu identitas kolektif yang menyangkut
hubungan interpersonal dan aspek identitas yang berasal dari keanggotaan
dalam kelompok yang lebih besar dan tidak personal, yang didasarkan pada
ras, etnis, dan budaya. Contoh: saya orang Indonesia. Konsep diri social ini
terdiferensiasi dan didefinisikan dengan baik seiring pertambahan usia.
Contoh: waktu kecil konsep diri social Susi hanya saya murid SD Angkasa,
setelah dewasa konsep diri social Susi berkembang/bertambah: saya karyawan
PT CNI, saya ibu di keluarga x, saya anggota arisan Z, dst.

e. Factor yang mempengaruhi konsep diri ada 5 :

1. Factor biologis
2. Keinginan diri sendiri
3. Perubahan hidup yang besar
4. Perubahan kerja

12
5. Significant other (orang yang berarti buat diri pribadi) yang berpengaruh
pada interaksi social. Contoh: dulu sebelum berpacaran dengn Susi, Rudi
adalah pria yang pendiam dan kalem. Setelah mengenal dan berpacaran
dengan Susi, Rudi lebih PD dan berani show up.
6. Intensitas hubungan sangat berperan dalam perubahan konsep diri.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan
kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara
kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri sendiri dan orang
lain; kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua
gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun yang
diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat
dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Dan
khususnya ada pembahasan mengenai Identitas yaitu Identitas Sosial.
2. Konsep diri adalah identitas diri seseorang sebagai suatu skema dasar
yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri yang
terorganisir. Berfungsi untuk mengolah informasi tentang diri sendiri,
motivasi, keadaan emosional, kemampuan, dll. Kita bekerja sangat keras
untuk melindungi citra diri kita dari informasi yang mengancam, untuk
mempertahankan konsistensi diri kita, dan untuk menemukan alasan pada
setiap inkonsistensi. Self defensive yaitu ketertutupan pada informasi
muncul ketika sadar tidak disukai orang lain.

E. Kritik dan Saran


“Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak salah dan kurangnya. Untuk
itu demi kemajuan dan perbaikan kedepan penulis mengharap saran dan
kritiknya.”

14
DAFTAR PUSTAKA

Vianti, Annisa (2010). aspek-aspek-identitas-sosial-self-dan-gende, Mengutip 23


Oktober 2020 dari, https://annisaavianti.wordpress.com/2010/07/18/aspek-aspek-
identitas sosial-self-dan-gender/

etheses.uin-malang.ac.id › 09...PDF

15

Anda mungkin juga menyukai