Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AGAMA CINA DAN JEPANG


“SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
AGAMA SHINTO”

DOSEN : Ahmad Danawir

DI SUSUN OLEH :
(Kelompok 11)
1. Rika Putri (30500118028)
2. Rahmat Hidayat (30500118029)

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT, DAN POLITIK


JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
Tahun Pelajaran : 2020 – 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmatNYA


sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 3 Desember 2020

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5
A. Asal Usul Agama Shinto...............................................................................5
B. Perkembangan Agama Shinto.....................................................................11
BAB III PENUTUP..............................................................................................17
A. Kesimpulan.................................................................................................17
B. Kritik dan Saran..........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan Jepang memang


memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan
bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun
spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan
pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual
bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar
senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir
sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau
kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang
spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar
itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli
Jepang. Oleh karena untuk mengetahui lebih lanjut tentang agama Shinto, dalam
makalah kami akan menjelaskan hal-hal berkaitan dengan agama Shinto.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana asal usul dari Agama Shinto ?


2. Bagaimana sejarah perkembangan dari Agama Shinto ?

C. Tujuan

1. Agar dapat mengetahui asal usul dari Agama Shinto.


2. Agar dapat mengetahui sejarah perkembangan dari Agama Shinto.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Usul Agama Shinto

Wilayah Jepang terdiri atas empat pulau besar, yaitu Hondo, Hokkaido,
Shikoku, dan Kyushu, beserta ribuan pulau kecil. Penduduk asli kepulauan itu
sepanjang arkeologi dan antropologi, demikian L. Langer di dalam Encyclopedia
of World History edisi 1956, erat berkaitan dengan suku Tunggus dan suku Korea
berdasarkan pembuktian linguistic. Sepanjang pembuktian ethnografis dan
mithologis, demikian William L. Langer. Terpadu kedalamnya unsur belahan
selatan Tiongkok beserta unsur Melayu dan Asia Tenggara dan unsur Polynesia.
Pada masa sebelumnya unsur Ainu agak dominan disitu.1

Suatu suku dari pulau Kyushu yang terletak pada belahan selatan, dan suku
itu belakangan membentuk imperium, menyebrang ke utara menuju lembah
Yamato (Nara) di pulau Honsyu. Ia memperoleh kemenangan dalam persaingan
kekuasaan dengan suku Izumo yang punya pertalian darah dengan suku Korea.
Melalui peperangan dengan suku lainnya, termasuk suku Ainu, berhasil
membentuk sebuah imperium dan naik berkuasa kaisar Jepang yang pertama-tama
pada tahun 660 sebelum Masehi, yaitu Kaisar Jimmu Tenno.

Bentuk susunan social di Jepang dewasa itu terdiri atas himpunan berbagai
suku (uji), yang satu persatu suku itu dibawah pimpinan seorang kepala-suku (uji-
no-kami). Anggota suatu suku itu menyatakan turunan satu moyang, yang
bisasanya dewa suku (ujigami). Kepala suku bertindak sebagai duta dalam
upacara pemujaan terhadap dewa suku, dan kekuasaannya bersifat kepadrian.
Kepala suku dan keluarganya seringkali beroleh berbagai gelaran (kabane), yang
dalam perkembangannya bersifat hirarki. Di dalam lingkungan suku berda

1
Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h.
207.

5
kelompok-kelompok kerja yang bersifat warisan (tomo), yang serupa dengan
kedudukan di Barat.2

Suku yang memegang tampuk kekuasaan didalam imperium membikin


dewa-suku menjadi dewa-nasional. Dua suku yang punya kedudukan penting
ialah suku Omi dan suku Miraji. Para kepala dari suku Kumo, Otomo, Monobe,
menempati kedudukan sebagai panglima kerajaan. Sedangkan kepala suku Imube
(Imibe atau Imbe) menjabata urusan upacara-upacara keagamaan. Jepang itu
sepanjang sejarah sering berbenturan dengan korea dan tiongkok dan perbenturan
itu meninggalkan jejak-jejak dijepang.3

Agama Shinto adalah agama yang tumbuh dan berkembang di negara


Jepang. Jepang adalah sebuah negara yang rakyatnya memiliki kehidupan
beragama yang cukup rumit. Di negara ini, sekurang-kurangnya tercakup 5 faham
keagamaan, yaitu agama rakyat, Shinto, Budhisme, Taoisme, dan Konfusianisme.
Agama Shinto diperkirakan sudah ada sekitar 2.500-3000 tahun yang silam di
Jepang. Beberapa ahli sejarah dan agama menyebutkan bahwa kepercayaan yang
ada dalam agama Shinto sudah mulai dikenal pada periode Yayoi (300 SM).
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Shinto adalah agama Jepang kuno yang
lahir sekitar 500 SM. Agama ini timbul pada zaman prasejarah, dan pembawanya
tidak diketahui secara pasti. Agama Shinto tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan penduduk, bukan datang dari luar.

Mula-mula kepercayaan orang jepang purba sangat  sederhana, belum


terorganisir dan hanya merupakan pemujaan alam, arwah nenek moyang dan serba
jiwa (animis); tidak mempunyai patung-patung, kitab suci, pendeta atau ajaran
normal. Mereka meyakini, matahari,bintang, bulan, Guntur, hujan, gejala-gejala
alam dan semua benda baik yang hidup atau mati dianggap memiliki spirit (roh)
yang diyakini memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh bagi kehidupan. Daya
kekuasaan ini bisa berbuat kebaikan dan kejahatan, karenanya supaya selalu
mendatangkan kebaikan maka harus dipuja. Jika ingin hujan turun, mereka pergi

2
Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h.
208.
3
Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h.
208.

6
kelaut dan memuja sungai supaya mendatangkan hujan. Jika menghendaki hujan
berhenti atau matahari tidak terlalu panas, mereka memuja matahari seterusnya.
Tiap-tiap suku juga mempunyai dewa sendiri yang kadang-kadang dianggap
sebagai nenek moyangnya. Dewa-dewa digambarkan seperti manusia
sebagaimana dalam legenda terjadinya kepulauan jepang dan memiliki kekuasaan.
Daya-daya kekuasaan ini, baik yang terdapat dalam gejala alam maupun pada
dewa-dewa dan menjadi obyek pemujaan, diberi nama Kami.4

Agama Shinto adalah agama warisan Nenek Moyang atau agama lokal di
Jepang yang secara turun temurun ada generai penerusnya. Pada awalnya,
kepercayaaan masyarakat Jepang disebut “Kami no Michi”, yang bermakna jalan
dewa. Nama Shinto baru digunakan setelah masuknya agama Budha dan
Konfusius. Pemberian nama Shinto sebenarnya dimaksudkan untuk menyebut
kepercayaan asli bangsa Jepang.5 Nama Shinto dari beberapa pendapat, yakni
dianggap sebagai perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna ‘jalan langit’
dari aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, dan
menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang. Shinto berasal dari kata
majemuk “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah Roh dan “To” adalah “jalan”.
Jadi Shinto mempunyai arti lafziyah “jalannya roh”, baik roh yang telah
meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Namun ada pendapat lain dari bahasa
Cina yaitu “Shen-Tao” untuk membedakan antara Kami-no-michi, jalan para
dewa bangsa Jepang dengan Butsodo atau Budha-Thao, Jalan Budha. 6 Dalam
istilah Shinto atau disebut dengan Shintoisme adalah paham yang berbau
keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang samapai sekarang. Shintoisme
merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek
moyang bangsa Jepang yang dijadikan sebagai pegangan hidup. Tidak hanya
rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme, melainkan pemerintah juga
harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.7

4
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 33.
5
M Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2015), h. 308-310.
6
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 34.
7
M Ali  Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h. 308.

7
Dalam beberapa literatur mengatakan bahwa agama Shinto di bawa atau
dikenal kan sejak zaman suku Yamato kira-kira abad ke 4 Masehi, suku Yamato
berhasil menguasai Jepang bagian tengah dan selatan. Lambat laun mite suku
Yamato dingaap mempunyai mite dan tradisi yang lebih unggul dari pada suku
lainnya pada saat itu dan dijadikan dasar utama kepercayaan masyarakat Jepang
tentang asal-usul kedewaan dan kelebihan bangsa Jepang dengan bangsa-bangsa
liannya. Asal-usul mengenai alam dan dunia ini, khususnya kepulauan Jepang.
Mereka mempercayai ada 3 dewa yang muncul dalam pembentukan alam dan
dunia, yang merekan sebut dengan Tiga Kami Pencipta. Kemudian muncul pula
dua dewa selanjutnya yang memperoleh perhatian dan tempat istimewa dalam
agama Shinto, yaitu dewa Izanagi dan dewi Izanami. Keduanya menciptakan
kepulauan Jepang lengkap dengan para dewanya. Seperti dewa air, dewa bumi,
dewa gunumg dan sebagainya, dan hal-hal penting yang berkaitan dengan alam
ini. Setalah melahirkan dewa api, Izanami menginggal dunia, dan kemudian
menjadi Dewi Tanah Yomi, tempat orang-orang yang telah mati. Ketika Izanagi
pergi mengunjungi ostrinya yang telah mati ia melanggar suatu pantangan
sehingga membuat dririnya kotor dan berdosa, oleh karena itu Izanagi
membersihkan diri dengan melakukan upacara pensucian. Ketika sedang
melaksanakan pensucian di air, mata sebelah kirinya keluar Dewi Matahari,
Amaterasu, dan mata sebelah kanannya terjadi Dewi Bulan, Tsuki Yomi. Dewi
Amaterasu mempunyai seorang cucu yang bernama Ninigimiko, yang ditugaskan
untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan memerintah dunia untuk
selama-lamanya. Ia turun di daerah Kyushu. Putranya, Jummu Tenno, adalah
kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar Jepang pertama kali. Dari garis
inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan di kalangan masyarakat
Jepang. Saat suku Yamato berkuasa, kultus dan keragaman tradisi keagamaan
mulai dipersatukan dan terorganisasikan ke dalam suatu bentuk pemerintahan
agaman dengan suatu sitem ritus yang dipusatkan pada Dewi Matahari, meskipun
masih dalam keadaan tanpa nama.8

8
A. Mukti Ali, dkk, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988), h. 236-237.

8
Bangsa Jepang kemudian bertemu dengan kebudayaan Tiongkok, yang
sudah memiliki kepercayaan terorgaisir yaitu agama Tao, Konfusious dan Buddha
memasuki Jepang. Kira-kira abad ke 4 M, agama Konfisius memasuki Jepang.
Pada Tahun 405, seorang sarjana korea bernama Wani memperkenalkan ajaran
etika Konfusius dan berbagai paham dualism Tao. Dalam pembaharuan yang
dilakukan pada tahun 645 M agama Konfusius memainkan peran penting.
Pengaruhnya mewarnai bahasa, tingkah laku dan kesadaran moral rakyat Jepang,
sehingga sulit membedakan unsur-unsur Konfusius dengan yang bukan
Konfusius. Sesudah pembaharuan kekaisaran pada pertengahan abad 19,
keterkaitan agama Konfusius dan agama Shinto sangat kuat dan perpaduan moral
dan tingkah laku bangsa Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Baru pada saat
berakhirnya Perang Dunia II mengalami perubahan, meskipun dalam tataran
pengaruh pemikiran religious Konfusius tetap berakar kuat dalam kehidupan
spiritual masyarakat Jepang sekarang, meskipun tidak pernah disusun dalam
bentuk organisasi keagamaan yang berdiri sendiri.9

Pada pertengahan abad ke-6 agama Budhha mulai memasuki Jepang


melewati korea. Saat itu sebuah pemerintahan kecil di semenanjung Korea
mengirim delegasi ke Jeepang, selain membawa berbagai hadiah juga membawa
juga membawa sebuah patung kecil dan beberapa kitab pengajaran agama
Buddha. Beberapa penguasa di Jepang menerima agama Budhha sebagai pedoman
hidup diantaranya, pangeran Shotoku, di bawah pemerintahan Ratu Suiko yang
pertama-tama bersungguh-sungguh memahami pemikiran agama Buddha dan
memeluknya dengan penuh kepercayaan. Ia banyak berperan dalam
penrkembangan agama Buddha di Jepang, diantaranya mendirikan Vihara
Horyuji. Vihara Horyuji ini adalah vihara pertama yang menjadi pusat belajar bagi
orang-orang Budhha.10

Pada abad ke -6 Masehi suku Yamato berkuasa, mulai lah pada abad itu
masuk agama Budha masuk ke Jepang dari Tiongkok memlalui Korea. Satu abad
kemudian, agama Budha berkembang dengan pesat, bahkan lama kelamaan
mengalahkan popularitas agama lokal yang menjadi kepercayaan asli masyarakat
9
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 35.
10
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 35.

9
Jepang. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto, para
pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur  Budha kedalam sistem
keagamaan mereka. Akibatnya, agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian
besar jati dirinya. Misalnya tempat-tempat ibadahnya, upacara keagamaannya dan
sistem kepercayaan mereka telah dipengaruhi oleh agama Budha.11

Sejak tahun 701 M ketika untuk pertama kalinya undang-ungdang negeri


Jepang disusun pada masa kaisar Taiho ssampai dengan tahun berakhirnya Perang
Dunia II, prinsip utama kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah Jepang
dalam bidang keagamaan  adalah pengawasan dan pengaturan terhadap agama
yang ada. Pemerintah membeda-bedakannya menjadi agama-agama yang resmi
diakui (illegal) dan agama-agama yang tidak diakui (ilegal). Pengakuan
pemerintah terhadap sesuatu kelompok keagamaan berarti sekaligus pemberian
hak-hak istimewa kepadanya berupa bimbingan dan perlindungan dari
pemerintah. Sebaliknya, kelompok-kelompok keagamaan yang tidak diakui, tidak
akan memiliki kebebasan untuk menyebarluaskan dan melaksanakan ajaran-
ajarannya, bahkan juga memperoleh beban membayar pajak. Meskipun undang-
undang Meiji tahun 1889 memberikan jaminan adanya kemerdekaan beragama
namun kebijaksanaan semacam di atas tetap dipengang teguh oleh pemerintah.
Pemerintah membedakan antara upacara keagamaan yang dilakukan dalam
lingkungan  istana dan tempat-tempat suci agama Shinto dengan upacara yang
dikejkan oleh kelompok-kelompok keagamaan lainnya. Kelompok yang pertama
disebut dengan Kokka Shinto dan merupakan kelompok agama Shinto yang
diakui resmi oleh pemerintah sehingga dapat dikatakan sebagai agama Negara.
Kelompok yang kedua hanya akan diakui sebagai suatu kelompok keagamaan
yang sah dan akan menikmati kemerdekaan beragama seperti yang dirasakan oleh
kelompok agama Negara apabila mereka menggabungkan diri ke dalam istilah
penggabungan yang sengaja ditetapkan oleh pemerintah yaitu Kyoha Shinto, sekte
agama Shinto.12

Sejak masa restorasi meiji (1868-1912) hingga akhir perang dunia dua,
Shinto merupakan agama resmi di Jepang. Agama Shinto yang mengajarkan
11
M Ali  Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h. 311-312.
12
Djam’annuri, Agama Jepang (Yogyakarta: PT Bagus Arafah, 1981), h. 13.

10
penyembahan Kami, dapat diartikan sebagai dewa, roh alam, atau sekedar
kehadiran spiritual. Namun, setelah perang dunia dua, Shinto kehilangan statusnya
sebagai agama resmi.13

Sebagian ajaran dan kegiatan Shinto yang sebelumnya dianggap penting


pada masa perang ditinggalkan dan tidak lagi diajarkan. Ada sebagian yang
bertahan namun telah kehilangan konotasi keagamaannya, misalnya dengan
prenyelenggaraan komikuji (semacam undian untuk menebak keberuntungan).

Kemerosoatan agama Shinto terus berlangsung sampai abad ke-17, timbul


lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor
Kamamobuchi, Mitoori, Hirata, Narinaga, dan lain-lainnya dengan tujuan bangsa
Jepang ingin membedakan jalannya Budha dengan roh-roh yang di anggap dewa
oleh bangsa Jepang, untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya.
Apada abad ke-19 tepatnya tahun 1868, agama Shinto diproklamasikan menjadi
agama negara yang saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta
pemeluknya. Sejak itu, dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan
ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang. Lalu, menurut konstitusi
tahun 1889, negara mendukung lebih dari 110.000 kuil Shinto dan kurang lebih
16.000 pendeta yang mendiami kuil-kuil milik negara tersebut. Di fase inilah
ajaran asli Jepang yaitu agama Shinto mulai bangkit kembali dan menjadi agama
kepemerinthan serta kembali sperti zaman Yamato saat itu.14

B. Perkembangan Agama Shinto

Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi menjadi


beberapa tahap massa :

a) Masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di


Jepang, Yaitu dari tahun 660 SM – 552 M. kira-kira 12 abad lamanya.
b) Masa agama Budha dan ajaran Konfusianisme dan ajaran Taoisme masuk
ke Jepang, yaitu tahun 552 M sampai tahun 800 M, yang dalam masa dua
setengah abad itu agama Shinto memperoleh persainga berat, pada tahun

13
http://Research-dashboard.binus.ac.id, diakses pada 3 Desember 2020.
14
M Ali, Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h. 313.

11
645 M kaisar Kotoku merestui agama Buddha dan menyampingkan Kami
no Michi. Sedangkan pada tahun 671 M sang Kaisar membelakangi dunia
dan mengenangkan pakaian rahib.
c) Masa sinkronisasi secara berangsur-angsur antara agama Shinto dengan
tiga ajaran lainnya, yaitu dari tahun 800 M sampai 1700 M, yang masa
dalam sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu Shinto yang didirikan
oleh Kubo Daishi (774-835 M) dan Kita Batake Chikafuza (1293 – 1354
M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500 M).15

Kemudian agama Shinto bercampur dengan agama Buddha demikian pula


dengan agama Konghucu yang masuk ke jepang langsung dari tanah asalnya kira
kira pada abad pertengahan ke 7, Tentang pengaruh agama Buddha yang lain
nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan
Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai
(cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari
dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal ini berlangsung
sampai abad ke-17 M.

Ahirnya ketiga agama itu bergandengan bersama sampai sekarang, hal itu
tidaklah aneh karena orang jepang tidak menolak kepercayaan apapun yang
masuk negrinya, asalkan tidak menggangu keselamatan Negara, tujuan utama bagi
pemeluk agama Shinto adalah kebahagiaan dalam kehidupan dunia, mereka
menganggap bahwa orang yang sudah mati dapat membantu mereka dalam
menjalankan hidup ini dari abad keabad kultus (kebaktian) terhadap roh nenek
moyang selalu berubah bentuknya tetapi sifat kultus yang khas masih tetap sama.16

Setelah abad ke-17, timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali


ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga
dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo”
(jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa
Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya.

15
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor , h. 32.
16
http://hmjperbandinganagama.blogspot.com/2011/03/agama-shinto.html, diakses pada
3 Desember 2020.

12
Pada abad ke-19 tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi
agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta
pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan
ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, Sebab saat itu taat kepada
ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara
dan politik negara.

Zaman Edo atau sering juga disebut masa Tokugawa adalah zaman yang
sangat berpengaruh bagi Jepang modern, bukan hanya karena zaman ini adalah
satu masa sebelum Restorasi Meiji yang menjadi gerbang modernisasi di Jepang
tetapi karena pada masa ini unsur-unsur budaya Jepang berkembang dengan pesat.
Berbagai kemajuan Jepang dicapai pada masa ini, mulai dari lahirnya berbagai
bentuk kesenian sampai sistem perekonomian yang maju, masyarakatnya pun
tidak hanya mengalami kemajuan tetapi juga menjadi landasan terbentuknya
masyarakat Jepang modern.

Shinzaburo membagi periode pemerintahan Tokugawa berdasarkan


kemantapannya atas tiga periode :17

1) Periode pertama tahun 1603-1632

Periode pertama adalah masa shogun Ieyashu (1603-1605) sampai pada


masa shogun Hidetada (1605-1632). Pada periode ini berkembang aliran
Konfusionis yang bertujuan demi kepentingan politik.

2) Periode kedua tahun 1633-1854

Periode kedua adalah masa kemantapan keshogunan Tokugawa, yang


diperintah oleh sepuluh generasi Tokugawa, dari Iemitsu (1633-1651) sampai
shogun Ieyoshi (1837-1853).

17
Hamzon Situmorang, Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan kepada Keshogunan
dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) di Jepang, Medan: USU Press, 1955,  h. 41.

13
3) Periode ketiga tahun 1855-1867

Periode ketiga adalah masa kehancuran keshogunan Tokugawa hingga


menyerahkan kekuasaan kepada kekaisaran (1853-1867) diperintah oleh tiga
generasi Tokugawa yaitu Shogun Iesada, Iemochi dan Yoshinobu.

Agama Konfusius pada abad 4 M memasuki Jepang. Agama ini bercorak


serba duniawi sehingga relatif dapat bercampur dengan agama Shinto atau nilai
tradisional orang Jepang. Undang-undang 17 Pasal yang dikeluarkan Pangeran
Shotoku penuh dengan konsep Konfusius. Dengan adanya pembaharuan ini
pengaruh Konfusius semakin luas pada bahasa, tingkah laku dan kesadaran moral
orang Jepang.

Budha masuk ke Jepang pada abad 6 M (538/552) melewati Korea. Pada


abad 7/8 M mendapat pengikut yang sangat banyak.dan pemerintah juga
memberikan bantuan sangat besar terhadap agama ini. Pemeluk Budha pertama di
Jepang yang sungguh-sungguh adalah Pangeran Shotoku. Pengaruh Budha mulai
meluas pada masyarakat Jepang pada masa Kamakura (1192-1333), yakni dengan
berkembangnya teori Honji Suijaku Setsu. Budha dianggap sebagai Honji yaitu
wujud metafisik Budha dan dewa-dewa dalam ajaran Shinto dianggap sebagai
reinkarnasi dewa-dewa Budha (Suijaku). Tokoh terkenal agama Budha di Jepang
pada masa Kamakura adalah Honen, Shinran, Dogen dan Nichiren.

Pada masa Muromachi (1338-1582) muncul aliran Yoshida Shinto yang


mengajarkan kesatuan dari agama Shinto, Konfusius dan Budha, dengan kiasan
Budha digambarkan sebagai bunga dan buah dari semua prinsip aturan
(sansakerta:dharma), agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya, dan agama
Shinto akar dan batangnya. Gejala perpaduan anatara Shinto dan Budha sering
disebut Shinbutsu Shugo.

Pada masa Tokugawa (1603-1868) agama Budha ditetapkan sebagai agama


negara. Namun pada masanya pula, mulai adanya usaha-usaha untuk kembali
menghidupkan kembali agama Shinto. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-
tokoh pembaharu agama Shinto, diantaranya, Motori Norinaga (1776-1801)
dengan karyanya yaitu Kojiki-den yang memuat hasil-hasil telaah dari kitab

14
Kojiki. Karyanya dianggap sebagai bintang penerang agama Shinto. Pengikut
Norinaga yaitu Hirata Atsutane (1776-1843) tak hanya melanjutkan usaha
Norinaga tapi juga mempraktekan dan menjadikannya sebagai landasan
kebangkitan agama Shinto. Ia mengkritik agama Budha, Konfusius dan Kristen.
Dan pada tahun 1811, menerbitkan karyanya yang berjudul kodo–taii (pokok-
pokok ajaran kuno).

Pada masa restorasi Meiji (1868), gerakan untuk memurnikan agama Shinto
mencapai hasil berupa Shinbutsi Bunri, yaitu pemisahan agama Shinto dengan
agama Budha dengan poin-poinnya :

a) Sejak saat itu dewa-dewa agama Shinto tidak boleh disamakan dengan
Bosatsu (Bodhisattva).
b) Kitab-kitab suci tidak lagi boleh dibaca oleh orang-orang budha di
hadapan para dewa agama Shinto.
c) Tidak lagi diperbolehkan berperan serta dalam peribadatan agama Shinto.
d) Pemerintah Meiji berusaha keras untuk mendirikan negara yang
didasarkan agama asli Jepang.

Bangsa barat menuntut agar sikap pemerintah melarang agama Kristen


segera dihapuskan. Pertama kalinya agama Kristen diperkenalkan di Jepang pada
tahun 1549 dengan kedatangan Jesuit Francis Xavier di Kagoshima, dan untuk
kedua kalinya dilakukan para misionaris Protestan dan Rom Katolik pada tahun
1859. Terjadi benturan dan konflik dengan sistem nilai agama-agama yang
dijumpainya di Jepang. Kristen agama asing.

Pada abad 17 M Tokugawa memutuskan melarang agama Kristen. Agama


Kristen dianggap semata-mata sebagai usaha asing untuk menaklukkan Jepang.
Pemerintah Meiji menuduh agama Kristen telah memperkecil dan meremehkan
arti kesetiaan terhadap Kaisar dibandingkan dengan kesetiaan terhadap Tuhan
Yesus. Di sisi lain, pendeta Budha bersekutu dengan orang Kristen menuntut
adanya pemisahan antara agama dari negara, dan ditetapkannya kemerdekaan
beragama bagi seluruh rakyat Jepang.

15
Pada tahun 1889, pemerintah menetapkan Undang Undang Meiji. Lalu pada
tahun 1890, dikeluarkan piagam pemerintah mengenai kependidikan yang
mementingkan keselarasan dan kesetiaan sosial terhadap Kaisar. Meskipun UU
Meiji tahun 1889 memberikan jaminan adanya kemerdekaan beragama, namun
kebijaksanaan pemerintah mengenai pembedaan agama menjadi agama resmi dan
tidak resmi tetap dipegang teguh oleh pemerintah. Kelompok pertama adalah
Kokka Shinto yang merupakan kelompok agama yang diakui resmi oleh
pemerintah. Kelompok kedua disebut Kyoha Shinto, yang sekte agama Shinto.

Dengan berakhirnya Perang Dunia II sikap pemerintah Jepang terhadap


agama mengalami perubahan total. Pada bulan Desember 1945 dikeluarkanlah
Pedoman Shinto. Tujuan utama pedoman tersebut adalah untuk membasmi semua
bentuk faham militerisme dan ultra-nasionalisme, membakukan kemerdekaan
beragama dan memisahkan agama dari negara. Sehingga Shinto pun akhirnya
sama kedudukannya dengan agama lain.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Agama shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam
lingkungan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli agama itu ialah
Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Shinto (dari bahasa Cina Shen
dan Tao, yang berarti "Jalan dari Jiwa-jiwa") disebut Kami-no-michi dalam
bahasa Jepang, kami adalah banyak Dewa atau jiwa alam. Agama Shinto
timbul pada zaman Prasejarah dan siapa pembawanya tak dapat dikenal
dengan pasti. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok
maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To.
Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit.
2. Dari uraian diatas dapat disimpulkan tahapan perkembangan agama Shinto
kepada tiga tahapan yaitu :
a) Masa perkembangan dengan pengaruh mutlak sepenuhnya di Jepang,
dari tahun 660 SM sampai tahun 552 M, di dalam masa dua belas abad
lamanya.
b) Masa berasimlilasi dengan agama Budha, Konghuchu dan ajaran Tao
masuk ke Jepang, dari tahun 552 M samapai tahun 800 M, dalam
masa dua setengan abad itu agama Shintho beroleh saingan berat.
Pada tahun 645 M Kaisar Koyoku merestui agama Bufha dan
menyampingkan Kami-no-michi.
c) Masa sinkronisasi secara berangsur-angsur antara agama Shinto
dengan tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari tahun 800 M samapai
tahun 1700 M. Yang dalam masa sembilan abad itu pada akhirnya
lahir Ryobu-Shinto di bangun oleh Kobo-Daishi (774-835 M) dan
Kitabake Chikafuza (1293-1354 M) dan Ichijo Kanoyosi (1465-1500
M) dan lainnya (Sou’yb 1996:209).

17
B. Kritik dan Saran

Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak salah dan kurangnya.
Untuk itu demi kemajuan dan perbaikan kedepan penulis mengharap saran dan
kritiknya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad, H, Prof, M.Ed, Mengguak Misteri Ajaran Agama-Agama


Besar, GT. Press, Jakarta.

Sou’yb. Joesoef. Agama-agama besar di dunia. PT. Al-Huzna Zikra. Jakarta, cet.


Ke-3 1996.

Internet:

http://agama-agamadunia2017ih3akelompok7.blogspot.com/2017/11/asal-usul-
dan-sejarah-agama-shinto_61.html, “Asal-Usul Dan Sejarah Agama
Shinto”, diakses pada 3 Desember 2020.

19

Anda mungkin juga menyukai