Anda di halaman 1dari 13

Mata Kuliah Pengantar Studi Kebudayaan Jepang

“Shinto in Japan”

Dosen Pengampu:

Pipiet Furisari S.S., M.Pd.

NAMA :

1. Eva Ananda C12.2022.01062


2. Ahmad Fadhil Aulia Arif C12.2022.01070

UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

2023
Kata Pengantar

Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas Rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang bertema “Shinto in Japan” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar studi kebudayaan Jepang.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca
mengenai Shinto sebagai salah satu kebudayaan yang ada di Jepang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Pipiet Furisari, S.S., M.Pd. Selaku pengampu
mata kuliah Pengantar Studi Kebudayaan Jepang. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 17 September 2023

Penulis
Pembahasan

A. Sejarah Shinto

Shinto merupakan kombinasi dari dua buah huruf cina shen-tao, shin berarti dewa dan Dao
berarti jalan. Secara harfiah, Shinto mempunya arti jalan dewa. Dalam literatur lain
disebutkan bahwa Shinto berasal dari perubahan bunyi kata Tien-Tao yang berarti jalan-
langit [1]. Shinto sudah berakar sejak jaman kuno bagi jepang. Sejarah mencatat dalam
Kojiki pada tahun 712 dan dalam Nihon Shoki pada tahun 720, tetapi para ahli arkeologi
mencatat lebih jauh sebelumnya.

Shinto adalah perpaduan kepercayaan animism dan dinamisme. Agama Budha memasuki
negara jepang pada abad 6 M dari tiongkok lewat korea. Istilah Shinto baru muncul dan
dikenal luas dalam kehidupan Masyarakat jepang pada tahun 1396 M setelah masuk dan
diterimanya agama Budha dalam pemerintahan dan kehidupan Masyarakat jepang. Raja
meresmikan Shinto sebagai agama di jepang karena Shinto mengajarkan untuk memuja dan
berbakti kepada raja. Raja mengambil Tindakan tersebut akibat dari peristiwa agama Budha
yang mendesak agama Shinto. Setelah peresmian Shinto sebagai agama di jepang terdapat
pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli di jepang (Shinto) yang
mengakibatkan pendeta bangsa jepang (Shinto) dengan pendeta Budha berseteru. Untuk
meredakan perseteruan itu, pendeta bangsa jepang (Shinto) mengambil keputusan untuk
memasukan ajaran agama Budha kedalam ajaran Shinto. Sehingga agama Shinto hampir
kehilangan sebagian besar sifat aslinya [2].

Penggunaan nama Shinto tujuannya untuk membedakan antara kami-no-michi, jalan para
dewa bangsa jepang dengan butsudo/Buddha-tao, jalan Budha. Sebelum memiliki nama
dan belum terorganisir, terdapat sekelompok orang yang menyakini adanya kekuatan alam
dan arwah Nenek moyang kemudian memujanya. Untuk menggambarkan istilah kehidupan
sosial Masyarakat jepang pada saat itu disebut Matsurigoto (pemerintahan; upacara
keagamaan) [1]. Agama Shinto tidak mempunyai pendiri atau nabinya dan tidak
mempunyai kitab suci. Terdapat sejumlah naskah penting bagi kaum Shinto, yakni Kojiki
(peristiwa prubakala), Nihongi (Riwayat jepang). Isi kitab tersebut membahas asal-usul
bangsa dan negara jepang [3].

B. Ajaran Shinto
a. Ajaran tentang KAMI
Istilah “Kami” diartikan “di atas” atau “unggul”, yang secara spiritual diartikan
dengan “dewa”, Tuhan, God, dan sebagainya. Bagi bangsa jepang istilah “Kami”
dapat digunakan untuk hal yang tunggal atau jamak sekaligus, karena dewa dalam
agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, senantiasa bertambah, diungkapkan dalam
istilah yao-yarozou no Kami yang berarti delapan juta dewa. Masyarakat jepang
menggunakan kata Kami sebagai istilah untuk segala hal yang memiliki sifat – sifat
misterius, disegani, atau ditakuti, tak peduli itu benda yang hidup atau benda mati.

Konsepsi yang mendasari kedewaan dalam agama Shinto terdiri atas empat hal:
1. Dewa yang pada umumnya merupakan personafikasi dari gejala alam itu
dianggap dapat mendengar, melihat, dsb. Sehingga harus dipuja secara langsung.
2. Dewa merupakan penjelmaan dari roh manusia yang sudah meninggal.
3. Dewa dianggap mempunyai spirit (mitama) mendiami tempat – tempat dibumi
dan mempengaruhi kehidupan manusia. Kami ini bisa berasal dari orang yang
telah meninggal dunia atau ada juga yang berasal dari benda alam.
4. Pendekatan manusia terhadap dewa – dewa tersebut bertitik tolak pada perasaan
segan dan takut.

b. Ajaran tentang manusia


Konsep tentang manusia dapat ditelusuri dari kepercayaan akan adanya garis
kesinambungan antara Kami dan manusia. Oya-ku, suatu hubungan antara orangtua
dan anak, atau antara nenek moyang dan keturunannya. Hal ini digambarkan dalam
mitologi garis keturunan kaisar pertama Jepang, yang diyakini sebagai keturunan
Dewa Matahari. Jadi, “Manusia adalah putra Kami”. Ungkapan yang mengandung
dua pengertian: pertama, kehidupan manusia berasal dari Kami, sehingga dianggap
suci; kedua, kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari Kami

Manusia disebut dengan hito yang berarti “tempat tinggal spirit”, yang dalam
bahasa Jepang kuno disebut ao-hito-gusa (rumput-manusia-hijau) untuk
memperbandingkan manusia dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Selain itu,
manusia dapat disebut pula ame no masu hit (manusia langit yang berkembang),
maknanya adalah makhluk suci yang memiliki kemampuan tidak terbatas
c. Ajaran tentang dunia
Dalam pemikiran Shinto ada tiga jenis dunia, yaitu:
1. Tamano-hara, berarti “tanah langit tinggi”, sebuah dunia suci, rumah, dan
tempat tinggal para dewa langit (Amatsukami).
2. Yomino-kuni, dunia yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek,
menyengsarakan, tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia.
3. Tokoyono-kuni, berarti “kehidupan yang abadi”, “negeri yang jauh di seberang
lautan”, atau “kegelapan yang abadi”, yakni dunia yang dibayangkan penuh
dengan kenikmatan orang-orang yang kedamaian, dianggap sebagai tempat
tinggal arwah orang-orang yang meninggal dalam keadaan suci.

Ketiga dunia ini sering disebut kakuriyo (dunia yang tersembunyi), dan dunia
tempat tinggal manusia disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat atau dunia yang
terbuka).

Agama Shinto tidak memiliki ajaran tentang hidup di hari kemudian atau hidup
setelah mati, karena dunia tempat tinggal manusia tidak akan musnah. Berdasarkan
pandangan ini, maka saat-saat kehidupan manusia di dunia sekarang ini merupakan
saat-saat yang penuh dengan nilai, dan setiap pemeluk Shinto diharuskan berperan
aktif dalam perkembangan dunia yang abadi dan harus memanfaatkan setiap saat
dalam kehidupan semaksimal mungkin

d. Ajaran etika
Beberapa ajaran yang berkaitan dengan kepribadian terkandung dalam ajaran
kesusilaan yang biasanya dilakukan para bangsawan atau para ksatria Jepang, antara
lain:
1. Keberanian dianggap sebagai suatu keutamaan pokok dan ditanamkan pada
anak dalam masa permulaan hidupnya. Sikap keberanian dinyatakan dengan
semboyan: “Keberanian yang benar untuk hidup ialah bilamana hal itu benar
untuk hidup, dan untuk mati bilamana hal itu benar untuk mati”.
2. Sifat penakut dikutuk, karena sifat ini dipandang dosa. “Semua dosa besar
dan kecil dapat diampuni dengan melalui cara tobat, kecuali penakut dan
pencuri”.
3. Loyalitas, yaitu setia, kesetian pertama kepada Kaisar, kemudian meluas
kepada seluruh anggota keluarga Kaisar, pada masyarakat dan pada generasi
yang akan datang.
4. Kesucian dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting dalam
Shintoisme, oleh karenanya dalam faham ini terdapat upacara-upacara
penyucian. Orang tidak suci adalah berdosa, karena berarti melawan dewa-dewa
[4].

C. Perayaan Shinto
1. Matsuri
Matsuri dikenal juga dengan festival Shinto. Kata matsuri berasal dari kata yang
berarti 'menghibur' atau 'melayani'. Dalam proses yang dilakukan, Matsuri
menampilkan omikoshi atau tandu dewa yang digambarkan sebagai altar atau
kuil portable serta dashi. Kedua benda tersebut dibawa berkeliling kota.

gambar 1 Omikoshi

2. Seijin Shiki
Seijin Shiki diartikan sebagai Hari Dewasa yang berlangsung pada tanggal 15
Januari. Perayaan ini dilakukan untuk orang Jepang yang tahun sebelumnya telah
berulang tahun ke-20. Usia 20 tahun adalah usia dewasa legal di Jepang. Tujuan
dari perayaan ini adalah mengucapkan terima kasih, mengharapkan berkah,
mendorong kaum muda sadar menjadi dewasa dan berjuang untuk melewati
kehidupan sendiri.
gambar 2 Seijin Shiki

3. Rei Sai
Rei-Sai menjadi salah satu festival besar setahun sekali yang dianggap penting.
Setiap kuil menentukan hari Rei-Sai berbeda-beda, di mana secara khusus dikaitkan
dengan dewa atau kuil yang dianut. Selain itu, tanggal yang sudah ditentukan
tersebut tidak boleh diganti.

gambar 3 Rei Sai


4. Oshoogatsu
Oshoogatsu merupakan festival tahun baru yang diadakan tepat pada pergantian
tahun. Setiap rumah tangga yakin pada tanggal 1 Januari akan didatangi dewa
pembawa berkah, Toshigami. Untuk itu, setiap rumah akan melakukan osoji atau
membersihkan rumah, tempat kerja, sekolah dan lingkungan sejak 13 Desember.

gambar 4 Oshoogatsu
5. Shichi Go San
Pada festival ini orang tua membawa anak laki-laki dengan usia 3 dan 5 tahun serta
anak perempuan dengan usia 3 dan 7 tahun untuk berterima kasih pada dewa
kehidupan. Mereka bersyukur atas kesehatan dan berdoa untuk masa depan yang
aman dan sukses. Angka 3, 5 dan 7 dianggap membawa keberuntungan sehingga
anak-anak menjalani upacara penyucian pada usia tersebut [5].

gambar 5 Shici Go San

D. Pengaruh Shinto dalam Kehidupan Masyarakat Jepang di Bidang Sosial Budaya


• Di bidang sosial
1. Harga Diri (kehormatan)
Seorang ahli Jepang, D.C Holten menyatakan bahwa orang - orang Jepang
dilahirkan dalam tradisi agama Shinto, kesetiaanya terhadap kepercayaan dan
pengamalan ajarannya adalah menjadi kualifikasi pertama sebagai “orang jepang
jepang yang baik”.
2. Etika (Akhlak)
Ajaran etika dalam agama Shinto ialah:
a. Manusia boleh saja hidup sebaik-baiknya, asal dia selalu berbudi dan berhati
jujur.
b. Orang tua yaitu Ayah dan Ibu, guru – guru atau atasan bagaikan marahari dan
bulan (Amaterasu dan Tsukuyomi).
c. Pengetahuan mendapat tempat yang penting daripada yang lain – lain. Harganya
lebih mahal daripada emas dan perak. Shinto menganggap, bahwa pengetahuan
yang dimilki seseorang tidak akan ada habisnya, sedangkan harta kekayaan
sewaktu – waktu dapat lenyap sama sekali.
d. Hati – hatilah sebelum berbuat, hati – hatilah sebelum berbicara karena ucapajn
yang sudah dikeluarkan atau diucapkan tidak dapat ditarik Kembali.
e. Kecelakaan yang paling berbahaya, ialah yang ditimbulkan oleh diri sendiri.
f. Mati untuk kemuliaan orang yang kamu cintai dan untuk hidup abadi sebagi
seorang pengkhianat.
g. Mengakui kesalahan atau kekhilafan, merupakan perbuatan yang mulia.

Ketika orang tua di Jepang mengasuh anaknya, hal terpenting yang diajarkan adalah
“jangan menyusahkan orang lain”. Etika ataupun moral diajarkan kepada murid -
murid sekolah di jepang melalui pembelajaran moral (Doutoku)¸termasuk di
dalamnya ada unsur kesetiaan. Hal ini dilakukan untuk memupuk moral sejak dini.

3. Etos kerja
Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa dengan tingkat disiplin waktu dan etos kerja
yang tinggi. Karakteristik khas Jepang yang mendorong bangsa ini maju antara lain
yang pertama, orang jepang menghargai jasa orang lain. Kedua, menghargai hasil
pekerjaan orang lain. Ketiga, setiap orang harus berusaha. Keempat, orang Jepang
mempunyai semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak menyerah.
Kelima, bangsa yang menghargai tradisi dan memegang teguh dan kebudayaan
yang telah diwariskan oleh leluhurnya. Serta, yang keenam adalah kehausan yang
tidak pernah puas akan pengetahuan.
Bangsa Jepang memiliki etos dan budaya kerja yang unik. Menurut mereka:
a. Bekerja adalah untuk kesenangan, bukan sekedar untuk mendapat gaji. Bagi
mereka bekerja itu seperti bermain dengan kawan dekat.
b. Harus mendewakan langganan. Oykyaku sama ha kamisama desu “langganan
adalah Tuhan”. Peribahasa ini dikenal oleh semua orang Jepang. Kata ini sudah
menjadi motto bisnis Jepang.
c. Bisnis adalah perang. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan
jangka Panjang.
4. Disiplin
Pada masa setelah Restorasi Meiji, Pendidikan disiplin di sekolah dasar lebih
berguna untuk pengembangan ajaran agama Shinto. Tak heran jika kedisiplinan
merupakan salah satu karakter yang paling terkenal dari bangsa Jepang.
• Di bidang budaya
1. Tahun baru adalah perayaan besar. Masyarakat Jepang selalu melaksanakan perayaan
pergantian tahun baru dengan begitu ramai. Dalam ajaran Shinto perayaan tahun baru
adalah momen dimana pemeluknya bisa menghapus dosa sealama setahun. Ritual ini
dilaksanakan di kuil Shinto saat Tengah malam dan bergantian membunyikan lonceng
besar sebanyak 108 kali.
2. Kami yang masih memiliki celah. Hal yang disebut Kami oleh penganut agama Shinto
adalah api, Laut, gunung, tanah, dan semua zat yang berhubungan dengan alam. Bahkan
mereka beranggapan bahwa manusia pun bisa menjadi Kami pasca kematian melalui
ritual penyucian.
3. Omikuji, Omamuri, dan Ema. Omikuji seperti fortune teller yang memberikan
informasi mengenai Nasib seseorang. Omamuri semacam jimat yang berupa kertas
warna – warni atau kain yang berisi kertas doa. Sedangkan, Ema adalah kayu dengan
tali diujungnya untuk menulis doa dan digantung di pohon.
4. Harai, Kamaidana, dan Butsudan. Harai dikenal oleh Masyarakat Jepang sebagai ritual
penyucian. Tujuannya adalah untuk mensucikan dosa (Tsumi) dan Najis (Kegare).
Kamaidana adalah miniature altar rumah tangga yang disediakan untuk menguilkan
kami (dewa) Shinto. Kamaidana berfungsi sebagai sarana pemujaan kami. Butsudan
adalah altar Budha yaitu sebuah ruang kecil yang biasanya ditemukan pada kuil dan
rumah penduduk dalam budaya Budhisme di Jepang [6].

E. Peninggalan Shinto di Jepang


1. Toori
Toori di kuil Shinto merupakan pembatas antara kawasan tempat tinggal manusia
dengan kawasan suci tempat tinggal Kami. Selain itu, bangunan ini berfungsi
sebagai pintu gerbang kuil. Bentuk torii berupa dua batang palang sejajar yang
disangga dua batang tiang vertical

gambar 6 Toori

2. Kuil Shinto
Jepang memilki peninggalan berupa kuil Shinto yang terkenal seperti
a. Kuil Yoshimizu Jinja (Nara)
Kuil ini terhubung dengan beberapa tokoh penting dalam sejarah Jepang. Hideyoshi
Toyotomi, salah satu dari pemimpin paling terkenal di Jepang, datang ke sini
beberapa kali untuk menikmati bunga sakura di daerah tersebut.
menurut sejarah Kuil Shinto Yoshimizu-jinja, dulu sekali, Minamoto Yoshitsune,
kekasihnya, dan para pembantu mereka bersembunyi di sini selama lima hari
sehingga Yoshimizu-jinja menyimpan banyak peninggalan terkait Yoshitsune,
termasuk baju zirah miliknya.

gambar 7 Kuil Yoshimizu Jinja

b. Kuil Fushimi Inari Taisha (Kyoto)


Simbol dari kuil ini adalah patung rubah yang tak terhitung. Rubah dianggap
sebagai kurir Inari dan patung-patung itu sering memegang kunci di mulutnya.
Ini melambangkan kunci ke lumbung padi, atau perhiasan, melambangkan roh
para dewa [7].

gambar 8 Kuil Fushimi Inari Taisha

c. Kuil Meiji (Harajuku)


Merupakan kuil yang didedikasikan untuk Kaisar Meiji yang berkuasa
pada tahun 1867-1912 dan permaisurinya. Setelah Kaisar Meiji meninggal
dunia, orang-orang Tokyo berkeinginan untuk membuat jingu yang
didedikasikan untuk Kaisar Meiji. Pembangunannya membutuhkan waktu
5 tahun mulai dari tahun 1915 hingga 1920 [8].

gambar 9 Kuil Meiji

d. Ema
Adalah plakat kayu kecil, yang umum di Jepang, di mana
umat Shinto dan Buddha menulis doa, harapan, atau keinginan. Ema dibiarkan
menggantung di kuil, di mana Kami (roh atau dewa-dewa) diyakini menerima
mereka jika sudah cukup tua Ema akan dibakar sebagai tanda lepasnya doa harapan
dan keinginan penulis, Ema dijual ditoko toko sekitar kuil [9].

gambar 10 Ema
Daftar Pustaka

[1] M. K. Ismatulloh, “Shinto,” hal. 44.

[2] B. Mulyadi, “Konsep Agama dalam Kehidupan Jepang,” Izumi, vol. 6, no. 1, hal. 1–8,
2017, [Daring]. Tersedia pada: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

[3] A. Aritonang, “Book Review: Intisari Agama-Agama Sedunia: Sebuah Ringkasan


tentang 13 Agama Besar di Dunia,” PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama
Kristen, vol. 18, no. 2, hal. 225–230, 2022, doi: 10.46494/psc.v18i2.214.

[4] “Konsep dan Ajaran Agama Shinto,” agama-


agamadunia2017ih3akelompok7.blogspot.com, 2017. https://agama-
agamadunia2017ih3akelompok7.blogspot.com/2017/11/1.html (diakses 16 September
2023).

[5] M. Aliyah, “7 Festival Agama Shinto, Ada Festival Hari Dewasa,” www.idntimes.com,
2023. https://www.idntimes.com/science/discovery/mirqotul-aliyah/festival-agama-
shinto-ada-festival-hari-dewasa-c1c2?page=all (diakses 14 September 2023).

[6] H. Juniarsyah, “EKSISTENSI AGAMA SHINTO DALAM KEHIDUPAN,” no.


11160321000044, 2021.

[7] A. J. T. Planner, “Fushimi Inari Taisha,” www.ana.co.jp.


https://www.ana.co.jp/id/id/japan-travel-planner/kyoto/0000002.html

[8] MATCHA, “Meiji Jingu: Kuil di Harajuku yang Memikat Hati Orang Jepang,” matcha-
jp.com, 2018. https://matcha-jp.com/id/1215 (diakses 14 September 2023).

[9] U. Stekom, “Ema (Shinto),” p2k.stekom.ac.id.


https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Ema_(Shinto) (diakses 14 September 2023).

Anda mungkin juga menyukai