Dalam kepercayaan agama Shinto, jumlah dewa yang dipuja tidak terbatas, bahkan
senantiasa bertambah, seperti diungkapkan dalam istilah yao-yarozu no kami, yang berarti
“delapan miliun dewa”.
2. Konsep Ibadah
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan waktu
pelaksanaannya. Setiap pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat suci jika
menghendakinya; bisa setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan
matsuri. Tetapi pemeluk yang taat akan melakukan pemujaan dewa setiap hari. Pada pagi
[1] M Ali, Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h. 324
[2] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. 66
hari, setelah bangun tidur dan membersihkan diri menuju altar keluarga; di sini ia akan
membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap hormat, baru
kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada kesempatan lain, ia akan menghadap ke arah
matahari, gunung, tempat suci Ise atau lainnya, kemudian bertepuk tangan dua kali dan
membungkuk sebentar dalam sikap hormat dan khidmat sebelum pergi. Adapun tempat yang
paling baik untuk melakukan peribadatan adalah jinja.[3] Jinja merupakan sebuah bangunan
yang sengaja didirikan untuk memuja kami, dewa dalam agama Shinto. Hampir semua
bentuk peribadan atau upacara keagamaan yang dilakukan di jinja pada hakikatnya
merupakan upacara pensucian dalam rangka menyambut kehadiran Kami. Syarat utama untuk
memuja Kami yaitu kesucian dan bersih dari bermacam kekotoran. Kekotoran dianggap
sebagai keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya kesengsaraan dan merusak upacara
keagamaan.
Upacara keagamaan yang dilakukan di jinja dapat dibedakan dalam tiga tahapan:
Pertama, upacara pensucian pendahuluan (kessai); kedua, upacara pensucian (harai); ketiga,
upacara persembahan sesaji. Ketiga upacara ini utuk membantu manusia menemukan
kembali kesucian diri dan ketulusan hati yang sebenarnya serta menolong agar dapat hidup
dalam kondisi kehidupan memuja Kami dengan kesungguhan.
[10] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. 64
[11] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
d. Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik tolak dari perasaan segan dan
takut.
Manusia disebut dengan hito yang berarti “tempat tinggal spirit”, yang dalam bahasa
Jepang kuno disebut ao-hito-gusa (rumput-manusia-hijau) untuk memperbandingkan
manusia dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Setiap pemeluk agama Shinto, idealnya
wajib menyadari bahwa ia memiliki asal-usul yang suci, jasmani yang suci, dan tugas yang
suci, dan harus hidup bekerja sama untuk membangun sebuah dunia yang sejahtera.[7]
[10] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. 64
[11] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988)
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: UIN Press, 2013)
[6] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 44
[7] Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988),
H. 256
[8] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 44