Anda di halaman 1dari 5

1.

        Konsep tentang Ketuhanan


Agama Shinto mempercayai bahwa semua benda, baik yang hidup maupun yang
mati, dianggap memiliki roh, bahkan dianggap memiliki kemampuan bicara. Dalam
keyakinan mereka, semua roh dianggap memiliki kekuasaan yang berpengaruh terhadap
kehidupan penganut Shinto. Daya-daya kekuasaan inilah yang mereka sebut Kami. 
Menurut agama Shinto, Kami dapat diartikan “di atas” atau “unggul”, sehingga
apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata Kami dapat
diartikan dengan “dewa”, Tuhan, atau sejenisnya. Dengan demikian, bagi penganut agama
Shinto, kata Kami berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan
pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain. Motoori Norinaga, seorang
sarjana dan pembaharu agama Shinto pada zaman modern mengatakan bahwa pada mulanya,
istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam
dokumen-dokumen kuno tertulis, dan terdapat roh-roh (mitama) yang mendiami tempat-
tempat suci, tempat mereka dipuja. Selain itu, bukan hanya manusia, tetapi juga burung-
burung, binatang-binatang, pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, serta semua benda lain,
apa pun bentuknya yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan
luar biasa, semuanya disebut Kami. Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat yang istimewa
karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang
jahat dan mengerikan juga disebut Kami apabila merupakan objek-objek yang pada
umumnya ditakuti.
                          
Dari penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa konsepsi yang mendasari
kedewaan dalam agama Shinto terdiri atas empat hal.[1]
1.   Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala alam itu dianggap dapat
mendengar, melihat, dan lain sebagainya, sehingga harus dipuja secara langsung.
2.  Dewa-dewa tersebut dapat terjadi atau merupakan penjelmaan dari roh manusia yang sudah
meninggal.
3.  Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) dan berdiam di tempat-tempat suci
di bumi sekaligus mempengaruhi kehidupan manusia. Kami ini bisa berasal dari orang yang
telah meninggal dunia atau ada juga yang berasal dari benda alam.
4.  Pendekatan manusia terhadap dewa- dewa tersebut bertitik tolak pada perasaan segan dan
takut.[2]

Dalam kepercayaan agama Shinto, jumlah dewa yang dipuja tidak terbatas, bahkan
senantiasa bertambah, seperti diungkapkan dalam istilah yao-yarozu no kami, yang berarti
“delapan miliun dewa”.
2.        Konsep Ibadah
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan waktu
pelaksanaannya. Setiap pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat suci jika
menghendakinya; bisa setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan
matsuri. Tetapi pemeluk yang taat akan melakukan pemujaan dewa setiap hari. Pada pagi
[1] M Ali, Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h. 324
[2]  Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor  (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. 66
hari, setelah bangun tidur dan membersihkan diri menuju altar keluarga; di sini ia akan 
membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap hormat, baru
kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada kesempatan lain, ia akan menghadap ke arah
matahari, gunung, tempat suci Ise atau lainnya, kemudian bertepuk tangan dua kali dan
membungkuk sebentar dalam sikap hormat dan khidmat sebelum pergi. Adapun tempat yang
paling baik untuk melakukan peribadatan adalah jinja.[3] Jinja merupakan sebuah bangunan
yang sengaja didirikan untuk memuja kami, dewa dalam agama Shinto.  Hampir semua
bentuk peribadan atau upacara keagamaan yang dilakukan di jinja pada hakikatnya
merupakan upacara pensucian dalam rangka menyambut kehadiran Kami. Syarat utama untuk
memuja Kami yaitu kesucian dan bersih dari bermacam kekotoran. Kekotoran dianggap
sebagai keadaan yang dapat menyebabkan  terjadinya kesengsaraan dan merusak upacara
keagamaan.
Upacara keagamaan yang dilakukan di jinja dapat dibedakan dalam tiga tahapan:
Pertama, upacara pensucian pendahuluan (kessai); kedua, upacara pensucian (harai); ketiga,
upacara persembahan sesaji. Ketiga upacara ini utuk membantu manusia menemukan
kembali kesucian diri dan ketulusan hati yang sebenarnya serta menolong agar dapat hidup
dalam kondisi kehidupan memuja Kami dengan kesungguhan.

3.        Ajaran-ajaran Pokok Agama Shinto


1.      Ajaran tentang KAMI
Istilah “Kami” diartikan “ di atas” atau “unggul”, yang secara spiritual diartikan
dengan “dewa”, Tuhan, God, dan sebagainya. “ bagi bangsa Jepang istilah “Kami” yang
menjadi suatu objek pemujaan berbeda pengertiannya dengan pengertian objek pemujaan
yang ada dalam agama lain, dan dimana istilah tersebut bisa berarti tunggal dan jamak
sekaligus, karena dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, senantiasa bertambah,
diungkapkan dalam istilah yao-yarozu no Kami, “delapan milun dewa”.[4]
Bangsa Jepang kuno menggunakan istilah Kami terhadap kekuatan dan kekuasaan
yang terdapat dalam berbagai objek, tanpa membedakan apakah objek itu benda hidup atau
mati, bersifat baik atau buruk. Semua yang memiliki sifat-sifat misterius dan menimbulkan
rasa segan dan takut dianggap sebagai Kami. Pendapat yang hampir senada, Kami berarti
dewa atau tuhan. Kata ini mencakup sekian nama dewa terkenal di masyarakat jepang ( dan
Asia) kala. Dalam pengertian lain, Setiap wujud yang bersifat independen merupakan
anggota dari sekumpulan Kami. Indikasi lain dari kata Kami adalah wibawa, mukjijat, dan
segala sesuatu yang menyerupai atau mendekati substansi ketuhanan
      
Berdasarkan kutipan tersebut terdapat empat hal yang mendasari konsepsi kedewaan dalam
agama Shinto, yaitu:[5]
a.         Dewa tersebut merupakan personafikasi gejala alam.
b.         Dewa tersebut dapat pula berarti manusia.
c.   Dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat dibumi dan
mempengaruhi kehidupan manusia.

[10] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. 64
[11] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
d.  Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik tolak dari perasaan segan dan
    

takut.

2.      Ajaran tentang Manusia


Konsep tentang manusia dapat ditelusuri dari kepercayaan akan adanya garis
kesinambungan antara Kami dan manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu
kekuasaan yang mutlak dan transenden atas manusia. Oya-ku, suatu hubungan antara
orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dan keturunannya. Hal ini digambarkan dalam
mitologi garis keturunan kaisar pertama Jepang, yang diyakini sebagai keturunan Dewa
Matahari. Jadi, “Manusia adalah putra Kami”. Ungkapan yang mengandung dua
pengertian: pertama, kehidupan manusia berasal dari Kami, sehingga dianggap suci; kedua,
kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari Kami.[6]

Manusia disebut dengan hito yang berarti “tempat tinggal spirit”, yang dalam bahasa
Jepang kuno disebut ao-hito-gusa (rumput-manusia-hijau) untuk memperbandingkan
manusia dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Setiap pemeluk agama Shinto, idealnya
wajib menyadari bahwa ia memiliki asal-usul yang suci, jasmani yang suci, dan tugas yang
suci, dan harus hidup bekerja sama untuk membangun sebuah dunia yang sejahtera.[7]

3.      Ajaran tentang Dunia


Agama Shinto termasuk tipe agama yang ”lahir satu kali”, dalam arti, memandang
dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Dalam pemikiran Shinto ada
tiga jenis dunia, yaitu: (1) Tamano-hara, berarti “tanah langit tinggi”, sebuah dunia suci,
rumah, dan tempat tinggal para dewa langit (Amatsukami); (2) Yomino-kuni, dunia yang
dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek, menyengsarakan, tempat orang-orang
yang sudah meninggal dunia; (3) Tokoyono-kuni, berarti “kehidupan yang abadi”, “negeri
yang jauh di seberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”, yakni dunia yang dibayangkan
penuh dengan kenikmatan orang-orang yang kedamaian, dianggap sebagai tempat tinggal
arwah orang-orang yang meninggal dalam keadaan suci. Ketiga dunia ini sering disebut
kakuriyo (dunia yang tersembunyi), dan dunia tempat tinggal manusia disebut ut-sushiyo
(dunia yang terlihat atau dunia yang terbuka). [8]

4.      Ajaran tentang Etika


Menurut D.C. Holten, ahli sejarah Jepang, menyatakan bahwa orang-orang Jepang
dilahirkan dalam ajaran Shinto, kesetiaannya terhadap kepercayaan dan pengalaman
ajarannya menjadi kualifikasi pertama sebagai “orang Jepang yang baik”.
Beberapa ajaran yang berkaitan dengan kepribadian terkandung dalam ajaran kesusilaan yang
biasanya dilakukan para bangsawan atau para ksatria Jepang, antara lain:[12]
a.     Sikap keberanian dinyatakan dengan semboyan: “Keberanian yang benar untuk hidup ialah
bilamana hal itu benar untuk hidup, dan untuk mati bilamana hal itu benar untuk mati”.
b.      Sifat penakut dikutuk, karena sifat ini dipandang dosa. “Semua dosa besar dan kecil        
dapat diampuni dengan melalui cara  tobat, kecuali penakut dan pencuri”.
[6] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 44
[7] Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988),
H. 256
[8] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 44
c.     Loyalitas, yaitu setia, kesetian pertama kepada Kaisar, kemudian meluas kepada seluruh
anggota keluarga Kaisar, pada masyarakat dan pada generasi yang akan dating.
d.   Kesucian dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting dalam Shintoisme, oleh
karenanya dalam faham ini terdapat upara-upacara pensucian. Orang tidak suci adalah
berdosa, karena berarti melawan dewa-dewa.

2. Kitab Agama Shinto


 Kitab suci tertua dalam agama Shinto ada dua buah, disusun sepuluh abad sepeninggal
jimmu tenno (660 SM), kaisar jepang pertama, dan dua buah lagi disusun pada masa
belakangan. Keempat kitab ini yaitu:
1.  Kojiki: catatn peristiwa purbakala,disusun pada tahun 712 M, setelah Kekaisaran Jepang
berkedudukan di Nara. Ibu kota Nara dibangun pada tahun 710 M meniru ibu kota Changan
di Tiongkok.
2.    Nihonji, riwayat jepang,disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu
sang pangeran di istana.
3.     Yengishiki: berbgai lembaga pada masa yengi,disusun pada abad ke 10 M terdiri atas 50
bab. Sepuluh pertama berisikan ulasan kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus, dilanjutkan
dengan peristiwa selanjutnya sampai abad ke- 10 M. inti isinya ia mencatat 25
buah Norito, yakni doa-doa pujian yang sangat panjang pada berbagai macam upacara
keagamaan.
4.   Manyosihu:himpunan sepuluh ribu daun.berisikan bunga rampai terdiri dari 4496 buah sajak,
disusun antara abad ke-5 dan abad ke-8 masehi.[10]
Kitab Kojiki  dan Nihonji menguraikan tentang abad para dewa sampai
kepada Amaterasu Omi Kami (Dewa Matahari) dan Tsukiyomi (Dewa Bulan) yang diangkat
menguasai langit dan putranya Jimmu Tenno yang diangkat untuk menguasai tanah yang
subur (bumi Jepang) lalu disusul dengan silsilah keturunan Kaisar Jepang serta upaya
keagamaan dan pemujaan terhadap Kaisar beserta para dewa dan dewinya. Tema pokok
uraian dalam kedua kitab ini berkisar pada cerita Dewa matahari dan keturunannya yang telah
memerintahkan dan mempersatukan Jepang berupa tiga benda suci; cermin, pedang, dan
permata yang merupakan pemberian Dewa Matahari kepada cucunya, Ninigi-Mikoto, ayah
dari Jimmu Tenno, Kaisar Jepang Pertama. Jadi, kedua kitab tersebut menggambarkan dua
buah pemikiran keagamaan yang sangat penting: pertama asal-usul kedewaan atau semi
dewa, Jepang dan rakyatnya; kedua, perkembangbiakan Kami yang berkaitan dengan negeri
dan orang-orang Jepang.[11]
Kitab Yengishiki dan Manyoshiu, berisikan doa-doa keagamaan, kisah-kisah
legendaris, nyanyian-nyanyian kepahlawanan, beserta sajak-sajak tentang asal-usul
kedewaan, asal-usul kepulauan Jepang dan kerajaan Jepang. Ragam hal-hal kisah yang
berkaitan tentang kehidupan para dewa dan para dewi dalam kayangan di langit. Catatan
peristiwa pada masa-masa terakhir barulah dilanjutkan dengan kisah sejarah.[12]

[10] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. 64
[11] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor , h. 65
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988)
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013)

[6] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 44
[7] Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988),
H. 256
[8] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h. 44

Anda mungkin juga menyukai