A. Pengertian Agama
manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk
tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai
ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha
kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha
Barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan
definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal
ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal batini dan
subyektif, juga sangat individualistik…. Alasan kedua, bahwa
barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan
emosional lebih daripada membicarakan agama… maka dalam
membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali
hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu…. Alasan ketiga,
1
Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas
Muhammadiyah, Malang, 1989, hlm. 26.
13
14
antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” berarti tidak dan “gama”
Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa
religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa
sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh,
agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam
pengertian yang sama dengan “agama”.4 Kata agama selain disebut dengan
kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu
disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan
2
Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP, Bandung,
1971, hlm. 4. lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 2002, hlm. 117-118.
3
Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin
Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, hlm. 76.
4
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997, hlm. 63.
15
syara.5
manusia.
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan
hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
5
Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, hlm. 121.
16
seorang Rasul.6
Masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal seperti religi
atau agama itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu
perhatian para ahli pikir sejak lama. Adapun mengenai soal itu ada berbagai
a. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
b. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
dengan akalnya.
c. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan
hidup manusia.
6
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta,
1985, hlm.10.
17
sekelilingnya.
e. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu
1. Teori Jiwa
adalah kesadaran manusia akan faham jiwa. Kesadaran akan faham itu
a. Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan
artinya hidup; tetapi tak lama kemudian makhluk tadi tak bergerak
lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat laun mulai sadar bahwa
gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh suatu hal yang
suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat. Bagian lain
manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada
waktu hidup, jiwa masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya
dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia jatuh
pingsan. Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang,
maka tubuh berada di dalam keadaan yang lemah. Tetapi kata Tylor,
tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang makhluk manusia
jasmani sudah hancur berubah debu di dalam tanah atau hilang berganti
abu di dalam api upacara pembakaran mayat; maka jiwa yang telah
semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh Tylor tidak
disebut soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit atau mahluk halus.
dapat tertangkap panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang
tak dapat diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di
bahwa gerak alam hidup itu juga disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di
belakang peristiwa dan gejala alam itu. Sungai-sungai yang mengalir dan
terjun dari gunung ke laut, gunung yang meletus, gempa bumi yang
jiwa alam. Kemudian jiwa alam tadi itu dipersonifikasikan, dianggap oleh
Demikian ada pula suatu susunan pangkat dewa-dewa mulai dari raja dewa
susunan serupa itu lambat laun akan menimbulkan suatu kesadaran bahwa
semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari
20
satu dewa yang tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu adalah
agama-agama monotheisme.7
Teori Batas Akal”, berasal dari sarjana besar J.G. Frazer, dan
diuraikan olehnya dalam jilid I dari bukunya yang terdiri dari 12 jilid
tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin maju
kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu; tetapi dalam banyak
kebudayaan, batas akal manusia masih amat sempit. Soal-soal hidup yang
tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ialah ilmu
luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Agama waktu itu belum
ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari
perbuatan magicnya itu tidak ada hasilnya juga, maka mulailah ia percaya
bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa
7
Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press, Yogyakarta,
1988, hlm. 18-19.
21
magic dan religion. Magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap
Crawley dalam bukunya Tree of Life (1905), dan diuraikan secara luas
8
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 40-41.
22
sakit dan maut itu besar sekali, yaitu misalnya pada masa kanak-kanak,
masa peralihan dari usia muda ke dewasa, masa hamil, masa kelahiran,
dan akhirnya maut. Dalam hal menghadapi masa krisis serupa itu manusia
pada masa-masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal dari agama dan
terhadap jiwa. Menurut Marett kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat
terlampau kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru ada pada
lanjutan dari kecamannya terhadap teori animisme Tylor itu, maka Marett
9
Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta 1972, hlm.
222-223.
23
berasal, dan yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai tempat adanya
hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap akibat dari
suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa, atau kekuatan sakti.
dianggap oleh Marett suatu kepercayaan yang ada pada makhluk manusia
sebelum ia percaya kepada makhluk halus dan ruh; dengan kata lain,
10
Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap
Aliran kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 32-33.
24
celaan terhadap Tylor, serupa dengan celaan Marett tersebut di atas. Beliau
belum dapat menyadari faham abstrak yang lain seperti perubahan dari
jiwa menjadi ruh apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati.
dasar, ialah :
kompleks perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta
25
pertemuan-pertemuan raksasa.
bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya, bukan
umum dalam masyarakat. Obyek itu ada karena salah satu peristiwa
yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu, ialah obyek
tetapi sering juga obyek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana
obyek keramat itu disebut totem. Totem itu (jenis binatang atau obyek
akan menjelmakan (a) upacara, (b) kepercayaan dan (c) mitologi. Ketiga
unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi
tersebut. Sarjana lain ini adalah seorang ahli kesusasteraan bangsa Inggris
bernama A. Lang.
dongeng itu, Lang sering mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang
seluruh alam semesta serta isinya, dan penjaga ketertiban alam dan
Lang terutama tampak pada suku-suku bangsa yang amat rendah tingkat
kebudayaannya, dan yang hidup dari berburu atau meramu, ialah misalnya
11
Koejtaraningrat, op.cit., hlm. 223-224.
28
sudah amat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang
antara lain dalam buku yang berjudul The Making of Religion (1898).
lanjut oleh W.Schmidt. Tokoh besar dalam kalangan ilmu antropologi ini
adalah guru besar pada suatu perguruan tinggi yang pusatnya mula-mula di
Khatolik. Di dalam hubungan itu beliau percaya bahwa agama itu berasal
dari titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia pada masa
bangsa yang paling rendah tingkat kebudayaanya (artinya yang paling tua
29
malahan ada pada bangsa-bangsa yang tua yang hidup pada zaman ketika
beberapa orang sarjana yang untuk sebagian besar bekerja sebagai penyiar
12
Romdhon, et.al, op.cit, hlm. 22-23
30
dari agamnya itu. Sebagian ada yang menekankan pada penghayatan mistik,
pengamalan ritual, dan ada juga yang menekankan pada aspek pelayanan
(amal shalih). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagaimana berikut ini:
daripada pendekatan yang lain. Cara mistik seeprti ini dilakukan oleh para
dengan cara mistik itu sendiri adalah suatu cara beragama pengikut agama
apapun agamanya baik agama besar maupun agama lokal, selalu memiliki
13
Neil Muider, Kepribadian Jawa, Gajah Mada Press, 1980, hlm. 20.
31
mistik, ada pula cara penalaran, yaitu cara beragama dengan menekankan
pada aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi penganut aliran ini,
harus menerima begitu saja apa yang didoktrinkan oleh pimpinan agama,
kitab suci atau buku-buku agama lainnya. Dari tradisi Islam umpamanya,
ada kelompok yang disebut mutakalimin atau para ahli ilmu kalam, yang
3. Cara amal shalih. Cara beragama yang ketiga ini lebih menekankan
amalan lahir dari agama itu sendiri. Tuhan memasukkan seorang manusia
ke dalam surga adalah karena amal shalih orang tersebut yang dilakukan
ketika ia masih hidup. Tidak ada artinya pengakuan dan iman dalam hati
14
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama,
Pustaka Setia Bandung, 2000, hlm. 47.
32
kalau tidak dinyatakan dalam amal perbuatan fisik dan perwujudan materi.
Dalam agama Islam, kelompok ini lebih banyak mengikuti ajaran fiqih dan
hukum-hukum agama mengenai tata cara amal shalih daripada amal yang
lainnya.15
kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Tercatat pada
abad ke-2 dan ke-4 aliran Neo Platonisme berusaha menyatukan agama-
untuk dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan diri sendiri atau untuk diajarkan
kepada orang lain. Dalam prakteknya cara beragama sinkretisme ini dapat terjadi
15
Ibid.
16
Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hlm.
87.
33
“Gustiallah” atau “Allah Sang Hyang widi”, dapat juga dalam pelaksanaan ritual,
dalam berdoa, dalam peralatan yang dipakai pada upacara keagamaan dan
sebagainya.17
17
Dadang Kahmat. op.cit, hlm. 47-48.