0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan12 halaman
Teks tersebut membahas tentang fitrah manusia yang membutuhkan Tuhan dari berbagai perspektif seperti psikologis, sosiologis, dan filosofis. Secara psikologis disebutkan adanya penelitian otak yang mendukung hipotesis adanya "hardware Tuhan" dalam diri manusia. Secara sosiologis disebutkan bahwa komunitas akan memberikan peran besar kepada Tuhan dalam mengatur kehidupan. Sedangkan secara filosofis disebutkan tiga arg
Teks tersebut membahas tentang fitrah manusia yang membutuhkan Tuhan dari berbagai perspektif seperti psikologis, sosiologis, dan filosofis. Secara psikologis disebutkan adanya penelitian otak yang mendukung hipotesis adanya "hardware Tuhan" dalam diri manusia. Secara sosiologis disebutkan bahwa komunitas akan memberikan peran besar kepada Tuhan dalam mengatur kehidupan. Sedangkan secara filosofis disebutkan tiga arg
Teks tersebut membahas tentang fitrah manusia yang membutuhkan Tuhan dari berbagai perspektif seperti psikologis, sosiologis, dan filosofis. Secara psikologis disebutkan adanya penelitian otak yang mendukung hipotesis adanya "hardware Tuhan" dalam diri manusia. Secara sosiologis disebutkan bahwa komunitas akan memberikan peran besar kepada Tuhan dalam mengatur kehidupan. Sedangkan secara filosofis disebutkan tiga arg
Fitrah secara etimologi yang berasal dari kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra memiliki arti kata ‘kerja’ yang berarti ‘menjadikan’. Abu A’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan. Uraian Al-Maududi mengenai peletakan pengertian konsep fitrah secara sederhana yakni bahwa meskipun manusia telah diberi kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak, bebas, dan memilih, namun pada hakikatnya ia dilahirkan sebagai muslim, dalam arti bahwa segala gerak dan lakunya cenderung berserah diri kepada Khaliknya. Ungkapan mengenai pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin yakni secara keseluruhan dalam pandangan Islam mengatakan bahwa kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan fitrah. Ada yang mengemukakan bahwa fitrah merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan Allah swt, yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Maka manusia sejak lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid. Istilah fitrah dapat dipandang dalam dua sisi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yakni bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan Tuhan. Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum ayat 30, yang memiliki arti “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan (fathara) manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Maka dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau acuan, di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor yang mempengaruhinya kondisi fitrah-nya, sehingga kita sebagai manusia selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul- Nya).
B. Eksistensi Tuhan dari Berbagai Perspektif
Pembahasan tentang spiritualitas tidak pernah bisa dilepaskan dari pembahasan tentang Tuhan. Hal itu mengingat spirit, yang dalam bahasa Al-Quran sering disebut dengan roh, merupakan anugerah Tuhan yang dilekatkan dalam diri manusia. Adanya roh atau spirit membuat manusia mengenal Tuhan dan dapat merasakan nikmatnya patuh pada sesuatu yang dianggap suci dan luhur. Dalam khazanah pemikiran umat Islam, diskusi tentang Tuhan adalah pembicaraan yang tidak pernah tuntas dan selalu menjadi polemik. Itulah sebabnya ilmu yang membicarakan Tuhan disebut ilmu kalam dan pengkajinya disebut dengan mutakalim, karena ilmu kalam selalu diperbincangkan dan diperdebatkan tanpa kata tuntas. Berikut diuraikan perspektif psikologis, filosofis, sosiologis, dan teologis untuk mengenali konsep Tuhan dan kebertuhanan. Secara perspektif psikologis, melalui kajian neurosains, bakat bertuhan dapat dicari jejaknya dalam bagian-bagian otak yang diangap terkait dengan kecerdasan spiritual. Paling tidak terdapat empat penelitian di bidang neurosains yang mendukung hipotesis bahwa dalam diri manusia terdapat hardware Tuhan. Pertama, penelitian terhadap osilasi 40 hz yang kemudian melahirkan kecerdasan spiritualnya Danah Zohar. Kedua, penelitian tentang alam bawah sadar yang melahirkan teori tentang suara hati dan EQ. Ketiga, penemuan God spot dalam temporal di sekitar pelipis. Keempat, kajian tentang somatic maker. Penjelasan berbeda dikemukakan oleh Andrew Newberg dan Mark Waldman dalam Gen Iman dalam Otak- Born to Believe. Dalam buku itu, penulis menjelaskan bahwa manusia dilahirkan tidak membawa kepercayaan khusus kepada Tuhan. Sistem kepercayaan kita dibangun oleh gagasan- gagasan yang diajarkan secara intens sehingga tertanam secara neurologis di dalam memori, dan akhirnya dapat mempengaruhi perilaku dan pemikiran kita. Dengan kata lain, penulis buku ini ingin mengatakan bahwa kebertuhanan adalah hasil manipulasi pemegang kekuasaan terhadap seorang individu. Secara perspektif sosiologis, konsep tentang kebertuhanan sebagai bentuk ekspresi kolektif suatu komunitas beragama merupakan wilayah pembahasan sosiologi agama. Sosiologi agama merupakan cabang ilmu sosiologi yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama. Objek dari penelitian sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-kelompok keagamaan. Seperti, kelompok Kristen, Islam, Buddha, dan lainlain. Sosiologi agama memang tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-agama itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena-fenomena yang muncul tersebut. Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa pespektif sosiologis memandang agama tidak berdasarkan, melainkan berdasarkan pengalaman konkret pada masa kini dan pada masa lampau. Dalam perspektif sosiologis, sebuah komunitas akan memberikan porsi yang besar bagi peran Tuhan dalam mengatur segala aspek kehidupan manakala komunitas tersebut lebih banyak dikendalikan oleh common sense. Itulah sebabnya di kalangan masyarakat primitif atau yang masih terbelakang dalam pendidikannya, berbagai hal biasanya disandarkan kepada kekuatan supranatural tersebut. Penjelasan tentang fenomena alam dan sosial sering kali dibingkai dalam mitos. Mitos adalah penjelasan tentang sejarah dan pengalaman kemanusiaan dengan menggunakan kacamata Tuhan (kekuatan transenden). Pendek kata, dalam masyarakat yang belum maju tingkat pendidikannya, setiap permasalahan selalu dikaitkan dengan Tuhan. Sebaliknya, dalam masyarakat yang telah mengalami rasionalisasi dengan kemajuan pendidikan, sains, dan teknologi, maka porsi yang diberikan kepada Tuhan menjadi semakin berkurang. Hal itu karena semua fenomena alam dan sosial budaya dengan rasionalisme dan perkembangan iptek dapat dijelaskan dengan mudah. Dalam sosiologi, agama disebut sebagai sebuah sistem budaya karena merupakan hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Max Weber menjelaskan bahwa Tuhan tidak ada dan hidup untuk manusia, tetapi manusialah yang hidup demi Tuhan. Menurutnya, menjalankan praktik-praktik keagamaan merupakan upaya manusia untuk mengubah Tuhan yang irrasional menjadi rasional. Berbeda denganpendapat Emile Durkhem, Max Weber menyatakan bahwa kebertuhanan secara khas merupakan permasalahan sosial, bukan individual. Hal tersebut dikarenakan arena pada saat itu yang empirik kebertuhanan dipraktikkan dalam ritual upacara yang memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam pelaksanaanya. Akibatnya, yang tampak saat itu adalah kebertuhanan yang hanya bisa dilaksanakan pada saat berkumpulnya anggota-anggota sosial, dan tidak bisa dilakukan oleh tiap individu. Secara perspektif filosofis, menurut Mulyadhi Kartanegara paling tidak terdapat tiga argumen filsafat untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu dalil al-ḫudūts, al-īmkān, dan dalil al-‘ināyah. Argumen pertama diperkenalkan oleh al-Kindi, yang kedua oleh Ibn Sina, dan yang ketiga oleh Ibn Rusyd. Dalam argumen al-ḫudūts, Al-Kindi dengan gigih membangun basis filosofis tentang kebaruan alam untuk menegaskan adanya Tuhan sebagai pencipta. Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling fundamental dari semua sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber bagi sesuatu yang lain, yakni alam semesta. Argumen tentang Tuhan yang dikemukakan Al-Kindi dibangun di atas empat premis. Pertama, alam semesta bersifat terbatas dan dicipta dalam waktu, karenanya alam pasti harus ada yang menciptakan (pencipta) yang tidak terbatas dan tidak dilingkupi waktu. Kedua pencipta harus bersifat esa, yang darinya memancar semua maujūd yang tersusun dan beragam. Ketiga, sesuatu ada karena adanya sebab-sebab lain yang secara hierarkis mengerucut pada sebab sejati dan sebab terakhir sebagai satu-satunya yang mencipta. Keempat wujud Tuhan dapat diamati dari keberadaan alam semesta sebagai makrokosmos, yang tidak mungkin mengalami sebuah keteraturan hukum bila tidak ada pengatur, yang disebut Tuhan. Dari keempat premis tadi, dapat diketahui bahwa argumen ini lebih menitikberatkan pada temporalitas dan penciptaan alam semesta oleh sang pencipta. Argumen kedua terkait dengan Tuhan adalah argumen kemungkinan (dalil al- imkān). Ibnu Sina sebagai tokoh argumen ini menjelaskan bahwa wujud (eksistensi) itu ada, bahwa setiap wujud yang ada bisa bersifat niscaya atau potensial (mumkīn). Wujud niscaya adalah wujud yang esensi dan eksistensinya sama. Ia memberikan wujud kepada yang lain, yang bersifat potensial (mumkīn). Ibn Sina (980-1037), memaparkan lebih lanjut atau memperjelas konsep Tuhan al-Kindi dengan mengungkapkan dalil wājib al-wujūd dan mumkīn al-wujūd. Menurutnya, segala yang ada di alam hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Tuhan adalah wājib al-wujūd (wujud niscaya) sedangkan selain-Nya (alam) dipandang sebagai mumkīn al-wujūd (wujud yang mungkin). Namun, yang dimaksud wājib al-wujūd di sini adalah wujud yang ada dengan sebenarnya atau wujud yang senantiasa aktual. Dengan demikian, Allah adalah wujud yang senantiasa ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya. Sejalan dengan Ibn Sina, Al Farabi memandang bahwa Tuhan, sebagai wājib al-wujūd, adalah Mahasatu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna, dan tidak berhajat sesuatu pun. Berdasarkan hakikat Tuhan di atas, alFarabi menjelaskan alur dari yang banyak (alam semesta) bisa timbul Yang Satu (Tuhan), yang menurutnya, alam dan yang lainnya terjadi dengan cara “emanasi”. Tujuan al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut untuk menegaskan kemahaesaan Tuhan karena “yang esa” tidak mungkin berhubungan dengan “yang tidak esa” atau “yang banyak”. Andai kata alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi dari Tuhan yang Maha Esa hanya muncul satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak. Secara Teologis, Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik-buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan memperkenalkan diriNya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada manusia melalui pelbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen. Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan umat beragama. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui cara beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan. Misalnya, bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan (monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri terlebih dulu dalam kehidupan mereka. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan memanggil Nabi Nuh kemudian Abraham dan keturunanketurunannya sehingga mereka dapat membentuk suatu bangsa yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi petunjuk mengenai cara untuk menyembah dan beribadah kepada Tuhan. Kita dapat melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini dapat terjadi karena Tuhan yang memulainya. Tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan), manusia tidak dapat beriman, beribadah, dan beragama. Contoh lain, terjadi juga dalam agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad. Melalui wahyu yang diterimanya, Nabi Muhammad mengajarkan dan menekankan monoteisme di tengah politeisme yang terjadi di Arab. Umat dituntun menyembah hanya kepada Dia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Melalui wahyu yang diterimanya, Nabi Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan orang-orang Arab yang menyembah banyak Tuhan / dewa. Melalui wahyu yang diturunkan Tuhan juga, Muhammad mampu membentuk suatu umat yang beragama, beribadah, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan, baikburuk, dan cara beragama dalam perspektif teologis tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi terjadi atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk yang bertuhan dan beribadah kepada-Nya.
C. Makna Tauhidullah dan Macamnya
Kata tauhid berasal dari kata-kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan,
yang artinya mengesakan, menyatukan. Jadi, tauhid adalah suatu agama yang mengesakan Allah. Arti kata tauhid adalah mengesakan, yang dimaksud dengan mengesakan Allah Swt adalah dzat-Nya, sifat-Nya, asma’-Nya dan af’al-Nya. Tauhid merupakan bagian paling penting dari keseluruhan subtansi aqidah ahlus sunnah wal jamaah. Bagian ini harus dipahami secara utuh agar maknanya yang sekaligus mengandung klasifikasi jenis-jenisnya dapat terealisasi dalam kehidupan, dalam kaitan ini tercakup dua hal, yaitu yang pertama, memahami ajaran tauhid secara teoritis berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, dan akal sehat. Kedua, mengaplikasikan ajaran tauhid tersebut dalam kenyataan sehingga ia menjadi fenomena yang tampak dalam kehidupan manusia. Secara teoritis, tauhid dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, dan tauhid Asma’ Wash-Shifat. Rububiyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah SWT, yaitu ‘Rabb’. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain seperti lain al-murabbi yaitu pemelihara, an-nasir yaitu penolong, al-malik yaitu pemilik, al-mushlih yaitu yang memperbaiki, as-sayyid yaitu tuan dan al-wali yaitu wali. Dalam terminologi syari‟at Islam, istilah tauhid rububiyyah berarti percaya bahwa hanya allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang dengan takdirnya-Nya ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-Nya. Dalam pengertian ini istilah tauhid rububiyah belum terlepas dari akar makna bahasanya. Sebab Allah adalah pemelihara makhluk, para rasul dan wali-wali-Nya dengan segala spesifikasi yang telah diberikannya kepada mereka. Rezeki-Nya meliputi semua hamba-Nya. Dialah penolong rasul-rasul-Nya dan wali-wali-Nya, pemilik bagi semua makhluk-Nya, yang senantiasa memperbaiki keadaan mereka dengan pilar-pilar kehidupan yang telah diberikannya kepada mereka, tuhan kepada siapa derajat tertinggi dan kekuasaan itu berhenti, serta wali atau pelindung yang tak terkalahkan yang mengendalikan urusan para wali dan rasul-Nya. Tauhid rububiyah mencakup dimensi-dimensi keimanan, yaitu pertama, beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum, kedua, beriman kepada takdir Allah, dan ketiga, beriman kepada zat Allah. Landasan tauhid rububiyah adalah dalil-dalil berikut ini, pertama sebagaimana yang tertera dalam surat al-fatihah ayat 1 yang memiliki arti ”Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam”, dan yang kedua, sebagaimana yang tertera dalam surat al-A’raaf ayat 54 yang memiliki arti “Dia-lah Allah yang menjadikan segla yang ada di bumi untuk kamu”. Definisi tauhid al-asma wa ash-shifat artinya pengakuan dan kesaksian yang tegas atas semua nama dan sifat allah yang sempurna dan termaktub dalam ayat-ayat al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Dalam surat Asy-Syuura ayat 11 yang memiliki arti Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan dia, dan dia maha mendengar lagi maha melihat”. Disini Allah Swt, menetapkan sifat-sifat bagi diri-Nya secara rinci. Yaitu dengan menyebut bagian-bagian kesempurnaan itu satu persatu. Inilah sinyalemen dalam bagian kedua ayat tersebut: “…dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Maka Allah Swt, menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi diri-Nya sendiri. Tetapi Allah Swt, juga menafikan sifat-sifat kekurangan dari diri-Nya. Hanya saja penafikan itu bersifat umum. Artinya, Allah Swt, menafikan semua bentuk sifat kekurangan bagi dirinya yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya secara umum tanpa merinci satuan-satuan dari sifat-sifat kekurangan tersebut. Ini sinyalemen bagian pertama dari ayat tadi:” Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. Terkadang memang terjadi sebaliknya, yaitu bahwa Allah SWT menetapkan sifat-sifat bagi diri-Nya secara global dan merinci sifat-sifat kekurangan yang ingin dinafikan. Kemudian jenis tauhid yang berikutnya yaitu Tauhid Uluhiyah. Kata uluhiyah diambil dari akar kata ‘ilah’ yang berarti yang disembah dan yang ditaati. Kata ini digunakan untuk menyebut sembahan yang hak dan yang batil untuk sembahan yang tak terlihat. Pengertian tauhid uluhiyah dalam terminologi syari’at Islam sebenarnya tidak keluar dari kedua makna tersebut. Maka definisinya adalah mengesakan Allah dalam ibadah dan ketaatan atau mengesakan Allah dalam perbuatan seperti sholat, puasa, zakat, haji, nazar, menyembelih sembelihan, rasa takut, rasa harap dan cinta. Maksudnya semua itu dilakukan yaitu bahwa kita melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya sebagai bukti ketaatan dan semata-mata untuk mencari ridla Allah. Oleh sebab itu, realisasi yang benar dari tauhid uluhiyah hanya bisa terjadi dengan dua dasar. Pertama, memberikan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah SWT tanpa adanya sekutu yang lain. Kemudian yang kedua yaitu hendaklah semua ibadah itu sesuai dengan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya melakukan maksiat.
D. Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan secara bahasa merupakan pengakuan hati. Sedangkan secara syara’ yang tertuang dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya, “iman itu bukanlah dengan angan-angan tetapi apa yang telah mantap di dalam hati dan dibuktikan kebenarannya. Dengan amalan yang juga tertuang dalam pada iman adalah pengakuan hati, mengucapkan dengan lidah, pengucapan dengan lidah dan pengamalan dengan anggota”. Kedua hadist tersebut mengemukakan bahwa beriman itu bermula dari pengakuan hati, baru di iringi dengan pengucapan secara lisan yang kemudian diamalkan dengan seluruh anggota badan dalam bentuk perbuatan. Sedangkan takwa adalah nilai akumulasi dari nilai-nilai islam pakar tafsir abu HayyanAl- Andalusi menyebut, takwa sebagai kumpulan ketaatan yang membentuk kualitas pribadi orang yang beriman dan melindunginya dari siksa dan bencana. Sebagai akumulasi dari nilai-nilai agama, taqwa terkadang menunjuk pada iman, tauhid, kepatuhan, taat, taubat, dan sikap menjauhkan diri dari dosa-dosa dan maksiat. Dilihat dari segi bahasa takwa berasal dari waqa, yaqi al waqiyah yang artinya memelihara sesuatu dari apa yang membahayakan. Dari sinilah, taqwa kemudian diartikan sebagai sikap hati-hati dalam berbagai kemungkinan buruk yang dapat menimpa seseorang. Selain itu, takwa juga diartikan sebagai takut, yaitu takut kepada Allah SWT atau kepada ancaman dan siksa nya. Kedua makna ini tentu sangat berdekatan dan memiliki keterkaitan. Orang yang bersikap hati-hati biasanya karena ia takut akibat-akibat buruk tanpa rasa takut, sulit dibayangkan seseorang bisa bersikap hati-hati dan waspada. Saat ini, manusia lebih cenderung mengikuti nafsunya, dari pada sebagai insan yang penuh lemah penuh kekurangan, yaitu dengan melanggar norma-norma kesusilaan dan norma ilahiyah. Hal itu sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan mengesampingkan akidah ukhuwah hanya karena mengejar kesenangan yang bersifat sementara. Dalam surat Al-Anfal pada ayat 45 – 47 yang memiliki arti “Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan musuh, maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak banyaknya agar kamu beruntung dan taatlah kepada Allah dan Rosulnya, disini janganlah kamu berbantah bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang – orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang – orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya”, menjelaskan kunci kemenangan orang-orang yang beriman manakala menghadapi musuh yang berat. Musuh yang datang dari mana saja musuh yang meluluhlantakkan bangunan keimanan orang- orang yang beriman. Masalah iman adalah masalah penting dan urgent yang tidak boleh disepelekan. Ia punya sangkut paut yang demikian erat dengan wujud manusia dan penentuan nasib hidupnya yang penting. Ia bisa membawa manusia kearah yang positif dan sebaliknya.