Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Fitrah Manusia Membutuhkan Tuhan


Fitrah secara etimologi yang berasal dari kosa kata bahasa Arab
yakni fa-tha-ra memiliki arti kata ‘kerja’ yang berarti ‘menjadikan’. Abu
A’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh
ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya
kepada Tuhan. Uraian Al-Maududi mengenai peletakan pengertian
konsep fitrah secara sederhana yakni bahwa meskipun manusia telah
diberi kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak, bebas, dan
memilih, namun pada hakikatnya ia dilahirkan sebagai muslim, dalam arti
bahwa segala gerak dan lakunya cenderung berserah diri kepada
Khaliknya.
Ungkapan mengenai pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin
yakni secara keseluruhan dalam pandangan Islam mengatakan bahwa
kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan fitrah. Ada yang
mengemukakan bahwa fitrah merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan
Allah swt, yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Maka
manusia sejak lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah,
yaitu agama tauhid. Istilah fitrah dapat dipandang dalam dua sisi. Dari sisi
bahasa, maka makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah
manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama,
yakni bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama
tauhid, yaitu mengesakan Tuhan.
Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat
dimengerti dalam uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu
tertera pada surah al-Rum ayat 30, yang memiliki arti “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan (fathara) manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Maka dari ayat tersebut dapat
dipahami bahwa pada asal kejadian yang pertama-pertama diciptakan
oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau acuan, di mana
berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi terbaik. Oleh
karena aneka ragam faktor yang mempengaruhinya kondisi fitrah-nya,
sehingga kita sebagai manusia selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan
bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul-
Nya).

B. Eksistensi Tuhan dari Berbagai Perspektif


Pembahasan tentang spiritualitas tidak pernah bisa dilepaskan
dari pembahasan tentang Tuhan. Hal itu mengingat spirit, yang dalam
bahasa Al-Quran sering disebut dengan roh, merupakan anugerah Tuhan
yang dilekatkan dalam diri manusia. Adanya roh atau spirit membuat
manusia mengenal Tuhan dan dapat merasakan nikmatnya patuh pada
sesuatu yang dianggap suci dan luhur. Dalam khazanah pemikiran umat
Islam, diskusi tentang Tuhan adalah pembicaraan yang tidak pernah
tuntas dan selalu menjadi polemik. Itulah sebabnya ilmu yang
membicarakan Tuhan disebut ilmu kalam dan pengkajinya disebut
dengan mutakalim, karena ilmu kalam selalu diperbincangkan dan
diperdebatkan tanpa kata tuntas. Berikut diuraikan perspektif psikologis,
filosofis, sosiologis, dan teologis untuk mengenali konsep Tuhan dan
kebertuhanan.
Secara perspektif psikologis, melalui kajian neurosains, bakat
bertuhan dapat dicari jejaknya dalam bagian-bagian otak yang diangap
terkait dengan kecerdasan spiritual. Paling tidak terdapat empat
penelitian di bidang neurosains yang mendukung hipotesis bahwa dalam
diri manusia terdapat hardware Tuhan. Pertama, penelitian terhadap
osilasi 40 hz yang kemudian melahirkan kecerdasan spiritualnya Danah
Zohar. Kedua, penelitian tentang alam bawah sadar yang melahirkan teori
tentang suara hati dan EQ. Ketiga, penemuan God spot dalam temporal di
sekitar pelipis. Keempat, kajian tentang somatic maker. Penjelasan
berbeda dikemukakan oleh Andrew Newberg dan Mark Waldman dalam
Gen Iman dalam Otak- Born to Believe. Dalam buku itu, penulis
menjelaskan bahwa manusia dilahirkan tidak membawa kepercayaan
khusus kepada Tuhan. Sistem kepercayaan kita dibangun oleh gagasan-
gagasan yang diajarkan secara intens sehingga tertanam secara
neurologis di dalam memori, dan akhirnya dapat mempengaruhi perilaku
dan pemikiran kita. Dengan kata lain, penulis buku ini ingin mengatakan
bahwa kebertuhanan adalah hasil manipulasi pemegang kekuasaan
terhadap seorang individu.
Secara perspektif sosiologis, konsep tentang kebertuhanan
sebagai bentuk ekspresi kolektif suatu komunitas beragama merupakan
wilayah pembahasan sosiologi agama. Sosiologi agama merupakan
cabang ilmu sosiologi yang mempelajari secara khusus masyarakat
beragama. Objek dari penelitian sosiologi agama adalah masyarakat
beragama yang memiliki kelompok-kelompok keagamaan. Seperti,
kelompok Kristen, Islam, Buddha, dan lainlain. Sosiologi agama memang
tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-agama
itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari
masyarakat yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran
moral, doktrin, wahyu dapat dipandang sebagai variabel-variabel yang
mempengaruhi fenomena-fenomena yang muncul tersebut. Dari uraian
di atas, kita mengetahui bahwa pespektif sosiologis memandang agama
tidak berdasarkan, melainkan berdasarkan pengalaman konkret pada
masa kini dan pada masa lampau. Dalam perspektif sosiologis, sebuah
komunitas akan memberikan porsi yang besar bagi peran Tuhan dalam
mengatur segala aspek kehidupan manakala komunitas tersebut lebih
banyak dikendalikan oleh common sense. Itulah sebabnya di kalangan
masyarakat primitif atau yang masih terbelakang dalam pendidikannya,
berbagai hal biasanya disandarkan kepada kekuatan supranatural
tersebut. Penjelasan tentang fenomena alam dan sosial sering kali
dibingkai dalam mitos. Mitos adalah penjelasan tentang sejarah dan
pengalaman kemanusiaan dengan menggunakan kacamata Tuhan
(kekuatan transenden). Pendek kata, dalam masyarakat yang belum maju
tingkat pendidikannya, setiap permasalahan selalu dikaitkan dengan
Tuhan. Sebaliknya, dalam masyarakat yang telah mengalami rasionalisasi
dengan kemajuan pendidikan, sains, dan teknologi, maka porsi yang
diberikan kepada Tuhan menjadi semakin berkurang. Hal itu karena
semua fenomena alam dan sosial budaya dengan rasionalisme dan
perkembangan iptek dapat dijelaskan dengan mudah. Dalam sosiologi,
agama disebut sebagai sebuah sistem budaya karena merupakan hasil
dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Max Weber menjelaskan
bahwa Tuhan tidak ada dan hidup untuk manusia, tetapi manusialah yang
hidup demi Tuhan. Menurutnya, menjalankan praktik-praktik keagamaan
merupakan upaya manusia untuk mengubah Tuhan yang irrasional
menjadi rasional. Berbeda denganpendapat Emile Durkhem, Max Weber
menyatakan bahwa kebertuhanan secara khas merupakan permasalahan
sosial, bukan individual. Hal tersebut dikarenakan arena pada saat itu
yang empirik kebertuhanan dipraktikkan dalam ritual upacara yang
memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam pelaksanaanya.
Akibatnya, yang tampak saat itu adalah kebertuhanan yang hanya bisa
dilaksanakan pada saat berkumpulnya anggota-anggota sosial, dan tidak
bisa dilakukan oleh tiap individu.
Secara perspektif filosofis, menurut Mulyadhi Kartanegara paling
tidak terdapat tiga argumen filsafat untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu
dalil al-ḫudūts, al-īmkān, dan dalil al-‘ināyah. Argumen pertama
diperkenalkan oleh al-Kindi, yang kedua oleh Ibn Sina, dan yang ketiga
oleh Ibn Rusyd. Dalam argumen al-ḫudūts, Al-Kindi dengan gigih
membangun basis filosofis tentang kebaruan alam untuk menegaskan
adanya Tuhan sebagai pencipta. Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama,
yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling fundamental dari
semua sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab
pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber bagi sesuatu yang lain, yakni
alam semesta. Argumen tentang Tuhan yang dikemukakan Al-Kindi
dibangun di atas empat premis. Pertama, alam semesta bersifat terbatas
dan dicipta dalam waktu, karenanya alam pasti harus ada yang
menciptakan (pencipta) yang tidak terbatas dan tidak dilingkupi waktu.
Kedua pencipta harus bersifat esa, yang darinya memancar semua
maujūd yang tersusun dan beragam. Ketiga, sesuatu ada karena adanya
sebab-sebab lain yang secara hierarkis mengerucut pada sebab sejati dan
sebab terakhir sebagai satu-satunya yang mencipta. Keempat wujud
Tuhan dapat diamati dari keberadaan alam semesta sebagai
makrokosmos, yang tidak mungkin mengalami sebuah keteraturan
hukum bila tidak ada pengatur, yang disebut Tuhan. Dari keempat premis
tadi, dapat diketahui bahwa argumen ini lebih menitikberatkan pada
temporalitas dan penciptaan alam semesta oleh sang pencipta. Argumen
kedua terkait dengan Tuhan adalah argumen kemungkinan (dalil al-
imkān). Ibnu Sina sebagai tokoh argumen ini menjelaskan bahwa wujud
(eksistensi) itu ada, bahwa setiap wujud yang ada bisa bersifat niscaya
atau potensial (mumkīn). Wujud niscaya adalah wujud yang esensi dan
eksistensinya sama. Ia memberikan wujud kepada yang lain, yang bersifat
potensial (mumkīn). Ibn Sina (980-1037), memaparkan lebih lanjut atau
memperjelas konsep Tuhan al-Kindi dengan mengungkapkan dalil wājib
al-wujūd dan mumkīn al-wujūd. Menurutnya, segala yang ada di alam
hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Tuhan adalah
wājib al-wujūd (wujud niscaya) sedangkan selain-Nya (alam) dipandang
sebagai mumkīn al-wujūd (wujud yang mungkin). Namun, yang dimaksud
wājib al-wujūd di sini adalah wujud yang ada dengan sebenarnya atau
wujud yang senantiasa aktual. Dengan demikian, Allah adalah wujud yang
senantiasa ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun
untuk mengaktualkannya. Sejalan dengan Ibn Sina, Al Farabi memandang
bahwa Tuhan, sebagai wājib al-wujūd, adalah Mahasatu, tidak berubah,
jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna, dan tidak
berhajat sesuatu pun. Berdasarkan hakikat Tuhan di atas, alFarabi
menjelaskan alur dari yang banyak (alam semesta) bisa timbul Yang Satu
(Tuhan), yang menurutnya, alam dan yang lainnya terjadi dengan cara
“emanasi”. Tujuan al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut untuk
menegaskan kemahaesaan Tuhan karena “yang esa” tidak mungkin
berhubungan dengan “yang tidak esa” atau “yang banyak”. Andai kata
alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan
dengan yang tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi dari
Tuhan yang Maha Esa hanya muncul satu, yakni akal pertama yang
berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak.
Secara Teologis, Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan,
kebenaran, dan keberagamaan harus dicarikan penjelasannya dari
sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas
(dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang
Tuhan, baik-buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari
Tuhan sendiri. Tuhan memperkenalkan diriNya, konsep baik-buruk, dan
cara beragama kepada manusia melalui pelbagai pernyataan, baik yang
dikenal sebagai pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta,
pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan
khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci,
penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi
manusia dalam dogma Kristen. Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi
dasar keimanan dan keyakinan umat beragama. Melalui wahyu yang
diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui
cara beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan. Misalnya,
bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu
Tuhan (monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan
menyatakan diri terlebih dulu dalam kehidupan mereka. Dalam Perjanjian
Lama, Tuhan memanggil Nabi Nuh kemudian Abraham dan
keturunanketurunannya sehingga mereka dapat membentuk suatu
bangsa yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi
petunjuk mengenai cara untuk menyembah dan beribadah kepada
Tuhan. Kita dapat melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini
dapat terjadi karena Tuhan yang memulainya. Tanpa inisiatif dari atas
(dari Tuhan), manusia tidak dapat beriman, beribadah, dan beragama.
Contoh lain, terjadi juga dalam agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu
kepada Nabi Muhammad. Melalui wahyu yang diterimanya, Nabi
Muhammad mengajarkan dan menekankan monoteisme di tengah
politeisme yang terjadi di Arab. Umat dituntun menyembah hanya
kepada Dia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Melalui wahyu yang
diterimanya, Nabi Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan
orang-orang Arab yang menyembah banyak Tuhan / dewa. Melalui wahyu
yang diturunkan Tuhan juga, Muhammad mampu membentuk suatu
umat yang beragama, beribadah, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan, baikburuk,
dan cara beragama dalam perspektif teologis tidak terjadi atas prakarsa
manusia, tetapi terjadi atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan
melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk yang
bertuhan dan beribadah kepada-Nya.

C. Makna Tauhidullah dan Macamnya

Kata tauhid berasal dari kata-kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan,


yang artinya mengesakan, menyatukan. Jadi, tauhid adalah suatu agama
yang mengesakan Allah. Arti kata tauhid adalah mengesakan, yang
dimaksud dengan mengesakan Allah Swt adalah dzat-Nya, sifat-Nya,
asma’-Nya dan af’al-Nya. Tauhid merupakan bagian paling penting dari
keseluruhan subtansi aqidah ahlus sunnah wal jamaah. Bagian ini harus
dipahami secara utuh agar maknanya yang sekaligus mengandung
klasifikasi jenis-jenisnya dapat terealisasi dalam kehidupan, dalam kaitan
ini tercakup dua hal, yaitu yang pertama, memahami ajaran tauhid secara
teoritis berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, dan akal sehat. Kedua,
mengaplikasikan ajaran tauhid tersebut dalam kenyataan sehingga ia
menjadi fenomena yang tampak dalam kehidupan manusia. Secara
teoritis, tauhid dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu tauhid
Rububiyah, tauhid Uluhiyah, dan tauhid Asma’ Wash-Shifat.
Rububiyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama
Allah SWT, yaitu ‘Rabb’. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain
seperti lain al-murabbi yaitu pemelihara, an-nasir yaitu penolong, al-malik
yaitu pemilik, al-mushlih yaitu yang memperbaiki, as-sayyid yaitu tuan
dan al-wali yaitu wali.
Dalam terminologi syari‟at Islam, istilah tauhid rububiyyah berarti
percaya bahwa hanya allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik,
pengendali alam raya yang dengan takdirnya-Nya ia menghidupkan dan
mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-Nya.
Dalam pengertian ini istilah tauhid rububiyah belum terlepas dari akar
makna bahasanya. Sebab Allah adalah pemelihara makhluk, para rasul
dan wali-wali-Nya dengan segala spesifikasi yang telah diberikannya
kepada mereka. Rezeki-Nya meliputi semua hamba-Nya. Dialah penolong
rasul-rasul-Nya dan wali-wali-Nya, pemilik bagi semua makhluk-Nya, yang
senantiasa memperbaiki keadaan mereka dengan pilar-pilar kehidupan
yang telah diberikannya kepada mereka, tuhan kepada siapa derajat
tertinggi dan kekuasaan itu berhenti, serta wali atau pelindung yang tak
terkalahkan yang mengendalikan urusan para wali dan rasul-Nya. Tauhid
rububiyah mencakup dimensi-dimensi keimanan, yaitu pertama, beriman
kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum, kedua, beriman
kepada takdir Allah, dan ketiga, beriman kepada zat Allah.
Landasan tauhid rububiyah adalah dalil-dalil berikut ini, pertama
sebagaimana yang tertera dalam surat al-fatihah ayat 1 yang memiliki arti
”Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam”, dan yang kedua,
sebagaimana yang tertera dalam surat al-A’raaf ayat 54 yang memiliki arti
“Dia-lah Allah yang menjadikan segla yang ada di bumi untuk kamu”.
Definisi tauhid al-asma wa ash-shifat artinya pengakuan dan
kesaksian yang tegas atas semua nama dan sifat allah yang sempurna dan
termaktub dalam ayat-ayat al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Dalam
surat Asy-Syuura ayat 11 yang memiliki arti Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan dia, dan dia maha mendengar lagi maha melihat”. Disini
Allah Swt, menetapkan sifat-sifat bagi diri-Nya secara rinci. Yaitu dengan
menyebut bagian-bagian kesempurnaan itu satu persatu. Inilah
sinyalemen dalam bagian kedua ayat tersebut: “…dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. Maka Allah Swt, menetapkan sifat
mendengar dan melihat bagi diri-Nya sendiri. Tetapi Allah Swt, juga
menafikan sifat-sifat kekurangan dari diri-Nya. Hanya saja penafikan itu
bersifat umum. Artinya, Allah Swt, menafikan semua bentuk sifat
kekurangan bagi dirinya yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya
secara umum tanpa merinci satuan-satuan dari sifat-sifat kekurangan
tersebut. Ini sinyalemen bagian pertama dari ayat tadi:” Tiada sesuatupun
yang serupa dengan Dia”. Terkadang memang terjadi sebaliknya, yaitu
bahwa Allah SWT menetapkan sifat-sifat bagi diri-Nya secara global dan
merinci sifat-sifat kekurangan yang ingin dinafikan.
Kemudian jenis tauhid yang berikutnya yaitu Tauhid Uluhiyah.
Kata uluhiyah diambil dari akar kata ‘ilah’ yang berarti yang disembah dan
yang ditaati. Kata ini digunakan untuk menyebut sembahan yang hak dan
yang batil untuk sembahan yang tak terlihat. Pengertian tauhid uluhiyah
dalam terminologi syari’at Islam sebenarnya tidak keluar dari kedua
makna tersebut. Maka definisinya adalah mengesakan Allah dalam ibadah
dan ketaatan atau mengesakan Allah dalam perbuatan seperti sholat,
puasa, zakat, haji, nazar, menyembelih sembelihan, rasa takut, rasa harap
dan cinta. Maksudnya semua itu dilakukan yaitu bahwa kita
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya sebagai bukti
ketaatan dan semata-mata untuk mencari ridla Allah. Oleh sebab itu,
realisasi yang benar dari tauhid uluhiyah hanya bisa terjadi dengan dua
dasar. Pertama, memberikan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah
SWT tanpa adanya sekutu yang lain. Kemudian yang kedua yaitu
hendaklah semua ibadah itu sesuai dengan perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya melakukan maksiat.

D. Keimanan dan Ketakwaan


Keimanan secara bahasa merupakan pengakuan hati. Sedangkan
secara syara’ yang tertuang dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya,
“iman itu bukanlah dengan angan-angan tetapi apa yang telah mantap di
dalam hati dan dibuktikan kebenarannya. Dengan amalan yang juga
tertuang dalam pada iman adalah pengakuan hati, mengucapkan dengan
lidah, pengucapan dengan lidah dan pengamalan dengan anggota”.
Kedua hadist tersebut mengemukakan bahwa beriman itu bermula dari
pengakuan hati, baru di iringi dengan pengucapan secara lisan yang
kemudian diamalkan dengan seluruh anggota badan dalam bentuk
perbuatan. Sedangkan takwa adalah nilai akumulasi dari nilai-nilai islam
pakar tafsir abu HayyanAl- Andalusi menyebut, takwa sebagai kumpulan
ketaatan yang membentuk kualitas pribadi orang yang beriman dan
melindunginya dari siksa dan bencana. Sebagai akumulasi dari nilai-nilai
agama, taqwa terkadang menunjuk pada iman, tauhid, kepatuhan, taat,
taubat, dan sikap menjauhkan diri dari dosa-dosa dan maksiat. Dilihat
dari segi bahasa takwa berasal dari waqa, yaqi al waqiyah yang artinya
memelihara sesuatu dari apa yang membahayakan. Dari sinilah, taqwa
kemudian diartikan sebagai sikap hati-hati dalam berbagai kemungkinan
buruk yang dapat menimpa seseorang. Selain itu, takwa juga diartikan
sebagai takut, yaitu takut kepada Allah SWT atau kepada ancaman dan
siksa nya. Kedua makna ini tentu sangat berdekatan dan memiliki
keterkaitan. Orang yang bersikap hati-hati biasanya karena ia takut
akibat-akibat buruk tanpa rasa takut, sulit dibayangkan seseorang bisa
bersikap hati-hati dan waspada.
Saat ini, manusia lebih cenderung mengikuti nafsunya, dari pada
sebagai insan yang penuh lemah penuh kekurangan, yaitu dengan
melanggar norma-norma kesusilaan dan norma ilahiyah. Hal itu sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan mengesampingkan akidah
ukhuwah hanya karena mengejar kesenangan yang bersifat sementara.
Dalam surat Al-Anfal pada ayat 45 – 47 yang memiliki arti “Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan musuh, maka
berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak banyaknya
agar kamu beruntung dan taatlah kepada Allah dan Rosulnya, disini
janganlah kamu berbantah bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang – orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti
orang – orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan
dengan maksud riya”, menjelaskan kunci kemenangan orang-orang yang
beriman manakala menghadapi musuh yang berat. Musuh yang datang
dari mana saja musuh yang meluluhlantakkan bangunan keimanan orang-
orang yang beriman. Masalah iman adalah masalah penting dan urgent
yang tidak boleh disepelekan. Ia punya sangkut paut yang demikian erat
dengan wujud manusia dan penentuan nasib hidupnya yang penting. Ia
bisa membawa manusia kearah yang positif dan sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai