Anda di halaman 1dari 224

BAB I

KETUHANAN DALAM ISLAM


A. Pendahuluan
Kajian filsafat dan teologi biasanya didasari dengan masalah
pembuktian wujud Tuhan. Tetapi dalam kitab-kitab suci yang lain,
termasuk al-Quran, hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan
secara khusus tentang wujud Tuhan. Seolah-olah eksistensi Tuhan
tidak perlu dibahas. Karena dianggap sudah sangat jelas. Disebutkan
oleh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Islam wa al-Aqal,
bahwa: “Jangankan al-Quran, kitab Taurat dan Injil dalam bentuknya
yang sekarang (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) tidak
menguraikan tentang eksistensi Tuhan.”
Dalam teks agama bangsa Arya, eksistensi Tuhan diterima
begitu saja tanpa mensyaratkan bukti logis. Demikian pula dalam
kitab suci agama Hindu, Upanshad. Ini artinya bahwa keberadaan
Tuhan merupakan suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi dan
hampir semua manusia mempercayainya. Walaupun demikian, bukan
berarti tidak perlu dibicarakan. Karena pembahasan tentang wujud
Tuhan dapat membawa kepada keimanan dan menguatkannya.
Bab ini berisi tentang: Ketuhanan dalam Islam dan sejarah
Pendidikan Agama Islam 1
2 Ketuhanan dalam Islam
perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan, yang dibagi
kepada: klasifikasi barat (dinamisme, animisme, politeisme,
henoteisme, monoteisme), serta Tuhan menurut wahyu. Bab ini juga
menjelaskan tentang pembuktian eksistensi Tuhan dengan berbagai
metodenya.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Memahami
makna Tuhan dan sikap manusia terhadapnya; Menjelaskan
pandangan Max Muller, Andrew lang dan wahyu tentang kepercayaan
manusia; Membuktikan adanya Tuhan dengan pendekatan ilmiah
yang dapat menguatkan iman.
B. Ketuhanan dalam Islam
Kata ilāh, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an
dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang diagungkan atau
dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS. al-
Jātsiyah/45: 23:
…     
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya…”
Dalam QS. al-Qashash/28: 38, perkataan ilāh dipakai oleh
Fir’aun untuk dirinya sendiri:
….          
“Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan
bagimu selain aku. …”
Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ‫إﻟﮫ‬
(ilāh) bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau
keinginan pribadi) maupun benda nyata seperti Fir’aun atau penguasa
yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilāh dalam al-Qur’an juga dipakai
dalam bentuk tunggal (mufrad: ilāhun), ganda (mutsannā: ilāhaini), dan
banyak (jama’: ālihatun). Bertuhan nol atau etheisme tidak mungkin.
Dengan demikian, Tuhan (ilāh) ialah sesuatu yang dipentingkan
(dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia
merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan ‘dipentingkan’ hendaklah diartikan secara luas.
Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-
harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
Pendidikan Agama Islam
Ketuhanan dalam Islam 3
kerugian. Ibnu Taimiyah memberi-kan defenisi al-Ilāh sebagai berikut:
Al-ilāh ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya,
merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-
Nya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakkal
kepada-Nya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan daripada-Nya
dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-
Nya (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan defenisi ini dapatlah dipahami, bahwa Tuhan itu
bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti
ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan.
Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti ada sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan demikian orang-orang komunis pada
hakikatnya bertuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau
angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan ُ‫( َﻻ إِﻟَﮫَ إﻻﱠ ﷲ‬lā ilāha illallāh).
Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu ‘tidak ada
Tuhan’, kemudian baru diikuti dengan penegasan ‘melainkan Allah’.
Hal itu berarti seorang muslim harus membersihkan diri dari segala
macam Tuhan atau yang dipertuhankan terlebih dahulu, sehingga
yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.
C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Manusia tentang Tuhan
Yang dimaksud konsep ketuhanan menurut pemikiran manusia
adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui
pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya
proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB
Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan
pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme sebagai
berikut:
a. Dinamisme
Menurut Paham ini, manusia sejak zaman primitif telah
mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
Pendidikan Agama Islam
4 Ketuhanan dalam Islam
Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), syakti (India). Mana
adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera oleh
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius.
Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.
b. Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga
mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang
dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati.
oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup,
mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai
kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya
dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek
negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan
roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu
usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan
dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa.
Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai bidangnya.
Ada dewa yang bertanggungjawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang mem-bidangi angin dan lain
sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap
kaum cendekiawan. Oleh karena itu, dewa-dewa yang diakui diadakan
seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan tuhan, namun masih mengakui tuhan bangsa lain.
Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
henoteisme.
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi
monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu tuhan untuk
seluruh manusia. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat ketuhanan
terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Pendidikan Agama Islam
Ketuhanan dalam Islam 5
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan
sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dab EB Taylor (1877),
ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa
orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya
dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada
wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka,
yang tidak mereka berikan kepada wujud tuhan yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-
angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-
sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami
sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak
datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi dan wahyu.
Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan
bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan
masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti
bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme,
dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul
Yusuf, 1993: 26-27).
2. Tuhan menurut Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas
pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia semata, tidak
akan pernah benar secara hakiki. Sebab Tuhan adalah sesuatu yang
ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari
manusia walaupun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun
pemikiran rasional, tidak akan benar secara mutlak.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara
lain tertera dalam:
a. QS. al-Anbiyā’/21: 92:
        
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang
satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku.”
Oleh karena itu, seharusnya manusia menganut satu agama,
tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada
Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa
sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan
Pendidikan Agama Islam
6 Ketuhanan dalam Islam
sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui rasul-rasul-Nya, Allah
memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul
dimulai sejak Nabi Adam as sebagai Rasul pertama hingga Nabi
Muhammad saw sebagai Rasul terakhir.
Jika terjadi perbedaan ajaran tentang ketuhanan dalam
kehidupan manusia, itu tidak lain adalah karena perbuatan manusia
itu sendiri. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya,
merupakan manipulasi dan kebohongan besar manusia.
b. QS. al-Māidah/5: 72:
            
 ...       
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah
ialah al-Masīh putera Maryam", Padahal al-Masīh (sendiri) berkata: "Hai
Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu"…”
c. QS. al-Ikhlāsh/112: 1-4:
               
  
“Katakan, Dia-lah Allah, yang maha esa, Allah adalah Tuhan yang
bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah.
Kata/nama Allah adalah ism jāmid atau personal name. Dan merupakan
suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan
kata “Ilāh/Tuhan”, karena dianggap sebagai ism musytaq (nama yang
terbentuk dari kata yang lain).
Tuhan yang haq dalam konsep al-Qur’an adalah Allah. Hal ini
dinyatakan antara lain dalam QS. Āli Imrān/3: 62:
               
 
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang maha perkasa
lagi maha bijaksana.”
Dalam QS. Shād/38: 35:
Pendidikan Agama Islam
Ketuhanan dalam Islam 7

              
 
“Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. Sesungguhnya
Engkaulah yang maha pemberi.”
Dalam QS. Shād/38: 65:
            
“Katakanlah (ya Muhammad): Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi
peringatan, dan sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah yang maha esa dan
maha mengalahkan.”
Dalam QS. Muhammad/47: 19:
           
   
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilāh (sesembahan, Tuhan)
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal.”
Dalam al-Qur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang
Tuhan yang diberikan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad
adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain QS. Hūd/11: 84:
               
          
   
“Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu
selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya
aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku
khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)."
Dalam QS. al-Māidah/5: 72:
            

Pendidikan Agama Islam


8 Ketuhanan dalam Islam

             
         
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah
ialah al-Masih putera Maryam", Padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai
Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”
Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-
Ankabūt/29: 46:
             
          
  
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dan
katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Dan dalam QS. Thāhā/20: 98:
             
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia.
Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.”
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka
sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah
sebutan “Allah”, dan kemahaesāaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti
konsep tauhid telah ada sejak datangnya Nabi Adam as di muka
bumi. Esa menurut al-Qur’an adalah esa yang sebenar-benarnya esa,
yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi
menjadi bagian-bagian tertentu.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau
disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang
mengikrarkan kalimat syahadat lā ilāha illallāh harus menempatkan
Allah sebagai prioritas utama dalam setiap gerak tindakan dan

Pendidikan Agama Islam


Ketuhanan dalam Islam 9
ucapannya.
Konsep kalimat ُ‫( ﻻَ إِﻟﮫَ إﻻﱠ ﷲ‬lā ilāha illallāh) yang bersumber dari
al-Qur’an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai
kecenderungan untuk mencari Tuhan yang selain Allah dan hal itu
akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
D. Pembuktian Eksistensi Tuhan
Penggambaran tentang pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat
ditemukan dalam QS. al-‘Ankabūt/29: 61-63:
         
               
             
              

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang
menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ tentu
mereka akan menjawab: ‘Allah’, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan
(dari jalan yang benar). Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-
Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu. Dan sesungguhnya jika
kamu menanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ tentu mereka
akan menjawab: ‘Allah’, Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi
kebanyakan mereka tidak memahami(nya).”
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa bangsa Arab sesungguhnya
telah memahami dan meyakini akan eksistensi Tuhan sebagai
pencipta langit dan bumi serta pengaturnya. Namun ada segelintir
anak manusia yang menolak eksistensi Tuhan, seperti penggambaran
QS. al-Jātsiyah/45: 24:
              
        
“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita
selain masa’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
Pendidikan Agama Islam
10 Ketuhanan dalam Islam
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”
Penolakan akan eksistensi Tuhan oleh sebagian kecil manusia
itu, hanya didasarkan pada dugaan semata dan tidak didasarkan pada
pengetahuan yang meyakinkan. Oleh karena itu, sangat logis jika al-
Qur’an mempertanyakan sikap dan penolakan manusia akan
eksistensi Tuhan serta kekafiran manusia kepada Tuhan dan
kesyirikan manusia.
Pertanyaan yang senada seakan-akan apa yang terjadi sulit
untuk dapat dipercayai juga ditemukan dalam QS. al-Baqarah/2: 28:
          
   
“Bagaimana kalian bisa kafir kepada Allah? padahal kalian sebelumnya mati
(tidak ada), kemudian Dia menghidupkan (menciptakan) kalian, lalu
kemudian Dia mematikan kalian, kemudian Dia menghidupkan kalian
kembali dan akhirnya kepada Dialah kalian kembali.”
Ayat ini menegaskan bahwa penolakan eksistensi Tuhan,
perilaku kufur dan syirik adalah tidak pantas bagi manusia.
Dalam QS. at-Thūr/52: 35-36, al-Qur’an mempertanyakan:
           
     
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)?” “Ataukah mereka telah menciptakan
langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka
katakan).”
Mencermati ketiga pertanyaan di atas nampaknya al-Qur’an
ingin menyadarkan logika ilmiah manusia tentang eksistensi Tuhan
dan kebutuhan manusia terhadap Tuhan. Jika jawaban untuk
pertanyaan pertama adalah tidak, maka manusia adalah makhluk yang
membutuhkan pencipta. Dengan demikian, maka jawaban untuk
pertanyaan kedua sudah pasti tidak, karena makhluk tidak mungkin
dapat menciptakan dirinya sendiri. Jelasnya semua makhluk termasuk
manusia tidak akan mungkin menjadi pencipta. Demikian pula untuk
pertanyaan ketiga, jawabannya bersifat negasi karena diri manusia saja
tidak dapat diciptakan oleh manusia itu sendiri lalu bagaimana
mungkin manusia menciptakan sesuatu yang telah ada sebelum
dirinya ada. Oleh karena itu sangat menggelikan jika manusia
Pendidikan Agama Islam
Ketuhanan dalam Islam 11
mengklaim dirinya sebagai tuhan dan berkata bahwa dirinya adalah
pencipta dan penguasa langit dan bumi, seperti apa yang dilakukan
dan diakui oleh Fir’aun.
Pengakuan diri Fir’aun sebagai tuhan setelah ia menolak
tuhannya Musa as dan yang diimani oleh pengikut Musa, merupakan
bukti konkrit bahwa manusia memiliki kesadaran akan eksistensi
Tuhan dan manusia butuh akan Dia? Sehingga ketika manusia (dalam
hal ini Fir’aun) menolak eksistensi Tuhan di luar dirinya, ia pun
mengangkat dan mengakui dirinya sendiri sebagai tuhan. Dari sini
dapat ditegaskan bahwa manusia tidak akan mampu melepaskan diri
dari pengakuan akan eksistensi Tuhan.
Kesalahan terbesar Fir’aun karena mengakui dan mengangkat
dirinya sebagai tuhan, pada akhirnya ia sadari dan kemudian
mengakui eksistensi Tuhan yang diimani Musa as dan Bani Israil
(meskipun menurut al-Qur’an sudah terlambat), seperti ditegaskan
dalam QS. Yunus/10: 90-91:
          
            
           
 
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh
Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas
(mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya
percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani
Israil, dan saya Termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), Padahal Sesungguhnya kamu telah
durhaka sejak dahulu, dan kamu Termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.”
Bukankah pengakuan Fir’aun akan eksistensi Tuhannya Musa
as dan Bani Israil dan pembatalan ketuhanan dirinya sendiri (yang
terjadi pada saat ia akan tenggelam, ia tidak berdaya dan berkuasa
lagi), merupakan bukti bahwa pengakuan akan eksistensi Tuhan
sudah inheren dalam diri manusia? Sungguh indah al-Qur’an
mengibaratkan bahwa perasaan ketergantungan kepada Tuhan dan
harapan akan pertolongan-Nya secara spontan akan muncul ketika
manusia mendapatkan musibah, seperti dikemukakan dalam QS. al-
Isrā’/17: 67:

Pendidikan Agama Islam


12 Ketuhanan dalam Islam

              
     
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang
kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan,
kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.”
Jadi, manusia akan merasakan kebutuhannya akan kehadiran
Tuhan ketika ia berada dalam kesulitan yang besar dan tidak ada lagi
yang dapat menolongnya termasuk dirinya sendiri, maka pasti ia akan
mengharapkan adanya penolong yang akan menyelamatkannya dari
kesulitan tersebut, itulah Tuhan. Bukankah keadaan yang demikian
itu menggambarkan bahwa manusia mengakui eksistensi Tuhan? Dan
pengakuan itu telah ada dan inheren dalam diri manusia atau
merupakan fitrah manusia. Hal ini ditegaskan dalam QS. al-A’rāf/7:
172:
           
              
  
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Setelah pembuktian eksistensi Tuhan lewat dalil fitrah seperti
telah diuraikan di atas, berikut ini akan eksistensi Tuhan lewat dalil
sebab akibat. Maksud dari dalil sebab akibat adalah tidak ada akibat
tanpa adanya sebab. Menurut akal manusia, setiap kejadian atau
wujud mesti berhubungan dan bersumber dari sebab. Kaidah aqliah
ini sebenarnya tidak membutuhkan penalaran dan perenungan yang
dalam, sebab yang demikian itu dapat diketahui dengan mudah oleh
setiap orang.
Dalil sebab akibat dalam membuktikan eksistensi Tuhan dapat
dipahami dari QS. al-Fushshilat/41: 53:
             

Pendidikan Agama Islam


Ketuhanan dalam Islam 13

      


“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Ayat di atas mengemukakan dua metode pembuktian eksistensi
Tuhan, yaitu: Pertama, metode pembuktian Tuhan lewat perenungan
terhadap alam semesta dan diri manusia. Metode ini relevan dengan
dalil sebab akibat dengan dasar bahwa penelitian, pemikiran, dan
perenungan terhadap adanya alam semesta dan diri manusia akan
mengantar seseorang memahami Tuhan sebagai sebab pertama.
Kedua, menjadikan eksistensi Tuhan sebagai bukti eksistensi-eksistensi
lainnya bukan sebaliknya yakni segala sesuatu yang ada di alam
semesta dan diri manusia sebagai bukti eksistensi Tuhan, “Tiadakah
cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Metode ini disebut dengan metode burhān shiddīqīn.
Menurut Mulla Shadra metode kedua ini merupakan metode
terbaik dalam membuktikan eksistensi Tuhan dibandingkan dengan
metode pertama. Pandangan Shadra sejalan dengan Ibnu Sina dalam
membuktikan eksistensi Tuhan. Ibnu Sina pun menggunakan metode
ini seperti pernyataannya bahwa: “Perhatikanlah dan lihatlah
bagaimana pembuktian kami ihwal eksistensi sumber, kesucian, dan
kesempurnaan-Nya tidak membutuhkan perenungan lain selain
‘eksistensi’ itu sendiri. Di sini tidak perlu merenungkan makhluk-Nya.
Meski pengujian seperti itu akan mengantar kita kepada-Nya, namun
pendekatan kami lebih mendalam. Sebab, pertama-tama kami
merenungkan wujud itu sendiri sehingga ia bisa menerangkan
realitasnya sendiri secara jelas dan kemudian menjadi sebab
keberadaan segala sesuatu yang memancar darinya pada tahapan
berikutnya.”
Ibnu Rusyd menggunakan dua cara dalam membuktikan
eksistensi Tuhan, sebagai berikut:
1. Dalil inayah (the proof of providence), yaitu mengarahkan
manusia untuk mengamati alam semesta sebagai ciptaan Allah yang
mempunyai tujuan/manfaat bagi manusia. Lihat QS. Luqmān/31: 20:
             
            

Pendidikan Agama Islam


14 Ketuhanan dalam Islam

    


“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan
atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”
QS. an-Nabā’/78: 6-16:
          
          
          
          
 
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan. Dan gunung-
gunung sebagai pasak. Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. Dan
Kami jadikan tidurmu untuk istirahat Dan Kami jadikan malam sebagai
pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. Dan Kami
bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh. Dan Kami jadikan pelita
yang amat terang (matahari). Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak
tercurah. Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-
tumbuhan. Dan kebun-kebun yang lebat?”
QS. Āli ‘Imrān/3: 190-191:
         
         
          
  
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Pendidikan Agama Islam


Ketuhanan dalam Islam 15
2. Dalil ikhtirā’, yaitu mengarahkan manusia untuk mengamati
makhluk yang beraneka ragam yang penuh keserasian atau
keharmonisan khususnya alam hayat. Perhatikan QS. al-
Ghāsyiyah/88: 17-22:
          
           
       
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan,
karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu
bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”
Dan QS. al-Hajj/22: 73:
          
             
      
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”
Untuk membuktikan eksistensi Tuhan di luar petunjuk wahyu,
dapat juga dilakukan dengan berbagai pendekatan, di antaranya
adalah:
1. Metode pembuktian ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam
masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui
percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan
dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan.
Hal inilah yang menyebabkan agama batal sebab agama tidak
mempunyai landasan ilmiah menurut metode ini.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak
mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud

Pendidikan Agama Islam


16 Ketuhanan dalam Islam
sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode
ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat
dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut
dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan
empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak
hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian
pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia
analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada
tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti,
karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat
diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang
disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya
jalan untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu
pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan pandangan
pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris.
Oleh karena itu, banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak
dapat diindera secara langsung. Sarjana mana pun tidak mampu
melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti: gaya,
energy (force), alam (nature), dan hukum alam. Padahal tidak ada
seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: Gaya, energy, alam, dan
hukum alam. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan
terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi
yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan.
Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang
tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah ‘iman
kepada yang ghaib’, dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada
‘pengamatan ilmiah’. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan
kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya
saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup
‘penentuan hakikat terakhir dan asli’, sedang ruang lingkup ilmu
pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu
pengetahuan memasuki bidang penentuan hakikat, maka yang
sebenarnya adalah bidang agama. Itu berarti ilmu pengetahuan telah
menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu, harus
ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang
menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang
Pendidikan Agama Islam
Ketuhanan dalam Islam 17
diamati. Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati
adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar
kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa
yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin,
adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak
berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi
yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para
sarjana.
2. Keberadaan alam membuktikan adanya Tuhan
Adanya alam dan organisasinya yang menakjubkan dan
rahasianya yang pelik, memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu
kekuatan yang telah menciptakannya, suatu ‘akal’ yang tidak ada
batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya ‘ada’ dan
percaya pula bahwa alam ini ‘ada’. Dengan dasar itu dan dengan
kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan
kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus
percaya tentang adanya pencipta alam. Pernyataan yang mengatakan:
Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq adalah suatu
pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu
yang berasal dari tidak ada tanpa ada yang menciptakan. Segala
sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh
karena itu bagaimana kita akan percaya bahwa alam semesta yang
demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
3. Pembuktian adanya Tuhan dengan pendekatan fisika
Hingga abad ke-19, pendapat yang mengatakan bahwa alam
menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak
pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua
termodinamika” (second law of thermodynamics), pernyataan ini telah
kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan
energi atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan
bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum tersebut
menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan
panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak
mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan
yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas dikendalikan
oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang
tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan
Pendidikan Agama Islam
18 Ketuhanan dalam Islam
fisika di alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal
itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali.
Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan
energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tentu tidak akan akan
ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang
menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian dengan pendekatan astronomi.
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang
jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi
bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan
hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari
matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per
jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap
setahun sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata
surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan
luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia
beredar bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi
garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di samping itu
masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap
sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-
galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy di mana
terletak sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan
menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa
dan organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil
semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan
bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat
dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha
besar tersebut adalah Tuhan.
5. Pembuktian dengan pendekatan filsafat
Bukti tentang adanya Allah berdasarkan teori kefilsafatan
antara lain:
a). Dalil cosmological, yang sering dikemukakan berhubungan
dengan ide tentang sebab (causality). Plato dalam bukunya “Timeaus”
mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi mesti ada yang
menjadikan. Dalam dunia kita setiap kejadian mesti didahului oleh
sebab-sebab dalam benda-benda yang terbatas (finite). Rangkaian
sebab adalah terus menerus, akan tetapi dalam logika, rangkaian yang

Pendidikan Agama Islam


Ketuhanan dalam Islam 19
terus menerus itu dianggap mustahil.
b). Dalil moral, argumen ini sering dihubungkan dengan nama
Immanuel Kant. Menurut Kant, manusia mempunyai perasaan moral
yang tertanam dalam hati sanubarinya. Setiap orang akan merasa
bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan yang
buruk dan melaksanakan perbuatan yang baik. Manusia melakukan
hal itu hanya semata-mata karena perintah yang timbul dari dalam
lubuk hati nuraninya. Perintah ini bersifat universal dan absolut.
Dorongan seperti ini tidak diperoleh dari pengalaman, akan tetapi
manusia lahir dengan perasaan itu.
E. Rangkuman
1. Tuhan (al-Ilāh) ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati,
tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan
mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah ketika berada
dalam kesulitan, berdoa dan bertawakkal kepada-Nya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan daripada-Nya dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta
kepada-Nya.
2. Pada dasarnya fitrah manusia percaya adanya Tuhan, namun
penemuan dalam pencarian mereka berbeda sesuai dengan keadaan
dan kondisi pemikiran mereka.
3. Tuhan menurut wahyu Allah yang disampaikan kepada para
nabi dan rasul-Nya adalah sama.
4. Allah memperkenalkan dirinya dengan memperlihatkan
ciptaan-Nya.
5. Allah bisa dibuktikan dengan pendekatan ilmiah seperti
pendekatan fisika, dan astronomi.
F. Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian Tuhan!
2. Setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankan.
Bagaimana pendapat saudara terhadap peryataan tersebut?
3. Ajaran semua rasul tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan itu esa.
Jelaskan pendapat saudara tentang pernyataan tersebut!
4. Adalah fitrah manusia percaya adanya Tuhan. Bagaimana
membuktikan bahwa Tuhan itu ada dan satu adanya?

Pendidikan Agama Islam


20 Ketuhanan dalam Islam

Pendidikan Agama Islam


BAB II
TAUHID, KEIMANAN DAN KETAKWAAN
A. Pendahuluan
Pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian
kembali dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat
perhatian dan pengkajian yang begitu intensif, sehingga mudah
didapat di tengah masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam tulisan
ini adalah aspek kejiwaaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat
perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada
Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan
tawakkal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang
perlu diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan
cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan
muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari
dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai
tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap
gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari
berbagai arah dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa
Pendidikan Agama Islam 21
22 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi
mendatang, dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar,
pikir dan akal budi mereka, maka mereka tidak akan selamat dari
pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada
yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha
menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka
perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka
tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas
Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya
bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya
berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama
manusia, sehingga sulit diterka mana yang labih dahulu berperan
kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini
merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian
akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis
yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi
akidah, islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal
sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam
aturan muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi
persoalan yang dihadapai. Selain itu Islam adalah agama ibadah.
Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi
dengan keikhlasan, cinta, srta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu,
egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak
sempurna, jika kehangatan spiritual yang dimiliki tidak disertai
dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi
iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
Bab ini berisi tentang tauhid dalam Islam yang di dalamnya
menjelaskan tentang tauhid zat, tauhid sifat, tauhid perbuatan, tauhid
praktis. Bab ini juga berisi tentang keimanan dan ketakwaan, di
dalamnya dijelaskan tentang proses terbentuknya iman, prinsip
pembinaan berkesinambungan, prinsip internalisasi dan
individualisasi, prinsip sosialisasi, prinsip konsistensi dan koherensi,
serta prinsip integrasi. Bab ini juga berisi tentang tanda-tanda orang
beriman; implementasi iman dan taqwa (problematika dan tantangan
dalam kehidupan modern); dan peran iman dn taqwa dalam
menjawab problema dan tantangan kehidupan modern.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami
makna mentauhidkan Allah dengan berbagai sifatnya; bersikap dan
bersifat dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pi
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 23
pembentukan iman; Mengimplementasikan iman dengan ibadah dan
amal shaleh dalam kehidupan sehari-hari; Menerangkan peranan iman
dan takwa dalam menghadapi tantangan kehidupan modern, sehingga
meyakini benar perlunya beriman dan bertakwa.
B. Tauhid dalam Islam
Setelah pembahasan tentang eksistensi Tuhan dan bukti-bukti
eksistensi-Nya, selanjutnya akan dibahas tentang konsep tauhid. Di
dalam Islam kita yakin dengan tauhid. Tauhid tidak hanya berarti
monotheisme atau hanya berarti percaya kepada Tuhan yang maha
esa. Makna sebenarnya lebih dalam daripada sekedar percaya. Tauhid
berarti penyatuan. Kata tauhid berasal dari bahasa arab wahhada yang
berarti mensatukan. Tauhid artinya keyakinan akan realitas tunggal
(keesaan Allah) tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Kalimat tauhid mengandung dua unsur yang harus dipegang
seorang muslim. Pertama, an-nafyu artinya peniadaan, merupakan
penegasan tentang tidak adanya sesembahan yang haq selain Allah
swt. Kedua, al-isbāt yang artinya penetapan, yaitu menegaskan bahwa
hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang haq.
Kata tauhid, secara etimologi adalah kata benda (nomina) yang
berasal dari bahasa Arab, yaitu kata wahhada-yuwahhidu-tauhīd, yang
bermakna menunggalkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah, tauhid
bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan
diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah, dan
asma’ wa shifat.
Agama Islam disebut sebagai agama tauhid karena dibangun di
atas pondasi pengakuan bahwa Allah adalah esa dan tiada sekutu
bagi-Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah
maha esa dalam hal zat dan sifat-sifat-Nya, tiada sesuatu pun yang
menyerupai diri-Nya. Allah maha esa dalam urusan peribadahan,
tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya.
Tauhid yang diserukan oleh para nabi dan rasul telah mencakup
ketiga macam tauhid ini (rubūbiyah, ulūhiyah, dan asmā’ wa shifāt). Setiap
jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari jenis tauhid
yang lainnya. Oleh karena itu, barang siapa yang mewujudkan salah
satu jenis tauhid saja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya, maka
hal itu tidak lain terjadi karena dia tidak melaksanakan tauhid dengan
sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama.
Muhammad bin Abdullah al-Habdan menjelaskan bahwa
tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua
pilar ajaran tauhid, yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). “Lā
Pendidikan Agama Islam
24 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
ilāha” adalah penafian/penolakan, maksudnya: kita menolak segala
sesembahan selain Allah. Sedangkan “illallāh” adalah itsbāt/penetapan,
maksudnya: kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak
disembah.
Tauhid berarti keyakinan akan realitas tunggal (keesaaan
Tuhan), tanpa ada sekutu baginya dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya
serta tidak ada yang menyamai-Nya. Dalam QS. al-Baqarah/2: 163,
Allah berfirman:
          
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang maha esa; tidak ada tuhan melainkan
Dia yang maha pemurah lagi maha penyayang.”
Demikian pula dalam QS. al-Ikhlāsh/112: 1:
    
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang maha esa.”
dan dalam QS. as-Syu’arā’/42: 11 ditegaskan bahwa:
        ...
“… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang maha
mendengar dan melihat.
Tauhid merupakan prinsip dasar ajaran agama samawi (agama
langit). Artinya semua nabi dan rasul yang diutus Allah kepada umat
mereka masing-masing membawa ajaran tauhid. Seperti yang tertuang
QS. al-Anbiyā’/21: 25:
             
 
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami
wahyukan kepadanya bahwasa tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.”
Misalnya seruan Nabi Nuh as dalam QS. al-A’rāf/7: 59:
             
      
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:
"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-

Pendidikan Agama Islam


Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 25
Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu
akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).”
Kisah yang sama juga pada Nabi Hud as. dalam QS. A’rāf/7: 65,
                
 
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?"
Dalam kisah Nabi Shaleh as, yang tertulis dalam QS. A’rāf/7: 73:
              
             
          
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari
Tuhammu. unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, Maka biarkanlah dia
makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan
apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih."
dan kisah Nabi Syuaib as yang tertuang dalam QS. A’rāf/7: 85:
             
           
          
    
“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka,
Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang
nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
Dikemukakan pada ayat-ayat ini bahwa semua seruan para nabi
Pendidikan Agama Islam
26 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
kepada masing-masing kaumnya agar menyembah Allah, tiada Tuhan
selain Allah. Seruan ini langsung disertai dengan ancaman bahwa jika
mereka tidak menyembah Allah maka akan ditimpakan azab yang
besar.
Seruan yang sama juga telah disampaikan Nabi Musa as dan
Nabi Isa as kepada kaumnya sebagai mana tertuang dalam QS.
Thāhā/20: 13-14:
             
   
“Dan aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan
diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan
(yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat aku.”
dan QS. al-Māidah/5: 72:
            
             
         
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah
ialah al-Masih putera Maryam", Padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai
Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”
Demikian pula dengan Nabi Ibrahim as dan nabi-nabi lainnya
hingga Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir.
Hanya saja perlu ditegaskan bahwa penyampaian ajaran tauhid
oleh setiap nabi dan rasul berbeda-beda. Penyampaian yang berbeda
ini disesuaikan dengan tingkat kedewasaan berpikir umat yang
dihadapi oleh para nabi dan rasul tersebut. Misalnya, Nabi Nuh as
ketika menyampaikan ajaran tauhid kepada umatnya hampir tidak
disertai dengan argumen-argumen yang logis. Justru yang langsung
disampaikan adalah ancaman akan azab yang besar bila menolak
ajaran tauhid tersebut. Berbeda dengan Nabi Hud as yang diutus
kemudian, penyampaian ajaran Tauhid tersebut disertai dengan
sedikit alasan atau argumentasi yang melandasi ajaran Tauhid, yaitu
mengingatkan kembali anugerah-anugerah yang telah Allah
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 27
limpahkan kepada umatnya sebagaimana ditegaskan dalam QS. as-
Syu‘arā’/26: 123-140. Argumen-argumen yang mendasari ajaran
tauhid yang disampaikan oleh Nabi Shaleh as dan Nabi Syuaib as
yang diutus setelah Nabi Hud lebih luas dan lebih rinci seperti yang
tertulis dalam QS. al-A’rāf/7: 73, 85:
              
             
           
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. Ia
berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari
Tuhammu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah
Dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan
gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.”
             
           
          
    
“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka,
Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang
nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman.”
Selanjutnya, diutus Nabi Ibrahim as sebagai pelanjut para nabi
dan rasul sebelumnya yang mengajarkan ajaran tauhid. Bahkan Nabi
Ibrahim as digelari sebagai bapak tauhid. Pada masa kenabian dan
kerasulan Ibrahim, argumentasi yang melandasi ajaran tauhid semakin
luas dan logis. Bahkan Nabi Ibrahim as sendiri menumbuhkan
keyakinannya tentang eksistensi dan keesaan Tuhan dengan cara
pencarian lewat pengalaman keruhanian seperti dijelaskan dalam QS.
al-An’ām/6: 75:

Pendidikan Agama Islam


28 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan

       


 
“Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar
Dia Termasuk orang yang yakin.”
Berdasarkan ayat ini, jelaslah bahwa keyakinan Ibrahim tentang
eksistensi Tuhan dan keesaan-Nya didasarkan pada pengetahuan
tentang tanda-tanda keagungan Allah yang terdapat di langit dan
bumi. Selanjutnya dikemukakan bagaimana Ibrahim melakukan
pencarian kesadaran ketuhanannya lewat argumen-argumen yang
logis dan rasional, QS. al-An’ām/6: 76-78:
               
              
          
            
 
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
“inilah Tuhanku,” tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “saya
tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit
dia berkata: “inilah Tuhanku,” tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata:
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia
berkata: “inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Maka tatkala matahari itu
terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kamu persekutukan.”
Puncak pengajaran tauhid yang dilandaskan pada argumentasi
logis dan rasional terjadi pada pengutusan Nabi Muhammad saw
sebagai nabi dan rasul Allah yang terakhir. Dalam al-Qur’an
ditegaskan perintah untuk mempelajari ajaran tauhid seperti dalam
QS. Muhammad/47: 19:
      
      
   
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilāh (sesembahan, tuhan)

Pendidikan Agama Islam


Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 29
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal.”
Tauhid dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid
praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan
zat, sifat, dan perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan,
pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan.
Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas
bahwa Allah adalah satu-satunya wujud mutlak yang menjadi sumber
semua wujud. Sedangkan tauhid praktis yang disebut juga tauhid
ibadah, berhubungan dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis
merupakan terapan dan aktualisasi dari tauhid teoritis. Dengan
demikian, kedua pembagian tauhid ini merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Pengetahuan tentang tauhid teoritis tidak akan
memberi manfaat tanpa tauhid praktis (tauhid ibadah), seperti yang
terjadi pada iblis yang dilaknat oleh Allah karena tidak taat pada
perintah Allah (sebagai bentuk aktualisasi tauhid ibadah), padahal iblis
mengakui ketauhidan Allah secara teoritis.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam
pengertian beriman kepada Allah, Tuhan yang maha esa.
Mempercayai saja keesaan zat, sifat, dan perbuatan Tuhan tanpa
mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan
perbuatan tidak dapat dikatakan seorang telah bertauhid secara
sempurna. Dalam pandangan Islam yang dimaksud dengan tauhid
yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam
perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain,
harus ada kesatuan, keselarasan, dan keharmonisan antara tauhid
teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari
secara murni dan konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan antara
iman, amal, konsep dan pelaksanaan, pikiran dan perbuatan, serta
teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah mengesakan
Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui
pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan perbuatan.
1. Tauhid Zat
Tauhid zat maksudnya adalah mengetahui bahwa Allah adalah
esa dalam zat-Nya. Dia adalah wujud yang maha kaya dan tidak
membutuhkan serta tidak bergantung kepada apa pun dan siapa pun.
Sebaliknya justru Allah-lah tempat bergantung segala sesuatu. Seperti
Pendidikan Agama Islam
30 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
disebutkan dalam QS. Fāthir/35: 15:
            
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Dia-lah Allah
yang maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi maha terpuji.”
Dia adalah wujud yang mesti ada dan setiap wujud tergantung
kepada-Nya. Dia Allah adalah zat tunggal. Dia pencipta dan sumber
segala sesuatu dan akan kembali pula kepada-Nya. Dia bukan dari apa
dan siapa pun. Dia adalah al-Awwal wal-Akhir. Dia adalah sebab
pertama. Hal ini ditegaskan dalam QS. ar-Ra’d/13: 16:
          ...
“… Katakanlah: "Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan
yang mahaEsa lagi mahaPerkasa".”
Alam semesta dan segala isinya termasuk manusia bersumber dari
pencipta yang tunggal. Oleh karena itu, asal, tujuan dan akhir dari
alam semesta ini juga satu. Hubungan Allah dengan alam semesta
adalah hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan, hubungan
antara sebab pertama dan akibat.
Tauhid zat berarti Dialah realitas yang menolak dualitas dan
pluralitas dan tidak ada penyerupaan dengan-Nya. Dialah Allah yang
tidak ada serupa (setara) dan sebanding dengan-Nya QS. al-
Ikhlāsh/112: 4:
               
  
“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang maha esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Pluralitas merupakan ciri kemajemukan dan ketidak
sempurnaan. Keberadaannya bergantung pada realitas (wujud)
lainnya. Misalnya, Muhammad adalah anggota spesies manusia.
Dengan demikian kita bisa mengasumsikan bahwa ada anggota-
anggota lain dalam spesies ini. Adapun Allah sebagai zat tunggal
tersucikan dari implikasi semacam itu.
2. Tauhid Sifat
Tauhid sifat berarti mengetahui bahwa zat-Nya adalah sifat-
sifat-Nya itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa zat-Nya dan sifat-sifat-
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 31
Nya itu identik dan tidak terpisah satu sama lain. Tauhid sifat artinya
menafikan adanya pluralitas atau kemajemukan pada zat itu sendiri.
Allah memiliki sifat-sifat yang maha sempurna, namun sifat-sifat
tersebut tidak terpisah dari-Nya. Keterpisahan antara zat dan sifat-
sifat-Nya menggambarkan ciri keterbatasan eksistensi-Nya dan ini
tentulah mustahil terjadi karena Dialah Allah, zat yang tak terbatas.
3. Tauhid Perbuatan
Tauhid perbuatan adalah meyakini bahwa alam raya dan segala
sistemnya merupakan perbuatan Tuhan dan karya-Nya yang timbul
dari kehendak-Nya. Oleh karena itu, segala apa yang ada di alam raya
ini pada hakikatnya tidak mandiri. Semuanya tergantung kepada-Nya
sebagai sebab pertama. Alam raya tidak akan pernah mandiri baik
dalam konteks sebab maupun akibat. Dari sini dapat ditegaskan
bahwa keyakinan manusia dan makhluk lainnya untuk dapat berbuat
dengan kehendaknya secara murni dan mandiri merupakan keyakinan
akan adanya sekutu bagi Allah, baik dari segi zat-Nya maupun
perbuatan-Nya. Manusia memang diberi kekuatan dan kehendak
untuk menentukan nasibnya sendiri, namun tidak berarti manusia
secara mutlak mandiri dan dapat memenuhi kehendaknya. Hal ini
bertentangan dengan tauhid zat dan tauhid perbuatan seperti apa
yang digambarkan dalam QS. al-Isrā’/17: 111:
             
         
“Dan katakanlah: segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan
tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong
(untuk menjaga-Nya) dari kehinaan. Dan agungkanlah (Dia) dengan
pengagungan yang sebenar-benarnya.”
4. Tauhid Praktis (Tauhid Ibadah)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa tauhid teoritis
adalah pengetahuan tentang keesaan Allah baik dari segi zat, sifat-
sifat, maupun perbuatan-Nya, maka tauhid tersebut mesti
diaktualisasikan (dibuktikan) dalam bentuk praktis. Tauhid praktis
merupakan pembenaran atau penyempurnaan dari tauhid teoritis
yang harus dilakukan oleh seluruh makhluk ciptaan Allah. Tauhid
praktis adalah beribadah hanya kepada Allah. Bahwa Allah-lah satu-
satunya yang berhak untuk disembah. Ibadah kepada Allah
maksudnya menunaikan segala yang diperintahkan-Nya demi

Pendidikan Agama Islam


32 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
mencapai penyucian dan pengagungan kepada Allah. Ibadah yang
hanya ditujukan kepada Allah semata meliputi segala bentuk orientasi
spiritual dan menjadikan sesuatu yang ideal dan kiblat spiritual.
Dengan demikian, tauhid ibadah adalah ketaatan yang hanya
ditujukan kepada Allah semata, hidup dan mati, setiap gerak dan
diam bahkan pada seluruh aktifitas hanya ditujukan untuk Allah.
Seperti penegasan dalam QS. al-An‘ām/6: 162:
           
       
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Makna inilah yang terkandung dalam kalimat lā ilāha illallāh, tidak ada
tuhan selain Allah.
Uraian tentang tauhid teoritis dan praktis akan lebih jelas dan
rinci jika kita melihat pada ayat-ayat yang pertama turun dalam QS.
al-‘Alaq/96: 1-5 berikut ini:
             
          
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmulah yang
mahaPemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam; Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ayat-ayat di atas menjelaskan bagaimana Allah
memperkenalkan diri-Nya pertama kali kepada makhluk-Nya dengan
menggunakan kata rabb dan bukan kata Allah. Menurut Quraish
Shihab, Allah menggunakan kata rabb untuk menunjuk kepada makna
Tuhan mulai dari ayat-ayat yang pertama turun hingga surah yang ke-
18. Nanti pada Surah ke-19 yakni pada Surah al-Ikhlāsh Allah
memperkenalkan kata Allah untuk menunjuk pada nama-Nya.
Mengapa Allah menggunakan kata rabb dan bukan kata Allah
langsung untuk memperkenalkan diri-Nya?
Dari segi etimologi, kata rabb memiliki makna pokok yaitu
memperbaiki, dan memelihara sesuatu, melazimi, dan memelihara
sesuatu, menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kemudian

Pendidikan Agama Islam


Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 33
dari makna pokok inilah terbentuk makna-makna pencipta,
pemelihara, pendidik, pengatur, pemilik, dan pemberi kebajikan.
Dengan demikian jika kata rabb itu disandarkan kepada Allah maka
kata rabb menunjuk pada sifat dan perbuatan Allah yang sangat
fungsional, yaitu Allah adalah pencipta, pemelihara, pendidik,
pengatur, pemilik, dan pemberi kebajikan.
Dalam QS. al-A’rāf/7: 172:
           
              
 
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."
Dalam ayat ini Allah bertanya: “bukankah Aku Rabb-mu
(penciptamu, pemeliharamu, pemilikmu, pengaturmu, pendidikmu,
dan pemberi kebajikanmu?” Mereka (semua manusia) menjawab:”
benar, kami bersaksi.” Berdasarkan ayat ini dapat ditegaskan bahwa
sejak manusia dilahirkan ia telah membawa suatu kesadaran
ketuhanan (rububiyah Allah). Bahwa Allah adalah penciptanya,
pemeliharanya, pengaturnya, pemiliknya, pendidiknya, dan pemberi
kebajikan kepadanya. Kesadaran ketuhanan bawaan inilah yang
disebut oleh ahli teologi (kalam) dengan istilah tauhid rububiyah.
Tauhid rububiyah ini identik dengan tauhid teoritis seperti telah
diuraikan sebelumnya. Dengan begitu kesadaran tauhid rububiyah baru
dikatakan sempurna jika dibarengi dengan tauhid uluhiyah yang identik
dengan tauhid praktis. Tauhid uluhiyah ini digambarkan dalam kalimat
“lā ilāha illa Allāh”, tidak ada ilāh/ Tuhan selain Allah.
Kata ilāh mengandung makna pokok yakni yang disembah.
Dengan demikian makna kalimat lā ilāha illa Allah adalah tidak ada
yang disembah selain Allah. Makna ilāh lainya adalah mengherankan
dan membingungkan. Dikatakan demikian karena perbuatan Allah
mengherankan dan jika dipikirkan hakikatnya akan membingungkan.
Ilāh juga bermakna tenang. Maksudnya jika disebut nama-Nya
(berzikir kepada-Nya) maka hati akan tenang. Makna ilāh yang lain
adalah yang dituju. Oleh karena memang Dialah yang menjadi tujuan
Pendidikan Agama Islam
34 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
dan harapan setiap makhluk. Dari makna kebahasaan ini dapat
disimpulkan bahwa kata ilāh mengandung banyak makna yakni; yang
disembah, yang disanjung, yang ditempati menggantungkan harapan
dan keinginan, dan yang menjadi tujuan. Demikianlah makna kata ilāh
pada kalimat “lā ilāha illa Allah.”
Penggunaan kata ilāh dalam al-Qur’an lebih banyak menunjuk
makna penguasa, pengatur alam semesta, dan padanyalah tergenggam
segala sesuatu. Seperti disebutkan dalam QS. al-Anbiyā’/21: 22:
            
 
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan (ālihah) selain Allah, tentu
keduanya itu telah rusak binasa. Maka maha suci Allah yang mempunyai ‘arsy
dari pada apa yang mereka sifatkan.”
Kata ilāh dalam ayat-ayat tersebut bermakna penguasa, pengatur alam
semesta. Demikian pula kata ilāh pada beberapa ayat lainnya, seperti
QS. al-Mukminūn/23: 91:
               
          
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan
(yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan
itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-
tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu.”
dan QS. al-Isrā’/17: 43:
      
“Maha suci dan maha tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan
ketinggian yang sebesar-besarnya.”
Berdasarkan pengamatan terhadap penggunaan makna kata ilāh
dalam al-Qur’an maka dapat disimpulkan bahwa kata ilāh lebih
cenderung diartikan penguasa, pengatur alam semesta, dan dalam
genggaman-Nyalah segala sesuatu. Dengan demikian, makna ilāh dari
sudut kebahasaan tidak digunakan dalam al-Qur’an. Namun tidak
berarti makna kebahasaan tersebut tidak memiliki relevansi dengan
penggunaan makna ilāh dalam al-Qur’an. Sebaliknya, makna
kebahasaan malah mempunyai relevansi yang signifikan yaitu karena
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 35
Allah adalah penguasa alam semesta, pengaturnya, dan pada
genggaman-Nya berada segala sesuatu, maka sangat pantas jika hanya
Dia yang disembah, yang dipuja-puji, diidealkan, diagungkan, yang
dituju dan ditaati. Jadi makna ilāh pada kalimat “lā ilāha illa Allah”
adalah tidak ada yang disembah kecuali Allah, tidak ada yang
diagungkan, dipuja-puji, dan dicintai kecuali Allah, dan tidak ada yang
ditaati kecuali Allah.
Ketika Allah menggunakan kata rabb dan bukan kata Allah
dalam ayat-ayat yang pertama turun, Quraish Shihab (1999)
mengemukakan beberapa argumen yakni: bahwa hal ini dimaksudkan
sebagai bukti eksistensi Tuhan yang esa yang dapat dipahami dari
sifat rububiyah-Nya. Selain itu, tidak digunakannya kata Allah adalah
dalam rangka mengoreksi paham ketuhanan bangsa Arab yang juga
menggunakan kata Allah dalam menunjuk Tuhan. Hanya saja, Allah
yang mereka pahami adalah Allah yang memiliki anak wanita, QS. Al-
Isrā’/17: 40:
          

“Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang
Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat?
Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar
(dosanya).”
Maka ketika bangsa Arab itu bertanya kepada Nabi
Muhammad tentang Tuhan (Rabb) yang dia maksud (seperti yang
Muhammad selama ini perkenalkan), maka turunlah Surah al-Ikhlāsh
yang menjelaskan tentang Tuhan yang dipertanyakan oleh bangsa
Arab yaitu: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah yang esa, Allah
tempat bergantungnya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak
diperanakkan, dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya.”
Demikianlah uraian tentang tauhid sebagai konsepsi ketuhanan
dalam Islam yang meliputi tauhid teoritis atau tauhid rububiyah dan
tauhid praktis atau tauhid ibadah (tauhid uluhiyah). Kesatuan hubungan
kedua tauhid ini dapat ditemukan dalam falsafah kalimat azan yang
sering di-kumandangkan oleh muazzin. Azan yang dimulai dengan
kalimat takbir (Allahu Akbar) dan diakhiri dengan kalimat tahlil (lā
ilāha illallāh). Takbir menunjukkan makna kesadaran tauhid teoritis
(rububiyah), dan tahlil menunjukkan makna kesadaran tauhid praktis
atau tauhid ibadah (uluhiyah).

Pendidikan Agama Islam


36 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
C. Keimanan dan Ketakwaan
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari
bahasa Arab: amina-yu’manu-imānan yang berarti percaya, aman,
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Iman disebutkan dalam sabda
Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “iman adalah
engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, para rasul-Nya, hari kebangkitan dan qada-qadar-Nya.” Orang
yang beriman/percaya disebut mukmin dan orang yang ingkar
disebut kafir. Dua kalimat syahadat adalah simbol keimanan yang
merupakan kunci menuju keislaman seseorang.
Dalam QS. al-Baqarah/2: 165 disebutkan bahwa orang yang
beriman adalah orang yang sangat cinta kepada Allah:
 ...       ...
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…”
Oleh karena itu, beriman kepada Allah berarti sangat rindu terhadap
Allah dan ajaran-Nya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman
didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan,
dan diwujudkan dengan amal perbuatan (al-immānu ‘aqdun bil qalbi wa
iqrārun bil lisāni wa ‘amalun bil arkān). Dengan demikian, iman
merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku
perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap
hidup atau gaya hidup.
Iman adalah akidah dalam Islam. Iman bukan hanya sekedar
percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim
untuk berbuat sesuatu yang baik. Oleh karena itu, cakupan iman
sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal saleh.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama
Islam. Ia merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu
tindakan atau amal. Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan
muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia berakidah Islam, maka
segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah
seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak berakidah, maka segala
amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang
dilakukan bernilai dalam pandangan manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia
terikat dengan segala aturan hukum yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu, menjadi seorang muslim berarti meyakini dan
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 37
melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam atau
seluruh hidupnya didasarkan padanya.
1. Proses Terbentuknya Iman
Sperma dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas
dasar ketentuan yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang
baik. Allah menginginkan agar makanan yang dimakan berasal dari
rezeki yang halalan thayyiban. Pandangan dan sikap hidup seorang ibu
yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu
yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak
langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara
psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena jika
seseorang menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang
muttaqīn, maka suami isteri hendaknya berpandangan dan bersikap
sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih Iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan
pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak
disertai pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi
punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh
terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang,
baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan,
maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah,
air, dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak
langsung, baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat
berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua dalam
rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-
anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk akan ditiru anak-
anaknya. Jangan diharapkan anak berprilaku baik, apabila orang
tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi
saw bersabda:
.‫ﺼ َﺮاﻧِ ِﮫ أَوْ ﯾُ َﻤ ﱢﺠﺴَﺎﻧِ ِﮫ‬
‫ﻄ َﺮ ِة ﻓَﺄَﺑَ َﻮاهُ ﯾُﮭَ ﱢﻮدَاﻧِ ِﮫ أَوْ ﯾُﻨَ ﱢ‬
ْ ِ‫ُﻛﻞﱡ َﻣﻮْ ﻟُﻮْ ٍد ﯾُﻮْ ﻟَ ُﺪ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻔ‬
“Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan
anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian.
Diawali dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi
senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah langkah awal dalam
mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran
Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada
Pendidikan Agama Islam
38 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
Allah, maka ajaran Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai
dengan kemampuan anak itu dari tingkat verbal sampai tingkat
pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika kepada
mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu
diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula
benci berubah menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal
yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan
terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku
yang mudah dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas
perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap-sikap
mental yang tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara tidak
langsung, misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat
menggambarkan sikap mental tersebut. Bahkan secara tidak langsung,
itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di dalam
tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan
dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang
diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan,
yaitu iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang merupakan
perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang disebut tingkah laku
terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku
dapat dipengaruhi melalui campur tangan secara langsung, yakni
dalam bentuk intervensi terhadap interaksi yang terjadi. Dalam hal ini
dijelaskan beberapa prinsip dengan mengemukakan implikasi
metodologinya, yaitu :
a. Prinsip pembinaan berkesinambungan.
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting,
terus menerus, dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu proses
yang memungkinkan orang semakin lama semakin mampu bersikap
selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan
berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan
proses motivasi agar membuat tingkah laku lebih terarah dan selektif
menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima atau yang
seharusnya ditolak.
b. Prinsip internalisasi dan individualisasi.
Iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah laku,
apabila menghayatinya melalui suatu peristiwa internalisasi (yakni
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 39
usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan
individualisasi (yakni menempatkan nilai serasi dengan sifat
kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan pribadi menuju
satu perwujudan nilai dalam diri manusia secara amaliah lebih efektif,
dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk
utuh atau langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai suatu
produk akhir. Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari iman
sebagai proses internalisasi dan individualisasi.
c. Prinsip sosialisasi.
Pada umumnya nilai-nilai hidup baru benar-benar mempunyai
arti apabila telah memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu, suatu
bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas bilamana sudah
diterima secara sosial. Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha
pembentukan tingklah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak
diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya
dengan memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya
sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan
kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada
tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah laku, sebagai
kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke
dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
d. Prinsip konsistensi dan koherensi.
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak
semula ditangani secara konsisten, yaitu secara tetap dan konsekuen,
serta secara koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan antara
nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi metodologinya adalah
bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya
tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten
dan koheren. Alasannya, cara dan konsekuensinya dapat dihayati
dalam sifat dan bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-
ubah tanpa arah. Pendekatan demikian berarti bahwa setiap langkah
yang terdahulu akan mendukung serta memperkuat langkah-langkah
berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan koheren sudah
tampak, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah
laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka
pola tingkah laku sudah tercipta.
e. Prinsip integrasi.
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan
setiap orang pada problematika kehidupan yang menuntut
Pendidikan Agama Islam
40 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali fenomena
kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai
hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu, tingkah laku yang
dihubungkan dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah.
Makin integral pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin
fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah laku yang
berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari. Implikasi
metodologinya ialah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari
seseorang tidak sebagai ilmu dan keterampilan tingkah laku yang
terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang integrative dalam
kaitan problematika kehidupan yang nyata.
2. Tanda-tanda Orang Beriman
Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman
sebagai berikut:
a. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar
ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat
al-Qur’an, maka bergejolak hatinya, dia akan lebih mudah memahami
ayat yang tidak dia pahami. QS. al-Anfāl/8: 2:
          
      
“Sesungguhnya orang-orang yang berimanialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka
bertawakkal.”
b. Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka
ilmu Allah, diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup
dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul. QS. Ali Imrān/3: 120, al-
Māidah/5: 12, al-Anfāl/8: 2. at-Taubah/9: 52, Ibrāhīm/14: 11, al-
Mujādilah/58: 10, dan at-Taghābun 64: 13:
          
“(Dia-lah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia. dan hendaklah orang-orang
mukmin bertawakkal kepada Allah saja.”
c. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga
pelaksanaannya. Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu
shalat, dia segera shalat untuk membina kualitas imannya. QS. al-
Mu’minun/23: 2 dan QS. al-Anfāl/8: 3
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 41

      


“orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
d. Menafkahkan rezki yang diterimanya. QS. al-Anfāl/8: 3 dan al-
Mu’minūn/23: 4:
      
“Orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
    
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.”
Hal ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang
dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi,
agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin.
e. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga
kehormatan (al-Mu’minūn/23: 3, 5).
     
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna.”
Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
f. Memelihara amanah dan menepati janji, al-Mu’minūn/23: 8:
     
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya.”
Seorang mu’min tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang
amanah dan menepati janji.
g. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong, QS. al-Anfāl/8: 74:
         
         
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah,
dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan
(kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar
Pendidikan Agama Islam
42 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.”
Berjihad di jalan Allah adalah bersungguh-sungguh dalam
menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki
maupun dengan nyawa.
h. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin, QS. an-
Nūr/24: 62:
          
          
          
         
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-
sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka
tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.
Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka
itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila
mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada
siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan
untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.”
Sikap seperti ini merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin,
orang yang berpandangan sesuai ajaran Allah dan Sunnah Rasul.
Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan
mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu A’la Maududi
menyebutkan tanda orang beriman sebagai berikut:
a. Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
b. Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
c. Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat.
d. Senantiasa jujur dan adil.
e. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap
persoalan dan situasi.
f. Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan
optimisme.
g. Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar
menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada maut.
h. Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.

Pendidikan Agama Islam


Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 43
i. Petuh, taat dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
3. Implementasi iman dan taqwa (problematika dan tantangan
dalam kehidupan modern)
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah
masalah sosial-budaya yang sudah established sehingga sulit sekali
memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial-budaya berarti berbicara
tentang masalah alam pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam
pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga
pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang
Islam maupun orang non-Islam.
Adopsi modernism (westernisme), kendatipun tidak secara total,
yang dilakukan bangsa Indonesia selama ini, telah menempatkan
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis. Di sisi lain,
diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia
menjadi pengkhayal. Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme
dan naturalisme menjadikan bangsa Indonesia bersikap tidak
menentu. Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambing
oleh isme-isme tersebut.
Dari sisi ekonomi, bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk.
Hal ini karena diadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi
besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu muncul konflik di
antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-
nilai, karena pragmatis dan oppurtunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan
kriminal sering terjadi dan pelanggaran terhadap norma-norma bisa
dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih memperihatinkan lagi
adalah tindakan penyalahgunaan narkoba oleh anak-anak sekolah,
mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih terdapat
bermacam-macam masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam
kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang
ilmu merupakan roh yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal
itu menjadi tantangan yang amat berat dan dapat menimbulkan
tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu,
maka akan melahirkan resiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan
di atas, perlu diadakan revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman
dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan problema dan
tantangan kehidupan modern tersebut.

Pendidikan Agama Islam


44 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
4. Peran Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan
Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar.
Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh
iman pada kehidupan manusia.
a. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan
kekuasaan Allah. Kalau Allah hendak memberikan pertolongan, maka
tidak ada satu kekuatanpun yang dapat mencegahnya. Sebaliknya, jika
Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak ada satu
kekuatanpun yang sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan
dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan
manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan,
menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat,
mengikis kepercayaan pada khurafat, takhayul, jampi-jampi dan
sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah QS.
al-Fātihah/1: 1-4.
b. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut.
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi
pengecut. Banyak di antara manusia yang tidak berani
mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi resiko. Orang
yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah dan
sekalipun maut menjemput, balasan tetap menunggunya. Pegangan
orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah
dalam QS. al-Nisā’/4: 78:
           
            
             
 
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. Dan jika mereka memperoleh
kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau
mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi
kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah".
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikitpun?”

Pendidikan Agama Islam


Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 45
c. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan.
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang melepaskan
pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang
manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan,
bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri, karena kepentingan
materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah yang
tertuang dalam QS. Hūd/11: 6:
             
    
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
d. Iman memberikan ketentraman jiwa.
Seringkali manusia dilanda resah dan duka cita, serta digoncang
oleh keraguan dan kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai
keseimbangan, hatinya tentram (mutmainnah), dan jiwanya tenang
(sakinah), seperti dijelaskan firman Allah dalam QS. ar-Ra’d/13: 28:
           
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
Seorang yang beriman tidak pernah ragu pada keyakinannya
terhadap qadha’ dan qadar. Dia mengetahui dan meyakini seyakin-
yakinnya bahwa qadha’ dan qadar Allah telah tertulis di dalam kitab-
Nya.
Qadha’ adalah apa yang dapat dijangkau oleh kemauan dan
iradah manusia. Allah telah menciptakan manusia dengan dilengkapi
ni’mat berupa akal dan perasaan. Melalui akal dan iradahnya, manusia
dapat berbuat berbagai hal dalam batas iradah yang dianugrahkan
Allah kepadanya.
Di luar batas kemampuan iradah manusia, qadha’ dan qadar
Allah-lah yang berlaku. Orang-orang yang selalu hidup dalam
lingkungan keimanan, hatinya selalu tenang dan pribadinya selalu
terang dan mantap. Allah memberi ketenangan dalam jiwanya dan ia
selalu mendapat pertolongan dan kemenangan. Inilah nikmat yang
dianugrahkan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin dan anugrah
Pendidikan Agama Islam
46 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
Allah berupa nur Ilahi ini diberikan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya.
Orang mukmin mengetahui bahwa mati ialah suatu kepastian.
Oleh sebab itu, ia tidak takut menghadapi kematian, bahkan ia
menunggu kematian. Hal ini diyakini sepenuhnya selama hayat
dikandung badan. Keberanian selalu mendampingi hati seorang
mukmin.
Seorang mukmin yang dalam hidupnya mengalami atau
menghadapi masalah, baik materi, kejiwaaan, atau kemasyarakatan,
mungkin masalah itu terasa berat untuk ditanggulangi. Tetapi
dekatnya dengan Allah dan rasa tawakkal atau penyerahan diri yang
bulat kepada Allah, serta iman kepada qadha’ dan qadar dapat
meringankan pengaruh tekanan yang berat. Dalam keadaan yang
seperti ini, kalau seorang beriman ditimpa malapetaka, ia akan
bersabar dan memohon rahmat kepada yang memiliki segala rahmat.
Dengan demikian ketenangan akan meliputi hati mukmin. Dia yakin
bahwa Allah akan mengabulkan doanya, meneguhkan hatinya, serta
memberikan kemenangan, QS. ar-Ra’d/13: 28; al-Fath/48: 4:
            
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
            
        
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah
Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Kalau Allah telah menurunkan ketenangan dalam hati, maka
hati menjadi mantap, segala krisis dapat dilalui, keseimbangan
hormon tetap mantap, dan keserasian kimiawi tubuh berjalan dengan
wajar. Dalam keadaan demikian, segala penderitaan dan tekanan jiwa
akan berganti dengan perasaan bahagia dan ketenangan.
e. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayātun thayyibatun)
Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang
selalu melakukan kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik.
Hal ini dijelaskan Allah dalam QS. al-Nahl/16: 97:
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 47

            
      
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
f. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat
dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridaan Allah. Orang yang
beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya,
baik dengan lidah maupun dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman
pada firman Allah dalam QS. al-An‘ām/6: 162:
         
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
g. Iman memberikan keberuntungan
Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar,
karena Allah membimbing dan mengarahkannya pada tujuan hidup
yang hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang
beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
QS. al-Baqarah/2: 5:
         
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung.”
h. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau
fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal
itu karena semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang
dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri, melihat
dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti
gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih
dari serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh.
Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di
bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur
oleh hormon yang diproduksi oleh kalenjar hipofise yang terletak di
Pendidikan Agama Islam
48 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kalenjar hipofise
ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak
ia masih berbentuk ‘alaqah dalam rahim ibu. Dalam hal ini, iman
mampu mengatur hormon dan selanjutnya membentuk gerak,
tingkah laku, dan akhlak manusia.
Jika karena pengaruh tanggapan, baik indera maupun akal,
terjadi perubahan fisiologis tubuh (keseimbangan terganggu), seperti
takut, marah, putus asa, dan lemah, maka keadaan ini dapat
dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu, orang-orang yang
dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit, seperti darah
tinggi, diabetes dan kanker.
Sebaliknya jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak
mengacuhkan asas moral dan akhlak, merobek-robek nilai
kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidak pernah ingat Allah,
maka orang yang seperti ini hidupnya akan dikuasai oleh kepanikan
dan ketakutan. Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi
adrenalin dan persenyawaan lainnya. Selanjutnya akan menimbulkan
pengaruh yang negatif terhadap biologi tubuh serta lapisan otak
bagian atas. Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan
mengakibatkan terganggunya kelancaran proses metabolisme zat
dalam tubuh manusia. Pada waktu itu timbullah gejala penyakit, rasa
sedih dan ketegangan psikologis, serta hidupnya selalu dibayangi oleh
kematian.
Demikianlah pengaruh dan manfaat iman pada kehidupan
manusia. Ia bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam
hati, tetapi menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap
dan perilaku hidup. Apabila suatu masyarakat terdiri dari orang-orang
yang beriman, maka akan terbentuk masyarakat yang aman, tentram,
damai dan sejahtera.
D. Rangkuman
1. Tauhid merupakan keyakinan akan realitas tunggal (keesaan
Tuhan) tanpa ada sekutu bagi-Nya dalam zat, sifat, dan perbuatan-
Nya serta tidak ada yang menyamai-Nya.
2. Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah
tauhid dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis.
3. Tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah
adalah satu-satunya wujud mutlak yang menjadi sumber semua
wujud.
4. Tauhid praktis atau biasa juga disebut tauhid ibadah merupakan
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 49
terapan dari tauhid teoritis yaitu ketaatan hanya kepada Allah semata
dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak
dan langkah.
5. Seseorang baru dinyatakan beriman dan bertaqwa apabila
sudah mengucapkan kalimat tauhid yang tertuang dalam syahadatain.
6. Peran iman dan taqwa dalam kehidupan modern di antaranya
adalah: melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
menanamkan semangat berani menghadapi maut, menanamkan sikap
self helf dalam kehidupan, memberikan ketentraman jiwa, melahirkan
sikap ikhlas dan konsekuen, dan memberikan keberuntungan.
E. Pertanyaan
1. Apa makna tauhid Allah?
2. Ajaran tauhid yang dibawa oleh semua rasul Allah memiliki
metode yang berbeda-beda dalam penyampainnya. Jelaskan mengapa
demikian?
3. Bagaimana sikap anda dalam kehidupan sehari-hari supaya
anda dinyatakan beriman kepada Allah dalam arti yang sebenarnya?
4. Terangkan upaya apa yang perlu dilakukan orang tua dalam
rangka membentuk keimanan anak-anaknya?
5. Bagaimana anda bersikap dalam kehidupan sehari-hari agar
tanda-tanda orang beriman tampak pada diri anda?
6. Keimanan dan ketaqwaan mempunyai hubungan yang erat dan
tidak dapat dipisahkan. Bagaimana pendapat anda terhadap
pernyataan tersebut?
7. Menurut anda, problem apa yang dapat timbul dalam
kehidupan modern dan apa solusinya?
8. Keimanan dan ketaqwaan mempunyai peranan penting dalam
mengatasi masalah dan tantangan kehidupan modern. Buktikan
kebenaran pernyataan tersebut!

Pendidikan Agama Islam


50 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan

Pendidikan Agama Islam


BAB III
MANUSIA MENURUT ISLAM
A. Pendahuluan
Pada diri manusia terdapat perpaduan sifat yang berlawanan,
sesuai dengan nama dan sifat Tuhan yang berlawanan. Manusia
adalah hadits (baru) ditinjau dari segi jasmaniyahnya dan azali dari segi
roh ilāhiyah-nya. Dengan kata lain, jasad manusia adalah baru
sedangkan rohnya adalah azali. Oleh karena itu pada diri manusia
terdapat perpaduan sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan.
Kehadiran manusia pertama tidak terlepas dari asal usul
kehidupan di alam semesta. Asal usul manusia menurut teori Darwin,
ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari teori tentang spesis baru
yang berasal dari spesis lain yang telah ada sebelumnya melalui proses
evolusi. Teori evolusi yang diperkenalkan Darwin pada abad ke-19
telah menimbulkan goncangan, terutama di kalangan gereja dan
ilmuwan. Apalagi setelah teori itu diektrapolasikan oleh para
penganutnya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah manusia berasal
dari kera. Padahal Darwin tidak pernah mengemukakan hal tersebut,
walaupun taksonomi manusia dan kera besar berada pada super
famili yang sama, yaitu hominoidae.
Darwin mengetengahkan banyak fakta yang nampaknya lebih
Pendidikan Agama Islam 51
52 Manusia menurut Islam
berarti daripada pendahulunya. Darwin mengemukakan teori
mengenai asal-usul spesies melalui sarana seleksi alam atau
bertahannya ras-ras yang beruntung dalam memper-juangkan dan
mempertahankan kehidupannya. Teori Darwin memuat dua aspek.
Aspek pertama bersifat ilmiah, namun ketika diungkapkan dan
dilaksanakan, ternyata aspek ilmiahnya sangat rapuh. Aspek kedua
bersifat filosofis yang diberi penekanan oleh Darwin sangat kuat dan
diungkapkan secara jelas. Teori evolusi tidaklah segalanya, bahkan
Darwin sendiri menyadari seperti diungkapkannya:
“Tapi aku mempercayai seleksi, bukan karena aku dapat membukstikan,
dalam setiap kasus, bahwa seleksi alam telah mengubah satu spesies menjadi
spesies lainnya, tapi karena seleksi alam mengelompokkan dan menjelaskan
dengan baik (menurut pendapatku) banyak fakta mengenai klasifikasi,
embriologi, morfologi, organ-organ elementer, pergantian dan distribusi geologis.”
Evolusi manusia menurut ahli paleontologi dapat dibagi
menjadi empat kelompok berdasarkan tingkat evolusinya, yaitu:
Pertama, tingkat pra manusia yang fosilnya ditemukan di
Johanesburg Afrika Selatan pada tahun 1924 yang dinamakan fosil
australopithecus.
Kedua, tingkat manusia kera yang fosilnya ditemukan di Solo
pada tahun 1891 yang disebut pithecantropus erectus.
Ketiga, manusia purba, yaitu tahap yang lebih dekat kepada
manusia modern yang sudah digolongkan genus yang sama, yaitu
homo walaupun spesisnya dibedakan. Fosil jenis ini ditemukan di
Neander, karena itu disebut homo neander-thalesis dan kerabatnya
ditemukan di Solo (homo soloensis).
Keempat, manusia modern atau homo sapiens yang telah pandai
berpikir, menggunakan otak dan nalarnya.
Mencari makna manusia dilakukan melalui ilmu pengetahuan.
Para ahli berusaha mendefinisikannya sesuai dengan bidang kajian
(obyek materia) ilmu yang digelutinya.
Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu
pengetahuan sangat tergantung pada metodologi yang digunakan dan
terhadap filosofis yang mendasari.
Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai
homo volens (manusia berkeinginan). Menurut aliran ini manusia adalah
makhluk yang memiliki prilaku ienteraksi antara komponen bologis
(Id), psikologis (ego), dan sosial (superego). Di Dalam diri manusia
terdapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).
Para penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai
homo mehanicus (manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi
Pendidikan Agama Islam
Manusia menurut Islam 53
terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisis jiwa manusia
berdasarkan laporan subyektif) dan psikoanalisis (aliran yang berbicara
tentang alam bawah sadar yang tidak tampak). Behavior menganalisis
perilaku yang nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku
manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran lingkungannya,
tidak disebabkan aspek rasional dan emosionalnya.
Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo
sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak lagi
dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada
lingkungan, tetapi sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami
lingkungannya, makhluk yang selalu berpikir. Penganut teori kognitif
mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak
nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir,
memutuskan, menyatakan, memahami dan sebagainya adalah fakta
kehidupan manusia.
Para penganut teori humanisme menyebut manusia sebagai
homo ludens (manusia bermain). Aliran ini mengecam psikoalisis dan
behaviorisme, karena keduanya tidak dapat menjelaskan aspek
eksistensi manusia yang positif dan menentukan, sperti cinta,
kreatifitas, nilai, makna, dan pertumbuhan pribadi. Menurut
humanisme manusia berperilaku untuk mempertahankan,
meningkatkan dan mengaktualisasikan diri. Perdebatan mengenai
siapa manusia di kalangan para ilmuan terus berlangsung dan tidak
menemukan satu kesepakatan yang tuntas. Manusia tetap menjadi
misteri yang paling besar dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan sampai sekarang.
Teori-teori di atas pendapat yang dikemukan oleh para ilmuan
tentang keberadaan manusia yang diberdasar. Islam menjawab semua
permasalahan sebagaimana akan dipaparkan.
Bab ini berisi tentang: Hakikat manusia; Dimensi-dimensi
manusia dalam al-Qur’an; Eksistensi dan martabat manusia;
Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain; Tujuan
penciptaan manusia; fungsi dan peran manusia; Serta berisi tentang
tanggungjawab manusia sebagai hamba dan khalifah Allah.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Menjelaskan
hakikat manusia dengan berbagai pendapat; Beribadah dengan benar,
karena memahami tujuan penciptaan manusia adalah beribadah;
Berpikir dan bersifat sesuai fungsi dan peran manusia; Dan
berperilaku sesuai dengan tanggungjawab dirinya sebagai hamba dan
khalifah Allah.

Pendidikan Agama Islam


54 Manusia menurut Islam
B. Hakikat Manusia
Di dalam al-Qur’an dijelaskan tentang asal-usul penciptaan
manusia. Di antaranya terdapat dalam QS. al-Hijr/15: 28-29:
            
         
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk; Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Dan QS. Shad/38: 71-72:
             
     
“(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku
akan menciptakan manusia dari tanah"; Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku; Maka hendaklah
kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya.”
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa manusia
diciptakan oleh Allah dari tanah atau tanah liat kering yang berasal
dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Setelah bentuknya
disempurnakan lalu Allah meniupkan roh kepadanya. Terlihat jelas
dari ayat-ayat tersebut relevan dengan proses penciptaan Adam (yang
oleh sebagian ulama) dinyatakan sebagai manusia pertama. Sedangkan
ayat yang menjelaskan tentang proses penciptaan manusia pada
umumnya dijelaskan dalam QS. al-Mukminūn/23: 12-16:
             
          
           
            
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah; Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim); Kemudian air mani itu Kami

Pendidikan Agama Islam


Manusia menurut Islam 55
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka mahasucilah Allah, Pencipta yang
paling baik; Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar
akan mati; Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari
kuburmu) di hari kiamat.”
Dari ayat-ayat di atas, juga dipahami bahwa manusia terdiri atas
dua unsur utama yaitu:
Pertama, dari unsur tanah yang diproses menjadi bentuk
manusia secara sempurna. Proses yang dimaksud ada dua, yakni
penciptaan dari tanah secara langsung seperti yang tertulis dalam QS.
Ali Imran/3: 59:
              
 
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan)
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman
kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah Dia.”
Dan penciptaan manusia dari sari pati yang berasal dari tanah
kemudian dijadikan air mani, lalu menjadi segumpal daging,
kemudian dijadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
dibungkus dengan daging, kemudian dijadikan makhluk yang
berbentuk. Proses penciptaan ini yang terjadi pada seluruh manusia.
Kedua, dari unsur roh yang Allah tiupkan kepada bentuk ciptaan
yang telah disempurnakan-Nya. Peniupan roh ini berlaku untuk
seluruh manusia ciptaan Allah, termasuk Adam dan Isa. Unsur
pertama (tanah) merupakan unsur jasmaniah (fisikal material)
manusia, sedang unsur kedua (roh) adalah unsur rohaniah manusia.
C. Dimensi-dimensi Manusia dalam al-Qur’an
Term-term manusia dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan
memperhatikan kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia
yaitu kata basyar, insān, dan an-nās.
Allah memakai kata basyar dalam al-Qur’an sebanyak 37 kali,
salah satunya QS. al-Kahfi/18: 110:
 ...     
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, …”
Pendidikan Agama Islam
56 Manusia menurut Islam
Konsep basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis
manusia, seperti asalnya dari tanah liat atau lempung kering, QS. al-
Hijr/15: 33:
           
“Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang
Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.”
Dalam QS. ar-Rūm/30: 20:
           
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu
dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang
biak.”
Manusia makan dan minum, QS. al-Mu’minūn/23: 33:
           ...
 
“(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, Dia Makan dari apa
yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum.”
Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti
hewan.
Kata insān disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali, di
antaranya QS. al-‘Alaq/96: 5:
     
“Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Insān adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju
ke arah lebih baik dan kesempurnaan. Konsep insān selalu
dihubungkan pada sifat psikologis atau spritual manusia sebagai
makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah, firman
Allah QS. al-Ahzāb/33: 72:
         
         
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
Pendidikan Agama Islam
Manusia menurut Islam 57
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Kemudian kata an-nās disebut sebanyak 240 kali, seperti QS. az-
Zumar/39: 27:
           
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap
macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”
Konsep an-nās menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial
atau secara kolektif.
Dengan demikian al-Qur’an memandang manusia sebagai
makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar
tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia
sebagai insān dan an-nās bertalian dengan hembusan roh Allah yang
memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang
takdir Allah.
Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan
yang diberikan pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki
manusia dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu potensi fisik dan
potensi ruhaniah.
Potensi fisik manusia telah dijelaskan pada bagian yang lalu,
sedangkan potensi ruhaniah adalah akal, qalb, dan nafsu. Akal dalam
pengertian bahasa Indonesia berarti pikiran, atau rasio. Dalam al-
Qur’an akal diartikan dengan kebijaksanaan (wisdom), intelengensia
(intelligent), dan pengertian (under-standing). Dengan demikian di
dalam al-Qur’an akal diletakkan bukan hanya pada ranah rasio, tetapi
juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan dengan hikmah
atau bijaksana.
Alqalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah,
atau berbalik. Musa Asyari (1992) menyebutkan arti alqalb dengan dua
pengertian, yang pertama pengertian kasar atau fisik, yaitu segumpal
daging yang berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri,
yang sering disebut jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah
pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah, yaitu
hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian,
berpengetahuan, dan arif.
Dengan demikian akal digunakan manusia dalam rangka
memikirkan alam, sedangkan mengingat Tuhan adalah kegiatan yang
berpusat pada qalbu. Keduanya merupakan kesatuan daya rohani
untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia dapat
Pendidikan Agama Islam
58 Manusia menurut Islam
memasuki suatu kesadaran tertinggi yang bersatu dengan kebenaran
ilahi.
Adapun nafsu (bahasa Arab al-hawa, dalam bahasa Indonesia
sering disebut hawa nafsu) adalah suatu kekuatan yang mendorong
manusia untuk mencapai keinginannya. Dorongan-dorongan ini
sering disebut dorongan primitif, karena sifatnya yang bebas tanpa
mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering disebut
sebagai dorongan kehendak bebas. Dengan nafsu manusia dapat
bergerak dinamis dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.
Kecenderungan nafsu yang bebas, jika tidak terkendali dapat
menyebabkan manusia memasuki kondisi yang membahayakan
dirinya. Untuk mengendalikan nafsu, manusia menggunakan akalnya
sehingga dorongan-dorongan tersebut dapat menjadi kekuatan positif
yang menggerakkan manusia ke arah tujuan yang jelas dan baik. Agar
manusia dapat bergerak ke arah yang jelas, maka agama berperan
untuk menunjukkan jalan yang harus ditempuhnya. Nafsu yang
terkendali oleh akal dan berada pada jalur yang ditunjukkan agama
disebut an-nafs muthmainnah yang diungkapkan QS. al-Fajr/89: 27.
...        
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya.”
Dengan demikian manusia ideal adalah manusia yang mampu
menjaga fitrahnya dan mampu mengelola dan memadukan potensi
akal, qalbu, dan nafsunya secara harmonis.
D. Eksistensi dan Martabat Manusia
Ibnu Sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan
bahwa manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk
ekonomi. Manusia adalah makhluk sosial, untuk penyempurnaan jiwa
manusia demi kebaikan hidupnya, karena manusia tidak bisa hidup
dengan baik tanpa ada orang lain. Dengan kata lain, manusia baru
bisa mencapai kepuasan dan memenuhi segala kepuasannya bila
hidup berkumpul bersama manusia. Manusia adalah makhluk
ekonomi, karena ia selalu memikirkan masa depannya dan
menyiapkan segala sesuatu untuk masa depannya, terutama mengenai
barang atau materi untuk kebutuhan jasmaninya. Hal ini dibuktikan
dengan mengambil kisah Adam yang diturunkan dari surga ke bumi,
karena ia memerlukan pangan dengan memakan buah khuldi.
Menurut Murthada Mutahhari, manusia adalah makhluk serba
Pendidikan Agama Islam
Manusia menurut Islam 59
dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan
hewan, membutuhkan makan, minum, istirahat, dan menikah, supaya
ia dapat hidup, tumbuh dan berkembang. Dimensi kedua, manusia
memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh
keuntungan dan menghindari kerugian. Dimensi ketiga, manusia
mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat, manusia
memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima,
manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda,
karena ia dikaruniai akal, pikiran, dan kehendak bebas, sehingga ia
mampu menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan
dalam hidupnya. Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya
sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya, maka ia akan mencari dan
ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia diciptakan, dari apa
ia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk apa ia
diciptakan.
E. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain
Manusia tidak berbeda dengan binatang dalam kaitan dengan
fungsi tubuh dan fisiologisnya. Fungsi kebinatangan ditentukan oleh
naluri, pola-pola tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya
ditentukan oleh struktur susunan syaraf bawaan. Semakin tinggi
tingkat perkembangan binatang, semakin fleksibel pola tindakannya.
Pada primata (bangsa monyet) yang lebih tinggi dapat ditemukan
intelegensi, yaitu penggunaaan pikiran guna mencapai tujuan yang
diinginkan, sehingga memungkinkan binatang melampaui pola
kelakuan yang telah digariskan secara naluri. Namun setinggi-
tingginya perkembangan binatang, elemen-elemen dasar eksistensinya
yang tertentu masih tetap sama.
Manusia pada hakekatnya sama saja dengan makhluk hidup
lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih
tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran.
Perbedaan di antara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan,
kesadaran, dan tingkat tujuan. Di sinilah letak kelebihan dan
keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan makhluk lain.
Manusia sebagai salah satu makhluk yang hidup di muka bumi
merupakan makhluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia
secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga para
pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan yang paling
utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam
kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia
saja yang memilikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-
Pendidikan Agama Islam
60 Manusia menurut Islam
kebiasaan yang bersifat instinktif.
Dibanding makluk lainnya, manusia mempunyai kelebihan.
Kelebihan itu membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang
yang bagaimanapun, baik di darat, di laut, maupun di udara.
Sedangkan binatang hanya mampu bergerak di ruang yang terbatas.
Walaupun ada binatang yang bergerak di darat dan di air, namun
tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui
manusia. Mengenai kelebihan manusia atau makhluk lain dijelaskan
surah al-Isrā’/17: 70:
           
      
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Di samping itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat
memahami ilmu yang diturunkan Allah, berupa al-Qur’an. Dengan
ilmu manusia mampu berbudaya. Allah menciptakan manusia dalam
keadaan sebaik-baiknya, QS. at-Tīn/95: 4:
      
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.”
Manusia tetap bermartabat mulia, Oleh karena potensinya, manusia
dilebihkan dari makhluk lainnya, kalau tetap hidup dengan ajaran
Allah, QS. al-An‘ām/6: 165:
         
            
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia maha pengampun
lagi maha penyayang.”
Pembahasan di atas, menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan Allah yang sangat berbeda dengan makhluk lainnya
Pendidikan Agama Islam
Manusia menurut Islam 61
di alam semesta. Ia memiliki karakter yang khas, bahkan
dibandingkan makhluk lain yang paling ‘mirip’ sekalipun. Kekhasan
inilah yang menurut al-Qur’an menyebabkan adanya konsekuensi
kemanusiaan di antaranya kesadaran, tanggungjawab, dan
pembalasan. Di antara karakteristik manusia adalah:
1. Aspek kreasi
Apapun yang ada pada tubuh manusia sudah dirakit dalam
suatu tatanan yang terbaik dan sempurna. Hal ini bisa dibandingkan
dengan makhluk lain dalam aspek penciptaannya. Mungkin banyak
kesamaannya, tetapi tangan manusia lebih fungsional dari tangan
simpanse, demikian pula organ-organ lainnya.
2. Aspek ilmu
Hanya manusia yang punya kesempatan memahami lebih jauh
hakikat alam semesta di sekelilingnya. Pengetahuan hewan hanya
terbatas pada naluri dasar yang tidak bisa dikembangkan melalui
pendidikan dan pengajaran. Manusia menciptakan kebudayaan dan
peradaban yang terus berkembang.
3. Aspek kehendak
Manusia memiliki kehendak yang menyebabkan bisa
mengadakan pilihan dalam hidup. Makhluk lain hidup dalam suatu
pola yang telah baku dan tak akan pernah berubah. Para malaikat
yang mulia tak akan pernah menjadi makhluk yang sombong atau
maksiat.
4. Pengarahan akhlak
Manusia adalah makhluk yang dapat dibentuk akhlaknya. Ada
manusia yang sebelumnya baik, tetapi karena pengaruh lingkungan
tertentu dapat menjadi jahat. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab
itu lembaga pendidikan diperlukan untuk mengarahkan kehidupan
generasi yang akan datang.
Jika manusia hidup menyalahi keinginan Allah, maka manusia
tidak bermartabat lagi. Dalam keadaan demikian manusia disamakan
dengan binatang, bahkan lebih buruk dari binatang sesuai QS. al-
A’rāf/7 :179:
           
             
       
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan
Pendidikan Agama Islam
62 Manusia menurut Islam
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi,
mereka itulah orang-orang yang lalai.”
F. Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk penyembahan pada
penciptanya, yaitu Allah. Pengertian penyembahan kepada Allah tidak
boleh diartikan secara sempit, dengan hanya membayangkan aspek
ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan berarti
ketundukan manusia pada hukum Allah dalam menjalankan
kehidupan di muka bumi, baik yang menyangkut hubungan vertikal
(manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan
manusia dan alam semesta).
Penyembahan manusia pada Allah lebih mencerminkan
kebutuhan manusia terhadap terwujudnya sebuah kehidupan dengan
tatanan yang baik dan adil. Oleh karena itu, penyembahan harus
dilakukan secara as, karena Allah tidak membutuhkan sedikitpun
pada manusia termasuk ritual-ritual penyembahannya. Firman Allah
dalam QS. al-Dzāriyāt/51: 56-58:
             
          
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah, Dialah maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat
kokoh”.
Dalam QS. al-Bayyinah/98: 5 Allah juga berfirman:
           
     
“Padahal mereka tidak disusuh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan pada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”
Pendidikan Agama Islam
Manusia menurut Islam 63
Penyembahan yang sempurna dari manusia (sebagai abdun)
akan menjadikan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dalam
mengelola kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam dapat
terjaga dengan hukum-hukum alam yang kokoh. Keseimbangan pada
kehidupan manusia dapat terjaga dengan tegaknya hukum-hukum
kemanusiaan yang telah Allah tetapkan. Kekacauan kehidupan
manusia tidak sekedar akan menghancurkan tatanan kehidupan
manusia, tetapi juga dapat menghancurkan bagian-bagian alam
semesta yang lain. Inilah tujuan penciptaan manusia di tengah-tengah
alam.
G. Fungsi dan Peran anusia
Berpedoman pada QS. al-Baqarah/2: 30-36, status dasar
manusia yang dipelopori Adam adalah sebagai khalifah. Jika khalifah
diartikan sebagai makhluk penerus ajaran Allah, maka peran yang
dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran Allah dan sekaligus menjadi
pelopor dalam membudayakan ajaran Allah.
Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor
pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai dari diri dan
keluarganya. Setelah diri dan keluarganya tahu dan mau dengan ajaran
Allah, baru menyampaikan kepada orang lain. Peran yang hendaknya
dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah,
di antaranya ialah:
1. Belajar (an-Naml/27: 15-16 dan al-Mukmin/23: 54)
Belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surah al-‘Alaq adalah
mempelajari ilmu Allah dan pada ayat kedua dijelaskan yang
dimaksud ilmu Allah adalah al-Kitab. Belajar yang dinyatakan al-
Qur’an adalah iqra’ bismirabbika dengan berbagai macam obyeknya.
2. Mengajarkan ilmu (al-Baqarah/2: 31-39)
Ilmu yang diajarkan oleh manusia sebagai khalifah Allah, bukan
hanya ilmu yang dikarang manusia saja, tetapi juga ilmu Allah. Kalau
ia mengajarkan sains yang dikarang manusia, ia tak lupa
memperhatikan ilmu Allah. Pengertian ilmu Allah tidak identik
dengan ilmu agama. Dengan demikian tidak terbentuk asumsi bahwa
yang bukan ilmu agama adalah bukan ilmu Allah. Ilmu Allah adalah
al-Qur’an dan al-Bayan (ilmu pengetahuan). Al-Qur’an merupakan
aturan hidup dan kehidupan manusia serta hal-hal yang berhubungan
dengan manusia. Mengajarkan al-Qur’an berarti mengajarkan hidup
dan kehidupan menurut Allah, pencipta manusia dan alam semesta.
Pendidikan Agama Islam
64 Manusia menurut Islam
3. Membudayakan ilmu (al-Mu’min/40: 35)
Ilmu Allah yang telah diketahui bukan hanya untuk
disampaikan kepada orang lain, tetapi yang utama adalah untuk
diamalkan oleh diri sendiri terlebih dahulu sehingga membudaya.
Contoh yang diberikan Nabi saw adalah setelah diri dan keluarganya,
kemudian teman dekatnya dan baru orang lain. Proses pembudayaan
ilmu Allah berjalan seperti proses pembentukan kepribadian dan
proses iman. Wujud pembudayaan ilmu Allah adalah tercapainya
situasi pola hidup dan kehidupan sebagaimana yang dicontohkan
Nabi saw. Dengan demikian, Sunnah Rasul merupakan contoh
perwujudan pembudayaan ilmu.
H. Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba dan Khalifah
Allah
Memperhatikan prinsip di atas, maka sebagai seorang khalifah,
apa yang dilakukan tidak boleh hanya untuk kepentingan diri pribadi
dan tidak hanya bertanggungjawab pada diri sendiri saja. Oleh karena
itu semua yang dilakukan harus untuk kebersamaan sesama manusia
dan hamba Allah, serta pertanggungjawabannya pada diri sendiri,
masyarakat/ alam dan Allah swt.
Dengan menyadari adanya pertanggungjawaban tersebut, maka
fungsi dan peran manusia di dunia walaupun bersifat keduniaan,
karena ia juga seorang khalifah, maka ia tetap harus memelihara
semua kepercayaan yang diberikan kepadanya.
1. Tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah
Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan,
ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan
manusia hanya layak diberikan kepada Allah, yang dicerminkan dalam
ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
Dalam hubungan dengan Tuhan, manusia menempati posisi
sebagai ciptaan dan Tuhan sebagai Pencipta. Posisi ini memiliki
kensekuensi adanya keharusan manusia menghambakan diri pada
Allah dan dilarang menghamba pada dirinya, serta menghamba pada
hawa nafsunya. Kesediaan manusia untuk menghamba hanya pada
Allah dengan sepenuh hatinya, akan mencegah penghambaan
manusia terhadap manusia, baik dirinya maupun sesamanya.
Tanggungjawab hamba Allah (‘abdullāh) terhadap dirinya adalah
memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif (naik-turun),
yang dalam istilah hadits Nabi saw dikatakan yazidu wayanqushu
(terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau
Pendidikan Agama Islam
Manusia menurut Islam 65
melemah).
Seorang hamba Allah juga mempunyai tanggungjawab terhadap
keluarga. Tanggungjawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari
tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-
Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahlikum naaran (jagalah
dirimu dan keluargamu, dari neraka).
Allah dengan ajaran-Nya al-Qur’an menurut Sunnah Rasul,
memerintahkan hamba-Nya untuk berlaku adil dan ihsan. Oleh
karena itu, tanggungjawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan,
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan
berpedoman pada ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah
kekejian moral dan kemungkaran yang mengancam diri dan
keluarganya. Oleh karena itu, abdullah harus senantiasa melaksanakan
shalat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan
kemungkaran (fakhsyā’i wal munkar). Hamba-hamba Allah sebagai
bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah
untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemunkaran
(QS. Āli ‘Imrān /3: 103). Demikianlah tanggungjawab hamba Allah
yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut
Sunnah Rasul.
2. Tanggungjawab manusia sebagai khalifah Allah
Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah
dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang
dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas
kepemimpinan di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan
alam.
Khalifah sering diartikan wakil atau pengganti yang memegang
kekuasaan. Manusia menjadi khalifah memegang mandat Tuhan
untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang
diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan
dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi
untuk kepentingan hidupnya.
Sebagai khalifah Tuhan, Tuhan mengajarkan kepada manusia
kebenaran dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta
penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung
dalam ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun konsep baru, serta
melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam kebudayaan.
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan
memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan
kreatifitas yang dinamis. Adanya kebebasan manusia di muka bumi

Pendidikan Agama Islam


66 Manusia menurut Islam
adalah karena kedudukannya untuk memimpin, sehingga pemimpin
tidak tunduk kepada siapapun, kecuali kepada yang di atas yang
memberikan kepemimpinan. Oleh karena itu, kebebasan manusia
sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga
kebebasan yang dimiliki tidak menjadikan manusia bertindak
sewenang-wenang. Kebebasan manusia dengan kekhalifahannya
merupakan implementasi dari ketundukan dan ketaatan. Ia tidak
tunduk pada siapapun kecuali kepada Allah, karena ia hamba Allah
yang hanya tunduk dan taat kepada Allah dan kebenaran.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-
aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang
diwakilinya, yaitu hukum-hukum Tuhan baik yang tertulis dalam kitab
suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta
(al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili
adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan perannya, serta
mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia
diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya
di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS.
Fāthir/35: 39:
             
           
 
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang
siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan
kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah
kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”.
Dua peran yang dipegang manusia di muka bumi, sebagai
khalīfah dan ‘abdun merupakan perpaduan tugas dan tanggungjawab
yang melahirkan dinamika hidup, yang sarat dengan kreatifitas dan
amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Oleh karena
itu, hidup seorang muslim akan dipenuhi dengan amaliah, kerja keras
yang tiada henti, sebab bekerja bagi seorang muslim adalah
membentuk satu amal saleh. Kedudukan manusia di muka bumi
sebagai khalifah dan juga sebagai hamba Allah, bukanlah dua hal yang
bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak
terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdiannya kepada
Allah yang menciptakannya.
Pendidikan Agama Islam
Manusia menurut Islam 67
Dua sisi tugas dan tanggungjawab ini tertata dalam diri setiap
muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidak seimbangan, maka
akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajat manusia jatuh
ketingkat yang paling rendah, seperti firman-Nya dalam QS. al-
Tīn/95: 4:
            
        
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya; Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka); Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;
Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Dengan demikian, manusia sebagai hamba dan khalifah Allah
merupakan kesatuan yang menyempurnakan nilai kemanusiaan
sebagai makhluk. Perwujudan kualitas keinsanian manusia tidak
terlepas dari konteks sosial budaya, atau dengan kata lain
kekhalifahan manusia pada dasarnya diterapkan pada kontek individu
dan sosial yang berporos pada Allah. Firman Allah dalam QS. Ali
‘Imrān/3: 112:
...             
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…”
I. Rangkuman
1. Manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk serba dimensi
yang terdiri dari basyar (dimensi biologis-reproduksi), insan (dimensi
intelektual), dan nas (dimensi sosial).
2. Manusia adalah makhluk yang paling mulia yang diciptakan
Allah diantara semua makhluk.
3. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada
Allah.
4. Manusia, disamping memiliki tanggungjawab sebagai hamba
Allah, dia juga memiliki tanggungjawab sebagai khalifah di muka
bumi
J. Pertanyaan
1. Menurut pandangan Murtadha Mutahhari, manusia adalah
Pendidikan Agama Islam
68 Manusia menurut Islam
makhluk serba dimensi. Terangkan dengan jelas dimensi-dimensi
tersebut, serta bagaimana hubungannya dengan kehidupan beragama?
2. Manusia mempunyai martabat yang lebih mulia dibanding
makhluk lainnya. Bagaimana pendapat saudara terhadap pernyataan
tersebut, serta bagaimana manusia harus bersikap sehubungan
dengan kemuliaan martabat tersebut?
3. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk penyembahan pada
penciptanya. Terangkan dengan jelas ruang lingkup pernyataan
tersebut dan bagaimana seharusnya manusia bersikap sehubungan
dengan pernyataan tersebut?
4. Di antara fungsi dan peranan manusia adalah membudayakan
ilmu. Bagaimana seharusnya manusia berbuat dalam upaya
pembudayaan ilmu?
5. Terangkan beberapa hal yang harus dilakukan manusia, dalam
kedudukannya sebagai hamba Allah, supaya dapat dinyatakan sebagai
hamba Allah yang patuh terhadap ajaran Allah?
6. Terangkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan manusia
sebagai khalifah Allah, serta bagaimana seharusnya manusia bersikap
dalam kedudukannya sebagai khalifah Allah.

Pendidikan Agama Islam


BAB IV
AGAMA ISLAM
A. Pendahluan
Percaya adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta adalah
fitrah manusia. Demikian juga dengan beragama adalah fitrah
manusia. Manusia lahir, tumbuh ke arah kedewasaan akan selalu
berusaha mencari Tuhan dan membuat aturan yang mengikatnya.
Berbicara maslah agama tidak terlepas dari kehidupan manusia itu
sendiri. Olehnya itu, agama menjadi satu kebutuhan hidup bagi
manusia.
Bab ini berisi tentang agama Islam yang menjelaskan makna
agama Islam, kebenaran agama Islam, kerahmatan Islam bagi seluruh
alam. Bab ini juga menjelaskan tentang kerangka dasar agama Islam.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Menjelaskan
makna agama Islam, karakteristik agama Islam dan kerahmatan Islam
bagi alam semesta; Serta memahami kerangka dasar agama Islam.
B. Makna Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang akar katanya
Pendidikan Agama Islam 69
70 Agama Islam
gam, serumpun dengan kata gaan dalam bahasa Belanda atau go dalam
bahasa Inggris. Gam, gaan, dan go itu masing-masing menunjuk pada
pengertian pergi/berjalan. Apabila kata gam itu diberi awalan dan
akhiran ‘a’, maka ia menjadi agama yang berarti ‘jalan menuju’.
Pengertian lain tentang kata agama, dinyatakan terdiri dari dua kata
yaitu: a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kata agama berarti tidak
kacau atau tertib, teratur. Agama juga bisa diartikan peraturan atau
undang-undang.
Dalam al-Qur’an kata agama disebut dengan istilah ad-dīn. Kata
ad-dīn berasal dari kata dayana yang berarti hakama, yaitu
hukum/undang-undang, kekuasaan dan kewibawaan.
Menurut Bouquet, agama adalah hubungan yang tetap antara
diri manusia dengan bukan manusia yang bersifat suci dan super
natur dan yang bersifat berada dengan dirinya sendiri yang
mempunyai kekuasaan absolut (mutlak) yang disebut “Tuhan”.
Sedangkan menurut J.H. van Der Hoop, agama adalah hukum yang
mengendalikan kebebasan hidup dan kehidupan manusia.
Adapun fungsi-fungsi agama seperti yang dikemukakan oleh
para ahli sebagai berikut:
1. Mahmud Syaltut menyebutkan, fungsi agama adalah sebagai
wahana untuk:
- Mensucikan jiwa dan membersihkan hati.
- Membentuk sikap patuh dan taat serta menimbulkan sikap dan
perasaan mengagungkan Tuhan.
- Memberi pedoman kepada manusia dalam menciptakan kebaikan
hidup di dunia secara mantap dengan cara mempererat hubungan
dengan Tuhan sebagai pencipta.
2. Mustafa al-Zuhayli mengemukakan bahwa fungsi agama,
yaitu:
- Sebagai pemenuhan kebutuhan rohani
- Sebagai motivasi dalam mencapai kemajuan
- Sebagai pedoman hidup
- Sebagai sarana pendidikan rohani
- Sebagai pembentukan keseimbangan jasmani dan rohani, duniawi
dan ukhrawi.
- Sebagai pembentukan kemantapan dan ketenangan jiwa.
3. Al-Maraghi berpendapat bahwa agama memiliki fungsi
untuk:
- Mensucikan jiwa dan membebaskan akal dari kepercayaan
sinkritisme terhadap kekuatan ghaib yang dimiliki makhluk dalam

Pendidikan Agama Islam


Agama Islam 71
menguasai alam agar makhluk atau selainnya tunduk dan patuh
kepadanya.
- Memperbaiki sikap batin (qalb) atas dasar tujuan yang baik, agar
dalam melakukan semua perbuatan dilandasi dengan niat
yangikhlasuntuk Allah dan untuk manusia.
1. Makna Agama Islam
Kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri,
taat dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam
adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan
kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kehidupan umat manusia
pada khususnya, dan semua makhluk Allah pada umumnya. Kondisi
itu akan terwujud apabila manusia sebagai penerima amanah Allah
dapat menjalankan aturan Allah tersebut secara benar dan kaaffah.
Agama Islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia
pertama, Nabi Adam as. Agama Islam itu kemudian diturunkan Allah
secara berkesinambungan kepada para nabi dan rasul berukutnya.
Akhir dari proses penurunan agama Islam itu baru terjadi pada masa
kenabian Muhammad saw, pada awal abad ke-7 M. Islam sebagai
nama dari agama yang Allah diturunkan belum dinyatakan secara
eksplisit pada masa kerasulan sebelum Rasulullah Muhammad saw.,
tetapi makna dan substansi ajarannya secara implisit mempunyai
persamaan yang dapat dipahami dari pernyataan sikap para rasul
sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 132 berikut:
            
   
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian
pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah
telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam
memeluk agama Islam".
Ajaran agama Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Sesuai dengan fitrah manusia.
Makna kesesuaian ajaran Islam dengan fitrah manusia adalah:
- Ajaran agama Islam mengandung petujuk yang sesuai dengan sifat
dasar manusia, baik dari aspek keyakinan, perasaan, maupun
pemikiran.
- Sesuai dengan kebutuhan hidup manusia.
- Memberikan manfaat tanpa menimbulkan komplikasi.
- Menempatkan manusia dalam posisi yang benar.
Pendidikan Agama Islam
72 Agama Islam
Hal ini sesuai dengan penegasan Allah dalam QS. ar-Rūm/30: 30:
             
           
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
b. Ajarannya sempurna
Materi ajaran Islam berisi petunjuk-petunjuk pada seluruh
aspek kehidupan manusia. Petunjuk itu ada kalanya disebut secara
eksplisit dan ada kalanya disebut secara implisit yang yang dipahami
dengan ijtihad. Penegasan tentang kesempurnaan ajaran Islam
disebutkan dalam QS. al-Māidah/5: 3:
          ..
..
“… pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama
bagimu...”
c. Kebenarannya mutlak
Kebenaran mutlak ajaran Islam itu dapat dipahami karena
ajaran Islam berasal dari Allah yang maha benar dan dapat pula
dipahami melalui bukti-bukti materil serta bukti riilnya. Karena itu,
Allah mengingatkan agar manusia jangan meragukan kebenarannya
sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah/2: 147:
        
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu.”
d. Mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
Sekalipun menurut ajaran Islam manusia diciptakan hanya
untuk beribadah kepada Allah tetapi nilai ibadah manusia terdapat
pada seluruh aspek kehidupan. Dan manusia harus memperhatikan
berbagai aspek kepentingan dalam hidupnya. Firman Allah dalam QS.
al-Qashash/28: 77:

Pendidikan Agama Islam


Agama Islam 73

            
              
  
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”
e. Fleksibel dan ringan
Ajaran Islam bersifat fleksibel dan ringan karena Islam
memperhatikan dan menghargai kondisi masing-masing individu
dalam menjalankan ajaran Islam. Dan tidak memaksakan orang Islam
untuk melakukan suatu perbuatan di luar batas kemampuannya. Hal
ini ditegaskan dalam QS. al-Baqarah/2: 286:
               
             
 ...            
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya..."
f. Berlaku secara universal
Ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia di seluruh
dunia sejak diturunkannya sampai akhir masa.
g. Bersifat rasional dan supra rasional
Ajaran Islam bersifat rasional, artinya dapat dipahami
berdasarkan akal, pikiran manusia dalam batas-batas kemampuan akal
tersebut. Sebagian ajaran Islam bersifat supra rasional atau imani,
artinya harus diterima dan diyakini kebenarannya sekalipun akal

Pendidikan Agama Islam


74 Agama Islam
pikiran tidak mampu menjangkau secara detil rincian ajarannya.
Dalam batas-batas kemampuan akal, Islam memerintahkan untuk
menggunakan akal pikirannya sebagaimana firman Allah dalam QS.
Ali ‘Imrān/3: 7:
           
            
             
           
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi)
nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al Qur'an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
h. Inti ajarannya tauhid
Seluruh ajaran Islam mencerminkan ketauhidan Allah. Namun
terdapat beberapa ayat yang secara khusus menjelaskan bahwa Allah
itu bersifat Ahad, dalam QS. al-Ikhlāsh/112: 1:
    
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang maha esa…”.
i. Bersifat rahmatan lil ‘ālamīn
Ajaran Islam diturunkan untuk mewujudkan rahmat, kasih
sayang Allah terhadap makhluk-Nya seperti ketenangan hidup,
kedamaian hidup, dan kebahagiaan hidup serta kemaslahatan bagi
semua makhluk-Nya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam QS. al-
Fath/48: 4 :
..           
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). dan kepunyaan …”
Kerahmatan yang ingin diwujudkan Islam itu juga dinyatakan
Pendidikan Agama Islam
Agama Islam 75
Allah ketika menjelaskan kerasulan Muhammad saw sebagaimana
disebutkan dalam QS. al-Anbiyā’/21: 107:
     
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
2. Kebenaran Agama Islam
Sejak Allah menciptakan manusia pertama, Nabi Adam as,
Allah telah memberikan kepadanya ajaran yang menjadi petunjuk
kehidupan yang benar, yang menjamin umat manusia dapat
menciptakan kemaslahatan hidup bagi manusia sendiri dan makhluk-
makhluk lainnya. Ajaran yang berisi petunjuk kehidupan yang benar
itu kemudian pada saat penurunannya yang terakhir kepada
Rasulullah Muhammad saw, Allah beri nama Islam. Karena itu Allah
melarang manusia meragukan kebenaran yang Allah berikan kepada
manusia seperti yang tercantum dalam QS. al-Baqarah/2: 147:
        
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
Termasuk orang-orang yang ragu.”
Kesamaan kebenaran pada semua ajaran yang Allah turunkan
kepada umat manusia itu dinyatakan dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 3:
         
 
“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan
Taurat dan Injil.”
Kebenaran identik dengan kemaslahatan, karena hanya
kebenaranlah yang mampu mewujudkan kemaslahatan dan mencegah
timbulnya kerusakan yang mengakibatkan timbulnya penderitaan.
Petunjuk kebenaran yang menjamin terwujudnya kemaslahatan hidup
umat manusia, bahkan bagi semua makhluk itu merupakan wujud
dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, sekalipun di antara
makhluk-makhluk-Nya itu ada yang mendurhakai-Nya. Karena kasih
sayang Allah yang menyebabkan tidak dicabutnya rahmat Allah dari
manusia yang durhaka dalam kehidupan dunia ini.

Pendidikan Agama Islam


76 Agama Islam
3. Kerahmatan Islam bagi seluruh alam
Ketika Islam mulai disampaikan oleh Rasulullah saw kepada
masyarakat Arab dan beliau mengajak masyarakat untuk menerima
dan mentaati ajaran yang disampaikannya, tanggapan masyarakat
terhadap ajakan Rasulullah saw tersebut beraneka ragam. Sebagian
merasa heran dan menganggap ajakan Rasulullah saw itu ganjil. Islam
dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari tradisi leluhur
yang telah mendarah daging bagi masyarakat Arab, yang mereka taati
secara turun temurun. Mereka tidak mau tahu, apakah tradisi tersebut
salah atau benar. Hal itu dijelaskan oleh Allah dalam QS. al-
Baqarah/2: 170:
               
       
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang
telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”
Fungsi agama Islam sebagai rahmat Allah tidak bergantung
pada penerimaan atau penilaian manusia. Substansi rahmat terletak
pada fungsi ajaran tersebut, dan fungsi itu baru akan dirasakan, baik
oleh manusia sendiri maupun oleh makhluk yang lain, apabila
manusia sebagai pengemban amanah Allah telah menaati ajaran Islam
tersebut. Fungsi Islam sebagai rahmat Allah bagi semua alam itu
dijelaskan oleh Allah QS. al-Anbiyā’/21: 107:
     
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
Adapun bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu
di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Islam menunjuki manusia ke jalan kebenaran.
Islam memberikan petunjuk kepada manusia pada jalan yang
benar. Ajaran Islam ada yang bersifat supra rasional atau ta’abbudi,
artinya di atas kemampuan akal manusia untuk mengetahuinya.
Ajaran itu sangat diperlukan manusia, baik sebagai substansi
pengetahuan maupun sebagai sarana pengabdian, seperti

Pendidikan Agama Islam


Agama Islam 77
kemahaesaan Allah dan ajaran shalat. Dan sebagian ajaran Islam yang
lain ada yang bersifat rasional atau ta’aqquli, artinya mampu dipahami
akal akan rasionalitasnya. Tetapi tanpa bimbingan dari ajaran Islam
tidak ada jaminan kalau manusia sendiri dengan kemampuan akalnya
mampu menemukan ajaran tersebut. Apabila akal mampu
menemukannya, itu karena ajaran Islam memberi kemudahan
sehingga kerja akal lebih efisien seperti bersikap adil terhadap sesama
manusia, memanfaatkan alam semesta secara proporsional, dan lain-
lain.
b. Islam memberikan kebebasan kepada manusia.
Allah memang memberikan petunjuk kebenaran kepada umat
manusia. Tetapi Allah tidak pernah memaksakan kehendak-Nya
kepada manusia untuk menerima petunjuk-Nya sekalipun Allah
memiliki kekuasaan untuk itu. Allah hanya mengingatkan kepada
manusia pada konsekuensi (akibat) yang harus diterima oleh manusia
pada pilihan hidupnya. Manusia diberi kebebasan untuk menerima
ataupun menolak petunjuk dari Allah. Adapun penilaian dan balasan
Allah terhadap pilihan hidup yang dipilih oleh manusia secara mutlak
akan diberikan di hari akhirat nanti. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Allah QS. Yūnus/10: 99:
             
  
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Dan QS. al-Baqarah/2: 256:
              
            
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
Karunia akal yang diberikan Allah kepada manusia telah cukup
untuk membuat pertimbangan dan keputusan bagi manusia itu
sendiri untuk menerima dan menaati petunjuk dari Allah tersebut
Pendidikan Agama Islam
78 Agama Islam
atau menolaknya.
c. Islam menghargai dan menghormati semua manusia sebagai
hamba Allah baik muslim maupun non muslim.
Posisi manusia dihadapan Allah itu sama. Karenanya, semua
manusia mempunyai kedudukan, harkat, martabat, hak, dan
kewajiban yang sama. Yang membedakan manusia yang satu dengan
yang lainnya di sisi Allah hanyalah ketaqwaan. Asas persamaan itu
mengharuskan perlakuan yang adil kepada setiap manusia dan tidak
boleh menyakiti atau mendzalimi satu sama lain. Apabila terjadi
konsekuensi-konsekuensi dalam kehidupan, semisal harus dikenakan
sangsi hukum, harus membayar zakat dan jizyah, dan lain-lain, itu
dikarenakan kondisi masing-masing secara spesifik berdasarkan
perbuatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Allah berfirman
dalam QS. al-Furqān/25: 19:
          
     
“Maka Sesungguhnya mereka (yang disembah itu) telah mendustakan kamu
tentang apa yang kamu katakan Maka kamu tidak akan dapat menolak
(azab) dan tidak (pula) menolong (dirimu), dan barang siapa di antara kamu
yang berbuat zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar.”
d. Islam mengatur pemanfaatan alam semesta secara baik dan
proporsional.
Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah menciptakan alam
semesta ini untuk manusia. Allah juga memberikan hak kepada
manusia untuk memanfaatkan alam semesta beserta isinya.
Karenanya, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan
memelihara alam beserta isinya. Akan tetapi Allah juga memberi
peringatan pada manusia yang melakukan perbuatan yang melampaui
batas yang berakibat pada kerusakan alam. Seperti diisyaratkan dalam
QS. ar-Rūm/30: 41:
           
   
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, Allah ingin kepada mereka merasakan sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Allah mengingatkan bahwa kerusakan yang terjadi di alam
Pendidikan Agama Islam
Agama Islam 79
semesta ini diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak terkontrol
dan akibatnya menyengsarakan hidup manusia itu sendiri.
d. Islam menghormati kondisi spesifik individu manusia dan
memberikan perlakuan yang spesifik pula.
Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa kondisi yang diberi
keringanan (dispensasi) atau bahkan dibebaskan dalam menjalankan
ibadah kepada Allah berdasarkan kondisi tertentu sesuai syariat yang
belaku. Hal ini dapat terlihat pada beberapa contoh berikut, misalnya
puasa Ramadhan bagi musafir diberi keringanan untuk berbuka;
Orang lupa atau tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat hingga
waktu shalat habis, ia boleh mengerjakannya ketika ia ingat atau
setelah bangun dari tidurnya, sekalipun waktu shalat telah lewat;
Orang yang lapar dan tidak mendapatkan makanan kecuali makanan
yang diharamkan, maka ia dibolehkan memakannya sekedar untuk
bertahan hidup. Demikianlah contoh-contoh keringanan yang
diberikan pada individu tertentu berdasarkan kondisi spesifik yang
dialaminya sehingga mendapatkan perlakuan yang spesifik sesuai
dengan ketentuan dalam ajaran agama Islam.
C. Kerangka Dasar Agama Islam
Kerangka dasar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw bersifat multidimensi, universal, abadi, dan fitri.
Dikatakan multidimensi karena ajarannya mencakup dimensi-dimensi
yang menyangkut hubungan antara manusia dengan khāliq-nya
(hablum minallāh) dan hubungan manusia dengan dirinya, dengan
sesamanya, maupun dengan makhluk lainnya (hablum minannās) seperti
yang terdapat dalam QS. Ali-‘Imrān/3: 112:
           
 ... 
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, …”
Ajaran Islam ditujukan bagi kepentingan pemeliharaan tatanan
kehidupan manusia dan alam semesta secara menyeluruh (universal),
yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dinilai sebagai ajaran yang
abadi karena dalam agama Islam terancang konsep ajaran yang
mencakup penataan kehidupan di dunia yang sejahtera dan
kehidupan di akhirat yang bahagia. Disebut fitri, karena sesuai dengan
fitrah manusia yang terancang secara serasi, harmonis dan dinamis
Pendidikan Agama Islam
80 Agama Islam
bagi kepentingan pemeliharaan, peningkatan, dan pengembangan
kebutuhan fitrah manusia, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai maakhluk sosial. Pada sisi inilah keutamaan dan kelebihan
risalah yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw. Hal ini
ditunjang oleh kerangka dasar atau pokok-pokok ajaran Islam, yaitu:
1. Aspek keyakinan yang disebut dengan aqidah, yaitu aspek
keimanan kepada Allah dan semua yang difirmankan-Nya dan
disabdakan oleh Rasul-Nya untuk diyakini. Aqidah Islam ini
terangkum dalam bentuk rukun iman. Penafsiran terhadap aqidah
melahirkan literatur keislaman yang dikenal dengan istilah ilmu kalam
atau teologi Islam dengan berbagai macam aliran pemikiran.
2. Aspek norma atau hukum yang disebut syariah, yaitu aturan-
aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam
semesta. Penafsiran terhadap syariah Islam melahirkan literatur
keislaman yang disebut dengan fikhi Islam dengan berbagai macam
mazhab.
3. Aspek perilaku yang disebut dengan akhlak atau ihsan, yaitu
sikap atau perilaku, baik yang nampak maupun yang tidak nampak
dari pelaksanaan aqidah dan syariah. Penafsiran terhadap akhlak
melahirkan literatur keislaman yang disebut dengan ilmu tasawwuf
dengan berbagai macam aliran (tarekat).
Ketiga aspek tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan dipisahkan
satu sama lain tetapi terintegrasi membentuk kepribadian yang utuh
pada diri setiap manusia muslim. Aqidah digambarkan sebagai akar
yang menancap kokoh pada sebuah pohon dan syariah diibaratkan
sebagai batang pohon yang berdiri kokoh di atas akar yang menancap
ke bumi sedangkan akhlak diibaratkan sebagai buah yang manis yang
dihasilkan dari proses yang berlangsung pada akar dan batang yang
bisa dimanfaatkan dan nikmati oleh semua orang. Keutuhan dan
kesatuan ketiga aspek inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada
umat manusia Islam ketika mereka mengikrarkan untuk memeluk
agama Islam QS. al-Baqarah/2: 208:
         
      
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.”
Pendidikan Agama Islam
Agama Islam 81
Aqidah yang benar akan melahirkan sikap kepatuhan pada
ajaran dan norma-norma yang telah digariskan dalam hukum
(syariah), dan pelaksanaan norma dan hukum yang didasari oleh
aqidah yang benar akan melahirkan perilaku lahir dan batin yang
sesuai dengan kaidah dan norma moralitas (akhlak).
D. Rangkuman
1. Agama Islam adalah agama yang mengandung ajaran untuk
menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kehidupan
umat manusia pada khususnya, dan semua makhluk Allah pada
umumnya.
2. Agama Islam memiliki karakter sebagai berikut: sesuai dengan
fitrah manusia, ajarannya sempurna, kebenarannya mutlak,
mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan,
fleksibel dan ringan, berlaku secara universal, bersifat rasional dan
supra rasional, dan inti ajarannya tauhid.
3. Di antara bentuk-bentuk rahmat dari ajaran Islam adalah
karena ajaran Islam mengandung ajaran yang menunjuki manusia ke
jalan kebenaran, memberikan kebebasan kepada manusia,
menghargai dan menghormati semua manusia sebagai hamba Allah
baik muslim atau non muslim, mengatur pemanfaatan alam semesta
secara baik dan proporsional, dan menghormati kondisi spesifik
individu manusia dan memberikan perlakuan yang spesifik pula.
4. Kerangka dasar agama Islam yang menjadi pokok-pokok
ajarannya adalah: aspek keyakinan (aqidah), aspek norma atau hukum
(syariah), dan aspek perilaku (akhlak).
E. Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian agama menurut bahasa dan istilah!
2. Jelaskan makna agama Islam!
3. Terangkan fungsi-fungsi agama menurut Mahmud Syaltut,
Musthafah al-Zuhaili, dan al-Maraghi!
4. Agama Islam memiliki tiga kerangka dasar, yaitu akidah,
syariah, dan akhlak. Terangkan masing-masing!
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan agama sebagai fitrah
manusia?
6. Jelaskan defenisi iman, islam, ihsan, dan taqwa dan
implikasinya dalam kehidupan!
Pendidikan Agama Islam
82 Agama Islam

Pendidikan Agama Islam


BAB V
HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, yang
terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau
seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau
norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis
seperti hukum Adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam
peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum dalam
konsepsi seperti hukum Barat ini adalah hukum yang sengaja dibuat
oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan benda dalam masyarakat. Adapun konsepsi hukum Islam,
dasar dan kerangka hukumnya, ditetapkan oleh Allah. Hukum
tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan
Pendidikan Agama Islam 83
84 Hukum Islam
manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan
manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
Bab ini menjelaskan tentang: Pengertian hukum Islam; Hukum
Islam merupakan bagian dari agama Islam; Ruang lingkup hukum
Islam; Dan tujuan hukum Islam yang mencakup: memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan
memelihara harta; Bab ini juga menjelaskan tentang sumber hukum
Islam yang mencakup al-Quran, Sunnah Nabi ijtihad dan lain-lain.
Selain itu, bab ini juga berisi tentang kontribusi umat Islam dalam
perumusan dan penegakan hukum, serta fungsi hukum Islam dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Memahami
hukum Islam, ruang lingkup, tujuan dan sumber hukum Islam secara
baik dan benar; Menjelaskan kontribusi umat Islam dalam perumusan
dan penegakan hukum di Indonesia; Menjelaskan fungsi hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat; Memahami dan menjelaskan
hak asasi manusia menurut ajaran Islam; Menjelaskan perbedaan
prinsip antara konsep hak asasi manusia dalam pandangan Islam dan
Barat.
B. Pengertian Hukum Islam
Hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas sesuatu
atau tidak menetapkannya. Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam atau yang ditetapkan
oleh Allah melalui wahyu-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an dan
dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw melalui Sunnahnya. Jika kita
berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu
berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang
tidak tertulis seperti hukum Adat, mungkin juga berupa hukum
tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat.
Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat ini adalah hukum yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Adapun konsepsi
hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya, ditetapkan oleh Allah.
Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri,
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 85
hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan
hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
Hukum diartikan juga dengan norma atau kaidah yakni, ukuran,
patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku
atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan
hukum dalam bahasa Indonesia tersebut di atas dengan hukum dalam
pengertian norma dalam bahasa Arab itu, memang erat sekali. Setiap
peraturan, apapun macam dan sumbernya mengandung norma atau
kaidah sebagai intinya. Dalam hukum Islam kaidah itu disebut
hukum. Itulah sebabnya maka di dalam perkataan sehari-hari orang
berbicara tentang hukum suatu benda atau perbuatan. Yang
dimaksud, seperti telah disebut di atas, adalah patokan, tolok ukur,
ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau benda itu (Mohammad
Daud Ali, 1996: 39).
C. Hukum Islam merupakan bagian dari Agama Islam
Sebagai sistem hukum, hukum Islam tidak boleh dan tidak
dapat disamakan dengan sistem hukum yang lain yang pada
umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat
dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu saat di
suatu masa. Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam
tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh
kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu masa, tetapi
dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang terdapat
dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasul-
Nya melalui Sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam
kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam
secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata
lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.
Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam
istilah, di mana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan
sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah dimaksud adalah
syariat Islam, fiqih Islam dan hukum Islam. Hukum Islam biasa juga
disebut dengan syariat Islam yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan islamic law. Sedang fiqih Islam diterjemahkan islamic
jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syariat Islam sering
dipergunakan istilah istilah hukum syariat atau hukum syara’. Untuk
fiqih Islam dipergunakan istilah hukum fiqih atau kadang-kadang
hukum Islam. Dalam praktik, seringkali kedua istilah itu dirangkum
dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal
ini dapat dipahami karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat
Pendidikan Agama Islam
86 Hukum Islam
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Syariat merupakan landasan
fiqih, dan fiqih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat
tentang dalil syara’ (al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu
seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar
harus dapat membedakan antara syariat Islam dengan fiqih Islam.
Pada prinsipnya, syariat adalah wahyu Allah yang terdapat dalam al-
Qur’an dan sunnah Rasulullah yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas dari fiqih, berlaku abadi dan menunjukkaan kesatuan dalam
Islam. Sedangkan yang dimaksud fiqih adalah pemahaman manusia
yang memenuhi syarat (ahli/punya kemampuan) tentang dalil syariat.
Oleh karena itu, fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas
pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya
disebut sebagai perbuatan hukum. Karena fiqih adalah hasil karya
manusia, maka ia tidak berlaku abadi dapat berubah dari masa ke
masa, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain. Hal ini
terlihat pada aliran hukum yang disebut dengan istilah mazāhib atau
mazhab-mazhab. Fiqih menunjukkan adanya keragaman dalam
hukum Islam (Mohammad Daud Ali, 1996: 45-46).
Fiqih berisi rincian dari syariah, karena itu ia dapat dikatakan
sebagai elaborasi terhadap syariah. Elaborasi yang dimaksudkan di
sini merupakan suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal
pikiran atau ar-ra’yu. Yang dimaksud ijtihad adalah usaha atau ikhtiar
yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap
kemampuan yang yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang
memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas
atau tidak ada ketentuannya di dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Dalam fiqih, seseorang akan menemukan pemikiran-
pemikiran para fuqahā’ antara lain para pendiri empat mazhab yang
ada dalam ilmu fiqih yang sampai sekarang masih berpengaruh di
kalangan umat Islam sedunia yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas,
Muhammad Idris asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal dan banyak lagi
yang ulama fiqih. Para fuqahā’ Islam tersebut sangat berjasa dalam
pengembangan hukum Islam melalui pemikiran-pemikiran mereka
yang sangat mengagumkan. J. Schacht memuji pemikiran mereka
sebagai suatu epitome (contoh terbaik) dalam pemikiran Islam, karena
menurutnya bidang-bidang lain dalam pemikiran Islam seperti bidang
akidah (teologi) maupun bidang tasawwuf belum mencapai tingkat
pemikiran yang sebagus fiqih (J. Schacht, 1964: 1).
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, yang
pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 87
dan segi ketuhanan. Di samping itu sifat bidimensional yang dimiliki
hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya yang luas atau
komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek
kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.
Sifat dimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum
Islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum Islam. Sifat kedua ialah
adil, ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sifat
dimensional. Dalam hukum Islam keadilan bukan hanya merupakan
tujuan, tetapi merupakan sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah
dalam syariah ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang
didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat. Karena itu, sebagai sifat ketiga dalam hukum Islam
adalah individualistik dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai
transendental yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw. Dengan sifat ini, hukum Islam memiliki validitas
baik bagi perorangan maupun masyarakat. Dalam sistem hukum
lainnya sifat ini juga ada, hanya saja nilai-nilai transendental sudah
tidak ada lagi. Tiga sifat hukum Islam yang asli itu juga mempunyai
hubungan yang erat dengan dua sifat yang lain, yakni komprehensif
dan dinamis (Mohammed Tahir Azhary, 1992: 48-49).
D. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam atau syariat dibagi ke dalam dua bagian besar,
yakni bidang ibadah dan bidang muamalah. Ibadah adalah tata cara
yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan
Allah seperti menjalankan shalat, membayar zakat, menjalankan
ibadah puasa dan haji. Tata cara ini tetap, tidak dapat ditambah-
tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah diatur dengan pasti
oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian tidak
mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan
secara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara nya. Yang
mungkin berubah hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam
pelaksanaannya. Adapun mu’amalat dalam pengertian yang luas
adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan
kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada
yang pokok-pokok saja. Oleh karena itu sifatnya terbuka untuk
dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk
melakukan usaha itu (Mohammad Daud Ali, 1996: 49).
Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum
perdata dengan publik seperti halnya dalam hukum Barat. Hal ini
disebabkan karena menurut hukum Islam pada hukum perdata ada
Pendidikan Agama Islam
88 Hukum Islam
segi-segi publik dan pada publik ada segi-segi perdatanya. Dalam
hukum Islam yang disebutkan hanya bagian-bagiannya saja. Manurut
H.M. Rasjidi, bagian-bagian hukum Islam adalah (1) munākahāt, (2)
wirātsah, (3) mu‘āmalah dalam arti khusus, (4) jināyat atau ‘ukūbāt, (5) al-
ahkām al-sulthāniyah (khilāfah), (6) siyar, dan (7) mukhāshamāt (H.M.
Rasjidi, 1980: 25-26).
Sedangkan Fathi Osman mengemukakan sistematika hukum
Islam sebagai berikut: (1) al-ahkām al-ahwāl al-Syakhsiyah (hukum
perorangan); (2) al-ahkām al-madaniyah (hukum kebendaan); (3) al-
ahkām al-jinā’iyah (hukum pidana); (4) al-ahkām al-murafa‘āt (hukum
acara perdata, pidana dan peradilan tata usaha negara); (5) al-ahkām al-
dustūriyah (hukum tata negara); (7) al-ahkām al-iqtishādiyah wa al-māliyah
(hukum ekonomi dan keuangan) (Fathi Osman, 1970: 65-66).
Baik yang dikemukakan oleh H.M Rasjidi maupun yang
dikemukakan oleh Fathi Osman pada prinsipnya tidak ada perbedaan,
hanya istilahnya saja yang berbeda.
Apabila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun menurut
sistematika hukum Barat yang membedakan antara hukum publik dan
hukum perdata, maka susunan hukum muamalah dalam arti luas,
maka yang termasuk dalam hukum perdata Islam adalah: (1)
munākahāt yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya;
(2) wirātsah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.
Hukum kewarisan ini juga disebut farā’id; (3) mu‘āmalāt dalam arti
khusus, yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam soal beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam, perserikatan dan lain sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah (1)
jināyat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan
yang diancam dengan hukuman baik dalam jarīmah hudūd maupun
dalam jarīmah ta’zīr. Yang dimaksud dengan jarīmah adalah perbuatan
pidana. Jarīmah hudūd adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan
bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad. Sedangkan jarīmah ta’zīr adalah perbuatan pidana yang
bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh penguasa atau hakim
sebagai pelajaran bagi pelakunya; (2) al-ahkām as-sulthāniyah, yakni
hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala
negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah,
tentara, pajak dan sebagainya; (3) siyar, yakni hukum yang mengatur
urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 89
negara lain, (4) mukhāssamāt, mengatur peradilan, kehakiman dan
hukum acara (Mohammad Daud Ali, 1996: 51-52).
Dari hal-hal yang sudah dikemukakan di atas jelas bahwa, ruang
lingkup hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut
masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang
berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para
fuqahā’ (para yuris Islam) di masa lampau, dan perkembangannya
sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi, dan zaman, seperti hukum
bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, hukum bunga
bank, dan lain sebagainya di berbagai aspek kehidupan. Kesemuanya
dapat ditetapkan menjadi hukum Islam apabila sudah dirumuskan
oleh para ahli hukum Islam melalui sumber hukum Islam yang ketiga
yakni ijtihad birra’yi.
E. Tujuan Hukum Islam
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk
mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan
bagi mereka; mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk
mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat
kelak, dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah
atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup
dan kehidupan manusia. Abu Ishak al-Syatibi merumuskan lima
tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal,
(4) keturunan, dan (5) harta yang disebut “maqashid al-khamsah”.
Kelima tujuan ini kemudian disepakati oleh para ahli hukum Islam.
Agar dapat dipahami dengan baik dan benar masing-masing tujuan
hukum Islam tersebut berikut akan dijelaskan.
1. Memelihara Agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia
supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat
makhluk lain, dan memenuhi hajat jiwanya. Beragama merupakan
kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat
menyentuh nurani manusia. Agama Islam harus terpelihara dari
ancaman orang-orang yang akan merusak akidah, syariah dan akhlak
atau mencampuradukan ajaran agama Islam dengan paham atau
aliran yang batil. Agama Islam memberi perlindungan kepada
pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan
keyakinannya. Agama Islam tidak memaksakan pemeluk agama lain
meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam. Hal ini dengan
jelas disebutkan dalam QS. al-Baqarah/2: 256:

Pendidikan Agama Islam


90 Hukum Islam

              
           
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
2. Memelihara jiwa.
Dalam Islam, jiwa harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam
wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya
menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang
dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan
hidupnya. Manusia tanpa jiwa tidak ada artinya. Oleh karenanya,
orang yang menghilangkan jiwa seseorang akan diberikan sangsi yang
setimpal.
3. Memelihara akal
Seseorang wajib memelihara akalnya, karena akal mempunyai
peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan
akalnya manusia dapat memahami wahyu Allah baik yang terdapat
dalam kitab suci maupun wahyu Allah yang terdapat dalam alam
(ayat-ayat kauniyah). Dengan akalnya, manusia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak
akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa
mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena itu, pemeliharaan akal
merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu hukum Islam
melarang orang meminum minuman yang memabukkan yang disebut
dengan istilah “khamar” dan memberi hukuman pada perbuatan
orang yang merusak akal. Larangan minum khamar ini dengan jelas
disebutkan dalam QS. al-Māidah/5: 90:
          
   
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 91
4. Memelihara keturunan
Memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Untuk
itu dalam hukum Islam untuk meneruskan keturunan harus melalui
perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam
al-Qur’an dan Sunnah dan dilarang melakukan perbuatan zina.
Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan Islam yang ada dalam al-
Qur’an merupakan hukum yang erat kaitannya dengan pemurnian
keturunan dan pemeliharaan keturunan. Dalam al-Qur’an hukum-
hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan
disebutkan secara tegas dan rinci, misalnya larangan-larangan
perkawinan yang terdapat dalam QS. an-Nisā’/4: 23 dan larangan
berzina dalam QS. al-Isrā’/1: 32:
        
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
5. Memelihara harta
Menurut hukum Islam harta merupakan pemberian Allah
kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya,
untuk itu manusia sebagai khalifah Allah di bumi (makhluk yang
diberi amanah Allah untuk mengelola alam ini sesuai kemampuan
yang dimilikinya) dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan
cara-cara yang halal artinya sah menurut hukum dan benar menurut
ukuran moral. Pada prinsipnya hukum Islam tidak mengakui hak
milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak, karena kepemilikan
atas suatu benda hanya ada pada Allah, namun karena diperlukan
adanya kepastian hukum dalam masyarakat, untuk menjamin
kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak milik seseorang atas
suatu benda diakui dengan pengertian bahwa hak milik itu harus
diperoleh secara halal dan berfungsi sosial (Anwar Harjono, 1968:
140).
F. Sumber Hukum Islam
Hukum Islam ditetapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi
keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang
bersifat primer, sekunder maupun tertier. Oleh karena itu, apabila
seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
Allah, maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun di
akhirat kelak.
Pendidikan Agama Islam
92 Hukum Islam
Al-Qur’an Surah an-Nisā’ ayat 59 menyebutkan bahwa, setiap
muslim wajib menaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah,
kehendak Rasul dan kehendak “ulil amri” yakni orang yang
mempunyai kekuasaan atau penguasa:
           
             
    
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut kini tertulis
dalam al-Qur’an, kehendak Rasulullah sekarang terhimpun dalam
kitab-kitab hadis, kehendak penguasa sekarang termaktub dalam
kitab-kitab fiqih. Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah
orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena
“kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran)
hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni al-Qur’an dan dari
kitab-kitab hadis yang memuat sunnah Nabi Muhammad. Yang
ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tersebut kemudian dirumuskan
dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah
seorang sahabatnya, Mu’az bin Jabal yang akan ditugaskan untuk
menjadi Gubernur di Yaman. Sebelum Mu’az bin Jabal berangkat ke
Yaman, Nabi Muhammad menguji dengan menanyakan bagaimana ia
memutuskan jika dihadapkan kepadanya satu perkara. Pertanyaan itu
dijawab oleh Mu’az bin Jabal bahwa dia akan memutuskan dengan al-
Qur’an, dan jika tidak ia temukan dalam al-Qur’an maka ia akan
memutus dengan Sunnah Rasul, kemudian jika tidak menemukannya
dalam sunnah Rasul ia akan berijtihad dengan pikirannya. Nabipun
sangat senang atas jawaban Mu’az itu dan berkata: “Aku bersyukur
kepada Allah yang telah menuntun utusan Rasul-Nya (H.M. Rasjidi,
1980: 456).”
Dari hadis yang dikemukakan, para ulama menyimpulkan
bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yakni al-Qur’an, as-Sunnah dan
akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal
pikiran ini dalam kepustakaan hukum Islam diistilahkan dengan “al-
ra’yu”, yakni pendapat orang atau orang-orang yang memenuhi syarat
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 93
untuk menentukan nilai dan norma pengukur tingkah laku manusia
dalam segala hidup dan kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan
rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. Al-
Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam,
sedangkan “al-ra’yu” merupakan sumber tambahan atau sumber
pengetahuan.
G. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan
Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum di Indonesia nampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum
Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional,
oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslimin dengan menaati dan melaksanakan hukum
Islam. Kecenderungan ini oleh Pendidikan Agama Islam yang setelah
tahun enam puluhan diwajibkan di sekolah-sekolah di bawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi).
Perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pula oleh sikap
pemerintah terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar
pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya dalam program Keluarga
Berencana dan program-program lainnya.
Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam
terkemuka di Indonesia seperti Hazairin dan Hasbi as-Shiddiqie,
mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hukum
Islam bidang mu’amalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki
fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia (1962). Syafrudin
Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan
“system” ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam. Gagasan
ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip
hukum Islam dalam pinjam-meminjam, jual-beli, sewa-menyewa dan
sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan
yang berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan dibuatnya
beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
Pendidikan Agama Islam
94 Hukum Islam
hukum Islam, misalnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat; dan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang sudah dikemukakan jelas makin lama
makin besar kontribusi umat Islam di Indonesia dalam perumusan
dan penegakan hukum di Indonesia.
Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum
Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus
melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah. Apabila Islam
sudah memasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, ‘’law enforcemen” dalam penegakan hukum Islam
dengan hukum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi; Di dalam
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan
mengeluarkan pendapat atau kebebasan berpikir wajib ada.
Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk
mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik
dari segi pemahaman maupun dalam segi pengembangannya.
Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa umat Islam mempunyai
kewajiban untuk menaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya
kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas
diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.
H. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang
lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas.
Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lain, dalam masyarakat, manusia
dengan benda dan manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam al-
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah
pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta
larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi
manusia. Bagi setiap orang ada kewajiban untuk menaati hukum yang
terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Peranan hukum Islam dalam
kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, namun dalam
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 95
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja,
yakni:
1. Fungsi ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk
beribadah kepada Allah swt. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang
harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah
yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
2 Fungsi amar ma’ruf nahi munkar. Hukum Islam sebagai hukum
yang ditujukan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia, jelas
dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai
contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan
adanya keterkaitan penetap hukum (Allah) dengan subyek dan obyek
hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah
mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses
pengharamannya. Riba dan khamar tidak diharamkan secara
sekaligus, tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang
terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan
dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
menyadari bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan
secara sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Belajar
dari episode pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa
hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya
menimpa pelakunya. Namun, secara tidak langsung, lingkungan pun
ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami
fungsi kontrol sosial yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba
dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari
fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan
kemaslahatan dan menghindarkan “kemudharatan” baik di dunia
maupun di akhirat.
3. Fungsi zawājir. Fungsi ini terlihat dalam pengharaman
membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukuman
atau sanksi hukum. Qisas dan diyat diterapkan untuk tindak pidana
terhadap jiwa/badan; hudūd untuk tindak pidana tertentu (pencurian,
perzinaan, qazaf, hirabah, dan riddah); dan ta’zīr untuk tindak pidana
selain kedua macam tidak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta
perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum ini dapat dinamakan
dengan zawājir.
4. Fungsi tandzīm wa ishlāh al-ummah. Fungsi hukum Islam
Pendidikan Agama Islam
96 Hukum Islam
selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin
dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman dan sejahtera. Dalam hal-hal
tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan
mendetail. Namun juga ada hal yang tidak rinci, seperti masalah
muamalah yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini
hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap
memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai
dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan tandzīm wa ishlāh al-ummah
(Ibrahim Hosen, 1996: 90).
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah
begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain
saling terkait.
I. Rangkuman
1. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam atau yang ditetapkan oleh Allah melalui
wahyu-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi
Muhammad saw melalui Sunnahnya yang memuat seperangkat aturan
(norma) yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyatakat maupun yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa.
2. Hukum Islam dibagi kedalam dua bagian, yakni bidang ibadah
dan bidang muamalah.
3. Tujuan hukum Islam adalah untuk mencegah kerusakan pada
manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka; mengarahkan
mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan
mencegah atau menolak yang mudharat.
4. Tujuan hukum Islam menurut Abu Ishak al-Syatibi ada lima,
yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
5. Sumber hukum Islam ada tiga yaitu: al-Qur’an, as-Sunnah, dan
al-Ra’yu.
6. Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
diantaranya adalah: fungsi ibadah, amar ma’ruf nahi munkar, zawajir,
dan tandzim wa ishlah al-ummah.

Pendidikan Agama Islam


Hukum Islam 97
J. Pertanyaan
1. Jelaskan perbedaan antara syariat Islam dengan fikih Islam!
2. Jelaskan sifat hukum Islam!
3. Jelaskan ruang lingkup hukum Islam!
4. Apa tujuan hukum Islam? Terangkan!
5. Kemukakan dasar hukum Islam yang menyebutkan bahwa
sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu!
6. Jelaskan upaya apa yang harus dilakukan untuk menegakkan
hukum Islam di Indonesia?
7. Jelaskan fungsi-fungsi hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat!

Pendidikan Agama Islam


98 Hukum Islam

Pendidikan Agama Islam


BAB VI
HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM
A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk Tuhan secara kodrati dianugerahi
hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan
lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan
diri pribadi, peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup
manusia. Hak asasi manusia (HAM) sebagai suatu hak dasar yang
melekat pada diri tiap manusia.
Bab ini berisi tentang: Sejarah hak asasi manusia; Perbedaan
prinsip antara konsep hak asasi manusia dalam pandangan Islam dan
pandangan barat; Bab ini juga berisi tentang rumusan prinsip-prinsip
hak asasi manusia dalam Islam.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Memahami dan
menjelaskan hak asasi manusia menurut ajaran Islam; Menjelaskan
perbedaan prinsip antara konsep HAM dalam pandangan Islam dan
Barat.
B. Sejarah Hak Asasi Manusia
Menurut Jan Materson dari komisi Hak Asasi Manusia PBB,
Pendidikan Agama Islam 99
100 Hak Asasi Manusia dalam Islam
Hak Asasi manusia ialah hak-hak yang melekat pada manusia, yang
tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Menurut Baharuddin Lopa, kalimat “mustahil dapat hidup sebagai
manusia” hendaklah diartikan “mustahil dapat hidup sebagai manusia
yang bertanggungjawab.” Alasan penambahan istilah
bertanggungjawab ialah di samping manusia memiliki hak, juga
memiliki tanggungjawab atas segala yang dilakukannya. Hak-hak asasi
manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang
maha pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karena itu, tidak
ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya.
Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan hak-haknya dapat
berbuat semaunya, sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang
dapat dikategorikan merampas hak asasi orang lain, maka ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya (Baharuddin Lopa, 1996: 1)
Dilihat dari segi sejarahnya, umumnya para pakar di Eropa
berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna
Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain
mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut
(raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada
hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai
pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari sinilah lahir doktrin
raja tidak kebal hukum lagi, dan mulai bertanggungjawab kepada
hukum. Sejak saat itu mulai dipraktikkan ketentuan bahwa jika raja
melanggar hukum harus diadili dan harus dipertanggungjawabkan
kebijakannya kepada parlemen. Dengan demikian saat itu mulai
dinyatakan bahwa raja terikat pada hukum dan bertanggungjawab
kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada
saat itu lebih banyak berada di tangannya. Dengan demikian
kekuasaan raja mulai dibatasi dan kondisi ini merupakan embrio bagi
lahirnya monarki konstitusional yang berintikan kekuasaan raja hanya
sebagai simbol belaka.
Lahirnya Magna Charta diikuti dengan lahirnya Bill of Rights di
Inggris pada tahun 1689. Pada saat itu mulai ada adagium yang
berintikan bahwa manusia sama di muka hukum. Adagium ini
memperkuat dorongan timbulnya demokrasi dan negara hukum.
Pada prinspnya Bill of Rights ini melahirkan persamaan.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai munculnya The American
Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan
Montesquieu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir pula The French
Declaration, di mana hak-hak lebih rinci lahir yang kemudian
melahirkan The Rule of Law.
Pendidikan Agama Islam
Hak Asasi Manusia dalam Islam 101
Dalam The French Declaration antara lain disebutkan tidak boleh
ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk
penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat
perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di samping itu
dinyatakan juga adanya presumption of innocence, artinya orang-orang
yang ditangkap, kemudian dituduh dan ditahan, berhak dinyatakan
tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dalam deklarasi ini juga
dipertegas adanya freedom of expression, freedom of religion, the right of
property dan hak-hak dasar lainnya. Semua hak-hak yang ada dalam
berbagai instrumen HAM tersebut kemudian dijadikan dasar
pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal,
yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human
Rights yang disahkan oleh PBB pada tahun 1948.
C. Perbedaan Prinsip antara Konsep Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Islam dan Barat
Ada perbedaan prinsip antara HAM dilihat dari sudut
pandangan Barat dan Islam. HAM menurut pemikiran Barat semata-
mata bersifat antroposentris, artinya, segala sesuatu berpusat kepada
manusia. Dengan demikian, manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya,
hak-hak asasi manusia ditilik dari sudut pandangan Islam bersifat
teosentris, artinya, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan
demikian Tuhan sangat dipentingkan. Dalam hubungan ini, A.K.
Brohi menyatakan: “Berbeda dengan pendekatan Barat, strategi Islam
sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan
kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari
kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran dan jiwa
penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat
teosentris.
Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa
manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu, maka di dalam
Islam melalui firman-Nya, Allahlah yang menjadi tolok ukur segala
sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi
kepada-Nya. Di sinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-
hak asasi manusia menurut pola pemikiran Barat dengan hak-hak
asasi menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam
adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam
yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat yakni pengakuan tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah
setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik,
Pendidikan Agama Islam
102 Hak Asasi Manusia dalam Islam
menurut isi keyakinannya itu (Mohammad Daud Ali, 1985: 304).
Dari uraian tersebut di atas, sepintas lalu tampak bahwa
seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi.
Dalam konsep ini seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban
atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hukumnya.
Namun, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan
kemerdekaannya menurut ajaran Islam. Manusia mengakui hak-hak
dari manusia lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajiban yang
dibebankan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah (A.K. Brohi,
1982: 204). Oleh karena itu, hak asasi manusia dalam Islam tidak
semata-mata menekankan kepada hak asasi manusia saja, akan tetapi
hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi
kepada Allah sebagai penciptanya.
Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban tersebut telah
disampaikan kepada umat manusia semenjak manusia itu ada.
Diutusnya manusia pertama (Adam) ke dunia diindikasikan bahwa
Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia. Kemudian ketika
umat manusia menjadi lupa akan petunjuk tersebut Allah mengutus
Nabi dan Rasulnya untuk mengingatkan mereka akan keberadaannya.
Nabi Muhammas saw diutus bagi umat manusia sebagai Nabi
terakhir untuk menyampaikan dan memberikan teladan kehidupan
yang sempurna kepada umat manusia seluruh zaman sesuai dengan
jalan Allah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa menurut pandangan
Islam, konsep HAM bukanlah hasil evolusi dari pemikiran manusia,
namun merupakan hasil dari wahyu ilahi yang telah diturunkan
melalui para Nabi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi umat
manusia di atas bumi.
Manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi kepada
Allah (QS. az-Zāriyāt/51: 56). Oleh karena itu manusia mempunyai
kewajiban mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia dapat
dibagi ke dalam dua kategori, yaitu huqūqullah dan huqūqul ‘ibād.
Huqūqullāh (hak-hak Allah) adalah kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Allah swt yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah,
sedangkan huqūqul ‘ibād (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-
kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-
makhluk Allah yang lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-
hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, karena
hak-hak Allah bersesuaian dengan hak-hak makhluknya (Syaukat
Hussain, 1996: 54).
Aspek khas dalam konsep HAM Islami adalah tidak adanya
Pendidikan Agama Islam
Hak Asasi Manusia dalam Islam 103
orang lain yang dapat memanfaatkan pelanggaran hak-hak jika
pelanggaran itu terjadi atas seseorang yang harus dipenuhi haknya.
Bahkan suatu negara Islam pun tidak dapat memanfaatkan
pelanggaran hak-hak yang dimiliki oleh seseorang. Negara harus
terikat memberi dukungan kepada pelanggar HAM dan memberi
bantuan kepada pihak yang dilanggar HAM-nya, kecuali pihak yang
dilanggar HAMnya telah memanfaatkan pelanggar HAM tersebut.
D. Rumusan Hak Asasi Manusia dalam Islam
Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum dan pedoman
hidup telah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi
Manusia. Al-Qur’an dan as-Sunnah telah meletakkan dasar-dasar
HAM jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada
masyarakat dunia. Ini dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam al-Qur’an antara lain: 80 ayat berbicara tentang hidup,
pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan; 150 ayat
berbicara tentang ciptaan dan makhluk-makhluk serta tentang
persamaan dalam penciptaan; 320 ayat berbicara tentang sikap
menentang kezaliman dan orang-orang yang berbuat zalim; 50 ayat
memerintahkan berbuat adil diungkapkan dengan kata: ‘adl dan qisth;
10 ayat yang berbicara mengenai larangan memaksa untuk menjamin
kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi; dan dan
lain sebagainya.
Hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah, antara lain:
1. Hak hidup
Allah menjamin kehidupan di antaranya dengan melarang
pembunuhan dan meng-qishash pembunuh. QS. al-Māidah/5: 32
menyebutkan:
             
          
           
    
“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,

Pendidikan Agama Islam


104 Hak Asasi Manusia dalam Islam
maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah
datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-
keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
2. Hak kebebasan beragama
Prinsip kebebasan beragama ini dengan jelas disebutkan dalam
QS. al-Baqarah/2: 256:
              
            
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka sungguh ia telah
berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah maha
mendengar lagi maha mengetahui.”
Prinsip ini mengandung makna bahwa manusia sepenuhnya
mempunyai kebebasan untuk menganut suatu keyakinan atau akidah
agama yang disenanginya. Ayat lain yang berkenaan dengan prinsip
kebebasan beragama terdapat dalam QS. Qāf/50: 45:
             
 
“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-
kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah
dengan al Quran orang yang takut dengan ancaman-Ku.”
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam
sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama.
3. Hak bekerja dan mendapatkan upah
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga
kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi
saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang
daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR.
Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat
dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya."
(HR. Ibnu Majah).
Pendidikan Agama Islam
Hak Asasi Manusia dalam Islam 105
4. Hak persamaan
Pada dasarnya semua manusia sama, karena semuanya adalah
hamba Allah. Hanya satu kriteria (ukuran) yang dapat membuat
seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yakni ketakwaannya
QS. al-Hujurāt/49: 13:
           
          
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
5. Hak kebebasan berpendapat
Islam memerintahkan kepada manusia agar berani
menggunakan akal pikiran mereka terutama untyuk menyatakan
pendapat mereka yang benar. Perintah ini secara khusus ditunjukkan
kepada manusia yang beriman agar berani menyatakan kebenaran
dengan cara yang benar pula. Ajaran Islam sangat menghargai akal
pikiran. Oleh karena itu, setiap manusia sesuai dengan martabat dan
fitrahnya sebagai makhluk yang berpikir mempunyai hak untuk
menyatakan pendapatnya dengan bebas, asal tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam QS. Ali Imrān/3: 104 disebutkan:
           
   
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Katakanlah yang benar sekalipun
itu pahit (berat).” HR. Ibn Hibban.
6. Hak atas jaminan sosial.
Dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjamin
tingkat dan kualitas hidup bagi seluruh manusia. Antara lain tentang
kehidupan fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat terutama
oleh mereka yang berpunya (QS. az-Zāriyāt/51: 19:
Pendidikan Agama Islam
106 Hak Asasi Manusia dalam Islam

     


“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian [tidak meminta].”
Dan QS. al-Ma’ārij/70: 24); “Kekayaan tidak boleh dinikmati dan
hanya berputar di antara orang-orang kaya saja” (QS. al-
Humazah/104: 2); “Jaminan sosial itu harus diberikan, sekurang-
kurangnya kepada mereka yang disebut dalam al-Qur’an sebagai
pihak-pihak yang berhak atas jaminan sosial“; (QS. al-Baqarah/2:
273; QS. at-Taubah/9: 60 dan lain-lain). Dalam al-Qur’an juga
disebutkan dengan jelas perintah bagi umat Islam untuk menunaikan
zakat kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Tujuan zakat itu
antara lain adalah untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan
pemerataan pendapatan bagi setiap anggota masyarakat.
7. Hak atas harta benda.
Dalam ajaran Islam hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi.
Sesuai dengan harkat dan martabat, jaminan dan perlindungan
terhadap milik seseorang merupakan kewajiban penguasa. Oleh
karena itu, siapapun juga bahkan penguasa sekalipun, tidak
diperbolehkan merampas hak milik orang lain, kecuali untuk
kepentingan umum, menurut tata cara yang telah ditentukan lebih
dahulu (Mohammad Daud Ali, 1985: 316).
Dalam rangka memperingati abad ke-15 H., pada tanggal 21
Dzulkaidah atau 19 September 1981 para ahli hukum Islam
mengemukakan “Universal Islamic Declaration of Human Rights” yang
diangkat dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
Pernyataan HAM menurut ajaran Islam ini terdiri 23 Bab dan 63
pasal yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
Beberapa hal pokok yang disebutkan dalam deklarasi tersebut antara
lain adalah: (1) hak untuk hidup; (2) hak untuk mendapatkan
kebebasan; (3) hak atas persamaan kedudukan; (4) hak untuk
mendapatkan keadilan; (5) hak untuk mendapatkan perlindungan
terhadap penyalahgunaan kekuasaan; (6) hak untuk mendapat
perlindungan dari penyiksaan; (7) hak untuk mendapatkan
perlindungan atas kehormatan dan nama baik; (8) hak untuk bebas
berpikir dan berbicara; (9) hak untuk bebas memilih agama; (10) hak
untuk bebas berkumpul dan berorganisasi; (11) hak untuk mengatur
tata kehidupan ekonomi; (12) hak atas jaminan sosial; (13) hak untuk
bebas mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya; (14) hak-hak bagi wanita dalam kehidupan rumah tangga;
Pendidikan Agama Islam
Hak Asasi Manusia dalam Islam 107
(15) hak untuk mendapatkan pendidikan, dan sebagainya.
E. Rangkuman
1. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia
yang diberikan langsung oleh Tuhan yang maha pencipta.
2. Perbedaan prinsipil antara konsep HAM dalam pandangan
Barat dan Islam adalah bahwa HAM menurut Barat bersifat
antroposentris artinya segala sesuatu berpusat pada manusia,
sedangkan HAM dalam Islam bersifat teosentris artinya segala
sesuatu berpusat pada Tuhan.
3. Beberapa rumusan HAM yang terdapat dalam al-Qur,an dan
as-Sunnah diantaranya: hak hidup, hak kebebasan beragama, hak
bekerja dan mendapatkan upah, hak persamaan, hak kebebasan
berpendapat, hak atas jaminan sosial, dan hak atas harta benda.
F. Pertanyaan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia dalam
pandangan Islam?
2. Jelaskan sejarah lahirnya hak asasi manusia dan
perkembangannya!
3. Jelaskan perbedaan prinsipil antara konsep hak asasi manusia
dalam pandangan Barat dan hak asasi manusia dalam pandangan
Islam!
4. Jelaskan rumusan hak asasi manusia dalam Islam!

Pendidikan Agama Islam


108 Hak Asasi Manusia dalam Islam

Pendidikan Agama Islam


BAB VII
ETIKA MORAL DAN AKHLAK
A. Pendahuluan
Kesuksesan suatu bangsa mencapai tujuan hidupnya tergantung
atas komitmen tidaknya bangsa itu terhadap nilai-nilai akhlak. Jika ia
komitmen terhadap akhlak maka bangsa itu akan sukses, dan
sebaliknya jika ia mengabaikan akhlak maka bangsa itu pun akan
hancur. Itulah sebabnya misi utama Rasulullah adalah perbaikan
akhlak, penyempurnaan budi pekerti yang mulia (al-akhlak al-
karimah). Dan Rasulullah sendiri adalah prototipe manusia yang
berakhlak sempurna. Allah mengabadikannya dalam QS. al-
Qalam/68: 4:
   
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Berdasar atas ayat itu, para sufi menyebut Nabi Muhammad
sebagai al-Ihsān al-Kāmil, prototipe manusia sempurna sejak Adam
hingga manusia akhir zaman.
Kita sebagai umat Rasulullah wajib menjadikan beliau sebagai

Pendidikan Agama Islam 109


110 Etika, Moral dan Akhlak
uswah hasanah (teladan yang baik) dalam segala segi kehidupan
sebagaimana firman Allah Dalam QS. al-Ahzab/33: 21:
             
  
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Menjadikan Rasul sebagai uswah hasanah dalam segala aspek
kehidupannya itulah yang dimaksud ber-Islam secara kaffah (total).
Bab ini menjelaskan tentang: Urgensi akhlak; Pengertian dan
konsep etika, moral dan akhlak. Bab ini juga menjelaskan tentang apa
hubungan tasawwuf dengan akhlak; Serta menjelaskan tentang apa
indikator manusia berakhlak; Dan bagaimana akhlak dan
aktualisasinya dalam kehidupan.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Menjelaskan
perbedaan etika moral dan akhlak; Menjelaskan hubungan tasawuf
dan akhlak serta peran tasawuf dalam pembentukan akhlak al-
karimah; Menerangkan keseimbangan akhlak terhadap Khalik,
makhluk dan alam secara luas; Mengimplementasikan akhlak dalam
kehidupan; Dan mampu mengubah kebiasaan buruk menjadi baik.
B. Urgensi Akhlak
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi majunya sebuah bangsa
karena akhlak, dan hancurnya sebuah bangsa juga karena akhlak.
Sukses tidaknya suatu bangsa mencapai tujuan hidupnya tergantung
atas istiqamah tidaknya bangsa itu terhadap nilai-nilai akhlak. Jika ia
istiqamah terhadap akhlak yang baik, maka bangsa itu akan sukses,
dan sebaliknya jika ia mengabaikan akhlak maka bangsa itu pun akan
hancur.
Salah satu misi utama Rasulullah saw diutus adalah untuk
perbaikan akhlak, penyempurnaan budi pekerti yang mulia (al-akhlāq
al-karīmah) seperti yang disebut dalam hadits Rasulullah yang sangat
masyhur:
‫ق‬
ِ ‫إِﻧﱠﻤَﺎ ﺑﻌﺜﺖ ِﻷﺗَ ﱢﻤ َﻢ َﻣ َﻜﺎ ِر َم ْاﻷَﺧْ َﻼ‬
“Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.”
Hadits tersebut mengandung beberapa makna, di antaranya:
diutusnya Nabi saw adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak
manusia yang sebelumnya belum sempurna, dan dari hadits ini dapat
Pendidikan Agama Islam
Etika, Moral dan Akhlak 111
dipahami bahwa inti dari ajaran Islam sesungguhnya adalah
kemuliaan akhlak. Pernah istri Rasulullah saw, Aisyah ditanya
bagaimana akhlak Rasul Muhammad? Aisyah menjawab “akhlāquhu
al-Qur’ān.”
Jika manusia mau bersikap dan berperilaku dengan akhlak yang
mulia dan sempurna maka ia harus berpedoman pada al-Qur’an,
sedang yang paling mengerti tentang pengamalan al-Qur’an adalah
Nabi saw sendiri. Rasulullah Muhammad saw adalah prototipe
manusia yang berakhlak sempurna. Allah mengabadikannya dalam
QS. al-Qalam/68: 4:
   
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Berdasar atas ayat itu, para sufi menyebut Nabi Muhammad
sebagai al-insān al-kāmil, prototipe manusia sempurna sejak Adam
hingga manusia akhir zaman.
Kita sebagai umat Rasulullah saw wajib menjadikan beliau
sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) dalam segala segi
kehidupan sebagaimana firman Allah Dalam QS. al-Ahzāb/33: 21:
             
  
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Menjadikan Rasul sebagai uswatun hasanah dalam segala aspek
kehidupannya itulah yang dimaksud ber-Islam secara kaffah (total).
C. Konsep Etika, Moral dan Akhlak
Kata etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethos
yang berarti kebiasaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati di
mana seseorang melakukan perbuatan. Menurut Austan Fagothey
dalam “Right and Reason, Ethics in Theory and Practice”: “Ethics is the
practical normative science of the rightness and wrongness of human conduct as
known by natural reason” (Etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang
praktis mengenai kelakuan benar dan salah manusia yang dimengerti
oleh akal murni). Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu filsafat,
maka yang dijadikan tolok ukur tentang baik dan buruk adalah akal
manusia.
Pendidikan Agama Islam
112 Etika, Moral dan Akhlak
Moral berasal dari bahasa Latin, mos jamaknya mores artinya
kebiasaan. Dalam ensiklopedi umum moral berarti kehidupan yang
benar dan baik, pengesahan dan penerimaan secara umum tentang
dasar tingkah laku. Moral secara umum lebih dikaitkan pada kelakuan
lahir manusia. Moral juga selalu dikaitkan dengan ajaran baik dan
buruk yang diterima oleh masyarakat. Karenanya, tolok ukur yang
dijadikan standar dalam penentuan moral adalah adat istiadat atau
tradisi masyarakat.
Akhlak berasal dari bahasa Arab. Akhlāq adalah jamak dari kata
khuluq yang berarti perangai, budi pekerti. Menurut Imam al-Ghazali,
khuluq (perangai) adalah suati sifat yang tetap pada jiwa yang dari
padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
membutuhkan pertimbangan pemikiran. Sementara Ahmad Amin
dalam bukunya al-Akhlāq, mengartikan khuluq dengan membiasakan
kehendak. Akhlak merupakan perilaku yang dibangun berbasis hati
nurani. Meski ada yang mengklasifikasinnya menjadi akhlak mulia dan
akhlak tercela tetapi pada lazimnya akhlak adalah sebutan bagi
perilaku terpuji yang berakar dari iman. Malah dasar pijakan (tolok
ukur) akhlak adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga perilaku yang
tidak didasari oleh kedua sumber ini tidak bisa dijamin sebagai akhlak
mulia.
Dari ketiga terminologi tersebut di atas (etika, moral, dan
akhlak), dapat ditemukan persamaan dan perbedaan antara ketiga
istilah tersebut. Persamaannya adalah bahwa baik etika, moral, dan
akhlak sama-sama membicarakan obyek yang sama yaitu tentang
perilaku (perangai) baik dan buruk dalam perikehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam dalam
arti luas. Adapun perbedaan prinsipil antara ketiganya terdapat pada:
- Sumber yang dijadikan sebagai pijakan (tolok ukur). Etika
bersumber pada akal (filsafat), moral pada adat istiadat (tradisi
masyarakat) sedangkan akhlak bersumber pada al-Qur’an dan as-
sunnah.
- Etika dan moral bersifat relatif dan temporer sedangkan akhlak
bersifat absolut (mutlak) dan universal.
Berbicara mengenai akhlak berarti berbicara tentang konsep al-
husn (baik) dan al-qubh (buruk). Menurut Mu’tazilah al-husn adalah
sesuatu yang menurut akal bernilai baik dan al-qubh adalah sesuatu
yang menurut akal bernilai buruk. Bagi Mu’tazilah baik dan buruk itu
ukurannya adalah akal manusia. Berbeda dengan mu’tazilah,
Ahlussunnah berpendapat bahwa yang dapat menentukan baik dan
buruk bukan akal tetapi wahyu. Al-husn adalah sesuatu yang menurut
Pendidikan Agama Islam
Etika, Moral dan Akhlak 113
al-Qur’an dan as-Sunnah adalah baik dan al-qubh adalah sesuatu yang
menurut al-Qur’an dan as-Sunnah adalah buruk.
Secara terminologis akhlak adalah ilmu yang menentukan batas
antara yang baik dan yang buruk, terpuji atau tercela, menyangkut
perkataan dan perbuatan manusia lahir batin.
Secara rinci kajian akhlak itu meliputi :
a. Pengertian baik dan buruk.
b. Menerangkan apa yang harus dilakukan oleh seorang manusia
terhadap manusia lainnya.
c. Menjelaskan tujuan yang seharusnya dicapai oleh manusia dengan
perbuatan-perbuatannya.
d. Menerangkan jalan yang harus dilalui untuk berbuat.
Menurut Ibnu Miskawaih akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat Imam al-Gazali seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Lebih dalam penjelasan al-Gazali dengan mengatakan bahwa akhlak
adalah cerminan hati.
Dari definisi termaktub di atas menggambarkan bahwa akhlak
secara substansial adalah sifat hati/kondisi hati (bisa baik dan bisa
buruk) yang tercermin dalam prilaku. Jika sifat hatinya baik maka
yang muncul adalah akhlak yang baik (al-akhlāq al-karīmah) dan jika
sifat hatinya busuk maka yang keluar dalam prilakunya adalah akhlak
yang buruk (al-akhlāq al-mazmūmah). Kemudian muncul pertanyaan,
apa yang menyebabkan hati manusia kotor dan jelek, dan apa pula
yang menyebabkan hati manusia bersih dan baik?
Menurut Ibnu Arabi, hati manusia bisa jelek dan rusak juga bisa
baik dan suci adalah faktor dirinya. Di dalam diri manusia ada tiga
nafsu; (1) nafsu “syahwaniyyah” (nafsu ini ada pada manusia dan ada
pula pada binatang yaitu nafsu yang cenderung kepada kelezatan
misal makanan, minuman dan syahwat jasmaniyyah). Kalau nafsu ini tak
dikendalikan maka manusia tak ada bedanya dengan binatang, sikap
hidupnya menjadi hedonisme; (2) nafsu “al-ghadabiyyah”, nafsu ini juga
ada pada manusia dan ada pada binatang yaitu nafsu yang cenderung
kepada marah, merusak, ambisi dan senang menguasai dan
mengalahkan yang lain. Nafsu ini lebih kuat ketimbang nafsu
“syahwaniyyah” dan lebih berbahaya bagi pemiliknya jika tak
dikendalikan. Ia cenderung pemarah, sangat “hiqdu” (dengki), tergesa-
gesa (tidak tenang), cepat bertindak untuk menaklukkan musuhnya
tanpa pertimbangan matang dan rasional; Dan (3) “al-nafsu an-
nāthiqah” yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan binatang
Pendidikan Agama Islam
114 Etika, Moral dan Akhlak
(hewan yang lainnya). Nafsu yang dengan nafsu ini manusia mampu
berzikir, mengambil hikmah, memahami fenomena alam, dan dengan
nafsu manusia menjadi agung, besar cita-citanya, kagum terhadap
dirinya sehingga bersyukur kepada Tuhannya. Nafsu ini menjadikan
manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk dan
dengan nafsu ini pula manusia dapat mengendalikan kedua nafsu
yang tadi yakni “asy-syahwaniyyah” dan “al-ghadabiyyah”. “An-nāthiqah”
ini akan berkembang positif bahkan dapat mengendalikan kedua
nafsu yang lainnya yaitu dengan mempelajari ilmu akhlak, hikmah dan
menahan diri dari keburukan dan “fakhisyah” mengatur kehidupan
dan penghidupannya secara baik, menjaga harga diri dan “murū’ah”.
Suci dan tidaknya hati manusia tergantung nafsu mana yang paling
dominan dalam hatinya, jika nafsu yang pertama dan yang kedua
(syahwaniyyah dan gadhabiyyah) yang mendominasi dirinya maka yang
muncul adalah akhlak yang buruk (al-akhlāq al-mazmūmah). Tetapi jika
nafsu yang ketiga yaitu “al-nafs al-nāthiqah” yang paling mendominasi
hatinya maka akhlak “al-karīmah”lah yang akan muncul dari dirinya.
Adapun moral adalah ajaran baik dan buruk yang ukurannya
adalah tradisi yang berlaku di suatu masyarakat. Seseorang dianggap
bermoral kalau sikap hidupnya sesuai dengan tradisi yang berlaku di
masyarakat tempat ia berada, dan sebaliknya seseorang dianggap tidak
bermoral jika sikap hidupnya tidak sesuai dengan tradisi yang berlaku
di masyarakat tersebut. Dan memang menurut ajaran Islam pada
asalnya manusia adalah makhluk yang bermoral dan etis. Dalam arti
mempunyai potensi untuk menjadi makhluk yang bermoral yang
hidupnya penuh dengan nilai-nilai atau norma-norma.
Betapa penting kedudukan akhlak dalam Islam, al-Qur’an
bukan hanya memuat ayat-ayat yang secara spesifik berbicara masalah
akhlak, bahkan setiap ayat yang berbicara hukum sekalipun, dapat
dipastikan bahwa ujung ayat tersebut selalu dikaitkan dengan akhlak
atau ajaran moral. Ayat-ayat yang pangkalnya menjelaskan ketentuan
hukum, biasanya ujung ayat mengutarakan masalah akhlak. Sebagai
contoh dalam QS. al-Baqarah/2: 183 Allah berfirman:
          
  
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Bertaqwa artinya melakukan perbuatan-perbuatan baik dan
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat. Hadis-hadis Nabi juga
Pendidikan Agama Islam
Etika, Moral dan Akhlak 115
mengaitkan puasa dengan perbuatan-perbuatan tidak baik (al-akhlāq
al-mazmūmah). Salah satu hadis menyebutkan: “Orang yang tidak
meninggalkan kata-kata bohong dan senantiasa berdusta tidak ada faedahnya
ia menahan diri dari makan dan minum” (H.R. Tirmizi).
Jadi puasa yang tidak menjauhkan manusia dari ucapan dan
perbuatan yang jelek maka tidak ada gunanya. Orang yang demikian
tidak perlu menahan diri dari makan dan minum, karena puasanya tak
berguna.
Hadis lain menyatakan yang Artinya: “Puasa bukanlah menahan
diri dari makan dan minum, tetapi puasa adalah menahan diri dari kata sia-sia
dan kata-kata tak sopan; Jika kamu dicaci atau tidak dihargai katakanlah:
“Aku berpuasa”.
Dengan demikian, berpuasa bukanlah menahan diri dari makan
dan minum, tetapi menahan diri dari ucapan-ucapan dan perbuatan-
perbuatan yang tidak baik dan kotor.
Contoh lain, mengenai haji sebagaimana disebutkan dalam QS.
al-Baqarah/2: 197 :
            
              
    
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Ayat di atas begitu jelas menerangkan bahwa sewaktu
mengerjakan haji, orang tidak boleh mengeluarkan ucapan-ucapan
tidak senonoh, tidak boleh berbuat hal-hal yang tidak baik dan tidak
boleh bertengkar.
Demikian juga ayat tentang shalat, zakat, dan ayat-ayat
mu’amalah lainnya, selalu dikaitkan dengan pesan-pesan perbaikan
akhlak dan moral.
D. Hubungan Tasawwuf dengan Akhlak
Tasawwuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan (Allah)
dengan cara mensucikan hati (tashfiat al-qalbi). Hati yang suci bukan
hanya bisa dekat dengan Tuhan malah dapat melihat Tuhan (al-
Pendidikan Agama Islam
116 Etika, Moral dan Akhlak
ma’rifah). Dalam tasawwuf disebutkan bahwa Tuhan yang maha suci
tidak didekati kecuali oleh hati yang suci. Menurut Zun Nun al-Misri,
ada tiga macam pengetahuan tengang Tuhan:
1. Pengetahuan awam: Tuhan satu dengan perantaraan ucapan
syahadat.
2. Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut logika akal.
3. Pengetahuan kaum sufi: Tuhan satu dengan perantaraan hati
sanubari.
Pengetahuan yang disebut pertama dan kedua, menurut Harun
Nasution, belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Keduanya masih disebut ilmu. Pengetahuan dalam arti ketigalah yang
merupakan hakiki tentang Tuhan (ma’rifah). Telah dijelaskan bahwa
akhlak adalah gambaran hati (al-qalb) yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan. Jika hatinya bersih dan suci maka yang akan
keluar adalah perbuatan-perbuatan yang baik (akhlāq al-mahmūdah)
dan sebaliknya jika hatinya kotor dengan dosa-dosa dan sifat-sifat
buruk maka yang akan muncul dalam prilakunya adalah akhlak yang
buruk (akhlāq al-mazmūmah).
Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana
yang buruk juga bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi
baik secara zahiriah yakni dengan cara-cara yang nampak seperti
keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan lain-lain, maka ilmu
tasawwuf menerangkan bagaimana cara menyucikan hati (tashfiat al-
qalb), agar setelah hatinya suci yang muncul dari prilakunya adalah
akhlāq al-karīmah.
Perbaikan akhlak, menurut ilmu tasawwuf, harus berawal dari
penyucian hati. Persoalan yang mengemuka kemudian adalah
bagaimana cara mensucikan hati dalam tasawwuf? Metode “tashfiat al-
qalb”, dalam pendapat para sufi adalah dengan ijtināb al-manhiyyāt
(menjauhi larangan Tuhan), adā’ al-wajibāt (melaksanakan kewajiban-
kewajiban Tuhan), adā al-nāfilāt (melakukan hal-hal yang
disunnatkan), dan ar-riyādhah. “Riyādhah” artinya latihan spritual
sebagai yang diajarkan oleh Rasulullah, sebab yang mengotori hati
manusia adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang diperbuat manusia
akibat ia lengah dari bujukan nafsu dan godaan setan. Kemaksiatan
dapat mengakibatkan hati manusia kotor, kelam dan berkarat
sehingga hati tidak berfungsi malah dapat mati.
Kata para sufi, keadaan hati ada tiga macam. Pertama hati yang
mati yaitu hatinya orang kafir; kedua hati yang hidup yaitu hatinya
orang yang beriman; dan ketiga hati yang kadang-kadang hidup dan
kadang mati, yaitu hatinya orang-orang fāsik dan “munāfiq”. Yang
Pendidikan Agama Islam
Etika, Moral dan Akhlak 117
harus diperjuangkan adalah bagaimana agar hati kita “istiqāmah”
dalam kehidupannya dan bagaimana cara memperoleh “istiqāmah”
dalam hati. Hal ini pun bagian dari bahasan ilmu tasawwuf.
Berbicara tujuan ilmu akhlak berarti berbicara tujuan Islam itu
sendiri. Sebab pada dasarnya akhlak adalah aktualisasi ajaran Islam
secara keseluruhan. Dalam kacamata akhlak, tidaklah cukup iman
seseorang hanya dalam bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam
bentuk pengetahuan. Yang “kaffah” adalah iman, ilmu dan amal.
Amal itulah yang dimaksud akhlak. Tujuan yang hendak dicapai
dengan ilmu akhlak adalah kesejateraan hidup manusia di dunia dan
kebahagiaan hidup di akhirat.
Memperhatikan tujuan umum di atas kita dapat
menggambarkan ruang lingkup ajaran akhlak: yaitu meliputi
bagaimana akhlak kita terhadap diri sendiri; “al-taubah” (kembali
kepada Tuhan), “al-muraqabah” (kesadaran diri bahwa Tuhan
mengintai kita), “al-muhāsabah” (selalu introspeksi terhadap diri
sendiri), dan “al-mujāhadah” (terus-menerus mendekati Tuhan).
Akhlak kita terhadap Allah, akhlak terhadap kalam Allah (al-kitab),
akhlak terhadap Rasulullah; akhlak terhadap makhluk meliputi; akhlak
terhadap kedua orang tua, akhlak (etika) terhadap anak, istri, etika
terhadap kerabat, etika terhadap tetangga, etika terhadap sesama
muslim, etika kepada orang kafir (non muslim), etika terhadap
binatang dan terakhir etika terhadap alam dalam arti luas.
E. Indikator Manusia Berakhlak
Manusia berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat hatinya
sedang manusia tidak berakhlak (a moral) adalah manusia yang kotor
dan sakit hatinya. Namun seringkali manusia tidak sadar kalau hatinya
sakit. Kalaupun dia sadar tentang kesakitan hatinya, ia tidak berusaha
untuk mengobatinya. Padahal penyakit hati jauh lebih berbahaya
ketimbang penyakit fisik. Seseorang yang sakit secara fisik jika
penyakitnya tidak dapat diobati dan disembuhkan ujungnya hanya
kematian. Kematian bukanlah akhir dari segala persoalan melainkan
pintu yang semua orang akan akan memasukinya. Tetapi penyakit hati
jika tidak disembuhkan maka akan berakhir dengan kecelakaan di
alam keabadian.
Indikator manusia berakhlak (husn al-khuluq), kata al-Gazali,
adalah tertanamnya iman dalam hatinya. Sebaliknya manusia yang
tidak berakhlak (sū’u al-khuluq) adalah manusia yang ada “nifaq”
artinya sikap mendua terhadap Tuhan. Tidak ada kesesuaian antara
hati dan perbuatan. Iman bagaikan akar bagi sebuah tumbuhan.
Pendidikan Agama Islam
118 Etika, Moral dan Akhlak
Sebuah pohon tidak akan tumbuh pada akar yang rusak dan keropos.
Sebaliknya sebuah pohon akan baik tumbuhnya bahkan berbuah jika
akarnya baik. Amal akan bermakna jika berpangkal pada iman, tetapi
amal tidak membawa makna apa-apa apabila tidak berpangkal pada
iman. Demikian juga amal tidak bermakna apabila amal tersebut
berpangkal pada kemunafikan. Hati orang beriman itu bersih, di
dalamnya ada pelita yang bersinar dan hati orang kafir itu hitam dan
malah terbalik. Taat akan perintah Allah, juga tidak mengikuti
keinginan sahwat dapat mengkilaukan hati. Sebaliknya melakukan
dosa dan maksiat dapat menghitamkan hati. Barang siapa melakukan
dosa, hitamlah hatinya dan barang siapa melakukan dosa tetapi
menghapusnya dengan kebaikan, tidak akan gelaplah hatinya hanya
cahaya itu berkurang.
Dengan mengutip beberapa ayat dan hadis, selanjutnya al-
Gazali mengemukakan tanda-tanda manusia beriman yang uraiannya
sebagai berikut :
1. Manusia beriman adalah manusia yang khusu’ dalam shalatnya.
2. Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna (tidak ada faidahnya).
3. Selalu kembali kepada Allah.
4. Mengabdi hanya kepada Allah.
5. Selalu memuji dan mengagungkan Allah.
6. Bergetar hatinya jika nama Allah disebut-sebut.
7. Berjalan di muka bumi dengan “tawadhu” dan tidak sombong.
8. Bersikap arif menghadapi orang-orang awam.
9. Mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri.
10.Menghormati tamu.
11.Menghargai dan menghormati tetangga.
12.Berbicara selalu baik, santun dan penuh makna.
13.Tidak banyak bicara dan bersikap tenang dalam meng-hadapi
segala persoalan.
14.Tidak menyakiti orang lain baik dengan sikap maupun
perbuatannya.
Sufi yang lain mengemukakan tanda-tanda manusia berakhlak,
antara lain: Memiliki budaya malu dalam interaksi dengan sesamanya,
tidak menyakiti orang lain, banyak kebaikannya, benar dan jujur
dalam ucapannya, tidak banyak bicara tetapi banyak bekerja,
penyabar, hatinya selalu bersama Allah, tenang, suka berterima kasih,
ridha terhadap ketentuan Tuhan, bijaksana, hati-hati dalam bertindak,
disenangi teman dan lawan, tidak pendendam, tidak suka mengadu
domba, sedikit makan dan tidur, tidak pelit dan hasad, cinta karena
Allah dan benci karena Allah.
Pendidikan Agama Islam
Etika, Moral dan Akhlak 119
Ketika Rasulullah ditanya tentang perbedaan mukmin dan
munafik Rasul menjawab orang mukmin keseriusannya dalam shalat,
puasa dan ibadah, sedangkan orang munafik kesungguhannya dalam
makan dan minum layaknya binatang.
Hatim al-‘Asam seorang ulama tabi’in menambahkan bahwa
indikator mukmin adalah manusia yang sibuk berpikir dan hikmah,
sementara munafik sibuk dengan obsesi dan panjang angan-angan;
Orang mukmin putus harapan terhadap manusia kecuali kepada
Allah, sebaliknya orang munafik banyak berharap kepada sesama
manusia dan bukan kepada Allah; Mukmin merasa aman dari segala
sesuatu kecuali Allah, munafik merasa takut oleh segala sesuatu
kecuali oleh Allah; Mukmin berani mengorbankan hartanya demi
agamanya sedangkan munafik berani mengorbankan agamanya demi
hartanya; Mukmin menangis dan berbuat baik, munafik berbuat jahat
dan ketawa terbahak-bahak; Mukmin senang berkhalwat (bersemedi),
sedang munafik senang keramaian; mukmin menanam dan menjaga
agar tidak terjadi kerusakan, munafik menuai dan mengharap
keuntungan; mukmin memerintah dan melarang (amar ma’ruf nahi
munkar) demi kebaikan, sementara munafik memerintah dan
melarang (amar ma’ruf nahi munkar) untuk kekuasaan maka
kerusakanlah yang terjadi.
Kalau akhlak dipahami sebagai pandangan hidup maka manusia
berakhlak adalah manusia yang menjaga keseimbang-an antara hak
dan kewajibannya dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama
makhluk dan alam dalam arti luas.
F. Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan
Perbaikan akhlak merupakan bagian dari tujuan pendidikan
Islam. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan
intelektual telah gagal membawa manusia dalam pemungsian dirinya
sebagai khalīfah fi al-ard. Sejak awal seorang Socrates saja telah
mengingatkan bahwa tujuan pendidikan ialah kebaikan sifat dan budi,
yaitu kasih sayang dan kerelaan. Tujuan nyata dari pendidikan ialah
menyalurkan warisan sosial dari suku bangsa sejenis. Berbicara
masalah yang sama lebih jauh al-Gazali menyatakan, bahwa
penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap norma masyarakat,
tetapi terhadap norma Tuhan. Al-Gazali selanjutnya mengutarakan
bahwa tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan kalbu
dari godaan hawa nafsu (syahwat) dan amarah (ghadhab), hingga ia
jernih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Tuhan.
Mendidik itu sama dengan pekerjaan peladang membuang duri dan
Pendidikan Agama Islam
120 Etika, Moral dan Akhlak
mencabut rumput yang tumbuh di antara tanam-tanaman, agar segar
dan subur tumbuhnya.
Di dalam hati yang bersih, iman tumbuh dan ber-kembang. Ia
menebarkan cahaya ke seluruh anggota badan lahir dan batin. Kalau
indikator manusia berakhlak adalah manusia yang tertanam di dalam
hatinya iman yang kokoh, maka tasawwuf adalah upaya bagaimana
kiat-kiat agar iman itu “istiqāmah” dan tetap kokoh. Dalam sebuah
hadis yang amat populer, Nabi berkata kepada para sahabat:
“Perbaharuilah iman kamu sekalian, perkuatlah iman kamu sekalian. Para
sahabat menjawab: Bagaimana cara kami memperbaharui iman, memperkuat
iman ya Rasulallah? Rasul menjawab yaitu dengan banyak berzikir kepada
Allah.”
Tasawwuf adalah upaya sriritual bagaimana agar manusia dapat
memiliki akhlāk al-karīmah. Caranya yaitu dengan cara tasfiat al-qalb.
Metode tasfiat al-qalb yang disepakati oleh para sufi adalah dawām al-
zikr (selalu ingat kepada Tuhan). Zikir adalah ruh amal salih. Jika
sebuah amal salih lepas dari zikir maka laksana jasad tanpa ruh.
Mengapa zikir menjadi pola tasfiat al-qalb yang disepakati oleh para
sufi? Paling tidak ada tujuh alasan yang dikemukakan:
1. Perintah zikir dalam al-Qur’an datang, ada secara mutlak dalam
arti tidak diikat/hubungkan dengan pernyataan-pernyataan yang lain
dan ada yang perintahnya dikaitkan dengan yang lain.
2. Larangan berlaku sebaliknya yaitu lupa dan lalai dari zikir.
3. Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia dikaitkan dengan
banyak dan istiqamah dalam berzikir.
4. Pujian ahli zikir diamalatkan kepada Allah dan Allah
menjanjikan bagi mereka ampunan dan surga.
5. Informasi Allah bahwa kerugian bagi orang yang bersikap
sebaliknya (tidak berzikir).
6. Allah menjadikan zikir hamba kepada-Nya sebagai surat
zikirnya Allah kepada mereka.
7. Pernyataan Allah secara jelas bahwa zikir adalah perkara yang
amat besar. Zikir adalah ketaatan yang paling utama dan yang
dimaksud ketaatan adalah taat secara total yakni melakukan zikir.
Zikir adalah rahasia ketaatan atau ruh ketaatan. Ada yang
mengartikan: “Zikir lebih besar artinya jika zikir dilakukan secara
sempurna, maka hancurlah segala kesalahan dan kemaksiatan.
Kebaikan akhlak bisa jadi karena anugrah, mujahadah dan riyadhah.
Menurut ilmu akhlak kebiasaan yang baik harus disempurnakan
dan kebiasaan yang buruk harus dihilangkan. Kebiasaan merupakan
faktor yang amat penting dalam membentuk karakter manusia
Pendidikan Agama Islam
Etika, Moral dan Akhlak 121
berakhlak baik. Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga orang menjadi mudah mengerjakannya. Oleh
karena itu hendaknya manusia memaksakan diri (mujahadah) untuk
mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan
dan akhirnya terbentuklah akhlak yang baik dari dirinya. Sejak awal
Nabi menganjurkan agar anak dibiasakan melakukan kewajiban-
kewajiban. Nabi bersabda:
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sewaktu berumur tujuh tahun,
dan ambillah tindakan tegas pada waktu mereka berumur sepuluh tahun, serta
pisahkan mereka dari tempat tidurnya.” (HR. Tirmizi).
Seseorang akan mudah mengerjakan suatu perbuatan yang telah
menjadi kebiasaannya, meskipun pada awalnya perbuatan itu
dirasakan berat. Islam menghendaki agar pemeluknya melatih diri
melakukan kewajibannya secara “istiqamah”, khusunya shalat yang
lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan, zakat, haji dan lain-lain
pada waktunya, sehingga semua itu menjadi kebiasaan yang mencetak
yang bersangkutan berkarakter taat atas perintah Allah. Demikian
pula kebiasaan berbuat baik terhadap sesama manusia (ibadah sosial)
dan alam lingkungan dalam arti luas.
Dalam akhlak, “keutamaan” tidaklah cukup dengan hanya
mengetahuinya apakah “keutamaan itu”, tetapi harus ditambahkan
dengan melatihnya dan terus menerus mengerjakannya atau mencari
jalan lain untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan dan
kebaikan (ahl al-fadl wa al-khair). Secara singkat al-Gazali menyebutkan
bahwa untuk mencapai akhlak yang baik, ada tiga cara, pertama
akhlak yang merupakan anugrah dan kasih sayang Allah yakni orang
memiliki akhlak baik secara alamiah (bith-thabī’ah wal-fithrah), sebagai
sesuatu yang diberikan Allah kepadanya sejak ia dilahirkan. Kedua
dengan “mujāhadah” (menahan diri) dan ketiga dengan “riyādhah”
melatih diri secara spiritual, dan bentuk “riyādhah” yang disepakati
para sufi, sebagian telah dijelaskan antara lain ialah dengan dawām az-
zikr”.
Upaya mengubah kebiasaan yang buruk, menurut Ahmad
Amin sebagai yang dikutip Ishak Solih (1990) adalah dengan hal-hal
sebagai berikut:
1. Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkan-nya;
2. Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk
mewujudkan niat atau tekad semula;
3. Menghindarkan diri dari segala yang dapat menyebabkan
kebiasaan buruk itu terulang;

Pendidikan Agama Islam


122 Etika, Moral dan Akhlak
4. Berusaha untuk tetap berada dalam keadaan yang baik;
5. Menghindarkan diri dari kebiasaan yang buruk dan
meninggalkannya sekaligus;
6. Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak dalam
jiwa, yaitu kekuatan penolak terhadap perbuatan yang buruk.
Perbuatan baik dipelihara dengan istiqamah,ikhlasdan jiwa tenang;
7. Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu
besar sekali terhadap pembentukan watak pribadi;
8. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat.
Sementara al-Gazali berpendapat bahwa upaya mengubah
akhlak yang buruk adalah dengan kesadaran seseorang akan
akhlaknya yang jelek pada dirinya. Ada empat cara untuk dapat
membantu setiap orang dalam masalah ini. Pertama dengan menjadi
murid seorang pembimbing spiritual (syaikh). Langkah kedua, dengan
minta bantuan seorang teman yang tulus, taat dan punya pengertian.
Teman ini diminta mengamati keadaan dan kondisi orang tersebut
dengan teliti dan mengatakan kepadanya tentang kekurangan-
kekurangan yang nyata dan tersembunyi pada dirinya. Langkah ketiga,
mengetahui kekurangan kita dari seorang yang tidak menyenangi kita.
Orang yang tidak senang kepada kita lebih banyak melihat
kekurangan yang ada pada diri kita ketimbang kebaikannya. Langkah
keempat, ialah dengan bergaul bersama orang banyak dan
membandingkan kekurangan yang dilihat pada orang lain bagaikan
ada pada diri kita.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa keburukan jiwa dapat
dipulihkan secara permanen jika substansinya dihancurkan. Ini hanya
dapat dilaksanakan dengan menghilangkan penyebab keburukan itu.
Oleh sebab itu, ia sering mengatakan bahwa penyembuhan penyakit
hati tergantung pada penghalang dan faktor penyebabnya. Carilah
faktor penyebabnya kemudian sembuhkan dengan obat rohani yang
tepat dan cocok. Selanjutnya ia mengatakan:
“Ketahuilah bahwa keburukan jiwa adalah penyakitnya, dan pembersihan jiwa
dari penyakit memakai suatu obat … Bagi tiap penyakit jiwa ada obat yang
sebanding dengan kecil besarnya penyakit itu. Pakailah obat untuk penyakit itu
jika ia menimpa kamu, dengan memberikan penawar penyakit atau memotong
pangkalnya.”
Akhlāq al-karīmah adalah buah yang harus didapatkan.
Tasawwuf adalah upaya spiritual bagaimana manusia dapat
memperoleh buah itu. Riyādhah adalah salah satu cara di mata para
sufi paling efektif untuk mendapatkan buah itu. Zikir disepakati oleh

Pendidikan Agama Islam


Etika, Moral dan Akhlak 123
para sufi merupakan riyādhah yang paling besar pengaruhnya terhadap
pensucian hati. Tetapi karena tasawwuf itu adalah upaya peningkatan
kualitas maka pelaksanaannya tentu saja terintegrasi dengan akidah
dan syariah atau dengan istilah lain fiqih. Mengamalkan tasawwuf
tanpa fiqih adalah “kezindikan” juga sebaliknya berfiqih tanpa
tasawwuf adalah kehampaan spiritual yang didapatkan, memadukan
antara fiqih dan tasawwuf adalah pencapaian hakikat kebenaran.
Tasawwuf perlu dibedah secara naqli dan ‘aqli, agar mahasiswa
tahu bagaimana seharusnya ber-Islam secara kaffah, secara ilmu dan
amal. Islam kaffah adalah secara ilmu Islam dipahami lahir batinnya.
Kata Ibnu Arabi ilmu adalah iman bagi amal. Maka pengetahuan yang
benar dan agak mendalam tentang tasawwuf akan melahirkan
mahasiswa yang memahami Islam dan berusaha secara sungguh-
sungguh mengamalkannya dalam kehidupan ritual dan sosialnya.
Yang menjadi persoalan bagaimana implementasi akhlak dan
tasawwuf dalam pembelajarannya. Secara singkat dapat dikemukakan
di sini;
Pertama dengan penjelasan yang komprehensif tentang
kedudukan tasawwuf dalam Islam. Terlalu lama jika Islam yang kita
ajarkan kepada anak didik adalah Islam fiqih. Islam fiqih cenderung
menggiring mahasiswa bersikap formalistik dalam pengamalan
agama. Islam fiqih kering dari makna dan ruh ajaran. Padahal Nabi
secara jelas menyatakan kalau al-Qur’an harus dipahami zhahir dan
batinnya. Zahir ayat melahirkan fiqih, batin ayat melahirkan ajaran
tasawwuf. Tasawwuf adalah bagian integral dari ajaran Islam,
memisahkan tasawwuf dari ajaran Islam sama artinya dengan
menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri. Ayat-ayat al-Qur’an,
sebagaimana telah dijelaskan bukan hanya mengangkat ayat tentang
tasawwuf bahkan ayat yang berbicara hukum sekalipun selalu
dikaitkan dengan substansi ajaran tasawwuf.
Kedua, dengan memberikan contoh dan teladan. Memberikan
contoh dalam pengamalan fiqih dan tasawwuf sekaligus memberikan
teladan bagaimana sikap berakhlak yang baik dalam kehidupan sehari-
hari. Secara substansial akhlak, etika dan moral adalah sama yaitu
ajaran tentang baik dan buruk berkaitan dengan sikap hidup manusia.
Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah sumber
kebenarannya. Akhlak bersumberkan al-Qur’an dan as-Sunnah,
sementara etika bersumberkan akal karena ia bagian dari filsafat.
Sedangkan moral bersumberkan adat istiadat (tradisi) yang berlaku di
masyarakat. Etika lebih bersifat teoritis, moral bersifat praktis, etika
bersifat umum, sedangkan moral lebih bersifat lokal dan khusus.
Pendidikan Agama Islam
124 Etika, Moral dan Akhlak
Akhlak bersifat universal dan komprehensif, mencakup aspek lahir
dan batin.
Dari satu segi akhlak adalah buah dari tasawwuf (proses
thariqah/ pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlak pun
merupakan usaha manusia secara zāhiriyyah, yaitu melalui ilmu dan
amal, mujāhadah dan riyādhah. Implementasi akhlak dan tasawwuf,
bahwa secara keilmuan tasawwuf harus dibedah sehingga jelas
substansi kajiannya dan sekaligus posisinya dalam ajaran Islam. Cara
lain, keteladanan merupakan usaha yang sulit tetapi amat
menentukan, memberi motivasi, memberikan hadiah atau sebaliknya
menghukum secara psikologis dan yang tidak kalah pentingnya adalah
upaya penciptaan suasana yang kondusif oleh semua pihak untuk
tumbuhnya sikap akhlak yang positif di tempat masing-masing.
G. Rangkuman
1. Etika adalah ajaran tentang kebaikan dan keburukan yang
didasarkan pada filsafat/akal manusia.
2. Moral adalah ajaran tentang kebaikan dan keburukan yang
didasarkan pada adat istiadat/tradisi masyarakat.
3. Akhlak adalah ajaran tentang kebaikan dan keburukan yang
didasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Perbedaan prinsipil antara etika, moral, dan akhlak terdapat
pada: sumber yang dijadikan pijakan (tolok ukur) dan sifat yang
dimiliki.
5. Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Allah agar dapat
berakhlak mulia dengan cara mensucikan hati.
H. Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian etika, moral, dan akhlak!
2. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara etika, moral, dan
akhlak dan berikan contoh dalam penerapannya sehari-hari!
3. Jelaskan karakteristik akhlak!
4. Jelaskan hubungan antara akhlak dan tasawuf !
5. Jelaskan aktualisasi akhlak dalam kehidupan!

Pendidikan Agama Islam


BAB VIII
ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN SENI
DALAM ISLAM
A. Pendahuluan
Percakapan antara Allah dengan malaikat ketika Allah mau
menciptakan manusia, dan malaikat mengatakan bahwa manusia akan
berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Allah membuktikan
keunggulan manusia daripada malaikat dengan kemampuan manusia
menguasai ilmu melalui kemampuan menyebutkan nama-nama. Ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni dalam praktek mampu mengangkat
harkat dan martabat manusia karena melalui ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, manusia mampu melakukan eksplorasi kekayaan
alam yang disediakan oleh Allah. Karena itu dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, nilai-nilai Islam tidak boleh
diabaikan agar hasil yang diperoleh memberikan kemanfaatan sesuai
dengan fitrah hidup manusia.
Islam sangat memperhatikan pentingnya ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni (Ipteks) dalam kehidupan umat manusia.
Martabat manusia disamping ditentukan oleh peribadahannya kepada
Allah, juga ditentukan oleh kemampuannya mengembangkan ilmu
Pendidikan Agama Islam 125
126 Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam
pengetahuan, teknologi, dan seni. Bahkan di dalam al-Qur’an sendiri
Allah menyatakan bahwa hanya orang yang berilmulah yang benar-
benar takut kepada Allah.
Bab ini menjelaskan tentang: Urgensi ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni dalam kehidupan (Ipteks); Apa pengertian ipteks
dan apa syaratnya dan sumber ilmu pengetahuan itu sendiri yang di
dalamnya mencakup bagaimana peran akal dan wakyu sebagai
sumber Ipteks; Dalam bab ini, juga dijelaskan tentang integrasi iman,
ilmu dan amal; Apa keutamaan orang beriman dan beramal; Serta
bagagaimana tanggungjawab ilmuwan terhadap alam dan lingkungan.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Menjelaskan
pengertian ipteks dalam pandangan Islam; Membedakan antara ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni; Menyebutkan sumber
pengembangan ipteks dalam Islam; Berprilaku arif dan bijaksana
dalam mengembangkan dan memanfaatkan produk teknologi dalam
kehidupan sehari-hari; Menghindarkan diri dari kesombongan
intelektual dan menyadari bahwa pada hakikatnya ipteks itu adalah
suatu proses pencarian bagaimana sunnatullah itu terjadi di alam
semesta ini.
B. Urgensi Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam
Kehidupan
Islam sangat memperhatikan pentingnya ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni dalam kehidupan umat manusia. Martabat
manusia di samping ditentukan oleh peribadahannya kepada Allah,
juga ditentukan oleh kemampu-annya mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni. Bahkan di dalam al-Qur’an sendiri
Allah menyatakan bahwa hanya orang yang berilmulah yang benar-
benar takut kepada Allah dan meng-angkat derajat bagi orang yang
beriman dan berilmu. Hal ini dinyatakan dalam QS. al-Fāthir/35: 28
berikut:
            ...
“… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun.”
dan QS. al-Mujādilah/58: 11:
            ...
  

Pendidikan Agama Islam


Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam 127
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dialog antara Allah dengan malaikat ketika Allah mau
menciptakan manusia, dan malaikat mengatakan bahwa manusia akan
berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, Allah membuktikan
keunggulan manusia daripada malaikat dengan kemampuan manusia
menguasai ilmu melalui kemampuan menyebutkan nama-nama. Ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni dalam praktek mampu mengangkat
harkat dan martabat manusia karena melalui ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, manusia mampu melakukan eksplorasi kekayaan
alam yang disediakan oleh Allah. Karena itu dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, nilai-nilai Islam tidak boleh
diabaikan agar hasil yang diperoleh memberikan kemanfaatan sesuai
dengan fitrah hidup manusia.
Sebelum Rasulullah saw diutus untuk menjalankan dan
menyebarkan risalahnya, sumber-sumber bagi dunia ilmu
pengetahuan hanyalah pengembaraan akal yang dikuasai oleh naluri
dan berbagai nafsu manusia. Dengan berbekal hal ini manusia
mengembangkan pemikiran induktifnya dan kemudian melahirkan
karya-karya yang dianggap besar pada zamannya. Namun demikian
pengaruh-pengaruh pemikiran dan mitos masih saja bekerja dan tak
melampaui batas-batas yang telah digariskan.
Turunnya wahyu Allah swt kepada Nabi Muhammad saw
membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan. Ditinjau dari
peranan kewahyuan dalam kehidupan manusia, sebenarnya apa yang
terjadi pada diri beliau bukanlah suatu hal yang baru. Para Nabi Allah
yang sebelumnya pernah diutus ke berbagai generasi manusia dalam
suatu kurun waktu yang sangat panjang. Namun keunikan ajaran
Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw membawa semangat baru,
memecahkan kebekuan zaman. Datangnya ajaran Islam membawa
manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan
baru, yakni lahirnya tradisi intelektual-induktif.
C. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Seni dan Sumbernya
Berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
telah diberikan oleh para ilmuwan dan budayawan seolah-olah
mereka mempunyai difinisi masing-masing sesuai dengan apa yang
mereka pahami.
Sains di Indonesia menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan dalam

Pendidikan Agama Islam


128 Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam
sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda
maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia
melalui tangkapan pancaindra, intuisi, dan firasat. Sedangkan ilmu
adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi,
disistematisasi, dan diklasifikasi, diinterpretasi sehingga menghasilkan
kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang
secara ilmiah. Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu
segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh
kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi pada salah satu
bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu
disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi
tidak mendalam disebut generalis. Karena keterbatasan kemampuan
manusia, maka sangat jarang ditemukan orang yang menguasasi
beberapa ilmu secara mendalam.
Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam
sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya
sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun
pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan
netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena
memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah
letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan
dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa
dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan
manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta.
Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-
besarnya bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan
segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil
ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya
manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki
identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu
keabadian.
Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan
halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan
manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari
nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa
Pendidikan Agama Islam
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam 129
nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu
bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus
bertambah.
Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge yang bersumber
dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka
mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama
dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam, wahyu
dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan.
Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing
dan mengarahkan akal.
1. Syarat-Syarat Ilmu
Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibanding kan
dengan pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat dikategori-kan sebagai
ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok sebagai berikut :
a. Ontologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki obyek
studi yang jelas. Obyek studi harus dapat diidentifikasikan, dapat
diberi batasan, dapat diuraikan, sifat-sifatnya yang esensial. Obyek
studi sebuah ilmu ada dua yaitu obyek material dan obyek formal.
b. Epistimologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki
metode kerja yang jelas. Ada tida metode kerja suatu bidang studi
yaitu metode deduksi, induksi, dan eduksi.
c. Aksiologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki nilai
guna atau kemanfaatannya. Bidang studi tersebut dapat menunjukkan
nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum,
konsep-konsep dan kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis, dan
koheren. Dalam teori dan konsep tersebut tidak terdapat kerancuan
atau kesemrawutan pikiran, atau penentangan kontradiktif di antara
satu sama lainnya.
Istilah pengetahuan dan ilmu dipahami oleh masyarakat luas
menjadi satu istilah baku yaitu, ilmu pengetahuan atau sains. Secara
singkat, istilah ini dapat didefinisikan sebagai himpunan pengetahuan
manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan
dapat diterima oleh ratio, artinya dapat dinalar. Jadi ilmu pengetahuan
dapat dikatakan sebagai himpunan rasionalisasi kolektif insani. Secara
singkat sains dapat diartikan sebagai pengetahuan yang sistimatis
(science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains
mempunyai tiga karakteristik yaitu objektif, netral, dan bebas nilai,
sedangkan dalam pemikiran Islam sains tidak boleh bebas dari nilai-
nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal.

Pendidikan Agama Islam


130 Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam
2. Sumber Ilmu Pengetahuan
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu yaitu akal dan
wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi
kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan
tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Atas dasar itu ilmu dalam
pemikiran Islam ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat
kebenarannya bersifat mutlak (absolute), karena bersumber dari wahyu
Allah, dan ilmu yang bersifat perolehan (equired knowledge) tingkat
kebenarannya bersifat nisbi (relative) karena bersumber dari akal
pikiran manusia.
a. Peran akal sebagai sumber ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Akal adalah perimbangan antara intelek (budi) dan intuisi (hati)
manusia, antara pikiran dan emosi manusia. Intelek adalah alat untuk
memperoleh pengetahuan untuk alam nyata. Dalam membentuk
pengetahuan, intelek terikat oleh yang konkrit. Karena itu ia hanya
mungkin berjalan selangkah demi selangkah menyelesaikan arah demi
arah. Intuisi adalah alat untuk alam tidak nyata. Dalam membentuk
pengetahuan ia dapat melakukan lompatan dari tidak tahu berubah
menjadi tahu. Salah satu contoh yakni orang yang akan memahami
alam semesta melalui astronomi. Ia tidak dapat melakukannya kecuali
dengan tahap demi tahap dan membekali dirinya terlebih dahulu
dengan pengetahuan matematika, fisika, dan kimia. Untuk
mengetahui ketiganya harus memulai dengan belajar mengenal huruf
dan angka. Berbeda dengan orang yang memperoleh pengetahuan
tentang keindahan sekuntum bunga. Ia tidak perlu mengukur
diameter, jumlah kelopak, atau menentukan berapa jenis-jenis warna
yang ada pada bunga tersebut.
Pengajaran melalui intelek mungkin akan merubah seseorang
secara perlahan. Tetapi pendidikan melalui intuisi dapat mengubah
seseorang dengan cepat. Ia tidak terikat oleh hal yang bersifat lahiriah
karena ia dapat menangkap kesatuan tentang sesuatu yang diketahui
tanpa analisis dan dipecah-pecah. Tetapi pada kenyataan hidup
manusia itu tidak dapat bekerja secara terpisah sepenuhnya.
Keduanya saling berinteraksi dan mempengaruhi dengan pola yang
berbeda-beda dan itulah yang menentukan corak akal manusia. Ada
manusia yang akalnya sangat didominasi oleh inteleknya dan ada pula
yang didominasi oleh intuisi. Ada yang secara profesional dapat
mengatur peran keduanya sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan
yang dihadapi. Dalam kadar tertentu yang sangat relatif akal seorang
laki-laki mungkin memiliki corak yang berbeda dengan wanita.
Pendidikan Agama Islam
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam 131
Intelek relatif manusia harus dilatih dan dikembangkan
sehingga memiliki ketajaman yang tinggi. Demikian pula intuisi harus
dihidupkan dengan pengayaan batin, baik dari sisi keyakinan,
kebudayaan, dan lain-lain. Menurut pengetahuan modern otak
manusia terdiri dari bermilyar-milyar sel yang pada awalnya belum
berfungsi. Kemudian antara satu sel dengan sel lainnya tumbuh saraf-
saraf yang akan saling berhubungan. Hubungan inilah yang akan
memfungsikan otak manusia. Pertumbuhan saraf penghubung sendiri
sangat ditentukan oleh rangsangan pikir dan rasa manusia sejak masih
kecil.
Jika intelek manusia dan intuisinya sudah terasah, maka kerja
akal menjadi sensitif. Karenanya, seorang ahli seni dapat
menghasilkan karya yang sangat bernilai dan seorang ahli fisika dapat
menemukan hukum-hukum alam melalui kerja intuisi. Akal seperti ini
mampu menghasilkan pengetahuan yang lebih utuh dan menyeluruh.
b. Peran wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni
Wahyu adalah tuntunan yang dianugerahkan Allah kepada para
hamba-Nya dan seluruh ciptaan-Nya dalam menjalankan fungsi
kehidupannya di alam semesta. Wahyu juga merupakan bimbingan
ajaran pada manusia pilihan Allah swt. Cara penyampaiannya
beraneka ragam, ada yang secara langsung dan ada juga yang tidak
langsung yakni melalui perantara malaikat Jibril.
Wahyu berfungsi mencegah pemikiran seseorang dari pengaruh
hawa nafsu dan kecenderungan dominasi akal rasional. Wahyu terbagi
dua, al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Imam Suyuti berpendapat
bahwa pada dasarnya Sunnah Rasulullah saw adalah wahyu juga,
tetapi malaikat Jibril menyampaikannya dalam bentuk makna saja.
Adapun al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan dalam bentuk
lafaz dan makna. Dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan,
teknologi dan merupakan hasil pengembangan potensi manusia yang
diberikan Allah berupa akal dan budi. Prestasi yang gemilang dalam
pengembangan Ipteks, pada hakikatnya tidak lebih dari sekedar
menemukan bagaimana proses sunnatullah (hukum Allah/hukum
alam), mengapa manusia menyombong-kan diri? Dari penjelasan di
atas dapat disimak bahwa antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni terdapat perbedaan-perbedaan baik dalam konteks makna
maupun fungsinya.

Pendidikan Agama Islam


132 Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam
D. Integrasi Iman, Ilmu dan Amal
Dalam pandangan Islam, ilmu pada hakikatnya tidak bersifat
dikotomik seperti ilmu umum-ilmu agama, intelektual-ulama,
sekolah-madrasah, pelajar-santri dan lain-lain. Menurut al-Qur’an ada
dua ayat Allah yang dihadapkan pada manusia, pertama, ayat kauniyah
seperti manusia dan alam semesta. Kedua, ayat qauliyah yakni al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah saw.
Interpretasi manusia terhadap berbagai fenomena kauniyah
kemudian melahirkan ilmu pengetahuan seperti: biologi, fisika, kimia,
sosiologi, antropologi, sejarah dan sebagainya. Sedangkan interpretasi
manusia terhadap fenomena qauliyah akan melahirkan pemahaman
agama. Ilmu harus difungsikan sesuai dengan petunjuk dari Allah swt.
Menurut Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi
ke dalam suatu sistem yang disebut dīnul Islām. Di dalamnya
terkandung tiga unsur pokok, yaitu akidah, syariah, dan akhlak.
Dengan kata lain, iman, ilmu, dan amal shaleh seperti termaktub
dalam QS. Ibrahim/14: 24-25:
            
            
   
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu
untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Ayat di atas menganalogikan iman, ilmu, dan amal atau akidah,
syariah, dan akhlak dengan bangunan dinul Islam seperti
perumpamaan sebuah pohon yang baik. Akarnya menghunjam ke
bumi, batangnya menjulang tinggi ke langit, dahan dan cabangnya
rindang serta buahnya lebat. Iman/akidah dianalogikan seperti akar
yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu/syariah diibaratkan
sebagai batang pohon yang mengeluarkan dahan dan cabang ilmu
pengetahuan. Sedangkan amal/akhlak bagaikan buah dari pohon itu
yakni teknologi dan seni. Hal ini menunjukkan bahwa antara iman,
ilmu, dan amal atau akidah, syariah, dan akhlak merupakan satu
kesatuan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal shaleh bila
Pendidikan Agama Islam
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam 133
perbuatan tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu
yang benar. Demikian halnya dengan pengembangan Ipteks yang
lepas dari keimanan dan ketaqwaan tidak akan bernilai ibadah serta
tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam
lingkungannya, bahkan sebaliknya akan menjadi malapetaka bagi
kehidupannya sendiri. Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt akan memberikan
jaminan kemaslahatan bagi kehidupan manusia termasuk lingkungan-
nya (QS. al-Mujādilah/58: 11).
E. Keutamaan Orang Beriman dan Beramal
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal saleh apabila
perbuatan tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu
yang benar. Sama halnya pengembangan Ipteks yang lepas dari
keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan
menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam
lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya
sendiri.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kesempurnaannya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi yang
paling utama adalah akal. Akal berfungsi untuk berpikir dan hasil
pemikirannya adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan
ketakwaan kepada Allah swt, akan memberikan jaminan
kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi
lingkungannya.
Menurut al-Gazali bahwa makhluk yang paling mulia adalah
manusia, sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia
adalah hatinya. Tugas utama pendidik adalah menyempurnakan,
membersihkan, dan menggiring peserta didik agar hatinya selalu
dekat kepada Allah swt melalui pengembangan ilmu pengetahuan.
Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang sangat mulia yang
dapat menentukan masa depan seseorang. Karena itu, para pendidik
akan selalu dikenang dalam hati anak didiknya. Al-Gazali
memberikan argumentasi yang kuat, baik berdasarkan al-Qur’an, as-
Sunnah, maupun argumentasi secara rasional.
Dalam bagian awal kitab Ihya Ulumuddin, al-Gazali (1988)
memulainya dengan menerangkan tentang keutamaan ilmu dan
pembelajaran. Ia menggambarkan kedudukan tinggi bagi para ilmuan
dan para ulama dengan menyitir ayat-ayat al-Quran dan sabda
Rasulullah saw. serta perkataan orang-orang dan ahli pikir.
Pendidikan Agama Islam
134 Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam
Pandanngannya tentang hal-hal di atas sangat kuat. Ini terbukti
dengan seringnya menerangkan kedudukan dan keutamaan ulama dan
guru dalam berbagai karya monumentalnya. Sebagai contoh ia pernah
mengatakan bahwa makhluk yang mulia di muka bumi ini adalah
manusia. Sedangkan bagian tubuh manusia yang paling mulia adalah
hatinya. Guru sibuk menyempurnakan, menggunakan,
menyucikannya serta menuntunnya agar selalu dekat dengan Allah
swt. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu bukan hanya termasuk aspek
ibadah kepada Allah belaka, melainkan juga termasuk aspek khalifah
Allah swt. Dikatakan termasuk khalifah Allah swt, karena hati orang
alim telah dibukakan oleh Allah swt, untuk menerima ilmu yang
merupakan sifat-Nya yang paling khusus. Orang alim adalah
bendaharawan yang mengurusi khasanah Allah swt yang paling
berharga. Tidurnya orang alim lebih baik dari ibadahnya orang-orang
bodoh.
Menjelaskan keutamaan-keutamaan orang yang berilmu, al-
Gazali mengatakan “Barang siapa berilmu, membimbing manusia dan
memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, bagaikan matahari, selain
menerangi dirinya, juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak
kesturi yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang
yang berpapasan dengannya.”
Dari pernyataan di atas, tampak bahwa al-Gazali sangat
menghargai orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya dengan
as. Salah satu pengamalannya adalah mengajarkan kepada orang lain.
Orang yang berilmu dan tidak mengamal-kannya menurut al-Gazali
sebagai orang yang celaka. Ia mengatakan “Seluruh manusia akan
binasa, kecuali orang-orang berilmu. Orang-orang berilmupun akan
celaka kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Dan orang-
orang yang mengamalkan ilmunyapun akan binasa kecuali orang-
orang yang ikhlas.”
F. Tanggungjawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan
Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai “Abdun”
(hamba) dan “khalīfah” Allah di bumi. Esensi dari abdun adalah
ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan
Allah, sedangkan esensi khalīfah adalah tanggungjawab terhadap diri
sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan alam.
Dalam konteks “abdun”, manusia menempati posisi sebagai
ciptaan Allah. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan
manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan
Pendidikan Agama Islam
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam 135
manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan
menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang
Pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan kepada
makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur
mengakibatkan ia menghambakan diri kepada selain Allah termasuk
meng-hambakan diri kepada hawa nafsunya. Keasan manusia
menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan
manusia kepada sesama manusia termasuk pada dirinya.
Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu
kecenderungan kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada
perbuatan fasik. Sebagaimana firman Allah QS. al-Balad/90: “Fa
alhamahā fujūrahā wataqwāhā.” (maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
manusia kefasikan dan ketakwaan). Dengan kedua kecenderungan
tersebut Allah berikan petunjuk berupa agama sebagai alat bagi
manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan
ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu
amarah. Untuk itu Allah berfirman: “Wahadainahu najdaini” (Aku
tunjukkan kamu dua jalan). Akal memiliki kemampuan untuk
memilih salah satu yang terbaik bagi dirinya.
Fungsi yang kedua sebagai khalifah/wakil Allah di muka bumi.
Manusia memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menjaga
keseimbangan alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal.
Manusia diberikan kebebasan untuk mengekplorasi, menggali sumber
daya, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besar kemanfaatan,
karena alam diciptakan untuk kehidupan manusia sendiri. Untuk
menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu
pengetahuan yang memadai. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan yang cukuplah atau para ilmuwan dan para intelektual
yang sanggup mengekplorasi sumber alam ini. Akan tetapi para
ilmuwan itu harus sadar bahwa potensi sumber daya alam ini akan
habis terkuras untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia apabila
tidak dijaga keseimbangannya. Oleh sebab itu tanggungjawab
kekhalifahan banyak bertumpuh pada para ilmuwan dan
cendekiawan. Mereka mempunyai tanggungjawab jauh lebih besar
dibanding dengan manusia-manusia yang tidak memiliki ilmu
pengetahuan. Bagi mereka yang tidak memiliki ilmu pengetahuan
tidak mungkin mengeksploitasi alam ini secara berlebihan, paling
hanya sekedar kebutuhan primernya bukan untuk pemenuhan
kepuasan hawa nafsunya, karena mereka tidak memiliki kemampuan
dan kesanggupan untuk mengeksploitasi secara besar-besaran sumber
alam ini, demikian pula mereka tidak akan sanggup menjaga
Pendidikan Agama Islam
136 Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam
keseimbangan dan kelestariannya secara sistematis.
Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan
karena ulah manusia sendiri. Mereka banyak yang berkhianat
terhadap perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga
amanat Allah sebagai khalifah yang bertugas untuk menjaga
kelestarian alam ini sebagaimana QS. ar-Rūm/30: 41:
           
  
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan
tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Dua fungsi di atas merupakan satu kesatuan yang tidak boleh
terpisah. Dan simbol dari kedua fungsi itu adalah zikir dan pikir.
Untuk melaksanakan tanggungjawabnya, manusia diberi
keistimewaan berupa kebebasan untuk memilih dan berkreasi
sekaligus menghadapkannya dengan tuntutan kodratnya sebagai
makhluk psiko-fisik. Namun ia harus sadar akan keterbatasannya
yang menuntut ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah, baik
dalam konteks ketaatan terhadap perintah beribadah secara langsung
(sebagai abdun), maupun dalam konteks ketaatan terhadap
sunnatullah di alam ini (sebagai khalifah). Perpaduan antara tugas
abdun dan khalifah ini akan mewujudkan manusia yang ideal, yakni
manusia yang selamat di dunia dan di akhirat.
G. Seni
Seni adalah suatu ungkapan (ekspresi) jiwa yang halus, indah,
dan lembut, sehingga dapat menimbulkan suasana yanvg tentram dan
sejuk. Karena itu, seni dimiliki oleh setiap manusia yang normal.
Dalam ajaran Islam, seni mendapatkan tempat yang istimewa.
Hampir seluruh aspek ajaran Islam mengandung unsur seni. Akan
tetapi seni harus lebih diarahkan kepada hal yang positif,
menimbulkan budi pekerti, sopan-santun yang lemah lembut, tidak
mengarahkan kepada hal yang negatif yang dapat menimbulkan
kemungkaran dan kemaksiatan.
Manusia merupakan makhluk yang berjiwa seni. Hampir
seluruh aspek kehidupan manusia terdapat unsur seni dalam arti
keindahan dan kehalusan. Islam menghendaki hal-hal yang baik-baik
atau indah-indah sehingga memberikan motivasi dan kegairahan
Pendidikan Agama Islam
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam 137
dalam kehidupan. Tujuannya adalah untuk mencapai suasana yang
tentram, indah, damai, dan bahagia dalam kehidupan dunia dan
akhirat.
Sama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan
karya seni harus memenuhi norma-norma agama yang ajarkan oleh
Allah swt dan Rasul-Nya. Karya seni dengan berbagai jenisnya, apa
itu seni suara, seni gambar, bangunan dan lainnya yang sesuai dengan
norma-norma agama akan menghasilkan sesuatu yang indah
menentramkan jiwa dan membahagikan di dunia dan di akhirat.
Sebaliknya, karya seni yang menyalahi norma agama akan
menghasilkan karya seni yang merendahkan bahkan menghancurkan
martabat manusia itu sendiri.
Terdapat beberapa karya seni bagi kaum muslimin dengan
berbagai bentuknya di antaranya:. Ada bangunan indah seperti: istana
raja, masjid, menara, kubah, dan lain sebagainya. Ada pula berbentuk
seni lukis seperti: lukisan keindahan alam, kaligrafi, dan gambar-
gambar. Dan ada juga yang berbentuk seni suara seperti: qashidah,
nasyid, tilawah al-Qur’an, serta seni tari dan seni musik.
Adapun karya seni yang pernah dihasilkan oleh seniman
muslim di masa awal kejayaan Islam di antaranya:
a. Masjid Rafa’i di Mesir, menaranya setinggi 84 meter dengan
ukuran panjang 345 m dan lebar 327 m.
b. Masjid Jami’ Ahmad Ibnu Thaulan (878 M-879 M).
c. Mihrab masjid, dekorasi atau hiasan dinding masjid serta ukiran-
ukiran pada dinding masjid di Busra Turki.
d. Kathedral Aya Sophia di Istanbul yang diubah menjadi masjid
dengan empat menara yang menjulang tinggi oleh Sultan
Muhammad II pada tahun 1453 M.
e. Istana Alhamra’ di Granada Andalusia (Spanyol) yang dihiasi
dengan air mancur dan taman yang indah.
f. Taj Mahal di India yang dibangun oleh raja Syah Jehan pada tahun
1630 M-1648 M; dan lain-lain.
Semua hasil karya tersebut merupakan karya seni umat Islam
yang dihiasi dengan ilmu ukur bidang, tanam-tanaman, kaligrafi, dan
ayat-ayat al-Qur’an dengan huruf khath yang bagus. Ini merupakan
cerminan dari adanya ekspresi estetika (jiwa seni) umat Islam dalam
mengabdi kepada Allah swt.
H. Rangkuman
1. Ipteks adalah singkatan dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan
Pendidikan Agama Islam
138 Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Islam
seni.
2. Sumber ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam konsep
Islam ada dua yakni akal dan wahyu.
3. Menurut Islam, antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi
dalam suatu sistem yang disebut dinul Islam.
4. Pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang
terlepas dari keimanan dan ketaqwaan tidak akan bernilai ibadah dan
tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi manusia dan alam
lingkungannya. Bahkan sebaliknya akan menjadi mala petaka bagi
kehidupan manusia.
I. Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni!
2. Bagaimana pendapat anda tentang pengembangan seni di era
globalisasi?
3. Berikan ilustrasi integrasi antara iman, ilmu dan amal!
4. Bagaimana seharusnya sikap orang beriman dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni?
5. Kemukakan dampak positif dan negatif dari pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di era modern ini!

Pendidikan Agama Islam


BAB IX
ISLAM DAN PLURALITAS
A. Pendahuluan
Diskursus lain juga yang memperoleh perhatian serius oleh
para pemikir kekinian sebagai perkembangan lebih lanjut dari kajian
pluralitas dan pluralisme, adalah pengkajian tentang
multikulturalisme. Kajian multikultural ini tampaknya menarik
disebabkan oleh munculnya pemikiran kritis sosial yang mencoba
mempertanyakan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap praktik hidup
keberagaman. Pertanyaan ini muncul sebagai kritik terhadap
fenomena keberagaman di tengah perubahan sosial ekonomi dan
politik. Pengkajian terhadap multikultural-multikulturalisme juga lahir
dari fakta tentang perbedaan masyarakat yang bersumber dari tradisi,
bahasa, pandangan hidup, keberagaman, etnis, budaya, dan latar
belakang kehidupan. Fenomena yang demikian memunculkan
kesadaran dan tata nilai yang berbeda dan sering dianggap memicu
munculnya konflik-konflik sosial yang tajam baik konflik sosial
internal teritorial kesatuan negara dan bangsa maupun konflik
internasional.
Bab ini berisi penjelasan tentang: Pluralitas dan pluralisme
Pendidikan Agama Islam 139
140 Islam dan Pluralitas
dalam Islam; Implikasi tauhid terhadap pluralitas agama. Bab ini Juga
berisi tentang makna ukhuwah islamiyah dan makna ukhuwah
insaniyah; Dan bagaimana pandangan Islam terhadap umat non
Islam; Serta apa tanggungjawab sosial umat Islam.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Menjelaskan
makna ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah serta memiliki
sikap yang sesuai dengan ajaran Islam tentang ukhuwah tersebut;
Menjelaskan pandangan Islam terhadap umat non Islam dengan
kategorisasinya; Menjelaskan bentuk-bentuk tanggungjawab sosial
umat Islam, baik terhadap sesama umat Islam maupun terhadap umat
non Islam dengan sikap amar ma’ruf dan nanhi munkar.
B. Pluralitas dan Pluralisme dalam Islam
Pluralitas dan pluralisme mengandung makna kejamakan,
keberagaman atau kemajemukan. Pluralitas dan pluralisme secara
etimologi berasal dari bahasa inggris dari kata plural yang berarti lebih
dari satu atau jamak (banyak), berbeda-beda, atau bermacam-macam.
Pluralitas dan pluralisme merupakan tema diskursus intelektual yang
selalu diper-bincangkan. Terdapat dua kelompok yang pro dan kontra
di dalam memahami dan menyikapi pluralitas. Pertama, pandangan
yang memahami pluralitas sebagai faktor yang dianggap dapat
menimbulkan konflik-konflik sosial, baik dilatarbelakangi oleh
pemahaman dan kepentingan keagamaan maupun supremasi budaya
kelompok masyarakat tertentu. Karena itu, pandangan ini secara
ekstrim menolak pluralitas dan pluralisme dan menuntut pada adanya
keseragaman mutlak. Pandangan ini dapat dilihat pada totalisme
Barat, di antaranya adalah Uni Soviet. Kedua, pandangan yang
menerima secara mutlak pluralitas dan pluralisme dengan argumen
bahwa pluralitas merupakan satu bentuk kebebasan individu yang
tidak perlu ada keseragaman sedikitpun. Pandangan ini dapat dilihat
pada liberalisme Barat. Lalu bagaimana dengan pandangan Islam
tentang pluralitas dan pluralisme? Apakah Islam sejalan dengan
pandangan yang pertama ataukah yang kedua? Atau ia berbeda
dengan keduanya dan memiliki pandangan sendiri?
Dalam ajaran Islam, realitas dunia ini pada dasarnya adalah
plural (majemuk). Pluralitas dapat dilihat dalam berbagai bentuk
seperti: jenis kelamin, bangsa, suku, budaya, agama dan lain
sebagainya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah dalam QS. al-
Hujurāt/49: 13:
           
Pendidikan Agama Islam
Islam dan Pluralitas 141

          
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
Dunia yang majemuk ini senantiasa berkembang sesuai dengan
pemikiran manusia. Kenyataan bahwa dunia ini plural kemudian
berkembang menjadi pluralisme, yakni sebuah paham yang mengakui
adanya kemajemukan tersebut. Pluralitas merupakan kehendak Allah
swt yang tidak bisa dipungkiri apalagi dihindari. Pluralitas adalah
sunnatullah. Konsekuensi dari keberagaman (pluralitas) ini adalah
keniscayaan bagi seluruh manusia untuk bersikap toleran terhadap
orang lain yang berbeda, baik berbeda budaya, suku, bangsa, maupun
keyakinan (agama). Sikap inilah yang merupakan bagian terpenting
yang menjadi tujuan terciptanya pluralisme. Bahkan Allah swt
mengisyaratkan agar eksistensi pluralitas manusia dan alam semesta
ini direnungkan dan dipikirkan oleh manusia. Dalam QS. al-Rūm/30:
22 Allah berfirman:
          
   
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada
yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.”
Allah swt menyatakan jika sekiranya keberadaan agama di alam
semesta ini hanya semata untuk kepentingan diri-Nya, maka tentulah
akan dijadikan umat manusia ke dalam satu golongan saja. Akan
tetapi Allah tidak menghendaki hal demikian sehingga umat manusia
dibiarkan memilih agama atas dasar kecenderungan masing-masing.
Dalam QS. al-Nahl/16: 93 disebutkan:
             
    
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
Pendidikan Agama Islam
142 Islam dan Pluralitas
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Sesungguhnya kamu akan
ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
Demikianlah pluralitas sudah merupakan kehendak dan
sunnatullah yang tidak dapat dirubah oleh siapapun. Adapun
pluralisme adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman
atau kemajemukan secara positif dan optimis dengan menerimanya
sebagai kenyataan (kehendak Allah) dan berupaya untuk berbuat
sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Jadi, dapat dipahami
bahwa pluralitas adalah wujud nyata dari realitas keberagaman
(kemajemukan) sedang pluralisme adalah paham, pandangan dan
persepsi yang membentuk kesadaran dan pengakuan akan pluralitas
sehingga mempengaruhi perilaku, sikap, dan respon terhadap realitas
tersebut. Singkatnya, dengan pluralitas dan pluralisme diharap-kan
akan tercapai sikap saling tasāmuh dan toleransi yang mengantarkan
kepada masyarakat yang harmonis. Perbedaan yang disikapi dengan
saling menghargai berdasarkan ajaran masing-masing serta tata cara
menyikapi pemeluk keyakinan (agama) lain. Ajaran Islam tidak
membenarkan perbedaan, suku, ras, dan bangsa dijadikan alasan
untuk saling terpecah dan bermusuhan satu sama lain karena umat
manusia berasal dari satu keturunan yang sama yaitu keturunan Adam
dan karena Allah swt menciptakan bumi bukan hanya untuk satu
golongan atau umat tertentu saja, melainkan bagi seluruh umat
manusia. Dengan menurunkan bermacam-macam agama, suku,
bangsa, dan budaya bukan berarti Tuhan membenarkan diskriminasi
satu umat atas umat yang lain, melainkan agar masing-masing
berlomba di dalam berbuat kebajikan.
C. Implikasi Tauhid terhadap Pluralitas Agama
Fenomena pluralitas-pluralisme agama dan multikultural adalah
hal yang tidak luput dibicarakan di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an
merupakan kitab samawi yang diturunkan terakhir oleh Allah swt dan
diwahyukan kepada penutup para Nabi dan Rasul yaitu Muhammad
saw. Turunnya al-Qur’an di antaranya adalah memberikan gambaran
yang mengisyaratkan bahwa eksistensi keberagaman adalah bagian
dari kehendak Allah dengan melihat pada fungsi-fungsi al-Qur’an
terhadap kitab-kitab yang diturunkan Allah jauh sebelum datangnya
al-Qur’an. Al-Qur’an berfungsi sebagai mushaddiq (pembenar) bagi
kitab-kitab terdahulu. Dengan demikian, kedatangan al-Qur’an bukan
sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya tetapi sebagai pembenar
dan penguat inti ajaran Tuhan yang diturunkan kepada para rasul dan

Pendidikan Agama Islam


Islam dan Pluralitas 143
nabi sebelumnya. Selain itu, al-Qur’an juga berfungsi sebagai
muhaimin (penguji) dan furqan (pengoreksi) atas penyimpangan yang
terjadi dari penganut kitab-kitab tersebut. Dari sini dapat ditegaskan
bahwa esensi dan subtansi ajaran al-Qur’an sama dengan ajaran kitab-
kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelumnya, seperti
Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil dan suhuf-suhuf, esensi
ajarannya adalah tauhid.
Para nabi dan rasul Allah yang diutus kepada umat manusia,
meski berbeda-beda kitab yang dibawanya, namun tidak ada yang
kontradiktif satu sama lain. Semuanya membawa ajaran tauhid,
termasuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. seperti termuat di
dalam al-Qur’an. Itulah sebabnya Nabi Muhammad diperintahkan
untuk beriman kepada kitab yang telah diturunkan oleh Allah
sebelum al-Qur’an, seperti ditegaskan dalam QS. asy-Syūrā/42: 15:
“…Katakanlah (Muhammad): Aku beriman kepada semua kitab yang
telah diturunkan oleh Allah ...”
Di awal kehidupan Nabi Muhammad saw hingga akhir
kehidupannya benar-benar menyakini bahwa kitab-kitab suci yang
terdahulu adalah berasal dari Allah dan yang menyampaikannya
adalah para Nabi dan Rasul Allah. Dengan demikian, tidak heran jika
Muhammad sebagai nabi terakhir mengakui kenabian dan kerasulan
Ibrahim as, Musa as., Isa as., Nuh as., dan para nabi lainnya.
Penyikapan yang demikian semakin kuat pada diri Nabi Muhammad
setelah tampak bahwa para pengikut kitab-kitab suci terdahulu ada
yang beriman kepada al-Qur’an dan kepada kenabiannya, seperti
Waraqah bin Naufal yang telah mengetahui akan datangnya seorang
nabi yang ciri-cirinya seperti yang ia baca dalam Kitab Injil.
Fenomena Waraqah ini merupakan salah satu bukti bahwa
kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang membawa kitab
al-Qur’an sudah menjadi harapan dan keinginan sebagian orang yang
telah memiliki kitab sebelumnya. Hal ini ditegaskan di dalam QS. asy-
Syu’arā’/26: 192-197:
           
           
          
“Dan Sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam. Dia dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang

Pendidikan Agama Islam


144 Islam dan Pluralitas
memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya al-
Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab yang dahulu. Dan apakah
tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil
mengetahuinya?”
Jika ayat di atas dihubungkan dengan kandungan ayat-ayat
sebelumnya dan sesudahnya dalam surah yang sama, maka dapat
dijelaskan bahwa ketika al-Qur’an disampaikan kepada masyarakat
Makkah -sebagai kelompok manusia yang pertama bersentuhan
dengan al-Qur’an-, maka sebagian mereka meyakini kebenaran al-
Qur’an dan sebagian yang lain mengingkari dan menolak al-Qur’an.
Bahkan sikap penolakan mereka sangat cepat datangnya. Kondisi
yang demikian itu tidak saja dialami oleh Nabi saw, tetapi juga dialami
oleh semua nabi dan rasul yang diutus Allah sebelumnya.
Kandungan ayat-ayat pada Surah asy-Syu’arā’ mengisah-kan
tentang perjuangan berat yang dihadapi oleh para nabi di dalam
menjalankan misi tauhīdullah. Tantangan yang harus dihadapi oleh
Nabi Musa,Nabi Ibrahim, Nabi Nuh as, Nabi Hud as, Nabi Shaleh
as, Nabi Nabi Luth as, dan Nabi Syuaib as adalah dengan
menghadapi sikap kaum mereka masing-masing. Sebagian kaum para
nabi tersebut mengikut risalah dan sebagian lagi mengingkari dan
menolak risalah. Dalam konteks ini QS. al-Baqarah/2: 213:
menjelaskan bahwa, pada awalnya manusia adalah umat yang satu.
Lalu Allah mengutus para nabi-Nya kepada mereka sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan lewat kitab yang berisi
kebenaran. Dengan kitab itu pulalah diputuskan perkara-perkara yang
mereka perselisihkan. Namun umat tersebut berselisih tentang kitab
yang diturunkan kepada mereka, hanya karena keingkaran di antara
mereka. Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman
kepada kebenaran kitab yang diturunkan kepada mereka, berupa jalan
lurus dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Para nabi dan rasul diutus untuk umat tertentu, tidaklah hampa
budaya akan tetapi hidup dan berkembang pluralitas agama, sosial,
dan budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian dari
kelompok umat tersebut ada yang tetap berusaha berpegang pada
ajaran para nabi dan rasulnya dan sebagian lainnya melenceng.
Kelompok pertama inilah yang kemudian senantiasa berharap agar
Allah mengutus kembali seorang nabi dan rasul untuk memurnikan
ajaran para nabi dan rasul sebelumnya. Ketika Allah mengutus nabi
dan rasul yang baru (dan sering kali telah diinformasikan dalam kitab
sebelumnya), maka kelompok inilah yang kemudian beriman dan
meyakini rasul tersebut dan kitabnya. Sedang kelompok kedua yakni
Pendidikan Agama Islam
Islam dan Pluralitas 145
kelompok kontra risalah, yaitu ketika Allah mengutus nabi dan rasul
baru pada mereka, mereka pun bersikap kontra terhadap rasul dan
kitab yang baru tersebut.
D. Ukhuwah Islamiyah dan Insaniyah
1. Makna Ukhuwah Islamiyah
Kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan
simpati dan empati antara dua orang atau lebih. Masing- masing
pihak memiliki satu kondisi atau persamaan yang sama, baik suka
maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu
menimbulkan sikap timbal balik untuk saling membantu bila pihak
lain yang mengalami kesulitan, dan sikap untuk saling membagi
kesenangan kepada pihak lain bila salah satu pihak menemukan
kesenangan. Ukhuwah atau persaudaraan yang berlaku sesama umat
Islam disebut ukhuwah islāmiyah, dan persaudaraan pada semua umat
manusia secara universal tanpa membedakan agama, suku, dan aspek-
aspek kekhususan lainnya, disebut ukhuwah insāniyah.
Persaudaraan sesama muslim, berarti saling meng-hormati dan
menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar
kemanusiaan, seperti perbedaan pemikiran, sehingga tidak menjadi
penghalang untuk saling membantu atau menolong karena di antara
mereka terikat oleh satu keyakinan dan jalan hidup, yaitu Islam.
Agama Islam memberikan petunjuk yang jelas untuk menjaga agar
persaudaraan sesama muslim itu dapat terjalin dengan kokoh
sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Hujurāt/49: 10-12:
           
             
             
            
           
            
            
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat; Hai orang-orang yang beriman,
Pendidikan Agama Islam
146 Islam dan Pluralitas
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh
Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang
direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang
tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim; Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan
orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.”
2. Makna Ukhuwah Insaniyah
Konsep persaudaraan sesama manusia, ukhuwah insaniyah
dilandasi oleh ajaran bahwa semua umat manusia adalah makhluk
Allah. Sekalipun Allah memberikan petunjuk kebenaran melalui
ajaran Islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap
manusia menurut pertimbangan rasionya. Karena itu sejak awal
penciptaan, Allah tidak tetapkan manusia sebagai satu umat, padahal
Allah bisa bila mau. Itulah fitrah manusia, sebagaimana Allah jelaskan
dalam QS. al-Māidah/5: 48:
...            ...
“…Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu…”
Prinsip kebebasan itu menghalangi pemaksaan suatu agama
oleh otoritas manusia manapun, bahkan Rasulpun dilarang
melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yūnus/10: 99:
             
  
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Dalam QS. al-Baqarah/2: 256 Allah juga berfirman:

Pendidikan Agama Islam


Islam dan Pluralitas 147

              
            
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
maha Mendengar lagi maha Mengetahui.”
Senada dengan makna ayat tersebut, dalam QS. al-Kahfi/18: 29
Allah berfirman:
             
           
      
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.”
Dalam kenyataannya, ketegangan yang sering timbul intern
umat beragama, antara umat beragama, dan antara umat beragama
dengan pemerintah disebabkan oleh: (1) Sifat dari masing-masing
agama yang mengandung tugas dakwah atau misi; (2) Kurangnya
pengetahuan para memeluk agama akan agamanya sendiri dan agama
pihak lain; (3) Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri,
sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama
lain; (4) Kaburnya batas antara sikap memegang teguh kenyakinan
agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat; (5) Kecurigaan
masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama,
antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan
pemerintah; (6) Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi
masalah perbedaan pendapat.
Dalam pembinaan umat beragama, para pemimpin dan tokoh
agama mempunyai peranan yang besar, yaitu: (1) Menerjemahkan
nilai-nilai dan norma-norma agama dalam kehidupan masyarakat; (2)
Menerjemahkan gagasan-gagasan pembangunan kedalam bahasa yang
Pendidikan Agama Islam
148 Islam dan Pluralitas
dimengerti oleh rakyat; (3) Memberikan pendapat, saran dan kritik
yang sehat terhadap ide-ide dan cara-cara yang dilakukan untuk
suksesnya pem-bangunannya; (4) Mendorong dan membimbing
masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta dalam usaha
pembangunan (Tarmizi Taher, 1997:4).
Demikianlah perbedaan agama yang terjadi di antara umat
manusia merupakan konsekuensi dari kebebasan yang diberikan oleh
Allah, maka perbedaan agama itu tidak menjadi penghalang bagi
manusia untuk saling berinteraksi sosial dan saling membantu,
sepanjang masih dalam kawasan ke-manusiaan.
E. Pandangan Agama Islam terhadap Umat non Islam
Dari segi akidah, setiap orang yang tidak mau menerima Islam
sebagai agamanya disebut kafir atau non muslim. Kafir berarti orang
yang ingkar/menolak, yang tidak mau menerima atau menaati aturan
Allah yang diwujudkan kepada manusia melalui ajaran Islam. Sikap
kufur, penolakan terhadap perintah Allah pertama kali ditunjukkan
oleh Iblis ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam as
sebagaimana dikisahkan dalam QS. al- Baqarah/2: 34.
Ketika Rasulullah saw mulai menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat Arab, sebagian dari mereka ada yang mau
menerima ajaran tersebut dan sebagiannya lagi menolak. Orang yang
menolak ajakan Rasulullah tersebut itulah yang disebut kafir. Mereka
terdiri dari orang-orang musyrik yang menyembah berhala yang
disebut orang Watsani, dan orang-orang ahli kitab, baik orang Yahudi
maupun Nasrani. Di antara orang-orang kafir tersebut ada yang
mengganggu, menyakiti, dan memusuhi orang Islam dan di antaranya
hidup dengan rukun bersama orang Islam. Orang kafir yang
mengganggu, yang menyakiti, dan memusuhi orang Islam disebut
kafir harbi, dan orang kafir yang hidup rukun dengan orang Islam
disebut kafir dzimmi. Kafir harbi adalah orang kafir yang memerangi
orang Islam dan boleh diperangi oleh orang Islam. Kafir dzimmi
adalah orang kafir yang mengikat perjanjian atau menjadi tanggungan
orang Islam untuk menjaga keselamatan atau keamanannya. Bila
orang Islam memiliki kekuasaan politik dalam sebuah negara Islam,
maka kafir dzimmi ini menjadi warga negara Islam. Sebagai
kompensasi dari dzimmah, perjanjian atau tanggunan keamanannya
tersebut mereka wajib membayar jizyah, pajak kepada pemerintah
muslim. Ketentuan tersebut dijelaskan oleh Allah dalam QS. al-
Taubah/9: 29:

Pendidikan Agama Islam


Islam dan Pluralitas 149

            
          
     
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
Keadaan tunduk.”
Persamaan hidup antara orang Islam dengan non muslim telah
dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau dengan para sahabat
mengawali hidup di Madinah setelah hijrah. Rasulullah mengikat
perjanjian penduduk Madinah yang terdiri dari orang-orang kafir dan
muslim untuk saling membantu dan menjaga keamanan kota
Madinah dari gangguan musuh. Rasulullah juga pernah menggadaikan
baju besinya dengan gandum kepada orang Yahudi ketika umat Islam
kekurangan pangan.
F. Tanggungjawab Sosial Umat Islam
Umat Islam adalah umat yang terbaik yang diciptakan Allah
dalam kehidupan dunia ini. Demikian firman Allah dalam QS. Ali
‘Imrān/3: 110. Kebaikan umat Islam itu bukan sekedar simbolik,
karena telah mengikrarkan keyakinan Allah sebagai Tuhannya dan
Muhammad saw sebagai Rasulullah, tetapi karena identitas diri
sebagai muslim memberikan konsekuensi untuk menunjukkan
komitmennya dalam beribadah kepada Allah dan berlaku sosial.
Dalam al-Qur’an kedua komitmen itu disebut hablun minallāh dan
hablun minannās. Allah mengingatkan akan resiko kebinasaan bagi
manusia yang tidak mau menunjukkan komitmen kehidupannya pada
aspek tersebut.
Bentuk tanggungjawab sosial umat Islam meliputi berbagai
aspek kehidupan, di antaranya adalah:
1. Menjalin silaturahmi dengan tetangga. Dalam sebuah hadits
Rasulullah menjadikan kebaikan seseorang kepada tetangganya
menjadi salah satu indikator keamanan. Pada masyarakat pedesaan
yang relatif homogen dan penduduknya menetap, komunikasi mereka
pada umumnya lebih intensif dan akrab, tetapi bagi masyarakat
perkotaan yang relatif hetorogen dan penduduknya terdiri dari para
Pendidikan Agama Islam
150 Islam dan Pluralitas
perantau dengan tingkat kesibukannya tinggi, komunikasi sosial
mereka relatif lebih renggang.
2. Memberikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang
wajib dalam bentuk zakat maupun yang sunnah dalam sedekah. Harta
adalah reski yang Allah karuniakan kepada para hambanya yang harus
disyukuri baik secara lisan maupun melalui pemanfaatan secara benar.
Dalam QS. Ibrāhīm/14: 7 Allah berfirman:
          
 
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikma-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
3. Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan ta’ziah
bila ada anggota masyarakat yang meninggal dan mengurusnya
jenazahnya sampai di kubur.
4. Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota
masyarakat yang memerlukan bantuannya. Rasulullah melarang orang
Islam menolak permintaan bantuan orang lain yang meminta
kepadanya seandainya ia mampu membantu-nya. Hubungan sosial
akan terjalin dengan baik apabila masing-masing anggotanya mau
saling membantu, saling peduli akan nasib pihak lain dalam konteks
masyarakat modern, formulasi dari pemberian bantuan lebih
kompleks dan luas, seperti bantuan bea siswa pendidikan, bantuan
bila terjadi musibah bencana alam, dan yang lain.
5. Menyusun sistem sosial yang efektif dan efisien untuk
membangun masyarakat, baik mental spiritual maupun fisik
materialnya. Pembangunan mental, khususnya untuk generasi muda,
perlu memperoleh perhatian yang serius. Bahaya narkoba, tindak
kriminal, dan pergaulan bebas menjadi ancaman serius bagi generasi
muda yang secara cepat berkembang dan merusak mental mereka.
Peran sekolah dalam masalah ini sangat kecil, sehingga diperlukan
kepedulian sosial untuk menanggulanginya.
Sebagai umat terbaik, seorang muslim memiliki tugas dan
tanggungjawab amar ma’ruf dan nahi munkar yang artinya menyeru
orang lain untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Sikap
amar ma’ruf dan nahi munkar akan efektif apabila orang yang
melakukannya juga memberi contoh. Karena itu diperlukan kesiapan
secara sistemik dan melibatkan kelompok orang dengan perencanaan,
Pendidikan Agama Islam
Islam dan Pluralitas 151
pelaksanaan, dan pengawasan secara terorganisasi. Perintah amar
ma’ruf dan nahi munkar itu diperintahkan oleh Allah dalam QS. Ali
Imrān/3:104:
           
   
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.”
Di samping sistem dan saran pendukung, amar ma’ruf dan nahi
munkar juga memerlukan kebajikan dalam bertindak. Oleh karena itu,
Rasulullah memberikan tiga tingkatan, yaitu: (1) menggunakan tangan
atau kekuasaan apabila mampu; (2) menggunakan lisan; dan (3) dalam
hati apabila langkah pertama dan kedua tidak memungkinkan.
Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem di antaranya
adalah: (1) mendirikan masjid; (2) menyelenggarakan pengajian; (3)
mendirikan lembaga wakaf; (4) mendirikan lembaga pendidikan
Islam; (5) mendirikan lembaga keuangan atau perbankan syari’ah; (6)
mendirikan media masa Islam: koran, radio, televisi, dan yang lain; (7)
mendirikan panti rehabilitasi anak-anak nakal; (8) mendirikan
pesantren; (9) menyelenggarakan kajian-kajian Islam; (10) membuat
jaringan informasi sosial; dan lain-lain.
Sebagai agama yang universal dan komprehensif, Islam
mengandung ajaran yang integral dalam berbagai aspek kehidupan
umat manusia. Islam tidak hanya mengajarkan tentang akidah dan
ibadah semata, tetapi Islam juga mengandung ajaran dibidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Keberadaan agama Islam menjadi wujud kasih sayang Allah
bagi makhluk-Nya. Karena itu Islam disebut agama rahmat bagi
semesta alam karena menghormati semua manusia sebagai makhluk
Allah dan bahkan semua makhluk-Nya. Islam melarang menyakiti
orang non Islam, dan Islam juga melarang berbuat yang merusak
alam lingkungannya. Ketidakstabilan alam akan berakibat buruk bagi
alam itu sendiri dan juga bagi manusia.
G. Rangkuman
1. Pluralitas dalam konsep Islam adalah kehendak dan sunnatullah
yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.

Pendidikan Agama Islam


152 Islam dan Pluralitas
2. Pluralisme adalah suatu sistem nilai yang memandang
keberagaman atau kemajemukan secara positif dan optimis dengan
menerimanya sebagai kehendak Allah dan berupaya untuk berbuat
sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
3. Ukhuwah yang berarti persaudaraan adalah perasaan simpati
dan empati antara dua orang atau lebih.
4. Ukhuwah islamiyah adalah persaudaraan yang berlaku diantara
sesama umat Islam.
5. Ukhuwah insaniyah adalah persaudaraan pada berlaku pada
semua umat manusia secara universal tanpa membedakan agama,
suku, dan aspek-aspek lainnya.
6. Bentuk-bentuk tanggungjawab sosial umat Islam diantaranya:
menjalin silaturrahmi dengan tetangga, memberikan infak, memberi
bantuan pada yang memerlukan, dan menyusun sistem sosial yang
efektif dan efisien.
H. Pertanyaan
1. Jelaskan makna pluralitas!
2. Jelaskan pandangan Islam dalam menyikapi fenomena
pluralitas agama dan multikultural!
3. Terangkan implikasi tauhid terhadap pluralitas agama dan
multikultural!
4. Jelaskan konsep ukhuwah dalam Islam dan contoh
penerapannya dalam kehidupan!
5. Jelaskan makna dan bentuk-bentuk tanggungjawab sosial umat
Islam!
6. Terangkan bentuk aplikasi amar ma’ruf dan nahi munkar!

Pendidikan Agama Islam


BAB X
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
A. Pendahuluan
Islam memiliki konsep ajaran yang konkrit untuk menciptakan
kondisi masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki
konsep ajaran spiritualitas, ubudiyah semata. Letak kesempurnaan
agama Islam karena Islam mengandung ajaran pada semua aspek
kehidupan manusia, baik aspek peribadahan manusia kepada Allah
maupun aspek kehidupan sosialnya.
Masyarakat yang ideal menurut ajaran Islam adalah masyarakat
yang taat pada aturan Allah, yang hidup dengan damai dan tentram,
yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam al-Qur’an, kondisi
masyarakat seperti itu digambarkan dengan baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafūr, negeri yang baik dan Tuhan yang maha pengampun.
Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada masa Rasulullah saw
dicontohkan pada masa kehidupan beliau di Madinah, di mana
masyarakatnya memberikan kepercayaan dan menunjukkan
ketaatannya pada kepemimpinan Rasulullah saw, hidup dalam
kebersamaan, dan menjadikan al-Qur’an sebagai landasan hidupnya.
Masyarakat yang demikian disebut dengan masyarakat mandani.
Pendidikan Agama Islam 153
154 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
Bab ini menjelaskan tentang: Apa yang dimaksud dengan
masyarakat madani; Bagaimana masyarakat madani dalam sejarah, apa
karakteristik masyarakat madani, serta bagaimana peran umat Islam
dalam mewujudkan masyarakat madani; Bab ini juga menjelaskan
tentang sistem ekonomi Islam dalam meningkatkan kesejahteraan
umat, serta bagaimana etos kerja islami; Selain itu bab ini juga berisi
tentang zakat dan wakaf sebagai pilar kesejahteraan dengan
menjelaskan pengertian, dasar hukum dan manajemen pengelolaan
zakat dengan berbagai permasalahannya di Indonesia.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Menjelaskan
konsep masyarakat madani menurut ajaranIslam dan karakteristiknya;
Menjelaskan kondisi sumber daya umat Islam, parameternya, dan
konsep peningkatan kualitasnya; Menjelaskan konsep zakat dan
wakaf dan fungsinya bagi kesejahteraan umat; Serta menjelaskan cara
pengelolaan zakat dan wakaf yang dapat mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan sosial.
B. Masyarakat Madani
Masyarakat adalah sekumpulan orang yang hidup bersama
dalam suatu tempat dengan ikatan dan aturan tertentu. Sedangkan
kata madani berasal dari bahasa arab mudun jamak dari kata madinah
artinya kota. Jadi masyarakat madani artinya masyarakat kota.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Karena itu, dalam sejarah filsafat, sejak
filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam juga dikenal istilah madīnah
atau polis, yang berarti kota, yaitu masyarakat yang maju dan
berperadaban. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang
diharapkan oleh setiap masyarakat.
Di dalam al-Qur’an, Allah memberikan ilustrasi masyarakat
ideal, sebagai gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya
dalam QS. Sabā’/34: 15:
              
        
“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)

Pendidikan Agama Islam


Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 155
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang maha
pengampun."
Kata madani merupakan penyifatan terhadap kota Madinah,
yaitu sifat yang ditunjukkan oleh kondisi dan sistem kehidupan yang
berlaku di kota Madinah. Kondisi dan sistem kehidupan itu menjadi
populer dan dianggap ideal untuk menggambarkan masyarakat yang
islami, sekalipun penduduk-nya terdiri dari berbagai macam
keyakinan. Mereka hidup dengan rukun, saling membantu, taat
hukum, dan menunjukkan kepercayaan penuh terhadap
pemimpinnya. Al-Qur’an menjadi konstitusi untuk menyelesaikan
berbagai persoalan hidup yang terjadi di antara penduduk Madinah
C. Masyarakat Madani dalam Sejarah
Ada dua masyarakat dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai
masyarakat Madani, yaitu:
1. Masyarakat Saba’ yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman as.
Nama Saba’ yang terdapat dalam al-Qur’an itu bahkan dijadikan
nama salah satu surah al-Qur’an, yaitu surah ke-34. Masyarakat Saba’
yang dikisahkan dalam al-Qur’an itu mendiami negeri yang baik, yang
subur, dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan
tanamannya yang subur, yang menyediakan rezki, memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat. Negeri yang indah itu merupakan
wujud dari kasih sayang Allah yang disediakan bagi masyarakat Saba’.
Allah juga maha pengampun bila terjadi masalah pada masyarakat
tersebut. Karena itu Allah memerintahkan masyarakat Saba’ untuk
bersyukur kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan hidup
mereka. Kisah keadaan masyarakat Saba’ ini sangat populer dengan
ungkapan al-Qur’an “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.”
2. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah
antara Rasulullah saw beserta umat Islam dengan penduduk Madinah
yang beragama Yuhudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan
Khazraj. Madinah adalah nama kota di negara Arab Saudi, tempat
yang didiami Rasulullah sampai akhir hayat beliau sesudah hijrah.
Kota itu sangat populer karena menjadi pusat lahir dan
berkembangnya agama Islam setelah Mekah. Di kota itu Rasulullah
pertama kali membangun masjid yang dikenal dengan nama Masjid
Nabawi.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat
untuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam
kehidupan sosial, menjadikan al-Qur’an sebagai konstitusi dan
Pendidikan Agama Islam
156 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
menjadikan Rasulullah saw sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh
terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi
penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
D. Karakteristik Masyarakat Madani
Masyarakat Madani sebagai masyarakat ideal memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat
yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan
hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
Manusia sebagai universal mempunyai posisi yang sama menurut
fitrah kebebasan dalam hidupnya, sehingga komitmen terhadap
kehidupan sosial juga dilandasi oleh relativitas manusia di hadapan
Tuhan. Landasan hukum Tuhan dalam kehidupan sosial itu lebih
obyektif dan adil, karena tidak ada kepentingan kelompok tertentu
yang diutamakan dan tidak ada kelompok lain yang diabaikan.
2. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara
individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara
adil. Kelompok sosial mayoritas hidup berdampingan dengan
kelompok minoritas sehingga tidak muncul kecemburuan sosial.
Kelompok yang kuat tidak menganiaya kelompok yang lemah,
sehingga tirani minoritas dan anarkhi mayoritas dapat dihindarkan.
3. Tolong-menolong tanpa mencampuri urusan internal individu
lain yang dapat mengurangi kebebasannya. Prinsip tolong-menolong
antar anggota masyarakat didasarkan pada aspek kemanusiaan, di
mana sebagian orang mengalami kesulitan hidup, sedangkan yang lain
memiliki kemampuan membantu untuk meringankan kesulitan
hidupnya.
4. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain
yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak
merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
Masalah yang sangat menonjol dari sikap toleran ini adalah sikap
keagamaan, di mana setiap manusia memiliki kebebasan dalam
beragama dan tidak ada hak bagi orang lain yang berbeda agama
untuk mencampuri. Keyakinan beragama tidak dapat dipaksakan.
Rasio dan pengalaman hidup keagamaan manusia mampu
menentukan sendiri agama yang dianggapnya benar.
5. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. Setiap anggota

Pendidikan Agama Islam


Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 157
masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk
menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keutuhan masyarakatnya
sesuai dengan kondisi masing-masing. Konsep zakat, infaq, sedekah,
dan hibah bagi umat Islam serta “jizyah”dan “kharaj“ bagi non Islam,
merupakan salah satu wujud keseimbangan yang adil dalam masalah
tersebut. Keseimbangan hak dan kewajiban itu berlaku pada seluruh
aspek kehidupan sosial, sehingga tidak ada kelompok sosial tertentu
yang diistimewakan dari kelompok sosial lainnya sekedar karena ia
mayoritas. Kasus pengusiran kaum Yahudi dari kota Madinah
didasari oleh pengkhianatan mereka terhadap Piagam Madinah yang
membantu kaum musyrik memerangi kaum muslimin dalam Perang
Khandak, bukan karena mereka minoritas.
6. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut
memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan
kemajuan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan hidup umat
manusia. Ilmu pengetahuan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan memberikan
kemudahan dan meningkatkan harkat serta martabat manusia, di
samping memberikan kesadaran akan posisinya sebagai khalifah
Allah. Walaupun disisi lain ilmu pengetahuan juga bisa menjadi
ancaman yang membahayakan kehidupan manusia, bahkan
lingkungan hidup bila pemanfaatannya tidak disertai dengan nilai-nilai
akhlak manusianya.
7. Berakhlak mulia. Sekalipun pembentukan akhlak masyarakat
dapat dilakukan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan semata, tetapi
relativitas manusia dapat menyebabkan terjebaknya konsep akhlak
yang relatif. Sifat subyektif manusia sering sukar dihindarkan. Karena
itu, konsep akhlak tidak boleh dipisahkan dengan nilai-nilai
ketuhanan, sehingga substansi dan aplikasinya tidak terjadi
penyimpangan. Aspek ketuhanan dalam aplikasi akhlak memotivasi
manusia untuk berbuat tanpa menggantungkan reaksi serupa dari
pihak lain.
E. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam QS. Āli ‘Imrān/3:110 Allah swt berfirman:
         
           
   
Pendidikan Agama Islam
158 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”
Dalam ayat ini menyatakan bahwa umat Islam adalah umat
yang terbaik dari semua kelompok umat manusia yang Allah ciptakan.
Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggukan kualitas
SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat
Islam yang dimaksud dalam al-Qur’an itu sifatnya normatif. Realitas
dari norma tersebut bergantung pada kemampuan umat Islam sendiri
untuk memanfaatkan norma atau potensi yang telah dimilikinya.
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau
potensial umat Islam terjadi pada masa Abbasiyah. Pada masa itu
umat Islam menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan:
ilmu pengetahuan dan tekhnologi, militer, ekonomi, politik, dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok
umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir
pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-
Faraby, dan yang lain. Kemunduraan umat Islam terjadi pada
pertengahan abad 13 setelah Dinasti Bani Abbas dijatuhkan oleh
Hulagu Khan, cucu Jengis Khan.
Saat ini kendali kemajuan dipegang masyarakat Barat. Umat
Islam belum mampu bangkit mengejar ketertinggalannya. Semangat
untuk maju berdasar nilai-nilai Islam telah mulai di bangkitkan
melalui pemikiran Islamisasi Ilmu pengetahuan, Islamisasi
kelembagaan ekonomi melalui lembaga ekonomi dan perbankan
syari’ah, dan lain-lain. Kesadaran dan semangat untuk maju tersebut
bila disertai dengan sikap konsisten terhadap moral atau akhlak
islami, pasti akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan hasil yang dicapai masyarakat Barat yang sekedar
mengandalkan pemikiran akal semata.
Sumber daya umat Islam saat ini belum sepenuhnya bangkit
menunjukkan kulitas unggulnya. Karena itu dalam percaturan global,
baik dalam politik, ekonomi, militer, ilmu pengetahuan dan teknologi,
belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Dari segi
jumlah, umat Islam cukup besar, begitu pula dari segi potensi
alamnya, wilayah negara Islam memiliki kekayaan alam yang
dominan, tetapi karena kualitas sumber daya manusianya masih
rendah, eksploitasi kekayaan alamnya itu dilakukan oleh orang-orang
atau bangsa non Islam sehingga keuntungan terbesar diperoleh orang
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 159
non Islam.
Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85% tetapi karena
kualitas sumber daya manusianya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di
negeri ini bukan hukum Islam, sistem sosial politik dan ekonomi juga
belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum
mencerminkan akhlak Islam. Terealisasi tidaknya syiar dan
keunggulan Islam bergantung pada keunggulan dan komitmen
sumber daya umat Islam. Sebagai muslim, kita tidak boleh pesimis
dan putus asa, karena dasar potensi dan kemanmpuan itu ada dan
didukung oleh ketuhidan kepada Allah swt serta ridha-Nya tentu
kepada orang yang mengagungkan-Nya.
F. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk
kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhidullah. Setiap
usaha kerjasama atau hubungan antara seseorang dengan orang lain
dan mendapatkan penghasilannya dengan cara yang tidak sesuai
dengan ajaran tauhid adalah kerjasama atau hubungan yang tidak
Islami. Dengan demikian, realitas dari adanya hak milik mutlak tidak
dapat diterima orang Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid.
Menurut ajaran Islam, hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja.
Hal ini berarti bahwa hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak
milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai
pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang
seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya
itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam
hukum Islam. Persyaratan-persyaratan dan batas-batas hak milik
dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan
sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat
di dalamnya. Hak milik perorangan didasarkan atas kebebasan
individu yang wajar dan kodrati, sedangkan kerja sama didasarkan
atas kebutuhan dan kepentingan bersama. Manfaat dan kebutuhan
akan materi adalah untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan
hanya sekelompok manusia saja (Ismail R. al-Faruqi, 1982: 205).
Dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama,
tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak
mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok
orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk
membatasi kegiatan sosial dan ekonomi di kalangan mereka. Dengan
demikian, seorang muslim harus mempunyai keyakinan, bahwa
Pendidikan Agama Islam
160 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
perekonomian suatu kelompok, bangsa maupun individu pada
akhirnya kembali berada di tangan Allah swt. Jika seseorang memiliki
keyakinan yang demikian, dirinya tidak akan diperbudak oleh hal
keduniaan.
Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka
setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan
hukum-Nya. Untuk merealisasikan kekeluargaan dan kebersamaan
tersebut, harus ada kerjasama dan tolong menolong. Konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota
masyarakat di muka hukum tidak ada artinya kalau tidak disertai
dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang
memperoleh haknya. Agar supaya tidak ada eksploitasi yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain, maka Allah melarang umat
Islam memakan hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam QS.
asy-Syu’arā’/26: 183 :
         
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Dengan komitmen Islam yang khas terhadap persaudara-an,
keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan
dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep
keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan keyakinan serta
konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua
orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang
kontribusinya kepada masyarakat (Khurshid Ahmad, 1978: 230).
Islam menisyaratkan ketidak-samaan pendapatan sampai tingkat
tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan
pelayanannya dalam masyarakat. Dalam QS. al-Nahl/16: 71
disebutkan:
            
           
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan
rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”
Seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan
kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaan-nya harus
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 161
dibelanjakan sebagai sedekah karena Allah, atau diinvestasikan
kembali dalam suatu usaha yang akan mendatangkan keuntungan,
lapangan kerja dan penghasilan bagi orang lain. Sedekah sudah ada di
sepanjang sejarah manusia. Semua agama dan sistem etika
memandang amal itu sebagai nilai yang tinggi, dan Islam melanjutkan
tradisi tersebut (Ismail R al-Faruqi, 1982: 219). Banyak ayat-ayat al-
Qur’an yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah,
antara lain QS. al-Nisa/4: 114:
              
           
 
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan
barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Selain sedekah, dalam ajaran Islam ada beberapa lembaga yang
dapat dipergunakan untuk menyalurkan harta kekayaan seseorang,
yakni infak, hibah, zakat dan wakaf.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang
harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Kedua
hubungan itu harus berjalan serentak dan searah. Dengan
melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtera baik
di dunia maupun di akhirat kelak.
Untuk mencapai tujuan kesejahteraan dimaksud, di dalam
Islam selain dari kewajiban zakat, masih disyari’atkan untuk
memberikan sedeqah, infaq, hibah dan wakaf kepada pihak-pihak
yang memerlukan. Lembaga-lembaga tersebut dimaksudkan untuk
menjembatani dan mempererat hubungan sesama manusia, terutama
hubungan antara kelompok yang kuat dengan kelompok yang lemah,
antara yang kaya dengan yang miskin.
G. Etos Kerja Islami
Etos kerja adalah totalitas kepribadian diri dan cara
mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna
tentang sesuatu pekerjaan yang mendorong dirinya untuk bertindak
dan meraih amal yang optimal. (Toto Tasmara, 2002: 20). Etos kerja
Pendidikan Agama Islam
162 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
juga berarti percaya, tekun, dan senang pada pekerjaan yang sedang
dihadapi dengan tidak memandang apakah pekerjaan itu sebagai
buruh kasar atau pemimpin suatu perusahaan besar (M. Yunan
Nasution, 1966: 147). Etos kerja mencerminkan nilai kerohanian yang
membentuk kepribadian dan terekspresi melalui sikap dan perilaku
produktif. Bagi umat Islam, sifat etos kerjanya adalah etos kerja
Islami yang berlandaskan pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa umat Islam adalah umat
yang terbaik karena melakukan amar ma’ruf nahi munkar serta beriman
kepada Allah. Nilai kebaikan umat Islam tersebut dapat terealisasi
apabila keimanannya menghasilkan amal shalih. Oleh karena itu,
Allah akan menilai siapa yang paling baik amalnya QS. Hūd/11: 7:
          
          
          
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan
adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di
antara kamu yang lebih baik amalnyadan jika kamu berkata (kepada
penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati",
niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir
yang nyata.”
Dan QS. al-Mulk/67: 2:
           
 
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di
antara kalian yang lebih baik amal perbuatannya dan Dia maha perkasa lagi
maha pengampun.”
Islam memotivasi umatnya untuk berkompetisi dalam
kebaikan, memiliki etos kerja yang baik, yang menentukan nilai hidup
di dunia dan konsekuensi di akhirat, firman-Nya QS. al-Baqarah/2:
148:
             
        
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 163
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”
Hubungan etos kerja dengan balasan di akhirat memberikan
kestabilan (istiqamah) pada setiap pribadi akan kepastian hasil
kebaikan dari amal baik yang dilakukan yang tidak bergantung pada
kerelatifan manusia.
Menurut Toto Tasmara (2002: 21), menyebutkan bahwa etos
kerja seorang muslim memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Menghargai waktu. (2) Memiliki moralitas yang ikhlas. (3)
Memiliki kejujuran. (4) Memiliki komitmen. (5) Istiqamah, kuat
pendirian.(6) Disiplin; (7) Konsekuen dan berani menghadapi
tantangan; (8) Memiliki sikap percaya diri; (9) Kreatif; (10)
Bertanggungjawab; (11) Bahagia karena melayani; (12) Memiliki harga
diri; (13) Memiliki jiwa kepemimpinan; (14) Berorientasi ke masa
depan; (15) Hidup hemat dan efisien; (16) Memiliki jiwa wiraswasta;
(17) Memiliki insting berkompetisi; (18) Mandiri; (19) Berkemauan
belajar dan mencari ilmu; (20) Memiliki semangat perantauan; (21)
Memperhatikan kesehatan dan gizi; (22) Tangguh dan pantang
menyerah; (23) Berorientasi pada produktivitas; (24) Memperkaya
jaringan silaturrahmi; (25) Memiliki semangat perubahan.
H. Zakat dan Wakaf
1. Pengertian, Dasar Hukum dan Manajemennya.
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur
sosial Islam. Zakat bukan derma atau sedekah biasa, akan tetapi
pemberian wajib. Dengan terlaksananya zakat dengan baik dan benar,
diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir dan miskin dapat
berkurang. Selain itu, dengan pengelolaan zakat yang profesional
berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang ada
hubungannya dengan mustahiq (penerima zakat) dapat terselesaikan.
Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan
mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktekkan
pengorbanan diri serta kemurahan hati. Pelaksanaan zakat akan
membahagiakan dan menimbulkan rasa puas dalam diri muzakki
(orang yang mengeluarkan zakat) karena telah menyempurnakan
kewajiban kepada Allah. Zakat sebagai lembaga sosial keagamaan
telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para Rasul
terdahulu.
Dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata zakā yang
Pendidikan Agama Islam
164 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Pendapat lain mengatakan
bahwa kata dasar zakā berarti bertambah dan tumbuh, sedangkan
segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah fiqih,
zakat berarti sejumlah harta tertentu yang dimiliki seseorang yang
diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Menurut
Nawawi, jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat
karena yang dikeluarkan itu “menambah banyak, membuat lebih
berarti dan melindungi kekayaan dari kebinasaan” (Yusuf al-
Qardhawi, 1969: 37-38). Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, jiwa dan
kekayaan orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya
akan bertambah (al-Jaziri: 590). Hal ini berarti bahwa makna tumbuh
dan berkembang itu tidak hanya diperuntukkan buat harta kekayaan
tetapi lebih jauh dari itu. Dengan mengeluarkan zakat diharapkan hati
dan jiwa orang yang menunaikan kewajiban zakat itu menjadi bersih.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Taubah/9: 103:
           
      
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
Dari ayat ini tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan oleh para
muzakki itu dapat mensucikan dan membersihkan hati mereka. Suci
hati dapat diartikan mereka tidak mempunyai sifat yang tercela
terhadap harta seperti rakus dan kikir. Sebagai orang yang suci dan
mendapat petunjuk Allah, dia akan mengeluarkan harta bendanya
tidak hanya semata-mata karena kewajiban yang diperintahkan Allah,
melainkan benar-benar karena merasa sebagai orang yang mempunyai
kelebihan harta yang ikut bertanggungjawab atas sebagian masyarakat
lain yang membutuhkan. Dengan rasa tanggungjawab yang demikian,
ia akan mau setiap saat bersedia mengeluarkan hartanya bila orang
lain memerlukannya, dan ia akan memiliki sikap jiwa yang peka
terhadap kemiskinan dan kesengsaraan orang lain. Dari pihak
penerima, zakat juga dapat membuat hati mereka bersih dan suci.
Dengan menerima zakat ia dapat mengusir rasa dengki dan iri
terhadap orang yang memiliki kekayaan dan harta benda.
Dari definisi tersebut jelas bahwa zakat selain merupakan
ibadah kepada Allah juga mempunyai dampak sosial yang nyata. Dari
satu segi zakat adalah ibadah dan dari segi lain ia merupakan
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 165
kewajiban sosial. Zakat merupakan salah satu dana atau harta
masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menolong orang-orang
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga
dapat mempunyai kesempatan untuk hal-hal yang lebih baik dan
luhur. Dalam ajaran Islam, manusia selalu diberi kesempatan untuk
menikmati kehidupan ini dengan cara-cara yang halal, sehingga
dengan kenikmatan yang ia rasakan itu ia dapat berbuat bagi dirinya
dan orang lain.
Zakat adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan. Dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah banyak perintah untuk melaksanakan zakat,
antara lain QS. al-Baqarah/2: 110:
           
       
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi
Allah. Sesungguhnya Alah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
Di samping ayat di atas, masih banyak ayat-ayat lain yang
mengandung perintah menunaikan zakat. Adapun hadits yang
dipergunakan sebagai dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw, ketika mengutus
Mu’az ke Yaman, ia bersabda:
“Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh
karena itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka
taat kepadamu untuk ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan kepada mereka atas mereka shalat lima kali sehari
semalam; lalu jika mereka mentaati kamu untuk ajakan itu, maka
beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas
mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada
orang-orang miskin mereka; kemudian jika mereka taat kepadamu untuk
ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta
mereka, dan takutlah terhadap doa yang teraniaya, karena sesungguhnya antara
doa itu dan Allah tidak hijab (pembatas)”.
Zakat ada dua macam, yaitu zakat māl dan zakat fitrah. Zakat
māl adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum
yang wajib diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan setelah
mencapai nisāb (jumlah minimal) tertentu dan setelah dimiliki selama
Pendidikan Agama Islam
166 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
haul (jangka waktu) tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat
yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukum zakat fitrah
adalah wajib atas setiap orang Islam, kecil atau dewasa, laki-laki atau
perempuan, budak atau merdeka.
Al-Qur’an menyebutkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
hanya dengan kata-kata yang sangat umum, yakni harta benda atau
kekayaan seperti yang tersebut dalam QS. al-Taubah/9: 103. Harta
benda yang ada di dunia ini macam-macam jenisnya, namun demikian
jenis-jenis kekayaan itu dapat diklasifisikasikan sebagai berikut: emas
dan perak; binatang ternak; harta perdagangan; hasil tanaman dan
tumbuh-tumbuhan; harta rikaz (harta temuan) dan ma’din (tambang);
hasil laut dan harta profesi. Masing-masing di antara harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya itu sudah ditentukan nisab dan kadar zakatnya.
Dalam uraian yang singkat ini tidak dibahas secara rinci mengenai
macam-macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya,termasuk nisab
dan haulnya.
Meskipun zakat dijelaskan dalam al-Qur’an secara singkat,
tetapi khusus mengenai orang yang berhak menerima zakat
disebutkan secara jelas dalam QS. al Taubah/9: 60:
        
            
  
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Dari ayat di atas jelas bahwa Allah dengan tegas menujukkan
kepada umat Islam ke mana zakat itu harus disalurkan. Hal ini
mengingatkan manusia agar mereka memberikan harta zakat itu
kepada orang yang berhak menerimanya. Adapun orang-orang yang
berhak menerima zakat adalah: 1) fakir, 2) miskin, 3) ‘amil
[orang/badan yang mengurus zakat], 4) muallaf (orang yang baru
masuk Islam), 5) riqāb (hamba sahaya/budak), 6) gharīm (orang yang
dililit hutang), 7) sabīlillāh (orang yang berjuang dijalan Allah), 8)
ibnussabīl (orang dalam perjalanan).
Dalam ayat yang disebutkan di atas, fakir dan miskin
merupakan prioritas utama dari 8 golongan orang yang berhak
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 167
menerima zakat. Hal ini menunjukkan bahwa sasaran utama lembaga
zakat adalah untuk menghapus kemelaratan dan kemiskinan umat
Islam. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya kedermawanan dan
kepedulian umat Islam terhadap sesama umat manusia.
2. Manajemen Pengelolaan Zakat
Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal,
ada sebagian masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan
pengelolaan masyarakat itu secara produktif, sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Jika diperhatikan, umat Islam di Indonesia akhir-akhir ini
sangat mengharapkan pelaksanaan zakat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Mereka mengharapkan lembaga zakat dapat meningkatkan
kemampuan masyarakat fakir miskin, meningkatkan kesehatan
masyarakat, memberikan beasiswa pada mereka yang ingin
meneruskan belajar, dan memberi modal pada mereka yang ingin
berusaha dan sebagainya.
Tujuan umum usaha-usaha mengembangkan zakat di Indonesia
ialah agar bangsa Indonesia lebih mengamalkan seluruh ajaran
agamanya, dalam hal ini zakat yang diharapkan dapat menunjang
perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan
makmur materil dan spirirtual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Meskipun umat Islam selalu melaksanakan kewajibannya membayar
zakat namun pengaruh lembaga tersebut belum nampak kuat dalam
perkembangan ekonomi masyarakat atau dengan kata lain zakat
belum dapat meningkatkan kesejateraan umat secara menyeluruh.
Padahal apabila zakat dikelola secara optimal dan profesional dengan
tetap menerapkan fungsi standar manajemen, yakni perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating), dan
pengawasan (controlling), jelas akan dapat meningkatkan kesejahteraan
umat dan dapat mewujudkan keadilan sosial.
Meskipun cukup banyak hal yang mendorong umat Islam
untuk memungut dan melaksanakan kewajiban membayar zakat,
namun dalam masyarakat jelas masih ada beberapa masalah. Masalah-
masalah tersebut antara lain adalah: (1) Pemahaman zakat. Sampai
saat ini pengertian mereka tentang zakat masih sangat terbatas
dibanding dengan masalah shalat, puasa dan haji. (2) Konsepsi fiqih
zakat. Fiqih zakat yang selama ini diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan di Indonesia hampir seluruhnya hasil perumusan para ahli
beberapa abad yang lalu, yang tentu saja dipengaruhi oleh situasi dan

Pendidikan Agama Islam


168 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
kondisi setempat. Perumusan tersebut jelas sudah tidak sesuai lagi
untuk dipergunakan mengatur zakat dalam masyarakat modern
sekarang ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang yang
mempunyai sektor-sektor industri, pelayanan jasa misalnya tidak
tertampung oleh fiqih zakat yang telah ada. (3) Adanya benturan
kepentingan organisasi atau lembaga sosial Islam yang memungut
zakat. misalnya Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat
(LAZ). Di samping itu juga masih ada sebagian masyarakat yang
kurang percaya terhadap lembaga pengumpul zakat yang ada. Sebagai
akibatnya, masih cukup banyak muzakki yang menyerahkan zakat
kepada pihak yang ia kehendaki tanpa adanya koordinasi dengan
lembaga pengelola zakat yang sudah ada.
Untuk memecahkan masalah-masalah yang telah dikemukakan
di atas, ada beberapa upaya yang harus dilakukan. Upaya-upaya
tersebut antara lain adalah: (1) penyebarluasan pengertian zakat secara
baik dan benar. Sebaiknya dilakukan melalui pendidikan, baik formal
maupun non formal atau melalui seminar, media elektronik, media
cetak dan penyeluruhan, terutama tentang hukumnya, barang yang
dizakati, pendayagunaan dan pengorganisasiannya sesuai dengan
perkembangan zaman. Akhir-akhir ini masalah penyebarluasan
pemahaman zakat yang sudah mulai dilakukan. (2) merumuskan fiqih
zakat baru. Untuk membuat konsepsi fiqih zakat baru tersebut harus
ada kerjasama multi disipliner antara para ahli berbagai bidang yang
erat hubungannya dengan zakat. Fiqih zakat yang baru itu diharapkan
dapat menampung perkembangan yang ada dan akan ada di
Indonesia. Mengenai barang yang dizakati sebagai sumber zakat
hendaknya semua jenis barang yang bernilai ekonomis yang ada
dalam masyarakat Indonesia. (3) pengelolaan zakat dilakukan badan
amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah berdasarkan undang-undang no. 38 tahun
1999. Organisasi BAZ di semua tingkatan bersifat koordinatif,
konsultatif dan informatif. Pengurus BAZ terdiri dari unsur
masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu,
antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional dan
berintegritas tinggi. Meskipun pemerintah telah membentuk Badan
Amil Zakat, tetapi dalam keputusan Menteri Agama no. 581 tahun
1999, masyarakat tetap diberikan kesempatan untuk mendirikan
institusi pengelola zakat yang sepenuhya dibentuk atas prakarsa dan
oleh masyarakat sendiri disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ
yang telah dan akan dibentuk dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh
pemerintah.
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 169
Kemudian Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Pembentukan BAZNAS pertama kali ditetapkan
dengan Keputusan Presiden No 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil
Zakat Nasional sesuai amanat Undang-Undang No 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku saat itu. Setelah perubahan
regulasi BAZNAS berstatus sebagai lembaga pemerintah
nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggungjawab kepada
Presiden melalui Menteri Agama.
Dengan adanya BAZ, LAZ dan BAZNAS ini diharapkan,
zakat infaq dan shadaqah yang diberikan oleh umat Islam yang
mempunyai kelebihan harta dapat dikelola dan dapat didistribusikan
kepada yang berhak. Meskipun masyarakat sudah di beri kesempatan
untuk membentuk LAZ, namun dalam masyarakat masih cukup
banyak yang memiliki lembaga-lembaga pengelola zakat yang tidak
tercatat. Kondisi yang demikian jelas akan sulit dilakukan koordinasi.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada
banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi sangat tergantung pada
dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Zakat
baru dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaanya apabila zakat
tersebut benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
sosial bagi masyarakat. Keadaan demikian sangat tergantung pada
manajemen yang diterapkan oleh amil zakat dan political will dari
pemerintah. Untuk itu dalam pengelolaan zakat, diperlukan beberapa
prinsip, antara lain:
a. Harus berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah yang
erat kaitanya dengan masalah sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh
karena itu dalam pengelolaannyapun harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
b. Keterbukaan.
Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga amil zakat, maka pihak pengelola zakat harus menerapkan
manajemen yang terbuka. Oleh karena itu, pihak pengelola zakat
harus mempergunakan sistem informasi modern yang dapat diakses
secara langsung oleh pihak-pihak yang memerlukan. Pihak pengelola
zakat juga harus membuat laporan secara berkala, baik mengenai
dana yang terkumpul, pendistribusiannya, termasuk mustahiq yang
pernah mendapat-kan dana zakat. Dengan demikian perkembangan
mustahiq dapat diketahui setiap saat dan terus membinanya.

Pendidikan Agama Islam


170 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
c. Mempergunakan manajemen dan administasi modern.
Dalam hal ini amil zakat tidak cukup hanya memiliki kemauan
dan memahami hukum zakat saja, tetapi juga harus memahami
manajemen dan administrasi modern. Oleh karena itu, pengurus
badan amil zakat harus terdiri dari berbagai orang yang memiliki
pengetahuan di bidangnya masing-masing sesuai dengan tenaga yang
diperlukan dalam pengelolaan zakat itu. Dalam pengelolaan zakat ini
ada juga hal yang tidak dapat ditinggalkan, yakni perlu adanya
controlling dari semua pihak. Dengan demikian, jika ada hal-hal yang
tidak sesuai dengan aturan yang sebenarnya segera dapat diperbaiki.
Untuk memudahkan muzakki menyerahkan zakat, infak dan
sedekahnya, pengelola zakat harus bekerjama dengan bank-bank
Islam.
d. Pengelolaan zakat dilakukan secara profesional.
Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat dan Badan Amil
Zakat Nasional harus mengelola zakat, infaq, dan shadaqah dengan
sebaik-baiknya secara profesional. Sesuai dengan undang-undang 38
tahun 1999 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia,
Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat harus bersedia diaudit.
Di samping itu, amil juga harus berpegang teguh pada tujuan
zakat pengelolaan zakat, antara lain sebagai berikut: Mengangkat
harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan dan penderitaan; Membantu pemecahan permasalahan yang
dihadapi oleh para mustahiq; Menjembatani antara yang kaya dengan
yang miskin dalam suatu masyarakat; Meningkatkan syi’ar Islam;
Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara; serta
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
3. Wakaf dan Permasalahannya di Indonesia
Wakaf menurut bahasa berarti menahan, berhenti atau diam.
Sedangkan menurut istilah ialah menahan sesuatu (barang atau
benda) yang sifatnya tetap untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan
umat dan kemajuan Islam. Jadi seorang yang telah mewakafkan
sesuatu, berarti melepaskan kepemilikannya atas sesuatu tersebut dan
memberikannya kepada dan demi Allah agar bisa memberikan
manfaat kepada manusia secara tetap dan berkelanjutan, tidak boleh
dijual, dihibahkan ataupun diwariskan. Orang yang berwakaf atau
pemberi wakaf disebut wāqif sedang yang mengurusi barang wakaf
disebut nadzīr. Sedangkan benda atau barang yang diwakafkan disebut
mauqūf bih dan peruntukan wakaf disebut mauqūf ‘alaih.
Wakaf adalah salah satu bentuk dari sistem ekonomi Islam. Ia
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 171
merupakan sistem Islam yang berfungsi sebagai ibadah kepada Allah,
juga berfungsi sosial. Wakaf muncul dari suatu pernyataan dan
perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama
manusia. Oleh karenanya wakaf dapat dipergunakan bagi seorang
muslim untuk mewujudkan dan memelihara hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam
masyarakat. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan
menjadi bekal bagi kehidupan wākif di hari kemudian, karena ia
merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus mengalir
selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi
sosialnya, wakaf merupakan aset yang amat bernilai dalam
pembangunan umat.
Sebagai salah satu sistem sosial Islam, wakaf erat kaitannya
dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan
lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat
berkembang dengan baik di beberapa negara misalnya Mesir, Turki,
Libia, Yordania, Saudi Arabia, Bangladesh dan lain-lain. Boleh jadi
karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik
sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang
memerlukannya. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan
oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai suatu
lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang
perkembangan masyarakat Islam. Sebagian besar rumah ibadah,
perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya
dibangun di atas tanah wakaf.
Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak. Menurut data
yang ada di Departemen Agama Republik Indonesia, sampai dengan
Januari 2016 tercatat sekurangnya ada 4,4 triliun meter persegi tanah
wakaf yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Data yang sangat
fantastis ini menunjukkan besarnya potensi lahan yang masih bisa
digunakan bagi pengembangan ekonomi. Apabila jumlah tanah wakaf
di Indonesia ini dihubungkan dengan negara yang saat ini sedang
menghadapi berbagai krisis termasuk krisis ekonomi, sebenarnya
wakaf merupakan salah satu sistem Islam yang sangat potensial untuk
lebih dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang
mampu. Sayangnya wakaf yang jumlahnya begitu banyak, pada
umumnya pemanfaatannya masih bersifat konsumtif dan belum
dikelola secara produktif.
Suatu kenyataan yang dilihat bahwa wakaf yang ada di
Indonesia pada umumnya berupa mesjid, mushalla, madrasah,
sekolahan, makam, rumah yatim piatu. Dilihat dari segi sosial dan
Pendidikan Agama Islam
172 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
ekonomi, wakaf yang ada memang belum dapat berperan dalam
menanggulangi permasalahan umat khususnya masalah sosial dan
ekonomi. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan wakaf yang ada
kurang maksimal dalam pengelolaannya. Kondisi ini disebabkan oleh
keadaan tanah wakaf yang sempit dan hanya cukup dipergunakan
untuk tujuan wakaf yang diikrarkan wākif seperti untuk mushalla dan
masjid tanpa diiringi tanah atau benda yang dapat dikelola secara
produktif. Memang ada tanah wakaf yang cukup luas, tetapi karena
nadzīr-nya kurang kreatif, tanah yang memungkinkan dikelola secara
produktif tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan sama sekali, bahkan
untuk perawatannya pun harus dicarikan sumbangan dari masyarakat.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara
produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat
dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir
miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk
kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang
berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi
dengan wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka wakaf
sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara optimal.
Wakaf yang dikelola secara produktif dapat membantu
menyelesaikan masalah sosial ekonomi masyarakat. Peruntukan dan
pengelolaan wakaf di Indonesia yang kurang mengarah pada
pemberdayaan ekonomi umat dan cenderung hanya untuk
kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah khusus dapat dimaklumi,
karena memang pada umumnya ada keterbatasan ummat Islam
tentang pemahaman wakaf khususnya mengenai harta yang boleh
diwakafkan, peruntukan wakaf dan tugas nadzīr wakaf. Pada
umumnya mereka memahami bahwa peruntukan wakaf hanya
terbatas untuk kepentingan peribadatan khusus dan hal-hal yang
lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk sekolah, masjid,
mushallah, makam, dan lain-lain sebagaimana telah disebutkan.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat,
maka di Indonesia perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolah
wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola secara konsumtif dan
tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelolah secara produktif.
Untuk itu sebelumnya dilakukan pengelolaan wakaf produktif, perlu
dilakukan pengkajian dan perumusan kembali mengenai benda-benda
yang dapat diwakafkan (mauqūf bih), peruntukan wakaf (mauqūf ‘alaih),
tugas dan kewajiban serta hak-hak nadzīr. Hasil pengkajian dan
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 173
perumusan wakaf tersebut kemudian disosialisasikan kepada
masyarakat, sehingga masyarakat memahaminya.
Saat ini manajemen kelembagaan wakaf di Indonesia sangat
memprihatinkan sebagai akibatnya cukup banyak saat ini yayasan
pendidikan Islam baik yang berasal dari harta wakaf maupun bukan,
terlantar dalam pengelolaannya. Hal ini disebabkan karena orang pada
umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, dalam hal
ini wākif kurang memikirkan biaya operasional sekolah. Sekarang
sudah saatnya umat Islam memikirkan masalah wakaf yang kurang
biaya untuk melestarikannya. Kajian mengenai manajemen
kelembagaan wakaf ini sangat penting. Kurang berperannya wakaf
dalam memperdayakan ekonomi umat di Indonesia dikarenakan
wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk itu sekarang ini, sudah
saatnya wakaf yang ada di Indonesia dikelola secara produktif.
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam
pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan
masyarakat Islam dan telah menfasilitasi sarjana dan mahasiswa
dengan sarana dan prasarana yang memadai yang memungkinkan
mereka melakukan berbagai kegiatan seperti riset dan menyelesaikan
studi mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari hasil
wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan
ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan. Wakaf
tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga
menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun
masyarakat. Sebagai contoh misalnya di bidang kesehatan, lembaga
wakaf juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dan fasilitas pendidikan dengan membangun
rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri obat-obatan
serta kimia. Dilihat dari segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada
benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak. Di beberapa negara
seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, Bangladesh, wakaf
selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga
berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate, dan
lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian
hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan
kesejahteraan umat.
4. Pengelolaan Wakaf
Berbicara tentang pengelolaan wakaf, kita juga harus
membicarakan masalah nadzīr wakaf. Hal ini disebabkan karena
berkembang tidaknya harta wakaf, salah satu di antaranya sangat

Pendidikan Agama Islam


174 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
tergantung pada nadzīr wakaf. Walaupun para mujtahid tidak
menjadikan nadzīr sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama
sepakat bahwa wākif harus menunjuk nadzīr wakaf. Mengingat
pentingnya nadzīr dalam pengelolaan wakaf, maka di Indonesia nadzīr
ditetapkan sebagai unsur perwakafan. Pengangkatan nadzīr ini
tampaknya ditujukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terpelihara
sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia. Nadzīr adalah orang yang
diserahi tugas untuk mengurus dan memelihara benda wakaf.
Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi
kelompok orang atau badan Hukum yang diserahi tugas untuk
memelihara dan mengurus benda wakaf. Dengan demikian nadzīr
dapat diartikan sebagai orang atau pihak yang berhak untuk bertindak
atas harta wakaf, baik untuk mengurus, memelihara, dan
mendistribusi-kan hasil wakaf kepada orang yang berhak
menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang
memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal (Muhammad
Ibn Isma’il ash-Shan’any, tth: 112). Dari sini jelas bahwa berfungsi
dan tidak berfungsinya suatu perwakafan bergantung pada nadzīr.
Untuk mengelola wakaf produktif di Indonesia, yang pertama-
tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan suatu badan atau
lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional
misalnya badan wakaf untuk menyusun perencanaan yang matang
tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan wakaf.
Sebagai contoh misalnya membuat program pemberdayaan terhadap
aset-aset wakaf yang selama ini terlantar dengan meningkatkan
kemampuan para nadzīr dan menyusun program-program lain yang
erat dengan pengelolaan wakaf produktif. Selanjutnya adalah
memperkuat organisasi pengelolaan wakaf, dan diperlukan adanya
pengarahan dan pengawasan.
Di Indonesia telah dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI)
berdasarkan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf.
Badan ini dibentuk dalam rangka mengembangkan dan memajukan
perwakafan di Indonesia. BWI dibentuk bukan untuk mengambil alih
aset-aset yang selama ini oleh nadzīr yang sudah ada. BWI hadir untuk
membina nadzīr agar aset wakaf dikelola lebih baik dan lebih
produktif sehingga bisa memberikan manfaat yang lebih besar kepada
masyarakat, baik dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan
ekonomi, maupun pembangunan infrastruktur publik. Penerapan
manajemen modern, diharapkan Badan Wakaf Indonesia tersebut
dapat mengembangkan wakaf secara produktif, sehingga wakaf dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pendidikan Agama Islam
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat 175
Wakaf yang belum banyak dikembangkan di Indonesia
misalnya wakaf uang. Wakaf uang ini penting sekali untuk
dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian
memburuk. Contoh sukses pelaksanaan sertifikat wakaf tunai di
Bangladesh dapat dijadikan teladan bagi umat Islam di Indonesia.
Kalau umat Islam mampu melaksanakannya dalam skala besar, maka
akan terlihat implikasi positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut.
Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi
di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan
dari anggota masyarakat yang berpenghasilan tinggi dapat
dimanfaatkan melalui penukaran sertifikat wakaf tunai. Sedangkan
pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai tersebut
dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda-beda, seperti
keperluan pendidikan, kesehatan, dan untuk pemeliharaan harta-harta
wakaf. Jika ada lembaga wakaf yang mampu mengelola wakaf uang
secara profesional, maka lembaga ini merupakan sarana baru bagi
umat Islam untuk beramal.
Apabila wakaf tunai dan wakaf produktif ini sudah
dikembangkan, yayasan badan wakaf dan BWI yang semula juga
mengandalkan dana ZIS, mestinya tidak memerlukan lagi dana zakat,
infak, dan sedekah. Zakat, infak dan shadaqah lebih baik tetap
dikelola oleh BAZ atau BAZNAS dan LAZ, yang sudah ada. Dengan
demikian pengelolaannya lebih tertib dan rapi.
Berdasarkan pembahasan yang sudah dikemukakan jelas zakat
dan wakaf di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian khusus,
karena sistem-sistem tersebut merupakan sistem yang potensial untuk
dikembangkan, tetapi pengelolaannya sampai saat ini belum optimal.
Dengan adanya LAZ, BAZNAS, BWI dan lembaga lain, diharapkan
pengelolaan zakat dan wakaf lebih terarah sehingga tujuan orang
berzakat dan berwakaf dapat tercapai.
I. Rangkuman
1. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maju dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Dalam sejarah Islam ada dua masyarakat yang terdokumentasi
sebagai masyarakat madani, yaitu; masyarakat saba dan masyarakat
madinah.
3. Masyarakat madani memiliki karakteristik sebagai berikut:
bertuhan, damai, tolong-menolong, toleran, keseimbangan antara hak
Pendidikan Agama Islam
176 Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
dan kewajiban, berperadaban tinggi, dan berakhlak mulia.
4. Etos kerja islami adalah etos kerja yang berlandaskan pada al-
Qur’an dan as-Sunnah
5. Zakat dan wakaf merupakan bentuk dari sistem ekonomi Islam
yang berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial.
J. Pertanyaan
1. Jelaskan konsep masyarakat madani menurut ajaran Islam!
2. Berikan contoh masyarakat madani yang pernah terjadi dalam
sejarah kehidupan umat manusia!
3. Terangkan karaktristik masyarakat madani!
4. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan umat Islam dalam
mewujudkan masyarakat madani?
5. Jelaskan pengertian dan fungsi zakat!
6. Berikan uraian manajemen pengelolaan wakaf di Indonesia!

Pendidikan Agama Islam


BAB XI
KEBUDAYAAN ISLAM
A. Pendahuluan
Islam disamping mengandung ajaran utama sebagai syariah,
juga memotivasi umat Islam untuk mengembangkan kebudayaan
Islam, yaitu kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai Islam.
Kebudayaan memperoleh perhatian yang serius dalam Islam karena
mempunyai peran yang sangat penting untuk membumikan ajaran
utama sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup umat manusia.
Manusia dengan akal budinya mampu menghasilkan
kebudayaan yang spektakuler. Hidup manusia memang memerlukan
sarana kehidupan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya.
Memperoleh kemudahan dan kesenangan hidup. Akal budi mampu
melahirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
mengelolanya sehingga menghasilkan produk budaya maju.
Walaupun tidak sedikit produk budaya itu yang justru
menyengsarakan manusia sendiri dan mengakibatkan terjadinya
kerusakan manusia dan lingkungan Kebudayaan dalam bentuk karya
seni juga berkembang pesat, tetapi terdapat sisi negatif dalam
perkembangannya.
Pendidikan Agama Islam 177
178 Kebudayaan Islam
Bab ini menjelaskan tentang makna kebudayaan dalam Islam,
bagimana perkembangan kebudayaan Islam dan nilai-nilai
Kebudayaan Islam. Bab ini juga menjelaskan bagaiman akulturasi
ajaran Islam dalam budaya Indonesia, serta bagaimana masjid
dijadikan sebagai pusat kebudayaan Islam.
Dengan mempelajari bab ini, mahasiswa dapat: Menjelaskan
pengertian kebudayaan dan peradaban Islam;n Membedakan
kebudayaan dan peradaban Islam dengan kebudayaan dan peradaban
pada umumnya; Menjelaskan sejarah intelektual Islam dan pusat-
pusat peradaban Islam; Berprilaku arif dan bijaksana dalam
menyikapi perkembangan budaya dan peradaban modern; Dan
memiliki prinsip dan kebanggaan terhadap kebudayaan dan
peradaban Islam dan kebudayaan sendiri.
B. Makna Kebudayaan dalam Islam
Secara umum, kebudayaan adalah istilah yang menunjukkan
segala hasil karya manusia yang berkaitan dengan pengungkapan
bentuk. Dalam perkembangannya, kebudayaan sering dipengaruhi
oleh banyak faktor, seperti tempat, waktu, dan kondisi masyarakat,
sehingga lahir suatu bentuk kebudayaan khusus, seperti kebudayaan
Islam, kebudayaan Timur, dan kebudayaan Barat.
A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, telah mengumpulkan
kurang lebih 161 definisi tentang kebudayaan (Musa Asy’arie, 1992:
93). Secara garis besarnya, definisi kebudayaan sebanyak itu
dikelompokkan ke dalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan dan
sudut pandang masing-masing, yaitu:
1. Pendekatan deskriptif dengan menekankan pada sejumlah isi
yang terkandung di dalamnya seperti definisi yang dipakai oleh Tailor
bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang amat kompleks
meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat
istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima
manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Pendekatan historis dengan menekankan pada warisan sosial
dan tradisi kebudayaan seperti definisi yang dipakai oleh Park dan
Burgess yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat
adalah sejumlah totalitas dari organisasi dan warisan social yang
diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak
dan sejarah hidup suatu bangsa.
3. Pendekatan normatif seperti definisi yang dipakai oleh Ralph
Linton, (Linton, 1945 : 27) yang menegaskan bahwa kebudayaan
Pendidikan Agama Islam
Kebudayaan Islam 179
sutau masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-
ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki
kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4. Pendekatan psikologi yang di antaranya menekankan pada aspek
penyesuaian diri (adjustment) dan proses belajar seperti definisi yang
dipakai oleh Kluckhohn yang menegaskan bahwa kebudayaan terdiri
atas semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.
5. Pendekatan struktural dengan menekankan pada aspek pola dan
organisasi kebudayaan, seperti definisi yang dipakai oleh Turney yang
menyatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan
aktifitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan
melangsungkan penemuan-penemuan, baik yang material maupun
non material.
6. Pendekatan genetik yang memandang kebudayaan sebagai suatu
produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan simbol. Termasuk
dalam kelompok ini adalah definisi yang dibuat oleh Bidney yang
menyatakan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai proses
dinamis dan produk dari pengolahan dari manusia dan lingkungannya
untuk mencapai akhir individu dan masyarakat.
Dari berbagai tujuan dan sudut pandangan tentang definisi
kebudayaan, menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan sesuatu
persoalan yang sangat luas. Namun esensinya adalah bahwa
kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya bahwa
manusialah sebagai pencipta kebudayaan itu. Kebudayaan itu lahir
bersamaan dengan kelahiran manusia itu sendiri. Dari penjelasan di
atas kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi; kebudayaan sebagai suatu
proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Al-Qur’an memandang kebudayaan itu merupakan suatu
proses, dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia.
Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang
meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu
perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami
sebagai hasil olah akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia
tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi
lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Islam adalah ajaran yang diturunkan Allah swt melalui malaikat
kepada para Nabi untuk disampaikan umat manusia agar menjadi
pedoman hidup. Jika demikian, maka Islam bukanlah kebudayaan
karena bukan hasil olah akal, budi, cita rasa, karya manusia. Ajaran
Islam yang diturunkan Allah swt kepada manusia, kemudian
Pendidikan Agama Islam
180 Kebudayaan Islam
dipedomani dan menghiasi dirinya secara terus menerus yang
kemudian membudaya pada dirinya. Dengan demikian, jadilah ia
kebudayaan Islam.
Oleh karena itu, tidaklah salah sepenuhnya jika kebudayaan
Islam disebut sebagai hasil olah akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya
manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam.
Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan
berkembang. Hasil olah akal, budi, rasa, karsa dan karya yang telah
terseleksi oleh nilai-nilai keislaman yang bersifat universal
berkembang menjadi sebuah peradaban. Kebudayaan atau peradaban
yang dipengaruhi oleh nila-nilai ajaran Islam disebut kebudayaan atau
peradaban Islam.
C. Perkembangan Kebudayaan Islam
Mengawali tugas kerasulannya, Nabi meletakkan dasar-dasar
kebudayaan Islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban
Islam. Ketika dakwah Islam ke luar dari jazirah Arab, kemudian
tersebar keseluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan
rumit yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai Islam
yang kemudian menghasilkan kebudayaan Islam, kemudian
berkembang menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya
secara universal.
Perkembangan pemikiran Islam mempunyai sejarah yang
panjang dalam arti seluas-luasnya. Tradisi pemikiran di kalangan umat
Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri.
Dalam konteks masyarakat Arab sendiri, di mana Islam lahir pertama
kali berkembang di sana, kedatangannya lengkap dengan tradisi
keilmuannya. Sebab masyarakat Arab pra-Islam belum mempunyai
sistem pengembangan pemikiran secara sistematis.
Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja sistem
pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum jelas karena ajaran
Islam tidak diturunkan sekaligus. Namun demikian, isyarat al-Qur’an
sudah cukup jelas meletakkan pondasi yang kokoh terhadap
pengembangan ilmu dan pemikiran, sebagaimana terlihat pada ayat
yang pertama diturunkan yaitu berupa perintah untuk membaca
dengan nama Allah. Proses pendidikan Islam pertama kali
berlangsung di rumah. Dan ketika masyarakat Islam telah terbentuk,
pendidikan Islam kemudian diselenggarakan di mesjid. Proses
pendidikan pada kedua tempat tersebut dilakukan dalam lingkaran
besar atau disebut halaqah.
Perkembangan kebudayaan Islam yang paling menonjol dalam
Pendidikan Agama Islam
Kebudayaan Islam 181
sejarah umat Islam adalah budaya intelektual Islam. Sejak abad
pertama (abad VII M) perkembangan Islam telah lahir ilmuwan-
ilmuwan muslim yang melahirkan sistem berpikir atau metode
berijtihad dalam disiplin ilmu tertentu yang dikenal dengan istilah
mazhab. Di antara ulama/ilmuan muslim tersebut adalah Imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali dalam disiplin
ilmu fiqih. Perkembangan pemikiran Islam di bidang ilmu fiqih
kemudian diiringi dengan perkembangan pemikiran di bidang ilmu
yang lain, yang banyak melahirkan ilmuwan muslim. Di antaranya,
para ilmuwan muslim sebagai berikut:
a. Bidang filsafat: al-Kindi (801-873), al-Farabi (870-950), al-Razi
(865-925), dan lain-lain.
b. Bidang ilmu tasawwuf: Rabi’ah al-Adawiyah, Ibnu ‘Arabi, dan
Yazid al-Busthami al-Gazali dan lain-lain.
c. Bidang ilmu matematika: Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi
dan Abu al-Wafa’.
d. Bidang ilmu fisika: Abu Yusuf Ya’kub Ibnu Ishak al-Kindi dan
Abu Rayhan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni.
e. Bidang ilmu kimia: Jabir Ibnu al-Hayyan al-Kufi al-Sufi dan Abu
Usman al-Jahiz.
f. Bidang ilmu biologi: al-Dinawari dengan karyanya Encylopedia
Botanica.
g. Bidang ilmu kedokteran: Ali al-Thabari, Hunain Ibnu Ishak al-
‘Ibadi, dan lain-lain.
h. Bidang ilmu geografi: Hisyam al-Kalbi.
i. Bidang ilmu astronomi: Abu Yusuf Ya’qub Ibnu Ishaq al-Kindi
dengan karyanya Risalah fi Masail Su’ila ‘anha min Ahwal al-Makasib.
Menurut M. Natsir, ada enam sumber kekuatan ajaran Islam.
Untuk mencapai suatu kebudayaan bersifat lokal menjadi suatu
peradaban manusia yang universal yaitu: (1) Menghormati akal; (2)
Kewajiban menuntut ilmu; (3) Larangan taklid; (4) Mengambil
inisiatif; (5) Menggunakan hak-hak keduniaan; (6) Aktualisasi nilai-
nilai Islam kedalam kehidupan nyata.
D. Nilai-nilai Kebudayaan Islam
Bentuk kebudayaan dan peradaban yang sangat penting dan
perlu memperoleh perhatian besar dalam kehidupan sosial, terutama
dalam kehidupan masyarakat akademis, masyarakat intelektual yang
mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran intelektual muslim adalah:
1. Berorientasi pada pengabdian dan kebenaran Ilahi.
Pendidikan Agama Islam
182 Kebudayaan Islam
Berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Dzāriyāt/51: 56:
      
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Dalam aya ini dijelaskan bahwa tujuan penciptaan manusia
hanyalah beribadah dan mengabdi kepada Allah. Oleh karenanya itu,
seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan ini, harus berorientasi
pada pengabdian kepada Allah. Untuk menciptakan nilai pengabdian
tersebut manusia harus bertitik tolak pada kebenaran yang
ditunjukkan oleh Allah. Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah/2:
147:
        
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
Termasuk orang-orang yang ragu.”
2. Berpikir kritis dan inovatif.
Berpikir kritis adalah berpikir secara obyektif dan analitis,
sedangkan berpikir inovatif adalah berpikir ke depan untuk
menemukan pemikiran-pemikiran baru. Berpikir kritis dan inovatif
inilah yang telah menghantarkan kemajuan intelektual pada masa
keemasannya dalam berbagai disiplin ilmu.
3. Bekerja keras.
Manusia adalah makhluk terbaik yang dianugerahi potensi besar
dalam bentuk akal pikiran, hati nurani, dan seluruh aktivitas
kehidupan manusia dinilai oleh Allah. Anugerah tersebut harus
difungsikan secara optimal. Oleh karena itu, Allah memerintahkan
manusia berusaha meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, QS.
al-Qashash/28: 77:
            
              
  
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
Pendidikan Agama Islam
Kebudayaan Islam 183
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dalam berusaha, Allah melarang umat-Nya berputus asa karena
kehidupan itu sendiri adalah rahmat Allah (QS. Yūsuf/12: 87):
            
        
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
4. Bersikap terbuka.
Sikap terbuka berarti mau menerima masukan dan kebenaran
yang datang dari orang lain, siapapun dia, dan apapun posisinya. Oleh
karena itu, Rasulullah saw memerintahkan untuk memperhatikan
substansi perkataan orang lain dan bukan siapa yang mengatakannya.
Kemajuan akan lebih mudah dicapai dengan sikap terbuka serta
memanfaatkan pemikiran, dan kemajuan yang dicapai orang lain
sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang diturunkan
Allah.
5. Jujur.
Dalam kehidupan intelektual, kejujuran mutlak diperlukan baik
dalam bentuk pengakuan terhadap kebenaran pemikiran orang lain
maupun dalam bentuk pengakuan akan pemikiran diri pribadi.
Kejujuran akan membimbing manusia dalam proses penemuan
kebenaran dan mengemukakan kebenaran secara obyektif. Kejujuran
menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang merugikan. Oleh
karena itu, Rasulullah saw mengingatkan bahwa ketidakjujuran/
kebohongan merupakan pangkal dari semua dosa.
6. Adil.
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil
menunjukkan sikap yang proporsional dalam mengambil keputusan
dalam berbagai persoalan yang terkait dengan banyak pihak yang
berkepentingan. Sekalipun sikap adil pada umumnya berkaitan
dengan proses peradilan, tetapi adil diperlukan dalam berbagai aspek
kehidupan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan untuk berlaku adil,
berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, melarang berbuat keji,
kemungkaran dan permusuhan. Allah berfirman QS. al-Nahl/16: 90:

Pendidikan Agama Islam


184 Kebudayaan Islam

          
       
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”
7. Tanggungjawab.
Tanggungjawab maksudnya adalah kesediaan menang-gung
segala resiko atau konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukan.
Setiap perbuatan memiliki resiko baik atau buruk. Hal ini bergantung
pada substansi perbuatannya. Oleh karena itu, Allah mengingatkan
bahwa setiap manusia akan mendapat pahala sebagai balasan dari
kebajikan yang dilakukannya dan sebaliknya akan mendapat siksa atas
kejahatan yang dilakukannya, QS. al-Baqarah/2: 286):
...             
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…"
8. Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori
atau mencemari nilai niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud
pengabdian dalam ketaatan kepada Allah. Sebab itu Ikhlas dalam niat
selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah. Firman Allah QS.
al-Bayyinah/98: 5:
 ...         
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus…”
9. Disiplin.
Disiplin adalah sikap yang paling mendasar yang diperlukan
untuk memenuhi syarat normatif dalam setiap perbuatan. Tanpa
kedisiplinan, kualitas hidup dan kualitas produk tidak akan pernah
terwujud. Untuk mewujudkan sikap disiplin bagi umat Islam cukup
dengan mengimplementasikan filosofi shalat. Shalat itu diperintahkan
Pendidikan Agama Islam
Kebudayaan Islam 185
untuk dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Di luar
waktu tersebut, tidak sah seperti yang dinyatakan QS. al-Nisā’/4: 103:
          ...
  
“… kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.”
E. Akulturasi Ajaran Islam dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena
Islam berasal dari negara Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia
tidak terlepas dari budaya Arabnya. Pada awal masuknya dakwah
Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran
Islam dan mana budaya Arab. Masyarakat awam cenderung
menyamakan antara perilaku yang ditampilkan oleh orang Arab
dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh
orang Arab itu semuanya mencerminkan ajaran Islam. Bahkan hingga
kini budaya Arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Di zaman modern, ada satu fenomena yang menarik untuk
kita simak bersama yaitu semangat dan pemahaman sebagian generasi
muda umat Islam dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.
Mereka berpandangan bahwa Islam yang benar adalah segala sesuatu
yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad saw secara utuh termasuk
nilai-nilai budaya Arabnya.
Nabi Muhammad saw adalah seorang Rasul Allah dan harus
diingat bahwa beliau adalah orang Arab. Dalam kajian budaya sudah
barang tentu apa yang ditampilkan dalam perilaku kehidupannya
terdapat nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan nilai-nilai Islam itu
bersifat universal. Maka dari itu sangat dimungkinkan apa yang
dicontoh oleh nabi dalam hal mu’amalah terdapat nuansa budaya
yang dapat kita aktualisasikan dalam kehidupan modern dan
disesuaikan dengan muatan budaya lokal masing-masing. Sebagai
contoh, dalam cara berpakaian dan cara makan. Dalam ajaran Islam
sendiri meniru budaya satu kaum boleh-boleh saja sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, apalagi yang ditirunya
adalah panutan suci Nabi Muhammad saw, namun yang tidak boleh
adalah menganggap bahwa nilai-nilai budaya Arabnya dipandang
sebagai ajaran Islam.

Pendidikan Agama Islam


186 Kebudayaan Islam
Corak dan potongan baju yang dikenakan oleh Rasulullah saw
merupakan budaya yang ditampilkan oleh orang Arab. Yang menjadi
ajarannya adalah menutup aurat, kesederhanaan, kebersihan dan
kenyamanannya. Sedangkan bentuk dan model pakaian yang
dikenakan umat Islam boleh saja berbeda dengan yang dikenakan
oleh Nabi saw.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para penyiar
agama mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya,
sebagaimana dilakukan oleh para wali di tanah Jawa. Karena
kehebatan para wali Allah dalam mengemas ajaran Islam dengan
bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa
nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan
sehari hari mereka.
Lebih jauh lagi bahwa nilai-nilai Islam sudah menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam
upacara-upacara adat dan dalam penggunaan bahasa sehari hari.
Bahasa al-Qur’an (Arab) sudah banyak diserap ke dalam bahasa
daerah bahkan ke dalam bahasa Indonesia baku. Semua itu tanpa
disadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ajaran
Islam.
Tugas berikutnya para intelektual muslim adalah menjelaskan
secara sistematis dan melanjutkan upaya penetrasi yang sudah
dilakukan oleh para pendahuluannya. Dengan penjelasan tersebut
perilaku yang diniatkan hanya sekedar melaksanakan suatu tradisi
akan berubah menjadi bentuk ibadah dan akan bertambah pula nilai-
nilai kemanfaatannya yang dicatat menjadi amal shaleh karena
disadari bahwa semua itu adalah pelaksanaan sebagian dari ajaran
Islam.
Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan bangsa
Indonesia ternyata tidak sekedar masuk pada aspek budaya semata
tetapi sudah masuk ke wilayah hukum. Sebagai contoh dalam hukum
keluarga (ahwālusy-syahshiyyah) masalah waris, masalah pernikahan dan
lain-lain. Mereka tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam masuk ke wilayah
hukum yang berlaku di Indonesia. Olehnya itu, Munawir Sadzali
(1993) berani mengatakan bahwa hukum Islam sebahagian besar
sudah berlaku di Indonesia, tinggal masalah pidana saja yang belum
dapat dilakukan.
F. Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam
Dari segi bahasa, masjid berarti tempat sujud, menyembah
menghambakan diri, beribadah kepada Allah. Sujud merupakan
Pendidikan Agama Islam
Kebudayaan Islam 187
ketundukan dan ketaatan manusia secara total. Secara lahir, sujud
dalam bentuk mencium bumi menggambarkan pengakuan akan
rendahnya derajat manusia di hadapan Allah yang maha tinggi dan
secara batin, sujud merupakan wujud keasan manusia untuk menuruti
kehendak Allah. Bagi umat Islam, sujud merupakan salah satu rukun
dan menjadi ciri khas dalam shalat. Karena itu, salah satu kegiatan
yang harus ada dan dilakukan oleh umat Islam secara rutin di masjid
adalah sujud dalam shalat. Dalam kehidupan bermasyarakat, masjid
menjadi ciri kehidupan umat Islam. Di mana ada masjid, disitu ada
umat Islam. Akan tetapi dalam pengertian yang luas yang
menggambarkan ketaatan dan ketundukan manusia kepada Allah,
masjid merupakan tempat pembentukan kepribadian muslim dan
pengembangan kehidupan berdasarkan aturan-aturan Allah.
Saat ini, masjid pada umumnya dipahami oleh masyarakat
sebagai tempat ibadah khusus saja seperti shalat, padahal masjid
berfungsi luas daripada sekedar tempat shalat. Sejak awal berdirinya,
masjid belum bergeser dari fungsi utamanya yaitu tempat shalat.
Akan tetapi perlu diingat bahwa mesjid di zaman Nabi berfungsi
sebagai pusat peradaban. Nabi saw menyucikan jiwa kaum muslimin,
mengajarkan al-Qur’an dan al-hikmah, bermusyawarah untuk
menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin, membina sikap
dasar kaum muslimin terhadap orang yang berbeda agama dan ras,
hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan umat justru dari
masjid. Masjid dijadikan simbol persatuan umat Islam. Selama sekitar
700 tahun sejak Nabi mendirikan masjid pertama, fungsi masjid
masih kokoh dan orisinil sebagai pusat peribadatan dan peradaban.
Sekolah-sekolah dan universitas-universitas pun bermunculan, justru
dari masjid. Masjid al-Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh
yang sangat dikenal luas kaum muslimin Indonesia. Masjid ini
mampu memberikan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa.
Bahkan pengentasan kemiskinan pun merupakan program nyata
masjid.
Tapi sangat disesalkan masjid kemudian mengalami
penyempitan fungsi karena adanya intervensi pihak-pihak tertentu
yang mempolitisasi masjid sebagai alat untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan. Ruh peradaban yang sarat dengan misi
ketuhanan seolah-olah telah mati. Awal merosotnya bermula dari
hilangnya tradisi berpikir integral dan komprehensif menjadi berpikir
sektoral yang sempit. Ruh dan aktivitas pendidikan serta merta
hengkang dari masjid. Masjid hanya mengajari umat tentang belajar
baca tulis al-Qur’an tanpa pengembangan wawasan dan pemikiran
Pendidikan Agama Islam
188 Kebudayaan Islam
Islami dan tempat belajar umat tentang ilmu fikih ibadah bahkan
lebih sempit lagi yaitu ibadah praktis dari salah satu mazhab. Lebih
parah lagi masjid-masjid menjadi tempat belajar menghujat dan
menyalahkan mazhab-mazhab lain yang berbeda. Dengan
menyempitkan fungsi masjid-masjid seperti ini, bagaimana mungkin
akan tumbuh sikap toleran terhadap penganut agama lain, bila
terhadap sesama umat seagama saja ditanamkan sikap permusuhan?
Di Indonesia kondisi ini terjadi sejak masa penjajahan Belanda.
Akan sangat sulit menemukan masjid yang memiliki program nyata di
bidang pencerahan keberagamaan umat Islam. Kita (mungkin) susah
menemukan masjid yang memiliki kegiatan yang terprogram secara
baik dalam membina keberagamaan umat. Terlebih lagi masjid yang
menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan.
Pada perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok
yang sadar untuk mengembalikan fungsi sebagai-mana mestinya.
Kesadaran ke arah optimalisasi fungsi masjid kembali tumbuh
terutama di kalangan intelektual muda, khususnya pada para aktivitas
masjid. Di mulai dari gerakan pesantren kilat di masjid pada awal
tahun 1978, pengentasan buta huruf al-Qur’an di awal tahun 1990-an,
gerakan ini berhasil mengentaskan buta huruf al-Qur’an sekitar 30%
anak-anak TK-SLTP dan 40% siswa SLTA dan mahasiswa. Dan
sekarang ini, TK-TPA telah berdiri aktif di setiap masjid.
Kini mulai tumbuh kesadaran umat akan pentingnya peranan
masjid untuk mencerdaskan dan menyejahterakan jamaahnya. Fungsi
dan peran masjid dari waktu ke waktu terus meluas, membuktikan
kesadaran dan pemahaman umat Islam terhadap pemanfaatan masjid
semakin meningkat. Meluasnya fungsi dan peran masjid ini seiring
dengan laju pertumbuhan umat Islam di Indonesia, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif yang tercermin dalam pertambahan
jumlah penduduk muslim dan meningkatkan jumlah intelektual
muslim yang sadar dan peduli terhadap peningkatan kualitas umat
Islam. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya perluasan fungsi
dan tugas masjid.
Konsepsi tentang masjid sejak masa-masa awal didirikan hingga
sekarang tidak akan pernah berubah. Paradigma yang digunakan
adalah al-Qur’an, maka masjid yang didirikan berdasarkan ketaqwaan
tidak akan pernah berubah dari tujuan dan misinya. Berdasarkan
paradigma inilah kita akan berpikir tentang konsep, tujuan dan
perlakuan terhadap masjid itu memiliki kesamaan. Melalui paradigma
inilah kita akan mampu mengontrol kesucian dari pemikiran yang
dikotomis. Dan dari segi tujuan, pendirian masjid adalah berdasarkan
Pendidikan Agama Islam
Kebudayaan Islam 189
taqwa kepada Allah, bukan karena yang lain-lain sebagaimana firman
Allah swt dalam QS. al-Taubah/9: 107:
       
           
      
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk
kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta
menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya
sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki
selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu
adalah pendusta (dalam sumpahnya).”
Dalam syariat Islam masjid memiliki dua fungsi utama yaitu:
pertama, sebagai pusat ibadah ritual; dan kedua, sebagai pusat ibadah
sosial. Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya bahwa fungsi utama
masjid adalah sebagai pusat pembinaan umat Islam.
G. Rangkuman
1. Kebudayaan Islam adalah hasil olah akal, budi, rasa, karsa, dan
karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam.
2. Nilai-nilai kebudayaan Islam mencakup: berorientasi pada
pengabdian dan kebenaran ilahi, berpikir kritis dan inovatif, bekerja
keras, bersikap terbuka, jujur, adil, tanggungjawab, dan ikhlas.
3. Masjid sebagai pusat kebudayaan Islam memiliki dua fungsi,
yaitu: sebagai pusat ibadah ritual dan sebagai pusat ibadah sosial.
H. Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian kebudayaan Islam?
2. Apa perbedaan yang mendasar antara kebudayaan dan
peradaban Islam dengan kebudayaan dan peradaban lainnya?
3. Bagaimana kecenderungan pemahaman ajaran Islam di
kalangan intelektual muda dewasa ini?
4. Jelaskan fungsi masjid dalam pembinaan dan pengembangan
masyarakat Islam!

Pendidikan Agama Islam


190 Kebudayaan Islam

Pendidikan Agama Islam


BAB XII
SISTEM POLITIK ISLAM DAN DEMOKRASI
A. Pendahuluan
Rasulullah dalam kehidupannya menunjukkan bahwa beliau
memegang kekuasaan politik di samping kekuasaan agama. Ketika
beliau dengan para sahabat hijrah ke Madinah, kegiatan yang beliau
lakukan untuk menciptakan sistem kehidupan yang stabil dan
harmonis adalah mempersatukan seluruh penduduk Madinah dalam
satu sistem sosial sampai politik dibawah kekuasaan beliau yang
dikenal dengan perjanjian Madinah. Rasulullah tidak memaksa kaum
Yahudi dan Watsani untuk memeluk agama Islam, tetapi beliau
menginginkan semua penduduk Madinah menghormati perjanjian
yang mereka sepakati.
Ketika Rasulullah memiliki kekuasaan secara politik di
Madinah, beliau juga menjalin kesepakatan dengan pengusaha maka
agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua kekuasaan tersebut,
sekalipun dalam perkembangan selanjutnya penguasa Mekah
mengingkari perjanjian yang ia tandatangani sehingga memicu
peperangan, seperti Perang Badar, Uhud dan lain-lain.
Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia
Pendidikan Agama Islam 191
192 Sistem Politik dan Demokrasi
secara lengkap, termasuk didalamnya kehidupan politik. Tetapi Islam
tidak menentukan secara kongkrit bentuk kekuasaan politik seperti
apa yang diajarkan dalam Islam. Itulah sebabnya kemudian terjadi
perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam
merumuskan sistem politik Islam.
Bab ini membahas tentang sistem politik Islam yang di
dalamnya mencakup: Pengertian, kedudukan sistem politik dalam
Islam, prinsip-prinsip dasar politik dalam Islam, prinsip-prinsip
politik (siyāsah) luar negeri dalam Islam, dan kontribusi umat Islam
terhadap kehidupan politik di Indonesia. Bab ini juga membahas
tentang Demokrasi dalam Islam dengan berbagai dasarnya.
Dengan mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
Menjelaskan defenisi sistem politik Islam, menjelaskan aliran-aliran
poltik dalam Islam, menjelaskan nilai-nilai dasar sistem politik Islam
dan membuktikan kontribusi umat Islam dalam kehidupan politik
Nasional.
B. Sistem Politik Islam
1. Pengertian
Kata sistem berasal dari bahasa Inggris, yaitu system artinya
perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas atau susunan yang teratur dengan
pandangan, teori, dan asas. Adapun politik berasal dari bahasa
Yunani: politicos, atau dari bahasa Latin politicus yang berarti relating to
citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia kata politik diartikan sebagai segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan. Sedangkan kata Islam berarti agama yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad saw yang berpedoman pada al-Qur’an.
Dengan demikian sistem politik Islam adalah sebuah aturan tentang
pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dalam terminologi Islam, kata politik diterjemahkan dengan
kata siyāsah. Siyāsah secara etimologi berasal dari bahasa Arab dengan
akar kata sāsa-yasūsu yang berarti mengemudi, mengendalikan,
mengatur, dan sebagainya. Ada beberapa ulama yang menyusun karya
ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan al-Qur’an dan as-
Sunnah sebagai rujukan. Di antaranya Ibnu Taimiyah (1263-1328)
dengan bukunya as-Siyāsat as-Syar’iyyah (politik keagamaan). Uraian al-
Qur’an tentang politik dapat ditemukan pada ayat-ayat yang
menjelaskan tentang hukm. Hukm awalnya berarti menghalangi atau

Pendidikan Agama Islam


Sistem Politik dan Demokrasi 193
melarang dalam rangka perbaikan. Kemudian dari akar kata yang
sama terbentuk kata hikmah yang berarti kendali. Makna hikmat ini
sejalan dengan makna sāsa-yasūsu-sais-siyāsat yang berarti mengemudi,
mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian.
Siyāsah, seperti dijelaskan sebelumnya identik dengan politik
dan hikmat. Terdapat persamaan makna antara siyāsah, politik, dan
hikmah. Ulama mengartikan hikmah dengan kebijaksanaan, atau
kemampuan menangani suatu masalah sehingga mendatangkan
manfaat dan menghindarkan mudharat. Dengan demikian, sistem
politik Islam adalah suatu konsep yang berisi ketentuan-ketentuan
tentang sumber kekuasaan negara, pelaksana kekuasaan, dasar dan
cara untuk menentukan kewenangan, dan tanggungjawab yang
berdasar-kan nilai-nilai ajaran Islam (al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad).
Garis-garis besar siyāsah dalam Islam meliputi: siyāsah dustūriyyah
(hukum tata negara), siyasah dauliyyah (hukum politik yang mengatur
hubungan antar negara), dan siyāsah māliyyah (hukum politik yang
mengatur sistem ekonomi negara).
2. Kedudukan Sistem Politik dalam Islam
Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia
secara lengkap termasuk di dalamnya kehidupan politik. Akan tetapi
tidak menentukan secara konkrit bentuk-bentuk kekuasaan politiknya
sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam
merumuskan sistem politik Islam. Dalam hal ini ada tiga pendapat,
sebagai berikut:
a. Pendapat pertama yang berpendirian bahwa Islam bukanlah
semata-mata agama seperti pengertian Barat yakni hanya mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Tetapi Islam adalah
suatu agama yang sempurna dan lengkap mengatur segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan di dalam bernegara. Di
dalamnya terdapat pula sistem ketatanegaraan atau politik. Sistem
politik atau yang disebut juga fiqhussiyāsah merupakan bagian integral
dari ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat, bahwa
sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan oleh para Khulafā’ ar-
Rāsyidūn dan tidak perlu meniru atau mencontoh sistem
ketatanegaraan Barat. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam pendapat
ini di antaranya adalah: Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, Muhammad
Rasyid Ridha, dan Abu al-A’la al-Maududi.
b. Pendapat kedua yang berpendirian bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian Barat. Artinya agama tidak ada hubungannya
Pendidikan Agama Islam
194 Sistem Politik dan Demokrasi
dengan urusan kenegaraan. Menurut pendapat ini Nabi Muhammad
saw adalah seorang Rasul, seperti rasul-rasul yang lain bertugas hanya
menyampaikan risalah Tuhan, mengajak manusia kembali kepada
kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur,
akhlāqul karīmah kepada segenap alam. Nabi diutus bukan untuk
mendirikan, mengepalai dan memimpin suatu negara. Di antara
tokoh-tokoh dari pendapat ini antara lain: Ali Abdur Raziq dan
Thaha Husein.
c. Pendapat ketiga yang menolak pendapat bahwa Islam adalah
agama yang serba lengkap yang terdapat di dalamnya segala sistem
kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak
pendapat bahwa Islam sebagaimana pandangan Barat yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Kelompok ketiga ini
berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Tokoh-tokoh dari kelompok ini di antaranya adalah Dr. Mohammad
Husein Haikal dengan karyanya yang terkenal berjudul Hayatu
Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi.
Sejarah membuktikan bahwa Nabi selain sebagai Rasul,
meminjam istilah Harun Nasution, beliau juga adalah kepala agama
sekaligus kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah yaitu Yastrib
yang kemudian menjadi Madinah al-Munawwarah sebagai wilayah
kekuasaan Nabi sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan
piagam Madinah sebagai aturan dasar kenegaraannya. Dalam praktek
kepemimpinannya, beliau bertindak sebagai kepala agama (Rasul
Allah) sekaligus bertindak sebagai kepala negara (raja/penguasa).
Tindakan beliau yang dianggap sebagai kepala negara ialah misalnya
pernyataan perang dan perdamaian dengan pihak kafir Quraisy dan
kafir Arab sekitar Mekah, pengiriman surat (hubungan diplomatik)
dengan Kaisar Kerajaan Romawi Heraklius, Raja Mesir Mukaukis dan
Kisra Khasru II Raja Persia, selain raja-raja Arab sendiri. Walaupun
isi surat-surat Nabi saw itu semata-mata berisi ajakan Islam, namun
ini menggambarkan terdapat hubungan antara kepala negara satu
dengan kepala negara yang lain (siyāsah dauliyyah).
Kedudukan Nabi saw memimpin umat Islam dalam negaranya
nampak pada aplikasi dalam kegiatan pemerintahan negara (politik
Islam), misalnya dalam menyelesaikan sengketa di antara umat
(sebagai aspek judikatif), mengatur dan mengutus pejabat ke daerah-
daerah untuk keamanan umat Islam (sebagai aspek eksekutif) dan
selalu mengadakan musyawarah (sebagai aspek legislatif) dalam
membuat aturan umat, mengatur pertahanan dan keamanan serta
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 195
mengatur sistem ekonomi negara untuk kesejahteraan umat (siyāsah
māliyyah).
Sepeninggal Nabi saw, kedudukan beliau sebagai kepala negara
digantikan Abu bakar yang merupakan hasil kesepakatan musyawarah
tokoh-tokoh sahabat, selanjutnya disebut khalifah. Sistem
pemerintahannya disebut “khilāfah”. Sistem “khilāfah” ini berlangsung
hingga kepemimpinan berada di bawah kekuasaan khalifah terakhir,
Ali bin Abu Thalib. Sistem pemerintahan selepas Khalifah Ali
kemudian berubah menjadi bentuk kerajaan (monarchi), meskipun
raja yang menjadi penguasa menyatakan dirinya sebagai khalifah,
namun sistem kerajaan, khalifah bukan dipilih lagi secara musyawarah
seperti sebelumnya, melainkan diangkat secara turun temurun. Sistem
kerajaan ini berlangsung hingga akhir abad ke tujuh belas, saat Turki
Usmani mulai mengalami kekalahan-kekalahan dari bangsa Eropa.
Akhir abad tujuh belas hampir semua negara Islam masuk dalam
perangkap penjajahan Barat. Lama penjajahan di negara satu dengan
negara yang lainnya tidak sama. Awal abad sembilan belas negara-
negara Islam mulai melepaskan diri satu persatu dari kolonialisme
Barat. Dan dalam waktu bersamaan muncullah nasionalisme-
nasionalisme. Sistem pemerintahan bagi negara-negara yang baru
melepaskan diri dari kolonialisme berbeda-beda. Ada yang muncul
mengambil bentuk kerajaan, keemiran, kesultanan dan ada yang
muncul dengan bentuk presidensial kabinet atau parlementer kabinet.
Menurut Harun Nasution (1985), khilāfah (pemerintah-an) yang
timbul setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, tidak mempunyai
bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat kepada bentuk republik, dalam
arti. Kepala negara dipilih berdasarkan hasil musyawarah dan tidak
mewarisi secara turun temurun seperti umumnya bentuk Kerajaan.
Seperti diketahui khalifah pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak
mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad saw. Kalifah
kedua, Umar Ibnu Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah
dengan Abu Bakar, demikian pula khalifah ketiga Utsman Ibn Affan
dan khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, satu sama lain tidak
mempunyai hubungan darah. Mereka adalah para sahabat Nabi dan
terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah bukan atas dasar warisan dari
Nabi saw tetapi atas hasil musyawarah di antara umat Islam.
Demikian dan seterusnya hingga khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan
kata lain, pemilihan masing-masing khalifah didasarkan pada
kapabilitas, kompetensi, dan kredibilitas masing-masing dengan jalan
musyawarah dan kesepakatan.
Sungguhpun demikian, Ibnu Khaldun (w. 1406 M) menerima
Pendidikan Agama Islam
196 Sistem Politik dan Demokrasi
penggabungan keduanya, dalam arti ia menganggap bahwa tidak ada
perbedaan prinsipil antara sistem khilafah dengan sistem kerajaan,
selanjutnya ia menyatakan bahwa kekhalifahan maupun kerajaan
adalah khilafah Allah di antara manusia bagi pelaksanaan segala
peraturan di antara manusia. Al-Mawardi (w. 1056 M) dalam bukunya
al-Ahkām al-Sulthāniyyah, mengemukakan pembahasan teortis dan
idealistis menyangkut khilāfah. Menurutnya, Allah adalah penguasa
mutlak (absolut) bagi alam semesta dan merupakan pokok wewenang
bagi negara. Melalui surat amanat, wewenang itu didelegasikan
kepada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Lembaga
khilāfah itu berdasarkan wahyu, yakni pernyataan-pernyataan al-
Qur’an untuk pegangan khalifah Allah, bukan semata-mata
berdasarkan akal. Khalifah dicalonkan dan dipilih oleh para pemuka
masyarakat, yakni ahl al-halli wa al-‘aqdi. Khalifah mesti mengikuti suri
tauladan khalifah yang sebelumnya. Pemilihan atau penunjukan
seorang khalifah mesti diikuti oleh bai’at dari masyarakat.
Idealisme moral dan teori politik tentang khalifah dibuktikan
lagi secara khusus oleh kualifikasi jabatan tersebut yakni memiliki
keadilan, punya cukup ilmu bagi penafsiran dan pelaksanaan hukum,
berwatak taat, memiliki keberanian untuk memimpin perang, sehat
fisik, dan turunan Quraisy yakni suku Nabi saw. Dalam
kedudukannya sebagai amīr al-mukminīn, ia memimpin masyarakat
dalam peperangan. Tugas khalifah yang paling utama adalah menjaga
dan melaksanakan syari’ah, mewujudkan kedamaian dan
kesejahteraan. Dia adalah pengawas dan pelindung Islam juga
pembela keimanan dan ketaqwaan.
Berbeda dengan al-Mawardi, Ali Abd al-Raziq dalam bukunya
al-Ahkām al-Sulthāniyyah (Islam dan ketatanegaraan) berpendapat
bahwa sistem pemerintahan tidak tersurat dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat
ketentuan-ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad saw
hanya mempunyai tugas kerasulan dan dalam misi beliau tidak
termasuk pembentukan negara (Mawardi, 2000). Selanjutnya ia
menyatakan, sistem khalifah timbul sebagai perkembangan yang
seharusnya dari sejarah Islam. Nabi saw wafat dan dengan kepergian
beliau mestinya ada yang menggantikan dan melanjutkan kedudukan
beliau dalam mengurus umat. Dengan jalan demikianlah Abu Bakar
muncul sebagai khalifah atau pengganti beliau. Abu Bakar sebenarnya
tidak mempunyai tugas keagamaan sebagai halnya Nabi saw, tetapi
sebatas hanyalah sebagai kepala negara dan bukan kepala agama.
Begitu pula Umar, Utsman dan Ali. Soal corak dan bentuk negara
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 197
bukanlah soal agama tetapi soal duniawi dan diserahkan kepada akal
manusia untuk menentukannya. Karena itu tindakan Mustafa kamal
pada tahun 1924 M dalam menghapuskan khalifah dari sistem
kerajaan Utsmani bukanlah suatu tindakan yang bertentangan dengan
ajaran Islam, dengan kata lain dianggap tidak bertentangan dengan
sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.
Muhammad Rasyid Ridha memberikan reaksi keras terhadap
gagasan dan pemikiran Ali Abduraziq. Pendapat Ridha dalam
karyanya yang khusus membahas tentang kedudukan khilafah dalam
Islam merupakan jawaban terhadap pemikiran sekuler Ali Abd al-
Raziq. Dalam bukunya yang populer “al-Khilāfah au al-Imāmat al-
‘Udzmā” (kekhalifahan atau kepemimpinan agung) menguraikan
tentang defenisi khilafah, hukum mendirikan lembaga khilafah,
syarat-syarat untuk menjadi ahlu al-halli wa al-aqdi dan jumlahnya,
keputraan mahkota dan lain sebagainya. Khilafah dalam pandangan
Ridha adalah satu sistem pemerintahan yang harus dipertahankan di
dunia Islam untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam
(jami’ah islamiyah). Pada saat itu, buku “al-Islām wa Ushūl al-Hukm”
karya Ali Abd al-Raziq bukan hanya dilarang beredar oleh ulama al-
Azhar, bahkan Ali Abd al-Raziq pun dikeluarkan dari barisan kibar
ulama al-Azhar, Mesir. Ridha sendiri menulis sebuah buku yang
berjudul al-Khilāfah au al-Imāmat al-‘Uzhmā yang isinya sanggahan
terhadap karya Ali Abd al- Raziq.
Mencermati perkembangan politik Islam di Indonesia jika
dihubungkan dengan beberapa pandangan di atas, maka terdapat
beberapa hal yang perlu dipikirkan dan mengemasnya kedalam
perspektif religio politik baru dalam hubungan antara Islam dan
negara, di antaranya adalah:
Pertama, dalam pandangan mereka, tidak ada bukti yang tegas
bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi mewajibkan umat Islam untuk
mendirikan negara Islam. Dalam pengamatan mereka, eksperimentasi
politik Nabi Muhammad saw tidak mengandung unsur proklamasi
berdirinya sebuah negara Islam. Oleh karena itu, mereka menolak
agenda politik para pemimpin dan aktivitas politik Islam yang
menuntut pembentukan sebuah negara Islam atau negara yang
berdasarkan ideologi Islam.
Kedua, mereka mengakui bahwa Islam memberi seperangkat
prinsip sosial-politik. Meski demikian, mereka memandang bahwa
Islam bukanlah ideologi. Oleh karena itu, ideologi Islam itu tidak ada,
bahkan ideologisasi Islam dapat dianggap sebagai mereduksi Islam.
Ketiga, karena Islam dipahami sebagai agama yang kekal dan
Pendidikan Agama Islam
198 Sistem Politik dan Demokrasi
universal, maka pemahaman umat Islam terhadapnya tidak boleh
dibatasi hanya pada pengertian formal dan legalnya, khususnya yang
dibangun dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Pemahaman ini
harus didasarkan kepada penafsiran yang menyeluruh, yang
menerapkan petunjuk tekstual dan doktrinalnya kedalam situasi dan
konteks kontemporernya. Sudut pandang ini pada gilirannya
meniscayakan transformasi Islam ke dalam prinsip-prinsip dan
praktik-praktik kontemporer.
Keempat, mereka percaya bahwa hanya Allah swt yang
mengetahui kebenaran mutlak. Sebab itu tidak mungkin bagi manusia
untuk menjangkau realitas Islam yang mutlak. dalam penilaian
mereka, pemahaman umat Islam terhadap doktrin-doktrin
keagamaan mereka pada dasarnya bersifat relatif dalam nilai, sehingga
dapat berubah.
Dengan adanya keragaman penafsiran terhadap Islam dan
kenyataan bahwa Islam tidak mengakui sistem kependetaan dalam
beragama (lā rahbāniyah fi al-Islām), maka tidak seorangpun yang dapat
mengklaim bahwa pemahamannya tentang Islam adalah yang paling
benar dan paling otoritatif dibandingkan yang lain termasuk dalam
sistem politik Islam. Oleh karena itu, perlu sekali lagi bagi umat Islam
untuk mengembangkan toleransi beragama, baik internal maupun
eksternal dalam sistem politik Islam.
3. Prinsip-Prinsip Dasar Politik dalam Islam
Di dalam al-Qur’an Allah menegaskan bahwa kebenaran itu
mutlak datangnya dari Allah. Karenanya, diingatkan kepada umat
Islam untuk tidak meragukan kebenaran itu, firman-Nya QS. al-
Baqarah/2: 147 dan redaksi yang sama QS. Ali Imrān/3: 60:
        
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
Termasuk orang-orang yang ragu.”
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa kebenaran datangnya dari
Allah dan manusia bebas menentukan pilihan untuk menerima atau
menolaknya QS. al-Kahfi/18: 29:
             
          
       

Pendidikan Agama Islam


Sistem Politik dan Demokrasi 199
“ Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang
ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.”
Sebagai umat Islam, maka tentu saja kita mengambil prinsip-
prinsip dasar berpedoman pada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
sumber referensi dan rujukan dalam berbagai hal termasuk urusan
politik.
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam agama Islam
mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip dasar yang harus
diaplikasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Prinsip-
prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
sebagaimana tercantum dalam QS. al-Mu’minūn/23: 52:
        
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang
satu, dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.”
Makna umat dalam konteks ayat di atas adalah pemeluk agama
Islam. Ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat
Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)nya. Tiada
perbedaan dalam aqidahnya walaupun dapat berbeda dalam rincian
(furu’) ajarannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa al-Qur’an
sebagai kitab suci pedoman bagi manusia mengakui kebhinekaan
dalam ketunggalan.
b. Keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah
ijtihādiyyah dalam QS. asy-Syūrā/42: 38:
        
  
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.”
dan QS. Āli-Imrān/3: 159:
Pendidikan Agama Islam
200 Sistem Politik dan Demokrasi

             
            
       
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa musyawarah tetap
merupakan dasar yang amat prinsipil dalam sistem politik Islam.
Umat Islam diingatkan agar selalu memusyawarahkan berbagai
persoalan pada situasi yang bagaimanapun juga, khususnya kepada
pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya seperti yang
diteladankan oleh Rasulullah saw pada umatnya. Kata “urusan”
termasuk di dalamnya urusan ekonomi, pendidikan, sosial, politik,
budaya, hukum dan lain sebagainya.
Meski begitu, musyawarah tetap memiliki batasan untuk tidak
dilakukan pada dua hal, yakni: bermusyawarah untuk hal yang sudah
ditetapkan hukumnya secara pasti dalam al-Qur’an maupun Sunnah,
dan hasil/keputusan musyawarah tidak boleh bertentangan dengan
kedua sumber ajaran Islam.
c. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara
adil.
Agama Islam menempatkan prinsip keadilan pada posisi yang
urgen dalam sistem perundang-undangannya. Ada banyak ayat al-
Qur’an yang memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek
kehidupan manusia. Dalam QS. al-Nisā’/4: 58 Allah berfirman:
            
              
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada-mu. Sesungguhnya Allah
adalah maha mendengar lagi maha melihat.”
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 201
Al-Qur’an adalah landasan agama, bukan sebuah kitab hukum.
Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya
yang sistematis dalam al-Qur’an. Tentu saja al-Qur’an menyediakan
landasan, prinsip-prinsip bagi pencapain keadilan dan kesejahteraan
serta penetapan hukum yang harus diikuti oleh umat Islam. Tetapi
landasan itu sebagian hanyalah bersifat pemberi arah, dan manusia itu
sendirilah lewat musyawarah yang harus menyusun hukum-hukum
negara itu, termasuk prinsip-prinsip dalam me-nunaikan amanat dan
penetapkan hukum. Itu berarti tetap berpedoman kepada al-Qur’an
sebagai sumber utama bagi umat Islam.
d. Keharusan menaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) sebagaimana difirmankan dalam QS. al-
Nisa’/4: 59 :
           
             
    
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perlu dicermati bahwa redaksi ayat di atas menggunakan kata
‘taat’ kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi meniadakan kata tersebut
pada Ulil Amri (penguasa). Hal ini meng-isyaratkan bahwa ketaatan
pada pemegang kekuasaan itu tidak berdiri sendiri, melainkan harus
berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan terhadap Allah dan Rasul-
Nya. Maknanya, jika kebijakan yang diputuskan oleh pemegang
kekuasaan dalam sebuah negara bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada
mereka. Sebagaimana diisyaratkan dalm sunnah Nabi saw: “Tidak
dibenarkan adanya ketaatan kepada seseorang makhluk dalam kemaksiatan
kepada Khaliq (Allah).” Akan tetapi jika perintah Ulil Amri tidak
mengakibatkan kemaksiatan atau hal yang bertentangan dengan
ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka wajib untuk ditaati meskipun
perintah tersebut tidak disetujui oleh orang-orang di bawah
pemerintahannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Nabi saw
yang artinya: “Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut
apa saja (yang diperintahkan Ulil Amri), suka atau tidak suka, kecuali bila ia
Pendidikan Agama Islam
202 Sistem Politik dan Demokrasi
diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan,
tidak juga taat.”
e. Keharusan mendamaikan konflik antara kelompok dalam
masyarakat Islam, sebagaimana difirmankan dalam QS. al-
Hujurāt/49: 9 :
          
             
       
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
f. Keharusan mempertahankan kedaulatan negara dan larangan
melakukan agresi dan invasi. Dalam QS. al-Baqarah/2: 190:
            
 
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.”
g. Keharusan mementingkan perdamaian daripada permusuhan.
Dalam QS. al-Anfāl/8: 61 Allah berfirman :
            
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya
dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang maha
mendengar lagi maha mengetahui.”
h. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan
dan keamanan, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Anfāl/8:
60:
           
...          

Pendidikan Agama Islam


Sistem Politik dan Demokrasi 203
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya…”
i. Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah dalam QS.
al-Nahl/16: 91:
          
          
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu
itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
j. Keharusan mengutamakan perdamaian antar bangsa, firman Allah
QS. al-Hujurāt/49: 13:
           
          
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
k. Pembagian harta pada seluruh lapisan masyarakat dalam QS. al-
Hasyr/59: 7 Allah berfirman:
           
            
             
 
“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk
Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-
orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan
Pendidikan Agama Islam
204 Sistem Politik dan Demokrasi
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
l. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum.
Dalam al-Qur’an ditemukan banyak ayat yang berkaitan dengan
hukum. Ditegaskan bahwa hak pembuat hukum itu hanya milik Allah
swt semata, seperti yang tertuang dalam QS. al-An’ām/6: 57 :
              
           
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (al-Qur’an)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab)
yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik."
Setiap muslim dalam pelaksanaan hukum Islam harus
mengikuti beberapa prinsip-prinsip antara lain: Menyedikit-kan beban
(taqlīl al-takālif), berangsur-berangsur (al-tadarruj), tidak menyulitkan
(‘adam al-haraj).
4. Prinsip-Prinsip Politik (Siyāsah) Luar Negeri dalam Islam
Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik dalam
Islam meliputi:
a. Siyāsah dustūriyah atau disebut juga hukum tata negara
Siyāsah dustūriyyah secara global membahas hubungan pemimpin
dengan rakyatnya secara institusi-institusi yang ada di negara itu
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan rakyat untuk kemaslahatan dan
pemenuhan kebutuhan rakyat itu sendiri.
b. Siyāsah dauliyyah atau biasa disebut hukum internasional dalam
Islam. Yaitu hukum politik yang mengatur hubungan antara satu
negara dengan negara yang lain.
Dalam ajaran Islam, siyāsah dauliyah (hukum Inter-nasional)
dalam Islam berdasar pada: kesatuan umat manusia, keadilan (al-
‘adālah), persamaan (al-musāwāh), kehormatan manusia (karāmah
insāniyah), toleransi (at-tasāmuh), kerjasama kemanusiaan, kebebasan,
kemerdekaan (al-hurriyyah) meliputi: kebebasan berpikir, beragama,
menyatakan pendapat, me-nuntut ilmu, memiliki harta benda, dan
perilaku moral yang baik (al-akhlāq al-karīmah).
c. Siyāsah māliyah yaitu hukum politik yang mengatur tentang sistem
ekonomi negara di antaranya mengatur tentang pemasukan,
pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara.
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 205
Dalam siyāsah māliyah pembahasannya berkisar pada: prinsip-
prinsip kepemilikan harta, tanggungjawab sosial, tanggungjawab
terhadap diri sendiri, tanggungjawab terhadap keluarga,
tanggungjawab terhadap masyarakat dan sebaliknya, zakat, harta
karun, kharaj (pajak), ghanīmah (rampasan perang), dan sebagainya.
5. Kontribusi Umat Islam terhadap Kehidupan Politik di
Indonesia
Islam sebagai agama yang mencakup persoalan spiritual dan
politik telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap
kehidupan politik di Indonesia. Pertama, ditandai dengan munculnya
partai-partai yang berasaskan Islam serta partai nasionalis yang
berbasis umat Islam. Kedua, ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-
tokoh politik Islam terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sejak proses kemerdekaan, di masa
mempertahankan kemerdekaan, masa pembangunan, hingga sekarang
masa reformasi. Islam telah menyumbang banyak pada Indonesia,
demikian kata Kuntuwijoyo. Islam membentuk civic culture (budaya
bernegara), national solidarity, ideologi, jihad, dan kontrol sosial.
Sumbangan besar Islam berujung pada keutuhan negara dan
terwujudnya persatuan dan kesatuan.
Berkaitan dengan keutuhan negara, misalnya Muhammad
Natsir pernah menyerukan umat Islam agar tidak mempertentangkan
Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, perumusan
Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran
al-Qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila juga
merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an.
Dalam sejarah juga terbukti, bahwa demi keutuhan persatuan dan
kesatuan bangsa, umat Islam rela menghilangkan tujuh kata pada sila
pertama dari Pancasila yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan
syariat Islam bagi para pemeluknya.” Akhirnya umat Islam Indonesia
dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara demi
menjunjung tinggi kesatuan dan keutuhan bangsa, juga karena
memang nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dibenarkan oleh ajaran
agama Islam. Selain itu, Pancasila juga berfungsi sebagai pilar
kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan
politik bersama demi kejayaan bangsa Indonesia.
Peran yang dimainkan oleh para pemimpin Islam dan ulama
sangat berpengaruh dalam memberikan kontribusi nyata terhadap
perkembangan politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Secara umum dapat disimpulkan bahwa merekalah yang

Pendidikan Agama Islam


206 Sistem Politik dan Demokrasi
menjadi pelopor dalam beberapa hal penting di antaranya:
a. Menimbulkan gerakan yang bercorak nasional dalam sejarah
politik Indonesia.
b. Mengajukan tuntutan parlemen, pemerintahan sendiri, dan
kemerdekaan Indonesia.
c. Menimbulkan gagasan/ide-ide dan kesadaran nasional Indonesia.
d. Mendorong kesadaran berpartai dan berorganisasi.
e. Mengadakan/membangun pendidikan yang bercorak nasional
(seperti Muhammadiyah tahun 1912, Taman Siswa tahun 1928).
Kontribusi umat/pemimpin Islam agar dapat berperan secara
mantap dan mapan dalam kehidupan dan pembangunan nasional
termasuk dalam politik Islam, yang sekaligus merupakan partisipasi
dalam perjuangan mencapai aspirasi umat Islam sedunia hendaknya
kita memiliki wawasan perjuangan yang berdasarkan atas keyakinan
dan kesadaran berikut: (1) bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila ini merupakan sasaran
akhir dari aspirasi politik umat Islam Indonesia dan bukan sekedar
sasaran antara atau batu loncatan menuju ke sasaran-sasaran lain; (2)
bahwa sebagaimana yang telah kita alami bersama, sejak mencapai
kemerdekaan pada tahun 1945, perjuangan untuk Islam dan untuk
kepentingan umat Islam Indonesia itu ternyata hanya berhasil jika
dilakukan dengan cara-cara yang konstitusional dan selaras dengan
aspirasi bangsa; (3) bahwa usaha-usaha sementara kelompok untuk
memperjuangkan apa yang menurut kelompok itu merupakan
kepentingan Islam dengan mempergunakan cara-cara yang
bertentangan dengan hukum negara serta dijiwai oleh eksklusivisme,
selalu gagal dan bahkan harus dibayar mahal oleh umat Islam; dan (4)
bahwa Islam yang hendak ditegakkan adalah Islam yang mengajar
kebenaran dan tata nilai yang universal yang harus diyakini dan
dihayati oleh setiap muslim di manapun ia berada dan kapanpun ia
hidup yang dalam pelaksanaannya memiliki kapasitas untuk
menampung kebhinekaan dan keragaman kehidupan umat manusia,
dan mempunyai kemampuan untuk berkembang sejajar dengan laju
peradaban, situasi, dan kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia.
C. Demokrasi dalam Islam
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan. Secara bahasa demokrasi
adalah kekuasaan berada di tangan rakyat (pemerintahan rakyat).
Maksudnya adalah pemegang kekuasa tertinggi dipegang oleh rakyat.
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 207
Jadi demorasi adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan dalam
rangka mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan pemerintah.
Esensi demokrasi, -terlepas dari defenisi dan istilah akademis-,
ialah masyarakat memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur
urusan mereka. Esensi demokrasi yang sebenarnya dengan berbagai
macam bentuk dan sistem yang dipraktikkan manusia, seperti
pemilihan umum dan referendum, penetapan sesuatu berdasarkan
suara terbanyak, berbilangnya partai politik, dijaminnya hak golongan
minoritas untuk menyampaikan suaranya, kebebasan pers,
kemandirian peradilan, penegakan hukum dan sebaginya.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka
konseptual Islam, banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek
khusus dari ranah sosial dan politik. “Demokrasi Islam” dianggap
sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah
lama berakar, yaitu musyawarah (syūrā), persetujuan (ijma’), dan
penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep
dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan
dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam
wacana muslim dewasa ini. Namun, terlepas dari konteks dan
pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan
menyangkut demokrasi di kalangan masyarakat muslim (John
L.Esposito dan John O’Voll, 1999: 33). Perlunya musyawarah
merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah
musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam QS. asy-
Syūrā/42: 38, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin
dalam kedudukan apa pun menyelesaikan urusan mereka yang
dipinpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak
akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap
rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, ‘perwakilan rakyat’ dalam
sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah
(syūrā). Dalam ajaran Islam, setiap muslim yang dewasa dan berakal
sehat, baik pria maupun wanita memegang tanggugjawab sebagai
khalifah Allah di bumi. Dalam bidang politik, umat Islam
mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat
mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara (John
L.Esposito, 1991:149).
Di samping musyawarah, ada ijma’ atau konsensus.
Ijma’(konsensus) telah lama diterima sebagai konsep resmi
pengesahan dalam hukum Islam. Ijma’ memainkan peranan yang
menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan
sumbangan sangat besar pada korpus hukum dan tafsir hukum.
Pendidikan Agama Islam
208 Sistem Politik dan Demokrasi
Namun hampir sepanjang sejarah Islam konsensus sebagai salah satu
sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada konsensus para
cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai
makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam.
Dalam pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang
terkandung dalam konsep ijma’ akhirnya mendapat saluran yang lebih
besar untuk mengembangkan hukum Islam dan menyesuaikannya
dengan kondisi yang terus berubah (Hamidullah, 1970: 130). Dalam
pengertian yang lebih luas, ijma’ dan musyawarah sering dipandang
sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep
ijma’ memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara
mayoritas. Beberapa cendekiawan kontemporer menyatakan bahwa
dalam sejarah Islam, karena tidak ada rumusan yang pasti mengenai
struktur negara dalam al-Qur’an, maka legitimasi negara bergantung
pada sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara mencerminkan
kehendak umat. Sebab, seperti yang pernah ditekankan oleh para ahli
hukum klasik, legitimasi pranata-pranata negara tidak berasal dari
sumber tekstual, tetapi terutama didasarkan pada prinsip ijma’. Atas
dasar inilah ijma’/konsensus dapat menjadi legitimasi sekaligus
prosedur dalam suatu demokrasi Islam (John L.Esposito & O.Voll,
1999: 34).
Selain syūrā dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam
proses ‘demokrasi Islam’, yaitu ijtihad. Bagi para pemikir muslim,
upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah
Tuhan di suatu tempat dan waktu. Hal ini dengan jelas dinyatakan
oleh Khurshid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama
dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut
dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya.”
(Khurshid Ahmad, 1978: 43).
Dalam konteks modern, ijtihad dapat berbentuk seruan untuk
melakukan pembaharuan. Dalam hal ini Altaf Gauhar menyatakan
bahwa dalam Islam kekuasaan berasal dari kerangka al-Qur’an dan
bukan dari sumber lain yang manapun. Tugas para cendekiawan
muslim saat ini adalah melakukan ijtihad universal di semua tingkatan.
Prinsip-prinsip Islam itu bersifat dinamis. Pendekatan kitalah yang
kadang statis. Oleh karena itu, sudah selayaknya saat ini dilakukan
“pemikiran ulang” yang mendasar untuk membuka jalan bagi
munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas (Altaf Gauhar, 1983:
345).
Dalam pengertian politik, Muhammad Iqbal menegaskan
hubungan antara konsensus demokratis dan ijtihad. Dalam bukunya
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 209
The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia menyatakan bahwa,
tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap
majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan awal
langkah besar. Pengalihan wewenang ijtihad dari individu-individu
berbagai mazhab kepada suatu majelis legislatif muslim, yang dalam
kondisi kemajemukan mazhab, merupakan satu-satunya bentuk ijma’
yang dapat diterima di zaman modern, akan menjamin kontribusi
dalam pembahasan hukum dari kalangan rakyat yang memang
memiliki wawasan yang tajam (Muhammad Iqbal, 1968: 173-174).
Dalam kaitan ini Iqbal berpendapat bahwa, bentuk pemerintahan
republik tidak hanya sesuai dengan semangat Islam, tetapi suatu
keharusan mengingat munculnya kekuatan-kekuatan baru yang
menyerukan kebebasan di dunia Islam (Muhammad Iqbal, 1968:
157).
Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep
yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka
Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-
Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan maknanya,
namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam,
istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami
hubungan antara Islam dan demokrasi di dunia kontemporer.
Islam telah menetapkan musyawarah sebagai salah satu kaidah
dari kaidah-kaidah, dan mewajibkan umat untuk memberikan
kesetiaan dan menjadikan kesetiaan secara keseluruhan. Di antaranya
adalah kesetiaan kepada para imam umat Islam yakni pemimpin dan
pemerintah mereka. Islam juga menjadikan amar ma’ruf dan nahi
munkar sebagai kewajiban yang tetap bahkan menetapkan jihad yang
paling utama adalah menyampaikan perkataan yang benar kepada
penguasa yang zalim. Artinya, memerangi kesewenang-wenangan
(otoriter) dan kerusakan di dalam tubuh pemerintahan Islam lebih
utama di sisi Allah dibanding memerangi musuh dari luar. Sebab
sikap otoriter dan kerusakan dari dalam merupakan penyebab
munculnya serangan musuh dari luar.
Pemimpin atau penguasa dalam pandangan Islam adalah wakil
umat atau pelayan umat, maka di antara hak yang mendasar bagi
umat Islam ialah memberi koreksi kepada wakilnya dan melepas atau
menarik wewenang perwakilannya jika mereka menghendaki. Apalagi
jika penguasa me-nyelewengkan wewenangnya dan mengabaikan
kewajiban-nya. Penguasa menurut Islam bukanlah manusia ma’sūm
(luput dari kesalahan dan dosa), tetapi ia hanyalah manusia biasa yang
bisa salah atau benar, bisa adil atau zalim, maka kewajiban
Pendidikan Agama Islam
210 Sistem Politik dan Demokrasi
masyarakatlah untuk menegur, mengingatkan dan membetulkan jika
ia salah dan khilaf. Islam telah mendahului paham demokrasi dengan
menetapkan kaidah-kaidah yang jadi penopang esensi dan substansi
demokrasi. Namun perincian dan penjabarannya diserahkan kepada
ijtihad umat Islam sesuai prinsip-prinsip agama dan kemaslahatan
yang sejalan dengan perkembangan masa, situasi, dan kondisi
kehidupan manusia.
Keistimewaan demokrasi ialah bahwa sistem ini di celah
perjuangannya yang panjang menghadapi para penguasa atau
pemerintah yang zalim, dapat mengambil berbagai bentuk dan
wasilah yang hingga kini masih dianggap paling efektif untuk
melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan (otoriter) penguasa.
Selain itu, tidak ada halangan bagi para pemikir dan pemimpin untuk
memikirkan bentuk, corak dan model sistem yang lebih pas dan ideal.
Namun harus diingat bahwa untuk merealisasikan hal itu dalam
kehidupan manusia, kita harus mempertahankan sebagian sistem
demokrasi guna mewujud-kan keadilan, menghormati hak-hak
manusia, dan berjuang menghadapi otorisasi para penguasa diktator.
Tidak ditemukan larangan dalam Islam untuk mengutip atau
mencontoh ide, teori, dan praktik dari non muslim, bahkan Nabi saw
sendiri ketika Perang Ahzab, menggagas untuk menggali parit sebagai
suatu cara dan teknik yang biasa dalam peperangan orang Persia.
Selain itu, Nabi saw juga pernah memanfaatkan para tawanan
musyrik perang Badar yang terampil baca tulis untuk mengajarkan
kepada anak-anak muslim. Dengan kata lain, mengutip ide, pendapat,
sistem, peraturan dan kebijakan dari orang lain yang bermanfaat, itu
dibolehkan selama tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an,
Sunnah dan kaidah syar’iyyah yang baku.
D. Rangkuman
1. Sistem politik Islam adalah sebuah aturan tentang
pemerintahan yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam.
2. Garis-garis besar politik (siyasah) dalam Islam meliputi: siyasah
dusturiyah (hukum tata negara), siyasah dauliyah (hukum antar
negara), dan siyasah maliyah (hukum yang mengatur sistem ekonomi
negara).
3. Terdapat tiga pendapat mengenai kedudukan sistem politik
dalam Islam:
a. Pendapat yang berpendirian bahwa sistem politik merupakan
bagian integral dari ajaran Islam.
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 211
b. Pendapat yang berpendirian bahwa agama tidak ada hubungannya
dengan urusan kenegaraan.
c. Pendapat yang menolak bahwa Islam mencakup segala aspek
kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak
pendapat bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat
sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.
4. Demokrasi dalam Islam adalah sistem yang mengukuhkan
konsep-konsep Islami yang seudah lama berakar yaitu: musyawarah
(syura), persetujuan (ijma), dan penilaian interpretative yang mandiri
(ijtihad).
E. Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian politik Islam!
2. Jelaskan aspek-aspek dalam siyasah Islam!
3. Terangkan prinsip-prinsip dasar siyasah dalam Islam!
4. Apa saja yang menmjadi obyek pembahasan dalam siyasah
dusturiyyah, siyasah dauliyyah, dan siyasah maliyyah?
5. Jelaskan prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam!
6. Bagaimana bentuk kontribusi umat Islam dalam kehidupan
politik di Indonesia?

Pendidikan Agama Islam


212 Sistem Politik dan Demokrasi

Pendidikan Agama Islam


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim
Abdurrahim, Muhammad Imaduddin, 1989. Kuliah Tauhid. Yayasan
Sari Insan, Jakarta.
Ahmad, Khursid. 1978. Islam is Meaning and Massage. Islamic Council
of Europe, London.
Ali, Mohammad Daud. 1996. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum di Indonesia. : Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asy’ari, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran.
Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta.
Azhary, Tahir. 1992. Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang, Jakarta.
Brohi, A.K. 1982. Koran and Its Infact on Human History. London.
Departemen Agama RI. 2001. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam,
Jakarta.
Faruqi, Ismail R al-. 1982. Tawhid is Inplication for Thought and Life.
International Institute of Islamic Thought. Washinton DC.
Ghazali, Imam al-. 1988. Ihya’ Ulumuddin, terjemahan oleh Ismail
Ya’qub. CV Faizan, Jakarta.
Ghazali, al. 2001. Muhammad Selalu Melibatkan Allah. PT. Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta.
Global Islamic Software Company, Mausu‘ah al-Hadis al-Syarif
[Program Komputer]. 2000.
Harjono, Anwar. 1968. Hukum Islam: Kekuasaan dan keadilannya. Bulan
Bintang, Jakarta.
Hussain, Syaukat. 1996. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Terjemahan
oleh Abdul Rochim. Gema Insani Press, Jakarta.
Ibn Faris bin Zakariya, Abu al-Husain Ahmad. 1991. Mu‘jam Maqayis
al-Lugah. Editor ‘Abd al-Salam Harūn. Cet. I, Darul Jil, Bairut.

Pendidikan Agama Islam 213


214 Daftar Pustaka
Imarah, Muhammad. 1999. Islam dan Pluralitas, terjemahan oleh
Abdul Hayis al-Kattanie. Gema Insani, Jakarta.
Iqbal, Muhammad. 1968. The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
London.
John J. Donohue dan John L. Esposito (Eds.) 1999. Islam dan
Pembaharuan. Terjemahan oleh Mahnun Husain. Jakarta.
Jusuf, Zaglul, Dr, SH. 1993. Studi Islam. : Ikhwan, Jakarta.
Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. 1981. Biologi Iman. al-
Hidayah, Jakarta.
Khan, Walduddin. Islam Menjawab Tantangan Zaman. Penerbit Pustaka,
Bandung.
Linton, Ralph. 1945. The Cultural Background of Personality. D. Apleton
Century Company. New York.
Lopa, Baharuddin. 1999. Al-Quran dan Hak Asasi Manusia. PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta.
Mawardi, Imam Al-. 2000. Al-Ahkam Assulthaniyyah, terjemahan oleh
Fadhil Bahri. Darul Falah, Jakarta.
Mutahhari, Murtadha. 1984. Manusia dan Agama. Tulisan, Bandung.
Nasution, Yunan. 1966. Dinamika Hidup, Bulan Bintang, Jakarta.
Nurdin, Muslim, Drs. K.H., et.al. 1995. Moral dan Kognisi Islam. CV.
Alfabeta, Bandung.
Nusution, Harun. 1996. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Universitas Inonesia, Jakarta.
Osman, Fathi. 1970. Al-Fikr al-Qanun al-Islam bain Ushul wal Syari’ah.
Maktabah, al-Qahirah.
Program Komputer. 2002 Mausū‘ah al-adīṡ al-Syarīf. Global Islamic
Software Company.
Qardlawi, Yusuf. 1969. Fiqh al-Zakat, Jilid I. Dar al-Irsyad, Bairut.
Rasjidi, H.M. 1980. Keutamaan Hukum Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Schacht, J. 1964. An Introduction to Islamic Law. Clarendom Press, New
York.
Shan’aniy, Muhammad Ibnu Ismail. Tth. Subul al-Salam.
Pendidikan Agama Islam
Daftar Pustaka 215
Shiddiq, Hasbi ash-. 1971. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan, Jakarta.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara. UI Press, Jakarta.
Solih, Ishak. 1990. Akhlah dan Tasawuf. IAIN Sunan Gunung Djati
Press. Bandung.
Suryana, A. Toto, Drs., M. P., et.al. 1996. Pendidikan Agama Islam.
Tiga Mutiara, Bandung.
Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islm. Gema Insani
Press, Jakarta.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Madinah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik
Fahd li Thiba‘ah al-Mushhaf al-Syarif, 1990.
Yusuf, M. Yunan. 1995. Masyarakat Utama: Konsepsi dan Strategi.
Perkasa dan PP Muhammadiyah, Jakarta.

Pendidikan Agama Islam


216 Daftar Pustaka

Pendidikan Agama Islam


Materi Pembelajaran
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Disusun Oleh:
Dr. H. Muhammad Amin Sahib, Lc., MA.
Hj. Nur Asiah Amin, S.Ag., M.Ag.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah Rabbil Alamin,
Wasshalatu Wassalamu ‘ala Rasulillah. Materi pembelajaran Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidikan Agama Islam
(PAI) di Perguruan Tinggi telah disusun.
Materi pembelajaran ini disusun berdasarkan keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 43/DIKTI/KEP/ 2006
tanggal 2 Juni 2006 tentang Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi.
Materi ini adalah penyusunan ulang dari materi yang telah
diterbitkan pada Agustus 2012 dengan beberapa penyempurnaan
sehubungan dengan penambahan angka kredit pada mata kuliah
Pendidikan Agama Islam menjadi 3 (tiga) SKS yang mengacu pada
acuan pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam tahun 2012, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Tinggi.
Penulisan materi ini telah diupayakan sedemikian rupa dengan
waktu yang sangat singkat. Tentu akan banyak kekurangannya,
mudah-mudahan kedepan akan banyak masukan, sehingga bisa lebih
menyempurnakannya.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan memenuhi tujuannya
yaitu meningkatkan kualitas Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Makassar, 17 September 2020
Penyusun

iii
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iv
BAB I KETUHANAN DALAM ISLAM ..................................... 1-20
A. Pendahuluan .............................................................................. 1
B. Ketuhanan dalam Islam .......................................................... 2
C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan .......................... 3
D. Pembuktian Eksistensi Tuhan ................................................ 9
E. Rangkuman ............................................................................... 19
F. Pertanyaan ................................................................................. 19
BAB II TAUHID, KEIMANAN DAN KETAKWAAN ...... 21-52
A. Pendahuluan .............................................................................. 21
B. Tauhid dalam Islam ................................................................. 23
C. Keimanan dan Ketakwaan ...................................................... 36
D. Rangkuman ............................................................................... 48
E. Pertanyaan ................................................................................. 49
BAB III MANUSIA MENURUT ISLAM .................................. 51-68
A Pendahuluan .............................................................................. 51
B. Hakikat Manusia ....................................................................... 54
C. Dimensi-dimensi Manusia dalam al-Qur’an ......................... 55
D. Eksistensi dan Martabat Manusia .......................................... 58
E. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain 59
F. Tujuan Penciptaan Manusia .................................................... 62
G. Fungsi dan Peran manusia ...................................................... 63
H. Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba dan Khalifah
Allah ........................................................................................... 64
I. Rangkuman ............................................................................... 67
J. Pertanyaan ................................................................................. 67
BAB IV AGAMA ISLAM ............................................................. 69-82
A. Pendahuluan .............................................................................. 69
B. Makna Agama ........................................................................... 69
C. Kerangka Dasar Agama Islam ................................................ 79
D. Rangkuman ............................................................................... 81
E. Pertanyaan ................................................................................. 81
BAB V HUKUM ISLAM ............................................................. 83-98
A. Pendahuluan .............................................................................. 83
B. Pengertian Hukum Islam ........................................................ 84
v
C. Hukum Islam merupakan bagian dari Agama Islam ........... 85
D. Ruang Lingkup, dan Tujuannya ............................................. 87
E. Tujuan Hukum Islam .............................................................. 89
F. Sumber Hukum Islam ............................................................. 91
G. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan
Hukum ....................................................................................... 93
H. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat........... 94
I. Rangkuman ............................................................................... 96
J. Pertanyaan ................................................................................. 97
BAB VI HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM ........... 99-108
A. Pendahuluan .............................................................................. 99
B. Sejarah Hak Asasi Manusia ..................................................... 99
C. Perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam Pandangan
Islam dan Barat ......................................................................... 101
D. Rumusan HAM dalam Islam .................................................. 103
E. Rangkuman ............................................................................... 107
F. Pertanyaan ................................................................................. 107
BAB VII ETIKA MORAL DAN AKHLAK ......................... 109-124
A. Pendahuluan .............................................................................. 109
B. Urgensi Akhlak ......................................................................... 110
C. Konsep Etika, Moral dan Akhlak .......................................... 111
D. Hubungan Tasawwuf dengan Akhlak ................................... 115
E. Indikator Manusia Berakhlak .................................................. 117
F. Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan ...................... 119
G. Rangkuman ............................................................................... 124
H. Pertanyaan ................................................................................. 124
BAB VIII ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI
DAN SENI DALAM ISLAM ............................................... 125-138
A. Pendahuuan ............................................................................... 125
B. Urgensi Ipteks dalam Kehidupan .......................................... 126
C. Ipteks dan Sumbernya ............................................................. 127
D. Integrasi Iman, Ilmu dan Amal .............................................. 132
E. Keutamaan Orang Beriman dan Beramal ............................. 133
F. Tanggungjawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan 134
G. Seni ............................................................................................. 136
H. Rangkuman ............................................................................... 137
I. Pertanyaan ................................................................................. 138

vi
BAB IX ISLAM DAN PLURALITAS .................................... 139-152
A. Pendahuluan .............................................................................. 139
B. Pluralitas dan Pluralisme dalam Islam ................................... 140
C. Implikasi Tauhid terhadap Pluralitas Agama ....................... 142
D. Ukhuwah Islamiyah dan Insaniyah ........................................ 145
E. Pandangan Agama Islam terhadap Umat non Islam .......... 148
F. Tanggungjawab Sosial Umat Islam ........................................ 149
G. Rangkuman ............................................................................... 151
H. Pertanyaan ................................................................................. 152
BAB X MASYARAKAT MADANI DAN
KESEJAHTERAAN UMAT ................................................ 153-176
A. Pendahuluan .............................................................................. 153
B. Masyarakat Madani .................................................................. 154
C. Masyarakat Madani dalam Sejarah ......................................... 155
D. Karakteristik Masyarakat Madani ........................................... 156
E. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani 157
F. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat ................ 159
G. Etos Kerja Islam........................................................................ 161
H. Zakat dan Wakaf ...................................................................... 163
I. Rangkuman ............................................................................... 175
J. Pertanyaan ................................................................................. 176
BAB XI KEBUDAYAAN ISLAM .......................................... 177-190
A. Pendahuluan .............................................................................. 177
B. Makna Kebudayaan dalam Islam ........................................... 178
C. Perkembangan Kebudayaan Islam ........................................ 180
D. Nilai-nilai Kebudayaan Islam ................................................. 181
E. Akulturasi Ajaran Islam dalam Budaya Indonesia ............... 185
F. Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam .............................. 186
G. Rangkuman ............................................................................... 189
H. Pertanyaan ................................................................................. 189
BAB XII SISTEM POLITIK ISLAM DAN DEMOKRASI..191-212
A. Pendahuluan .............................................................................. 191
B. Sistem Politik Islam ................................................................. 192
C. Demokrasi dalam Islam ........................................................... 205
D. Rangkuman ............................................................................... 210
E. Pertanyaan ................................................................................. 211
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 213-216

vii
viii

Anda mungkin juga menyukai