“Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. Sesungguhnya
Engkaulah yang maha pemberi.”
Dalam QS. Shād/38: 65:
“Katakanlah (ya Muhammad): Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi
peringatan, dan sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah yang maha esa dan
maha mengalahkan.”
Dalam QS. Muhammad/47: 19:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilāh (sesembahan, Tuhan)
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal.”
Dalam al-Qur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang
Tuhan yang diberikan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad
adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain QS. Hūd/11: 84:
“Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu
selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya
aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku
khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)."
Dalam QS. al-Māidah/5: 72:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah
ialah al-Masih putera Maryam", Padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai
Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”
Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-
Ankabūt/29: 46:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dan
katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Dan dalam QS. Thāhā/20: 98:
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia.
Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.”
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka
sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah
sebutan “Allah”, dan kemahaesāaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti
konsep tauhid telah ada sejak datangnya Nabi Adam as di muka
bumi. Esa menurut al-Qur’an adalah esa yang sebenar-benarnya esa,
yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi
menjadi bagian-bagian tertentu.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau
disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang
mengikrarkan kalimat syahadat lā ilāha illallāh harus menempatkan
Allah sebagai prioritas utama dalam setiap gerak tindakan dan
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang
kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan,
kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.”
Jadi, manusia akan merasakan kebutuhannya akan kehadiran
Tuhan ketika ia berada dalam kesulitan yang besar dan tidak ada lagi
yang dapat menolongnya termasuk dirinya sendiri, maka pasti ia akan
mengharapkan adanya penolong yang akan menyelamatkannya dari
kesulitan tersebut, itulah Tuhan. Bukankah keadaan yang demikian
itu menggambarkan bahwa manusia mengakui eksistensi Tuhan? Dan
pengakuan itu telah ada dan inheren dalam diri manusia atau
merupakan fitrah manusia. Hal ini ditegaskan dalam QS. al-A’rāf/7:
172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Setelah pembuktian eksistensi Tuhan lewat dalil fitrah seperti
telah diuraikan di atas, berikut ini akan eksistensi Tuhan lewat dalil
sebab akibat. Maksud dari dalil sebab akibat adalah tidak ada akibat
tanpa adanya sebab. Menurut akal manusia, setiap kejadian atau
wujud mesti berhubungan dan bersumber dari sebab. Kaidah aqliah
ini sebenarnya tidak membutuhkan penalaran dan perenungan yang
dalam, sebab yang demikian itu dapat diketahui dengan mudah oleh
setiap orang.
Dalil sebab akibat dalam membuktikan eksistensi Tuhan dapat
dipahami dari QS. al-Fushshilat/41: 53:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
f. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat
dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridaan Allah. Orang yang
beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya,
baik dengan lidah maupun dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman
pada firman Allah dalam QS. al-An‘ām/6: 162:
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
g. Iman memberikan keberuntungan
Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar,
karena Allah membimbing dan mengarahkannya pada tujuan hidup
yang hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang
beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
QS. al-Baqarah/2: 5:
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung.”
h. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau
fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal
itu karena semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang
dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri, melihat
dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti
gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih
dari serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh.
Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di
bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur
oleh hormon yang diproduksi oleh kalenjar hipofise yang terletak di
Pendidikan Agama Islam
48 Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan
samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kalenjar hipofise
ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak
ia masih berbentuk ‘alaqah dalam rahim ibu. Dalam hal ini, iman
mampu mengatur hormon dan selanjutnya membentuk gerak,
tingkah laku, dan akhlak manusia.
Jika karena pengaruh tanggapan, baik indera maupun akal,
terjadi perubahan fisiologis tubuh (keseimbangan terganggu), seperti
takut, marah, putus asa, dan lemah, maka keadaan ini dapat
dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu, orang-orang yang
dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit, seperti darah
tinggi, diabetes dan kanker.
Sebaliknya jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak
mengacuhkan asas moral dan akhlak, merobek-robek nilai
kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidak pernah ingat Allah,
maka orang yang seperti ini hidupnya akan dikuasai oleh kepanikan
dan ketakutan. Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi
adrenalin dan persenyawaan lainnya. Selanjutnya akan menimbulkan
pengaruh yang negatif terhadap biologi tubuh serta lapisan otak
bagian atas. Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan
mengakibatkan terganggunya kelancaran proses metabolisme zat
dalam tubuh manusia. Pada waktu itu timbullah gejala penyakit, rasa
sedih dan ketegangan psikologis, serta hidupnya selalu dibayangi oleh
kematian.
Demikianlah pengaruh dan manfaat iman pada kehidupan
manusia. Ia bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam
hati, tetapi menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap
dan perilaku hidup. Apabila suatu masyarakat terdiri dari orang-orang
yang beriman, maka akan terbentuk masyarakat yang aman, tentram,
damai dan sejahtera.
D. Rangkuman
1. Tauhid merupakan keyakinan akan realitas tunggal (keesaan
Tuhan) tanpa ada sekutu bagi-Nya dalam zat, sifat, dan perbuatan-
Nya serta tidak ada yang menyamai-Nya.
2. Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah
tauhid dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis.
3. Tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah
adalah satu-satunya wujud mutlak yang menjadi sumber semua
wujud.
4. Tauhid praktis atau biasa juga disebut tauhid ibadah merupakan
Pendidikan Agama Islam
Tauhid, Keimanan dan Ketaqwaan 49
terapan dari tauhid teoritis yaitu ketaatan hanya kepada Allah semata
dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak
dan langkah.
5. Seseorang baru dinyatakan beriman dan bertaqwa apabila
sudah mengucapkan kalimat tauhid yang tertuang dalam syahadatain.
6. Peran iman dan taqwa dalam kehidupan modern di antaranya
adalah: melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
menanamkan semangat berani menghadapi maut, menanamkan sikap
self helf dalam kehidupan, memberikan ketentraman jiwa, melahirkan
sikap ikhlas dan konsekuen, dan memberikan keberuntungan.
E. Pertanyaan
1. Apa makna tauhid Allah?
2. Ajaran tauhid yang dibawa oleh semua rasul Allah memiliki
metode yang berbeda-beda dalam penyampainnya. Jelaskan mengapa
demikian?
3. Bagaimana sikap anda dalam kehidupan sehari-hari supaya
anda dinyatakan beriman kepada Allah dalam arti yang sebenarnya?
4. Terangkan upaya apa yang perlu dilakukan orang tua dalam
rangka membentuk keimanan anak-anaknya?
5. Bagaimana anda bersikap dalam kehidupan sehari-hari agar
tanda-tanda orang beriman tampak pada diri anda?
6. Keimanan dan ketaqwaan mempunyai hubungan yang erat dan
tidak dapat dipisahkan. Bagaimana pendapat anda terhadap
pernyataan tersebut?
7. Menurut anda, problem apa yang dapat timbul dalam
kehidupan modern dan apa solusinya?
8. Keimanan dan ketaqwaan mempunyai peranan penting dalam
mengatasi masalah dan tantangan kehidupan modern. Buktikan
kebenaran pernyataan tersebut!
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”
e. Fleksibel dan ringan
Ajaran Islam bersifat fleksibel dan ringan karena Islam
memperhatikan dan menghargai kondisi masing-masing individu
dalam menjalankan ajaran Islam. Dan tidak memaksakan orang Islam
untuk melakukan suatu perbuatan di luar batas kemampuannya. Hal
ini ditegaskan dalam QS. al-Baqarah/2: 286:
...
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya..."
f. Berlaku secara universal
Ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia di seluruh
dunia sejak diturunkannya sampai akhir masa.
g. Bersifat rasional dan supra rasional
Ajaran Islam bersifat rasional, artinya dapat dipahami
berdasarkan akal, pikiran manusia dalam batas-batas kemampuan akal
tersebut. Sebagian ajaran Islam bersifat supra rasional atau imani,
artinya harus diterima dan diyakini kebenarannya sekalipun akal
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
2. Memelihara jiwa.
Dalam Islam, jiwa harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam
wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya
menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang
dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan
hidupnya. Manusia tanpa jiwa tidak ada artinya. Oleh karenanya,
orang yang menghilangkan jiwa seseorang akan diberikan sangsi yang
setimpal.
3. Memelihara akal
Seseorang wajib memelihara akalnya, karena akal mempunyai
peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan
akalnya manusia dapat memahami wahyu Allah baik yang terdapat
dalam kitab suci maupun wahyu Allah yang terdapat dalam alam
(ayat-ayat kauniyah). Dengan akalnya, manusia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak
akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa
mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena itu, pemeliharaan akal
merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu hukum Islam
melarang orang meminum minuman yang memabukkan yang disebut
dengan istilah “khamar” dan memberi hukuman pada perbuatan
orang yang merusak akal. Larangan minum khamar ini dengan jelas
disebutkan dalam QS. al-Māidah/5: 90:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 91
4. Memelihara keturunan
Memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Untuk
itu dalam hukum Islam untuk meneruskan keturunan harus melalui
perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam
al-Qur’an dan Sunnah dan dilarang melakukan perbuatan zina.
Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan Islam yang ada dalam al-
Qur’an merupakan hukum yang erat kaitannya dengan pemurnian
keturunan dan pemeliharaan keturunan. Dalam al-Qur’an hukum-
hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan
disebutkan secara tegas dan rinci, misalnya larangan-larangan
perkawinan yang terdapat dalam QS. an-Nisā’/4: 23 dan larangan
berzina dalam QS. al-Isrā’/1: 32:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
5. Memelihara harta
Menurut hukum Islam harta merupakan pemberian Allah
kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya,
untuk itu manusia sebagai khalifah Allah di bumi (makhluk yang
diberi amanah Allah untuk mengelola alam ini sesuai kemampuan
yang dimilikinya) dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan
cara-cara yang halal artinya sah menurut hukum dan benar menurut
ukuran moral. Pada prinsipnya hukum Islam tidak mengakui hak
milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak, karena kepemilikan
atas suatu benda hanya ada pada Allah, namun karena diperlukan
adanya kepastian hukum dalam masyarakat, untuk menjamin
kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak milik seseorang atas
suatu benda diakui dengan pengertian bahwa hak milik itu harus
diperoleh secara halal dan berfungsi sosial (Anwar Harjono, 1968:
140).
F. Sumber Hukum Islam
Hukum Islam ditetapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi
keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang
bersifat primer, sekunder maupun tertier. Oleh karena itu, apabila
seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
Allah, maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun di
akhirat kelak.
Pendidikan Agama Islam
92 Hukum Islam
Al-Qur’an Surah an-Nisā’ ayat 59 menyebutkan bahwa, setiap
muslim wajib menaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah,
kehendak Rasul dan kehendak “ulil amri” yakni orang yang
mempunyai kekuasaan atau penguasa:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut kini tertulis
dalam al-Qur’an, kehendak Rasulullah sekarang terhimpun dalam
kitab-kitab hadis, kehendak penguasa sekarang termaktub dalam
kitab-kitab fiqih. Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah
orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena
“kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran)
hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni al-Qur’an dan dari
kitab-kitab hadis yang memuat sunnah Nabi Muhammad. Yang
ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tersebut kemudian dirumuskan
dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah
seorang sahabatnya, Mu’az bin Jabal yang akan ditugaskan untuk
menjadi Gubernur di Yaman. Sebelum Mu’az bin Jabal berangkat ke
Yaman, Nabi Muhammad menguji dengan menanyakan bagaimana ia
memutuskan jika dihadapkan kepadanya satu perkara. Pertanyaan itu
dijawab oleh Mu’az bin Jabal bahwa dia akan memutuskan dengan al-
Qur’an, dan jika tidak ia temukan dalam al-Qur’an maka ia akan
memutus dengan Sunnah Rasul, kemudian jika tidak menemukannya
dalam sunnah Rasul ia akan berijtihad dengan pikirannya. Nabipun
sangat senang atas jawaban Mu’az itu dan berkata: “Aku bersyukur
kepada Allah yang telah menuntun utusan Rasul-Nya (H.M. Rasjidi,
1980: 456).”
Dari hadis yang dikemukakan, para ulama menyimpulkan
bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yakni al-Qur’an, as-Sunnah dan
akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal
pikiran ini dalam kepustakaan hukum Islam diistilahkan dengan “al-
ra’yu”, yakni pendapat orang atau orang-orang yang memenuhi syarat
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 93
untuk menentukan nilai dan norma pengukur tingkah laku manusia
dalam segala hidup dan kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan
rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. Al-
Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam,
sedangkan “al-ra’yu” merupakan sumber tambahan atau sumber
pengetahuan.
G. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan
Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum di Indonesia nampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum
Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional,
oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslimin dengan menaati dan melaksanakan hukum
Islam. Kecenderungan ini oleh Pendidikan Agama Islam yang setelah
tahun enam puluhan diwajibkan di sekolah-sekolah di bawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi).
Perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pula oleh sikap
pemerintah terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar
pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya dalam program Keluarga
Berencana dan program-program lainnya.
Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam
terkemuka di Indonesia seperti Hazairin dan Hasbi as-Shiddiqie,
mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hukum
Islam bidang mu’amalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki
fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia (1962). Syafrudin
Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan
“system” ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam. Gagasan
ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip
hukum Islam dalam pinjam-meminjam, jual-beli, sewa-menyewa dan
sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan
yang berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan dibuatnya
beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
Pendidikan Agama Islam
94 Hukum Islam
hukum Islam, misalnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat; dan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang sudah dikemukakan jelas makin lama
makin besar kontribusi umat Islam di Indonesia dalam perumusan
dan penegakan hukum di Indonesia.
Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum
Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus
melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah. Apabila Islam
sudah memasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, ‘’law enforcemen” dalam penegakan hukum Islam
dengan hukum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi; Di dalam
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan
mengeluarkan pendapat atau kebebasan berpikir wajib ada.
Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk
mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik
dari segi pemahaman maupun dalam segi pengembangannya.
Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa umat Islam mempunyai
kewajiban untuk menaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya
kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas
diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.
H. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang
lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas.
Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lain, dalam masyarakat, manusia
dengan benda dan manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam al-
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah
pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta
larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi
manusia. Bagi setiap orang ada kewajiban untuk menaati hukum yang
terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Peranan hukum Islam dalam
kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, namun dalam
Pendidikan Agama Islam
Hukum Islam 95
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja,
yakni:
1. Fungsi ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk
beribadah kepada Allah swt. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang
harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah
yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
2 Fungsi amar ma’ruf nahi munkar. Hukum Islam sebagai hukum
yang ditujukan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia, jelas
dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai
contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan
adanya keterkaitan penetap hukum (Allah) dengan subyek dan obyek
hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah
mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses
pengharamannya. Riba dan khamar tidak diharamkan secara
sekaligus, tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang
terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan
dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
menyadari bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan
secara sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Belajar
dari episode pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa
hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya
menimpa pelakunya. Namun, secara tidak langsung, lingkungan pun
ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami
fungsi kontrol sosial yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba
dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari
fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan
kemaslahatan dan menghindarkan “kemudharatan” baik di dunia
maupun di akhirat.
3. Fungsi zawājir. Fungsi ini terlihat dalam pengharaman
membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukuman
atau sanksi hukum. Qisas dan diyat diterapkan untuk tindak pidana
terhadap jiwa/badan; hudūd untuk tindak pidana tertentu (pencurian,
perzinaan, qazaf, hirabah, dan riddah); dan ta’zīr untuk tindak pidana
selain kedua macam tidak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta
perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum ini dapat dinamakan
dengan zawājir.
4. Fungsi tandzīm wa ishlāh al-ummah. Fungsi hukum Islam
Pendidikan Agama Islam
96 Hukum Islam
selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin
dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman dan sejahtera. Dalam hal-hal
tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan
mendetail. Namun juga ada hal yang tidak rinci, seperti masalah
muamalah yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini
hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap
memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai
dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan tandzīm wa ishlāh al-ummah
(Ibrahim Hosen, 1996: 90).
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah
begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain
saling terkait.
I. Rangkuman
1. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam atau yang ditetapkan oleh Allah melalui
wahyu-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi
Muhammad saw melalui Sunnahnya yang memuat seperangkat aturan
(norma) yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyatakat maupun yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa.
2. Hukum Islam dibagi kedalam dua bagian, yakni bidang ibadah
dan bidang muamalah.
3. Tujuan hukum Islam adalah untuk mencegah kerusakan pada
manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka; mengarahkan
mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan
mencegah atau menolak yang mudharat.
4. Tujuan hukum Islam menurut Abu Ishak al-Syatibi ada lima,
yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
5. Sumber hukum Islam ada tiga yaitu: al-Qur’an, as-Sunnah, dan
al-Ra’yu.
6. Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
diantaranya adalah: fungsi ibadah, amar ma’ruf nahi munkar, zawajir,
dan tandzim wa ishlah al-ummah.
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
Dunia yang majemuk ini senantiasa berkembang sesuai dengan
pemikiran manusia. Kenyataan bahwa dunia ini plural kemudian
berkembang menjadi pluralisme, yakni sebuah paham yang mengakui
adanya kemajemukan tersebut. Pluralitas merupakan kehendak Allah
swt yang tidak bisa dipungkiri apalagi dihindari. Pluralitas adalah
sunnatullah. Konsekuensi dari keberagaman (pluralitas) ini adalah
keniscayaan bagi seluruh manusia untuk bersikap toleran terhadap
orang lain yang berbeda, baik berbeda budaya, suku, bangsa, maupun
keyakinan (agama). Sikap inilah yang merupakan bagian terpenting
yang menjadi tujuan terciptanya pluralisme. Bahkan Allah swt
mengisyaratkan agar eksistensi pluralitas manusia dan alam semesta
ini direnungkan dan dipikirkan oleh manusia. Dalam QS. al-Rūm/30:
22 Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada
yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.”
Allah swt menyatakan jika sekiranya keberadaan agama di alam
semesta ini hanya semata untuk kepentingan diri-Nya, maka tentulah
akan dijadikan umat manusia ke dalam satu golongan saja. Akan
tetapi Allah tidak menghendaki hal demikian sehingga umat manusia
dibiarkan memilih agama atas dasar kecenderungan masing-masing.
Dalam QS. al-Nahl/16: 93 disebutkan:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
Pendidikan Agama Islam
142 Islam dan Pluralitas
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Sesungguhnya kamu akan
ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
Demikianlah pluralitas sudah merupakan kehendak dan
sunnatullah yang tidak dapat dirubah oleh siapapun. Adapun
pluralisme adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman
atau kemajemukan secara positif dan optimis dengan menerimanya
sebagai kenyataan (kehendak Allah) dan berupaya untuk berbuat
sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Jadi, dapat dipahami
bahwa pluralitas adalah wujud nyata dari realitas keberagaman
(kemajemukan) sedang pluralisme adalah paham, pandangan dan
persepsi yang membentuk kesadaran dan pengakuan akan pluralitas
sehingga mempengaruhi perilaku, sikap, dan respon terhadap realitas
tersebut. Singkatnya, dengan pluralitas dan pluralisme diharap-kan
akan tercapai sikap saling tasāmuh dan toleransi yang mengantarkan
kepada masyarakat yang harmonis. Perbedaan yang disikapi dengan
saling menghargai berdasarkan ajaran masing-masing serta tata cara
menyikapi pemeluk keyakinan (agama) lain. Ajaran Islam tidak
membenarkan perbedaan, suku, ras, dan bangsa dijadikan alasan
untuk saling terpecah dan bermusuhan satu sama lain karena umat
manusia berasal dari satu keturunan yang sama yaitu keturunan Adam
dan karena Allah swt menciptakan bumi bukan hanya untuk satu
golongan atau umat tertentu saja, melainkan bagi seluruh umat
manusia. Dengan menurunkan bermacam-macam agama, suku,
bangsa, dan budaya bukan berarti Tuhan membenarkan diskriminasi
satu umat atas umat yang lain, melainkan agar masing-masing
berlomba di dalam berbuat kebajikan.
C. Implikasi Tauhid terhadap Pluralitas Agama
Fenomena pluralitas-pluralisme agama dan multikultural adalah
hal yang tidak luput dibicarakan di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an
merupakan kitab samawi yang diturunkan terakhir oleh Allah swt dan
diwahyukan kepada penutup para Nabi dan Rasul yaitu Muhammad
saw. Turunnya al-Qur’an di antaranya adalah memberikan gambaran
yang mengisyaratkan bahwa eksistensi keberagaman adalah bagian
dari kehendak Allah dengan melihat pada fungsi-fungsi al-Qur’an
terhadap kitab-kitab yang diturunkan Allah jauh sebelum datangnya
al-Qur’an. Al-Qur’an berfungsi sebagai mushaddiq (pembenar) bagi
kitab-kitab terdahulu. Dengan demikian, kedatangan al-Qur’an bukan
sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya tetapi sebagai pembenar
dan penguat inti ajaran Tuhan yang diturunkan kepada para rasul dan
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
maha Mendengar lagi maha Mengetahui.”
Senada dengan makna ayat tersebut, dalam QS. al-Kahfi/18: 29
Allah berfirman:
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.”
Dalam kenyataannya, ketegangan yang sering timbul intern
umat beragama, antara umat beragama, dan antara umat beragama
dengan pemerintah disebabkan oleh: (1) Sifat dari masing-masing
agama yang mengandung tugas dakwah atau misi; (2) Kurangnya
pengetahuan para memeluk agama akan agamanya sendiri dan agama
pihak lain; (3) Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri,
sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama
lain; (4) Kaburnya batas antara sikap memegang teguh kenyakinan
agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat; (5) Kecurigaan
masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama,
antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan
pemerintah; (6) Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi
masalah perbedaan pendapat.
Dalam pembinaan umat beragama, para pemimpin dan tokoh
agama mempunyai peranan yang besar, yaitu: (1) Menerjemahkan
nilai-nilai dan norma-norma agama dalam kehidupan masyarakat; (2)
Menerjemahkan gagasan-gagasan pembangunan kedalam bahasa yang
Pendidikan Agama Islam
148 Islam dan Pluralitas
dimengerti oleh rakyat; (3) Memberikan pendapat, saran dan kritik
yang sehat terhadap ide-ide dan cara-cara yang dilakukan untuk
suksesnya pem-bangunannya; (4) Mendorong dan membimbing
masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta dalam usaha
pembangunan (Tarmizi Taher, 1997:4).
Demikianlah perbedaan agama yang terjadi di antara umat
manusia merupakan konsekuensi dari kebebasan yang diberikan oleh
Allah, maka perbedaan agama itu tidak menjadi penghalang bagi
manusia untuk saling berinteraksi sosial dan saling membantu,
sepanjang masih dalam kawasan ke-manusiaan.
E. Pandangan Agama Islam terhadap Umat non Islam
Dari segi akidah, setiap orang yang tidak mau menerima Islam
sebagai agamanya disebut kafir atau non muslim. Kafir berarti orang
yang ingkar/menolak, yang tidak mau menerima atau menaati aturan
Allah yang diwujudkan kepada manusia melalui ajaran Islam. Sikap
kufur, penolakan terhadap perintah Allah pertama kali ditunjukkan
oleh Iblis ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam as
sebagaimana dikisahkan dalam QS. al- Baqarah/2: 34.
Ketika Rasulullah saw mulai menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat Arab, sebagian dari mereka ada yang mau
menerima ajaran tersebut dan sebagiannya lagi menolak. Orang yang
menolak ajakan Rasulullah tersebut itulah yang disebut kafir. Mereka
terdiri dari orang-orang musyrik yang menyembah berhala yang
disebut orang Watsani, dan orang-orang ahli kitab, baik orang Yahudi
maupun Nasrani. Di antara orang-orang kafir tersebut ada yang
mengganggu, menyakiti, dan memusuhi orang Islam dan di antaranya
hidup dengan rukun bersama orang Islam. Orang kafir yang
mengganggu, yang menyakiti, dan memusuhi orang Islam disebut
kafir harbi, dan orang kafir yang hidup rukun dengan orang Islam
disebut kafir dzimmi. Kafir harbi adalah orang kafir yang memerangi
orang Islam dan boleh diperangi oleh orang Islam. Kafir dzimmi
adalah orang kafir yang mengikat perjanjian atau menjadi tanggungan
orang Islam untuk menjaga keselamatan atau keamanannya. Bila
orang Islam memiliki kekuasaan politik dalam sebuah negara Islam,
maka kafir dzimmi ini menjadi warga negara Islam. Sebagai
kompensasi dari dzimmah, perjanjian atau tanggunan keamanannya
tersebut mereka wajib membayar jizyah, pajak kepada pemerintah
muslim. Ketentuan tersebut dijelaskan oleh Allah dalam QS. al-
Taubah/9: 29:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
Keadaan tunduk.”
Persamaan hidup antara orang Islam dengan non muslim telah
dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau dengan para sahabat
mengawali hidup di Madinah setelah hijrah. Rasulullah mengikat
perjanjian penduduk Madinah yang terdiri dari orang-orang kafir dan
muslim untuk saling membantu dan menjaga keamanan kota
Madinah dari gangguan musuh. Rasulullah juga pernah menggadaikan
baju besinya dengan gandum kepada orang Yahudi ketika umat Islam
kekurangan pangan.
F. Tanggungjawab Sosial Umat Islam
Umat Islam adalah umat yang terbaik yang diciptakan Allah
dalam kehidupan dunia ini. Demikian firman Allah dalam QS. Ali
‘Imrān/3: 110. Kebaikan umat Islam itu bukan sekedar simbolik,
karena telah mengikrarkan keyakinan Allah sebagai Tuhannya dan
Muhammad saw sebagai Rasulullah, tetapi karena identitas diri
sebagai muslim memberikan konsekuensi untuk menunjukkan
komitmennya dalam beribadah kepada Allah dan berlaku sosial.
Dalam al-Qur’an kedua komitmen itu disebut hablun minallāh dan
hablun minannās. Allah mengingatkan akan resiko kebinasaan bagi
manusia yang tidak mau menunjukkan komitmen kehidupannya pada
aspek tersebut.
Bentuk tanggungjawab sosial umat Islam meliputi berbagai
aspek kehidupan, di antaranya adalah:
1. Menjalin silaturahmi dengan tetangga. Dalam sebuah hadits
Rasulullah menjadikan kebaikan seseorang kepada tetangganya
menjadi salah satu indikator keamanan. Pada masyarakat pedesaan
yang relatif homogen dan penduduknya menetap, komunikasi mereka
pada umumnya lebih intensif dan akrab, tetapi bagi masyarakat
perkotaan yang relatif hetorogen dan penduduknya terdiri dari para
Pendidikan Agama Islam
150 Islam dan Pluralitas
perantau dengan tingkat kesibukannya tinggi, komunikasi sosial
mereka relatif lebih renggang.
2. Memberikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang
wajib dalam bentuk zakat maupun yang sunnah dalam sedekah. Harta
adalah reski yang Allah karuniakan kepada para hambanya yang harus
disyukuri baik secara lisan maupun melalui pemanfaatan secara benar.
Dalam QS. Ibrāhīm/14: 7 Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikma-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
3. Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan ta’ziah
bila ada anggota masyarakat yang meninggal dan mengurusnya
jenazahnya sampai di kubur.
4. Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota
masyarakat yang memerlukan bantuannya. Rasulullah melarang orang
Islam menolak permintaan bantuan orang lain yang meminta
kepadanya seandainya ia mampu membantu-nya. Hubungan sosial
akan terjalin dengan baik apabila masing-masing anggotanya mau
saling membantu, saling peduli akan nasib pihak lain dalam konteks
masyarakat modern, formulasi dari pemberian bantuan lebih
kompleks dan luas, seperti bantuan bea siswa pendidikan, bantuan
bila terjadi musibah bencana alam, dan yang lain.
5. Menyusun sistem sosial yang efektif dan efisien untuk
membangun masyarakat, baik mental spiritual maupun fisik
materialnya. Pembangunan mental, khususnya untuk generasi muda,
perlu memperoleh perhatian yang serius. Bahaya narkoba, tindak
kriminal, dan pergaulan bebas menjadi ancaman serius bagi generasi
muda yang secara cepat berkembang dan merusak mental mereka.
Peran sekolah dalam masalah ini sangat kecil, sehingga diperlukan
kepedulian sosial untuk menanggulanginya.
Sebagai umat terbaik, seorang muslim memiliki tugas dan
tanggungjawab amar ma’ruf dan nahi munkar yang artinya menyeru
orang lain untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Sikap
amar ma’ruf dan nahi munkar akan efektif apabila orang yang
melakukannya juga memberi contoh. Karena itu diperlukan kesiapan
secara sistemik dan melibatkan kelompok orang dengan perencanaan,
Pendidikan Agama Islam
Islam dan Pluralitas 151
pelaksanaan, dan pengawasan secara terorganisasi. Perintah amar
ma’ruf dan nahi munkar itu diperintahkan oleh Allah dalam QS. Ali
Imrān/3:104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.”
Di samping sistem dan saran pendukung, amar ma’ruf dan nahi
munkar juga memerlukan kebajikan dalam bertindak. Oleh karena itu,
Rasulullah memberikan tiga tingkatan, yaitu: (1) menggunakan tangan
atau kekuasaan apabila mampu; (2) menggunakan lisan; dan (3) dalam
hati apabila langkah pertama dan kedua tidak memungkinkan.
Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem di antaranya
adalah: (1) mendirikan masjid; (2) menyelenggarakan pengajian; (3)
mendirikan lembaga wakaf; (4) mendirikan lembaga pendidikan
Islam; (5) mendirikan lembaga keuangan atau perbankan syari’ah; (6)
mendirikan media masa Islam: koran, radio, televisi, dan yang lain; (7)
mendirikan panti rehabilitasi anak-anak nakal; (8) mendirikan
pesantren; (9) menyelenggarakan kajian-kajian Islam; (10) membuat
jaringan informasi sosial; dan lain-lain.
Sebagai agama yang universal dan komprehensif, Islam
mengandung ajaran yang integral dalam berbagai aspek kehidupan
umat manusia. Islam tidak hanya mengajarkan tentang akidah dan
ibadah semata, tetapi Islam juga mengandung ajaran dibidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Keberadaan agama Islam menjadi wujud kasih sayang Allah
bagi makhluk-Nya. Karena itu Islam disebut agama rahmat bagi
semesta alam karena menghormati semua manusia sebagai makhluk
Allah dan bahkan semua makhluk-Nya. Islam melarang menyakiti
orang non Islam, dan Islam juga melarang berbuat yang merusak
alam lingkungannya. Ketidakstabilan alam akan berakibat buruk bagi
alam itu sendiri dan juga bagi manusia.
G. Rangkuman
1. Pluralitas dalam konsep Islam adalah kehendak dan sunnatullah
yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”
7. Tanggungjawab.
Tanggungjawab maksudnya adalah kesediaan menang-gung
segala resiko atau konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukan.
Setiap perbuatan memiliki resiko baik atau buruk. Hal ini bergantung
pada substansi perbuatannya. Oleh karena itu, Allah mengingatkan
bahwa setiap manusia akan mendapat pahala sebagai balasan dari
kebajikan yang dilakukannya dan sebaliknya akan mendapat siksa atas
kejahatan yang dilakukannya, QS. al-Baqarah/2: 286):
...
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…"
8. Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori
atau mencemari nilai niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud
pengabdian dalam ketaatan kepada Allah. Sebab itu Ikhlas dalam niat
selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah. Firman Allah QS.
al-Bayyinah/98: 5:
...
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus…”
9. Disiplin.
Disiplin adalah sikap yang paling mendasar yang diperlukan
untuk memenuhi syarat normatif dalam setiap perbuatan. Tanpa
kedisiplinan, kualitas hidup dan kualitas produk tidak akan pernah
terwujud. Untuk mewujudkan sikap disiplin bagi umat Islam cukup
dengan mengimplementasikan filosofi shalat. Shalat itu diperintahkan
Pendidikan Agama Islam
Kebudayaan Islam 185
untuk dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Di luar
waktu tersebut, tidak sah seperti yang dinyatakan QS. al-Nisā’/4: 103:
...
“… kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.”
E. Akulturasi Ajaran Islam dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena
Islam berasal dari negara Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia
tidak terlepas dari budaya Arabnya. Pada awal masuknya dakwah
Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran
Islam dan mana budaya Arab. Masyarakat awam cenderung
menyamakan antara perilaku yang ditampilkan oleh orang Arab
dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh
orang Arab itu semuanya mencerminkan ajaran Islam. Bahkan hingga
kini budaya Arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Di zaman modern, ada satu fenomena yang menarik untuk
kita simak bersama yaitu semangat dan pemahaman sebagian generasi
muda umat Islam dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.
Mereka berpandangan bahwa Islam yang benar adalah segala sesuatu
yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad saw secara utuh termasuk
nilai-nilai budaya Arabnya.
Nabi Muhammad saw adalah seorang Rasul Allah dan harus
diingat bahwa beliau adalah orang Arab. Dalam kajian budaya sudah
barang tentu apa yang ditampilkan dalam perilaku kehidupannya
terdapat nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan nilai-nilai Islam itu
bersifat universal. Maka dari itu sangat dimungkinkan apa yang
dicontoh oleh nabi dalam hal mu’amalah terdapat nuansa budaya
yang dapat kita aktualisasikan dalam kehidupan modern dan
disesuaikan dengan muatan budaya lokal masing-masing. Sebagai
contoh, dalam cara berpakaian dan cara makan. Dalam ajaran Islam
sendiri meniru budaya satu kaum boleh-boleh saja sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, apalagi yang ditirunya
adalah panutan suci Nabi Muhammad saw, namun yang tidak boleh
adalah menganggap bahwa nilai-nilai budaya Arabnya dipandang
sebagai ajaran Islam.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa musyawarah tetap
merupakan dasar yang amat prinsipil dalam sistem politik Islam.
Umat Islam diingatkan agar selalu memusyawarahkan berbagai
persoalan pada situasi yang bagaimanapun juga, khususnya kepada
pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya seperti yang
diteladankan oleh Rasulullah saw pada umatnya. Kata “urusan”
termasuk di dalamnya urusan ekonomi, pendidikan, sosial, politik,
budaya, hukum dan lain sebagainya.
Meski begitu, musyawarah tetap memiliki batasan untuk tidak
dilakukan pada dua hal, yakni: bermusyawarah untuk hal yang sudah
ditetapkan hukumnya secara pasti dalam al-Qur’an maupun Sunnah,
dan hasil/keputusan musyawarah tidak boleh bertentangan dengan
kedua sumber ajaran Islam.
c. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara
adil.
Agama Islam menempatkan prinsip keadilan pada posisi yang
urgen dalam sistem perundang-undangannya. Ada banyak ayat al-
Qur’an yang memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek
kehidupan manusia. Dalam QS. al-Nisā’/4: 58 Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada-mu. Sesungguhnya Allah
adalah maha mendengar lagi maha melihat.”
Pendidikan Agama Islam
Sistem Politik dan Demokrasi 201
Al-Qur’an adalah landasan agama, bukan sebuah kitab hukum.
Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya
yang sistematis dalam al-Qur’an. Tentu saja al-Qur’an menyediakan
landasan, prinsip-prinsip bagi pencapain keadilan dan kesejahteraan
serta penetapan hukum yang harus diikuti oleh umat Islam. Tetapi
landasan itu sebagian hanyalah bersifat pemberi arah, dan manusia itu
sendirilah lewat musyawarah yang harus menyusun hukum-hukum
negara itu, termasuk prinsip-prinsip dalam me-nunaikan amanat dan
penetapkan hukum. Itu berarti tetap berpedoman kepada al-Qur’an
sebagai sumber utama bagi umat Islam.
d. Keharusan menaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) sebagaimana difirmankan dalam QS. al-
Nisa’/4: 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perlu dicermati bahwa redaksi ayat di atas menggunakan kata
‘taat’ kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi meniadakan kata tersebut
pada Ulil Amri (penguasa). Hal ini meng-isyaratkan bahwa ketaatan
pada pemegang kekuasaan itu tidak berdiri sendiri, melainkan harus
berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan terhadap Allah dan Rasul-
Nya. Maknanya, jika kebijakan yang diputuskan oleh pemegang
kekuasaan dalam sebuah negara bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada
mereka. Sebagaimana diisyaratkan dalm sunnah Nabi saw: “Tidak
dibenarkan adanya ketaatan kepada seseorang makhluk dalam kemaksiatan
kepada Khaliq (Allah).” Akan tetapi jika perintah Ulil Amri tidak
mengakibatkan kemaksiatan atau hal yang bertentangan dengan
ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka wajib untuk ditaati meskipun
perintah tersebut tidak disetujui oleh orang-orang di bawah
pemerintahannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Nabi saw
yang artinya: “Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut
apa saja (yang diperintahkan Ulil Amri), suka atau tidak suka, kecuali bila ia
Pendidikan Agama Islam
202 Sistem Politik dan Demokrasi
diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan,
tidak juga taat.”
e. Keharusan mendamaikan konflik antara kelompok dalam
masyarakat Islam, sebagaimana difirmankan dalam QS. al-
Hujurāt/49: 9 :
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
f. Keharusan mempertahankan kedaulatan negara dan larangan
melakukan agresi dan invasi. Dalam QS. al-Baqarah/2: 190:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.”
g. Keharusan mementingkan perdamaian daripada permusuhan.
Dalam QS. al-Anfāl/8: 61 Allah berfirman :
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya
dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang maha
mendengar lagi maha mengetahui.”
h. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan
dan keamanan, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Anfāl/8:
60:
...
Al-Qur’an al-Karim
Abdurrahim, Muhammad Imaduddin, 1989. Kuliah Tauhid. Yayasan
Sari Insan, Jakarta.
Ahmad, Khursid. 1978. Islam is Meaning and Massage. Islamic Council
of Europe, London.
Ali, Mohammad Daud. 1996. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum di Indonesia. : Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asy’ari, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran.
Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta.
Azhary, Tahir. 1992. Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang, Jakarta.
Brohi, A.K. 1982. Koran and Its Infact on Human History. London.
Departemen Agama RI. 2001. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam,
Jakarta.
Faruqi, Ismail R al-. 1982. Tawhid is Inplication for Thought and Life.
International Institute of Islamic Thought. Washinton DC.
Ghazali, Imam al-. 1988. Ihya’ Ulumuddin, terjemahan oleh Ismail
Ya’qub. CV Faizan, Jakarta.
Ghazali, al. 2001. Muhammad Selalu Melibatkan Allah. PT. Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta.
Global Islamic Software Company, Mausu‘ah al-Hadis al-Syarif
[Program Komputer]. 2000.
Harjono, Anwar. 1968. Hukum Islam: Kekuasaan dan keadilannya. Bulan
Bintang, Jakarta.
Hussain, Syaukat. 1996. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Terjemahan
oleh Abdul Rochim. Gema Insani Press, Jakarta.
Ibn Faris bin Zakariya, Abu al-Husain Ahmad. 1991. Mu‘jam Maqayis
al-Lugah. Editor ‘Abd al-Salam Harūn. Cet. I, Darul Jil, Bairut.
Disusun Oleh:
Dr. H. Muhammad Amin Sahib, Lc., MA.
Hj. Nur Asiah Amin, S.Ag., M.Ag.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah Rabbil Alamin,
Wasshalatu Wassalamu ‘ala Rasulillah. Materi pembelajaran Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidikan Agama Islam
(PAI) di Perguruan Tinggi telah disusun.
Materi pembelajaran ini disusun berdasarkan keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 43/DIKTI/KEP/ 2006
tanggal 2 Juni 2006 tentang Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi.
Materi ini adalah penyusunan ulang dari materi yang telah
diterbitkan pada Agustus 2012 dengan beberapa penyempurnaan
sehubungan dengan penambahan angka kredit pada mata kuliah
Pendidikan Agama Islam menjadi 3 (tiga) SKS yang mengacu pada
acuan pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam tahun 2012, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Tinggi.
Penulisan materi ini telah diupayakan sedemikian rupa dengan
waktu yang sangat singkat. Tentu akan banyak kekurangannya,
mudah-mudahan kedepan akan banyak masukan, sehingga bisa lebih
menyempurnakannya.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan memenuhi tujuannya
yaitu meningkatkan kualitas Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Makassar, 17 September 2020
Penyusun
iii
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iv
BAB I KETUHANAN DALAM ISLAM ..................................... 1-20
A. Pendahuluan .............................................................................. 1
B. Ketuhanan dalam Islam .......................................................... 2
C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan .......................... 3
D. Pembuktian Eksistensi Tuhan ................................................ 9
E. Rangkuman ............................................................................... 19
F. Pertanyaan ................................................................................. 19
BAB II TAUHID, KEIMANAN DAN KETAKWAAN ...... 21-52
A. Pendahuluan .............................................................................. 21
B. Tauhid dalam Islam ................................................................. 23
C. Keimanan dan Ketakwaan ...................................................... 36
D. Rangkuman ............................................................................... 48
E. Pertanyaan ................................................................................. 49
BAB III MANUSIA MENURUT ISLAM .................................. 51-68
A Pendahuluan .............................................................................. 51
B. Hakikat Manusia ....................................................................... 54
C. Dimensi-dimensi Manusia dalam al-Qur’an ......................... 55
D. Eksistensi dan Martabat Manusia .......................................... 58
E. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain 59
F. Tujuan Penciptaan Manusia .................................................... 62
G. Fungsi dan Peran manusia ...................................................... 63
H. Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba dan Khalifah
Allah ........................................................................................... 64
I. Rangkuman ............................................................................... 67
J. Pertanyaan ................................................................................. 67
BAB IV AGAMA ISLAM ............................................................. 69-82
A. Pendahuluan .............................................................................. 69
B. Makna Agama ........................................................................... 69
C. Kerangka Dasar Agama Islam ................................................ 79
D. Rangkuman ............................................................................... 81
E. Pertanyaan ................................................................................. 81
BAB V HUKUM ISLAM ............................................................. 83-98
A. Pendahuluan .............................................................................. 83
B. Pengertian Hukum Islam ........................................................ 84
v
C. Hukum Islam merupakan bagian dari Agama Islam ........... 85
D. Ruang Lingkup, dan Tujuannya ............................................. 87
E. Tujuan Hukum Islam .............................................................. 89
F. Sumber Hukum Islam ............................................................. 91
G. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan
Hukum ....................................................................................... 93
H. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat........... 94
I. Rangkuman ............................................................................... 96
J. Pertanyaan ................................................................................. 97
BAB VI HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM ........... 99-108
A. Pendahuluan .............................................................................. 99
B. Sejarah Hak Asasi Manusia ..................................................... 99
C. Perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam Pandangan
Islam dan Barat ......................................................................... 101
D. Rumusan HAM dalam Islam .................................................. 103
E. Rangkuman ............................................................................... 107
F. Pertanyaan ................................................................................. 107
BAB VII ETIKA MORAL DAN AKHLAK ......................... 109-124
A. Pendahuluan .............................................................................. 109
B. Urgensi Akhlak ......................................................................... 110
C. Konsep Etika, Moral dan Akhlak .......................................... 111
D. Hubungan Tasawwuf dengan Akhlak ................................... 115
E. Indikator Manusia Berakhlak .................................................. 117
F. Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan ...................... 119
G. Rangkuman ............................................................................... 124
H. Pertanyaan ................................................................................. 124
BAB VIII ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI
DAN SENI DALAM ISLAM ............................................... 125-138
A. Pendahuuan ............................................................................... 125
B. Urgensi Ipteks dalam Kehidupan .......................................... 126
C. Ipteks dan Sumbernya ............................................................. 127
D. Integrasi Iman, Ilmu dan Amal .............................................. 132
E. Keutamaan Orang Beriman dan Beramal ............................. 133
F. Tanggungjawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan 134
G. Seni ............................................................................................. 136
H. Rangkuman ............................................................................... 137
I. Pertanyaan ................................................................................. 138
vi
BAB IX ISLAM DAN PLURALITAS .................................... 139-152
A. Pendahuluan .............................................................................. 139
B. Pluralitas dan Pluralisme dalam Islam ................................... 140
C. Implikasi Tauhid terhadap Pluralitas Agama ....................... 142
D. Ukhuwah Islamiyah dan Insaniyah ........................................ 145
E. Pandangan Agama Islam terhadap Umat non Islam .......... 148
F. Tanggungjawab Sosial Umat Islam ........................................ 149
G. Rangkuman ............................................................................... 151
H. Pertanyaan ................................................................................. 152
BAB X MASYARAKAT MADANI DAN
KESEJAHTERAAN UMAT ................................................ 153-176
A. Pendahuluan .............................................................................. 153
B. Masyarakat Madani .................................................................. 154
C. Masyarakat Madani dalam Sejarah ......................................... 155
D. Karakteristik Masyarakat Madani ........................................... 156
E. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani 157
F. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat ................ 159
G. Etos Kerja Islam........................................................................ 161
H. Zakat dan Wakaf ...................................................................... 163
I. Rangkuman ............................................................................... 175
J. Pertanyaan ................................................................................. 176
BAB XI KEBUDAYAAN ISLAM .......................................... 177-190
A. Pendahuluan .............................................................................. 177
B. Makna Kebudayaan dalam Islam ........................................... 178
C. Perkembangan Kebudayaan Islam ........................................ 180
D. Nilai-nilai Kebudayaan Islam ................................................. 181
E. Akulturasi Ajaran Islam dalam Budaya Indonesia ............... 185
F. Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam .............................. 186
G. Rangkuman ............................................................................... 189
H. Pertanyaan ................................................................................. 189
BAB XII SISTEM POLITIK ISLAM DAN DEMOKRASI..191-212
A. Pendahuluan .............................................................................. 191
B. Sistem Politik Islam ................................................................. 192
C. Demokrasi dalam Islam ........................................................... 205
D. Rangkuman ............................................................................... 210
E. Pertanyaan ................................................................................. 211
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 213-216
vii
viii