Anda di halaman 1dari 11

- KELOMPOK 8 -

PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL


Mata Kuliah :
Perkembangan Peserta Didik Dosen Pengampu:
Prof.Dr.H.Samsu Kamaruddin, M.Pd
Dra. Sitti Habibah,M.si

Anggota:
ANDI MASITA BUNGA WALI (200403500012)
NUR FIDIYAH (200403502014)
RISMA ANGELINA (200403502017)
A. Definisi Perkembangan Moral
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores
(adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak).
Banyak ahli menyumbangkan pemikirannya untuk mengartikan kata moral secara terminologi. 
1.    Dagobert D. Runes : Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai
“kewajiban” atau “norma
2.    Helden (1977) dan Richards (1971) : Moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan
tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan.
3.    Atkinson (1969) : Moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan yang sesuai dengan harapan sosial yang
disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.sementara itu
perilaku amoral atau nonmoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial, akan tetapi hal itu lebih disebabkan
oleh ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
● Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip-
prinsip moral. Nilai-nilai moral ini antara lain, seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, atau larangan
untuk tidak berbuat kejahatan kepada orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku
manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

● Seseorang dikatakan bermoral apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang ditunjukkan melalui
tingkah lakunya yang sesuai dengan adat dan sopan santun. Sebaliknya seseorang dikatakan memiliki perilaku
tak bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan
dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.Selain itu ada perilaku amoral atau
nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena
ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
● Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup,
kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang
berhubungan dengan intrapersonal/hubungan antara diri sendiri, interpersonal/hubungan antara
orang lain dengan lingkungan dan transpersonal/hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu
hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi. Jadi spiritual merupakan
kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat maupun
ketuhanan.

● Perkembangan spiritual lebih spesifik membahas tentang kebutuhan manusia terhadap


agama.Agama adalah sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang
bisa mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya.Perkembangan
spiritual diartikan sebagai tahap dimana seseorang yang dalam hal ini adalah peserta didik untuk
membentuk kepercayaannya.Baik berupa kepercayaan yang berhubungan dengan religi
maupun adat.
B. Definisi Perkembangan Spiritual
● Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit memberikan hidup,
menjiwai seseorang. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai
komitmen terhadap sesuatu atau seseorang.Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama
kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen,
Budha, dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasaa, sesuatu perasaan yang
memberikan alasan tentang keyakinan (believe) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope).

● Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup, yang memungkinkan
individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang
utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan sepiritual merupakan sumber dari
kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif
menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan
spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
mengembangkan diri secara bertanggungjawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan
serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru.
● Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide
tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal/hubungan
antara diri sendiri, interpersonal/hubungan antara orang lain dengan lingkungan dan transpersonal/hubungan yang tidak
dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi. Jadi spiritual merupakan
kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan.

● Perkembangan spiritual lebih spesifik membahas tentang kebutuhan manusia terhadap agama.Agama adalah sebagai
sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah
mengenai spiritualitasnya.Perkembangan spiritual diartikan sebagai tahap dimana seseorang yang dalam hal ini adalah
peserta didik untuk membentuk kepercayaannya.Baik berupa kepercayaan yang berhubungan dengan religi
maupun adat.
C. Teori Perkembangan Moral

● Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg


Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional,
tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54).Menurut pandangan Kohlberg dari tiga
tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk
menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu,kemudian anak harus
meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke
tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda
meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108)
Teori Perkembangan Spiritual
James Fowler mengemukakan bahwa antara kebutuhan kognitif dan emosional tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan
spiritual.Spritual tidak dapat berkembang lebih cepat dari kemampuan intelektual dan tergantung pada perkembangan
kepribadian.Jadi teori perkembangan spiritual Fowler meliputi ketidaksadaran, kebutuhan, kemampuan seseorang, dan
perkembangan kognitif

Fowler melihat ada 6 fase perkembangan spiritual yaitu:


1.    Intuitive-projective faith
Fase ini minimal terjadi setelah usia 4 tahun. Pada fase ini manusia hanya fokus pada kualitas secara permukaan saja, seperti
apa yang digambarkan oleh orang dewasa dan tergantung pada luasnya fantasi dari manusia itu sendiri. Di sini konsep Tuhan
direfleksikan sebagai sesuatu yang gaib.
2.    Mythical-literal faith
Terjadi pada usia minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini, fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber utama dari pengetahuan,
dan pembuktian fakta menjadi perlu.Pembuktian kebenaran bukan berasal dari pengalaman aktual yang dialami sendiri, tapi
berasal dari sesuatu yang dianggap lebih ahli, seperti guru, orang tua, buku, dan tradisi.Kepercayaan di fase ini mengarah pada
sesuatu yang konkrit dan tergantung dari kredibilitas orang yang bercerita.
3.    Poetic-conventional faith
Terjadi pada usia minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini kepercayaan tergantung pada konsensus dari opini orang lain,
orang yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi sumber informasi, tapi individu mulai percaya pada penilaian mereka
sendiri.Meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya terhadap penilaian mereka tersebut.
4.    Individuating-reflective faith
Terjadi pada usia minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase yang ketiga remaja tidak dapat menemukan area pengalaman baru karena
tergantung pada orang lain di kelompoknya yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase ini mulai mengambil
tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku, komitmen, dan gaya hidupnya. Tapi individu pada tahap ini tetap masih
membutuhkan figure yang bisa diteladani.

Menurut Fowler Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan :


a.    Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap
asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.    Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih
antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri. 
5.    Paradoxical-consolidation faith
Terjadi pada usia minimal 30 tahun. Disebut juga paradoxical-consolidation faith. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi
dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-
pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
6.    Universalizing faith
Terjadi pada usia minimal 40 tahun. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan
transcendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri dan pengosongan diri.Pristiwa-prisiwa konflik
tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal.
Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta
berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling
luas.
Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan moral dan spiritual, pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam
mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis dan religious.Sejatinya pendidikan
tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya menggantungkan
hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat
membekali manusianya agar bisa survive dan berguna dalam masyarakat (Elmubarok,2008:30).

Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik yaitu sebagai
berikut :
1. Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan
agama secara keseluruhan.
2. Memberikan pendidikan moral secara langsung, yakni pendidikan moral dengan pendidikan pada nilai dan juga sifat selam jangka waktu
tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum.
3. Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus
pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk di cari.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai