Anda di halaman 1dari 5

Nama : Mohammad Faisal Amir

Nim : 17412113
Mata kuliah : Pendidikan Agama
Dosen : Beny W Nawa, SE,MM

(Pertemuan ke VIII )

3.4. Pandangan agama Hindu

Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme.
Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada
duanya". Seperti konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita
Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam
semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal
namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam
semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman
merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada
di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi
para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan
tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada
umatnya.

Agama Hindu sering dipahami sebagai agama politeistik, namun dari Reg Weda, kita
dapat menarik kesimpulan mengenai gagasan ketuhanan agama Hindu sebagai
berikut:
 Tuhan itu Esa, berkuasa atas seluruh dunia (ciptaan-Nya)
 Atas dasar sifat kekuasaan-Nya itu Ia mengatur dan mengawasi seluruh
ciptaan-Nya dari kejauhan (surga)
 Untuk memperoleh kebahagiaan, manusia harus mengamalkan apa yang telah
ditetapkan sebagai hukum-Nya, yang merupakan hukum suci.

3.5. Menurut Agama Islam

Prof. K.H.M. Thair Abdul Mu’in dalam tulisannya mengenai ‘Ilmu Kalam’
mengemukakan: “Agama ialah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang
mempunyai akal, memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, untuk
mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat” [Moh. Rifa’i,
Mutiara Ilmu Tauhid (Bandung: Al Ma’arif, 1974), hlm. 25].
Definisi lain dikemukakan oleh Hadijah Salim sebagai berikut: “Agama adalah
peraturan Allah Swt, yang diturunkan kepada Rasul-Rasul-Nya yang telah lalu, yang
berisi suruhan, larangan dan sebagainya, yang wajib ditaati oleh umat manusia dan
menjadi pedoman serta pegangan hidup, agar selamat di dunia dan akhirat.
Allah dipahami sebagai yang satu-satunya, Ia adalah pencipta, penopang, dan yang
membenahi dunia ini. Umat Islam percaya bahwa “Muhammad” adalah nabi
terakhir (penutup) dari seluruh rangkaian para nabi Allah (termasuk Adam, Nuh, Isa,
dan yang lain).

Islam ditegakkan di atas dasar lima pilar yang disebut “Rukun Islam”, yaitu:
Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji.
 Syahadat merupakan ringkasan pengakuan iman Islam, yaitu, “La ilaha illa
Allah, Mohammad arrasul Allah” (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul-Nya).
 Shalat adalah realisasi ibadah kepada Allah yang dilakukan lima kali sehari,
yaitu: shalat subuh (fajr), shalat dhuhr, shalat ‘asr, shalat magrib, dan shalat
isha’.
 Puasa adalah menahan makan, minum, dan hubungan seksual sejak waktu
sebelum subuh hingga waktu setelah maghrib pada bulan Ramadhan (bulan
ke-9 dalam kalender Islam) selama satu bulan penuh.
 Zakat adalah semacam ‘pajak’ kekayaan untuk menolong mereka yang miskin
dan kekurangan. Dasar pemikirannya, semua kekayaan adalah milik Allah
yang dititipkan atau dipercayakan kepada umat-Nya. Oleh karena itu, setiap
orang berkewajiban mengambil sebagian harta titipan Allah yang merupakan
hak orang lain dan harus diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Besarnya zakat ditentukan 2,5% per tahun dari harta kekayaan yang dimiliki.
 Haji. Naik haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh
semua umat Islam, minimal satu kali seumur hidup bagi yang mampu, baik
secara finansial maupun secara fisik.

Di samping Rukun Islam, agama Islam berpegang pada Rukun Iman, yaitu: Iman
kepada Allah Swt, Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-
Nya, iman kepada Rasul-rasul-Nya, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada al-
Qadar (kesempurnaan kehendak Allah).

3.6. Pandangan iman Kristiani

Agama adalah segala bentuk hubungan manusia dengan Yang Suci. Terhadap Yang
Suci ini manusia merasa kurang pantas, sama sekali tergantung, takut atau takwa
karena sifatnya yang dahsyat (tremendum). Tetapi manusia sekaligus merasa pula
tertarik kepada-Nya karena sifat-sifat-Nya yang mempesona (fascinosum).
Dari ayat-ayat tersebut ada beberapa hal yang dapat dicatat:

 Pandangan mengenai Allah bersifat monoteistik, bukan politeistik, yang


mempercayai adanya banyak dewa. Catatan: umat Kristen, umat Yahudi dan
umat Islam adalah para penganut monoteisme. Ketiganya adalah agama-
agama Ibrahimi (Abrahamik).
 Allah bersifat pribadi. Ia bukanlah kekuatan kosmik yang jauh.
 Allah diakui sebagai pencipta alam semesta
 Allah ada dari diri-Nya sendiri (self-existent), tidak bergantung pada sesuatu
yang lain.
 Allah itu penuh kasih, dan pada hakikatnya Ia adalah kasih,
 Allah itu adil dan benar.

Konsep ketuhanan menurut agama Khong Hu Chu

Dalam agama Khong Hu Chu, Tuhan disebut dengan ‘Thian’ yang berarti ‘Satu Yang
Mahabesar,’ yaitu ‘Tuhan Yang Mahaesa’. Dalam Kitab Perubahan I dinyatakan:

“Thian itu adalah yang menjadi Mula Esa, Sumber, Yang Mahatahu, Yang Meliputi,
Yang Beserta, Yang Memberuntungkan, Yang Memberi Pahala serta Menghukum,
Yang Mahakekal, Abadi, Sentosa, dan Tempat Pulang semuanya. Thian itu
Mahabesar, Mahatinggi, Mahakuasa, Mahakasih, Maharoh dan Mahasempurna.”

Sifat-sifat Tuhan menurut agama Khong Hu Chu adalah:

1. Mahasempurna, Khalik/Pencipta, Yang menjadi mula alam semesta ini


(Gwan).
2. Mahameliputi, menjalin dan menembus di mana pun (Hing).
3. Mahamurah, Yang Menurunkan Rahmat, yang menjadikan orang memperoleh
hasil perbuatannya (Li).
4. Yang Mahakokoh, dan mempunyai hukum abadi (Cing).
5. Dilihat tidak tampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tidak ada
yang tanpa Dia.
6. Apa pun kenyataan Thian tak boleh diperkirakan, dan lebih-lebih, tidak boleh
ditetapkan.
7. Mahabesar, sehingga terasakan di kanan-kiri kita.
8. Mahatinggi dan Pendukung semuanya, tiada bersuara dan berbau.
Demikianlah kesempurnaannya.
9. Menjadikan setiap wujud masing-masing selalu dibantu sesuai dengan
sifatnya.
(Pertemuan ke IX )

4. AGAMA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT PERENNIAL

4.1. Pengertian filsafat perennial

Kata perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang berarti kekal atau selama-
lamanya atau abadi. Istilah ini digunakan berkenaan dengan filsafat agama yang
membicarakan tiga hal:
1. Membahas tentang Tuhan, Wujud yang Mutlak, sumber dari segala wujud.
Tuhan Yang Mahabenar hanyalah satu, sehingga semua agama yang muncul
dari Yang Satu itu pada prinsipnya memantulkan kebenaran yang sama,
karena berasal dari sumber yang sama.
2. Membahas tentang fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif.
Agama yang benar, dalam arti bersumber dari sumber kebenaran abadi, pada
hakikatnya hanya satu, namun karena berkembang dalam spektrum historis
dan sosiologis, maka agama-agama dalam konteks historis selalu hadir dalam
format pluralistik. Dalam pengertian demikian, setiap agama memiliki
kesamaan dengan yang lain, namun sekaligus memiliki kekhasan yang
membedakannya dengan yang lain.
3. Filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religius seseorang
atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus, serta pengalaman keberagamaan.

Karena memandang segala sesuatu yang ada sebagai derivasi dari Yang Absolut,
maka filsafat perennial menegaskan bahwa dalam segala sesuatu terdapat hakikat.
Akibatnya, dalam memahami kenyataan yang ada, filsafat ini mencakup pendekatan
epistemologis, ontologis dan psikologis. Secara epistemol ogis, filsafat ini membahas
makna, substansi dan sumber kebenaran agama, serta bagaimana kebenaran itu
berproses mengalir dari Tuhan Yang Absolut ke dalam kesadaran akal budi manusia,
yang kemudian mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang menyejarah. Dari
sisi ontologis, filsafat ini berusaha menjelaskan adanya Sumber dari segala yang ada,
bahwa segala wujud yang ada sesungguhnya bersifat relatif, hanya merupakan ‘jejak’
kreasi dari Sang Absolut, yang esensinya di luar jangkauan nalar budi manusia.

4.2 Partikularitas dan universalitas agama

Sekalipun menganut pandangan bahwa secara alamiah Tuhan telah menanamkan


benih iman dalam diri manusia, tidak berarti bahwa filsafat perennial tidak
menghormati partikularitas keagamaan dan berpandangan bahwa semua agama sama
saja. Filsafat ini berpegang pada pendapat bahwa Kebenaran Mutlak itu hanya satu,
dan Yang Satu ini memancarkan cahaya dalam berbagai ‘kebenaran’. Hakikat cahaya
hanya satu, namun spektrumnya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan beraneka
warna.

4.3. Memperluas cakrawala kebenaran

Eksklusivisme teologis dalam menyikapi perbedaan dan pluralitas agama tidak hanya
merugikan agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri sebab mempersempit pintu
masuk bagi kebenaran-kebenaran baru yang memperkaya kehidupan. Arogansi
teologis yang memandang agama lain sebagai sesat justru menjauhkan kita dari
substansi sikap keberagamaan yang benar, yang dengan penuh kasih dan santun
mengajak orang lain ke jalan kebenaran. Arogansi teologis tidak hanya terjadi dalam
kehidupan antaragama, tetapi juga dapat terjadi secara internal dalam kehidupan suatu
agama. Akibatnya, perbedaan-perbedaan aliran, mazhab, atau denominasi dalam
suatu agama pun sering menimbulkan bentrokan.

4.4. Satu Tuhan, banyak nama

Pengembangan epistemologi (epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang


mempelajari pemikiran tentang hakikat kebenaran berdasar pengetahuan) filsafat
perennial didasarkan pada kepercayaan, pengetahuan dan kecintaan terhadap Tuhan.
Bertolak dari komitmen imani, pemikiran ini berusaha menjawab sapaan kasih Tuhan
melalui tahapan praksis untuk melayani sesama manusia. Pertanyaan yang timbul:
mampukah manusia mengenal Tuhan dengan benar? Mampukah manusia
menyembah Tuhan terbebas dari ‘konsep tentang Tuhan’ yang dibangun dalam
benaknya sendiri? Apakah banyaknya nama Tuhan menunjukkan bahwa
secara ontologis memang ada banyak Tuhan?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Armstrong berpendapat bahwa
pemikiran monoteisme justru muncul lebih dulu daripada politeisme.

Dalam Al-Qur’an Tuhan dikenal sebagai ‘Allah,’ yang mengacu kepada


kemutlakan-Nya. Allah adalah keberadaan yang Mahagaib dan Mahaakbar, yang tak
dapat dideskripsikan oleh penalaran manusia.

Agama Buddha paling konsisten untuk tidak memberi predikat pada Tuhan secara
positif. Sekalipun tidak menyebut Tuhan secara eksplisit, tidak berarti bahwa agama
Buddha tidak mengakui adanya Tuhan, namun justru menunjukkan kemutlakan
Tuhan sebagai yang tidak dapat dideskripsikan dan dibatasi oleh nama.

Anda mungkin juga menyukai