Anda di halaman 1dari 12

TUGAS AGAMA (RANGKUMAN DAN KESIMPULAN)

NAMA : Syaipul Ramadhan


NPM : 17412109
M. Kuliah : Pendidikan Agama
Dosen : Beny W Nawa,SE,MM

3.4. Pandangan agama Hindu

Agama adalah Satya, Rta, Diksa, Tapa Brama dan Yajna. Ia akan memberikan tempat dan
mengatur hidup kita, dulu, sekarang dan yang akan datang di dunia ini. Satya adalah kebenaran
yang absolut (mutlak). Rta adalah dharma atau perundang-undangan yang mengatur hidup
manusia. Diksa adalah persucian. Tapa Brama adalah semua perbuatan suci dan doa-doa atau
mantra-mantra. Sedangkan Yajna adalah korban.

Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep
tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Seperti
konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa
Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan
dikenal dengan sebutan Brahman.

Menurut agama Hindu, Tuhan adalah Esa (Eka), Mahakuasa, Mahaada dan menjadi sumber
segala sesuatu yang ada dan tiada. Kepercayaan atas keesaan Tuhan ini dapat kita temukan
dalam rumusan-rumusan ayat (mantra) yang terdapat dalam Kitab Reg Weda, baik dari Purusa
Suktanya maupun dari ayat-ayat Nasadiya Suktanya. Kalaupun ada istilah “Dewa”, maka
haruslah dipahami makna sebenarnya.

Agama Hindu sering dipahami sebagai agama politeistik, namun dari Reg Weda, kita dapat
menarik kesimpulan mengenai gagasan ketuhanan agama Hindu sebagai berikut:

 Tuhan itu Esa, berkuasa atas seluruh dunia (ciptaan-Nya)


 Atas dasar sifat kekuasaan-Nya itu Ia mengatur dan mengawasi seluruh ciptaan-
Nya dari kejauhan (surga)
 Untuk memperoleh kebahagiaan, manusia harus mengamalkan apa yang telah
ditetapkan sebagai hukum-Nya, yang merupakan hukum suci.
“Hidupku adalah IBADAH yang panjang, dan Pergulatan Iman yang melelahkan”

3.5. Menurut Agama Islam

Prof. K.H.M. Thair Abdul Mu’in dalam tulisannya mengenai ‘Ilmu Kalam’
mengemukakan: “Agama ialah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang
mempunyai akal, memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, untuk mencapai
kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat” [Moh. Rifa’i, Mutiara Ilmu Tauhid
(Bandung: Al Ma’arif, 1974), hlm. 25].

Definisi lain dikemukakan oleh Hadijah Salim sebagai berikut: “Agama adalah peraturan
Allah Swt, yang diturunkan kepada Rasul-Rasul-Nya yang telah lalu, yang berisi suruhan,
larangan dan sebagainya, yang wajib ditaati oleh umat manusia dan menjadi pedoman serta
pegangan hidup, agar selamat di dunia dan akhirat.

Nama ‘Islam’ berhubungan erat dengan pemahaman agama ini bahwa Allah adalah esa
dan sama sekali berbeda dengan ciptaan-Nya (QS 112:1-4); dan bahwa Allah menciptakan dunia
ini dalam keadaan harmonis (QS 32:7; 95:4). Berada dalam hubungan harmonis dengan Allah
berarti bahwa setiap unsur ciptaan mengetahui tempatnya dan taat pada kehendak Allah. Jadi,
semua ciptaan dipanggil untuk taat kepada Allah.

Kata Arab ‘Islam’ secara harfiah berarti ‘berserah diri’, yang mewarnai seluruh gagasan
dasar agama ini, yaitu bahwa para pemeluknya (yang disebut Muslim, yang berasal dari bentuk
aktif kata Islam) menerima untuk ‘menyerahkan diri kepada kehendak Allah.

Umat Islam percaya bahwa agamanya mencakup semua segi kehidupan. Mereka percaya
bahwa individu, masyarakat dan pemerintah harus taat kepada perintah Allah sebagaimana
dimuat dalam Al-Qur’an, yang diyakini sebagai firman Allah.

Allah dipahami sebagai yang satu-satunya, Ia adalah pencipta, penopang, dan yang
membenahi dunia ini. Umat Islam percaya bahwa “Muhammad” adalah nabi terakhir (penutup)
dari seluruh rangkaian para nabi Allah (termasuk Adam, Nuh, Isa, dan yang lain). Ia berada di
antara nabi-nabi yang memiliki posisi tinggi, dan pesan-pesan yang disampaikannya serta-merta
menyempurnakan dan membatalkan wahyu-wahyu yang diberikan kepada para nabi
sebelumnya. Muhammad mengatasi (lebih tinggi) semua nabi-nabi yang lain, karena wahyu
yang diterimanya mengatasi wahyu-wahyu yang lain. Namun nabi Muhammad sendiri
menyatakan bahwa wahyu yang disampaikannya mengukuhkan dan menjelaskan wahyu-wahyu
yang telah diberikan kepada para nabi sebelumnya. Beliau berkata dalam QS Al-Ahqāf (46):9,
“Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul,” dan dalam ayat 12, “Dan sebelum Al-
Qur’an itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab
yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang
yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Islam ditegakkan di atas dasar lima pilar yang disebut “Rukun Islam”, yaitu: Syahadat,
Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji.

 Syahadat merupakan ringkasan pengakuan iman Islam, yaitu, “La ilaha illa Allah,
Mohammad arrasul Allah” (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya).
 Shalat adalah realisasi ibadah kepada Allah yang dilakukan lima kali sehari, yaitu:
shalat subuh (fajr), shalat dhuhr, shalat ‘asr, shalat magrib, dan shalat isha’.
 Puasa adalah menahan makan, minum, dan hubungan seksual sejak waktu sebelum
subuh hingga waktu setelah maghrib pada bulan Ramadhan (bulan ke-9 dalam kalender
Islam) selama satu bulan penuh.
 Zakat adalah semacam ‘pajak’ kekayaan untuk menolong mereka yang miskin dan
kekurangan. Dasar pemikirannya, semua kekayaan adalah milik Allah yang dititipkan atau
dipercayakan kepada umat-Nya. Oleh karena itu, setiap orang berkewajiban mengambil
sebagian harta titipan Allah yang merupakan hak orang lain dan harus diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya. Besarnya zakat ditentukan 2,5% per tahun dari harta
kekayaan yang dimiliki.
 Haji. Naik haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh semua
umat Islam, minimal satu kali seumur hidup bagi yang mampu, baik secara finansial maupun
secara fisik.
Di samping Rukun Islam, agama Islam berpegang pada Rukun Iman, yaitu: Iman kepada
Allah Swt, Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada
Rasul-rasul-Nya, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada al-Qadar (kesempurnaan kehendak
Allah).

 Iman kepada Allah artinya percaya bahwa Allah itu ada, berkuasa, tidak menyerupai
sesuatu, tidak didahului oleh sesuatu, kekal, ada dengan sendirinya, esa, tidak beranak dan
tidak diperanakkan, mahamengetahui, mahahadir, mahasempurna dan tidak memiliki
kekurangan. Menyembah sesuatu selain Allah disebut shirk, dosa karena menyepadankan
Allah yang mahatinggi dengan ciptaan-Nya.
 Iman kepada malaikat-malaikat. Allah telah menciptakan malaikat-malaikat untuk
menyembah-Nya, dan memberi tugas-tugas tertentu yang harus mereka lakukan dengan
taat. Al-Qur’an menolak bahwa malaikat adalah perantara dan putra-putri Allah. Di antara
para malaikat itu ada yang bertugas untuk mencatat perbuatan manusia. Catatan tersebut
akan diperlihatkan kepada manusia pada akhir zaman, pada hari kebangkitan.
 Allah memerintahkan agar umat-Nya beriman kepada kitab-kitab suci yang telah
diturunkan-Nya. Iman kepada kitab-kitab suci ada dua macam: secara umum dan secara
khusus. Secara umum umat Islam diperintahkan untuk percaya kepada kitab-kitab suci yang
telah diturunkan Allah melalui utusan-utusan-Nya, entah diketahui namanya atau tidak.
Secara khusus, umat Islam wajib mempercayai kitab-kitab suci yang namanya disebutkan
dalam Al-Qur’an, yaitu Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa, Zabur yang diturunkan
kepada Daud, tulisan-tulisan yang diturunkan kepada nabi Ibrahim (Abraham), Injil yang
diturunkan kepada nabi Isa, dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad.
 Umat Islam wajib mempercayai semua utusan Allah, entah diketahui atau tidak
diketahui namanya. Semua utusan Allah adalah mata-rantai yang saling berhubungan. Satu
sama lain saling melengkapi pesan yang diberikan Allah melalui mereka, hingga hadirnya
utusan terakhir, yaitu Nabi Muhammad.
 Iman kepada Hari Akhir meliputi:
(a) Percaya bahwa dunia dengan segala isinya ini akan berakhir.

(b) Allah yang Mahakuasa akan membangkitkan semua ciptaan.


(c) Setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka yang melakukan
amal baik akan menerima ganjaran dan yang tidak beramal baik akan menerima
hukuman.

(d) Perbuatan manusia telah dicatat dan akan diperhitungkankan di hari akhir.

(e) Umat Muslim pada akhirnya akan diizinkan memasuki Jannah (taman surgawi) dan
orang-orang yang tidak beriman akan dimasukkan ke dalam api neraka.

 Iman kepada al-Qadar adalah iman kepada kesempurnaan kehendak Allah, yang
meliputi kepercayaan bawa:
o Allah telah mengetahui segala hal sebelum Ia menjadikannya kenyataan.
o Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, Ia cukup berfirman “jadilah”, maka sesuatu itu
jadi. Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, maka sesuatu itu terjadi, dan bila Ia tidak
menghendaki sesuatu terjadi, maka sesuatu itu tidak terjadi.
o Semua yang ada diciptakan oleh Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang diciptakan tanpa
maksud. Allah itu Mahamengetahui dan Mahabijaksana.
o Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak Allah dan seizin Allah.

3.6. Pandangan iman Kristiani

Agama adalah segala bentuk hubungan manusia dengan Yang Suci. Terhadap Yang Suci ini
manusia merasa kurang pantas, sama sekali tergantung, takut atau takwa karena sifatnya yang
dahsyat (tremendum). Tetapi manusia sekaligus merasa pula tertarik kepada-Nya karena sifat-
sifat-Nya yang mempesona (fascinosum). Kedua aspek ini diungkapkan dalam bahasa Jawa
‘wedi asih’. Dalam rasa keagamaannya, manusia insyaf akan Kekuasaan yang melebihi segala-
galanya dan sangat penting untuk keselamatannya.

Titik tolak keyakinan Kristiani adalah pengakuan bahwa Allah telah terlebih dulu memberi
kemungkinan untuk dikenal oleh manusia melalui pemeliharaan serta berkat-berkat-Nya.
Terbentuknya umat adalah karena berhimpunnya manusia-manusia yang memberi tanggapan
yang sama terhadap tindakan Allah tersebut. Dengan kata lain, umat itu terbentuk sebagai
reaksi atas aksi kasih Allah.
Jawaban positif ialah penerimaan serta pengakuan dengan total atas kehendak dan
tindakan Allah. Inilah sebenarnya hakikat iman. Karena itu, iman sering disebut sebagai ‘the
unconditional yes’ atau pengyaan tanpa syarat. Sedangkan jawaban aktif terwujud dalam
seluruh kehidupan dengan segala aktivitasnya, sebagai upaya menyatakan rasa syukur kepada
Allah yang telah mengasihi itu.

Pemahaman Kristiani tentang Allah berkembang dari pemahaman Yahudi tentang Allah.
Kitab Suci orang Yahudi, yang disebut Perjanjian Lama oleh umat Kristiani, menyatakan dengan
tegas, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian1:1). Israel diperintahkan
agar hanya beribadah kepada Allah, “Dengarlah, hai orang Israel; Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu
Esa! Kasihanilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4-5). Ayat lain mengatakan, “Jangan ada padamu
allah lain di hadapan-Ku! Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada
di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” (Keluaran 20:4-5). PR :
Sebutkanlah 10 Hukum Musa) Kepada Musa Tuhan berfirman, “Aku adalah Aku” (Keluaran
3:14). Nabi Amos memperingatkan, “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu
hidup; dengan demikian TUHAN, Allah semesta alam, akan menyertai kamu. ... Bencilah yang
jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang” (Amos 5:14-15).

Dari ayat-ayat tersebut ada beberapa hal yang dapat dicatat:

Pandangan mengenai Allah bersifat monoteistik, bukan politeistik, yang mempercayai adanya
banyak dewa. Catatan: umat Kristen, umat Yahudi dan umat Islam adalah para penganut
monoteisme. Ketiganya adalah agama-agama Ibrahimi (Abrahamik).
 Allah bersifat pribadi. Ia bukanlah kekuatan kosmik yang jauh.
 Allah diakui sebagai pencipta alam semesta
 Allah ada dari diri-Nya sendiri (self-existent), tidak bergantung pada sesuatu yang lain.
 Allah itu penuh kasih, dan pada hakikatnya Ia adalah kasih,
 Allah itu adil dan benar.

3.7. Konsep ketuhanan menurut agama Khong Hu Chu


Dalam agama Khong Hu Chu, Tuhan disebut dengan ‘Thian’ yang berarti ‘Satu Yang Mahabesar,’
yaitu ‘Tuhan Yang Mahaesa’. Dalam Kitab Perubahan I dinyatakan:

“Thian itu adalah yang menjadi Mula Esa, Sumber, Yang Mahatahu, Yang Meliputi, Yang
Beserta, Yang Memberuntungkan, Yang Memberi Pahala serta Menghukum, Yang
Mahakekal, Abadi, Sentosa, dan Tempat Pulang semuanya. Thian itu Mahabesar,
Mahatinggi, Mahakuasa, Mahakasih, Maharoh dan Mahasempurna.”

Sifat-sifat Tuhan menurut agama Khong Hu Chu adalah:

1) Mahasempurna, Khalik/Pencipta, Yang menjadi mula alam semesta ini (Gwan).


2) Mahameliputi, menjalin dan menembus di mana pun (Hing).
3) Mahamurah, Yang Menurunkan Rahmat, yang menjadikan orang memperoleh hasil
perbuatannya (Li).
4) Yang Mahakokoh, dan mempunyai hukum abadi (Cing).
5) Dilihat tidak tampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tidak ada yang tanpa
Dia.
6) Apa pun kenyataan Thian tak boleh diperkirakan, dan lebih-lebih, tidak boleh
ditetapkan.
7) Mahabesar, sehingga terasakan di kanan-kiri kita.
8) Mahatinggi dan Pendukung semuanya, tiada bersuara dan berbau. Demikianlah
kesempurnaannya.
9) Menjadikan setiap wujud masing-masing selalu dibantu sesuai dengan sifatnya.

Pengakuan iman adanya Tuhan Yang Mahaesa ini merupakan salah satu dari Delapan Ajaran
Iman yang disebut Sing Sien Hong Thian, artinya Sepenuh Iman percaya kepada Tuhan Yang
Mahaesa, yang isinya adalah sebagai berikut:
 Mahabesar Tuhan Khalik semesta alam (Khian Gwan). Berlaksa benda dari-Nya
bermula, semuanya dari Tuhan Yang Mahaesa. Awan berlalu, hujan diturunkan, makhluk
dan benda mengalir berubah bentuk. Jalan Suci Tuhan mengubah dan melebur. Masing-
masing lurus menepati Watak Sejati dan Firman. Dipelihara berpadu keharmonisan besar,
diturunkan berkah keabadian (Thwan dari Yaking I).
 Seorang Kuncu (manusia paripurna) memuliakan Firman Tuhan, memuliakan
orang-orang besar, dan memuliakan sabda para Nabi (Lung Gi XVI:7).
 Yang gembira di dalam Tuhan dapat melindungi dunia, dan yang takut akan
Tuhan dapat melindungi negerinya. Takut atau hormat dan memuliakan Tuhan memberi
perlindungan sepanjang masa (Bing Cu IB:2).

4. AGAMA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT PERENNIAL


4.1. Pengertian filsafat perennial

Kata perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang berarti kekal atau selama-lamanya atau
abadi. Istilah ini digunakan berkenaan dengan filsafat agama yang membicarakan tiga hal:

(1) Membahas tentang Tuhan, Wujud yang Mutlak, sumber dari segala wujud.
Tuhan Yang Mahabenar hanyalah satu, sehingga semua agama yang muncul dari Yang Satu
itu pada prinsipnya memantulkan kebenaran yang sama, karena berasal dari sumber yang
sama.
(2) Membahas tentang fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif.
Agama yang benar, dalam arti bersumber dari sumber kebenaran abadi, pada hakikatnya
hanya satu, namun karena berkembang dalam spektrum historis dan sosiologis, maka
agama-agama dalam konteks historis selalu hadir dalam format pluralistik. Dalam
pengertian demikian, setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain, namun sekaligus
memiliki kekhasan yang membedakannya dengan yang lain.
(3) Filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religius seseorang
atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus, serta pengalaman keberagamaan.
filsafat perennial adalah bahwa dalam setiap agama atau tradisi-tradisi esoterik terdapat
suatu pengetahuan atau pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama dan
dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Menurut agama Hindu, hal ini disebut Sanatana
Dharma, yaitu kebajikan abadi yang harus menjadi dasar kontekstualisasi agama dalam situasi
apa pun, sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan dalam keluhuran
hidup manusia. Dalam Islam kita mengenal Al-dīn, yang berarti ‘ikatan’ yang harus menjadi
dasar beragama bagi seorang Muslim. Dalam agama Yahudi dan Kristen kita mengenal ‘Hikmat
Allah’, yaitu pengertian akan kebenaran tertinggi yang menuntun manusia kepada
kesempurnaan kemanusiaannya. Hal yang perlu diingat, bagaimana pun, bungkus-bungkus
tersebut bukanlah tujuan, melainkan jalan agar manusia dapat terbebas dari belenggu-
belenggu dunia material yang cenderung menyengsarakan, dan kembali kepada kehidupan
alami manusia.

Karena memandang segala sesuatu yang ada sebagai derivasi dari Yang Absolut, maka
filsafat perennial menegaskan bahwa dalam segala sesuatu terdapat hakikat. Akibatnya, dalam
memahami kenyataan yang ada, filsafat ini mencakup pendekatan epistemologis, ontologis dan
psikologis. Secara epistemol ogis, filsafat ini membahas makna, substansi dan sumber
kebenaran agama, serta bagaimana kebenaran itu berproses mengalir dari Tuhan Yang Absolut
ke dalam kesadaran akal budi manusia, yang kemudian mengambil bentuk dalam tradisi
keagamaan yang menyejarah. Dari sisi ontologis, filsafat ini berusaha menjelaskan adanya
Sumber dari segala yang ada, bahwa segala wujud yang ada sesungguhnya bersifat relatif,
hanya merupakan ‘jejak’ kreasi dari Sang Absolut, yang esensinya di luar jangkauan nalar budi
manusia.

4.2 Partikularitas dan universalitas agama

Sekalipun menganut pandangan bahwa secara alamiah Tuhan telah menanamkan benih
iman dalam diri manusia, tidak berarti bahwa filsafat perennial tidak menghormati
partikularitas keagamaan dan berpandangan bahwa semua agama sama saja. Filsafat ini
berpegang pada pendapat bahwa Kebenaran Mutlak itu hanya satu, dan Yang Satu ini
memancarkan cahaya dalam berbagai ‘kebenaran’. Hakikat cahaya hanya satu, namun
spektrumnya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan beraneka warna. Meskipun hakikat
Agama Yang Benar itu hanya satu, namun karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara
tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama dalam realitas
sejarah tak dapat dielakkan. Dengan kata lain, pesan kebenaran dari Yang Mutlak itu
berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Karena itu, setiap bentuk dan bahasa
keagamaan pasti mengandung nilai-nilai budaya suatu komunitas, dan pada gilirannya nilai dan
bahasa agama yang terwadahi dalam lembaga budaya tertentu tersebut akan melahirkan
pengelompokan ideologis.

4.3. Memperluas cakrawala kebenaran

Eksklusivisme teologis dalam menyikapi perbedaan dan pluralitas agama tidak hanya
merugikan agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri sebab mempersempit pintu masuk
bagi kebenaran-kebenaran baru yang memperkaya kehidupan. Arogansi teologis yang
memandang agama lain sebagai sesat justru menjauhkan kita dari substansi sikap
keberagamaan yang benar, yang dengan penuh kasih dan santun mengajak orang lain ke jalan
kebenaran. Arogansi teologis tidak hanya terjadi dalam kehidupan antaragama, tetapi juga
dapat terjadi secara internal dalam kehidupan suatu agama. Akibatnya, perbedaan-perbedaan
aliran, mazhab, atau denominasi dalam suatu agama pun sering menimbulkan bentrokan,
bahkan kadang-kadang disertai kekejaman. Ironis memang! Terlebih lagi jika bentrokan
tersebut ditunggangi oleh kepentingan politis, maka yang terjadi adalah kekerasan yang
berkepanjangan atas nama agama. Jika simbiosis antara agama dengan politik begitu kental,
maka orang dapat melakukan kekejaman terhadap kemanusiaan atas nama Kebenaran Suci.

4.4. Satu Tuhan, banyak nama

Pengembangan epistemologi (epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang


mempelajari pemikiran tentang hakikat kebenaran berdasar pengetahuan) filsafat perennial
didasarkan pada kepercayaan, pengetahuan dan kecintaan terhadap Tuhan.
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Armstrong berpendapat bahwa
pemikiran monoteisme justru muncul lebih dulu daripada politeisme. Agama-agama semitis
yang mengajarkan monoteisme bukanlah agama baru, melainkan mempertegas dan
memperjelas paham yang pernah tumbuh, tetapi karena berbagai faktor menjadi samar-samar.
Dalam sejarah manusia menyebut Tuhan Yang Esa dan Mutlak itu dengan berbagai nama dan
istilah, namun secara substansial semuanya menunjuk kepada Zat yang sama. Tuhan Yang
Mutlak itulah yang dijadikan objek penyembahan karena fungsi dan posisi-Nya yang diyakini
umat manusia sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta. Karena Tuhan Mahamutlak, maka
terdapat rentang ‘jarak’ yang amat jauh dari manusia, namun sekaligus ‘dekat’ dengan manusia.
Sikap manusia terhadap Tuhan bersifat pradoksal.
Pada hakikatnya, setiap agama mengandung unsur ‘percaya’ atau ‘iman’. Secara implisit
berarti dalam sikap iman terkandung pengakuan bahwa objek yang diimani berada di luar
jangkauan kognitif manusia. Sekalipun demikian, agama tidak menolak kemampuan penalaran
manusia, bahkan agama tidak akan berkembang tanpa penalaran kritis manusia.

Pergumulan tentang nama Tuhan merupakan salah satu persoalan yang dibicarakan dalam
semiotika (suatu ilmu yang mempelajari tentang tanda). Kata semeion dalam bahasa Yunani
berarti ‘tanda.’ Dunia manusia adalah dunia ‘tanda’. Kita berkomunikasi dengan tanda-tanda.
Tanda lisan yang disebut bahasa adalah tanda yang paling rumit dan kompleks yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi.
Orang menyebut Tuhan dengan berbagai nama, Tuhan, Allah, God, dan lain-lainnya. Semua
sebutan itu tetap bersifat simbolik. Kita harus membedakan antara ‘nama’ dengan ‘yang diberi
nama’, antara ‘predikat’ dengan ‘substansi. Allah adalah keberadaan yang Mahagaib dan
Mahaakbar, yang tak dapat dideskripsikan oleh penalaran manusia. Kata ‘Allah’ memang sudah
dikenal jauh sebelum lahirnya Islam. Namun pengertian ‘Allah’ pra-Islam berbeda dengan
pengertian Islam. Allah pra-Islam adalah salah satu dewa tertinggi yang mengairi bumi dan
memberi kesuburan bagi pertanian dan peternakan. Sedangkan Allah dalam Islam adalah Tuhan
Yang Mahaesa, tempat berlindung segala yang ada.

Kalaupun Yang Mahakuasa itu ‘diberi’ nama, maka kita harus menyadari bahwa
bagaimanapun nama itu adalah bahasa antrophomorf, yang tidak memadai untuk membatasi
keberadaan-Nya. Nama bagi Yang Mahakuasa berbeda dengan nama yang dilekatkan kepada
manusia atau makhluk lainnya. Sebab bagi manusia atau makhluk lainnya, nama sekaligus akan
menjadi definisi yang membatasi pemiliknya.
Agama Buddha paling konsisten untuk tidak memberi predikat pada Tuhan secara positif.
Sekalipun tidak menyebut Tuhan secara eksplisit, tidak berarti bahwa agama Buddha tidak
mengakui adanya Tuhan, namun justru menunjukkan kemutlakan Tuhan sebagai yang tidak
dapat dideskripsikan dan dibatasi oleh nama. Penamaan manusia atas Yang Mahakuasa itu
tidak

Kesimpulan

Setiap keyakinan antar umat beragama mempunyai satu tujuan yaitu menyembah satu tuhan
yang di percaya, Membahas tentang Tuhan, Wujud yang Mutlak, sumber dari segala wujud.
Tuhan Yang Maha benar hanyalah satu, sehingga semua agama yang muncul dari Yang Satu itu
pada prinsipnya memantulkan kebenaran yang sama, karena berasal dari sumber yang sama.

Membahas tentang fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Agama yang
benar, dalam arti bersumber dari sumber kebenaran abadi, pada hakikatnya hanya satu, namun
karena berkembang dalam spektrum historis dan sosiologis, maka agama-agama dalam konteks
historis selalu hadir dalam format pluralistik. Dalam pengertian demikian, setiap agama
memiliki kesamaan dengan yang lain, namun sekaligus memiliki kekhasan yang
membedakannya dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai