Anda di halaman 1dari 9

HAKIKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM

KELOMPOK 6

Ayu Sri lestari juliana Wijaya


Selvy alia destrianti
Azzahra nur ayu Medina
Yesti hadianti
Rifky Maulana
Pariska mulyadi
Elsa rahmasari
 Pengertian Manusia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk
yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang’
(1989:558). Menurut pengertian ini manusia adalah makhluk Tuhan yang
diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai
makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa
Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata nâs, basyar, insân,
mar’u, ins dan lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut
memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih
merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata
basyar lebih menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis.
Begitu juga dengan kata-kata lainnya.
Manusia diciptakan oleh Allah swt dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS.
At-Tîn[95]:4). Manusia memiliki dua unsur yaitu jasad dan roh, jasmani dan
rohani. Kedua unsur inilah yang mempengaruhi kehidupan manusia
selanjutnya. Masing-masing unsur memiliki kebutuhan tersendiri. Dalam
prosesnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan kedua unsur tersebut
agar ia dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera. Kebutuhan fisik/jasmani
diantaranya meliputi sandang(QS. Al-A’raf:31), pangan (QS. dan papan (QS).
Sedangkan kebutuhan spiritual/rohani diantaranya kebutuhan akan
kebahagiaan, kebutuhan untuk memiliki sistem keyakinan, kebutuhan akan
keadilan dan kebutuhan lainnya.

 Agama dalam berbagai pandangan


Secara leksikal, agama diartikan sebagai ‘kepercayaan kepada Tuhan (dewa,
dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu’ (KBBI, 1989:9). Dalam bahasa Arab, padanan kata
agama adalah kata dîn dan dalam Al-Qur’ân disebutkan sebanyak 92 kali..
Menurut Ashfahani dalam kitab al-Mufradât, kata dîn mengandung dua
dimensi yaitu ketaatan dan balasan. Sedangkan menurut Abul A ‘lâ al-
Mawdûdi, Alquran menggunakan kata dîn dalam arti: (1) keperkasaan dan
kekuasaan tertinggi (40:64), (2) ketaatan dan ketundukan pada kekuasaan
tertinggi, (3) aturan pemikiran dan perbuatan dari penguasa tertinggi, dan
(4) balasan yang setimpal dari ketaatan dan pelanggaran pada aturan
penguasa tertinggi. Sementara itu, Abdullah ad-Darrâz mengemukakan
bahwa agama adalah ‘undang-undang Tuhan yang mendorong orang-orang
yang berakal sehat dengan ikhtiar mereka pada kebaikan hidup di dunia
dan di akhirat’. (1969:29).
Bagi kaum sekuler, agama tak lain hanyalah bentuk keterpaksaan individu
atau masyarakat dan kebutuhan yang bersifat sementara. Agama tumbuh
sebagai akibat dari keadaan tertentu yang menimpa individu atau
masyarakat. Berbeda dengan pandangan kaum sekuler, kaum Marxis
berpandangan bahwa agama diwujudkan agar kelas penindas tetap dapat
mempertahankan kedudukan dan kekuasaanya di kalangan bangsa-bangsa.
Para ahli psikologi memandang agama sebagai dorongan-dorongan antara
apa yang ada yang ada di dalam diri individu dan interaksi dengan
lingkungan di luar dirinya. Freud misalnya, memandang agama sebagai
sesuatu yang berasal dari ketidakmampuan manusia menghadapi kekuatan
alam di luar diri dan juga kekuatan insting dari dalam diri. Sedangkan Jung
berpendapat bahwa hakekat dari pengalaman keagamaan adalah
ketundukan pada kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan kita sendiri.
Masih menurut Jung, agama merupakan fenomena yang lahir dari
ketidaksadaran.
Dalam pandangan para sosiolog, agama dianggap sebagai suatu fenomena
sosial dengan melihat kelembagaan suatu agama dan perilaku para
pemeluk agama.
Salah seorang sosiolog Barat, Durkheim, menyatakan bahwa agama adalah
suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap sesuatu
yang sakral, yang lain dari yang lain; kepercayaan dan pengalaman yang
menyatu dalam suatu komunitas moral yaitu gereja.
Terlepas dari berbagai pandangan-pandangan di atas, terdapat ciri-ciri
umum yang biasanya terdapat dalam sistem-sistem kepercayaan dan
aktivitas keagamaan, yaitu: (1) adanya unsur kebaktian, (2) pemisahan
antar sakral dan profan, (3) kepercayaan terhadap dewa-dewa atau Tuhan,
(4) penerimaan atas wahyu yang supranatural, dan (5) pencarian
keselamatan.
 Mengapa Manusia Harus Beragama?
Kelebihan manusia dibanding makhluk Allah lainnya terletak pada unsur
ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya,
manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur
segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allâh menciptakan segala
yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (QS. Luqmân [31] ayat 20).
Dalam salah satu ayat Al-Qur’an ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan
anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di
laut, serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan
mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra [17]:70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang
perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian
manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata
karena hasil usahanya sendiri, karena itu dia berhak berbangga atas
lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan
menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk
memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang,
bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’râf [7]: 170 dan Al-Furqân [25]:
42).[2]Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Dari segi bahasa, kata
fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna
ini lahir makna-makna lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”. Konon
sahabat Nabi Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada ayat-ayat
yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar
pertengkaran tentang kepemilikan satu sumur. Salah seorang berkata. “Ana
fathartuhu”. Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti, “Saya yang
membuatnya pertama kali. “ Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa
kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Fithrah
manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.
Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua
puluh delapan kali. empat belas di antaranya dalam konteks uraian tentang
bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari
sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah. maupun dari segi uraian
tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat
Al-Rum ayat 30:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama. (pilihan) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
ltulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang
lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid. Selanjutnya dipahami
juga, bahwa fitrah adalah bagian dari khalq (penciptaan) Allah. Kalau kita
memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti “tidak”, maka ini berarti
bahwa seseorang tidak dapat menghindari fitrah itu. Dalam konteks ayat
ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia
untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya.
[3]Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk
maju dan sempurna. Dîn adalah bagian dari fitrah manusia. Muthahhari,
seorang pemikir Iran, menyebutkan adanya lima macam fitrah
(kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat),
condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi)
dan cinta (‘isyq) atau menyembah (beragama). Meskipun kecenderungan
beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atau apa
yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah,
melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari
pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama
merupakan fitrah manusia. Allâh swt berfirman, “Maka hadapkanlah
wajahmu kepada dîn dengan lurus, sebagai fitrah Allâh yang atasnya
manusia diciptakan.” (QS. Ar-Rûm [30]: 30). Mengenai beragama sebagai
fitrah manusia, Nurcholish Madjid menyatakan,
Dari sudut pandangan Islam, kebutuhan manusia kepada sistem
kepercayaan itu merupakan salah satu naluri kemanusiaan yang paling
mendasar, sudah tentu lebih mendasar daripada naluri manusia untuk
makan dan minum. Berkenaan dengan ini, al-Qur'ân menyebutkan adanya
“perjanjian primordial” (primordial covenant, perjanjian sebelum lahir)
antara manusia dan Tuhan, yaitu bahwa manusia mengakui Tuhan itu dan
akan hidup berbakti kepada-Nya. …Perjanjian atau covenant itu terjadi
dalam alam ruhani, sehingga tidak menjadi bagian dari kesadaran psikologis
kita. Karena adanya perjanjian itu, setiap orang lahir dengan kemanusiaan
primordial (fithrah) yang suci dan cenderung kepada kebaikan (hanîf).
Bersamaan dengan itu ialah adanya naluri untuk kembali ke asal, dan
perasaan bahagia dan tenteram karena kembali ke asal itu. Dalam berbagai
manifestasinya, dorongan untuk kembali ke asal merupakan sumber energi
yang kuat sekali pada manusia (seperti drama tahuan “mudik” saat
Lebaran). Salah satu wujud dorongan kembali ke asal itu ialah naluri untuk
berbakti kepada Tuhan Demikian kuatnya dorongan untuk berbakti kepada
Tuhan dan kembali kepada-Nya itu sehingga harus selalu ada jalan
penyalurannya. Jika usaha pencarian saluran itu terjadi tanpa bimbingan,
maka manusia akan berbakti kepada apapun yang dikiranya memiliki
kualitas sebagai suatu “Tuhan” yang menjadi tujuan pembaktian diri).
Karena itu, problema manusia bukanlah tidak percaya kepada adanya suatu
jenis “Tuhan”; justru semua manusia, sepanjang sejarahnya, pasti
mempercayai suatu jenis “Tuhan”. Maka timbullah politheisme, atau
pantheisme, berupa pemujaan kepada obyek-obyek yang dipandang
memiliki unsur mysterium, tremendum et fascinans (istilah sosiolog
Rudolph Otto). Mitologi dan legenda pun muncul. Tetapi, sebagaimana
disebutkan di atas, suatu kepercayaan yang terbukti palsu akan berakibat
amat merugikan. Kerugian itu (yang dalam bahasa al-Qur'ân sering disebut
al-khusrân), akan menjilma menjadi kesengsaraan. Karena kesengsaraan itu
terjadi pada peringkat keruhanian yang lebih mendalam dan hakiki
daripada peringkat kejiwaan atau nafsani (psikologis), apalagi jasmani
(fisiologis), maka dimensinya pun lebih mendalam dan lebih hakiki.
 Islam dan Tauhid

Secara etimologis, Islam merupakan mashdar (gerund) dari kata aslama-


yuslimu-islâman yang berarti ‘ketundukan, kepasrahan, kepatuhan’(Ali, A &
Muhdlor, A.Z, 1996:124). Dalam definisi lain Islam diartikan sebagai ‘agama
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. berpedoman pada kitab suci
Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah swt’(KBBI,
1989:340). Sedangkan secara terminologis, ad-Darrâz mengemukakan
bahwa lafal “Islam” dalam Alquran dan Hadits mencakup dua pengertian,
umum dan khusus; (1) Islam dalam pengertian umum berarti ‘penyerahan
diri seseorang kepada Allâh swt. dengan perasaan tunduk sebagai hamba-
Nya dengan akidah tauhid tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, serta mengerjakan segala perintah dan meninggalkan larangannya’.
Dengan kata lain, pengertian ini merupakan hakekat dan inti dari agama
samawi yang diajarkan oleh para nabi dan rasul (QS. 3:19&64, 42:13 dan
22:78), dan (2) Islam dalam pengertian khusus berarti ‘nama agama yang
disiarkan oleh Muhammad saw’ (QS. 3:19&85 dan 5:3)(Ad-Darrâz,
1969:183-184). Muthahhari mengemukakan pengertian lain,
“Islam adalah nama agama Allah yang unik, semua nabi diangkat untuk
agama ini, dan mereka, pada gilirannya, menyeru manusia untuk
memasukinya. Agama ini disampaikan kepada manusia dalam bentuk yang
paling menyeluruh dan lengkap oleh Muhammad bin Abdullah, nabi
terakhir. Kenabian berakhir dengan beliau dan sekarang ini agama tersebut
dikenal di seluruh dunia”(1991:87)
Karakteristik Islam yang sangat mencolok dibanding agama lain adalah tidak
dinisbatkannya ajaran Islam dengan nama pembawanya yaitu Nabi
Muhammad saw. Islam bukanlah Mohemmedanism seperti yang
dituduhkan sementara kalangan orientalis Barat. Ajaran Islam bersifat
universal dan abadi sepanjang zaman. Universalitas Islam pada hakekatnya
bersumberpada pokok dari seluruh konsep Islam yaitu tauhid. Konsep
tauhid adalah konsep khas Islam sekaligus fundamen yang paling esensial
yang dapat melahirkan jiwa kaum Muslimin yang merdeka dan bebas dari
intervensi, penekanan dan intimidasi dari manusia lainnya. Di sisi lain,
konsep tauhid ini melahirkan pula ketundukan, kepasrahan dan ketaatan
terhadap undang-undang dan peraturan Allah swt.

 Manusia dalam Perspektif Islam


Berbicara mengenai manusia dalam perpektif Islam tentunya tidak akan
terlepas dari bagaimana Alquran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam
membicarakan manusia itu sendiri. Dalam konteks Alquran konsep manusia
diwakili oleh kata-kata nafs, basyar, ins, insân, unâs, mar’ dan nâs. Kata-
kata yang paling sering digunakan Alquran ketika membicarakan manusia
adalah kata basyar, insân dan nâs. Kata basyar lebih dikaitkan dengan
manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk biologis. Semua kata basyar
dalam Alquran menunjukkan gejala umum yang nampak pada fisik manusia.
Dengan demikian, pengertian basyar lebih menunjuk pada aktivitas lahir
manusia yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti
makan, minum, kawin dan akhirnya mati sebagai akhir kegiatannya di
dunia. Sedangkan kata insân -sebagai kata yang paling banyak digunakan
Alquran tentang manusia- menerangkan manusia dalam berbagai konteks,
antara lain: (1) manusia sebagai makhluk yang dianugerahi pengetahuan
(ilmu) (96:1-4), (2) manusia memiliki musuh yang nyata yaitu syetan (12: ,
(3) manusia sebagai pemikul amanat (33:72), (4) manusia dituntut
mengoptimalkan waktu sebaik-baiknya agar tidak tergolong orang yang
merugi (103:1-3), (5) manusia dituntut pertanggungjawabannya atas peran
dan usahanya di dunia (53:34. konsep basyar dan insan ini merupakan
konsep Islam tentang manusia sebagai individu.
Dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial, Alquran menamai manusia
dengan sebutan nâs. Manifestasi dari kualitas manusia tidak terlepas dari
konteks sosial dan tidak hanya bersifat individual semata. Dalam Alquran
surat Ali Imran ayat 112, dinayatakan bahwa kualitas kemanusiaan sangat
tergantung dari kualitas berkomunikasi dengan Allah melalui ibadah dan
kualitas berinteraksi sosial melalui muamalah.

Dalam kaitannya dengan tugas dan peran hidupnya di dunia, Alquran


menyebut manusia dengan istilah khalifah. Khalifah berarti pengganti atau
wakil, dalam hal ini, manusia menajdi khalifah Tuhan untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia
sebagai mandataris Tuhan bersifat kreatif namun dibatasi oleh aturan-
atuaran yang telah digariskan Tuhan sebagai yang diwakilinya, baik yang
tersurat maupun tersirat. Penggunaan wewenang ini sepenuhnya akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (39:35). Selain sebagai khalifah,
manusia juga berperan sebagai hamba Allah. Esensi dari abd adalah
ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Dalam kapasitas sebagai ciptaan
Tuhan, manusia memiliki keharusan untuk taat dan payuh kepada
Penciptanya. Keengganan manusia mengabdikan dirinya kepada Sang
Pencipta akan menggiringnya pada penghambban terhadap diri sendirei,
pada hawa nafsunya.
Kapasitas manusia sebagai khalifah dan hamba Allah sekaligus, bukanlah
dua hal yang kontradiktif, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak bisa
dipisahkan. Kekhalifahan merupakan manifestasi pengabdian manusia
kepada Allah, Tuhan Sang Pencipta. Wallâhu a‘lam bish-shawâb.

Anda mungkin juga menyukai