Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia modern
masíh menyisakan misteri. Misteri yang dimaksud adalah manusia belum mampu
memecahkan secara jelas hakikat manusia yang sebenarnya. A. Carrel mengatakan
bahwa sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar
untuk mengetahui dirinya, meskipun perbendaharaan telah cukup dimiliki oleh hasil
penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian
sepanjang masa ini. Tapi manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu
dari dirinya sendiri. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang diketahui
hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada
hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia –
kepada diri mereka— hingga kini masih tetap tanpa jawaban (Shihab, 1996: 277).
Jika pandangan A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya jalan untuk
mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Ilahi, agar kita
dapat menemukan jawabannya. Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan
hanya merujuk kepada satu dua ayat, tetapi harus merujuk pada ayat-ayat kunci yang
membicarakan manusia dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menjelaskan tentang manusia
dengan beberapa kata kunci yaitu; al-basyar, al-ins, al-insan, al-uns, al-nas dan bani
adam. Dari kata-kata kunci tersebut, dapat dikelompokkan menjadi, pertama; kata al-
basyar; kedua, kelompok kata al-ins, al-insan, al-nas, dan al-unas dan, ketiga bani
Adam. Masing-masing istilah ini memiliki intens makna yang beragam dalam
menjelaskan manusia (Baharuddin, 2004: 64).
Pembahasan tentang fithrah manusia sebagaimana yang terdapat dalam al-
Qur’an, dengan pendekatan tafsir tematik yang dianalisis dengan psikologi
pendidikan Islam. Kajian seperti ini diharapkan mampu memberikan deskripsi
tentang makna fitrah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an jika dihubungkan
dengan psikologi pendidikan. Hal ini disebabkan bahwa selama ini ada anggapan
bahwa konsep al-Qur’an dan psikologi merupakan dua kutub yang tidak dapat
bertemu. Padahal jika ditelaah secara mendalam antara konsep al-Qur’an dan
psikologi justru ditemukan harmonisasi dan benang merah yang jelas, bahkan
ditemukan beberapa konsep-konsep kunci sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an.
Fithrah berasal dari bahasa Arab yang bentuk fiil madhi-nya adalah fitara
dengan bentuk masdarnya fitrun atau fitratan yang berarti memegang dengan erat,
memecahkan, membelah mengoyakkan, meretakkan dan menciptakan (Ibnu Manzur,
t.th.: 1108-1109). Kata tersebut juga mengandung beberapa kata makna yaitu suatu
kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir, penciptaan yang menyebabkan sesuatu
ada untuk pertama kalinya, serta struktur atau ciri alamiah manusia, juga secara
keagamaan maknanya adalah agama tauhid atau mengesakan Tuhan. Bahwa manusia
sejak lahir telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid
(Baharuddin, 2004: 148).
Selain itu menurut, Ahmad (2006: 24-25) fithrah juga berarti potensi,
maksudnya bahwa manusia mempunyai potensi sebagai; sebagai makhluk sosial,
makhluk yang ingin beragama, mencintai perempuan dan anak-anak, mencintai harta
benda (emas, kendaraan, sawah ladang dan sebagainya).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa istilah fithrah bahwa
manusia memiliki potensi kemanusiaan untuk bersifat sebagaimana makhluk Allah
lainnya, seperti mencintai harta, perempuan dan sebagainya. Fithrah juga adalah
kecenderungan bawaan manusia sejak lahir telah memiliki fithrah beragama tauhid,
yaitu mengesakan Tuhan.
Fithrah merupakan potensi yang menggerakkan manusia itu adalah anugrah
Allah. Potensi tersebut merupakan alat pacu atau penggerak yang dianugrahkan Allah
kepada manusia. Dengan gerak atau al-harakah inilah manusia dapat membedakan
perbuatan mana yang bermanfaat dan perbuatan mana yang membahayakan atau
mudharat. Ia bagaikan cahaya Allah di muka bumi ini serta manifestasi keadilan-Nya.
Dengan fithrah itu manusia dapat membedakan dan memilih perbuatan apa yang
harus dilakukan apa perbuatan apa yang harus dihindarkan atau dilakukan. Bahkan
fithrah itu pun bukan hanya potensi-potensi sebagaimana dijelaskan di atas,
melainkan juga indera atau al-hiss seperti yang dimiliki hewan. Fithrah lebih sekedar
al-hiss atau indera, karena fithrah manusia dapat membedakan perbuatan yang baik
atau buruk, baik di dunia maupun di akhirat (Juhaya, 2004: 34).
Fithrah Allah, maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Manusia yang tidak beragama tauhid itu hanyalah
lantaran pengaruh lingkungan. Sedangkan kata fithrah yang obyek pembahasannya
adalah manusia ditemukan dalam beberap antara lain;
1.! Al-Rum (30): 30
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.
2.! Hud (11): 51 Artinya: Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi
seruanku ini. upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang Telah menciptakanku.
Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?"
Kata fithrah Allah dalam QS. Al-Rum ayat 30 mengandung arti agama tauhid
yaitu agama yang mengesakan Allah. Fithrah tersebut merupakan milik Allah dan
dapat diberikan kepada manusia, melalui proses penciptaan yang disebut dengan
fatara (Baharuddin, 2004: 152). Penciptaan dengan kata fatara mungkin akan lebih
tepat jika dipahami sebagai proses emanasi sebagaimana proses nafakh pada
penciptaan ruh, bahwa keduanya berasal dari Allah. Kemudian melalui proses fatara,
maka fithrah itu diciptakan kepada manusia. Sebagaimana ruh mengalir secara
emanasi maka demikian juga dengan fithrah. Berbeda dengan ruh yang diciptakan
ketika nutfah telah siap untuk menerima yang disebut istawa, maka fithrah diciptakan
secara emanasi ketika nutfah keluar dari tulang sulbi laki-laki. Hal ini disebutkan
dalam al-A’raf (7): 172; Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
Ayat tersebut menjelaskan bahwa terjadi dialog antara Tuhan dan bakal
manusia dalam rangka pengakuan akan keesaan Allah. Sangat sulit untuk dipahami,
jika proses tersebut dipahami sebagai proses dialog verbal dalam suatu bentuk
komunikasi. Dengan proses emanasi maka dialog tersebut dipahami sebagai proses
dialog inverbal, yaitu proses terjadinya penciptaan, dimana fithrah yang berasal dari
Allah mengalir ke dalam nafs manusia. Sehingga dalam nafs terjadi proses
penerimaan fithrah yang dilambangkan dalam ayat tersebut sebagai pengakuan
terhadap keesaan Allah.
Artinya: Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua
orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (HR.
Bukhari, dari Abu Hurairah)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa fithrah yang dibawa anak sejak lahir
cukup besar pengaruhnya oleh lingkungan. Fithrah itu sendiri tidak akan berkembang
tanpa dipengaruhi lingkungan sekitar, yang mungkin dapat dimodifikasikan atau
dapat diubah secara drastis manakala lingkungannya tidak memungkinkan
menjadikannya lebih baik. Faktor-faktor eksternal bergabung dengan fithrah, sifat
dasarnya tergantung kepada sejauhmana interaksi eksternal dengan fithrah itu
berperan. Sebaliknya menurut aliran Behavioris, fithrah tidak mengharuskan manusia
berusaha sekuat tenaga terhadap lingkungannya. Dua orang anak yang hidup dalam
kondisi yang sama barangkali akan memberi respon terhadap setiap stimulus serupa
dalam cara yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Sebagai contoh, Asiyah, isteri
Fir’aun yang tetap beriman kepada Allah meskipun dia hidup dilingkungan yang
tidak mentauhidkan Allah. Sebaliknya Kan’an anak Nabi Nuh as menjadi ingkar
padahal ia adalah anak seorang Nabi. Karena itu lingkungan adalah faktor yang dapat
mempengaruhi tingkah laku manusia, namum bulan satu-satunya faktor tanpa adanya
faktor yang lain (Abdullah, 2005: 62).
Secara mendalam, para pendidik mengakui bahwa teori dan praktek
kependidikan dipengaruhi oleh bagaimana sifat dasar manusia itu dipandang. Jika
manusia dipandang mempunyai pembawaan jahat, maka sebagian besar
kependidikannya dititikberatkan untuk menghilangkan atau menggantikan elemen-
elemen kejahatan tersebut. Menurut teori Lorenz yang membangun pembawaan
agresi manusia semenjak lahir, maka perhatian pendidikan diarahkan untuk mencari
obyek-obyek pengganti dan prosedur-prosedur sublimasi yang akan dapat membantu
menghilangkan sifat-sifat agresi ini. Sedangkan teori yang menganggap manusia pada
asalnya suci bersih seperti kertas putih, akan memberi peranan besar bagi pendidikan
dan pengajaran (Abdullah, 2005: 63). Karena itu disinilah letak pentingnya
pendidikan untuk tetap menjaga fithrah manusia agar tetap suci.
Selain itu, Zakiah Daradjat memberikan penjelasan tentang QS. Al-Rum (30):
30 bahwa fitrah Allah yang berbentuk potensi itu tidak akan mengalami perubahan
dengan pengertian bahwa manusia terus menerus dapat berpikir, merasa, bertindak
dan dapat terus berkembang. Fithrah inilah yang membedakan antara manusia
dengan makhluk Allah lainnya dan fithrah ini pulalah yang membuat manusia itu
istimewa dan lebih mulia, sekaligus berarti manusia adalah makhluk pedagogik.
Manusia sebagai makhluk pedagogik yang diciptakan oleh Allah membawa potensi
untuk didik dan mendidik (Daradjat, 2004: 16).
Meskipun demikian, kalau potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan
kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dan
pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan. Teori
nativis dan empiris yang dipertemukan oleh Kerschenteiner dengan teori
konvergensinya, telah ikut membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang
dapat didik dan mampu mendidik (Daradjat, 2004: 17).