Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang………………………………………………………………………. 1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………………….. 2
3. Tujuan Masalah……………………………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
1. Hakikat Fitrah Manusia………………………………………………………….. 3
2. Komponen Dasar Fitrah…………………………………………………………. 7
3. Macam Macam Fitrah……………………………………………………………. 10
4. Potensi Manusia……………………………………………………………………. 12
5. Fitrah Sebagai Inner Potensial………………………………………………… 14
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan……………………………………………………………………………
19
2. Saran…………………………………………………………………………………….
19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa
potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki
manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri manusia
tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu.
Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya
sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan
potensi positif yang ada dalam dirinya untuk mencapai fitrah tersebut.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas
ganda, yaitu sebagai khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk
mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah
potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan
fitrah.[1]
Dalam pembahasan ini penulis akan berupaya mengupas dan menjelaskan
beberapa hal yang berhubungan dengan hakikat fitrah dan potensi manusia menurut
islam. Pertama penulis akan mencoba menjelaskan tentang manusia yang
mencakup bagian-bagiannya, hakekat fitrah manusia, komponen dasar fitrah
macam-macam fitrah, potensi manusia dan fitrah sebagai inner potensial.
Semoga dengan adanya penjelasan tersebut kita menjadi paham tentang
fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam. Terutama bagi penulis sendiri
dan orang yang membacanya agar menambah pemahaman dan hakekat fitrah dan
potensi dasar manusia, berikut penjelasannya

1. Rumusan Masalah
2. Apakah yang dimaksud dengan hakikat fitrah manusia ?
3. Apakah komponen dasar fitrah manusia ?
4. Apa macam macam fitrah manusia ?
5. Apa sajah potensi-potensi yang ada dalam diri manusia ?
6. Apakah yang dimaksud dengan fitrah sebagai inner potensial ?
7. Tujuan Masalah
8. Untuk mengetahui hakekat fitrah manusia ?
9. Untuk mengetahui komponen dasar fitrah manusia ?
10. Untuk mengetahui macam macam fitrah manusia ?
11. Untuk mengetahui potensi potensi yang ada didalam diri manusia ?
12. Untuk mengetahui fitrah sebagai inner potensial ?

BAB II PEMBAHASAN
1. Hakikat Fitrah Manusia

Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding


dengan makhluk Allah lainnya terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata
fitrah berasal dari kata fathara ( ‫ ) فطر‬yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal
dari akar kata al-fathr ( ‫ ) الفطر‬yang berarti belahan atau pecahan.
Setiap manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah, hal ini sesuai dengan
sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya bapak ibulah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (H.R. Muslim)
Dalam Al-Quran terdapat banyak kata yang mengacu pada pemaknaan kata
fitrah. Secara umum, pemaknaan kata fitrah dalam Al-Quran dapat dikelompokkan
dalam empat makna, yaitu sebagai berikut[2]:
1. Proses penciptaan langit dan bumi
2. Proses penciptaan manusia
3. Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
4. Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami
dengan merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut:

ِ ‫َّللاِ ذَلِكَ ال ِدِّي ُن ْالقَ ِِّي ُم َو َل ِك هن أ َ ْكث َ َر النه‬


َ‫اس ال يَ ْعلَ ُمون‬ ‫ق ه‬ ِ ‫اس َعلَ ْي َها ال ت َ ْبدِي َل ِلخ َْل‬ َ َ‫َّللاِ الهتِي ف‬
َ ‫ط َر النه‬ ْ ِ‫ِّين َحنِيفًا ف‬
‫ط َرة َ ه‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِلل ِد‬
(٣٠)

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi
manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Fitrah diartikan sebagai kemampuan
dasar untuk berkembang dalam pola dasar keislaman (fitrah islamiah) karena faktor
kelemahan diri manusia sebagai ciptaan Allah yang berkecenderungan asli untuk
berserah diri kepada kekuatan-Nya.[3]
Secara lebih komprehensif, Muhammad bin Asyur, seperti dikutip Quraish
Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut: “Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain
dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang
berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang
berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya.[4]
Kemudian ada pula yang mengartikan fitrah sebagai iman bawaan yang telah
diberikan Allah kepada manusia sejak masih dalam kandungan. Hal ini merujuk
kepada Surat Al-A’raf ayat 172:
Artinya:Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami
menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)”,
Namun kedua pendapat tersebut menimbulkan banyak kontroversi diantara
para cendekiawan muslim. Oleh karena itu para pemikir muslim lainnya mencoba
mencari definisi lain dari kata fitrah, yaitu definisi yang dianggap lebih sesuai dengan
kemampuan, fungsi dan kedudukan manusia sebagai makhluk Allah yang
sempurna.
Menurut H.M. Arifin, fitrah adalah suatu kemampuan dasar manusia yang
dianugerahkan Allah kepadanya, yang di dalamnya terkandung berbagai komponen
psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi
hidup manusia.
Kemampuan dasar manusia merupakan alat untuk mengenal Allah dan
mengabdi kepadaNya. Komponen psikologis yang terkandung dalam fitrah yaitu
berupa kemampuan dasar untuk beragama, naluri, dan bakat yang mengacu kepada
keimanan kepada Allah.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada orang yang
dilahirkan (di dunia) kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tualah yang akan
menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang
telah melahirkan anak-anaknya, apakah engkau membersihkan unta yang termasuk
binatang ternah? Kemudian Abu Hurairah RA mengatakan: bacalah jika kalian
semua menghendakinya; (tetaplah atas) fitrah Allah SWT yang menciptakan
manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari).
Rujukan di atas memberikan pengertian, bahwa lingkungan sebagai faktor
eksternal, ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah seorang anak.
Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah
kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, bila penempaan dan pembinaan fitrah
yang dimiliki tidak pada fitrah-Nya, maka manusia akan tergelincir dari tujuan
hidupnya.
Gambaran fitrah beragama manusia dapat dilihat dalam hal dimana manusia
tidak dapat menghindari ketentuan bahwa dirinya telah diatur secara menyeluruh
oleh hukum Allah, kemudian mereka diberi oleh Allah kemampuan akal dan
kecerdasan. Kemampuan akal dan kecerdasan inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lain.
Manusia dilengkapi dengan fitrah dari Allah berupa keterampilan yang dapat
berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Dengan
keterampilan tersebut manusia semakin lama mencapai peradaban yang tinggi dan
maju. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini, menurut fitrahnya akan mampu
berkembang kepada kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud disini bukan
hanya kesmpurnaan fisik , melainkan termasuk kesempurnaan kepribadian yang
mecerminkan figur seorang muslim sejati.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan
roh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan roh adalah substansi alam
sedangkan alam adalah makhluk dan keduannya diciptakan oleh Allah.
Dalam hal ini bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia
menuruthukum dan materil.
Menurut islam , manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan roh yang
berasal dari tuhan. Oleh karena itu¸hakikat manusia adalah roh sedangkan jasadnya
hanyalah alat yang di pergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi tersebut
tidak dikatakan manusia.[5]
Pada hakikatnya umat manusia itu didalam hidupnya selalu diliputi dua hal
yang sangat dominan yaitu: Harapan dan Kecemasan. Harapan adalah Akan ada
kehidupan yang baik, sejahtera, tentram, aman, kecukupan rizki serta segala yang
menyenangkan dan memuaskan. Sedangkan Kecemasan adalah Akan ada
kehidupan yang tidak baik, malapetaka , bencana, kesengsaraaan, dan serba
menakutkan. [6]

1. Komponen Dasar Fitrah Manusia

Jika kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang
telah memberikan makna terhadap istilah “FITRAH” yang diangkat dari firman Allah
dan sabda Nabi bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia
yang dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen
psikologi yang satu sama lain berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup
manusia

Komponen-komponen fitrah tersebut adalah:

1. Kemampuan dasar untuk baragama Islam (ad-dinul qayyimaah), di mana factor iman
merupakan intinya beragama manusia. Muhammad ‘Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’lah
Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan
asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan
fitrah. Al i Fikry lebih menekankan pada peranan heriditas (keturunan) dari bapak-ibu
yang menentukan keberagamaan anaknya. Faktor keturunan psikologi (heriditas
kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia
itu.
2. Mawahid (bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu
kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung
komponen psikologi yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang
mukmin merupakan elan vitale (daya penggerak utama) dalam dirinya yang memberi
semangat untuk mencari kebenaran hakiki dari Allah.

Prof. DR. Mohammad Fadhil Al-Djamaly, juga berpendapat bahwa Islam itu adalah
Agama yang mendorong manusia untuk mencari pembuktian melalui penelitian,
berfikir dan merenungkan ke arah iman yang benar.

3. Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling
terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. DR. Hasan Langgulung,
FITRAH itu dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri sifat pembawaan
manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan yang
Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya. Jadi
potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang nampak dalam dua sisi;
ibaratnya mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama. Mata uang itu kita
ibaratkan fitrah
4. Dilihat dari sisi ia adalah potensi dan sisi lain adalah wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang macam (Asma Al-Husna)
merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan
akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
5. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas pada agama
Islam. Dengan kemampuan manusia dapat dididik menjadi agama Yahudi, Nasrani
ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheist (anti Tuhan). Pendapat ini
diikuti oleh banyak ulama Islam yang berpaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina
dan Ibnu Khaldun.
6. Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan
sebagai kondisi jiwa yang suci bersih yang reseptif terbuka kepeda pengaruh
eksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi
(jawaban) terhadap pengaruh dari luar tidak terdapat di dalam fitrah.[7]

Pendapat ini dikembangkan oleh para ulama ahli Sunnah Wal Jama’ah atau
beberapa filosof muslim antara lain: Al-Ghazaly. Untuk lebih jelasnya berikut
ini dikemukakan sebuah diagram tentang fitrah dan komponen-komponennya:

Komponen komponen diatas menunjukan aspek-aspek psikologis fitrah yang


saling pengaruh mempengaruhi antara satu aspek terhadap aspek lainnya.
Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak
lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
2. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan
seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain saling pengaruh
mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
3. Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis,
responsif terhadap lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.

Komponen-komponen dasar tersebut meliputi :

1. Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan


kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang
kehidupan.
2. Insting atau gharizah, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan
tanpa melalui proses belajar.
3. Nafsu dan dorongan-dorongannya (drivers)
4. Karakter atau watak tabiat manusia adalah merupakan kemampuan psikologis yang
terbawa sejak kelahirannya.
5. Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang
mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan/diwariskan oleh orang
tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.
6. Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham tuhan.[8]

1. Macam-Macam Fitrah Manusia


Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah),
yaitu[9]
1. Daya intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia
dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat
mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2. Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi
obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara
jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan
manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian ,
diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi
sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan
teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang
disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan
manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya
melakukan perbuatan amoral.
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduki
sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Ada juga pendapat Ibn Taimiyah
yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk
yaitu:
1. Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia
lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat dikembangkan
melalui jalur pendididkan.
2. Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini
yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-
gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas
manusia (insan kamil).
Akan tetapi sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami keserasian, bahkan
berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin
tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab dalam
mendefinisikan fitrah manusia ada beberpa potensi yang dimiliki oleh manusia
diantaranya yaitu:
1. Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua
kaki.
2. Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu
kesimpulan dari sejumlah premis.
3. Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan
senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang macam-macam potensi manusia, maka
dapat diambil kesimpualan bahwa potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri
dari:
1. Potensi agama
2. Potensi akal yang mencangkup spiritual
3. Potensi fisik atau jasadiah
4. Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu[10]

1. POTENSI MANUSIA
Dalam eksistensinya manusia tidak dapat dipisahkan dari ketergantungannya
pada orang lain, karena manusia merupakan makhluk sosial. Kita tadi sudah
berbicara tentang hakikat manusia itu sendiri. Sastraprateja mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang historis.
Ha kikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya,
dalam sejarah bangsa manusia itu sendiri.[11]
Mengenai potensi manusia, kitab suci Al-Quran memperkenalkan dua kata kunci
untuk memahami manusia secara komprehensif yaitu al-insan dan al-basyar. Kata
insan jika dilihat dari asal kata anasa mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta
izin.
Hal ini berarti bahwa adanya keterkaitan manusia dengan kemampuan
penalaran yaitu melalui penalaran manusia dapat mengambil pelajaran dari apa
yang dilihatnya, dapat mengetahui mana yang benar dan yang salah, dan terdorong
untuk meminta izin untuk menggunakan sesuatu yag bukan miliknya[12]
Pengertian ini menunjukkan adanya potensi untuk dapat dididik pada diri
manusia, artinya manusia merupakan makhluk yang dapat diberi pelajaran atau
pendidikan. Kemudian kata insan bila dilihat dari asal kata nasiya yang artinya lupa,
menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak luput dari lupa dan
salah.
Adapun kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang artinya permukaan
kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Dalam Al-
Quran pemakaian kata basyar memberikan pengertian bahwa yang dimaksud
dengan kata tersebut adalah anak Adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-
pasar. Dengan demikian kata basyar mengacu kepada manusia dari aspek
lahiriyahnya.[13]
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa manusia,
dilihat dari kaitannya dengan kata insan, merupakan makhluk yang potensial.
Potensi-potensi yang dimiliki manusia tersebut menjadi alat utama dalam
memperoleh pengajaran dan pendidikan.
Kemudian jika dikaitkan dengan kata basyar, manusia satu dengan lainnya
merupakan makhluk yang sama dari aspek lahiriyahnya, yaitu makhluk yang
memiliki kesamaan dalam bentuk tubuh, makan dan minum dari sumber yang sama
dari alam ini, sama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dan pada akhirnya
akan menemui ajalnya, kembali kepada Sang Khaliq.
Jadi pada dasarnya manusia memiliki potensi jasmani dan rohani. Potensi
jasmani mengacu pada kata basyar dan potensi rohani mengacu pada kata insan.
Dengan potensi tersebut mampu menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi, sebagai pendukung, penerus dan pengembang kebudayaan.
Manusia merupakan makhluk yang sangat luar biasa dengan segala potensi
yang dimilikinya. Pada saat sekarang ini telah banyak terjadi perkembangan dan
kemajuan yang dibuat oleh manusia. ini disebabkan oleh potensi otak manusia yang
luar biasa hebat. Kemampuan otak manusia dapat menerima dan menyimpan
banyak memori.

Dengan pemanfaatan otak ini manusia telah banyak menciptakan inovasi


baru. Untuk itu manusia hendaknya selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan
oleh Allah, salah satunya dengan memanfaatkan fungsi otak kearah yang lebih baik
yang akan menjadikannya makhluk yang bermartabat, baik dimata Allah maupun
dalam pandangan masyarakat.

Pada hakikatnya manusia sejak lahirnya telah diberi oleh Allah berbagai macam
potensi. Potensi-potensi tersebut berupa potensi untuk mendengar (sam’a), potensi
untuk melihat (abshara), dan potensi memahami dengan hati (af-idah). Ketiga
potensi tersebut merupakan potensi dasar yang perlu dikembangkan sebaik dan
semaksimal mungkin.

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.
E. Fitrah Sebagai Inner Potential
Inner potential dalam istilah maslow disebut kodrat batin yang
bersifat pembawaan, intrinsik, tidak jahat, dan cenderung baik sementara
dalam bahasa psikologi sufistik, dimaknai fitrah rûhaniyyah atau inner potential yang
memiliki daya positif.

Inner potential ini, bila dikembangkan terus melalui jalan tashfiyat al nafs
(penjernihan jiwa dari hal-hal yang tercela dan pengembangan melalui berbagai
perbuatan terpuji) maka secara psikologis akan berpengaruh positif terhadap
kesalihan tingkah laku. dengan demikian, inner potential sebagai potensi ruhaniah
memiliki hubungan fungsional dengan tingkah laku psikologis yang dimunculkan.
Tesis tersebut dibangun atas dasar sebuah pandangan yang menyatakan, bahwa
“suasana batin yang kondusif dalam keadaan sempurna dan bersih, akan
memunculkan tingkah laku yang baik dan positif.

Kemungkinan ini terjadi karena dalam realitas hampir tidak mungkin ntingkah
laku muncul dipermukaan tanpa adanya sebab dalam bentuk dorongan yang
berbasis kebutuhan psikologis

Manusia sebagai objek kajian psikologi sufistik tidak hanya dimaknai dalam
keterkaitannya dengan dimensi jasmaniah dan kejiwaan dalam tataran psikofisik,
tetapi pemaknaannya dikaitkan juga dengan dimensi ruhaniah dalam tataran spiritual
dan transendental.

Konsep di atas didasarkan atas sebuah pandangan, bahwa manusia diciptakan dari
dua unsur, jasmaniah dan ruhaniah. unsur jasmaniah terdiri dari materi, sedang
unsur ruhaniah berasal dari tuhan yang bersifatspiritual dan transendental.
karenanya, ada pendapat yang menyatakan bahwa manusia selain memiliki sifat
sifat kemanusiaan (nasût), jugamemiliki potensi ketuhanan (lahût).

Atas dasar pemikiran tersebut, maka manusia dalam persepektif psikologi sufistik
dituntut untuk menumbuh kembangkan potensi ruhaniyah melalui tahapan takhalli,
tahalli, dan tajalli hingga sampai pada tingkat manusia ideal atau insan kamil dari
sisi psikologi sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia
mencoba dan berusaha mewujudkan akhlak ilahiyah sebagai roto tipenya, sehingga
timbul kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi hidupnya ke arah hidup yang
bermakna pemancaran sifat-sifat ilahi dalam wujud akhlak insane merupakan
perintah allah.[14]
Potensi ruhaniyah ( Inner Potensial) meliputi ;

1. al-Qalb
Menurut Al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati
jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging
khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah
kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu
kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan
kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb
dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy. al-Qalb merupakan alat untuk
mengetahui hakikat sesuatu.

Alqalb sebagai inner potensial bila diberdayakan secara optimal, dapat berfungsi
sebagai pemandu bagi pengembangan semua tingkah laku, qalb yang berfunsi
secara optimal dapat dikategorikan sebagai qlbu salim atau hati yang sehat, yang
indikasinya dapat diperhatikan melalui cirri – cirri sebagai berikut:

1. 1. selamat dari setiap nafsu yang menyalahi ajaran Allah,


2. 2. selamat dari hal – hal yang yang berlawanan dengan kebaikan dan kebenaran, 3.
selamat dari penghambaan selain Allah ,
3. 4. bila mencintai dan membenci sesuatu karena Allah
4. 5. memiliki sikap kepribadian yang baik terhadap didri sendiri,
5. 6. memiliki keseimbangan mental dan
6. 7. memiliki empati dan kepekaan social[15]

1. al-Aql
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap
menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang
kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang
muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari
pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua
tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik
dalam berbagai kondisi. Keempat ,aql adalah potensi untuk mengetahui akibat
sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.[16]
Aql sebagai inner potensial dan sebagai alat berfikir atau daya fikir, dalam psikologi
sugistik memiliki 4 potensi:
1. 1. Potensi yang dapat membedakan citra manusia dengan hewan,
2. 2. Potensi yang dapat mengetahui perbuatan baik yang selanjutnya diamalkan dan
perbuatan buruk selanjutnya ditinggalkan,
3. 3. Potensi yang dapat menyerap pengalaman, dan
4. 4. Potensi dapat mengantarkan seseorang untuk mengetahui akibat segala
tindakan[17]
1. al-Ruh
Para ulama berbeda –beda dalam mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan
kehidupan (al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus
bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji.
Dengan demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi potensi positif dan negatif.
Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak terpuji. Ruh
juga merupakan tempat mahabbah pada Allah.[18]
1. al-Nafs
Al-Nafs sebagai inner potential dibedakan menjadi 2 pengertian. Pertama, al-Nafs
sebagai subtansi badani yang berpotensi amoral, mengabaikan pertimbangan akal /
hati nurani manusia. Nafs ini cenderung mengartikan al-Nafs dengan konotasi
negatif. Itulah sebabnya nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs).[19]
Kedua sebagai subtansi yang berepotensi baik dan beradap. al-Nafs dalam arti ini
mendapat berbaga i julukan sesuai dengan kondisinya. Jika al-Nafs dalam
menghadapi syahwat dengan tenang maka dijuluki al-Nafs al-Muthmainnah, Jika al-
Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tidak tenang tapi lebih cenderung
mengikutinya maka diberi julukan al-Nafs al-Ammarah, Nafs al-Nafs al-Ammarah
bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah manakala seseorang terbebas dari akhlak
yang tercela.[20]
Menurut al-Ghazali nafsu diartikan “Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan
syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan ghadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu
yang positif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan
sebagainya. Dengan adanya ghdlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri
terjaga. Dengan kekuatan marah seorang wanita menolak untuk dinodahi agama
dan kehormatannya. Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas
kedhaliman dan sebagainya. Namun ketika gadlab tidak terkendali maka yang terjadi
adalah kehancuran dan akhlak tercela. Demikian juga dengan syahwat (syahwat
sek) perkembangbiakan manusia tetap berjalan, perpaduan antara pria dan wanita
yang membentuk satu keluarga bisa terjadi sehingga akan terbentuk komunitas
sosial. Dengan syahwat (makan dan minum), muamalah mencari rejeki dapat
berjalan. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada syahwat makan, minum dan
sebagainya tentu roda perekonomian tidak mungkin berjalan. Namun bila syahwat
tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela[21]
Islam disebut agama fithrah karena merupakan jalan hidup yang dikehendaki dan
ditunjukan oleh fithrah manusia. Sebab, didalam islam tekandung pengertian
penyerahan hamba kepada kehendak Allah swt. Dan fithrah manusia itu sesuai
dengan kehendaknya. [22]
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa hakekat fitrah sesuatu yang
diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan
akalnya . Pada hakikatnya manusia sejak lahirnya telah diberi oleh Allah berbagai
macam potensi. Potensi-potensi tersebut berupa potensi untuk mendengar , potensi
untuk melihat , dan potensi memahami dengan hati. Potensi- potensi tersebut
merupakan potensi dasar manusia yang perlu dikembangkan sebaik dan
semaksimal mungkin untuk dapat lebih baik lagi.

1. Saran
Dari pembahasan di atas dan kesimpulan yang telah ada, kita telah mengetahui
hakekat fitrah manusia menurut islam dan potensi dasar manusia. Untuk itu setelah
kita mengetahuinya, tahap selanjutnya memahaminya dan bisa tahu kemampuan
dan potensi potensi digunakan untuk di jalan allah.. Supaya kita termasuk orang
orang bertakwa dan berada dijalan yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin & Samsul Nizar , 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan
Historis Teoritis dan Praktis, Ciputat Press: Jakarta
1. Arifin, 1996, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001
Nizar, Samsul, Peserta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam, Padang: IAIN Press,
1999
Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta
http://ahmadnurkholis19.blogspot.com/2013/01/tinjauan-filosofis-tentang-fitrah.html
http://artikelilmiyah.blogspot.com/2012/10/komponen-dasar-dan-dimensi-fitrah.html
http://ayu3nawang.wordpress.com/2011/07/14/fitrah-dan-potensi-manusia-dalam-perspektif-
filsafat-pendidikan-islam/
http://laskarcharles.wordpress.com/2010/03/28/hakikat-fitrah-manusia/
http://sapanmaluluang.wordpress.com/2011/07/14/fitrah-dan-potensi-manusia-dalam-
pendidikan-islam/

[1] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media


Pratama, 2001, hal 78
[2] Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta :
Media Pratama , hal 37
[3] M. Arifin, Filasafat Pendidkan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 160
[4] http:// hakikat-fitrah-manusia.html
[5] Jalaudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011, hal 127
[6] Abu Ahmadi, Dasar DasarPendidikanAgama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1991, hal
16

[7] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hal 97-100

[8] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara , 2000, hal 100-103
[9] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta : Media
Pratama, 2001, hal 76
[10] Samsul Nizar, opcit, hal 42-44
[11] Abuddin Nata, Filsafat PendidikanIslam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997,
hal 28
[12] Ibid., hal. 29
[13] Ibid., hal 31
[14] Abdullah Hadziq , Kontribusi Psikologi Sufistik Terhadap Pengembangan Pendidikan
Multicultural, Jakarta : Jurnal ISJD LIPI, 2008, hal. 8 – 9
[15] Abdullah Hadziq , Opcit, hal 12
[16] Tedi Priatna. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Bani
Quraisy, 2004, hal 88
[17] Abdullah Hadziq , Opcit , hal 11
[18] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan
AL Qur’an, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994, Hal. 68
[19] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media
Pratama, 2001, hal 58
[20] Abdullah Hadziq , Opcit , hal 13
[21] http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/potensi-ruhaniah-manusia
[22] Hery Noer , Ilmu Pendidikan Islam , Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1995, hal 120

Anda mungkin juga menyukai