Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal
ini karena, sebagaimana diketahui, bahwa objek kajian hadits pada dasarnya
ada dua hal, yaiutu matan dan sanad. Ilmu Rijal hadits ini lahir Bersama-
sama dengan periwayatan hadits dalam islam dan mengambil poprsi khusus
untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.
Di antara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para
perawi thabaqat demi thabaqat adalah karya Muhammad ibn Sa’ad (w.230
H) yaitu Thabaqat Al-Kubra dan karya Khalifah ibn ‘Ashfari (w. 240 H)
yaitu Thabaqat Al-Ruwwah, dan lain-lain.
1
Subhi Al-Shalih, Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Ilmu Al-Malatin,
t.t.), h. 110. Rujukan pembahasan ini adalah ‘Ajjaj Al-Khathib, op.cit., hlm.260-276,
Muhammad bin Abdurrahman Abdurrahman Al-Sakhawi, Fath Al-Mughisy SSyarh Alfiyat
Al-Hadits,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1983, Cet. Kel-1, hlm. 361-376; dan Abu
‘Abdillah Al-Hakim Al-Naisabury, Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadits, (Kairo: Maktabah Al-
Muntanaby, t,t.), hlm. 52.
2
علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد ىف شأهنم مما يشنيهم أو يزكيهم أبلفاظ خمصوصة
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadits dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau
membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu”
3
ِ ق بِ ِر َوايَتِ ِه ْم لِ ْل َح ِد ْي
ث ُ َّاحيَ ِة الَّتِ ْي تَتَ َعل ِ اَ ْل ِع ْل ُم الَّ ِذيْ يُ َع ِّرفُ بِ ِر َوايَ ِة ْال َح ِد ْي
ِ َّث ِمنَالن
“Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits yang berkaitan dengan usaha
periwayatan mereka terhadap hadits”
Dengan ilmu ini akan diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti
kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar
hadits dari gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadits darinya, tempat
tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain-lain. Sebagai
bagian dari ilmu Rijal hadits, ilmu ini mengkhususkan pembahasannya
secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat
dalam periwayatan. Jadi ilmu Tarikh al-ruwah ini merupakan senjata yang
ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk
membongkar kebohongan para perawi.
2
Subhi Al-Shalih, op.cit., hlm. 109.
3
Mahmud Al-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim,
1399 H/1979 M), hlm. 224. Lihat juga ‘Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm. 253.
Kata ‘ilal adalah bentuk jama’ dari kata “al-‘illah”, yang menurut Bahasa
berarti “al-maradh” (penyakit atau sakit). Menurut muhaddisin, istilah ‘illah
berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat
tercemarnya hadits. Akan tetapi yang kelihatan adalah sebaliknya yakni tidak
terlihat ada kecacatan.4
Menurut Al-Hakim, ilmu ‘Ilal hadits ialah ilmu yang berdiri sendiri,
selain dari ilmu shahih dan dha’if, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan ‘illat
hadits yang tidak termasuk ke dalam pembahasan jarh, sebab hadits majruh
adalah hadits yang gugur dan tidak dipakai. ‘Illat hadits banyak terdapat
pada hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, yaitu orang-
orang yang menceritakan sesuatu hadits yang padahal mempunyai ‘illat,
akan tetapi ‘illat itu tersembunyi. Karena ‘illat tersebut, maka haditsnya
disebut hadits ma’lul.6 Lebih lanjut Al-Hakim menyebutkan, bahwa dasar
penetapan ‘illat Hadits, adalah hafalan yang sempurna, pemahaman yang
mendalam dan pengetahuan yang cukup.7
4
Cerita dikutip dari Drs. Fathurrahman, Ilmu Mushthalahul Hadits, (Bandung: Al-
Maarif, 1991), Cet. Ke7, hlm. 259.
5
Subhi Al-Shalih, op.cit., hlm. 112.
6
Lihat juga penjelasannya di sub bab hadits ma’lul atau mu’allal
7
Al-Hakim, op.cit, hlm. 113.
Yang dimaksud dengan Ilmu Al-Nasikh wa Al-Mansukh di sini, ialah
terbatas di sekitar nashi dan Mansukh pada hadits.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu nasikh dan mansukh dalam hadits
adalah:
العلم ال{{ذى يبحث عن االح{{اديث المتع{{ار ض{{ة ال{{تى اليمكن التوفي{{ق بينه{{ا من حيث الحكم على
بعضها بانه نا سخ وعلى بعضها اال خربانه مسوخ فما ثبت تقدم{{ه ك{ان منس{{وخا وم{اثبت ت{اخره كان{{ا
9
سخا
Mengetahui ilmu ini sangat penting dalam ilmu hadits ini. Bahkan
menurut Al-Zuhry, ilmu inilah yang paling banyak menguras energi para
ulama dan fuqaha. Hal ini karena tingkat kesulitan yang tinggi, terutama
dalam melakukan istinbat hukum-hukumnya dari nas yang samar-samar.
8
Ajjaj Al-Khathib, op.cit., hlm. 287 bandingkan dengan ta’rif yang dikutip oleh Al-
Qasimi, op.cit., hlm. 316. Dan Nur Al-Din ‘Itr, op.cit., hlm.335.
9
Abu Hasan ‘Ali ibn Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkan, (Mesir:
Muhammad Ali Sabih wa Auladhuhu, 1968), hlm. 257-258.
Kata asbab adalah jama’ dari sabab. Menurut ahli Bahasa diartikan
dengan “al-habl” (tali),10 saluran, yang artinya dijelaskan sebagai: “segala
yang menghubungan satu benda dengan benda lainnya”.11
12
كل شي ء يتو صل به ال غا يته
14
لِقِلَّ ِة ا ْستِ ْع َمالِهَا،ض ِة ْالبَ ِعي َد ِة ِمنَ ْالفَه ِْم
َ ث ِمنَ اأْل َ ْلفَا ِظ ْالغَا ِم
ِ ِعبَا َرةٌ َع َّما َوقَ َع فِي ُمتُو ِن اأْل َ َحا ِدي
10
Al-Thahanawi, Kasyf Ishtilah Al-Funun, Jilid III, (Kairo: Al-Hay’at Al-Ammad li Al-
Kuttab, t.t.), hlm. 127.
11
Ibn Al-Manzhur, op.cit., Jilid I, (Bulaq, t.t.), hlm. 440-442.
12
Al-Thahanawi, loc.cit.
13
Ibnu Manzhur, op.cit., Jilid IV, hlm. 471.
14
Ibnu Al-Shalah, ‘Ulum Al-Hadits (yang kemudian terkenal dengan Muqaddimah Ibnu
Al-Shalah), (Makkah: Maktabat Al-Tijariyah, 1993), Cet. Ke-1, hlm. 258. Lihat juga
penjelasannya dalam Al-Tirmisi, op.cit., hlm. 202.
“Ungkapan dari lafadz-lafadz yang sulit dan rumit untuk dipahami yang
terdapat dalam matan hadits karena (lafadz tersebut) jarang digunakan.”
Rasul adalah sefasih-fasihnya orang Arab yang diutus oleh Allah SWT
untuk menghadapi kaumnya yang terdiri dari bermacam-macam suku dan
kabilah. Sehingga Rasul Ketika berhadapan dengan kabilah tertentu akan
menggunakan Bahasa kaum yang dihadapinya. Kemudia pada
perkembangan selanjutnya, banyak bangsa-bangsa non-Arab memeluk
Islam, sehingga banyak juga orang-orang yang kurang memahami istilah
atau lafadz-lafadz tertentu yang gharib (asing). Oleh karena itu ilmu ini
dimunculkan atas usaha para ulama untuk memudahkan dalam memahami
hadits-hadits yang mengandung lafadz-lafadz yang gharib tersebut.
Al-Hafidz ibn Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian yaitu ilmu al-
tashif dan ilmu al-tahrif. Sedangkan Ibn Shalah dan para pengikutnya
menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini
merupakan satu disiplin ilmu yang bernilai tinggi, yang dapat
membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffazh). Hal ini disebabkan,
karena dalam hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan
pendengaran yang diterimanya dari orang lain.16
15
Ibnu Al-Shalah, ‘Ulum Al-Hadits (yang kemudian terkenal dengan Muqaddimah Ibnu
Al-Shalah), (Makkah: Maktabat Al-Tijariyah, 1993), Cet. Ke-1, hlm. 258. Lihat juga
penjelasannya dalam Al-Tirmisi, op.cit., hlm. 204.
16
Al-Hafidz Ibnu Katsir, Al-Hadits; Syarh Ihtishar ‘UlumAl-Hadita, (Beirut: Dar Al-
Tsaqafat
ث ُ ُِّض{هَا أَوْ ي َُوف
ُ ق بَ ْينَهَ{ا َك َم{ا يَ ْب َح ِ ْث الَّتِ ْي ظَا ِه ُرهَا ُمتَ َع
ُ {ارضٌ فَي ُِزيْ{ ُل تَ َعار ُ في ااْل َ َحا ِدي
ِ ثُ اَ ْل ِع ْل ُم الَّ ِذيْ يُب َْح
Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau
lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara
mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid
kemutlakan hadits, men-takhshish keumumannya, atau adakalanya dengan
memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datanya. Ilmu ini
sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqih, dan lain-lain.
17
Ajjaj Al-Khathib, op.cit., hlm. 283.