Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGENALAN PEMIKIRAN TOKOH FILSAFAT ISLAM


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Umum

Dosen Pengampu : Fitri Trihardini, S.Hut, Mh

Disusun oleh :
NUR IFNA HUMAIRA 2131710101
RAHMI AMALIA 2131710131
SINDI ARDIA PAWESTRI 2131710032

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu dan menambah pengetahuan
serta pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik .

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karna pengalaman kami yang
sangat sedikit dalam membuat makalah. Oleh karena itu kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan – masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Samarinda,18 April 2022

kelompok 8
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Tokoh Filsafat Al-Kindi


B. Tokoh Filsafat Al-Farabi
C. Tokoh Filsafat Ibnu Sina

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat islam merupakan filsafat yang seluruh cendikiawannya adalah


muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat islam dengan filsafat
lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali
karya filsafat yunani terutama aristoteles, dan plotinus, namun kemudian
menyesuaikannya dengan ajaran agama islam. Kedua, islam adalah agama
tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih mencari tuhan, dalam filsafat
islam justru tuhan sudah ditemukan. Dalam arti bukan berarti sudah usang.
filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia, dan alam, karena
sebagaimana diketahui, pembahasan tuhan hanya akan menjadi sebuah
pembahasan yang tak pernah ada finalnya. Namun ilmu filsafat mendapat
krtikan dan tantangan dari kalangan ulama-ulama agama (islam) timbul sikap
menolak terhadap keseluruhan filsafat karena alasan-alasan yang dihubungkan
dengan agama. Ini dapat dilihat pada sistem pendidikan di al-azhar mesir yang
dilarang secara keras ilmu filsafat, akan tetapi pada sisi lain jauh pada masa
dinasti abbasiyah memerintahkan muslim untuk mempelajari filsafat untuk
dapat berargumentasi dengan non muslim menggunakan logika atas
perdebatan al-qur’an maupun hadits nabi.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa nama tokoh filsafat islam dan karya-karyanya?
2. Apa pandangan para filsuf muslim tentang filsafat?
3. Apakah filsafat dapat diterima di dalam islam?
4. Siapakah Filsuf Muslim yang Paling berpengaruh di Dunia Filsafat?
5. Bagaimana Filsuf Muslim Menyikapi Ilmu Filsafat?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tokoh Filsafat Al-Kindi


1. Biografi Al-Kindi

Al kindi, yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub Ibn


Ishaq Ibn Sabbah Ibn Imran ibn Isma’il al-Ash’ats bin Qais al-Kindi
( 185/801-206/873) adalah filsuf muslim pertama. Nama al-kindi
dinisbatkan pada salah satu suku besar Arab pra-Islam, yakni Kindah.
Kakeknya, al-Ash’ats bin Qais, adalah seorang muslim dan bahkan
dianggap sebagai sahabat nabi, sementara ayahnya, Ishaq as-Sabbah,
adalah Emir Kufah ketika Daulah Abbasiyah diperintah oleh mahdi.
Tidak ada informasi yang pasti mengenai kapan al-Kindi dilahirkan.
Para ahli memperkirakan bahwa ia lahir pada 185 H/801 M, sekitar satu
dasawarsa sebelum khalifah Harun Rasyid meninggal. Al-kindi lahir
pada puncak kemajuan intelektual dan sosial politik Bani Abbasiyah.
Pada masa itu, buku-buku ilmu pengetahuan sangat mudah didapat dan
Bait al-Hikmah berperan sebagai pusat kegiatan penerjemahan.
Antusiasme pemerintah terhadap kegiatan penerjamahan tercermin dari
besarnya imbalan yang diberikan untuk sebuah karya terjemahan, yakni
dengan emas seberat buku itu.

2. Pemikiran Filsafat Al-Kindi


Al-Kindi juga dikenal sebagai filosof islam pertama. Atas jasa-
jasanya, ia berhasil menyatukan pemikiran islam dan filsafat yunani
yang sangat mengandalkan logika. Bahkan untuk mewujudkan
impiannya itu, ia membangun sebuah institusi (lembaga) yang bergerak
di bidang perpaduan pemikiran yunani dan peradaban arab.

Memang terjadi pertentangan antara filsafat yunani dan agama-agama di


Arab (Timur Tengah). Semua diawali dari penerjemahan buku-buku
filsafat yunani ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh orang Nasrani
Suryani pada masa Khalifah al-Rasyid dan al-Ma’mun. Padahal waktu
itu pemikiran Yunani sebagai “Musuh” yang harus dilawan. Al-Kindi
tampil untuk mendamaikan semua itu.

a. Talfiq

Al-Kindi berusaha memadukan (Talfiq) antara agama dan


filsafat. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar
(knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-
argumen yang lebih menyakinkan dan benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat.
Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang
bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat islam
diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat
dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari
keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan
filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi al-
Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang
tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi
ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang
itu menurut al-Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia
menganggap dirinya paling benar. Disamping itu karena
pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang
tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna,
dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk
menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan
gembira kebenaran dari manapun datangnya sebab, “ tidak ada
yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada
kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak wajar merendahkan dan
meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak
ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya
semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika
diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut
tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan
pada hakikatnya orang itu tidak lagi beragama.

Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-


hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah
mutlak digariskan al-Qur’an. Hal semacam ini menurut al-Kindi,
tidak dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat
dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
perbedaan antara keduanya, yaitu :

 Filsafat termasuk humaniora yang dapat dicapai filosof


dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu
ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh
tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara
langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
 Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan
memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama
lewat dalil-dalilnya dibawa Al-Qur’an memberi jawaban
secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
 Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama
mendekatinya dengan keimanan.

Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme


dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.

b. Jiwa

Tentang jiwa, menurut al-Kindi, tidak tersusun,


mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansi ruh berasal
dari subtansi Tuhan. Hubungan ruh dengan tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat
spiritual, ilahiyah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan
jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan
jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling
memberi bimbingan. Argumen yang diajukan al-Kindi tentang
perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa
nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama
dengan yang dilarang.

Dengan pendapat al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada


pemikiran Plato ketimbang penadapat Aristoteles. Aristoteles
menagatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah
bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi,
keduanya membentuk kesatuan insensial, dan kemusnahan badan
membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan plato
berpendapatbahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak
mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun al-Kindi tidak menyetujui
Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari ide. Al-Kindi
berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yaitu daya
bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendati pun bagi al-
Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan
qadimnya tuhan, qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh tuhan.

3. Karya- Karya Al-Kindi

Al-kindi dikenal juga sebagai penulis buku yang aktif. Diperkirakan


karya buku yang telah ditulisnya tidak kurang dari 270 buah yang
membahas berbagai bidang keilmuan dan persoalan umat. Berikut ini
beberapa karya al-Kindi yang terkenal :

a. Kitab al-Kindi ilaa al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula ( buku


ini membahas tentang kajian filsafat pertama )
b. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-
Muqtashah wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah ( membahas kajian filsafat
dan berbagai masalah yang berhubungan dengan logika, muskil,
dan metafisika)
c. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyyah ( membahas berbagai
rahasia spritual dengan bahasa filosofis )
d. Risalah fi Annahu al-Jawahir la Ajsam ( mengkaji tentang subtansi-
subtansi tanpa badan )
B. Tokoh Filsafat Al-Farabi
1. Biografi Al-Farabi

Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Abu Nasr al-farabi, lahir di


wasij dekat Farab, dikawasan ma wara’a an-nahr (Transoxiana) pada
tahun 258 H/870 M. Dan meninggal pada tahun 339 H/950 M. Biografi al-
Farabi tidak ketahui dengan pasti, sebab ia tidak menulis biografinya
sendiri seperti halnya filsuf lain. Namun demikian, biografi al-Farabi
masih dapat dijumpai pada karya Ibn Khalikan, Wafarat al-A’yan,
sekalipun menurut sebagian ahli terdapat kelemahan yang perlu di kaji
ulang. Dari data yang terhimpun menunjukkan bahwa al-Farabi berasal
dari keluarga keturunan Turki, anak seorang jenderal, dan ia pernah
menjadi hakim.

Pendidikan dasar al-farabi dimulai dengan mempelajari ilmu agama


dan bahasa, yang meliputi Al-Qur’an, hadits, tafsir, fiqh, bahasa Arab,
Persia, dan Turki. Ia juga belajar matematika, falsafah, dan melakukan
pengembaraan untuk belajar ilmu-ilmu lain.

2. Pemikiran Filsafat Al-Farabi


a. Pemaduan pendapat Plato dan Aristoteles

Al-farabi melihat adanya perbedaan pendapat antara kedua tokoh


filsafat tersebut. Akan tetapi perbedaan itu menurut dia hanyalah
dalam lahirnya saja, dan tidak mengenai pesoalan pokok, karena kedua
tokoh tersebut adalah sumber dan pencipta filsafat. Apa yang
dikatakan oleh kedua filosof tersebut juga satu, dan oleh karena itu
maka pikiran-pikiran filsafatnya tidak mungkin berbeda. Kalau ada
perbedaan, maka tidak lebih dari tiga kemungkinan yaitu :

 Definisi filsafat itu sendiri tidak benar.


 Pendapat orang banyak tentang pikiran filsafat dari kedua filosof
tersebut tidak benar.
 Pengetahuan kita tentang adanya perbedaan antara keduanya
tidak benar.

Menurut al-Farabi, definisi filsafat yang diberikan oleh plato dan


aristoteles tidak berbeda, yaitu mengetahui wujud karena ia wujud,
seperti yang sering dikatakan dalam karangannya masing-masing.
Pendapat orang banyak tentang pikiran-pikiran filsafat keduanya, dan
kedudukannya dalam dunia islam filsafat juga tidak diragukan
kebenarannya. Tinggallah kemungkinan yang ketiga yaitu bahwa
perbedaan antara kedua filosof tersebut hanya dalam lahirnya saja.
Perbedaan lahir yang tidak sebenarnya itu boleh jadi dikarenakan: (1)
cara hidup masing-masing; (2) gaya bahasa karangan-karangannya; (3)
sistem pemikirannya.

Akan tetapi dalam pembahasan berikut ini akan nampak kepada


kita bahwa ketiga perkara tersebut tidak cukup menimbulkan
perbedaan-perbedaan pokok pada pemikiran islam filsafat keduanya.

b. Jiwa

jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato,


Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud
setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke
badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara
accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda
dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan
jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan
bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.

c. Politik

Pemikiran al-farabi tentang politik banyak dipengaruhi oleh


konsep plato. Al-Farabi mengatakan bahwa bagian-bagian sesuatu
negeri sangat erat hubungannya satu sama lain dan saling bekerja
sama, laksana anggota-anggota badan dimana apabila salah satunya
menderita maka lain-lain anggota pun ikut merasakannya pula.
Kesenangan pribadi harus dikenal dalam masyarakat yang baik.[4]

3. Karya-Karya Al-Farabi

Al-Farabi dikenal sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles, sang


“guru pertama”. Dia adalah filosof Islam pertama yang berupaya
menghadapkan, mepertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan politik
(yunani) klasik dengan islam. Berikut ini karya-karyanya dalam bidang
humaniora : Syarh Kitab al-Khathabah li Aristhuthalis (Uraian atas Buku
retorika karya Aristoteles); Kitab fi al-Khathabah (Buku tentang
Retorika); Kitab fi Shina’ah al-Kitabah (Kitab tentang Seni Menulis);
Kitab fi al-Syi’r wa al-qawafi (Kitab tentang Syair dan Rima persajakan);
Kalam fi ma yashluhu an yudhama lahu al-muaddib (Wacana tentang Apa
yang seharusnya Dimiliki Seorang Pendidik); dan karya-karya tulis
lainnya dalam filsafat moral, ilmu musik, ilmu pemerintahan, dan strategi
militer, di samping Kitab Ihsha al-‘ulum wa tartibiha (Kitab tentang
Cabang-Cabang ilmu dan Klasifikasinya), yang dua kali diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin.[5] Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebenaran)

C. Tokoh Filsafat Ibnu Sina


1. Biografi Ibnu Sina
Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina atau yang secara umum
dikenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna (bahasa latin yang
terditorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang ensklopedis,
filsuf, fisiologis, dokter, ahli matematika, astronomer dan sastrawan.
Bahkan, di beberapa tempat ia lebih terkenal sebagai sastrawan dari pada
seorang filsuf. Dia adalah ilmuan dan filsuf muslim yang sangat terkenal
dan salah seorang ilmuan dan filsuf terbesar sepanjang masa. Diakui oleh
semua orang bahwa pikirannya merepretasikan puncak Filsafat Arab. Dia
dipanggil oleh orang arab sebutan asy-Syaikh ar-Rais.[6]

Ia lahir di Afshanah, desa kecil dekat bukhara, 370 H/980 M, dan


wafat di hamdan, 428 H/1037 M. Ia adalah putra seorang pegawai tinggi
pada Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005 M). Pada usia yang sama, ia
mengawali prosesi sebagai seorang dokter dan menjadi sangat populer
ketika ia berhasil mengobati Nuh bin manshur (976-997 M), salah seorang
penguasa Dinasti Samaniah. Karena kemampuan dan jasa-jasanya kepada
penguasa, maka kemudian ia diangkat sebagai menteri pada Dinasti
Hamdani (293-394 H/905-1005) selama dua periode, namun pada
akhirnya ia dipecat dari jabatannya sebagai menteri, dan dipenjarakan,
karena pemikirannya dianggap merugikan penguasa.[7]

2. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina


a. Kenabian

Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu sina


membagi manusia kedalam empat kelompok. Mereka yang kecakapan
teoritisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian
rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa
manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu
puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif
mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang.
Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak
mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoritisnya
sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang
mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.

Nabi Muhammad SAW memiliki syarat-syarat yang


dibutuhkan seorang nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat
dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu
mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga
seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa
kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang
mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-
konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang
demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya
tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat
sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan
imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambagan
dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi,
menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang
dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar
dan melihatnya.

b. Tasawuf

Tasawuf, menurut ibnu sina tidak dimulai dengan zuhud,


beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan
orang-orang sufi sebelumnya, ia memulai tasawuf dengan akal yang
dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal
akan menerima ma’rifah dari al-Af’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-
jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang
dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaanya terletak pada ukuran
persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.

Mengenai bersatunya tuhan dan manusia atau bertempatnya


tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu sina, karena manusia
tidak bisa langsung kepada tuhannya, tetapi melalui prantara untuk
menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan
itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan, karena
manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut.
Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah tetapi melalui akal
fa’al.

3. Karya-Karya Ibnu Sina

Pemikiran keagamaan ibnu Sina sangatlah mendalam dan tajam.


Pemikiran keagamaan seperti inilah yang mempengaruhi pandangan
filsafat, dan keyakinan keagamaan yang secara simultan mewarnai alam
pikiran Ibnu Sina sehingga melahirkan beberapa karya besar, baik berupa
buku, buku saku, dan kumpulan surat-surat yang semuanya tidak kurang
dari 276 buah, dan beberapa diantaranya sampai saat ini masih dipakai
sebagai rujukan universitas-universitas ternama barat. karya-karya filsafat
Ibnu Sina seperti kitab an-Najat dan As-Shifa’[9] , Mantiq Al Masyriqin
(Logika Timur), al-isyarat wat-Tanbihat, al-Hikmat al-Masyriqiyyah, al-
Qanun atau Canon of Medicine.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat islam merupakan pengaruh dari filsafat yunani namun tujuan dalam
filsafat islam bukanlah untuk menentang al-hikmah yang hakiki. Banyak cendikiawan
muslim yang berusaha mengeluarkan hasil pemikirannya yang merupakan suatu
korelasi dalam syari’at islam. Ilmu filsafat pada mulanya ialah suatu ilmu yang
ditentang keras akan tetapi dengan munculnya filsuf-filsuf muslim yang berusaha
mendudukan ilmu filsafat ini dengan islam menjadikan ilmu filsafat menjadi ilmu
yang seharusnya dipelajari umat muslim sebagai pijakan dalam berargumen dan
menegaskan apa yang telah disampaikan dalam al-qur’an.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta, PT Bulan Bintang : 1996)

Ahmad Zainul Hamdi, tujuh filsuf muslim pembuka pintu gerbang filsafat barat
modern (yogyakarta, lkis pelangi aksara, 2004)

Badiatul Muchlisin, 105 Tokoh Penemu & Perintis Dunia(Jakarta, PT Buku Kita :
2009)

George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Terj. A. Syamsu Rizal & Nur Hidayah
sunt. Dedi Slamet Riyadi (Jakarta : PT Seramabi Ilmu Semesta, 2005)

https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/tokoh-
tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/ diunduh pada tanggal 01 desember
2017 pukul 11:20 WIB

https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hamid_Muhammad_al-Ghazali#Filsafat di unduh
pada tanggal 18 November 2017 pukul 11:35 WIB

Muhammad Sholikhin, filsafat dan metafisika dalam islam (jakarta, PT. Buku
Kita :2008)

Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta, Gema Insani Pers :
2008)

Anda mungkin juga menyukai