Anda di halaman 1dari 5

PEMIKIRAN AL GHOZALI MENYATUKAN AKAL DAN HATI

Kholifah Rima Melati1, Arifah Berlin Alamin2, Wahyu Saputra3


qolifahrimamelati@gmail.com1, a.berlianalamin15@gmail.com2,
wahyusaputra516122@gmail.com3
Program Studi Perbankkan Syariah
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam

Abstrak: Cara pandang pemikiran al Ghazali yang berada pada Tahafut al-Falasifah yang
slalu menjadi perdebatan dari abad ke abad. Pemikiran al Ghazali mengenai cara pikir para
filsof yang menafsirkan kitab suci yang terlalu dominan menggunakan akal rasional yang
menurut al Ghazali kurang tepat dan al Ghazali mencoba menafsirkan dengan
menggabungkan antara akal atau rasio dan hati. Apakah pemikiran al Ghazali ini membawa
kita kepada kekufuran dalam filsafat atau justru sebaliknya? Dengan mencoba memahami
dan menelaah kembali apa sebenarnya isi yang dimaksud oleh al Ghazali tersebut.
Kata kunci: Pemikiran al-Ghazali; Akal;Hati; Filsafat Islam

Abstract: The perspective of al-Ghazali's thought in Tahafut al-Falasifah which has always
been a debate from century to century. Al Ghazali's thoughts about the way of thinking of
philosophers who interpret scriptures that are too dominant using rational reason which
according to al Ghazali is not appropriate and al Ghazali tries to interpret by combining
reason or ratio and heart. Does al Ghazali's thinking lead us to kufr in philosophy or is it the
other way around? By trying to understand and re-examine what exactly is meant by al-
Ghazali.
Keywords: Thought of al-Ghazali; Intellect;Heart; Islamic philosophy
Pendahuluaan
Jika membicarakan mengenai pemikiran Islam atau fisafat islam, tidak akan sempurna
jika tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Namun, apabila seseorang ingin
menempatkan al Ghazali dalam sejarah Filsafat Islam, ia harus menggarisbawahi bahwa al-
Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai filosuf. Ini tidak
hanya berarti bahwa al-Ghazali mempelajari dan menganalisis filsafat secara mendalam
sebagaimana terlihat dari daya tarik teoretis dan kekuatan strukturnya, tetapi juga
menyebabkan kita percaya bahwa filsafat pasti memiliki pengaruh secara tidak langsung
mengenai pemikiran tasawufnya. Lebih jauh lagi, meskipun al-Ghazali yang pada dasarnya
seorang teologi, sufi, dan faqih menyarang keras filsafat dengan berusaha menunjukkan
kontradiksi-kontradiksinya, amatlah keliru jika tasawuf dan teologinya hanya dianggap
sebagai sekedar berupa doktrin praktis dan religious, mengingat keduanya mempunyai
kedalaman teoritis yang mengesankan.1
Cara berfikir Al-Ghazali memang sangatlah unik beliau memiliki ciri khas tersendiri
dalam menuagkan pendapatnya, sehingga yang tertarik oleh al-Ghazali dari cara
penggambaran pemikirannya pada karya-karya peninggalan, dan perilaku sufistiknya. Banyak
dari karyanya menjadi obyek penelitian dan observasi yang menarik minat kalangan ilmuan
atau pencinta ilmu dan akademisi, mulai dari kalangan dalam umat Islam sendiri (insider),
ataupun dari kalangan non-muslim atau orientalis (outsider). Dalam menganalisis pemikiran
al-Ghazali terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Pertama, kelompok yang kagum dan fanatik
sehingga pro terhadap pemikiran al-Ghazali, dan menempatkannya sebagai seorang tokoh
muslim yang begitu agung dan mulia. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa al-Ghazali
banyak melakukan kesalahan dalam menunangkan berkarya, kelompok ini kontra terhadap
al-Ghazali. Bahkan kelompok ini hingga menuduh al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran
keilmuan dan intelektualisme di dalamdunia Islam, terutama di kalangan kaum sunni. Dan
ketiga, kelompok yang faktual menilai al-Ghazali dari karyanya dan perjalan hidupnya.
Apabila kelompok ini meneliti al-Ghazali, mereka mennjelaskan secara fakta bukan hanya
sekedar opini tentangnya.

Metode
Dalam makalah ini kami mencoba mengeksplorasikan pemikiran al-Ghazali melalui
pendekatan mula-mula menguraikan tentang pemikiran al-Ghazali tentang filsafat dan filosof,
di mana al-Ghazali terlihat geram dengan filosof muslim yang ikut dalam penyimpangan
pemikiran filsafat Yunani tentang metafisikan dan ketuhanan. Kekacauan-kekacauan
pemikiran filsafat Yunani dan Muslim ini kemudian dituangkan dalam karyanya berjudul
“Tahafut al-Falasifah”.
Banyak perbedaan antara pemikiran rasional (filsafat) dan rasa (tasawuf) di antaranya
ada yang bersifat prinsip akan tetapi perbedaan itu tidak menyebabkan ada orang islam yang
didominasi oleh akal secara total sebagaimana halnya dengan orang islam yang tidak

1
Sayyed Hosssein Nasr, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam,Bandung:MIZAN, 2003, Hal:117
didominasi oleh hati (rasa) seratus persen. buktinya adalah tidak ada filosof maupun sulfi
islam yang meninggalkan iman.
Penghargaan terhadap hati di barat dan timur sama-sama mengembangkan mistisme,
tetapi di barat sampai menjauhi filsafat, mengapa demikian?? Salah satu jawabanya ialah
karena kitab suci islam menghargai akal dan hati.pertengahan antara akal dan hati memang
terjadi juga di dalam islam.didalam islam perbedaan antara filosof dan sufi hanyalah
perbedaan visi didalam menafsirkan kitab suci, orang-orang filsafat umumnya menggunakan
takwil ke arah rasio sedangkan tasawuf juga menggunakan takwil tetapi menggunakan rasa.2

Pembahasan
Dalam kitab Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof) al-Ghazali
mengemukakan tentang pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat, baik pada
masa klasik maupun filsafat yang dikembangkan oleh filosof muslim seperti Ibnu Sin dan Al-
Farabi, serta dijelaskannya juga ketidak sesuaiannya dengan akal. Dalam kitab ini Al-Ghazali
menjelaskan beberapa kekeliruan dan penyimpangan pemikiran para filosof Yunani terutama
aristoteles dan para pengikut mereka, seperti filosof Muslim al-Farabi pada tahun 950
Masehi dan Ibnu Sina pada tahun 1037 Masehi. Pada karyanya ini beliau menilai bahwa al-
Ghazali berhak mendapat predikat sebagai failasuf Islam, meskipun isinya banyak
bertentangan dengan para filosof dan memusnahkan pemikiran para filosof di mata umat
Islam, namun caranya yang dipakai dalam mengkritik ini menggunakan cara-cara filsafat.
Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang bahwa para filosof telah
melakukan kesalahan atau kerancuan. Filosof menafsirkan Kitab Suci terlalu condong pada
akal rasional; Metode dan ukuran ialah logika, Dari cara ini mucul pendapat yang sepintas
seperti berlawanan dengan teks Kitab Suci.Ada sepuluh pendapat yang dianggap
menyimpang dari islam ada tiga diantaranya yaitu:
Pertama, para filosof yang berpendapat bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai
permulaan), ini merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya. Para filosof muslim
sebelum alGhazali mengatakan bahwa alam ini qadim. Karena qadimnya Tuhan atas alam
sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan
tingkatan, juga dari segi zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang
lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti
kita bisa menyimpulkan bahwa qadim itu sudah ada dari dulu sebelum alam itu diciptakan.
Menurut pendapat al Ghazali yang qadim (tidak mempunyai awalan) hanyalah Tuhan semata.
Maka, selain Tuhan haruslah baru (hadits). Karena jika terdapat sesuatu yang qadim selain
Tuhan, maka dapat menimbulkan pemahaman; Apabila yang Qadim itu lebih dari satu,
berarti Tuhan itu banyak; pemikiran ini tentu menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya
mendapatkan dosa besar yang tidak bisa diampuni oleh Tuhan; atau masuk golongan kaum
Ateisme yang berpendapat bahwa alam yang itu qadim tidak perlu adanya pencipta.

2
Prof.DR.Ahmad Tafsir,Filsafat Umum.Bandung. Tahun 2013.Hal:237
Kedua, pendapat filosof yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui
hal-hal yang bersifat particular atau secara khusus (pendapat yang dipegangi oleh Ibnu Sina).
Pertama pendapat ini dikemukakan oleh Aristoteles kemudian diterapkan oleh para filosof
Muslim. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah
hanya mengetahui zat-Nya sendiri dengan alasan alam ini selalu mengalami perubahan, jika
Allah mengetahui perincian perubahan tersebut, hal ini akan membawa perubahan pada zat-
Nya. Perubahan obyek ilmu inilah yang akan membawa perubahan pada yang lebih berilmu
(bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah. Al-Ghazali mengkritik dengan
mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurutnya, sebuah
perubahan pada obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu itu berubah
dan tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu
tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, sebagaimana halnya kalau
ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka
yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya
yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahuiNya itu
mengalami perubahan.3sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak
berubah meskipun alam yang diketahuiNya itu mengalami perubahan.3sebelah kiri kita, maka
yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya
yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahuiNya itu
mengalami perubahan
Ketiga, adalah penolakan filosof terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa
individu. Para filosof Muslim sebelum alGhazali berpandangan bahwa yang akan
dibangkitkan dari alam kubur menuju akhirat nanti adalah rohani semata, sedangkan jasmani
akan hancur lebur. Menurut mereka, akan merasakan antara kebahagiaan atau siksaan adalah
rohani semata. Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof tersebut lebih banyak
bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak
terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan (siksaan) fisik dan rohani secara bersamaan. Allah
Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun
Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat nanti.33 Lebih lanjut al-Ghazali
menegaskan bahwa kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahkan terdapat beberapa hadis yang menyebutkan bahwa roh-roh manusia merasakan
adanya kebaikan atau siksa kubur dan lainlain. Semua itu sebagai indikasi adanya kekekalan
jiwa. Sedangkan mengenai kebangkitan jasmani telah ditegaskan secara syara’ (agama),
dengan artian jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain,
atau tubuh yang baru dijadikan.3
Pemikiran rasional itu mungkin saja dapat manimbulkan akibat negative bagi islam dan
umat islam, tetapi mungkin juga Al-Ghazali yang benar bahwa pendapat itu dapat membawa
kepada kekufuran. Akan tetapi, pemikiran rasional itu ternyata telah menunjang
perkembangan budaya dalam islam. Perkembangan budaya itu terutama terjadi selama abad
ke-8 sampai dengan abad ke-13. Pada masa-masa ini berkembanglah penerjemahan karya

3
al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah…., hlm. 307-309
yunani ke dalam bahasa arab atas dorongan khalifah Al-Manshur dan harun Ar-Rasyid,
kemudian Al Ma’mun berdirilah perguruan bait AL-Hikmah yang selain sebagai pusat
penerjemah juga menjadi sebagai pusat perkembangan filsafat dan sains.4

Kesimpulan
Setelah kita membaca pembahasan diatas dapat disimpukan bahwasannya pendapat al
Ghozali yang bertentangan dengan pendapat para filsof yang menafsirkan kitab,dengan cara
mengkritik dan menyertai bukti dan argument yang masuk akal bisa juga dianggap
kebenarannya, karena beliau menyinkronkan kehidupan saat ini dengan menselaraskan antara
hati dan akal dalam peneran kehidupan saat ini.. Al-Ghazali adalah tokoh pertama yang
secara nyata mencoba menggabungkan akal dan hati dengan cara mengharmoniskan
dominasinya dalam hidup manusia muslim. Dia berusaha mengembangkan kedua-duanya, ia
ingin akal ,hati, filsafat dan iman bekerja sama secara harmonis, difungsikan secara sama
besar, digunakan secara simultan dan beriringan secara seimbang dan sesuai dengan Al-
Quran.

Referensi
Imam al-Ghazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah), Yogyakarta. Hal: 307-309

Prof.DR.Ahmad Tafsir,Filsafat Umum.Bandung. Tahun 2013.Hal:237

Prof.DR.Ahmad Tafsir,Filsafat Umum.Bandung. Tahun 2013.Hal:238-243

Sayyed Hosssein Nasr, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam,Bandung:MIZAN, 2003, Hal:117

4
Prof.DR.Ahmad Tafsir, Filsafat Umum.Bandung. Tahun 2013.Hal:238-243

Anda mungkin juga menyukai