PEMBAHASAN
Pembahasan masalah akan menyajikan tentang (1) Nilai Etika dan Nilai
Estetika, (2) Metode Irfani, (3) . Yang akan dipaparkan sebagai berikut.
2.1 Nilai Etika dan Estetika
2.1.1 Makna dan Epistimologi Nilai
Makna dari hidup adalah nilai, sebagai hakikat garga diri dan
keberlangsungan duniawi yang sejati. Makna nilai secara filosofis adalah hakikat dari
semua kehendak Tuhan yang secercah kehendak-Nya telah tercurahkan kepada jiwa
manusia. Ada yang mengatakan sebagi teori nilai yang merupakan bagian aksiologi,
karena pandangan tentang hakikat pengetahuan perspektif nilai guna yang
didampakkan. Fungsi dan manfaat yang diperoleh dari ilmun pengetahuan merupakan
tujuan akhir dari semua pengetahuan.
Betapa berharganya ilmu pengetahuan, sehingga ajaran islam menetapkan
sebagai kewajiban. Itu semua sesungguhnya berhubungan dengan nilai dari sebuah
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, aksiologi yang mencari
hakikat nilai diterjemahkan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan1[1].
Istilah nilai dalam bahasa inggris adalah value. Aslinya berasal dari
bahasa latin velere atau Perancis Kuno valio . Rohmat Mulyana, memaknai nilai
secara denotative dengan harga. Filsafat nilai adalah pembahasan tentang paradigm
aksiologis atas segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada yang
menghubungkannya pada hakikat fungsional seluruh pengetahuan.
Makna nilai dapat berupa keyakinan relegius dan janji-janji deterministic
dalam agama yang dianut seseorang dalam berbagai perilakunya. Nilai dapat
didefenisikan pula sebagai patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya di anatara cara-cara tindakan alternatifnya.
1[1] Drs. Beni Ahmad Saebeni, M. Si, Filsafat Ilmu, (Bandung, 2009:
Pustaka Setia), -cet.I- , Hal.190-191.
Ada lima hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan makna nilai secara
aksiologis, yaitu:
1. Nilai sebagai panduan hidup manusia
2. Nilai sebagai tujuan hidup manusia
3. Nilai sebagai pilihan normative tindakan manusia
4. Nilai sebagai hakikat semua pengetahuan
5. Nilai sebagai kesadaran tertinggi dari seluruh kesadaran manusia tentang
motif-motif dan bentuk sebuah tindakan yang berakar pada nalar dan tolok
ukur yang menjadi jaminan tercapainya tujuan perilaku.
Lima aspek dari makna nilai di atas adalah kesimpulan yang
mengungkapkan kakikat nilai secara filosofis.
Epistimologi sering juga disebut teori pengetahuan. Epistimologi dapat
didefenisikan sebagai dimensi filsafta yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat
dan sahihnya pengetahuan2[2]. Secara sederhana yaitu bagaimana cara mempelajari,
mengembangkan
dan
memanfaatkan
ilmu
bagi
kemashalahatan
manusia.
Epistimologi nilai artinya suber nilai yang dirujuk. Secara filosofis, sumber nilai
berawal dari akal manusia sendiri, karena manusia bertindak dengan pertimbangan
akalnya. Idealisme yang dipopulerkan oleh Plato secara substisional bersumber dari
akal. Karena pandangan idealisme tentang menerjemahkan segala hal yang ada tanpa
harus menunggu hasil pengalaman indra.
Rasionalisme empiris sama sekali belum menyadari tentang adanya
keberadaan yang berasal dari sesuatu di luar realitas yang indrawi. Kenyataannya,
banyak hal yang tidak tergambarkan oleh rasio dan tidak tersentuh oleh indra, tetapi
hal itu menjadi bagian dari pengalaman yang sifatnya personal3[3].
Nilai relegius bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam pengetahuan
manusia sepanjang sejarah. Augustinus berprinsip bahwa kebenaran tertinggi adalah
2[2] Drs. H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta:2010, Rineka Cipta),
hal.225
3[3] Drs. Beni Ahmad Saebeni, M. Si, Filsafat Ilmu, (Bandung, 2009:
Pustaka Setia), -cet.I- , Hal.192.
berasal dari hukum-hukum Tuhan. Oleh karena itu, nilai dari pengetahuan dihargai
karena memiliki substitusi teologis. Tanpa itu semua, pengetahuan dan kebenaran
yang dimaksudkan tidak bernilai.
2.1.2 Teori Nilai tentang Etika dan Estetika
Filsafat nilai adalah kajian aksiologis yang mengedepankan jaweaban atas
pertanyaa,
untuk
apa
pengetahuan
dicari?
Mengapa
harus
mengamalkan
pengetahuan? Apa manfaatnya bagi kehidupan manusia? Teori nilai yang mencakup
dua cabang, yaitu etika dan estetika. Yang pertama membicarakan baik buruk
perbuatan manusia, yang kedua membahas keindahan dan seni dalam kehidupan
manusia.
Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa ada empat pendekatan dalam menilai
suatu pendapat moral, yaitu:
1. Pendekatan empiris-deskriptif, menyelidiki pandangan umum tentang
moralitas yang berlaku, dampak dari mengikuti atau mengingkari norma yang
telah menjadi sistem social.
2. Pendekatan fenomenologis, penyelidikan tentang kesadaran moral secara
subjektif.
3. Pendekatan normatif, penyelidikan tentang norma social yang berlaku umum.
4. Pendekatan mataetika, penyelidikan tentang kebenaran moral di luar dirinya.
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah
sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung
jawab4[4].
Etika adalah bahasan tentang cermin tingkah laku. Nilai baik dan buruk yang
didasarkan pada rasio adalah etika. Istilah-istilah etika diantaranya ialah:
a. Akhlak, adalah sebutan tentang perilaku baik dan buruk yang digunakan oleh
agama.
4[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Etika, diambil tanggal 11 juni 2013.
b. Moral, asalnya morez, yakni tindakan, yakni penilaian baik dan buruk yang
digunakan dalam kehidupan social politik.
c. Susila adalah istilah yang digunakan dalam kaidah baik dan buruk yang
merujuk pada ediologi pancasila.
d. Norma, ukuran baik dan buruk yang digunakan dalam konsep kebiasan
masyarakat.
e. Etika, ukuran baik dan buruk menurut akal.
Etika juga berarti timbul dari kebiasaan adalah cabang utama dari filsafat
yang mempelajati nilai atau kualitas. Etika mencakup analisis dan peranan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggungjawab5[5].
Dengan demikian, pandangan baik dan buruk, dan hakikat nilai dalam
kehidupan manusia sangat tergantung pada tiga hal mendasar yaitu:
1. Cara berpikir yang melandasi manusia dalam berprilaku
2. Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma social.
3. Cara merujuk kepada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan pokok dalam
berindak.
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan
pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni
didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola,
bentuk dan sebagainya6[6].
Dari paparan diatas dapat dibedakan antara Etika dan Estetika antara lain :
a. Etika mempelajari baik atau buruk ( nilai universal ) & moral, sedangkan estetika
mempelajari tentang keindahan & kejelekan.
b. Dasar yang ada pada etika adalah kehendak sedangkan estetika pada perasaan.
c.
etimologis,
kata
Irfani
berasal
dari
bahasa
arab
adalah
bentuk mashdar(infinitif) dari kata arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula
dengan kataMaruf (Keba-jikan) dan Marifat (pengetahuan).14[3]
Kata Irfan berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab, secara
etimologi, Irfani berasaldari bentuk masdar (infinitif) dari kata arafa yang berarti
11[4]Dr. Armai Arief, M.A., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 87-88.
12[5]Drs. H. Mohammad Adib, MA., Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), hlm. 132.
13[6]Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Pemikiran Islam Metodologis: Model
Pemikiran Alternatif dalam Memajukan Peradaban Islam, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 7.
14[3] Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34
tahu atau mengetahui.15[4] Seakar kata pula dengan maruf (kebajikan) dan marifat
(pengetahuan).
Irfan dari kata dasar bahasa Arab arafa semakna dengan makrifat, berarti
pengetahuan. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara
langsung lewat pengalaman. Karena itu, secara epistimologis, irfan dapat diartikan
sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat
oleh Tuhan kepada hamba-Nya serta adanya oleh ruhani yang dilakukan atas dasar
cinta. Irfan adalah wujud mutlak, yaitu Allah swt.16[10]
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi
maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem
pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan
diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan
tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui
mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap
kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan
pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan
dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan dengan
mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh
pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan
spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan,
penerimaan, dan pengungkapan.
15[4] A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Pustaka
Progresif, Surabaya : 1997) hal
16[10]Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran
Shandra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 114.
Berangkat
dari
pengertian
di
atas
dapat
diketahui
bahwa
pokok
ilmu
pengetahuan
dalam
tradisi
berfikir
dan
formalitas
lahiriyyah
yang
diciptakan
oleh
tradisi
epistemologi bayani dan burhani baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit,
golongan, kultur, tradisi, yang ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak
hubungan interpresonal antar umat manusia, ingin dipinggirkan oleh tradisi
berpikir Irfani yang kebanyakan dilakukan oleh golongan kaum sufi.
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan. Pertama, menganggap
bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi. Alasannya, sejumlah besar
orang-orang Majusi di Iran Utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan
Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan.
Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen. Alasannya, (1) adanya
interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun
zaman Islam, (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para sufis, dalam soal
ajaran, tata cara melatih jiwa, dengan kehidupan Yesus dan ajarannya.
Ketiga, irfan ditimba dari India. Alasannya, (1) kemunculan dan penyebaran
irfan pertama kali adalah di Khurasan, (2) kebanyakan dari para sufi angkatan
pertama bukan dari kalangan Arab, (3) pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah
pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat, (4) konsep dan metode tasawuf
seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan berasal dari sumber-sumber Yunani.17[11]
17[11]A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 194-195.
Perkembangan irfan, secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
a. Fase pembibitan (abad pertama hijriah). Karakter periode ini adalah (1)
berdasarkan ajaran al-Quran dan sunnah, menjauhi hal-hal duniawi demi meraih
pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk
menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motivasi zuhudnya adalah
rasa takut.
b. Fase kelahiran (abad kedua hijriah). Jika pada abad pertama hijriah, zuhud
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, pada periode ini zuhud dilakukan
atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
c. Fase pertumbuhan (abad 3-4 hijriah). Pada fase ini, irfan telah mengkaji soal moral,
tingkah laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif langsung pada Tuhan, dan
pencapaian kebahagiaan.
d. Fase puncak (abad ke-5 H). Pada periode ini irfan mencapai periode gemilang
dengan banyaknya pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, di antaranya alGhazali (Ihya Ulum al-Din) yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani).
e. Fase spesikasi (abad ke-6 dan 7 H). Irfan semakin dikenal dan berkembang dalam
masyarakat Islam berkat pengaruh pribadi al-Ghazali.18[12]
Berikut ini adalah uraian dari metode irfan;
Etika
Filsafat
Irfan
Membahas
Praktis
Membahas
Teoritis
Berdasarkan visi
Berpijak pada
hubungan antara
hubungan antar
dan intuisi
postulat-
manusia saja.
manusia dan
kemudian
postulat.
hubungan manusia
dikemukakan teori
Tidak ada
dengan Tuhan.
Ada tahapan-
secara logis.
Eksistensi Tuhan
Eksistensi non
tahapan tertentu.
meliputi semuanya
Tuhan sama
Seseorang bisa
riel-nya dengan
memilih mana
untuk menuju
adalah manifestasi
eksistensi
yang harus
tujuan akhir.
sifat-Nya.
Tuhan sendiri.
dilakukan.
Unsur spiritual
Unsur spiritual
Capaian tertinggi
Capaian
sangat terbatas.
manusia adalah
tertinggi
kembali kepada
manusia adalah
asal-usulnya
memahami
(Tuhan).
Sarana yang
semesta.
Sarana yang
dipakai adalah
dipakai adalah
kesucian jiwa.
2.2.2 Konsep Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak
juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini
erat kaitannya dengan konsep tasawuf.19[5] Karena itu, pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan
kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang
lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh
melalui tiga tahapan;20[6]
1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan
(kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju
puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan
penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan
yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya .
apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subht),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa
kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali
Tuhan Swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak
berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan
oleh tuhan.
g.Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya
gembira dan suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan
mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif
(pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat
realitas dirinya sendiri (musyhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun,
realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu
yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang
diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula
sebaliknya (ittihd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut Ilmu Huduri atau
pengetahuan swaobjek (self object knowledge).21[7]
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam
bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang
kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran
ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran
disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan
interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan
memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak,
berlaku sepanjang sejarah manusia.22[8]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti
yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam
kebangkitan disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau
kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak
dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya
disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah,
sedangkan ilham hanya merupakan pengungkapan kepada manusia pribadi
yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi,
sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.23[9]
3.
Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada
orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani
bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan
simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan,
24
bisa diungkapkan.25[11] Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara
umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk
merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata
tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk
mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara
sepakat.26[12]
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin
yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan
dengan cara i`tibr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang
ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua,
diungkapkan lewatsyathaht, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (alwijdn) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi
dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan
dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu
pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai
dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu
pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku.
Meski demikian, secara umum, syathaht sebenarnya diterima dikalangan
sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan
syariat, dengan syarat bahwa syathaht tersebut harus ditakwilkan, yakni
ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks.