Anda di halaman 1dari 6

IBNU MISKAWAIH

A. Biografi Ibn Miskawaih


Nama lengkap Ibnu Maskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’qub ibnu
Miskawaih. Beliau dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di
Asrafan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M.1
Sebutan namanya yang lebih mashur adalah Ibnu Miskawaih dan Ibnu Maskawaih. Nama
itu diambil dari kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam.
Gelarnya adalah Abu Ali yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syiah
dipandang sebagai yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin
umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Ibnu
Maskawaih tergolong penganut Syiah. Gelar lain juga diberikan, yaitu Al-Khazin, yang berarti
bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adid Ad-Daulah dari Bani Buwaih ia
memperoleh kepercayaan sebagai bendahara.2
Ibnu Miskawaih sangat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusastraan, sehingga tidak heran jika beliau kemudian mencul sebagai seorang filosof, tabib,
ilmuwan dan pujangga.3 Sejarah hidup Ibnu Miskawaih tidak banya diketahui banyak orang
karena dalam berbagai literatur tidak mengungkapkannya secara rinci. Namun demikian,
diduga dapat diduga bahwa Ibnu Miskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu
pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pada pendidikan anak pada zaman
abbasiyah pada umumnya bermula dengan belajar membaca, menulis, mepelajari Al-Quran,
dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab, dan ilmu membaca dan membuat syair. Mata
pelajaran dasar tersebut diberikan di surau. Di kalangan keluarga yang berada, guru
didatangkan kerumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-
ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqh, hadits, sejarah,
dan matematika. Selain itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti musik, bermain
catur, dan ilmu kemiliteran.
Ibnu Maskawaih diduga juga mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya,
meskipun menurut dugaan ibnu miskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi

1
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajafindo Persada, 2004), hlm, 131
2
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm,116
3
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm,88
keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-
pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ibnu miskawaih terutama sekali
diperoleh dengan jalan banyak membaca buku terutama buku tentang sejarah, filsafat, dan
etika. Sebagai filosof beliau memperoleh sebutan “Bapak Etika Islam” karena telah
mengemukakan tentang etika islam dan menulis buku tentang etika.4selain itu, ibnu
miskawaih juga belajar sejarah terutama Tarikh at-Thabari kepada Abu Bakar ibnu Kamil Al-
Qadhi dan belajar filsafat pada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya
Aristoteles.5
B. Karya Imiah Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filsof), tetapi ia juga seorang
penulis yang produktif. Dalam buku The History of the Philosophy disebutkan beberapa karya
tulisnya antara lain:
1. Al- Fauz al Akbar (menjelaskan tentang etika )
2. Al- Fauz al Asghar (menjelaskan tentang ketuhanan, jiwa, dan kenabian{metafisika})
3. Tajarib Al-Umam (menjelaskan tentang sejarah yang berisi peristiwa sejarahsejak setelah
air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H)
4. Uns al-Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa dan kata-kata hikmah)
5. Tartib al-Saadat (menjelaskan tentang etika dan politik, terutama mengenai pemerintahan
Bani Abbas dan Bani Buwaih)
6. Al-Mustaufa (berisi tentang syair-syair pilihan)
7. Jawiidan Khirad ( berisi ungkapan bijak)
8. Al-Jami’ (menjelaskan tentang ketabiban)
9. Al-Siyab
10. On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
11. On the composition of the Bajats (tentang seni memasak)
12. Kitab Al-Ashribah (menjelaskan tentang miniman)
13. Tahzib al-Akhlaq wa Thatir al-Araq (tentang etika)
14. Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al Nafs
15. Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al Aql

4
Ibid, maftukhin, hlm 115-116
5
Ibid, Sirajuddin, hlm 131
16. Al-jawab fi al-Masa’il al-Salas
17. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan Al-Shufi fi Haqiqat al-aql
18. Thabarat al-Nafs (tentang etika)6

Sebenarnya masih banyak karya dari ibnu miskawaih yang tidak bisa disebutkan satu
persatu dalam tulisan ini. Banyaknya karya yang ditulis tersebut merupakan bukti bahwa ibnu
miskawaih memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Ia menguasai banyak bidng ilmu,
walaupun focus kajiannya adalah etika dan sejarah.7

C. Pemikiran Ibnu Miskawaih


1. Metafisika
a) Pembuktian Adanya Tuhan

Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa sebenarnya tentang adanya Tuhan


pencipta itu telah menjadi kesepakatan pada filosof sejak dahulu. Ia berusaha
membuktikan bahwa Tuhan Pencipta itu Esa, azali (tanpa awal) dan bukan materi
(jism). Tuhan tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun
yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada
yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya. Tampaknya pemikiran Ibnu
Miskawaih ini sama dengan pemikian Al-Farabi dan Al-Kindi.8

Tuhan dapat diketahui dengan cara menidakkan(negasi), bukan dengan cara


afirmasi. Misalnya Tuhan itu bukan suatu badan, Tuhan tidak bergerak, Tuhan tidak
Esa, Tuhan adalah diciptakan dan sebagainya. Jadi Tuhan tidak sama dengan konsepsi
apapun.

Namun pendapat bahwa membuktikan adanya Tuhan hanya dapat dilakukan


secara negasi yang dikemukakan Miskawaih tersebut telah banyak emndapat kritik.
Jika yang dimaksud pembuktian sacara langsung tidak dapat dilakukan itu ialah untuk
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara rasional memang dapat diterima.
Tetapi jika yang dimaksud adalah mencakup segala macam pengenalan, maka hal ini

6
Ibid, sirajuddin, hlm 132-133
7
Ibid, maftukhin, hlm, 119
8
Ibid, sirajuddin, hlm 133
tidak benar. Sebab di samping pengetahuan secara rasional, dimungkinkan juga
pengenalan dengan jalan penghayatan yang merupakan pengenalan kejiwaan
sebagaimana bisa terjadi dalam dunia mistik.9

Argumen yang diajukan Miskawaih untuk membuktikan adanya Tuhan yang


paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam.
Penggerak pertama yang tidak bergerak yaitu Tuhan. Argumen gerak ini diambil dari
Aristoteles. Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal
segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sebab tidak ada artinya mencipta jika yang
diciptakan telah wujud sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pendapat ulama ilmu kalam
tanpa takwil sebagaimana dikemukakan oleh kaum mutazilah yang telah memperoleh
pengaruh dari filsafat Aristoles.

Teorinya tentang perubahan yang terjadi pada alam menyebutkan bahwa tiap-
tiap bentuk yang berubah digantikan oleh bentuk yang baru. Dalam pertukaran dari
bentuk yang satu ke bentuk yang lain, ibnu Miskawaih mengatakan bahwa bentuk lama
menjadi tiada. Demikian pula selanjutnya, jika bentuk kedua ini digantikan dengan
bentuk yang ketiga maka bentuk yang menjadi tiada, begitu pula seterusnya. Dengan
demikian terjadilah ciptaan terus menerus dan dari satu generasi ke generasi lain, dan
tiap-tiap yang baru berasala dari tiada.

b) Jiwa (nafs)

Menurut Ibnu Miskawaih jiwa adalah substansi yang besifat ruhaniah yaitu
sesuatu yang tidak bisa diraba oleh panca indra, juga jauhar yang tidak hancur karena
sebab kematian jasad. Jiwa akan hidup hidup selalu, dia bukan jism da bagian dari
jism. Jiwa tidak bersifat material, hal ini dibuktikan Ibnu Miskawaih dengan adanya
kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang
bertentangan satu sama lain. Misalnya jiwa dapat menerima gambaran konsep putih
dan hitam dalam waktu sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu
waktu putih atau hitam saja.10

9
Ibid, Sudarsono, hlm 91
10
Ibid, maftukhin, hlm 121
Statemen yang terakhir di atas, dimaksudkan ibnu miskawaih untuk
mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa bagi manusia.
Ternyata ibnu miskawaih berhasil membuktikan adanya jiwa pada diri manusia dengan
argument seperti di atas. Namun, jiwa tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat
pada materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.

Jadi, ibnu miskawaih mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat dibagi-bagi
itu tidak mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi.
Namun demikian, jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non materi yang
sederhana.

Ibnu miskawaih juga menyebutkan dengan tegas perbedaan jiwa dan


pancaindra yaitu bahwa jiwa dapat menangkap apa yang ditangkap pancaindra (dapat
diraba) maupun yang tidak bisa. Sedangkan pancaindra tidak bisa menangkap selain
dari yang bisa diraba.11

Ibnu miskawaih juga menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang
dengan adanya kekuatan yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu
mengarah ke kebaikan. Menurtnya jiwa manusia punya tiga kekuatan yang bertingkat-
tingkat berdasarkan urutannya yaitu:

i. al-nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk


ii. al-nafs al- sabu’iyah (nfsu binatang buas) yang sedang
iii. al-nafs al-natiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.

Sehubungan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam


tersebut, ibnu miskawaih menyatakan bahwa yang rendah atau buuk mempunyai sifat-
sifat pengecut, ujub, pengolok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas
mempunyai sifat-sifat yang adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.12

Tentang balasan di akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga


menyatakkan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagiaan dan

11
Ibid, sirajudduin hlm 137-138
12
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: CV. Ramadhani, 1970), hlm, 150
kesengsaraan) di akhirat. Karena, kelezatan jasmaniyah bukanlah kelezatan yang
sebenarnya.

c) Teori Evolusi
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam mengalami proses
evolusi, didauluinya rentetan proses kejadian yang mata rantainya tidak terputus.
Dikatakannya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana,
kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang lebih tinngi. Bermula dari
jamad (benda mati), kemudian berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan, yang dalam
evolusi berikutnya mengalami perkembangan menjadi hewan, dari tahapan hewan
berevolusi menjadi manusia yang dipandang sebagai puncak perkembangan. Manusia
pun pada gilirannya mengalami evolusi juga, yaitu terus berkembang dan meningkat
kecerdasannya. Cara berfikirnya makin berkembang ke tingkat kebijaksanaan dalam
mengambil keputusan-keputusan hingga mendekati tingkat malaikat. Manusia akan
dapat mengalami evolusi sampai mendekati tingkat malaikat dengan jalan keutamaan-
keutamaan teoritis, melalui jalan berfilsafat, hingga menjadi orang bijaksana (hakim).
Ada juga di antara orang-orang

Anda mungkin juga menyukai