1
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajafindo Persada, 2004), hlm, 131
2
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm,116
3
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm,88
keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-
pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ibnu miskawaih terutama sekali
diperoleh dengan jalan banyak membaca buku terutama buku tentang sejarah, filsafat, dan
etika. Sebagai filosof beliau memperoleh sebutan “Bapak Etika Islam” karena telah
mengemukakan tentang etika islam dan menulis buku tentang etika.4selain itu, ibnu
miskawaih juga belajar sejarah terutama Tarikh at-Thabari kepada Abu Bakar ibnu Kamil Al-
Qadhi dan belajar filsafat pada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya
Aristoteles.5
B. Karya Imiah Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filsof), tetapi ia juga seorang
penulis yang produktif. Dalam buku The History of the Philosophy disebutkan beberapa karya
tulisnya antara lain:
1. Al- Fauz al Akbar (menjelaskan tentang etika )
2. Al- Fauz al Asghar (menjelaskan tentang ketuhanan, jiwa, dan kenabian{metafisika})
3. Tajarib Al-Umam (menjelaskan tentang sejarah yang berisi peristiwa sejarahsejak setelah
air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H)
4. Uns al-Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa dan kata-kata hikmah)
5. Tartib al-Saadat (menjelaskan tentang etika dan politik, terutama mengenai pemerintahan
Bani Abbas dan Bani Buwaih)
6. Al-Mustaufa (berisi tentang syair-syair pilihan)
7. Jawiidan Khirad ( berisi ungkapan bijak)
8. Al-Jami’ (menjelaskan tentang ketabiban)
9. Al-Siyab
10. On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
11. On the composition of the Bajats (tentang seni memasak)
12. Kitab Al-Ashribah (menjelaskan tentang miniman)
13. Tahzib al-Akhlaq wa Thatir al-Araq (tentang etika)
14. Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al Nafs
15. Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al Aql
4
Ibid, maftukhin, hlm 115-116
5
Ibid, Sirajuddin, hlm 131
16. Al-jawab fi al-Masa’il al-Salas
17. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan Al-Shufi fi Haqiqat al-aql
18. Thabarat al-Nafs (tentang etika)6
Sebenarnya masih banyak karya dari ibnu miskawaih yang tidak bisa disebutkan satu
persatu dalam tulisan ini. Banyaknya karya yang ditulis tersebut merupakan bukti bahwa ibnu
miskawaih memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Ia menguasai banyak bidng ilmu,
walaupun focus kajiannya adalah etika dan sejarah.7
6
Ibid, sirajuddin, hlm 132-133
7
Ibid, maftukhin, hlm, 119
8
Ibid, sirajuddin, hlm 133
tidak benar. Sebab di samping pengetahuan secara rasional, dimungkinkan juga
pengenalan dengan jalan penghayatan yang merupakan pengenalan kejiwaan
sebagaimana bisa terjadi dalam dunia mistik.9
Teorinya tentang perubahan yang terjadi pada alam menyebutkan bahwa tiap-
tiap bentuk yang berubah digantikan oleh bentuk yang baru. Dalam pertukaran dari
bentuk yang satu ke bentuk yang lain, ibnu Miskawaih mengatakan bahwa bentuk lama
menjadi tiada. Demikian pula selanjutnya, jika bentuk kedua ini digantikan dengan
bentuk yang ketiga maka bentuk yang menjadi tiada, begitu pula seterusnya. Dengan
demikian terjadilah ciptaan terus menerus dan dari satu generasi ke generasi lain, dan
tiap-tiap yang baru berasala dari tiada.
b) Jiwa (nafs)
Menurut Ibnu Miskawaih jiwa adalah substansi yang besifat ruhaniah yaitu
sesuatu yang tidak bisa diraba oleh panca indra, juga jauhar yang tidak hancur karena
sebab kematian jasad. Jiwa akan hidup hidup selalu, dia bukan jism da bagian dari
jism. Jiwa tidak bersifat material, hal ini dibuktikan Ibnu Miskawaih dengan adanya
kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang
bertentangan satu sama lain. Misalnya jiwa dapat menerima gambaran konsep putih
dan hitam dalam waktu sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu
waktu putih atau hitam saja.10
9
Ibid, Sudarsono, hlm 91
10
Ibid, maftukhin, hlm 121
Statemen yang terakhir di atas, dimaksudkan ibnu miskawaih untuk
mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa bagi manusia.
Ternyata ibnu miskawaih berhasil membuktikan adanya jiwa pada diri manusia dengan
argument seperti di atas. Namun, jiwa tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat
pada materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.
Jadi, ibnu miskawaih mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat dibagi-bagi
itu tidak mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi.
Namun demikian, jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non materi yang
sederhana.
Ibnu miskawaih juga menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang
dengan adanya kekuatan yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu
mengarah ke kebaikan. Menurtnya jiwa manusia punya tiga kekuatan yang bertingkat-
tingkat berdasarkan urutannya yaitu:
11
Ibid, sirajudduin hlm 137-138
12
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: CV. Ramadhani, 1970), hlm, 150
kesengsaraan) di akhirat. Karena, kelezatan jasmaniyah bukanlah kelezatan yang
sebenarnya.
c) Teori Evolusi
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam mengalami proses
evolusi, didauluinya rentetan proses kejadian yang mata rantainya tidak terputus.
Dikatakannya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana,
kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang lebih tinngi. Bermula dari
jamad (benda mati), kemudian berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan, yang dalam
evolusi berikutnya mengalami perkembangan menjadi hewan, dari tahapan hewan
berevolusi menjadi manusia yang dipandang sebagai puncak perkembangan. Manusia
pun pada gilirannya mengalami evolusi juga, yaitu terus berkembang dan meningkat
kecerdasannya. Cara berfikirnya makin berkembang ke tingkat kebijaksanaan dalam
mengambil keputusan-keputusan hingga mendekati tingkat malaikat. Manusia akan
dapat mengalami evolusi sampai mendekati tingkat malaikat dengan jalan keutamaan-
keutamaan teoritis, melalui jalan berfilsafat, hingga menjadi orang bijaksana (hakim).
Ada juga di antara orang-orang