Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen pengampu: M. Fathun Nadhor, M.Ag.

Disusun oleh Kelompok 9:

1. Miatasari (12208183166) (20)


2. Rinda Nurdianti (12208183033) (34)
3. Tia Ambarwati (12208183023) (37)
4. Zubaidah Ummah Al aziz (12208183032) (21)

Kelas Tadris Biologi (TBIO) 2B

Semester II

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

MARET, 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah swt. atas rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai target yang
kami harapkan. Kedua kalinya tak lupa sholawat serta salam kami tujukan kepada Nabi
Muhammad saw. yang telah membawa Islam sebagai agama yang menuntun kepada
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Adapun makalah ini membahas tentang “PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI


TENTANG PENDIDIKAN ISLAM”. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Pendidikan Islam”. Dalam pembuatan makalah
ini, pasti kami tak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan
terima kasih kepada Bapak M. Fathun Nadhor, M.Ag., selaku dosen pengampu serta
pihak-pihak lain yang turut membantu memberikan referensi kepada kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Untuk itu, kami membutuhkan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Tulungagung, 27 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................2

C. Tujuan ....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

A. Biografi Imam Al-Ghazali .....................................................................................3

B. Karya-Karya Ilmiah Imam Al-Ghazali ..................................................................7

C. Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam ......................................10

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................................15

B. Saran ....................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dengan sebaik-
baik bentuk,serta lebih mulia dibandingkan makhluk ciptaan lainnya. Salah satu tugas
yang diemban manusia di muka bumi yaitu sebagai khalifah fil ‘ardh. Salah satu
implikasi terpenting dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah pentingnya
kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan
tugasnya. Dan manusia memiliki kemungkinan untuk itu karena ia dibekali Allah
dengan berbagai potensi. Oleh karena itu, manusia perlu berproses dan
mengembangkan segala potensi yang ia miliki, yaitu melalui pendidikan.

Pendidikan adalah salah satu unsur dari aspek sosial budaya yang berperan
sangat strategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyarakat dan bangsa.
Kestrategisan peranan ini pada intinya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan
secara sadar, sistematis, terarah dan berfilsafat, berpikir filsafat berarti berpikir secara
mendalam tentang sesuatu. Begitu pula dengan filsafat pendidikan, maka kita dituntut
untuk berpikir secara mendalam mengenai pendidikan. Seseorang mampu melakukan
suatu apapun sebab memiliki ilmu. Namun, dalam melakukan sesuatu, Islam
memberikan batasan-batasan yang semuanya termaktub dalam syari’at. Salah satu
tokoh cendekiawan muslim, pemikir pendidikan juga filosof muslim abad ke 10 yakni
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali atau lebih familiar disebut Al-
Ghazali, ini mengatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
mendasarkan orientasinya kepada Al qur’an dan Hadis. Beliau merupakan sosok
manusia yang memiliki predikat segudang ilmu. Hal ini terlihat ketika beliau masih
kecil, banyak para pemuka pada masanya yang belajar kepada beliau. Tidak hanya
satu ilmu yang beliau kuasai. Mulai dari ilmu tasawuf, ilmu ketuhanan, ilmu alam,
ilmu logika, dan masih banyak lagi.

1
2

Meskipun beliau lebih dikenal dengan sufi yang identik dengan masalah hati
saja, akan tetapi beliau juga menganggap masalah pendidikan itu sangatlah penting,
karena pendidikan itulah yang akan membawa manusia ke jalan yang baik atau buruk.
Al-Ghazali mempunyai peran yang penting dalam perkembangan pendidikan Islam
pada masanya, bahkan konsep pendidikan Al-Ghazali masih digunakan sebagai
referensi saat ini. Salah satu karya monumentalnya adalah Ihya’ Ulumuddin. Melihat
besarnya kontribusinya dalam dunia pendidikan, maka penulis mencoba
menghadirkan makalah yang akan membahas tentang sosok Imam Al-Ghazali dan
pemikiran pendidikannya.

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diambil dalam makalah
ini adalah:
1. Bagaimanakah biografi Imam Al-Ghazali?
2. Apa saja karya-karya ilmiah Imam Al-Ghazali?
3. Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan islam?
B. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui biografi Imam Al-Ghazali.
2. Untuk mengetahui karya-karya ilmiah Imam Al-Ghazali.
3. Untuk memahami pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Al Ghazali


Al Ghazali merupakan figur yang tidak asing dalam dunia pemikiran islam,
karena begitu banyak orang menemukan namanya berbagai literatur, baik klasik
maupun modern.1 Pemikiran besar dalam dunia Islam abad ke 5 H, yang terkenal
dengan julukan al Hujjatul al Islam.2 (bukti kebenaran Islam) ini tidak pernah sepi
dari pembicaraan dan sorotan, baik pro dan kontra.3
Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Tha’us Ath Thusi Asy Syafi’i Al Ghazali.4 Versi lain menyebutkan bahwa nama
lengkap beliau dengan gelarnya adalah Syaikh al Ajal al Imam al Zahid, al Said al
Muwafaq Hujjatul Islam. Secara singkat, beliau sering disebut Al Ghazali atau Abu
Hamid.5 Beliau dilahirkan tahun 450 H/ 1058 M di Ghazalah, sebuah desa di
Pinggiran Kota Thus, kawasan Kurasan Iran.6 Sumber lainnya menyebutkan bahwa ia
lahir di kota kecil dekat Thus di Kurasan, ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan dan wilayah kekuasaan Baghdad yang dipimpin oleh Dinasti Seljuk.7
Beliau wafat di Tabristan wilayah propinsi Thus pada hari senin tanggal 14 Jumadil
Akhir 505 H bertepatan dengan 01 Desember 111 M.8
Al Ghazali lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana.
Ayahnya seorang pemintal dan penjual wol yang hasilnya digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan para fuqaha serta orang-orang yang
membutuhkan pertolongannya, dan juga seorang pengamal tasawuf yang hidup
sederhana. Ia sering mengunjungi para fuqaha, meminta nasihat, duduk bersamanya,
sehingga apabila dia mendengar nasehat para ulama dia menangis dan memohon
kepada Allah SWT agar dikaruniai anak yang seperti ulama’ tersebut.

1
M. Sholihin, Epistemologi Ilmu dalam Pandangan Imam Al Ghazali, (Jakarta: Pustaka Setia, 2001), hlm. 9
2
Yusuf Qordawi, Al Ghazali baini maa dahiihi wa naaqidihi, (Kairo: Maktabah wahbah, 2012), hlm. 39-42
3
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 41-46
4
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 109
5
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm. 55
6
Muhsin Manaf, Psyco Analisa Al Ghazali, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2001), hlm. 19
7
A. Saefuddin, Percikan Pemikiran Imam Al-Ghazali (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 96
8
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 216

3
4

Ketika ayahnya menjelang wafat, ia berwasiat Imam Al Ghazali dan


saudaranya, Ahmad diserahkan kepada temannya yang dikenal dengan ahli tasawuf
dan orang baik, untuk dididik dan diajari agar menjadi orang yang teguh dan pemberi
nasehat.9
Al Ghazali lahir di kota Thus, bagian wilayah Khurasan yang merupakan
wilayah pergerakan tasawuf. Pada masa Imam Al Ghazali di kota tersebut terjadi
interaksi budaya yang sangat intelek, antara filsafat serta interprestasi sufistik.
Sementara itu pergolakan dalam bidang politik juga cukup tajam misalnya:
pertentangan antara kaum Sunni dan kaum Syi’ah, sehingga Nizham Muluk
menggunakan lembaga madrasah Nizhamiyah sebagai tempat pelestarian paham
Sunni10.
Al Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak pecinta ilmu pengetahuan dan
seorang pencari kebenaran sekalipun keadaan orang tua yang kurang mampu serta
situasi dan kondisi sosial politik dan keagamaan yang labil tidak menggoyahkan tekad
dan kemauannya untuk belajar dan menuntut ilmu pada beberapa ulama’.11
Perjalanan keilmuan Imam Al Ghazali diawali dengan belajar Al Qur’an, al
Hadist, riwayat para wali dan kondisi kejiwaan mereka pada seorang sufi yang juga
teman ayahnya. Pada waktu bersamaan, dia menghafal beberapa syair tentang cinta
dan orang yang mabuk cinta.12
Kemudian Al Ghazali dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan
beasiswa bagi para muridnya, karena bekal yang telah dititipkan ayahnya pada
Muhammad Al Rizkani habis. Di sini gurunya adalah Yusuf al Nassy, seorang sufi
dan setelah tamat ia melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan berguru kepada Imam
Abu Nasr al Ismail, mendalami bahasa Arab, Persia dan pengetahuan agama.13

9
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat:
Quantum Teaching, 2005), hlm. 56
10
Ali al Jumbulati dan Abdul Fatah at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
hlm. 128-129
11
Yusuf al-Nassy dan Ali al-Farm, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1993), jilid 5, hlm. 26
12
Achmad Faizur Rosyad, Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al Ghazali, (Yogyakarta: KUTUB, 2004), hlm. 115
13
M. Yusran Asmuni, Pertumbuhan dan Perkembangan Berfikir dalam Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1994), hlm. 8-
9
5

Setelah itu ia menetap di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang


diperolehnya di Jurjan selama 3 tahun dam mempelajari tasawuf dibawah bimbingan
Yusuf al Nassy, selanjutnya ia pergi ke Nishapur, disana ia belajar di Madrasah
Nizhamiyah yang dipimpin ulama’ besar Abu Al Ma’ali al Juwaini yang bergelar
Imam al Haramain adalah salah seorang teolog aliran Asy’ariyah.14
Melalui pendidikan dari al Haramain inilah Imam Al Ghazali memperoleh
ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, mantiq dan ilmu kalam serta tasawuf pada Abu Ali al
Fahmadi, sampai ia wafat pada tahun 478 H. Melihat kecerdasan dan kemampuan
Imam Al Ghazali, Imam al Haramain memberikannya gelar “Bahrun Mughriq” (suatu
lautan yang menenggelamkan).15
Setelah Imam al Haramain wafat, Al Ghazali pergi ke Al Ashar untuk
berkunjung kepada Perdana Menteri Nizam al Mulk dari pemerintahan dinasti Saljuk.
Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian
dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuan. Semuanya mengakui akan
ketinggian ilmu yang dimiliki oleh Imam Al Ghazali. Perdana menteri Nizam Al
Mulk akhirnya melantik Imam Al Ghazali sebagai guru besar (profesor) pada
Perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada dikota Baghdad.16 Pada tahun 181H/1091M
al Ghazali diangkat sebagai rektor dalam bidang agama Islam.17 Di madrasah ini al
Ghazali bertugas selama 4 tahun atau 5 tahun (1090-1095H).18
Meskipun Al Ghazali tergolong sukses dalam kehidupannya di Baghdad
semua itu tidak mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bahkan membuatnya
gelisah dan menderita, ia bertanya apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau
belum? Perasaannya itu muncul setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) Imam Al
Ghazali ragu, mana diantara aliran- aliran yang betul- betul benar, kegelisahan
intelektual dan rasa kepenasarannya dilukiskan dalam bukunya al- Munqidz min al
Dhalal.19

14
Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1979), hlm. 148
15
A. Saefuddin, Percikan Pemikiran Imam Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 76
16
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 215
17
Yahya Jaya, Spiritualisme Islam dalam Mengembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta:
Ruhana, 1994), hlm. 21-22
18
Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al Ghazali, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hlm. 66-68
19
Al Ghazali: Al Munqidz al- Dalal, hlm. 4
6

Dalam bukunya itu Imam Al Ghazali ingin mencari kebenaran yang


sebenarnya dan dimulai dengan tidak percaya dengan pengetahuan yang dimulai
dengan panca indera sering kali kalah atau berdusta. Ia kemudian mencari kebenaran
dengan sandaran akal, tetapi akal juga tidak dapat memuaskan hatinya. Hal ini
diungkapkan dalam bukunya Tahafut al- falsafah.20 Yang isinya tanggapan dan
sanggahan terhadap para filosof.
Kegelisahan dan perasaan terus meliputinya kemudian Imam Al Ghazali mulai
menemukan pengetahuan kebenaran melalui kalbu yaitu tasawuf. Ia belum
memperoleh kematangan keyakinan dengan jalan tasawuf setelah meninggalkan
Baghdad pada bulan Zulkaidah 448 H/ 1095 M dengan alasan naik haji ke Mekkah, ia
memperoleh izin keluar Baghdad. Kesempatan itu ia pergunakan untuk mulai
kehidupan tasawuf di Syiria yaitu: dalam masjid Damaskus, kemudian ia pindah ke
Yerussalem Palestina untuk melakukan hal yang sama di Masjid Umar dan Monumen
suci Dome Of The Roch.21 Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menunaikan ibadah
haji. Dan setelah selesai ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri yaitu kota Thus dan
disana ia tepat seperti biasanya berkhalwat dan beribadah. Perjalanan tersebut ia
lakukan selama 10 tahun yaitu: dari 498- 988 H atau 1095- 1105 M.22
Karena desakan penguasa pada masanya Imam Al Ghazali mau kembali
mengajar di sekolah Nidzamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Akan tetapi
pekerjaannya ini hanya berlangsung selama dua tahun untuk akhirnya kembali ke kota
Thus lagi dimana kemudian ia mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan
sebuah biara untuk para mutasawwifin yang diasuhnya sampai ia wafat pada tahun
505 H/ 111 M.23 Dengan melihat kehidupan Imam Al Ghazali dalam biografi di atas
dapat diketahui bahwa sepanjang hayatnya selalu digunakan dan diisi dengan suasana
ilmiah, mengajar dan tasawuf. Semua itu menjadikan pengaruh terhadap pemikiran
sumbangan bagi peningkatan sosial kebudayaan, etika dan pandangan metafisik alam.

20
Al Ghazali:Tahfut al- Falsafah, hlm. 20
21
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, hlm. 107
22
Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 63
23
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 135-136
7

B. Karya Ilmiah Imam Al-Ghazali


Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali selama hidup hampir 55 tahun dan
sudah memulai menulis buku sejak usia 20 tahun. Buku yang beliau tulis hampir 400
judul. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
1. Bidang Teologi
a. Hujjat al-Haq.
b. Al-Iqtisadfi’l-`tiqad.
c. Al-maqsad al-asna fi sharahasma’ Allahu al-husna.
d. Jawahir Al-Qur’an waduraruh.
e. Miskhat al-anwar.
f. Tafsir al-yaqut al-ta’wil.
2. Bidang Tasawuf
a. Mizan al-`amal.
b. Ihya’ ulumuddin.
c. Bidayat al-hiadayah.
d. Kimiya-yisa’adat.
e. Nasihat al-muluk.
f. Al-Munqidh min al-dalal.
g. Minhaj al-`Abidin.
h. Al-Risala al-Qudsiyya.
3. Bidang Falsafah
a. Maqasid al falasifa.
b. Tahafut al falasifa.
c. Mi’yar al-`ilm.
d. Mihak al-nazarfi`l-mantiq.
e. Al-Qistas al-mustaqim.
4. Bidang Fikih
a. Fatawy al-Ghazali.
b. Al-Wasit fi al-Mazhab.
c. Kitab Tahzib al-Isul.
d. Al-Mustafa min ‘ilm al-Usul.
8

e. Asas al-Qiyas.24

Menurut Abdurrahman Al-Badawi dalam bukunya yang berjudul Muallafat Al-


Ghazali, beliau mengklarifikasi kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya Al-
Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai
karya Al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang
diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 buah kitab. Ketiga, kelompok
kitab yang dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.
Berbeda dengan pernyataan di atas, Badawi mengatakan bahwa jumlah
karangan Al-Ghazali ada 47. Dan nama-nama buku tersebut adalah :
1) Ihya’ Ulum Ad-Din (membahasa ilmu-ilmu agama).
2) Tahafut Al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi
agama).
3) Al-Iqtishad fi Al-`Itiqad (inti ilmu ahli kalam).
4) Al-Munqid min Adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
5) Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia terkandung dalam Al-Qur’an).
6) Mizan Al-Amal (tentang falsafah keagamaan).
7) Al-maqsad al-asna fi sharahasma’ Allahu al-husna.(tentang arti nama-
nama Tuhan).
8) Faishal Al-Tafriq Baina Al-Islam wa Al-Zindiqah (perbedaan islam dan
zindiq).
9) Al-Qishah Al-Mustaqim Al-Mustadhhiry (jalan untuk mengatasi
perselisihan pendapat).
10) Hujjat Al-Alaq (dalil yang benar).
11) Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah
ushuluddin ).
12) Kimiya As-Sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah).
13) Al-Basith (fiqh).
14) Al-Wasith (fiqh).
15) Al-Wajiz (fiqh).
16) Al-Khulusahah Al-Muktasharah (fiqh).
17) Yaqut At-ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid)

24
Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Depok : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 109-
111
9

18) Al-Mustasfa (ushul fiqh).


19) Al-Mankhul (ushul fiqh).
20) Al-Muntaha fi `ilmi Al-Jadal (cara berdebat yang baik).
21) Mi’yar Al-`ilmi (timbangan ilmu).
22) Al- Maqashid (yang dituju).
23) Al-madnunbihi `ala Ghairi Ahlihi.
24) Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan).
25) Mahku An-Nadhar.
26) Asraru `ilmi A-Din (rahasia ilmu keagamaan).
27) Minhaj Al-Abidin.
28) A-Darar Al-Fakhirah fi kasyafi `ulum Al-Akhirah (tasawuf).
29) Al-Anis fi Al-Wahdah (tasawuf).
30) Al-Qurbahila Allah `Azzawa Jalla (tasawuf).
31) Akhlaq Al-Abrar (tasawuf).
32) Bidayat Al-Hidayah (tasawuf).
33) A-Arba’in fi Ushuluddin (ushuluddin).
34) Adz-Dzari’ahila Mahakim Asy-Syari’ah (pintu kepengadilan surga).
35) Al-Mabadiwa Al-Ghayat (permulaan dan tujuan).
36) Talbisu Iblis (tipu daya iblis).
37) Nasihihat Al-Muluk (nasihat bagi raja-raja)
38) Syifa’u Al-`Alil fi Al-Qiyaswa At-Talil (ushul fiqh).
39) Iljam Al-Awwam `an `ilmi Al-Kalam (ushuluddin).
40) Al-Intishar lima fi Al-Ajnas min Al-Asrar (rahasia-rahasia alam)
41) Al-`Ulum Laduniyah (ilmu laduni).
42) Ar-Risalah Al-Qudsiyah.
43) Isbat An-Nadhar.
44) Al-Ma’akhidz (tempat pengambilan).
45) Al-Qaul Al-Jamil fi Ar-Raddi `Ala Man Ghayyara Al-Injil (perkataan yang
baik bagi orang yang mengubah injil).
46) Al-`Amali.
Terlepas dari adanya perbedaan diatas, kedua pernyataan tersebut member
indikasi bahwa Al-Ghazali memang banyak mengarang buku.25

25
Juhaya , Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, Ajarannya, (Bandung: 2000), hlm. 152-154.
10

C. Pemikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Islam

Menurut Al-Ghazali pendidikan merupakan salah satu cara seorang hamba


untuk mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan mahkota kemuliaan. Hal
tersebut tertuang dalam kata bijak yang pernah dinyatakannya, “selama ilmu itu
dimiliki seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi
lebih dekat kepada Allah”. Adapun pendidikan dalam dunia sosial dapat memajukan
kehidupan sosial manusia agar lebih bermartabat, sebab itu dia menegaskan “bahwa
tinggi rendahnya kehidupan manusia sangat ditentukan oleh sifat penguasaan ilmu
pengetahuan”. 26
Al-Ghazali sangat percaya pendidikan sangat bermanfaat bagi pelakunya
dengan rumusan, pendidikan harus mengedepankan pembersihan jiwa dari noda-noda
akhlak dan sifat tercela, sebab “ilmu itu merupakan ibadah hati shalatnya nurani dan
pendekatan jiwa menuju Allah”
Dari penjabaran di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa gaya pemikiran Al-
Ghazali cenderung ke sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah, karena berdasarkan
analisisnya ciri khas pendidikan Islam lebih fokus pada penanaman nilai moralitas
yang dibangun dari cabang-cabang akhlak Islam. Dalam kitab Mizan Al-A’mal, Al-
Ghazali menjelaskan dua cara memperoleh ilmu dalam pendidikan dengan cara yaitu:
pengilhaman dari Tuhan atau biasa yang kita kenal dengan ilmu laduni, dan dengan
cara belajar.
Pemikiran Imam Al-Ghazali mengenai urgentnya pendidikan terdiri dari 5
aspek utama yakni:
1. Pendidikan dalam aspek kerohanian (keimanan)
2. Pendidikan dalam aspek perilaku (akhlak)
3. Pendidikan dalam aspek pengembangan (intelektualitas dan kecerdasannya)
4. Pendidikan dalam aspek social-engineering (rekayasa sosial)
5. Pendidikan dalam aspek biologis manusia atau kejasmaniahan.
Selama kepemimpinannya di Madrasah Nizhamiyyah di Baghdad, Al-Ghazali
melanjutkan kebijakan kependidikan pendahulunya, yang dengan menerapkan sistem
pendidikan berkelas sesuai dengan tingkat kompetensi siswa.

26
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia , 2009), hlm. 223
11

Pada tingkat dasar diajarkan ilmu-ilmu alat, seperti bahasa (qawad’id al-lighah),
logika (ilmu mantiq), matematika (ilmu hisab), dan sebagainya. Selanjutnya diajarkan
ilmu fiqih dan ushulnya. Tingkat tinggi diajarkan ilmu kalam dan perangkat keilmuan
jadal (retorika debat). Adapun titik penekanan pengajarannya terfokus pada fiqh
syafi’i dan kalam Asy’ari. Pada periode Nisabur, setelah berkhalwat di
Damaskus, Al-Ghazali menyempurnakan silabus tersebut dengan menekankan
tasawuf Junaid Baghdadi. Hingga saat ini, seluruh pendidikan berciri Sunni
menekankan pada tiga aspek pokok tersebut, yaitu fiqih Syafi’i, kalam Asy’ari dan
tasawuf Junaid Baghdadi. Sedangkan filsafat dibatasi karena berpotensi besar
membuat sesat orang yang mempelajarinya. Dalam Ihya ‘Ulumiddin, Al-Ghazali
mengajarkan tentang pentingnya memperhatikan perkembangan usia murid.
Menurutnya, pada usia anak-anak hingga 14 tahun, anak membutuhkan waktu lebih
banyak untuk bermain. Maka jika anak merasa lelah dengan pelajaran teoritis, guru
hendaknya mengakhiri materinya, dan menyediakan waktu untuk istirahat bermain.
Menurutnya, bermain bagi anak-anak adalah aktivitas terpenting memacu kecerdasan
berpikir anak, karena melalui itulah kreativitas anak dapat tumbuh dan berkembang.
Jika dorongan (gharizah) bermain itu dikekang, maka kreativitas anak sulit
berkembang, dan berpotensi tumbuh menjadi orang yang perusak (destruktif).27

Dalam hal pembelajaran, Al-Ghazali sangat menekankan aspek adab antara


guru dan murid. Menurutnya, guru hendaknya memiliki sifat kasih sayang terhadap
murid-muridnya, dan memperlakukan mereka dengan lemah lembut seperti mereka
memperlakukan anaknya sendiri. Guru juga hendaknya berlaku jujur terhadap
murid-muridnya, seperti perwujudan sikap mental seorang yang berilmu (‘alim).

Menurut Al-Ghazali, seorang alim hendaknya berkomitmen terhadap


ilmunya dengan berbuat sesuai dengan ilmunya. Seorang alim juga hendaknya dapat
menimbulkan motivasi yang tinggi kepada orang lain agar memiliki semangat
yang tinggi untuk menuntut ilmu. Tidak gengsi mengatakan tidak tahu jika
memang tidak tahu. Tidak mengatakan suatu kebenaran kepada orang yang diyakini
tidak memiliki kemampuan (Istitha’ah) dalam memahami dan mengamalkan
kebenaran tersebut, seperti kebenaran konseptual/ filosofis dalam masalah ilmu
kalam.

27
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin Jilid 1, (Kairo: Darul Ihya’,t.t), hlm. 49-50
12

Seorang alim juga hendaknya adalah pendengar yang baik, sehingga dapat
menghargai pendapat orang lain; dan bersedia menerima suatu argumen yang benar
sekalipun datang dari lawan debat.28

Al- Ghazali memberikan kriteria seorang seorang pendidik. Agar berhasil


mencapai tujuan pendidikan, antara lain:

1. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya.


2. Guru jangan mengharapkan upah (materi) sebagai tujuan utama dari
pekerjaannya (mengajar), karena upahnya terletak pada terbentuknya anak
didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
3. Guru harus memotivasi muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yakni
membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
4. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual
dan daya tangkap anak didiknya.
5. Guru harus mengamalkan ilmu yang diajarkannya dan memberikan contoh
yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlaq
mulia.
6. Guru harus menanamkan keimanan kepribadian anak didiknya, sehingga akal
pikiran anak didik tersebut dijiwai oleh keimanan itu.
Dalam kitab Fatihatul ‘Ulum, sebagaimana dikutip oleh Nakosteen, Al-
Ghazali berpesan agar guru tidak membiarkan murid-muridnya bertingkah laku
buruk. Akan tetapi, dalam menegur murid, jangan sampai mempermalukannya di
hadapan orang banyak. Guru tidak sepantasnya mencaci maki muridnya, karena
akan meruntuhkan mentalnya, dan justru dapat memprovokasi murid tersebut
berlaku lebih buruk. Guru juga hendaknya tidak membiarkan keburukan guru
lain kepada muridnya. Guru juga hendaknya menghindari mengajarkan sesuatu yang
berada di luar kemampuan muridnya.

28
Al-Ghazali, Al-Adab fid-Din, (Beirut: Al-Makatabah Al-Sya’biyah, t.t.), hlm. 152
13

Guru hendaknya memberikan teladan yang baik kepada muridnya. Guru juga
hendaknya dapat membimbing muridnya agar memilih lingkungan pergaulan yang
baik, dan menghindari mereka dari teman-teman yang buruk, karena lingkungan
pergaulan yang buruk akan berdampak buruk pula bagi murid.29

Namun demikian, selain memperhatikan hubungan guru murid, serta


lingkungan, Al-Ghazali sangat menekankan peran orang tua. Dalam Ihya’
Ulumuddin, Al-Ghazali menerangkan bahwa Orang tua bertanggung jawab
mendidik anaknya dengan benar. Di tangan mereka lah anak yang tak berdosa
dan nuraninya yang masih bersih itu diserahkan. Hatinya laksana kaca yang siap
memantulkan bayangan apapun yang diletakkan di depannya, dan meniru apa saja
yang dilihatnya. Ia dapat menjadi warga negara yang baik apabila dididik dengan
baik, dan ia dapat membahayakan orang lain apabila ia dididik dengan buruk.
Oleh karena itu, orang tua atau walinya memiliki tanggung jawab untuk
memperhatikan anak, karena orang tua akan ikut menanggung kebahagiaan atau
penderitaan sebagai buah perbuatan anaknya.30

Hendaklah anak dibiasakan untuk bersusah payah, jangan dibiasakan dalam


segala kemudahan. Hendaklah ditanamkan sifat-sifat hormat, sederhana dan
kesungguhan dalam dirinya. Hendaklah ia dijaga supaya tidak menggemari uang dan
harta benda lainnya, karena itu adalah langkah yang dapat menuju kepada
pertengkaran. Apabila ia telah besar, maka serahkanlah ia kepada guru yang unggul
dan baik untuk mengajarkannya ilmu yang bermanfaat dan menuju kepada jalan yang
benar. Menyerahkan anak kepada guru yang bodoh adalah sama jahatnya dengan
menjerumuskan anak ke dalam kebodohan.31

29
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. Ke-1,
hlm. 127

30
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin…….. hlm. 55

31
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, hlm. 130-131
14

Adapun adab seorang murid, hendaknya khusyu’ mendengarkan kata-kata


guru, mencatat hal-hal yang perlu dan baik, berprasangka baik kepada guru,
menangkap kandungan pelajaran yang diberikan guru, tidak menyela pembicaraan
guru, bertanya ketika guru telah selesai berbicara, tidak berkata keras dan kasar,
tidak membandingkan/ mengadu-domba pendapat guru satu dengan yang lainnya,
dan menunjukkan kesungguhan belajar. Dalam kitab Mizanul ‘Amal, Al-Ghazali
mengembangkan psikologi asosional, Menurutnya :

1. Akal terletak di otak sebagaimana raja di tengah kerajaannya.


2. Daya kreatif terletak di otak depan seperti kepala kantor pos memanejemen
para kurir.
3. Daya ingat terletak di otak belakang seperti pelayan yang selalu berada di
belakang tuannya.
4. Daya bicara seperti penerjemah dalam menyampaikan akal pikiran.
5. Panca indera seperti mata-mata yang memeriksa sumber berita dan
kebenarannya.32

Muhammad Hozien menjelaskan bahwa salah satu tema pendidikan


terpenting dari Al-Ghazali adalah pentingnya riyadhah (pendisiplinan/ pembiasaan)
dan tarbiyah (pengaturan kegiatan pembelajaran), sehingga jiwa seseorang
terkondisikan untuk selalu haus akan ilmu, dan tidak cepat berputus asa dalam
memahami semua yang sulit. Hanya dengan cara itulah potensi akal manusia
dapat tumbuh secara optimal.

32
Ibid . hlm. 127
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Ghazali lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana.
Ayahnya seorang pemintal dan penjual wol yang hasilnya digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan para fuqaha serta orang-orang yang
membutuhkan pertolongannya, dan juga seorang pengamal tasawuf yang hidup
sederhana. Al-Ghazali merupakan figur yang tidak asing dalam dunia pemikiran
Islam, karena begitu banyak orang menemukan namanya berbagai literatur, baik
klasik maupun modern. Dan perjalanan pendidikan keilmuan Imam Al-Ghazali
diawali dengan belajar Al Qur’an, al Hadist, riwayat para wali dan kondisi kejiwaan
mereka pada seorang sufi yang juga teman ayahnya.

Selain itu dari penjabaran diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa gaya
pemikiran Al-Ghazali cenderung ke sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah, karena
berdasarkan analisisnya ciri khas pendidikan Islam lebih fokus pada penanaman nilai
moralitas yang dibangun dari cabang-cabang akhlak Islam.Pemikiran Imam Al-Ghazali
mengenai urgentnya pendidikan terdiri dari 5 aspek utama yakni:

1. Pendidikan dalam aspek kerohanian (keimanan)


2. Pendidikan dalam aspek perilaku (akhlak)
3. Pendidikan dalam aspek pengembangan (intelektualitas dan kecerdasannya)
4. Pendidikan dalam aspek social-engineering (rekayasa sosial)
5. Pendidikan dalam aspek biologis manusia atau kejasmaniahan.

Al-Ghazali juga banyak menciptakan banyak karya dalam bidang teologi,


bidang tasawuf, bidang falsafah, bidang fikih dan masih banyak lagi yang lainnya.

15
16

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, kami berharap akan menambah wawasan ilmu-
ilmu filsafat terutama tentang ilmuwan-ilmuwan Islam dalam Filsafat Pendidkan
Islam. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk
menjadi sempurna untuk menjadi sempurna, kami membutuhkan saran dan masukan
dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Djalaludin, dan Usman Said. 1999. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan
Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grasindo.

Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Assegaf, Rohman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Depok: PT. Raja Grasindo
Persada.

Juhaya. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.k

Arifin, H. M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam, cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara

‘Atiyyah al-Abrashi, Muhammad. 1975. al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa falsafatuha, cet. ke-


3. Mesir: Tsa al-Bab al-Halaby

17

Anda mungkin juga menyukai