Pendahuluan
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam
studi yurisprudensi Islam adalah konsep maslahat sebagai tujuan penetapan hukum
Islam. Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan - kalau tidak malah
merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dipahami dari
buku-buku usul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir
ini dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat
sebagai tujuan tasyri' sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi.
Salah satu teori yang memperhatikan maslahat secara mutlak, baik terhadap
masalah hukum Islam yang ada nasnya maupun masalah hukum yang tidak ada
nasnya dalam lapangan hukum mu’amalah. Teori maslahat demikian ini
dikemukakan oleh Najamuddin at-Tufi.
Pemikiran at-Tufi tentang maslahat tersebut dinilai sebagai termasuk kategori
maslahat mursalah, ada pula yang menuduh pemikiran at-Tufi di atas sebagai
1
pandangan kaum Syi'ah , dan dianggap berbahaya untuk diterapkan karena secara
2
akan berakibat mengikuti hawa nafsu dan menghalalkan yang haram dengan dalih
maslahat. 4
Akan tetapi di samping penilaian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa
teori at-Tufi tentang maslahat di atas merupakan suatu teori yang memperhatikan
maslahat secara mutlak, baik dalam lapangan hukum yang ada nasnya maupun yang
tidak ada nasnya dalam lapangan kehidupan antarasesama manusia - mu'amalah. 5
Dengan kata lain, bahwa maslahat at-Tufi tidak hanya berlaku pada persoalan hukum
yang tidak ada nasnya, juga berlaku pada lapangan yang ada nasnya dalam bidang
mu'amalah. 6
Juni 1999 dan pemilu 2004 yang lalu di Indonesia muncul pro dan kontra terhadap
boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden. Baik sikap pro maupun kontra tentu
juga dilandasi argumen-argumen yang mengandung pertimbangan maslahat.
Akan tetapi sejalan dengan kecenderungan umum yang ada di tengah-tengah
masyarakat sekarang ini menuntut semakin ditingkatkannya peran maslahat dalam
berbagai pertimbangan penetapan hukum Islam. Oleh karena itu, untuk memenuhi
8
22Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi ( Mesir:
Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), hlm.13-18.
23Ibid, hlm.23.
24Ibid, hlm.23-24.
25Ibid, hlm.24.
26Ibid, hlm.25
adalah maslahat, sebagaimana telah kami tetapkan. Maslahat dan dalil-dalil syari'at
lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu
baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum
daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya
orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya,
peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus
dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil
syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada
kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat.
Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat,
lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh
mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika
ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat
atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la
dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk
memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib
didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan
harus didahulukan daripada sarana.27
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak
Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam
ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan
petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah
diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan
sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh
tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya
dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan
akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka
tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya
dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah
perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk
maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.28
Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat
manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan
pengertiannya. Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil
syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya
kami lebih mendahulukan maslahat.29
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa
maslahat-maslahat yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di
dalam masalah ibadat. Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan
sosial kaum mukallaf dan hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka
melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at
27Ibid, hlm.44-45.
28Ibid, hlm.47.
29Ibid.
yang tidak menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah
membolehkan kami untuk mencari maslahat sendiri.
Maslahat at-Tufi Sebagai Sebuah Metode
Pandangan at-Tufi - tentang maslahat - nampaknya bertitik tolak dari konsep
maqasid at- tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk
mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh
para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup
populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."30
Karena begitu pentignya maqasid al-syariah tersebut, para ahli teori hukum
menjadikan maqasid al- syariah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria
lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqasid
al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan
atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari
maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus bermuara kepada maslahat. untuk memahami hakikat dan peranan maqasid
al-syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut.
Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul
al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al- syari'ah dalam
menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat
dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar
tujuan Allah mengeluarkan perint ah-perintah dan larangan-larangan-Nya.31
Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syari'ah itu dalam
hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang
masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), makramat (tersier),
sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak
termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Dengan demikian pada prinsipnya
32
al-Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat,
hajiyat dan makramat (tahsiniyah).
Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali.
Al-Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan
al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas yang dalam pembahasannya yang lain, ia
33
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi
35
al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi
tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah
36
tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat,
dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus
38
Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa Izzuddin ibn Abd al-Salam telah
berusaha mengembangkan konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari
maqasid al- syari'ah.
Pembahasan tentang maqasid al- syari'ah secara khusus, sistematis dan jelas
dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al- Muwafaqat
yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya
mengenai maqasid al-syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun
menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan
bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya
maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam
bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum
tersebut. Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala
40
prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat. Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Gazali,
41
yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 42
Alquran , sunnah dan ijma' jika penerapan nas Alquran, sunnah dan ijma' itu akan
menyusahkan manusia. Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat
45
37Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam (Kairo: al-Istiqamat,
t.t),I:9.
38Ibid.II:60 dan 62.
39Ibid.
40Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) II:4.
41Ibid.
42Ibid, II:5.
43Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia
(Medan :Pustaka Widyasarana,1995),hlm.34-35.
44Ibid.
45Najmuddin at-Tufi, Syarh, hlm.46.
46Ibid, hlm.48.
empat prinsip , yaitu :
47
55Ibid. hlm.97-98.
56Ibid. hlm.98.
Kalau acuan hukum- juga hukum dalam kacamata Islam, yakni syari'at-
adalah maslahat keadilan, pertanyaan yang akan segera muncul adalah, bagaimana
"maslahat, atau keadilan" itu dapat didefinisikan, dan siapa punya otoritas untuk
mendefinisikannya. Tidak syak lagi, pertanyaan ini sangat penting dan menentukan.
Gagal menjawab pertanyaan ini, akan kembali berimplikasi untuk memperkatakan
bahwa maslahat-keadilan sebagai tujuan syari,at (hukum), telah dijadikan tujuan bagi
dirinya sendiri. Maslahat keadilan hanya jargon kosong belaka.
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu membedakan antara
maslahat yang bersifat "individu subyektif" dengan maslahat yang bersifat
"sosial-obyektif".Maslahat yang bersifat individual-subyektif, adalah maslahat yang
menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial bersifat independen, dan
terpisah, dengan kepentingan orang lain. Dalam maslahat kategori ini, karena sifatnya
yang sangat subyektif, yang berhak menentukan dan sekaligus sebagai hakimnya
tentu saja adalah pribadi bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang
berhak menentukan apa yang secara personal-subyektif dianggap maslahat oleh
seseorang.57
Sedangkan maslahat yang bersifat sosial-obyektif adalah maslahat yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang berhak
memberikan penilaian yang dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang
banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan
(ijma'). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian
maslahat melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang
banyak, di mana kita merupakan bagian daripadanya, itulah hukum tertinggi yang
mengikat.
Kalau dipertanyakan kedudukan hukum atau ketentuan-ketentuan
legal-normatif yang ditawarkan oleh wahyu (teks Alquran atau hadis), kedudukannya
adalah sebagai material yang - juga dengan logika maslahat sosial yang obyektif,
bukan dengan logika kekuatan atau kepercayaan yang subyektif,- masih harus dibawa
untuk ditentukan statusnya ke dalam lembaga permusyawaratan. Apabila kita berhasil
membawanya sebagai bagian dari kesepakatan orang banyak, ia berfungsi sebagai
hukum yang secara formal-positif mengikat. Akan tetapi, apabila gagal
memperjuangkannya sebagai kesepakatan, daya ikatnya tentu saja hanya terbatas
pada orang-orang yang mempercayainya. Dan daya ikat seperti ini paling jauh hanya
bersifat moral-subyektif, tidak bisa sekaligus formal-obyektif.
Memang, dengan mempertaruhkan "maslahat dan sekaligus norma hukum
yang bersumber padanya" pada ijma' lembaga syura, atau keputusan lembaga
parlemen dalam terma ketata-negaraan modern, bukan tidak ada kelemahannya.
Tidak jarang apa yang disebut kesepakatan lembaga syura, parlemen, ternyata hanya
merupakan hasil rekayasa segelintir elit yang berkuasa. Akan tetapi inilah tantangan
yang harus dihadapi oleh umat Islam, yang sebenarnya adalah juga tantangan bagi
rakyat-manusia di mana pun mereka berada. Yakni, bagaimana mereka bisa
mengusahakan tumbuhnya satu pranata kesepakatan umat, di mana rakyat- secara
langsung atau melalui wakilnya- dapat mengemukakan pendapat dan pilihannya
perihal tata-kehidupan yang menurut mereka lebih mencerminkan cita maslahat dan
57Ibid. hlm.99.
keadilan.58
Menurut at-Tufi dari sembilan belas macam dalil, dalil terkuat adalah nas dan
ijma'. Nas dan ijma' terkadang sesuai terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika
kenyataannya nas dan ijma' selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi.
Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus atas suatu ketetapan
hukum, yaitu nas,ijma' dan maslahat, yang diambil dari kandungan hadis Nabi saw.
la darara wa la dirara. Jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan
adalah penggunaan maslahat daripada nas dan ijma'. Caranya ialah mengadakan
takhsis atau tabyin terhadap pengertian nas dan ijma', tidak dengan membekukan
berlakunya nas dan ijma'. Sama halnya dengan tabyin Sunnah terhadap ayat Alquran,
kemudian mengamalkan pengertian Sunnah.59Lebih jauh lagi at-Tufi menyatakan
bahwa maslahat (dalam bidang mu'amalah) dan dalil-dalil syara' lainnya terkadang
senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, hal itu baik sekali- seperti senadanya
antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang kulli yang
berjumlah lima, yaitu dibunuhnya orang yang membunuh, orang murtad, dipotongnya
tangan pencuri, dihukumnya peminum dan orang yang menuduh orang baik
melakukan zina dan contoh-contoh lainnya. Akan tetapi jika ternyata maslahat berten-
tangan dengan nas dan ijma', jika mungkin hendaklah dikompromikan, dengan syarat
tidak boleh mempermainkan dalil. Jika tidak dapat dipadukan, yang didahulukan
adalah maslahat, sebab Nabi saw. bersabda "la darara wa la dirara", makna hadis ini
khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat dan untuk memelihara maslahat
yang menjadi tujuan utama syara', sedangkan dalil-dalil lainnya (nas sekalipun
penting) tidak ubahnya sebagai sarana. Oleh karena itu, tujuan harus lebih
diutamakan daripada sarana.60
Paradigma para ulama usul al-fiqh mengenai nas, realitas dan relasinya
dengan maslahat hukum Islam, terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu paradigma
ortodoksi dan paradigma realis.
Secara umum apa yang dikemukakan oleh para pembahas teori at-Tufi tentang
maslahat tersebut, adalah suatu fakta telah kembali didemonstrasikan, yaitu bahwa
keragu-raguan apalagi gugatan terhadap nas (teks ajaran) masih tetap merupakan
suatu yang sangat tabu dalam tradisi pemahaman agama di kalangan umat Islam.
Atau bahkan bukan hanya umat Islam, umat agama lain pun yang sama-sama
menempatkan orisinalitas ajaran (ortodoksi) sebagai ukuran tunggal bagi
keberagamaan akan bersikap sama. Bagi mereka, nas wahyu adalah wujud tunggal
bagi kebenaran mutlak yang harus dipedomani apa adanya (murni dan konsekuen).
Kecenderungan untuk bergeser sekalipun sedikit dari padanya atau menempatkan
ajaran lain sebagai pedoman ekstra di sampingnya adalah penyelewengan, suatu
kejahatan teologis yang tiada ampun (bid'ah atau khurafat).
Dalam semangat ortodoksi yang selalu dikejar adalah kesesuaian optimal
dengan bunyi ajaran, bagi umat Islam mempertanyakan validitas dan relevansi teks
doktrin adalah mustahil. Bahkan lebih mustahil dari segalanya adalah jika yang
dipertanyakan itu adalah induknya segala doktrin, yaitu ayat-ayat Alquran. Ribuan
judul buku atau kitab telah ditulis oleh para ulama dari berbagai generasi yang jika
58Ibid.
59At-Tufi, Syarh, hlm.17-18 dan Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm. 110-111.
60Ibid. hlm.46 dan Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm.141.
sekarang telah membaca kesemuanya, kitab buku-buku itu hampir tidak ada yang
bergeser dari missi tunggalnya, yaitu mencari argumentasi untuk mengukuhkan
relevansi dan validitas apa yang dikatakan oleh teks Alquran, kapan dan di mana saja.
Paradigma kaum ortodoksi terhadap konflik yang terjadi antara bunyi ajaran
dalam teks dengan realitas kehidupan adalah jelas, konflik itu harus diselesaikan
secepat mungkin dengan menaklukkan realitas kepada ajaran. Tugas menaklukkan
realitas yang menyeleweng dari ajaran inilah dikenal dengan missi amar makruf nahi
munkar.
Berdasarkan pengamatan sepintas terkesan bahwa masyarakat dengan
semangat ortodoksi adalah mayarakat yang idealis atau bahkan sangat idealis. Akan
tetapi ketika mereka harus memberikan treatment terhadap realitas yang nyata-nyata
berbeda dengan ketika teks ajaran itu turun, 14 abad yang lalu, mereka acapkali naif.
Dalam kaitan ini, untuk menyebut kaum ortodoksi sebagai kaum idealis mungkin
lebih tepat dengan kaum scriptualis karena yang sebenarnya mereka pedomani itu
bukan lagi ide yang menjiwai scriptualis (huruf dalam teks), tetapi scriptualis itu
sendiri.61
Berseberangan dengan pandangan ortodoksi adalah pandangan kelompok lain
yang titik tolaknya adalah "realitas". Jika yang tersebut pertama cita
keberagamaannya adalah menaklukkan realitas pada teks., yang tersebut terakhir
concernnya adalah memaklumi dan menerima "realitas", sekalipun untuk itu ajaran
dalam teks boleh jadi harus digugat atau dimodifikasi. Kalau ada yang berpendapat
bahwa pemikiran Muktazilah yang intelektualistik, dulu, merupakan pelopor dari
pandangan keagamaan yang realistik ini dapat disepakati. Dengan tesisnya yang
kontroversial bahwa "Quran itu makhluk", Muktazilah dan segenap pengikutnya
sebenarnya ingin mencari legitimasi (reasoning) jika pada suatu saat mereka harus
menggugat dan membuang begitu saja apa yang dikatakan oleh teks ajaran dalam
Alquran.
Benar juga, bahwa lawan utama kelompok Muktazilah adalah mayoritas umat
penganut ortodoksi yang ketika itu berada di bawah kepemimpinan ahli-ahli hadis
(muhaddisin) dengan tokoh utamanya Imam Ahmad bin Hambal. Seperti diketahui,
Imam Ahmad telah mempertaruhkan segala-galanya dalam menghadapi propaganda
Muktazilah, dan beliau meninggal di penjara demi tujuannya ini.62
Mungkin ada pertanyaan; Kenapa dalam berhadapan dengan Muktazilah
Imam Ahmad harus dipenjara? Jawabannya adalah: karena rupanya apa yang
disuarakan oleh Muktazilah tentang Alquran itu sejalan dengan kepentingan
"penguasa" yang punya penjara, ketika itu. Al-Makmun dan aparat birokrasi kekua-
saannya yang mewarisi tradisi otokratik kekaisaran Parsi memang ingin sekali bebas
dari campur tangan tokoh-tokoh agamawan yang tentu saja, selalu bersuara atas nama
kebenaran doktrin.63
Seperti halnya realis-Muktazilah, sekitar sebelas abad yang lalu, realis masa
kini jika punya silsilah yang erat dengan tradisi humanisme Barat, Yunani.
masalah-masalah fiqh, bahkan merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang
akan meng-istinbat-kan suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia
merupakan dasar bagi menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat.91 Banyak
hukum yamg di-istinbat-kan dari kaidah ini.
Berdasarkan contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la
darara wa la dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha
menjauhkan kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna
mewujudkan maslahat.92 Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la darara wa la
dirara, baik kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para
ulama guna mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap
orang yang akan meng-istinbat-kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat.
Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan
pada akhir setiap nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu
kerjakan ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat
demikian, melainkan bila maslahat menghendaki".93
Pendirian at-Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang
telah disebutkan dan didukung pula oleh nas-nas syara' lainnya, jika bertentangan
dengan dalil-dalil syara'- terutama nas dan tidak dapat dikompromikan - hendaklah
maslahat lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas dan ijma' atau
dalil-dalil syara' lainnya, bukan dengan cara mempermainkan dalil-dalil itu.
Pendirian at-Tufi ini, pada hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang
didukung oleh nas-nas syara' lainnya atas dalil-dalil syara' lainnya. Atau
88Masdar F. Mas'udi, "Memahami", hlm. 190.
89Kassim Ahmad, Hadis Satu Penilaian Semula, (Selangor: Media Intelek SDN BHD, 1986),
hlm. 53.
90H. Asjmuni Abdurrahman, Qa'idah-Qa'idah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm.85-97. Muhammad al-Madani, Mawatin al-Ijtihad Fi asy-Syari'at al-Islamiyah, (Quwait: Maktab
al-Manar, t.t.), hlm.8.
91Ibid. hlm.97.
92Ibid. hlm.455.
93T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,
1980),I:250.
meninggalkan dalil syara' karena ada dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikata-
kan, bahwa hadis di atas yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya, dapat dijadikan
sebagai dalil untuk pengecualian terhadap dalil-dalil syara' lainnya dalam rangka
mewujudkan dan memelihara maslahat. Teori meninggalkan suatu dalil karena ada
dalil yang lebih kuat atau mengecualikan dalil yang bersifat umum dengan dalil yang
bersifat khusus, oleh para ulama usul al-fiqh disebut istihsan.94 Metode istihsan ini
telah dipraktekkan oleh para ulama usul, terutama yang paling terkenal banyak
mempergunakannya adalah mazhab Hanafi.95 Istihsan ini dipergunakan dalam
penetapan hukum dalam bidang perdagangan, peradilan atau urusan kemasyarakatan,
politik dan lapangan hukum yang serupa. Oleh para ulama' usul, hukum-hukum
tersebut disebut hukum mu'amalah.96 Demikian pula halnya at-Tufi dengan teorinya
itu, hanya tertuju pada lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.
Tujuan segala hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun
lainnya, ialah memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan
dengan nas atau dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang
kedua-duanya dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan
syara' mendahulukan yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan.97.
Sebagaimana diketahui menurut at-Tufi bahwa dalam lapangan ibadah
merupakan hak mutlak Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia
hanya melaksanakan ibadah itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan.98
Dengan demikian dalil dalam bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah.
Berbeda dengan dalil dalam lapangan ibadah, dalil-dalil syara' dalam bidang
mu'amalat dan yang sejenisnya, dalam pandangan at-Tufi nilai efektivitasnya sebagai
sarana dapat diukur oleh akal pikiran manusia. Jika dalam saat tertentu (waktu) dan
kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan,
perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula tetap tercapai, yaitu maslahat.
Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial dan pertimbangan perubahan sosial
(social change) sebagai sarana untuk mencapai maslahat yang merupakan tujuan
Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. At-Tufi yang membedakan syari'at
menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan jalan keluar bahwa dalam
masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat
umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur darurat, illat-illat, adat, syarat karena
situasi tertentu.99
Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan
masyarakat modern yang dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung
dalam suatu hukum. Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah
itu sama atau masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di
mana hukum hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq
94Al-Majlis al-A'la li Ri'ayat al-Funun wa al-"Adabi wa 'Ulum al-Ijtima'iyah, Usbu' al-Fiqh
al-Islami wa Mahrajan al-Imam Ibnu Taimiyah, (Damaskus: M.A.L.R.F.A.U.I,1961), hlm.303.
95Ahmad Azhar Basjir, M.A., Hukum Adat, hlm.23.
96Ibrahim Zakki Hurrasyid, Ahmad asy-Syantawi, dkk., Dairat al-Ma'arif Islamiyah, (Beirut:
Dar al-Fikr,1933), III:236.
97T.M. Hasbi ,Falsafah, hlm. 371 dan al-Gazali, al-Mustafa min Ilm al-Usul, (Kairo:
al-Amiriyah, 1412 H), I:311-312.
98At-Tufi, Syarh, hlm. 48.
99Husni Rahim (Ed.): Buletin HPIS, Th. I No.01 Oktober 1988, hlm.4-5.
al-manat dalam usul al-fiqh, suatu metode penerapan Alquran dengan permasalahan
yang sedang dihadapi. Ia sangat erat hubungannya dengan ijtihad tatbiqi.100
Ijtihad tatbiqi, dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i,
terinci maupun yang bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam
menerapkan hukum yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang
melalui ijtihad mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut
kejeliannya apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang
sedang dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan.101
Dengan demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan
segala bentuk obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku perbuatan
dengan segala kondisi dan perubahannya.102
Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk
maslahat hidup manusia menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau
Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan
penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering
memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi
diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.103
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat
kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan
budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan,
yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang
berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi
seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan
warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum
nasional pada masa yang akan datang.104
Berpangkal tolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada
masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan
dihubungkan pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam
dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup
bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya
(mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma
hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi
asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai
norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi,
kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma
antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law)
masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam
100Satria Effendi M.Zen. "Hukum Islam: Perkembangan dan Pelaksanaannya di Indonesia"
Dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Peny.) Fiqh Indonesia dalam Tantangan (Surakarta:FIAI
UMS,1991), hlm.39.
101Ibid.
102Satria Effendi M.Zen, "Metodologi", hlm. 118.
103Ahmad Azhar Basyir, Pokok, hlm. 31-32.
104Padmo Wahjono,"Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa
Datang", dalam Amrullah Ahmad dkk (Ed)., Demensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Th. Prof.Dr.H. Busthanul Arifin, SH (Jakarta; Gema Insani Press, 1996), hlm.167.
berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan
maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya
cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan
dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi
berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat
banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya
faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru
yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita
atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang
merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas
suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting
adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara,
masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan
menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia
lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam
tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Penutup
Sebagai penutup dari pembahasan terdahulu, perlu dikemukakan
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: Pertama, problema umum dalam bidang
hukum Islam yang dihadapi kaum muslimin pada masa Najamuddin at-Tufi (675-716
H) adalah situasi taklid, jumud dan fanatisme mazhab yang menyebabkan hukum
Islam tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang timbul karena perubahan
zaman.Kedua, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum
Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan
bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan,
maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena maslahat
merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai
tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Ketiga, dalam
perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa
ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep
maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis serta dapat
dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar
bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi,
politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat
umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai
praktisi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Al Yasa. " Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial" dalam Fiqh Indonesia dalam
Tantangan .1991. Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Ed.). Surakarta: FIAI
UMS.
Afif, H.Abdul Wahhab. 1991. Fiqh (Hukum Islam) antara Pemikiran Teoritis dengan
Praktis. Bandung: Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Gunung Djati.
Ahmad, Kassim.1986. Hadis Satu Penilaian Semula. Selangor: Media Intelek SDN
BHD.
Amal, Taufik Adnan.1989. Islam dan Tantangan Modernitas Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.
Amidi, Saifuddin Ali Ibn Abu Ali al-.1914. al- Ihkam fi Usul al-Ahkam. Kairo: Dar
al-Ma'arif.
Amin, Ahmad. Tanpa Tahun. Duha al- Islam. Kairo: Maktabah an-Nahdah
al-Misriyah.
Amin, Muhammad. 1991. Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fiqh. Jakarta: INIS.
Amin, S.H. 1985. Islamic Law in The Contemporary World : Introduction, Glossary
and Bibliography. Glasgow College of Technology: Royston Limited.
Anderson, J.N.D.1976. Law Reform in the Muslim World. London : the Athlon Press.
----------, 1959. Islamic Law in the Modern World. New York: Greenwood Press.
Anwar, Syamsul. "Imamah Wanita dalam Pandangan Ulama Fiqh Siasah", Makalah
Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th.ke-11 , 1988/1989,23
Desember 1988.
Asir, Ibnu al. Tanpa Tahun. an-Nihayat fi al-Garib al-Hadis wa al-Asari. Beirut:
Dar al-Fikr.
Asqalani, Ibn Hajar.1349. ad- Durar al- Kaminah. India: Dar al-Ma'arif.
Bakri, Asafri Jaya. 1994. Konsep Maqasid asy-Syari'ah Menurut asy- Syatibi dan
Relevansinya dengan Ijtihad Hukum Dewasa ini (Disertasi). Jakarta: Program
Pascasarjana IAIN Jakarta.
Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Hukum Adat Bagi Umat Islam. Yogyakarta: Nur
Cahaya.
---------.1984. Pokok- Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: FH. UII.
Bek, al-Khudari. 1960. Tarikh at- Tasyri' Islam. Mesir: Maktabah at-Tijariyah.
Bukhari, al-. Tanpa Tahun. Matn al- Bukhari bi Hasyiah as- Sindi. Bandung: Syirkah
al-Ma'arif.
Buti, Muhammad Sa'id Ramdan al. 1977. Dawabit al- Maslahah fi asy-Syari'at
al-Islamiyah. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Daraini, Fathi ad.1975. al- Manahij al- Usuliyah fi al- Ijtihad bi ar-Ra'y fi al-Tasyri'.
Damsyik: Dar al-Kitab al-Hadis.
Dawalibi, Muhammad Ma'ruf ad. 1965. al- Madkhal ila Ilm Usul al- Fiqh. Beirut: Dar
al-Ilm li al-Malayin.
Hallaq, Wael B. The Primacy of the Quran in Syatibi Legal Theory dalam Wael B.
Hallaq dan Donal P. Little (Ed.). Islamic Studies Presented to Charles J.
Adams. 1991. Leiden : EJ. Brill.
Hanafi, Ahmad.1984. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Binatang
Hasan, Husein Hamid. 1971. Nazariyat al-Maslahah fi al- Fiqh al-Islami. Kairo: Dar
an-Nahdah al-Arabiyah.
Hurrasyid; Ibrahim Zakki, Ahmad asy-Syantawi, dkk. 1993. Dairat al- Ma'arif
al-Islamiyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Imad, Ibn al.Tanpa Tahun. Syazarat az-Zahab fi Akhbari Man Zahab. Beirut:
al-Maktab at-Tijari.
Jauziyah, Ibn al-Qayyim al. 1955. A'lam al- Muwaqi'in. Mesir: Maktabah at-Tijariyah.
Juwaini, Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-.1400.Al- Burhan fi Usul al-Fiqh.
Kairo:Dar al-Ansar.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1956. Ilm Usul al-Fiqh. Kairo: Matba'ah al-Istiqamah.
Khan, Qamaruddin. 1983. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. terj. Anas Mahyudin.
Bandung: Pustaka.
Lubis, Nur A. Fadhil.1995. Hukum Islam dalam Kerangka teori Fikih dan Tata
Hukum Indonesia Medan: Pustaka Widyasarana.
Mas'ud, Muhammad Khalid. 1977. Islamic Legal Philosophy : A Study of Abu Ishaq
Al-Syafi'i's life and Thought. Islamabad: Islamic Research Institute.
Mas'udi, Masdar F. "Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi"
dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. 1988. Jakarta: Pustaka Panjimas.
----------. "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah". Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Quran. No.3 Vol. VI. Th. 1995.
Mazkur, Salam. 1975. al-Wajiz li Ahkam al- Usrah fi al-Islami. Kairo: Dar
al-Madinah al-Arabiyah.
"Menyimpan Barang Dijual Kalau Harga Naik", Suara Muhammadiyah. No. 19 Th.
ke-68 (Oktober 1-1988), hlm. 8.
Nuruddin, Amiur. 1987. Ijtihad Umar bin Khattab Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam. Jakarta: Pers.
Qadri, Anwar Ahmad. Tanpa Tahun. Islamic Jurisprudence in the Modern World.
Pakistan : Bazar Lahore.
Qardawi, Yusuf al. 1980. Fiqh al- Zakah. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Rahim, Husni (Ed.). Buletin HPIS, Th. I No. 01 Oktober 1988. hlm.4-5.
Rahman, Fazlur. "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", dalam
International Journal of Middle Eastern Studies, Vol.I No.4,1970.
--------,"Islamic Studies and Future of Islam", Islamic Studies: A Tradition and Its
Problems, (Ed.). Malconim H. Kerr, California, 1980.hlm. 129.
Salam, Izzuddin ibn. Abd as.-Tanpa Tahun. Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.
Kairo: al-Istiqamat.
Salam, Zarkasyi Abdul dan Syamsul Anwar "Metode Penelitian dan Pengembangan
Ilmu Fiqh", Asy- Syir'ah No.3.Th.XV,1992 Yogyakarta: Fakultas Syari'ah
IAIN Sunan Kalijaga. hlm.5.
--------. 1966, Syari'at Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Bulan Bintang.
Stoddard, Lothrop. 1966. Dunia Baru Islam, terj. H.M. Muljadi Djojomartono, dkk.
Jakarta: Panitia Penerbit.
Syahrastani, Asy. Tanpa Tahun. al- Milal wa an-Nihal. Beirut: dar al-Fikr.
Syalabi, Muhammad Mustafa. 1981. Ta'lil al- Ahkam. Beirut: Dar an-Nahdah.
Syaukani, Muhammad Ibn Ali asy-. Tanpa Tahun. Irsyad al- Fuhul. Kairo : Dar
at-Taba'ah al-Munirah.
Tim. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam . Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve.
Tufi, Najamuddin at. Syarh al-Hadis Arba'in an- Nawaiyah dalam Mustafa Zaid.
1954. al-Maslahat fi at- Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at- Tufi.(Bagian
Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.
Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Watt, W.Montgomary. 1974. The Majesty That Was Islam. London: Sidgwick &
Jackson.
Waardenburg, J. "Reformers and Reform Movements in 19th and 20th Century Islam
Reconsidered", disampaikan pada 15th Int. Congress IAHR History of
Religious, Sydney 18-24 August 1985.
Yamani, Ahmad Zaki. 1986. Syari'at yang Abadi Menjawab Tantangan Zaman. terj.
Mahyuddin Syaf. Bandung: al-Ma'arif.
Yusuf, Abu. 1979. al-Kharaj. Beirut: Dar al-Ma'arifah.
Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun. Ibnu Hanbal Hayatuhu. Mesir Dar al-Fikr
al-Arabi.
--------. 1958. Usul al- Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.
Zaid, Mustafa. 1954. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al- Islam wa Najamuddin at- Tufi.
Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.
Zaidan, Abdul Karim. 1970. al-Wajiz fi Usul al- Fiqh. Bagdad: Matba'ah al-Ani.
Zuhaili, Wahbah. Tanpa Tahun. Usul al- Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.
Zen, Satria Effendi M.. 1991. " Hukum Islam Perkembangan dan Pelaksanaannya di
Indonesia", dalan Ari Anshari dan Slamet Warsidi (Ed.). Fiqh Indonesia
dalam Tantangan. Surakarta: FIAI UMS. hlm. 39.
----------. 1996. "Metodologi Hukum Islam". dalam Amrullah Ahmad dkk (Ed.).
Dimensi Hukum Islam Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65
Th Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 119.