Anda di halaman 1dari 33

AT-TUFI DAN TEORINYA TENTANG MASLAHAT



Oleh: Yusdani

Pendahuluan
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam
studi yurisprudensi Islam adalah konsep maslahat sebagai tujuan penetapan hukum
Islam. Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan - kalau tidak malah
merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dipahami dari
buku-buku usul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir
ini dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat
sebagai tujuan tasyri' sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi.
Salah satu teori yang memperhatikan maslahat secara mutlak, baik terhadap
masalah hukum Islam yang ada nasnya maupun masalah hukum yang tidak ada
nasnya dalam lapangan hukum mu’amalah. Teori maslahat demikian ini
dikemukakan oleh Najamuddin at-Tufi.
Pemikiran at-Tufi tentang maslahat tersebut dinilai sebagai termasuk kategori
maslahat mursalah, ada pula yang menuduh pemikiran at-Tufi di atas sebagai
1

pandangan kaum Syi'ah , dan dianggap berbahaya untuk diterapkan karena secara
2

apriori telah mengemukakan kemungkinan terjadinya pertentangan antara nas dengan


maslahat , bahkan ada yang beranggapan pula bahwa penerapan maslahat at-Tufi
3

akan berakibat mengikuti hawa nafsu dan menghalalkan yang haram dengan dalih
maslahat. 4

Akan tetapi di samping penilaian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa
teori at-Tufi tentang maslahat di atas merupakan suatu teori yang memperhatikan
maslahat secara mutlak, baik dalam lapangan hukum yang ada nasnya maupun yang
tidak ada nasnya dalam lapangan kehidupan antarasesama manusia - mu'amalah. 5

Dengan kata lain, bahwa maslahat at-Tufi tidak hanya berlaku pada persoalan hukum
yang tidak ada nasnya, juga berlaku pada lapangan yang ada nasnya dalam bidang
mu'amalah. 6

Pengamat dan penulis kontemporer dalam bidang hukum Islam pada


umumnya dan usul al- fiqh pada khususnya, kembali menjadikan teori tentang
maslahat sebagai referensinya. Terutama pada tahun 80-an di Indonesia pernah terjadi
·•Makalah disampaikan pada Acara Bedah Metodologi Kitab Kuning Seri Usul al-Fiqh
Humanis yang diadakan oleh Pusat Studi Islam UII, Selasa, 7 September 2004 bertempat di Ruang
Sidang I Kampus UII Jl. Cik Ditiro No. 1 Yogyakarta.
*∗Ketua Divisi Kajian dan Penelitian PSI UII dan Dosen Tetap FIAI UII.
1Mustafa Zaid, al-Maslahah fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najamuddin at-Tufi, (Mesir: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1954), hlm.113.
2Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hanbal wa Asaruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr
al-Arabi, t.t.), hlm.361.
3Ahmad Zaki Yamani, Syari'at Islam yang Abadi Menjawab tantangan Masa
Kini,terj.Mahyuddin Syaf (Bandung: Alma'arif, 1986),hlm.51-52.
4Mustafa Zaid, al-Maslahah, hlm.164.
5Muhammad Mustafa Syalabi, Ta'lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Nahdah, 1981), hlm.292.
6Abdul Wahhab Khallaf, Masadir at-Tasyri'i al-Islami fi wa la Nassa fihi, (Quwait: Dar
al-Qalam,1972), hlm.89.
pro dan kontra terhadap ide reaktualisasi ajaran Islam , dan setelah pemilu pada bulan
7

Juni 1999 dan pemilu 2004 yang lalu di Indonesia muncul pro dan kontra terhadap
boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden. Baik sikap pro maupun kontra tentu
juga dilandasi argumen-argumen yang mengandung pertimbangan maslahat.
Akan tetapi sejalan dengan kecenderungan umum yang ada di tengah-tengah
masyarakat sekarang ini menuntut semakin ditingkatkannya peran maslahat dalam
berbagai pertimbangan penetapan hukum Islam. Oleh karena itu, untuk memenuhi
8

tuntutan tersebut, perlu dirumuskan metode dan alternatif pengembangan konsep


maslahat di atas secara bertanggung jawab jika dikaitkan dengan kebutuhan legislasi
muslim kontemporer, seperti dalam masalah politik, hukum, ekonomi dan
sebagainya.
Sketsa Biografi Singkat dan Karya
Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin Abd
al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Bagdadi al-Hanbali, yang
terkenal dengan nama at-Tufi. Sebenarnya Tufi adalah nama sebuah desa di daerah
sarsar Irak,9 dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan. Di samping tokoh tersebut
terkenal dengan nama at-Tufi, juga populer dengan nama Ibn Abu 'Abbas.10
At-Tufi lahir diperkirakan pada tahun 657 H (1259 M)11 dan meninggal pada
tahun 716 H (1318 M).12 Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa tokoh ini lahir
setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Bagdad yang dipimpin oleh
Khulagu Khan pada tahun 1258 M.13 Jatuhnya kota Bagdad oleh serangan tentara
Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah kaum
muslimin,sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin. Jatuhnya Bagdad di atas
dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak berdaya. Tidak seorangpun yang
dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada malapetaka ini.
Akibatnya adalah integritas politik dunia Islam betul-betul berantakan.14
Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan tulisan
ini hidup dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik-cabik, juga at-Tufi
hidup dalam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam. Fase
kemunduran hukum Islam berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad keempat
Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama kurang
berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali
hukum-hukum Islam langsung dari sumber-sumbernya yang pokok, yaitu Qur'an dan

7H. Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina,1997), hlm.45.


8Akh. Minhaji, "Prof. K.H. Ali Yafie dan Fiqh Indonesia", dalam Jurnal Hukum Islam
Al-Mawarid EdisiVI Desember 1997. hlm.11,
9Ibnu al-Imad, Syazarat az-Zahab fi Akhbari Man Zahab, (Beirut : al-Maktab at-Tijari,t.t.),
V: 39.
10Ibn Hajar, Ad-Durar al-Kaminah, (India : Dar al-Ma'arif, 1314 H),II:154.
11Mustafa Zaid,Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Mesir: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1959), hlm.68.
12Abd. al-Wahhab Khallaf, Masadir at-Tasyri' fima la Nassa fih, (Kuwait:Dar al-Qalam,
1972), hlm. 105.
13Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk.
(Jakarta: Panitia Penerbit,1966),hlm.29.
14Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah,terjemahan Anas Mahyuddin,
(Bandung : Pustaka,1983), hlm.37-38.
Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil syara'. Mereka
merasa cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh imam-imam
mujtahid sebelumnya, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad. Berbagai
faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan
mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai fikiran independen,
melainkan harus bertaklid.15
Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam ketika itu
menjadi beberapa negeri kecil, dan negeri-negeri tersebut selalu sibuk perang,
fitnah-memfitnah dan kehilangan ketenteraman masyarakat. Salah satu implikasinya
ialah kurangnya perhatian terhadap kamajuan ilmu.
Pada fase sebelumnya telah timbul mazhab-mazhab hukum Islam yang
mempunyai metode dan cara berpikir sendiri di bawah seorang imam mujtahid.
Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut mazhab-mazhab tersebut
berusaha membela mazhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar mazhab maupun
pendapat-pendapatnya, dengan cara mengemukakan kebenaran pendirian mazhabnya
dan, menyalahkan pendirian mazhab lain atau dengan cara memuji-muji imam pendiri
mazhab yang dianutnya. Dengan usaha-usaha tersebut, seseorang tidak lagi
mengarahkan perhatiannya kepada sumber hukum yang utama, yaitu Qur'an dan
Hadis, dan baru memakai nas-nas kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat
imamnya, meskipun kadang-kadang harus melalui pemahaman yang tidak
semestinya. Dengan demikian, kepribadian seseorang menjadi lebur dalam
golongannya dan kebebasan berpikir menjadi hapus. Orang-orang berilmu akhirnya
menjadi orang-orang awam yang mencukupkan dengan taqlid. Sudah barang tentu
fanatik terhadap suatu pikiran menyebabkan pikiran seseorang kaku.
Pembukuan pendapat-pendapat mazhab menyebabkan orang mudah untuk
mencarinya. Pada fase-fase sebelumnya para fuqaha harus berijtihad karena
dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya. Setelah ijtihad-ijtihad mereka
dibukukan, bagi orang-orang yang datang kemudian hanya mencukupkan dengan
pendapat yang telah ada .
Pada masa-masa sebelumnya, hakim-hakim terdiri dari orang-orang yang bisa
melakukan ijtihad. Akan tetapi pada masa selanjutnya hakim-hakim diangkat dari
orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai mazhab tertentu dan terputus
hubungannya dengan mazhab yang tidak dipakai di peradilan. Apalagi hakim-hakim
yang bisa berijtihad seringkali keputusannya menjadi sasaran kritik
penganut-penganut mazhab tertentu. Dengan terikatnya seorang hakim pada mazhab
fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang banyak merasa puas
terhadap mazhab tersebut.16
Oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan jaminan agar ijtihad jangan
sampai digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak, timbullah kekacauan dalam
persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat. Orang-orang yang tidak berhak berij-
tihad ikut melakukan ijtihad, dan orang-orang awam ikut-ikut memberikan fatwa, dan
dengan demikian mereka telah mempermainkan nas-nas Syari'at dan kepentingan
orang banyak. Akibatnya ialah banyak fatwa yang berbeda-beda dan bersimpang
15Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984),
hlm.206.
16Ibid. hlm.207.
-siurnya keputusan-keputusan hakim, meskipun kadang-kadang masih di negeri yang
satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya dianggap sebagai
hukum-hukum syara'. Setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut,
para ulama pada akhir abad keempat Hijrah menetapkan penutupan pintu ijtihad dan
membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat-pendapat
yang ditinggalkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Akhirnya pintu ijtihad resmi
ditutup.17
Tanda-tanda kebekuan dan kemunduran yang panjang tersebut terlihat pada
kenyataan-kenyataan berikut : Sebagai akibat para fuqaha tidak melakukan ijtihad,
baik karena malas dan tidak adanya daya-kreasi baru, atau karena menerima
tertutupnya pintu ijtihad sebagai suatu keputusan ijma', kegiatan para fuqaha hanya
berkisar membahas pendapat-pendapat imam-imam mujtahid yang lalu, seperti
penyusunan masalah-masalah yang sudah ada, memilah-milah antara
pendapat-pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah, dan menyusun
ikhtisar-ikhtisar kitab fiqh atau "matan-matan" yang kadang-kadang merupakan
rumus-rumus yang sukar dimengerti, kemudian diberikan penjelasan yang terkenal
dengan nama "syarah", dan penjelasan ini diberi penjelasan lagi, atau diberi
catatan-catatan yang terkenal dengan nama "hasyiah" atau "ta'liqat". Corak lain dari
cara penyusunan kitab dari masa kemunduran ialah penghimpunan fatwa-fatwa dalam
satu mazhab. Akan tetapi kitab-kitab fatwa ini merupakan suatu perbendaharaan yang
sukar dinilai dalam hukum Islam.
Akibatnya hukum Islam menjadi terisolasi dari persoalan kehidupan, karena
persoalan kehidupan ini akan selalu muncul, sedang hukum-hukum Islam harus
dicukupkan pada ijtihad-ijtihad dari masa sebelumnya, dan hukum Islam hanya
bersifat teori semata dan tidak bisa merespons masalah-masalah baru dalam
kehidupan manusia. Dalam pada itu pusat ilmu-ilmu pada waktu itu terutama hukum
Islam berpindah-pindah, dari kota-kota Bagdad, Bukhara dan Naisabur, ke kota-kota
Mesir, Syam, India, Asia Kecil dan Afrika.
Meskipun masa tersebut dinamakan masa kemunduran, pada masa ini masih
terdapat fuqaha-fuqaha bebas yang menentang taqlid dan menyerukan kembali
kepada Qur'an dan Hadis. Usaha-usaha mereka ini berhasil dan besar pengaruhnya
terhadap masa-masa berikutnya. Di antara fuqaha-fuqaha bebas adalah Ibnu Taimiyah
(wafat 728 H) yang mempunyai karya-karya baru. Di antaranya ialah
"fatwa-fatwanya" yang merupakan segi penerapan praktis hukum-hukum Islam,
karena fatwa-fatwanya tersebut merupakan jawaban-jawaban terhadap peristiwa yang
terjadi pada masanya. Tokoh lain ialah Ibnul Qayyim (wafat 751) yang menulis
buku-buku hukum Islam yang sangat bernilai, seperti A'lam al-Muwaqi'in.18
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga bahwa at-Tufi hidup segenerasi
dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Menurut suatu keterangan
memang bahwa at-Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.19
Karya-karya tulis at-Tufi dimaksud dapat diklasifikasikan kepada lima
bidang,yaitu kelompok ilmu Alquran dan Hadis, Kelompok ilmu usuluddin (teologi),
17Ibid. hlm.208.
18Ibid. hlm.209 dan Anwar Ahmad Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World,
(Pakistan: SH. Muhammad Ashraf Kashmir Bazar Lahore, t.t.), hlm.67-77.
19Mustafa Zaid, Al-Maslahah, hlm.72-74.
kelompok fiqh, kelompok usul al-fiqh dan kelompok bahasa, sastra dan lain-lain.
Teori at-Tufi tentang Maslahat
Pandangan at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada bagian
pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) hadis nomor 32 hadis Arba'in
Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi "la darara wa la dirara" artinya "tidak
memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain". Bahasan at-Tufi
mengenai hadis nomor 32 tersebut dikutip secara utuh dan lengkap yang bersumber
dari bahasan Syaikh Jamaluddin al-Qasimi seorang ulama Damaskus yang telah
berupaya memisahkan bahasan at-Tufi di dalam hadis tersebut, kemudian
menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia juga berperan sebagai pensyarah di
dalam risalah tersebut. Kemudian majalah al- Manar No. IX/10, Oktober 1906
memuat risalah at-Tufi berikut syarahnya secara lengkap.20
Prof. Dr. Mustafa Zaid, guru besar pada Universitas Dar al-Ulum memilih
sebuah bahasan at-Tufi dan pendapatnya tentang maslahat sebagai judul risalahnya.
Referensi yang dijadikan rujukan untuk penelitian Mustafa Zaid, di samping untuk
memperkuat risalah at-Tufi, ia menggunakan dua manuskrip yang tersimpan di
perpustakaan at- Taimuria milik Dar al- Kutub al-Misriyah, yang memuat syarah
at-Tufi mengenai hadis Arba'in Nawawi, manuskrip pertama terdaftar pada nomor
328 kelompok hadis. dan kedua terdaftar pada nomor 446 kelompok hadis. Ia juga
menggunakan risalah Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, majalah al- Manar No. IX/10,
1906. Dalam kaitan ini ia mengadakan studi komparatif dan penelitian di antara
sumber-sumber tersebut mengenai risalah at-Tufi sehingga karyanya tersebut
membuahkan tulisan mengenai risalah at-Tufi yang disunting secara bagus.21
Sumber yang penulis gunakan dalam pembahasan tulisan ini adalah risalah
at-Tufi yang dimuat dalam tiga sumber, yaitu buku al-Maslahat fi at-Tasyri'i
al-Islami wa Najamuddin at-Tufi pada bagian lampiran halaman 13-48 karya
Mustafa Zaid yang diterbitkan oleh Dar al-Fikr Kairo pada tahun 1954, dan buku
Masadir at- Tasyri'i al-Islami Fima la Nassa fih halaman 105-144 karya Abdul
Wahhab Khallaf yang diterbitkan oleh Dar al-Qalam Kuwait pada tahun 1972, dan
juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Ri'ayat al-Maslahat li al-Imam at-Tufi
terbitan Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, hlm.13-47. Ketiga buku tersebut
memuat teks risalah at-Tufi tentang Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah hadis nomor 32.
Dalil Syara'
Menurut at-Tufi bahwa, "Sesungguhnya dalil-dalil syari'at itu terdiri dari
sembilan belas macam. Setelah diadakan penelitian, semua pendapat ulama' telah
tercakup di dalam macam-macam tersebut. Sembilan belas dalil tersebut adalah :
(1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al- Madinnah, (5).
al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab,
(9). al- Bara'ah al- Asliyyah, (10). al- 'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13).
Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),
(16). al-'Ismah, (17). ijma' ahl al- kufah, (18). Ijma' ahl al- 'Itrah (keluarga Nabi),
20At-Tufi, Syarh al-Arbain an Nawawiyah dalam Abdul Wahhab Khallaf, masadir
at-Tasyri' al-Islami Fima la Nassa fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), hlm.105.
21Ibid. dan lihat juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Ri'ayat al-Maslahat li al-
Imam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), hlm.13-47.
(19). Ijma' al- Khulafa' al- Rasyidin.22
Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan
(meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at,
maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang
bertentangan bagai air dan minyak.23
Dari sembilan belas dalil tersebut , dalil terkuat adalah nas dan ijma'.
Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika
selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya
kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nas, ijma' dan maslahat,
yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara
keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat
daripada nas dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian
nas dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama
halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan
pengertian Sunnah.24
Ringkasnya, nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat dan
mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung madarat sama
sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung
madarat , terkadang madarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian . Jika mudarat
yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis
Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd,
uqubat dan jinayat. Jika pengertian darara (mudarat) hanya sebagian, jika terdapat
dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang
menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men-takhsis, wajib
di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirara, dengan pengertian
mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.25
Pengertian Maslahat.
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan
maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai
dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan
untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk
memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya
maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai
keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab
untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian,
maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan
kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua
umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.26
Bidang Hukum Berlakunya Maslahat at-Tufi
Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti

22Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi ( Mesir:
Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), hlm.13-18.
23Ibid, hlm.23.
24Ibid, hlm.23-24.
25Ibid, hlm.24.
26Ibid, hlm.25
adalah maslahat, sebagaimana telah kami tetapkan. Maslahat dan dalil-dalil syari'at
lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu
baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum
daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya
orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya,
peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus
dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil
syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada
kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat.
Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat,
lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh
mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika
ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat
atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la
dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk
memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib
didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan
harus didahulukan daripada sarana.27
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak
Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam
ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan
petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah
diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan
sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh
tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya
dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan
akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka
tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya
dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah
perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk
maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.28
Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat
manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan
pengertiannya. Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil
syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya
kami lebih mendahulukan maslahat.29
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa
maslahat-maslahat yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di
dalam masalah ibadat. Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan
sosial kaum mukallaf dan hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka
melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at
27Ibid, hlm.44-45.
28Ibid, hlm.47.
29Ibid.
yang tidak menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah
membolehkan kami untuk mencari maslahat sendiri.
Maslahat at-Tufi Sebagai Sebuah Metode
Pandangan at-Tufi - tentang maslahat - nampaknya bertitik tolak dari konsep
maqasid at- tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk
mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh
para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup
populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."30
Karena begitu pentignya maqasid al-syariah tersebut, para ahli teori hukum
menjadikan maqasid al- syariah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria
lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqasid
al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan
atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari
maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus bermuara kepada maslahat. untuk memahami hakikat dan peranan maqasid
al-syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut.
Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul
al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al- syari'ah dalam
menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat
dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar
tujuan Allah mengeluarkan perint ah-perintah dan larangan-larangan-Nya.31
Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syari'ah itu dalam
hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang
masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), makramat (tersier),
sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak
termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Dengan demikian pada prinsipnya
32

al-Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat,
hajiyat dan makramat (tahsiniyah).
Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali.
Al-Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan
al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas yang dalam pembahasannya yang lain, ia
33

menerangkan dalam tema istislah. Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara


34

agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi
35

al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi
tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah
36

bahwa teori maqasid al- syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.

30Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syariah al-Islamiyah, (Beirut:


Mu'assasah ar-Risalah,1977), hlm.12.
31Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo: Dar
al-Ansar,1400 H),I:295.
32Ibid, II: 923-930.
33Al-Gazali, Syifa al-Gazalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil (Bagdad:
Matba’ah al-Irsyad, 1971), hlm. 159.
34Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo: al-Amiriyah, 1412), hlm.250 dan
seterusnya.
35Ibid hlm.251.
36Ibid.
Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas
maqasid al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi'iyah. Ia
lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam
bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat. Menurutnya, maslahat keduniaan
37

tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat,
dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus
38

bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. 39

Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa Izzuddin ibn Abd al-Salam telah
berusaha mengembangkan konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari
maqasid al- syari'ah.
Pembahasan tentang maqasid al- syari'ah secara khusus, sistematis dan jelas
dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al- Muwafaqat
yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya
mengenai maqasid al-syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun
menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan
bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya
maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam
bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum
tersebut. Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala
40

prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat. Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Gazali,
41

yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 42

Konsep maqasid al-syari'ah atau maslahat yang dikembangkan oleh al-Syatibi


di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya.
Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari'ah dan bukan
hanya aspek yang tidak diatur oleh nas. Sesuai dengan pernyataan al-Gazali,
al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari'ah adalah untuk
mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak
seberani gagasan at-Tufi. 43

Pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang


maslahat. At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis)
44

Alquran , sunnah dan ijma' jika penerapan nas Alquran, sunnah dan ijma' itu akan
menyusahkan manusia. Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat
45

at-Tufi tersebut adalah mu'amalah. 46

At-Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan atas

37Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam (Kairo: al-Istiqamat,
t.t),I:9.
38Ibid.II:60 dan 62.
39Ibid.
40Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) II:4.
41Ibid.
42Ibid, II:5.
43Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia
(Medan :Pustaka Widyasarana,1995),hlm.34-35.
44Ibid.
45Najmuddin at-Tufi, Syarh, hlm.46.
46Ibid, hlm.48.
empat prinsip , yaitu :
47

1. Akal bebas menentukan maslahat dan kemafsadatan, khususnya dalam


lapangan mu'amalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahat atau kemafsadatan
cukup dengan akal. Pendirian at-Tufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu
mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi yang pertama dalam
piramida pemikirannya. Akan tetapi, at-Tufi membatasi kemandirian akal itu dalam
bidang mu'amalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk
nas, maslahat atau mafsadat pada kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang
dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun maslahat dan
kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, maslahat itu harus mendapatkan
justifikasi dari nas atau ijma', baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, at-Tufi
berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya
tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung pada akal semata.
Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh
sebab itu untuk kehujjahan maslahat tidak diperlukan dalil pendukung, karena
maslahat itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi at-Tufi, untuk
menyatakan sesuatu itu maslahat atas dasar adat-istiadat dan eksperimen, tanpa
membutuhkan petunjuk nas.
3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu'amalah dan adat kebiasaan,
sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara',
seperti salat zuhur empat rakaat, puasa ramadan selama satu bulan, dan tawaf itu
dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat, karena masalah-masalah tersebut
merupakan hak Allah semata. Bagi at-Tufi, maslahat ditetapkan sebagai dalil syara'
hanya dalam aspek mu'amalah (hubungan sosial) dan adat-istiadat. Sedangkan dalam
ibadat dan muqaddarat, maslahat tidak dapat dijadikan dalil. Pada kedua bidang
tersebut nas dan ijma'-lah yang dijadikan referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi
karena dalam pandangan at-Tufi ibadah merupakan hak prerogatif Allah; karenanya,
tidak mungkin mengetahui jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar
penjelasan resmi langsung dari Allah. Sedangkan dalam lapangan mu'amalah
dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan maslahat kepada umat manusia.
Oleh karena itu, dalam masalah ibadat Allah lebih mengetahui, dan karenanya kita
harus mengikuti nas dan ijma' dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial,
manusialah yang lebih mengetahui maslahatnya. Karenanya mereka harus berpegang
pada maslahat ketika maslahat itu bertentangan dengan nas dan ijma'.
4.Maslahat merupakan dalil syara' paling kuat. Oleh sebab itu, at-Tufi juga
menyatakan apabila nas dan ijma' bertentangan dengan maslahat, didahulukan
maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nas tersebut.
Dalam pandangan at-Tufi secara mutlak maslahat itu merupakan dalil syara' yang
terkuat. Bagi at-Tufi, maslahat itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya
nas dan ijma', juga hendaklah lebih diutamakan atas nas dan ijma' ketika terjadi
pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahat atas nas dan ijma' tersebut
at-Tufi lakukan dengan cara bayan dan takhsis; bukan dengan cara mengabaikan atau
47Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1954),hlm 127-132 dan Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami,
(Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971), hlm. 529.
meninggalkan nas sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas Alquran
dengan cara bayan. Hal demikian at-Tufi lakukan karena dalam pandangannya,
maslahat itu bersumber dari sabda Nabi saw.:"tidak memudaratkan dan tidak
dimudaratkan". Pengutamaan dan mendahulukan maslahat atas nas ini ditempuh baik
nas itu qat'i dalam sanad dan matan-nya atau zanni keduanya. Untuk mendukung
keempat azas atau prinsip maslahat tersebut, at-Tufi mengemukakan alasan-alasan
nas baik secara global maupun secara rinci.48
Sejak awal syari'ah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali
kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari'ah Islam dicanangkan demi
kebahagiaan manusia, lahir-batin; duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan
maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap nas, seperti dipromosikan
oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip maslahat hanya sebagai jargon kosong,
dan syari'ah-yang pada mulanya adalah jalan-telah menjadi jalan bagi dirinya
sendiri.49
Sesungguhnya pendirian yang mengatakan bahwa hukum Islam, atau syari'at
Islam, harus bersumber pada Alquran dan hadis tidak salah. Pernyataan itu bisa salah
tetapi juga bisa benar. Tergantung pada apa yang dimaksud dengan Alquran dan hadis
Nabi itu. Jika yang dimaksud dengan Alquran dan hadis sebagai sumber hukum
adalah ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi yang - secara langsung atau tidak -
mengemukakan perihal sistem keyakinan dan sistem nilai( seperti nilai keadilan,
persamaan manusia di depan hukum, persaudaraan, dan sebagainya), pernyataan itu
benar. Akan tetapi jika yang dimaksud sebagai dasar hukum Islam adalah ayat-ayat
Alquran atau hadis Nabi yang pada dasarnya ia sendiri merupakan ayat dan hadis
hukum, pernyataan tersebut memang tidak tepat.
Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum,
tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut
sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat, keadilan. Proses pendasaran
hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam konteks formal, misalnya melalui
cara qiyas. Akan tetapi, seperti diketahui, qiyas haruslah dengan illat, sesuatu yang
lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri. Dalam bahasa kalam,
itulah yang disebut dengan "daur", yang seharusnya tidak boleh terjadi. Akan tetapi
itulah struktur pemikiran hukum Islam selama ini. Oleh sebab itu tidak mengherankan
apabila dunia pemikiran hukum Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut
dipertanyakan.50 Tidak mengherankan apabila wajah fiqh selama ini tampak menjadi
dingin, suatu wajah fiqh yang secara keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan
(engagement) terhadap kepentingan masyarakat manusia.51
Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran
hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal, atau- dalam ungkapan
yang lebih operasional- "keadilan sosial". Tawaran teoritik (ijtihadi) apa pun dan
bagaimana pun, baik didukung dengan nas atau pun tidak, yang bisa menjamin
terwujudnya maslahat kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat
48 At-Tufi, Syarh, hlm.19, 35-41 dan Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm. 112, 129-135.
49Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995. hlm. 94.
50Ibid, hlm.94-95.
51Ibid, hlm.96.
Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran
teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yangsecara meyakinkan tidak mendukung
terjaminnya maslahat, lebih lebih yang membuka kemungkinan terjadinya
kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara orang
perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegahnya.52 Dengan paradigma di atas,
kaidah yang selama ini dipegang oleh dunia fiqh yang berbunyi: Apabila suatu hadis
teks ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah mazhabku, secara meyakinkan perlu
ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara sistematis telah menggerakkan dunia
pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam Islam lebih mengutamakan bunyi
harfiyah nas daripada kandungan substansialnya. Atau, dalam dunia pemikiran fiqh,
lebih mengutamakan - atau bahkan hanya memperhatikan- bunyi ketentuan
legal-formal, daripada tuntutan maslahat (keadilan), yang notabene merupakan
jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi : (jika
tuntutan maslahat, keadilan, telah menjadi sah- melalui kesepakatan dalam
musyawarah- itulah mazhabku.53
Dengan tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu
maslahat-keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus
diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang sah, bagaimana pun, harus menjadi
acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi
anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari sedalam-dalamnya bahwa
patokan legal-formal dan tekstual hanyalah merupakan cara bagaimana cita maslahat,
keadilan, itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Ini berarti bahwa ketentuan
formal-tekstual, yang bagaimana pun dan datang dari sumber apa pun, haruslah selalu
terbuka dan atau diyakini terbuka untuk, kalau perlu, diubah atau diperbarui sesuai
dengan tuntutan maslahat, cita keadilan.
Apabila jalan pikiran di atas disepakati, secara mendasar kita pun perlu
meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep usul fiqh tentang apa yang
disebut qat'i (yang pasti dan tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dan zanni (yang
tidak/kurang pasti dan bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dalam hukum Islam. Fiqh
selama ini mengatakan bahwa yang qat'i adalah apa-apa (hukum-hukum) yang secara
sarih ditunjuk oleh nas Alquran/hadis Nabi. Sedangkan yang Zanni adalah apa-apa
(hukum) yang petunjuk nasnya kurang/tidak sarih, ambigu dan mengandung
pengertian yang bisa berbeda-beda.54 Sesungguhnya, yang qat'i dalam hukum Islam -
sesuai dengan makna harfiyahnya: sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak
berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental- adalah nilai maslahat atau
keadilan itu sendiri, yang nota bene merupakan jiwanya hukum. Sedang yang masuk
kategori zanni (tidak pasti dan bisa diubah-ubah) adalah seluruh ketentuan batang
tubuh atau teks, ketentuan normatif, yang dimaksudkan sebagai upaya yang
menerjemahkan yang qat'i (nilai maslahat atau keadilan) dalam kehidupan nyata.
Sehingga kalau dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi untuk daerah qat'i, dan
hanya bisa dilakukan untuk hal-hal yang zanni, itu memang benar adanya. Cita
"maslahat dan keadilan" sebagai hal yang qat'i dalam hukum Islam, memang tidak
bisa- bahkan juga tidak perlu- untuk dilakukan ijtihad guna menentukan kedudukan
52Ibid, hlm.97.
53 Ibid.
54Ibid.
hukumnya, apakah wajib, mubah atau bagaimana.
Yang harus diijtihadi dengan seluruh kemampuan mujtahid adalah hal-hal
yang zanni, yang tidak pasti, yang memang harus diperbarui terus-menerus sesuai
dengan tuntutan ruang dan waktu yang juga terus bergerak. Yakni, pertama, definisi
tentang maslahat, keadilan, dalam konteks ruang dan aktu nisbi dimana kita berada;
kedua, kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita maslahat-
keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu; dan ketiga, kerangka kelembagaan
yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma maslahat-keadilan, seperti
dimaksud pada poin pertama dan kedua, dalam realitas sosial yang bersangkutan.
Untuk mempermudah pemahaman , dapat dikemukakan satu ilustrasi syari'at
zakat. Tujuan disyari'atkan zakat adalah jelas : terwujudnya keadilan sosial dan
kesejahteraan bersama dengan prinsip yang kuat membantu yang lemah. Di sini tidak
ada keperluan sedikit pun untuk melakukan ijtihad guna menentukan hukumnya
menegakkan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konsep zakat tersebut.55
Yang perlu dilakukan ijtihad adalah dalam hal-hal berikut ini: Pertama,
mendefinisikan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan dalam konteks ruang
dan waktu tertentu, misalnya konteks bangsa Indonesia dalam dasawarsa kini dan
mendatang; kedua, berapa beban yang harus ditanggung oleh mereka yang mampu
(miqdar al-zakah), atas basis kekayaan apa saja (mahall al- zakah), kapan harus
dibayar (waqt al-ada), dan siapa-siapa serta dimana alamatnya yang secara riil dan
definitif harus diuntungkan oleh zakat, dan sektor apa saja yang secara riil dan
definitif harus didukung oleh dana zakat (masraf al- zakah), dan sebagainya; dan
ketiga, kelembagaan apa saja yang seharusnya tersedia dalam realitas sosial politik
Indonesia yang bisa mendukung terwujudnya keadilan sosial dengan zakat tersebut;
bagaimana mekanisme pembentukannya, kerjanya dan kontrolnya.
Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam teks ajaran atau dalam pendapat
para ulama mengenai persoalan pada ketiga point tersebut, tidak ada yang qat'i.
Semuanya zanni, dan karena itu bisa-bahkan tidak terelakkan- untuk disesuaikan,
diubah, kapan saja tuntutan maslahat-keadilan menghendaki. Misalnya, tentang
amwal zakawi; tidaklah adil untuk zaman sekarang, kita hanya mengenakan pungutan
sedekah wajib atas kurma dan anggur, sementara "kelapa sawit", apel, kopi,
tembakau", yang tidak kalah ekonomisnya, kita bebaskan begitu saja. Juga, tidak adil
kita kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan sektor pertanian, sementara dari
sektor industri dan jasa justru kita merdekakan.56
Demikian pula, tidak sesuai lagi dengan maslahat yang nyata kalau sabilillah,
sebagai salah satu dari mustahik zakat, hanya didefinisikan dengan "tentara di medan
perang melawan orang kafir", sementara aparat penegak hukum seperti
polisi,jaksa,hakim dan pembela hukum, tetap kita letakkan di luar orbit missi
ketuhanan untuk tegakkan orde keadilan. Lalu akibatnya kita semua tahu, rakyat
cenderung melepaskan mereka dari tuntutan moral. Mereka sendiri cenderung
merasa bebas dari tuntutan itu. Dengan meletakkan mereka pada barisan sabilillah,
kita telah memberikan justifikasi dan sekaligus kepedulian (kritik) sosial kita terha-
dap peran dan aktivitas mereka, dengan acuan nilai ketuhanan, keadilan.

55Ibid. hlm.97-98.
56Ibid. hlm.98.
Kalau acuan hukum- juga hukum dalam kacamata Islam, yakni syari'at-
adalah maslahat keadilan, pertanyaan yang akan segera muncul adalah, bagaimana
"maslahat, atau keadilan" itu dapat didefinisikan, dan siapa punya otoritas untuk
mendefinisikannya. Tidak syak lagi, pertanyaan ini sangat penting dan menentukan.
Gagal menjawab pertanyaan ini, akan kembali berimplikasi untuk memperkatakan
bahwa maslahat-keadilan sebagai tujuan syari,at (hukum), telah dijadikan tujuan bagi
dirinya sendiri. Maslahat keadilan hanya jargon kosong belaka.
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu membedakan antara
maslahat yang bersifat "individu subyektif" dengan maslahat yang bersifat
"sosial-obyektif".Maslahat yang bersifat individual-subyektif, adalah maslahat yang
menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial bersifat independen, dan
terpisah, dengan kepentingan orang lain. Dalam maslahat kategori ini, karena sifatnya
yang sangat subyektif, yang berhak menentukan dan sekaligus sebagai hakimnya
tentu saja adalah pribadi bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang
berhak menentukan apa yang secara personal-subyektif dianggap maslahat oleh
seseorang.57
Sedangkan maslahat yang bersifat sosial-obyektif adalah maslahat yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang berhak
memberikan penilaian yang dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang
banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan
(ijma'). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian
maslahat melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang
banyak, di mana kita merupakan bagian daripadanya, itulah hukum tertinggi yang
mengikat.
Kalau dipertanyakan kedudukan hukum atau ketentuan-ketentuan
legal-normatif yang ditawarkan oleh wahyu (teks Alquran atau hadis), kedudukannya
adalah sebagai material yang - juga dengan logika maslahat sosial yang obyektif,
bukan dengan logika kekuatan atau kepercayaan yang subyektif,- masih harus dibawa
untuk ditentukan statusnya ke dalam lembaga permusyawaratan. Apabila kita berhasil
membawanya sebagai bagian dari kesepakatan orang banyak, ia berfungsi sebagai
hukum yang secara formal-positif mengikat. Akan tetapi, apabila gagal
memperjuangkannya sebagai kesepakatan, daya ikatnya tentu saja hanya terbatas
pada orang-orang yang mempercayainya. Dan daya ikat seperti ini paling jauh hanya
bersifat moral-subyektif, tidak bisa sekaligus formal-obyektif.
Memang, dengan mempertaruhkan "maslahat dan sekaligus norma hukum
yang bersumber padanya" pada ijma' lembaga syura, atau keputusan lembaga
parlemen dalam terma ketata-negaraan modern, bukan tidak ada kelemahannya.
Tidak jarang apa yang disebut kesepakatan lembaga syura, parlemen, ternyata hanya
merupakan hasil rekayasa segelintir elit yang berkuasa. Akan tetapi inilah tantangan
yang harus dihadapi oleh umat Islam, yang sebenarnya adalah juga tantangan bagi
rakyat-manusia di mana pun mereka berada. Yakni, bagaimana mereka bisa
mengusahakan tumbuhnya satu pranata kesepakatan umat, di mana rakyat- secara
langsung atau melalui wakilnya- dapat mengemukakan pendapat dan pilihannya
perihal tata-kehidupan yang menurut mereka lebih mencerminkan cita maslahat dan

57Ibid. hlm.99.
keadilan.58
Menurut at-Tufi dari sembilan belas macam dalil, dalil terkuat adalah nas dan
ijma'. Nas dan ijma' terkadang sesuai terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika
kenyataannya nas dan ijma' selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi.
Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus atas suatu ketetapan
hukum, yaitu nas,ijma' dan maslahat, yang diambil dari kandungan hadis Nabi saw.
la darara wa la dirara. Jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan
adalah penggunaan maslahat daripada nas dan ijma'. Caranya ialah mengadakan
takhsis atau tabyin terhadap pengertian nas dan ijma', tidak dengan membekukan
berlakunya nas dan ijma'. Sama halnya dengan tabyin Sunnah terhadap ayat Alquran,
kemudian mengamalkan pengertian Sunnah.59Lebih jauh lagi at-Tufi menyatakan
bahwa maslahat (dalam bidang mu'amalah) dan dalil-dalil syara' lainnya terkadang
senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, hal itu baik sekali- seperti senadanya
antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang kulli yang
berjumlah lima, yaitu dibunuhnya orang yang membunuh, orang murtad, dipotongnya
tangan pencuri, dihukumnya peminum dan orang yang menuduh orang baik
melakukan zina dan contoh-contoh lainnya. Akan tetapi jika ternyata maslahat berten-
tangan dengan nas dan ijma', jika mungkin hendaklah dikompromikan, dengan syarat
tidak boleh mempermainkan dalil. Jika tidak dapat dipadukan, yang didahulukan
adalah maslahat, sebab Nabi saw. bersabda "la darara wa la dirara", makna hadis ini
khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat dan untuk memelihara maslahat
yang menjadi tujuan utama syara', sedangkan dalil-dalil lainnya (nas sekalipun
penting) tidak ubahnya sebagai sarana. Oleh karena itu, tujuan harus lebih
diutamakan daripada sarana.60
Paradigma para ulama usul al-fiqh mengenai nas, realitas dan relasinya
dengan maslahat hukum Islam, terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu paradigma
ortodoksi dan paradigma realis.
Secara umum apa yang dikemukakan oleh para pembahas teori at-Tufi tentang
maslahat tersebut, adalah suatu fakta telah kembali didemonstrasikan, yaitu bahwa
keragu-raguan apalagi gugatan terhadap nas (teks ajaran) masih tetap merupakan
suatu yang sangat tabu dalam tradisi pemahaman agama di kalangan umat Islam.
Atau bahkan bukan hanya umat Islam, umat agama lain pun yang sama-sama
menempatkan orisinalitas ajaran (ortodoksi) sebagai ukuran tunggal bagi
keberagamaan akan bersikap sama. Bagi mereka, nas wahyu adalah wujud tunggal
bagi kebenaran mutlak yang harus dipedomani apa adanya (murni dan konsekuen).
Kecenderungan untuk bergeser sekalipun sedikit dari padanya atau menempatkan
ajaran lain sebagai pedoman ekstra di sampingnya adalah penyelewengan, suatu
kejahatan teologis yang tiada ampun (bid'ah atau khurafat).
Dalam semangat ortodoksi yang selalu dikejar adalah kesesuaian optimal
dengan bunyi ajaran, bagi umat Islam mempertanyakan validitas dan relevansi teks
doktrin adalah mustahil. Bahkan lebih mustahil dari segalanya adalah jika yang
dipertanyakan itu adalah induknya segala doktrin, yaitu ayat-ayat Alquran. Ribuan
judul buku atau kitab telah ditulis oleh para ulama dari berbagai generasi yang jika
58Ibid.
59At-Tufi, Syarh, hlm.17-18 dan Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm. 110-111.
60Ibid. hlm.46 dan Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm.141.
sekarang telah membaca kesemuanya, kitab buku-buku itu hampir tidak ada yang
bergeser dari missi tunggalnya, yaitu mencari argumentasi untuk mengukuhkan
relevansi dan validitas apa yang dikatakan oleh teks Alquran, kapan dan di mana saja.
Paradigma kaum ortodoksi terhadap konflik yang terjadi antara bunyi ajaran
dalam teks dengan realitas kehidupan adalah jelas, konflik itu harus diselesaikan
secepat mungkin dengan menaklukkan realitas kepada ajaran. Tugas menaklukkan
realitas yang menyeleweng dari ajaran inilah dikenal dengan missi amar makruf nahi
munkar.
Berdasarkan pengamatan sepintas terkesan bahwa masyarakat dengan
semangat ortodoksi adalah mayarakat yang idealis atau bahkan sangat idealis. Akan
tetapi ketika mereka harus memberikan treatment terhadap realitas yang nyata-nyata
berbeda dengan ketika teks ajaran itu turun, 14 abad yang lalu, mereka acapkali naif.
Dalam kaitan ini, untuk menyebut kaum ortodoksi sebagai kaum idealis mungkin
lebih tepat dengan kaum scriptualis karena yang sebenarnya mereka pedomani itu
bukan lagi ide yang menjiwai scriptualis (huruf dalam teks), tetapi scriptualis itu
sendiri.61
Berseberangan dengan pandangan ortodoksi adalah pandangan kelompok lain
yang titik tolaknya adalah "realitas". Jika yang tersebut pertama cita
keberagamaannya adalah menaklukkan realitas pada teks., yang tersebut terakhir
concernnya adalah memaklumi dan menerima "realitas", sekalipun untuk itu ajaran
dalam teks boleh jadi harus digugat atau dimodifikasi. Kalau ada yang berpendapat
bahwa pemikiran Muktazilah yang intelektualistik, dulu, merupakan pelopor dari
pandangan keagamaan yang realistik ini dapat disepakati. Dengan tesisnya yang
kontroversial bahwa "Quran itu makhluk", Muktazilah dan segenap pengikutnya
sebenarnya ingin mencari legitimasi (reasoning) jika pada suatu saat mereka harus
menggugat dan membuang begitu saja apa yang dikatakan oleh teks ajaran dalam
Alquran.
Benar juga, bahwa lawan utama kelompok Muktazilah adalah mayoritas umat
penganut ortodoksi yang ketika itu berada di bawah kepemimpinan ahli-ahli hadis
(muhaddisin) dengan tokoh utamanya Imam Ahmad bin Hambal. Seperti diketahui,
Imam Ahmad telah mempertaruhkan segala-galanya dalam menghadapi propaganda
Muktazilah, dan beliau meninggal di penjara demi tujuannya ini.62
Mungkin ada pertanyaan; Kenapa dalam berhadapan dengan Muktazilah
Imam Ahmad harus dipenjara? Jawabannya adalah: karena rupanya apa yang
disuarakan oleh Muktazilah tentang Alquran itu sejalan dengan kepentingan
"penguasa" yang punya penjara, ketika itu. Al-Makmun dan aparat birokrasi kekua-
saannya yang mewarisi tradisi otokratik kekaisaran Parsi memang ingin sekali bebas
dari campur tangan tokoh-tokoh agamawan yang tentu saja, selalu bersuara atas nama
kebenaran doktrin.63
Seperti halnya realis-Muktazilah, sekitar sebelas abad yang lalu, realis masa
kini jika punya silsilah yang erat dengan tradisi humanisme Barat, Yunani.

61Masdar F. Mas'udi, "Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi" Polemik


Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas (Jakarta, 1988), hlm.175-178.
62Ibid. hlm.178-179.
63W. Montgomary Watt, The Majesty That was Islam, (London: Sidgwick & Jackson, 1974),
hlm.116.
Kepercayaan mereka terhadap "nalar" manusia telah memaksa mereka untuk melihat
wahyu (ajaran) sebagai tidak boleh bertentangan dengan apa yang menjadi keputusan
(nalar) manusia yang hadir dalam bentuk realis konseptual maupun sosial. Oleh sebab
itu, di mana ajaran masih dapat dipakai, tugas mereka dalam bidang pemikiran adalah
merumuskan legitimasi-legitimasi keagamaan atas realitas-realitas yang
dikemukakan. Dalam hal ini menjadi mudah dimengerti apabila ternyata umumnya
para ilmuwan (ulama) dari mazhab realis ini adalah tokoh-tokoh kolaborator yang
setia dengan, atau bahkan bagian dari, sistem kekuasaan itu sendiri.
Memang dari kalangan ortodoksi pun bisa saja bersikap sama, akomodatif,
terhadap "realitas" yang hidup dan "kekuasaan" yang menciptakannya. Akan tetapi,
jika untuk mengikuti garis akomodasi itu harus menggugat teks ajaran (nas),
lebih-lebih yang dari sudut usul masuk dalam kategori qat'i, dengan serta merta
mereka pasti akan mengambil posisi yang berbeda. Karena sesuai dengan prinsip
ortodoksi : sesuatu yang berbeda dengan bunyi doktrin adalah mustahil.
Akan tetapi pendekatan kaum realis ini memang ada warna manusiawinya.
Apa yang menjadi "maunya" manusia diberi kedudukan yang kuat bahkan dalam
berhadapan dengan teks ajaran yang tegas (nas qat'i). Konsekuensinya penganut
mazhab realis yang konsisten, dalam pandangan moralnya, pastilah penganut
relativisme yang labil.64 Hal inilah barangkali yang menjadi kekhawatiran para
pembahas teori at-Tufi.
Dalam kaitan dengan pernyataan at-Tufi bahwa maslahat sebagai tujuan
Hukum Islam (mu'amalah) dan nas atau dalil-dalil syara' lain merupakan sarana
(metode) untuk mencapai/merealisasikan tujuan (maslahat), oleh karena itu, tujuan
harus lebih diutamakan daripada sarana.65 Paradigma demikian ini adalah jika suatu
saat perubahan dan realitas kehidupan masyarakat menghendaki, dan pengamalan
makna nas yang jelas (sesuai dengan makna zahirnya) itu mungkin dirasa membawa
kesenjangan dan kurang menampung rasa keadilan (maslahat), hendaklah makna
zahir nas itu dipalingkan kepada makna lain yang lebih adil dan maslahat.
Di samping itu paradigma at-Tufi dapat pula dipahami sebagai usaha untuk
memperoleh suatu hukum fiqh melalui pemekaran dan perluasan makna suatu teks
syari'ah yang bersifat eksplisit dengan cara mencari pengertian-pengertian
implisitnya. Hal ini dilakukan dengan cara menggali causalegis (illat) suatu nas untuk
diterapkan kasus-kasus serupa yang tidak secara eksplisit termasuk ke dalamnya.
Atau juga dengan menggali semangat, tujuan dan prinsip umum, yang terkandung
dalam suatu nas untuk diterapkan secara lebih luas pada masalah lain yang
diharapkan mewujudkan maslahat. Dengan demikian, pendekatan yang ditawarkan
oleh at-Tufi dengan maslahatnya adalah pendekatan transformatif.
Sebagai alternatif terhadap pendekatan realis-positivis, yang lebih memadai
untuk memahami agama adalah pendekatan transformatif; suatu pendekatan yang
memandang perubahan (change) sebagai sarana untuk mencapai cita kebaikan
kualitatif yang bermuara pada cita kebaikan mutlak- dalam bahasa agama disebut
Tuhan. Pendekatan ini diusulkan bukan karena agama (yang mana saja) tidak pernah
datang sekadar untuk membenarkan apa yang tengah menjadi "nyata" dalam

64Masdar F. Mas'udi, Memahami, hlm.179-180.


65At-Tufi, Syarh, hlm.46. Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm.141.
kehidupan manusia, melainkan- sebagaimana terbukti dalam sejarah- agama selalu
datang dengan gugatan-gugatan yang mendasar mengenai makna dari "apa yang
tengah menjadi kenyataan" itu.66 Kalau tidak, kalau agama datang dengan semangat
membenarkan apa yang ada seperti yang dipersepsikan oleh kaum realis, agama
memang hanya berfungsi sebagai sistem legitimasi yang tidak memiliki prinsipnya
sendiri. dan jika benar begitu, kisah kesulitan setiap rasul dalam berhadapan dengan
"unsur pembentuk dan pembela realitas" (yakni kelompok elit penguasa) menjadi
aneh dan sungguh tidak perlu.
Di lain pihak, pendekatan transformatif ini (dalam bahasa Arabnya
diterjemahkan dengan hijriyah; dari kata hijrah yang berarti perpindahan dari posisi
ke posisi yang lain untuk mengejar tingkat kualitas yang lebih baik) memiliki
perbedaan yang tidak kalah mendasar dengan pandangan ortodoksi, yakni dalam hal
memandang ayat-ayat ajaran (nas wahyu). Kalau ortodoksi memandang teks ajaran
(ayat) sebagai wujud dari "ide kemutlakan" itu sendiri, pendekatan transformatif
melihat teks ajaran, atau ayat, tetap sebagai ayat, yang berarti "perlambang" atau
"tanda" dari "ide kemutlakan" yang dikandungnya. .67
Ini artinya, bahwa dengan membaca ayat-ayat itu, seseorang bisa lebih mudah
berkomunikasi dengan "ide kemutlakan yang universal", akan tetapi jangan diartikan
bahwa hanya lewat membaca ayat-ayat itu saja komunikasi dengan "ide kemutlakan
yang universal" bisa dilakukan. Sebagai contoh misalnya "ide keadilan". Ide ini
mutlak dan universal, setiap orang bahkan yang tengah bertindak melawan nilai
keadilan pun mengakuinya sebagai "luhur". Pengakuan tentang "luhurnya keadilan"
itu bukan hanya datang dari orang yang tengah membaca ayat (teks ajaran) tetapi juga
dari mereka yang tidak membacanya.
Dalam ungkapan yang lebih berterus terang, pendekatan transformasi ini
mengatakan, bahwa ayat-ayat yang terbaca dalam kitab suci itu pada hakekatnya
adalah obyektivitas atau verbalisasi (pengungkapan tersurat) terhadap ide-ide
kebaikan universal yang telah ditanamkan Tuhan dalam fitrah manusia sejak awal
mula (al-azali). Dalam ungkapan sehari-hari, orang menyebut "cita universal yang
dihayati dalam diri setiap manusia" itu disebut dengan "suara nurani", yang oleh
Muhammad Rasulullah dinyatakan sebagai satu-satunya "lembaga" yang terpercaya
untuk dimintakan fatwanya. Karena, kedua (ayat suci dan suara nurani) datang dari
Allah. Bedanya yang pertama bersifat verbal (bi harfin wa sautin, meminjam
ungkapan ahli Kalam), dan akan bunyi bila dibaca dan diterangkan; sedang yang
kedua bersifat non-verbal (bila harfin wala sautin) yang akan tetap bunyi dengan
sendiri, baik ketika didengarkan atau diabaikan , dibiarkan atau dibungkam.68
Cara memandang ayat sebagai "perlambang" bagi "ide kemutlakan" ini akan
lebih signifikan kalau kita perhatikan adanya ayat yang mutasyabihat di samping
adanya ayat-ayat lainnya yang muhkamat.
Seperti juga pandangan ortodoksi, pandangan transformasi pun melihat
katagorisai ini sebagai kunci pembuka bagi seluruh bangunan pemahaman terhadap
ayat-ayat wahyu, yang berarti pemahaman keagamaan itu sendiri secara keseluruhan.
66 Masdar F. Mas’ud, “Memahami”, hlm. 180.
67Ibid.
68Ibid, hlm. 181-182.
Akan tetapi, perbedaan cara pandang terhadap ayat antara pendekatan
ortodoksi dan pendekatan transformasi, seperti disebutkan di atas, membawa pula
konsekuensi pada perbedaan definisi terhadap kedua katagori ini.
Dengan memandang ayat wahyu yang bersifat verbal sebagai ujud dari
"kebenaran" itu sendiri, kaum ortodoksi mendefinisikan kedua katagori kunci itu juga
dari sudut pandangan verbal. Apa yang disebut ayat muhkamat adalah ayat yang (dari
sudut bahasa, semantik) jelas; sedang disebut ayat mutasyabihat kalau (dari sudut
bahasa) tidak jelas. Dalam istilah usul fiqhnya, yang pertama mereka sebut dengan
ayat qat'i, dan yang kedua mereka sebut dengan ayat zanni. Ayat qat'i tidak bisa
ditafsiri- apalagi digugat- dan ayat zanni boleh ditafsiri (dari sudut bahasa) tetapi
tetap tidak bisa digugat. Demikian kesepakatan mereka.
Sebaliknya, bertolak dari mempersepsi ayat sebagai "perlambang" dari
"kebenaran" yang dipesankannya, pendekatan transformasi mendefinisikan ayat
muhkamat dan mutasyabihat bukan dari sudut verbal, bahasa, melainkan dari sudut
substansi makna yang dikandungnya. Ayat muhkamat adalah ayat yang menegaskan
prinsip-prinsip yang, secara eksplisit maupun hanya implisit, diakui oleh setiap
manusia demi fitrahnya sendiri sebagai manusia. Di sini tidak dipersoalkan apakah
ayat itu, dari sudut bahasa verbal, bersifat tegas (qat'i dalalah); juga tidak
dipersoalkan apakah dari sudut bahasa verbalnya, ayat itu bicara terus terang
(straight forward) atau dalam bentuk sindiran-sindiran (sejarah, misalnya).
Sebaliknya ayat dikategorikan sebagai mutasyabihat apabila ia berbicara
bukan mengenai prinsip itu sendiri, melainkan mengenai "teknis metodis" bagaimana
prinsip-prinsip itu dilaksanakan. Meminjam terminologis usul fiqh, ayat-ayat jenis ini
disebut sebagai ayat-ayat tasyri' atau syari'at (yang berarti "jalan" atau metode).
Seperti hal ayat muhkamat, ayat mutasyabihat pun tidak mempersoalkan apakah dari
sudut bahasanya bersifat tegas atau samar-samar, bersifat terus terang atau sindiran.
Konsekuensinya dari kategorisasi itu ialah, bahwa ayat-ayat muhkamat (sebut
saja induknya adalah tentang keadilan dan keesaan Tuhan) pastilah bersifat universal
karena dalam dirinya prinsip-prinsip itu memang universal. Sebagai penegas
prinsip-prinsip yang universal, dengan sendirinya ayat-ayat muhkamat ini tidak
memerlukan terobosan atau ijtihad. Tidak perlu ada pemikiran ulang apakah keadilan
itu perlu ditegakkan ataukah tidak.
Sementara, dilain pihak ayat mutasyabihat sebagai ayat yang berbicara
tentang metode (cara atau syari'at), misalnya, bagaimana prinsip keadilan yang
universal itu bisa diwujudkan, secara teoritis, adalah ayat-ayat non-universal. Dengan
demikian, ayat-ayat yang bersifat tasyri' atau metodis itu, secara praktis bisa saja
ditetapkan di berbagai tempat dan zaman. Akan tetapi, jika ia harus dipakai, dasarnya
pasti bukan pada klaim universalitasnya, melainkan pada effektivitasnya sebagai
metode. Sebagai ayat metode, ayat mutasyabihat/tasyri' memang berada di daerah di
mana manusia, dengan akal budinya, ditantang untuk berijtihad. Ayat
tasyri'/mutasyabihat itu sendiri adalah ayat ijtihad ilahiyah yang, demi rahmat-Nya,
Dia tawarkan kepada manusia untuk membantu merealisasi prinsip dasar yang
ditegaskan dalam ayat-ayat muhkamat. Dengan demikian petunjuk praktis yang
terkandung dalam ayat-ayat tasyri' itu mengandung kemungkinan untuk perubahan.
Akan tetapi sebagai "hasil" (dalam tanda petik) dari ijtihad-Nya, memang segera
ter-a-sa bahwa tidak sepantasnya manusia yang nisbi ini mengubahnya.69
Pernyataan at-Tufi bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan mu'amalah dan yang sejenisnya -bukan dalam masalah-masalah
yang berhubungan dengan ibadah atau yang serupa dengan ibadah. Sebab, masalah
ibadah adalah hak prerogatif Syari' (Allah), tidak mungkin seseorang mengetahui
hakekat yang terkandung dalam ibadah, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau
tempat, kecuali hanya ditentukan Syari'. Kewajiban hamba (dalam masalah ibadah
dan yang sejenisnya) hanya melakukan apa saja yang telah diperintahkan oleh
Tuhan-Nya. Sebab, seorang khadim tidak akan dikatakan sebagai seorang yang patuh
jika tidak melaksanankan perintah yang diucapkan oleh tuannya....70 dan ... maslahat
(dalam mu'amalah) menjadi tujuan utama syara' sedangkan dalil-dalil syara' lainnya
(nas sekalipun ) tidak ubahnya sebagai sarana (metode). Oleh karena itu, tujuan harus
lebih diutamakan daripada sarana.71
Untuk memecahkan dilema pelik ini (bagaimana manusia melakukan
perubahan atas petunjuk praktis, syari'at, yang ditawarkan Tuhan), at-Tufi seperti
halnya teori para ulama terdahulu yang membagi syari'at pada dua bidang ubudiyah
dan non- ubudiyah, tetapi dengan modifikasi. Yakni kalau semula ditetapkan bahwa
perubahan tidak boleh terjadi pada ketentuan ubudiyah tetapi dapat terjadi pada
non-ubudiyah (mu'amalah), ini harus dikatakan bahwa ayat/ajaran tentang ubudiyah
secara teoritis dapat berubah (karena sebagai metode, syari'at, ia tetap non-universal)
tetapi perubahan itu tidak perlu; sedang ayat/ajaran tasyri' yang bersifat non-ubudiyah
(mu'amalah) secara teoritis dapat berubah dan pada kondisi-kondisi tertentu
perubahan itu memang perlu.
Di sini akan segera muncul pertanyaan : bagaimana keputusan "perlu" atau
"tidak perlu" bisa dipertanggungjawabkan? Jawabnya adalah, sebagai metode atau
syari'at, ukurannya untuk perlu atau tidaknya dilakukan perubahan adalah pada "nilai
efektivitas"nya bagi pencapaian tujuan. Di sinilah akan lahir pula jawaban, mengapa
syari'at (metode) tentang ubudiyah (ritual) yang ditawarkan oleh ijtihad Ilahiyah itu
tidak perlu diubah? Yakni, karena "nilai efektivitas"nya sedangkan metode tidak
mungkin dapat diukur. Satu bentuk ritual yang sama, salat misalnya, bagi si X bisa
sangat efektif (sebagai media komunikasi rohaniyah), sedang bagi si Z dapat
samasekali tidak. Atau bahkan satu bentuk ritual yang sama bagi orang yang sama
pun, dalam waktu yang berbeda, dapat memberikan efektivitas yang berbeda pula.72
Karena, nilai efektivitas "ritual", memang tidak terletak pada kepersisannya
dengan bunyi ajaran (seperti yang dipersangkakan oleh kalangan pemuja ortodoksi,
dan lebih-lebih jika diingat bahwa "bentuk ritual" itu tetap metode) melainkan pada
kesiapan rohaniyah si pelaku sendiri. Kalau tidak, tidak akan ada ayat yang berbunyi:
wailul lil musalin...; celakalah orang-orang yang salat...; Sementara itu, semua orang
sadar, bahwa kesiapan rohaniyah adalah sesuatu yang sifatnya sangat subyektif. Jadi,
tidak mungkin ada ukuran yang obyektif untuk mengetahui apakah suatu pola ritual
tertentu lebih efektif dari yang lain. Karena tidak ada ukuran itulah, tidak bisa
dikatakan bahwa satu pola ritual tertentu (yang ditawarkan oleh ajaran) bisa diganti
69Ibid. hlm. 182-185.
70At-Tufi, Syarh, hlm.48, dan Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm.143.
71Ibid, hlm. 46, dan Abdul Wahhab Khallaf, Masadir, hlm.141.
72 Masdar F. Mas’ud, “Memahami”, hlm. 186.
dengan yang lain. Meskipun- sekali lagi- secara teoritis ia bisa diganti/diubah.73
Akan tetapi, berbeda dengan syari'at untuk ubudiyah, syari'at untuk
mu'amalah bagaimanapun peliknya tetap bisa diukur segi efektivitasnya. Sehingga
apabila pada suatu kondisi tertentu, suatu syari'at mu'amalat diduga keras tidak lagi
efektif sebagai metode, suatu terobosan (modifikasi) pun bisa dilakukan sampai
keadaannya normal kembali.74 Pandangan demikianlah yang dikemukakan at-Tufi
bahwa dia hanya mengakui maslahat dalam bidang mu'amalah bukan maslahat dalam
bidang ibadah. Maslahat dalam bidang mu'amalah merupakan tujuan sedang
dalil-dalil syara' adalah sarana. Oleh karena itu, tujuan harus lebih diutamakan
daripada sarana.
Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan di sini perihal "lampu lalu lintas", traffic
light (TL). TL adalah sebuah metode, cara atau syari'at dalam istilah Fiqhnya, yang
hampir semua jalan raya di bumi ini telah menerapkannya, dengan prinsip :
memelihara kelancaran dan keselamatan lalu lintas khususnya di jalan persimpangan.
Akan tetapi sebagai metode, syari'at, TL tidak selamanya bisa diandalkan untuk
mewujudkan tujuan tersebut. Dalam kondisi tertentu, ia bahkan dapat menambah
kemacetan itu sendiri. Di sini, dalam kondisi dimana TL sebagai metode justru telah
jadi penghalang bagi tercapainya prinsip, turun tangannya polisi atau bahkan orang
biasa untuk mengatur sendiri lalu lintas yang macet tanpa mempedulikan kemauan
literal (dalalah mantuqiyah) dari TL bagaimana saja haruslah dibenarkan, bahkan
patut diberi acungan jempol.75
Benar, bahwa syari'at TL ini tidak untuk disejajarkan dengan syari'at yang
langsung ditawarkan oleh Alquran. Akan tetapi, sebagai sama-sama metode, dapat
dikenakan "hukum" yang sama. Artinya, jika sudah tidak mampu lagi menggaet
prinsip yang menjadi sasaran kehadirannya, terobosan bukan hanya boleh melainkan
perlu dilakukan. Yang berbeda, barangkali, bahwa efektivitas syari'at yang diletakkan
Tuhan dalam hal mewujudkan prinsip lebih berdaya tahan dibandingkan efektivitas
dari suatu syari'at yang diijtihadkan sendiri oleh manusia. Terobosan yang dilakukan
terhadap suatu syari'at (metode) tidak dengan sendirinya berarti pengingkaran
terhadap syari'at itu sendiri. Karena, seperti dalam kasus TL di atas, jika kondisinya
sudah kembali normal, terobosan pun menjadi tidak perlu lagi, dan syari'at TL juga
ditegakkan kembali.76
Memang, bisa terjadi syari'at TL itu menjadi sama sekali dibuang, misalnya
ketika jalan simpang itu telah diganti menjadi jalan layang. Demikian pula dengan
syari'at yang ditawarkan oleh kitab suci. Sebagai contoh, misalnya syari'at zakat.
Zakat adalah metode yang dicanangkan Tuhan untuk merealisir prinsip "keadilan
sosial ekonomi" di kalangan masyarakat yang dalam hal distribusi kekayaan tidak
merata atau timpang. Bagaimana jika misalnya suatu saat dalam suatu lingkup sosial
tertentu dapat terwujud suatu sistem perekonomian yang menjamin distribusi
kekayaan secara merata, (sesuai dengan pesan yasalunaka madza yunfiqun, qalil
'afwa): mereka bertanya tentang harta yang harus dinafkahkan, katakanlah
Muhammad, yang harus mereka nafkahkan adalah apa yang lebih dari yang
73Ibid.
74Ibid, hlm. 185-187.
75Ibid, hlm. 187.
76Ibid, hlm. 188.
benar-benar diperlukan (QS 2:219); apakah dalam masyarakat seperti itu syari'at
zakat masih perlu, meski lebih ukuran 2,5 persen?77
Orang boleh tidak setuju. Akan tetapi dalam pola pemahaman ayat seperti
itulah "langkah-langkah terobosan Umar r.a." yang secara sangat antusias selalu
dikutip oleh berbagai kalangan dalam rangka melegitimasikan gugatan-gugatannya.
Umar r.a, memahami apa yang disyari'atkan dalan Alquran juga sebagai "metode",
cara, yang harus dipantau validitas dan relevansinya dari sudut efektivitasnya dalam
mewujudkan prinsip. Manakala suatu syari'at, metode, menjadi kurang atau tidak lagi
efektif - bukan karena syari'atnya itu sendiri melainkan karena kondisinya yang
spesifik - terobosan pun dilakukannya bukan demi pengingkaran terhadap syari'at itu
an sich melainkan demi terwujudnya prinsip yang semula hendak diraih oleh syari'at.
Hal ini terlihat dengan jelas, mulai dari kebijakannya untuk menghimpun mushaf
Alquran (sesuatu yang tidak ada petunjuk dari Nabi), pembatalan hukum potong
tangan atas pencuri pada musim paceklik, sampai dengan pembatalan pembagian
tanah jarahan (ganimah) bagi tentara yang berperang.78
Sahabat Nabi yang jenius dan bijak ini, memang memahami syari'at, sebagai
metode, samasekali bukan tujuan, hanya dalam pandangan kaum ortodoksi yang
formalis-scripturalis sajalah pendirian seperti itu didengungkan (misalnya dari
cita-cita perjuangan mereka dalam kehidupan bermasyarakat yang selalu berujung
pada "tegaknya syari'at Islam", sebagai tujuan). Karena syari'at bukan sebagai tujuan,
tetapi hanya sebagai metode, "keislaman" suatu masyarakat, misalnya dalam aspek
sosial ekonominya, tidak harus diukur dari kenyataan "apakah mereka sudah bayar
zakat", tetapi ukuran itu adalah pada kenyataan "apakah keadilan ekonomi di situ
sudah tegak" atau belum.79
Kembali pada kebijakan Umar r.a, ada satu kenyataan yang perlu
dikemukakan untuk membebaskannya dari klaim kaum realis. Kenyataan yang
dimaksud adalah, bahwa setiap kebijakan terobosan (ijtihad) terhadap syari'at tersurat
dalam ayat, alas pijaknya bukanlah pada "kecenderungan umum, apalagi yang hanya
semi umum" (yang oleh kaum realis justru ingin dijadikan patokan). Akan tetapi, alas
pijak itu, pada mulanya, adalah komitmen Umar r.a. sendiri terhadap pesan
universalitas yang menjadi tujuan dari syari'at yang bersangkutan. Setiap terobosan
dari Umar, pada pertama kalinya tampak sebagai "penyimpangan dari doktrin"
bahkan di mata pihak-pihak yang justru ingin diuntungkan oleh kebijakan itu sendiri.
Akan tetapi dengan pendekatan dakwah- dalam konteks ini harus diterjemahkan
dengan proses penyadaran, yakni suatu pendekatan yang sangat vital bagi setiap
proses transformasi sosial - gagasan yang elit dari Umar itu pun akhirnya dapat
diterima dan dilaksanakan dengan tanpa harus melalui pemaksaan.80
Dalam kaitan ini jika pendekatan transformatif dalam memahami ayat suci
yang diusulkan di atas bisa direfleksikan pada persoalan-persoalan legislasi
kontemporer sebagai alternatif mediator antara kelompok realis - positivis di satu
pihak dan para ulama serta segenap umat yang dengan gigih menjunjung tinggi etos
ortodoksi di lain pihak.
77Ibid, hlm.189.
78Ibid.
79Ibid.
80Ibid, hlm.187-189.
Dengan memandang ayat-ayat Alquran tetap sebagai ayat (yang berarti tanda
atau simbol) dari ide-ide universal yang demi fitrah telah diakui oleh segenap
manusia semata-mata karena dia manusia, "terobosan" atau modifikasi, seperti
dilakukan oleh sahabat Umar r.a. secara teoritis dan diteorikan at-Tufi adalah dapat
dilakukakan, dan dalam kondisi tertentu malah tak terelakkan.
Terobosan atau modifikasi yang dimaksud haruslah tetap berpijak pada ide
dasar dari ayat-ayat itu sendiri. Dengan demikian terobosan itu bukan sekadar untuk
mengabsahkan dan menuruti apa yang menjadi kecenderungan umum, apalagi yang
hanya semi umum, melainkan terobosan yang secara obyektif lebih berdaya guna
bagi usaha mewujudkan pesan universal yang menjiwai ayat-ayat terkait.81
Contoh Aplikasi Maslahat at-Tufi
Larangan wanita menjadi pemimpin negara
Contoh lain penerapan teori maslahat at-Tufi adalah hadis mengenai
dilarangnya wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan yufliha wallu Amrahum
Imroatan).82 Mengenai hadis Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik hadis, ia
adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab ialah bagaimana kita harus memahami
hadis. Di sini ditawarkan satu pendapat bahwa hadis-hadis dapat dikategorikan
sebagai termasuk umurud dunya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan
harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam konteks sosio-historisnya. Kalau
tidak ia akan menjadi kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika
preseden-preseden historis terutama dari kebijaksanaan-kebijaksanaan Umar seperti
mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan
tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar
praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit.83 Umar tidak
memahami hadis-hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam
semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, hadis-hadis itu harus dipahami
menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad (artinya tidak
dinaskan).
Hadis-hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah
kemasyarakatan dan politik (mu'amalah), seperti hadis al- Aimmah min Quraisy yang
oleh Ibn Khaldun dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori
asabiyah. Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan imamah kepada
kaum Quraisy karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang
diperlukan bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat
diperluas lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki
pengalaman dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu
wajarlah Rasul menyerahkan imamah kepada mereka.84
Hadis Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang

81Ibid. hlm. 189-190.


82Imam Bukhari menerima hadis tersebut dari Usman bin Hasyim dari Auf dari Hasan
al-Bisri dari Abu Bakrah, Matn al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, (Bandung: Syirkah al-Ma'arif, t.t.), III:
90-91.
83Abu Yusuf, al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma'arifah,1979), hlm. 26 dts.
84Syamsul Anwar, "Imamah Wanita dalam Pandangan Ulama Fiqh Siasah", Makalah Diskusi
Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988,
hlm.6.
sama. Pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita
yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan
kaum wanita. Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah
begitu kokoh dan melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu
singkat, seperti lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad
kemudian posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di
rumah dengan sangat ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia
mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya,
sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah.
Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka. Dari segi
pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki malah lebih tertarik untuk
mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab budak yang terampil
terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja
yang mendidik wanita.85 Pendek kata wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah
suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu mengenai urusan
masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu
kaum yang menyerahkan urusannya kepada kepada orang yang tidak banyak mema-
hami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan. Akan tetapi sekarang
situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara
inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk beluk
masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut
ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar hukum Islam,
wanita yang karena kecakapannya menjadi kepala pemerintahan, karena illat
mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang.86 Dengan mempergunakan
pandangan at-Tufi nampak hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi
pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam hadis
tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah,
illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi
tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang
dibolehkan.87
Ketentuan bagian waris
Syari'at seperti tersurat dalam ayat 2:1 antara pewaris pria dan wanita, secara
teoritis bisa saja diubah, dimodifikasi. Dalam kenyataan, hal itu sudah banyak terjadi
dan diakui sah bahkan oleh kalangan ortodoksi sendiri, melalui terobosan wasiyat
dalam pola perbandingan mana saja yang dikehendaki.Boleh jadi, sesuai dengan
adanya ketentuan yang lebih tegas bahwa pola perbandingan warisan secara positif
ditentukan 2:2 sesuai dengan, kenyataan masyarakat di mana kontribusi pihak wanita
(istri) dalam perekonomian rumah tangga kini acap kali sama besar dengan kontribusi
pria (suami) sendiri. Jika itu yang dituntut, maka perbandingan positif 2:2 saja, tanpa
memberikan peluang untuk pola perbandingan lain seperti dalam terobosan wasiyat,
akan jauh lebih sulit dan kaku untuk meraih keadilan. Sebab, pada kasus-kasus
tertentu, misalnya pihak pewaris pria adalah orang kaya raya sedang pewaris
85Ahmad Amin, Duha al-Islam, (Kairo:Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t.), I:98.
86Syamsul Anwar, Imamah, hlm.7
87Nasikun, Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan , Makalah Diskusi Ilmiah
Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, hlm.8
wanitanya masih sangat sengsara, perbandingan yang adil pasti bukan sekedar 2:2
tetapi bahkan 2:0 untuk pewaris wanita.88
Sementara itu, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu dipahami
menurut semangat utamanya ketentuan usul al-fiqh bahwa ayat-ayat mufasar dan
muhkam (qat'i ad-dalalah) harus dipegangi sebagai dasar konstitutif hukum syar'i ada
juga mendapat gugatan. Misalnya Kassim Ahmad mengatakan bahwa justru ayat-ayat
mufassar yang terperinci itu hanya contoh penerapan sezaman yang boleh saja
berubah. Yang menjadi dasar pokok adalah ayat-ayat mujmal. Misalnya dalam kasus
waris, ayat yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari
peninggalan orang tua dan kerabat mereka (Q.S. 4:7) adalah prinsip umum. Sedang
ayat bahwa bagian wanita separoh lelaki (Q.S.4:11-12) adalah contoh penerapan pada
waktu itu terhadap prinsip umum itu. Jadi Kassim Ahmad ingin membalikkan kaidah
usul sehingga ayat mufassar tidak qat'i dan yang qat'i adalah ayat mujmal.89
Di samping itu ada juga yang memasukkan hadis itu ke dalam kaidah
fiqh. Ruang lingkup kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari
90

masalah-masalah fiqh, bahkan merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang
akan meng-istinbat-kan suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia
merupakan dasar bagi menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat.91 Banyak
hukum yamg di-istinbat-kan dari kaidah ini.
Berdasarkan contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la
darara wa la dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha
menjauhkan kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna
mewujudkan maslahat.92 Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la darara wa la
dirara, baik kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para
ulama guna mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap
orang yang akan meng-istinbat-kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat.
Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan
pada akhir setiap nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu
kerjakan ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat
demikian, melainkan bila maslahat menghendaki".93
Pendirian at-Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang
telah disebutkan dan didukung pula oleh nas-nas syara' lainnya, jika bertentangan
dengan dalil-dalil syara'- terutama nas dan tidak dapat dikompromikan - hendaklah
maslahat lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas dan ijma' atau
dalil-dalil syara' lainnya, bukan dengan cara mempermainkan dalil-dalil itu.
Pendirian at-Tufi ini, pada hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang
didukung oleh nas-nas syara' lainnya atas dalil-dalil syara' lainnya. Atau
88Masdar F. Mas'udi, "Memahami", hlm. 190.
89Kassim Ahmad, Hadis Satu Penilaian Semula, (Selangor: Media Intelek SDN BHD, 1986),
hlm. 53.
90H. Asjmuni Abdurrahman, Qa'idah-Qa'idah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm.85-97. Muhammad al-Madani, Mawatin al-Ijtihad Fi asy-Syari'at al-Islamiyah, (Quwait: Maktab
al-Manar, t.t.), hlm.8.
91Ibid. hlm.97.
92Ibid. hlm.455.
93T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,
1980),I:250.
meninggalkan dalil syara' karena ada dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikata-
kan, bahwa hadis di atas yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya, dapat dijadikan
sebagai dalil untuk pengecualian terhadap dalil-dalil syara' lainnya dalam rangka
mewujudkan dan memelihara maslahat. Teori meninggalkan suatu dalil karena ada
dalil yang lebih kuat atau mengecualikan dalil yang bersifat umum dengan dalil yang
bersifat khusus, oleh para ulama usul al-fiqh disebut istihsan.94 Metode istihsan ini
telah dipraktekkan oleh para ulama usul, terutama yang paling terkenal banyak
mempergunakannya adalah mazhab Hanafi.95 Istihsan ini dipergunakan dalam
penetapan hukum dalam bidang perdagangan, peradilan atau urusan kemasyarakatan,
politik dan lapangan hukum yang serupa. Oleh para ulama' usul, hukum-hukum
tersebut disebut hukum mu'amalah.96 Demikian pula halnya at-Tufi dengan teorinya
itu, hanya tertuju pada lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.
Tujuan segala hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun
lainnya, ialah memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan
dengan nas atau dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang
kedua-duanya dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan
syara' mendahulukan yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan.97.
Sebagaimana diketahui menurut at-Tufi bahwa dalam lapangan ibadah
merupakan hak mutlak Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia
hanya melaksanakan ibadah itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan.98
Dengan demikian dalil dalam bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah.
Berbeda dengan dalil dalam lapangan ibadah, dalil-dalil syara' dalam bidang
mu'amalat dan yang sejenisnya, dalam pandangan at-Tufi nilai efektivitasnya sebagai
sarana dapat diukur oleh akal pikiran manusia. Jika dalam saat tertentu (waktu) dan
kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan,
perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula tetap tercapai, yaitu maslahat.
Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial dan pertimbangan perubahan sosial
(social change) sebagai sarana untuk mencapai maslahat yang merupakan tujuan
Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. At-Tufi yang membedakan syari'at
menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan jalan keluar bahwa dalam
masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat
umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur darurat, illat-illat, adat, syarat karena
situasi tertentu.99
Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan
masyarakat modern yang dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung
dalam suatu hukum. Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah
itu sama atau masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di
mana hukum hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq
94Al-Majlis al-A'la li Ri'ayat al-Funun wa al-"Adabi wa 'Ulum al-Ijtima'iyah, Usbu' al-Fiqh
al-Islami wa Mahrajan al-Imam Ibnu Taimiyah, (Damaskus: M.A.L.R.F.A.U.I,1961), hlm.303.
95Ahmad Azhar Basjir, M.A., Hukum Adat, hlm.23.
96Ibrahim Zakki Hurrasyid, Ahmad asy-Syantawi, dkk., Dairat al-Ma'arif Islamiyah, (Beirut:
Dar al-Fikr,1933), III:236.
97T.M. Hasbi ,Falsafah, hlm. 371 dan al-Gazali, al-Mustafa min Ilm al-Usul, (Kairo:
al-Amiriyah, 1412 H), I:311-312.
98At-Tufi, Syarh, hlm. 48.
99Husni Rahim (Ed.): Buletin HPIS, Th. I No.01 Oktober 1988, hlm.4-5.
al-manat dalam usul al-fiqh, suatu metode penerapan Alquran dengan permasalahan
yang sedang dihadapi. Ia sangat erat hubungannya dengan ijtihad tatbiqi.100
Ijtihad tatbiqi, dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i,
terinci maupun yang bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam
menerapkan hukum yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang
melalui ijtihad mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut
kejeliannya apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang
sedang dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan.101
Dengan demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan
segala bentuk obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku perbuatan
dengan segala kondisi dan perubahannya.102
Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk
maslahat hidup manusia menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau
Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan
penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering
memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi
diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.103
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat
kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan
budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan,
yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang
berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi
seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan
warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum
nasional pada masa yang akan datang.104
Berpangkal tolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada
masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan
dihubungkan pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam
dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup
bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya
(mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma
hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi
asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai
norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi,
kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma
antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law)
masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam
100Satria Effendi M.Zen. "Hukum Islam: Perkembangan dan Pelaksanaannya di Indonesia"
Dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Peny.) Fiqh Indonesia dalam Tantangan (Surakarta:FIAI
UMS,1991), hlm.39.
101Ibid.
102Satria Effendi M.Zen, "Metodologi", hlm. 118.
103Ahmad Azhar Basyir, Pokok, hlm. 31-32.
104Padmo Wahjono,"Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa
Datang", dalam Amrullah Ahmad dkk (Ed)., Demensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Th. Prof.Dr.H. Busthanul Arifin, SH (Jakarta; Gema Insani Press, 1996), hlm.167.
berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan
maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya
cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan
dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi
berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat
banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya
faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru
yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita
atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang
merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas
suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting
adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara,
masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan
menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia
lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam
tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Penutup
Sebagai penutup dari pembahasan terdahulu, perlu dikemukakan
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: Pertama, problema umum dalam bidang
hukum Islam yang dihadapi kaum muslimin pada masa Najamuddin at-Tufi (675-716
H) adalah situasi taklid, jumud dan fanatisme mazhab yang menyebabkan hukum
Islam tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang timbul karena perubahan
zaman.Kedua, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum
Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan
bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan,
maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena maslahat
merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai
tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Ketiga, dalam
perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa
ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep
maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis serta dapat
dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar
bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi,
politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat
umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai
praktisi hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H.Asjmuni.1976. Qa'idah- Qa'idah Fiqh. Jakarta : Bulan Bintang.

Abubakar, Al Yasa. " Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial" dalam Fiqh Indonesia dalam
Tantangan .1991. Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Ed.). Surakarta: FIAI
UMS.

Afif, H.Abdul Wahhab. 1991. Fiqh (Hukum Islam) antara Pemikiran Teoritis dengan
Praktis. Bandung: Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Gunung Djati.
Ahmad, Kassim.1986. Hadis Satu Penilaian Semula. Selangor: Media Intelek SDN
BHD.

Amal, Taufik Adnan.1989. Islam dan Tantangan Modernitas Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.

Amidi, Saifuddin Ali Ibn Abu Ali al-.1914. al- Ihkam fi Usul al-Ahkam. Kairo: Dar
al-Ma'arif.

Amin, Ahmad. Tanpa Tahun. Duha al- Islam. Kairo: Maktabah an-Nahdah
al-Misriyah.

Amin, Muhammad. 1991. Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fiqh. Jakarta: INIS.

Amin, S.H. 1985. Islamic Law in The Contemporary World : Introduction, Glossary
and Bibliography. Glasgow College of Technology: Royston Limited.

Anderson, J.N.D.1976. Law Reform in the Muslim World. London : the Athlon Press.

----------, 1959. Islamic Law in the Modern World. New York: Greenwood Press.

Anwar, Syamsul. "Imamah Wanita dalam Pandangan Ulama Fiqh Siasah", Makalah
Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th.ke-11 , 1988/1989,23
Desember 1988.

Asir, Ibnu al. Tanpa Tahun. an-Nihayat fi al-Garib al-Hadis wa al-Asari. Beirut:
Dar al-Fikr.

Asqalani, Ibn Hajar.1349. ad- Durar al- Kaminah. India: Dar al-Ma'arif.

Bakri, Asafri Jaya. 1994. Konsep Maqasid asy-Syari'ah Menurut asy- Syatibi dan
Relevansinya dengan Ijtihad Hukum Dewasa ini (Disertasi). Jakarta: Program
Pascasarjana IAIN Jakarta.

Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Hukum Adat Bagi Umat Islam. Yogyakarta: Nur
Cahaya.

---------.1984. Pokok- Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: FH. UII.

---------.1993. Refleksi Atas Persoalan Keislaman, (Ed.). Fauzi Rahwan. Bandung:


Mizan.

Bek, al-Khudari. 1960. Tarikh at- Tasyri' Islam. Mesir: Maktabah at-Tijariyah.

Bukhari, al-. Tanpa Tahun. Matn al- Bukhari bi Hasyiah as- Sindi. Bandung: Syirkah
al-Ma'arif.

Buti, Muhammad Sa'id Ramdan al. 1977. Dawabit al- Maslahah fi asy-Syari'at
al-Islamiyah. Beirut: Muassasah ar-Risalah.

Daraini, Fathi ad.1975. al- Manahij al- Usuliyah fi al- Ijtihad bi ar-Ra'y fi al-Tasyri'.
Damsyik: Dar al-Kitab al-Hadis.
Dawalibi, Muhammad Ma'ruf ad. 1965. al- Madkhal ila Ilm Usul al- Fiqh. Beirut: Dar
al-Ilm li al-Malayin.

Departemen Agama R.I. 1980. Alquran dan Terjemahannya. Proyek Pengadaan


Kitab Suci Alquran.

Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:


Logos Publishing House.

Gazali,Abu Hamid ibn Muhammad ibnMuhammad al-.1971.Sifa' al- Galil fi Bayan


al-Syibh wa al- Mukhil wa al- Masalik al-Ta'lil. Bagdad: Matba'ah al-Irsyad.

---------. 1412. al-Mustasfa min Ilm al-Usul. Kairo: al-Amiriyah.

Hallaq, Wael B. The Primacy of the Quran in Syatibi Legal Theory dalam Wael B.
Hallaq dan Donal P. Little (Ed.). Islamic Studies Presented to Charles J.
Adams. 1991. Leiden : EJ. Brill.

Hanafi, Ahmad.1984. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Binatang

Haroen, H. Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Publishing House.

Hasaballah, Ali.1964. Usul at-Tasyri'i al- Islami. Mesir: Dar al-Ma'arif.

Hasan, Ahmad.1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj. A. Garnadi. Bandung:


Pustaka.

Hasan, Husein Hamid. 1971. Nazariyat al-Maslahah fi al- Fiqh al-Islami. Kairo: Dar
an-Nahdah al-Arabiyah.

Hurrasyid; Ibrahim Zakki, Ahmad asy-Syantawi, dkk. 1993. Dairat al- Ma'arif
al-Islamiyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Imad, Ibn al.Tanpa Tahun. Syazarat az-Zahab fi Akhbari Man Zahab. Beirut:
al-Maktab at-Tijari.

Iqbal, Muhammad.1981. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New


Delhi: Kitab Bhavan.

Jauziyah, Ibn al-Qayyim al. 1955. A'lam al- Muwaqi'in. Mesir: Maktabah at-Tijariyah.

Juwaini, Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-.1400.Al- Burhan fi Usul al-Fiqh.
Kairo:Dar al-Ansar.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1956. Ilm Usul al-Fiqh. Kairo: Matba'ah al-Istiqamah.

---------.1972. Masadir at- Tasyri'i al-Islami fi ma la Nassa Fih. Kuwait: Dar


al-Qalam. Edisi Indonesia 1984.Sumber-Sumber Hukum Islam, Terj. Bahrun
Abu Bakar dan Anwar Rasyidi. Bandung :Risalah.

Khan, Qamaruddin. 1983. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. terj. Anas Mahyudin.
Bandung: Pustaka.
Lubis, Nur A. Fadhil.1995. Hukum Islam dalam Kerangka teori Fikih dan Tata
Hukum Indonesia Medan: Pustaka Widyasarana.

Madani, Muhammad al-. Tanpa Tahun. Mawatin al-Ijtihad fi asy-Syari'at


al-Islamiyah. Kuwait: Maktab al-Manar.

Mahmassani, Sobhi.Tanpa Tahun. Falsafah at- Tasyri'i fi al-Islam. Beirut: Dar


al-Fikr lil Malayin

Majlis al-A'la li Ri'ayat al-Funun wa al-Adabi wa al-Ulum al-Ijtima'iyah, Usbu'


al-Fiqh al-Islami wa Mahrajan al- Imam Ibnu Taimiyah, 1961. Damaskus:
M.A.L.R.F.A.

Mas'ud, Muhammad Khalid. 1977. Islamic Legal Philosophy : A Study of Abu Ishaq
Al-Syafi'i's life and Thought. Islamabad: Islamic Research Institute.
Mas'udi, Masdar F. "Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi"
dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. 1988. Jakarta: Pustaka Panjimas.

----------. "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah". Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Quran. No.3 Vol. VI. Th. 1995.

Minhaji,Akh..1997."Prof.K.H. Ali Yafie dan Fiqh Indonesia", dalam Jurnal Hukum


Islam Al- Mawarid Edisi VI Desember 1997, hlm. 11

Muslim. Tanpa Tahun. Sahih Muslim. Mesir: Isa al-Babi al-Halabi.

Mazkur, Salam. 1975. al-Wajiz li Ahkam al- Usrah fi al-Islami. Kairo: Dar
al-Madinah al-Arabiyah.

"Menyimpan Barang Dijual Kalau Harga Naik", Suara Muhammadiyah. No. 19 Th.
ke-68 (Oktober 1-1988), hlm. 8.

Nasikun, "Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan" Makalah Diskusi


Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11 1988/1989, 23 Desember
1988.

Nuruddin, Amiur. 1987. Ijtihad Umar bin Khattab Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam. Jakarta: Pers.

Qadri, Anwar Ahmad. Tanpa Tahun. Islamic Jurisprudence in the Modern World.
Pakistan : Bazar Lahore.

Qardawi, Yusuf al. 1980. Fiqh al- Zakah. Beirut: Muassasah ar-Risalah.

Rahim, Husni (Ed.). Buletin HPIS, Th. I No. 01 Oktober 1988. hlm.4-5.

Rahman, Fazlur. "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", dalam
International Journal of Middle Eastern Studies, Vol.I No.4,1970.

---------. 1965. Islamic Methodology in History Karachi : Central Institute of Islamic.


---------,"Towards Reformulating the Methodology of Islamic Law: Shaikh Yamani
on Public Interest in Islamic Law", International Law and Politics, 1979. hlm
219-224.

--------,"Islamic Studies and Future of Islam", Islamic Studies: A Tradition and Its
Problems, (Ed.). Malconim H. Kerr, California, 1980.hlm. 129.

--------, 1980. Major Themes of the Quran . Chicago: Biblitheca.

Rida, Rasyid. 1308. Tafsir al- Manar. Kairo: Ali Yusuf.

Salam, Izzuddin ibn. Abd as.-Tanpa Tahun. Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.
Kairo: al-Istiqamat.

Salam, Zarkasyi Abdul dan Syamsul Anwar "Metode Penelitian dan Pengembangan
Ilmu Fiqh", Asy- Syir'ah No.3.Th.XV,1992 Yogyakarta: Fakultas Syari'ah
IAIN Sunan Kalijaga. hlm.5.

Schacht, Joseph. 1971. An Introduction to Islamic Law. London: Oxford at the


Clarendon Press.

Shiddieqy, T.M.Hasbi Ash.1986. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

---------. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

--------. 1966, Syari'at Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Bulan Bintang.

Stoddard, Lothrop. 1966. Dunia Baru Islam, terj. H.M. Muljadi Djojomartono, dkk.
Jakarta: Panitia Penerbit.

Suyuti, as. Tanpa Tahun. al-Asybah wa Nazair. Singapura: Sulaiman Mar'i.

Syadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.

Syahrastani, Asy. Tanpa Tahun. al- Milal wa an-Nihal. Beirut: dar al-Fikr.

Syalabi, Muhammad Mustafa. 1981. Ta'lil al- Ahkam. Beirut: Dar an-Nahdah.

Syatibi, Asy. Tanpa Tahun. al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari'ah. Kairo: Mustafa


Muhammad.

Syaukani, Muhammad Ibn Ali asy-. Tanpa Tahun. Irsyad al- Fuhul. Kairo : Dar
at-Taba'ah al-Munirah.

Tim. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam . Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve.

Tufi, Najamuddin at. Syarh al-Hadis Arba'in an- Nawaiyah dalam Mustafa Zaid.
1954. al-Maslahat fi at- Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at- Tufi.(Bagian
Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.

Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Watt, W.Montgomary. 1974. The Majesty That Was Islam. London: Sidgwick &
Jackson.

Wahjono, Padmo. 1996. "Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di


Indonesia Masa Datang", dalam Amrullah Ahmad dkk (Ed.) Dimensi Hukum
Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 TH Prof. Dr. H.
Busthanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 167-176.

Waardenburg, J. "Reformers and Reform Movements in 19th and 20th Century Islam
Reconsidered", disampaikan pada 15th Int. Congress IAHR History of
Religious, Sydney 18-24 August 1985.

Yamani, Ahmad Zaki. 1986. Syari'at yang Abadi Menjawab Tantangan Zaman. terj.
Mahyuddin Syaf. Bandung: al-Ma'arif.
Yusuf, Abu. 1979. al-Kharaj. Beirut: Dar al-Ma'arifah.

Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun. Ibnu Hanbal Hayatuhu. Mesir Dar al-Fikr
al-Arabi.
--------. 1958. Usul al- Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.

--------. Tanpa Tahun. Malik Hayatuhu. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.

Zaid, Mustafa. 1954. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al- Islam wa Najamuddin at- Tufi.
Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.

Zaidan, Abdul Karim. 1970. al-Wajiz fi Usul al- Fiqh. Bagdad: Matba'ah al-Ani.

Zuhaili, Wahbah. Tanpa Tahun. Usul al- Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.

Zen, Satria Effendi M.. 1991. " Hukum Islam Perkembangan dan Pelaksanaannya di
Indonesia", dalan Ari Anshari dan Slamet Warsidi (Ed.). Fiqh Indonesia
dalam Tantangan. Surakarta: FIAI UMS. hlm. 39.

----------. 1996. "Metodologi Hukum Islam". dalam Amrullah Ahmad dkk (Ed.).
Dimensi Hukum Islam Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65
Th Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 119.

Anda mungkin juga menyukai