Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENYEBARAN ISLAM DI CIREBON

Disusun sebagai salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah Cirebonologi


Dosen Pengampu : H. Hasbiyallah, M.Si

Disusun Oleh :

Annisa Vadia Haya (200830802)


Mariatul Qibtiyah (1908308008)
Shobirotul Ilmiyah (1908308017)

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur marilah kita panjatkan kepada allah SWT atas limpahan nikmat
sehatnya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran dan yang telah memberikan
kelancaran dalam mengerjakan makalah ini sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.

Penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang membantu untuk


menyelesaikan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terimasih kepada Bapak H.
Hasbiyallah, M.Si selaku dosen yang mengampu mata kuliah Cirebonologi yang telah
memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul
“Penyebaran Islam di Cirebon”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah yang dibuat biasa memberi manfaat untuk
kedepanya.

Cirebon, 19 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................
Daftar Isi................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................
C. Tujuan..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Peran Walangsungsang dalam Penyebaran Islam di Cirebon......................
B. Peran Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Islam di Cirebon...................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................
B. Saran..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam datang di Indonesia ketika pusat-pusat kekuasaan Hindu-Budha
mengalami kemunduran. Pada masa awal kedatangan Islam sekitar abad ke-12 dan
ke-13 Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kekuasaan Hindu di Indonesia bagian barat
mulai menunjukkan tanda-tanda kemerosotan. Demikian pula ketika Islam mulai
berkembang secara luas pada abad ke-15 atau 16 yang merupakan pengaruh dari
Kerajaan Demak yang mendirikan kerajaan Islam di Cirebon atas nama Raja Demak.
Proses islamisasi dan perkembangan Islam di Indonesia telah membawa
pengaruh kepada alam pikiran masyarakat. Pengaruh tersebut senantiasa berkembang
tidak hanya terbatas pada bidang mental spiritual saja, tetapi juga dalam wujud pola
pikir serta kreativitas yang dilakukan oleh masyarakat. . Islam masuk di Indonesia,
pada khususnya di daerah Cirebon, pada tahun 1302 M di pantai Pulau Jawa yang
sekarang disebut Cirebon, ada tiga daerah otonom bawahan kerajaan Pajajaran yang
masing-masing dikepalai oleh seorang Mangkubumi.
Cirebon dikenal sebagai kota Wali dan kota pelabuhan menyimpan sejarah
panjang di masa lalu, khususnya mengenai peristiwa cikal bakal penyebaran Islam di
Jawa Barat. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari peran pedagang muslim, ulama, dan
tokoh pribumi, seperti Walangsungsang. Mereka berjuang dalam mewujudkan sebuah
nagari bercorak Islam dan bebas dari kekuasaan pemerintah kerajaan Sunda-Galuh.
Wali Sanga di dalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak
begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan taktik dan strategi yang
sudah diperhitungkan, dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang, sehingga
agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh
kesadaran, bukan karena terpaksa. Pada saat giat-giatnya Wali Sanga berjuang
menyiarkan agama Islam, maka Sunan Gunung Jati yang termasuk di dalamnya tidak
ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam,
khususnya di Kesultanan Cirebon.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peran Walangsungsang dalam Penyebaran islam di Cirebon?
2. Bagaimana Peran Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Islam di Cirebon?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Peran Walangsungsang dalam Penyebaran Islam
di Cirebon
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Peran Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Islam
di Cirebon
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peran Walangsungsang dalam Penyebaran Islam di Cirebon

1. Biografi Singkat Walangsungsang


Walangsungsang secara historis, sebagai titik tolak untuk mengetahui faktor
genetik dari Walangsungsang dalam Islamisasi di Cirebon. Walangsungsang
dilahirkan di tanah Sunda (Pasundan) yaitu di Galuh (Kawali), Priangan Timur pada
tahun 1423 M. Ia memiliki dua saudara masing-masing bernama Rara Santang (1427
M) dan Sangara (Kian Santang) lahir pada tahun 1429 M. Mereka putra dari hasil
pernikahan antara Pemanah Raja Jayadewata (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Subang
Larang putra Nagari Singapura di Pesisir Pantai Utara Jawa Barat. Dalam tubuh
Ayahnya mengalir darah kerajaan Sunda-Galuh yang berbasis Hindu kelak menjadi
raja di kerajaan Padjajaran. Sedangkan Ibunnya ada titisan darah dari Kerajaan
Singapura, yang memeluk Islam dan seorang santri dari Syekh Qurra di pesantren
Qurra Karawang.
Dari segi agama, kedua orang tua Walangsungsang memeluk agama yang
berbeda. Raden Pemanah Rasa (Prabu Siliwangi) menganut agama Shang Hyang,
sedangkan ibunya, Subang Larang, menganut agama Islam.
2. Penyebaran islam di Cirebon
Pernikahan raja Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi) dengan Subang Larang, putri
mangkubumi dari kerajaan Singapura, Ki Gedeng Tapa (Ki Jumajan Jati). Dari
pernikahan itulah, Lambat laun Islam mulai masuk di kalangan kerajaan Padjajaran,
dan seiring berjalannya waktu Subang Larang memeluk Islam kemudian diangkat
sebagai murid oleh Syekh Qurra. Dari pernikahan tersebut, dikaruniai dua anak,
masing-masing anak tersebut bernama; Walangsungsang (1423 M), Rara Santang
(1427 M), dan Sengara (Kian Santang, 1429 M). Ilmu yang telah dipelajari oleh
Subang Larang di Pesantren kemudian diterapkan di dalam Istana Padjajaran. Perilaku
keagamaan ini kemudian membuat Walangsungsang berkeinginan untuk belajar
Islam.
Dari uraian fakta diatas, dapat diambil benang merah bahwa aktor dalam
menyebarkan Islam di Cirebon adalah putra dari Kerajaan Padjajaran yang memiliki
kekuasaan atas wilayah dibawah kekuasaanya termasuk daerah pesisir Pantai Utara,
Cirebon. Seusai belajar agama kepada gurunya Syekh Nur Jati, Walangsungsang
melanjutkan perjuangannya, dengan demikian Islam yang dibawa oleh ulama
profesional dengan tujuan menyebarkan Islam, kemudian Walangsungsang
dinobatkan sebagai Pengraksabhumi di bawah kepemimpinan Ki Danusela sebagai
Kuwu I Cirebon.
Kala itu Islam telah diperkenalkan kepada jajaran penguasa, sehingga lambat
laut Islam mulai dianut oleh masyarakatnya. Yang menarik di sini, agama yang dianut
oleh jajaran kepemimpinan Ki Danusela, bahwa Ki Danusela sendiri masih beragama
Hindu dan Ngraksa-nya (pengurus urusan bidang pertanian dan perikanan) sedangkan
Walangsungsang telah menganut agama Islam, jadi toleransi agama telah nampak
dalam pakuwuan Cirebon. Selain itu, akibat dari terbukanya gerbang peradaban pada
sektor perdagangan banyak suku bangsa asing yang menjalin hubungan dan ketika itu
mereka bercampur dengan penduduk pribumi, hingga saat ini keberagaman suku dan
agama masih terasa kental.
Walangsungsang dalam menyebarkan Islam masih sangat sederhana,
dikarenakan pada kala itu sebagai periode pemula peralihan agama dari Hindu-Budha
ke Islam atau konversi. Sehingga banyak ditemukan fakta berupa akulturasi budaya,
diantaranya nilai-nilai Islam dengan budaya lokal yang basisnya Hindu-Budha.
Menurut P.S Sulendraningrat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, tradisi
slawat diawali dari kisah kematian Kuwu Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang-alang
kemudianWalangsungsang berusaha mengumpulkan masyarakat pedukuhan Tegal
Alang-alang untuk membatu proses peguburan secara Islami (memandikan,
mengkafani, menyolati dan menguburkan) akan tetapi para tetangga tidak ada yang
datang untuk memenuhi panggilannya, karena upacara kematian secara Islam berbeda
dengan upacara kematian orang Budha.
Melihat realita demikian, Walangsungsang menyampaikan pengumuman
bahwa "barang siapa yang berkenan membantu proses peguburan akan diberi upah".
Akhirnya para tetangga mulai berdatangan dan proses peguburan berjalan lancar.
Tindakan demikian, merupakan salah satu karakter agama Hindu-Budha kala itu yaitu
membantu sesama dengan mengharapkan upah. Sampai saat ini budaya slawat masih
dijalankan oleh masyarakat Cirebon, hal itu adalah bentuk ucapan terimakasih karena
telah membantu mengurusi jenazah. Walaupun dalam Islam, telah menjadi kewajiban
sebagai umat Islam untuk membantu mengurusi proses kematian saudaranya (se-
muslim).
Pada dasarnya budaya slawat merupakan upaya Walangsungsang dalam
mengenalkan ajaran Islam kepada masyarakat yang masih beragama Hindu-Budha,
dengan asumsi ketika membantu sesama manusia menjadi suatu kewajiban tanpa
mengharapkan imbalan, berkat niat dan usaha yang muliah, lambat laun sebagian
masyarakat berkenan bersaksi dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Melalui
bimbingan Walangsungsang dan kemudian membuka langgar untuk tempat menimba
ilmu.
Menurut beberapa sumber lokal, dalam Naskah Purwaka Caruban Nagarai,
Sejarah Cirebon, Cariyos Walangsungsang, bahwa Walangsungsang mendirikan tajug
yang dikenal Sang Tajug Jalagrahan (Jala berarti air; graha berarti rumah), Masjid
kecil ini merupakan tempat ibadah pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut
Cirebon, yaitu pada tahun 1450 M. Kata tajug ini sampai saat ini masih terpelihara
dengan nama dialek Cirebon yaitu menjadi kata tajug (musholah) Pejalagrahan.
Selanjutnya pada perkembangan dari tajug (musholah) peninggalan sejarah Islam di
Cirebon berkembang pesat seiring penyebaran Islam, sehingga dari pihak kerajaan
Islam mendirikan masjid yang berfungsi sebagai sarana ibadah, sosial, pendidikan dan
politik (musyawarah).
Selanjutnya, setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah Walangsungsang
berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Mulamula Syekh Nur Jati yang tinggal di
Pesambangan menganjurkan agar Walangsungang pergi menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Dengan menggunakan kapal Asing dari Arab yang singgah di pelabuhan
Muara Jati. Menurut Tome Pires ada sekitar 4-5 kapal besar yang singgah di Muara
Jati. Walangsungsang berangkat dengan adiknya, Rara Santang. Sepulang dari berhaji
Walangsungsang, menguatkan misinya untuk menyebarkan ajaran Islam agar semakin
masif dan meyebar luas.
Walangsungsang yang setiap harinya beraktivitas di daerah pesisir untuk
menangkap dan mengelolah udang kecil atau rebon. Namun Walangsungsang
bertempat tinggal di daerah Cirebon Girang. Seperti yang diyakini masyarakat
Cirebon Girang saat ini secara geografis terletakdi perbatasan antara batas kota
Cirebon, tetapi mereka yakin bahwa Makam Keramat Talun adalah tempat dulu
Walangsungsang tinggal dan bertafakur untuk mencari ajaran Islam. Karena letak
Cirebon Girang saat ini dekat dengan Gunung Berapi.
Menurut Juru Bicara Keramat Talun, bahwa dahulu Mbah Kuwu setiap
harinya ngulang ngaji atau mengajarkan pelajaran tentang keislaman, selain itu Mbah
Kuwu juga aktif mengajak warga untuk sholat berjamaah di masjid Jalagrahan dengan
menggunakan Bareng yang dilantunkan untuk mengundang masyarakat dan menjadi
tanda masuknya waktu sholat. Filosofinya Bareng merupakan wejangan yang diterima
Walangsungsang dari hasil pencarian ajaran Islam, sebelumnya ia menemui Sang
Hyang Naggo yang merupakan ahli agama Hindu-Budha. Kemudian setelah bertemu
dengan Syekh Nur Jati, Walangsungsang menceritakan secara kronologis, oleh Syekh
Nur Jati dijelaskan dari sudut ajaran Islam.
Atas penjelasan Syekh Nur Jati mengenai wejangan untuk masyarakat yang
ingin menjadi orang Islam sejati, maka megamalkan azimat tersebut, atau dikenal
dengan sebutan Azimat Bareng. Ada empat macam ilmu: ilmu syari’at dengan
mengamalkan rukun Islam yang 5, ilmu Tarekat mengamalkan rukun iman, ilmu
Hakikat dengan meluruskan tujuan ajaran Islam adalah untuk menggapai keselamatan
dunia dan akhirat dan ilmu Ma’rifat yaitu mengetahui adanya Allah. Menurut Harun
Nasution, tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.
Sedangkan intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, Walangsungsang dalam
menyebarkan ajaran Islam dikemas secara sederhana dengan pendekatan kultur
masyarakat Cirebon, sehingga mudah diterima.
3. Pembuka Peradaban Islam Cirebon
Peradaban menjadi bukti bahwa ada sebuah wujud dari aktivitas manusia
dalam kemajuan suatu kebudayaan dalam persepektis sejarah. Islam menjadi
keyakinan dan kepercayaan serta aturan yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhannya. Manusia dengan manusia, dan muslim dengan umat Islam. Awal
mula Walangsungsang dalam merintis Kota Cirebon, ketika Walangsungsang selesai
menempuh pendidikan Islam di Amparan Jati, beserta adiknya (Rara Santang) dan
istrinya (Indang Geulis). Ketiganya tinggal di sebuah langgar (pesantren) yang diasuh
oleh seorang ulama dari Arab bernama Syekh Nur Jati. Kemudian Walangsungsang
berganti nama menjadi Somadullah. Menurut Azra, konversi penguasa ke Islam,
setelah mengucapkan dua kalimat Syahadah, mereka pun mengganti namanya sesuai
dengan nama-nama Muslim.

Walangsungsang diberi tugas oleh Syekh Nur Jati untuk membuka pedukuhan
yang mayoritas belum menganut agama Islam, ialah pedukuhan Tegal Alang-alang
atau Lemah Wungkuk, dalam perkembangannya pedukuhan Tegal Alang-alang
menjadi nagari yang besar yaitu daerah wilayahnya meliputi Caruban Larang dan
Girang. Karena Walangsungsang merupakan keturunan Kerajaan maka ia tidak begitu
sulit untuk merintis dan mengembangkan daerah dakwahnya. Kondisi daerah Tegal
Alangalang yang dipimpin Ki Gedeng Alang-alang dianggap sebagai daerah yang
kelak menjadi daerah subur, karena letaknya berada di dekat pantai dan sekitar muara
sungai, sehingga dari aspek transportasi akan mempermudah arus perhubungan antar
kampung dan berada pusat keramaian, yaitu Pelabuhan Muara Jati. Dengan itu
hubungan kedekatan dengan kakeknya yang bernama Ki Gedeng Tapa selaku
syahbandar pelabuhan menjadi baik dalam bertukar pikiran untuk meningkatkan
berkembangan pedukuhannya. Purwaka Caruban Nagari memberi catatan bahwa
peristiwa tersebut terjadi yang bertepatan pada hari Ahad Kliwon 1 Suro 1358 Saka
bertepatan tahun 1445 M.

Upaya Walangsungsang dalam mengembangkan kampungnya dengan


melestarikan hasil laut seperti udang rebon (undang kecil) sebagai bahan dasar
pembuatan terasi, kelak menjadi primadona dikalangan kerajaan Sunda-Galuh dan
para pedagang asing yag singgah di pelabuhan Muara Jati. sedangkan mata
pencaharian Kuwu Ki Danusela dan Walangsungsang di pagi hari mereka berkebun
dilahan pertaniannya sedangkan pada malamnya mereka pembuat terasi. Setelah
sepeninggalan Ki Gedeng Alang-alang (Ki Danusela) selaku Kuwu pertama,
Walangsungsang memegang alih kepemimpinan yang dipilih melalui hasil
permusyawaratan masyarakat pedukuhan, sebagai Kuwu II. Sejak itu, Pedukuhan
berkembang pesat dan penyebaran Islam berjalan massif, hal itu dikarenakan
penguasanya yang telah menganut Islam, sehingga mempermudah Walangsungsang
dalam menyebarkan Islam. Pada perkembangannya daerah Tegal Alang-Alang
berkembang menjadi pedukuhan yang maju.Tak lama kemudian Walangsungsang dan
adiknya Rara Santang diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji. Setelah berhaji
Rarasantang bernama Hajjah Syarifah Mudaim, sedangkan
WalangsungsangCakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.

Dengan memperhatikan gambaran peristiwa di atas maka berdirinya Nagari


Caruban dengan segala kelengkapanya sebagaimana ciri dari sebuah nagari telah
terwujud adanya wilayah kekuasaan dari batas Nagari Singapura, hingga wilayah
Surantaka, termasuk Japura yang melingkupi Cirebon Girang, pada perkembangannya
memiliki pelabuhan yang bertaraf internasional. Seiring dengna perkembangan
wilayah tersebut maka dibentuk pasukan pengawal keamanan wilayah dan eksistensi
agar Walangsungang diakui oleh kerajaan Padjajaran, dengan memberikan upeti
kepada kerajaan. Maka kelengkapan itu menjadi fondasi Walangsungang untuk
mendirikan Kerajaan yang berbasis Islam dan independensi.

4. Pencetus Istana Pakungwati

Kutipan Azra dalam karya A. H. Johns, perspektif Islam di Asia Tenggara, Islam
pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan peradaban Islam juga merupakan urban.
Johns menyatakan bahwa proses Islamisasi di Asia Tenggara termasuk pelabuhan-
pelabuhan di pesisir utara Jawa, bermula dari kota pelabuhan-pelabuhan. Di perkotaan
sendiri, Islam sebagai fenomena istana kerajaan yang menjadi pusat kekuasaan atas
wilayah maupun intelektual (lembaga pendidikan), sehingga kebanyakan istana-istana
Kerajaan Islam berada di pusat kota, termasuk di Cirebon. Dikisahkan bahwa,
Walangsungsang mendirikan Masjid dan Keraton Pakungwati dengan pembiayaan dari
warisan kakeknya Ki Gedeng Tapa, serta membuat pasukan keamanan lengkap dengan
angkatan bersenjatanya. Pada saat Walangsungsang menjadi Kuwu di Caruban, Ayahnya,
Raja Sunda merestui dengan mengirim Tumenggung Jagabaya membawa panji-panji
kerajaan serta memberikan wilayah kekuasaan kepada Walangsungsang.

Dikisahkan pula, Perkembangan Istana Kerajaan di Cirebon yang berangkat dari


Tajug Jalagrahan kemudian menjadi istana, yang disebut istana Pakungwati. Dalam
sejarahnya, istana tersebut sebagai legitimasi Walangsungsang selaku Kuwu II Cirebon
dan mendapat dukungan dari Kerajaan Galuh, sehingga tidak heran jika pada periode ini,
Walangsungsang mempunyai kewajiban untuk meyerahkan sebagian hasil bumi yang
diberikan kepada Kerajaan Galuh, sebagai upeti. Karena wilayah Walangsungsang
merupakan bagian dari pusat Kerajaan Galuh. Berawal dari sebuah pakuwon di Kebon
Pesisir, Cakrabuana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kuwu Cerbon, salah
satu keturunan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi membangun Dalem Agung Pakungwati.
Rasa cinta dan kasih sayangnya yang mendalam terhadap putri sulungnya mendorong
Pangeran Cakrabuana untuk memberikan nama keraton yang pertama di Cirebon ini
dengan nama Pakungwati. Nama Pakungwati sendiri secara etimologis berasal dari
bahasa Cirebon kuno yang berarti udang betina, suatu hal yang merujuk pada kekhasan
Cirebon masa lalu yang delestarikan hingga sekarang, yakni udang.
Dengan ditandai berdirinya Keraton Pakungwati, berarti berdirilah sebuah
kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan
oleh Walangsungsang atau Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati
Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati
Cirebon.Keraton Pakungwati berdiri pada tahun 1425 M. Keberadaan Keraton Kasepuhan
dalam sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari cikal bakal Ndalem Agung Pakungwati yang
dibangun oleh Walangsungsang atau Cakrabuana. Tradisi menyebutkan bahwa, Kraton
Kesepuhan adalah kelanjutan atau perkembangan dari Kraton Pakungwati Cirebon.
Kraton Pakungwati sudah tempati oleh rajaraja Cirebon awal yang dimulai oleh
Cakrabuana. Pada masa Cakrabuana, Kraton Pakungwati masih belum luas, kini tempat
tersebut dijadikan tempat Ndalem Agung yang terletak dibagian timur laut kompleks
Kraton Kesepuhan. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Kraton Pakungwati
mengalami pelebaran. Nama Pakungwati dilestarikan oleh raja-raja selanjudnya hingga
pada masa pemerintahan Panembahan Ratoe II (GIrilaya).53 Setelah pemerintahan
Panembahan Ratoe II kemudian kerajaan dibagi menjadi dua yaitu, Kraton kesepuhan dan
Kraton Kanoman.

Walangsungsang membangun Keraton setelah melaksanakan ibadah Haji ke


Mekah. Kiprahnya dalam mengembangkan daerah Cirebon mendapat pengawasan secara
ketat dari pihak kerajaan Galuh, kemudian menyatukan beberapa daerah di sekitar
Cirebon seperti negeri-negeri yang telah disebutkan dalam bab II (Surantaka, Singapura,
Japura, Wanagiri) menjadikan daerahnya semakin luas dibawah pimpinan Kuwu Cirebon
(Walangsungsang). Sehingga Walangsungsang merencanakan untuk lepas dari Kekuasaan
Galuh menjadikan daerah Cirebon yang independen. Berkat usaha kakeknya, Ki Gedeng
Tapa yang telah memajukan Nagari Singapura, dan setelah Ki Gedeng Tapa meninggal
dunia, harta warisan diberikan kepada Walangsungsang.

Walangsungsang atau Cakrabuana, bukan hanya sematamata untuk membentuk


suatu pemerintahan areal kekuasan, namun lebih dari itu untukmegembangkan dakwah
Islamiyah yang menjadi citacita saat besarnya. Kemudian akan diteruskan oleh putra dari
adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang, yaitu Syarief Hidayatullah. Susuhunan Jati (Syarif
Hidyatullah) berkedudukan di keraton Pakungwati, sedangkan Cakrabuwana
(Walangsungsang) sebagai manggalai panglima angkatan bersenjata. Pencetus dasar
hukum sebuah Nagari Cirebon yang melandasinya adalah Islam hal itu peran dari
Walangsungsang selaku ulama dan pemimpin di wilayah itu. Selain itu hukum adat masih
berlaku dikarenakan hukum tersebut peninggalan Ki Gedeng Tapa sang kakek yang
mendukung berdirinya sebuah Nagari dan Kuwu Cirebon I Ki Gedeng Danusela sekaligus
mengingat terhadap keragaman masyarakat Cirebon hingga disebut Nagari Caruban
(Cirebon). Di wilayah pesisir utara ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan
Singapura, Surantaka, Japura dan Wanagiri, yang pada perkembangannya termasuk dalam
wilayah Cirebon. Oleh karena itu peran Walangsungsang selain sebagai raja terdahulu
Kerajaan Islam di Cirebon, juga sebagai penasehat kerajaan sekaligus pemimpin
panglima bersenjata kerajaan. hal itu juga tergambar dalam pemakanai simbol berupa
patung macan (singa) di depan Makam Keramat Talun Mbah Kuwu Cirebon Girang.

C. Peran Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Islam di Cirebon

1. Biografi Singkat Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati diperkirakan lahir tahun 1450 M. ayahanda bernama Syarif
Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan musafir besar
dari Gujarat, India, yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum
Sufi di Tanah Air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah, putra
Abdullah Khan, putra Abdul Malik, putra Alwi, putra Syekh Muhammad Shahib
Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman, yang silsilahnya kepada Rasulullah
melalui cucunya, Imam Husain.
Masa muda Sunan Gunung Jati dikisahkan bahwa dirinya mendalami ilmu
agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai
negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan
ulama lain, ia mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan
Pakungwati. Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana
membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur
Tengah, Sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan
membangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru
dibentuk itu setelah pamannya wafat.

2. Penyebaran Islam di Cirebon

Strategi Sunan Gunung Jati dalam pengembangan agama Islam di Cirebon,


dilakukan dengan pendekatan agama, ekonomi, politik dan kultural. Dengan
pendekatan tersebut maka dalam waktu yang relatif singkat Islam dapat menyebar
hampir keseluruh wilayah Jawa Barat terutama di Cirebon.
Setelah Sunan Gunung Jati menjadi penguasa kerajaan Islam Cirebon, secara
damai ia mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Pada saat itu, beribu-ribu orang
berdatangan kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru agama Islam. Pada awalnya
kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang gerakan itu. Tetapi mereka
melihat tantangannya tidak berguna, mereka membiarkan diri mereka sendiri terseret
oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti Galuh, Sukapura, dan Limbangan menerima
dan memeluk agama Islam dan menghormati Sunan Gunung Para penguasa di sekitar
Cirebon menganggap bahwa Sunan Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi
dinasti sultan-sultan Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Jati menggunakan
sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya kerajaan Islam Cirebon
menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang
sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang yang vital.
Struktur pemerintahan kerajaan Islam Cirebon menurut Carita Purwaka Caruban
Nagari, terdiri dari Tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, kemudian penasehat,
dan pimpinan tentara atau lasykar yaitu para Adipati, kemudian para pemimpin
wilayah yang lazim disebut dengan Ki Gedeng.
Adapun program-program yang dijalankan dalam memimpin pemerintahan di
Cirebon, Sunan Gunung Jati adalah intensitas pengembangan agama Islam ke segenap
penjuru Tatar Sunda. Sedangkan di bidang ekonomi Sultan menekankan bidang
perdagangan terutama dengan negeri-negeri di wilayah Nusantara. Selain itu
dikembangkan pula hubungan perdagangan dengan negeri Campa, Malaka, Cina,
India, dan Arab.
Setelah membangun kekuatan-kekuatan ekonomi, Sunan Gunung Jati sebagai
kepala pemerintahan melakukan penataan pemerintahan baik di pusat maupun di
wilayah-wilayah negeri. Untuk kelancaran pemerintahan, maka Sultan menempatkan
kerabat-kerabat dan ulama-ulama sebagai unsur pimpinan pemerintahan baik pusat
maupun daerah.
Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat
kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang sangat strategis, maka Sunan
Gunung Jati mempercepat pengembangan kota tersebut. Untuk hal itu, maka ia
menjalin hubungan dengan kerajaan Islam pesisir utara Jawa yaitu Kerajaan Islam
Demak.
Untuk sarana politik, Sunan Gunung Jati memperluas bangunan Istana
Pakungwati sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan. Kemudian di bidang
ekonomi, Sultan Cirebon selain memperluas jaringan perdagangan, untuk mendukung
kegiatan ekonomi dibuat jalan-jalan antara istana ke pelabuhan Muara Jati dan pasar.
Setelah Cirebon berada dibawah kekuasaan kesultanan Islam yang dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau Syeikh Djati, atau Sunan Gunung
Jati, maka kota tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan politik Islam di Jawa Barat
atau Tatar Sunda. Selain itu Cirebon dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah selain
sebagai pusat kekuasaan kesultanan Islam juga merupakan pusat penyebaran agama
Islam dan sekaligus sebagai pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan
internasional yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line) yang
dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dengan demikian, maka dalam waktu singkat
dibawah kekuasaan Sunan Gunung jati Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota yang
berkembang dari sebelumnya.
Sebagai sebuah kota yang berkembang dari sebelumnya, Cirebon mempunyai
karakteristik di antaranya sebagai berikut:
 Tumbuhnya kehidupan kota yang bernafaskan Islam dengan pola penyusunan
masyarakat serta hirearki sosial yang kompleks.
 Berkembang arsitektur baik yang sakral maupun yang profan seperti Mesjid
Sang Cipta Rasa, Keraton, dan bangunan lainnya yang mengadaptasi rancang
bangun dan ornamen pra-Islam.
 Tumbuhnya karya seni baik itu seni pahat, seni lukis, maupun sastra Islam.
Hal ini bisa dilihat dari hasil karya seni seperti seni batik, seni musik,
kaligrafi, dan karya sastra serta lainnya.
 Tumbuh subur pendidikan Islam yaitu pesantren di sekitar Cirebon.
 Cirebon masuk dalam jaringan penyebaran agama Islam yang dipimpin oleh
Wali Sanga.

Di samping hal-hal tersebut di atas yang menjadikan tumbuhnya Cirebon


sebagai sebuah kota yang berkembang dari sebelumnya adalah:
Pertama, dukungan sarana dan prasarana esensial pemerintahan dan ekonomi
sebagai sebuah ibu kota Kerajaan Pesisir seperti:
 Keraton sebagai tempat kediaman resmi raja (Kepala Negara / Susuhunan dan
pusat pemerintahan terletak tidak jauh dari Pelabuhan Muara Djati.
 Mesjid Agung sebagai tempat ibadah dan tempat merumuskan program
pengembangan agama Islam.
 Pelabuhan utama Muara Djati dapat diandalkan untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat dan kerajaan.
 Jalan raya utama yang menghubungkan keraton sebagai pusat pemerintahan
dengan pelabuhan sebagai pusat perekonomian, dan Mesjid sebagai pusat
keagamaan.
 Pasar sebagai pusat perdagangan di Pasambangan.
Kedua, telah dikuasainya daerah-daerah belakang (hunterland) yang
diandalkan untuk mensuplai bahan pangan.
Ketiga, dibentuknya pasukan laskar yang dipimpin para dipati (panglima)
yang berwibawa dan loyal pada Kerajaan.
Keempat, adanya penasehat raja di bidang pemerintahan maupun agama.
Kemudian diangkatnya penasehat yang merupakan pembantu utama di tingkat pusat,
kemudian kepala wilayah yaitu Ki Gedeng yang loyal pada raja dan berdedikasi tinggi
dan berwibawa.
Kelima, terjalinnya hubungan antar negeri yang erat antara Cirebon dan
Demak.
Keenam, mendapat dukungan penuh dari para wali yang tergabung dalam
Wali Sanga yang mempunyai kharisma dalam masyarakat terutama di pesisir pantai
Utara Jawa.
Ketujuh, bebasnya Cirebon dari ancaman Kerajaan Sunda Pajajaran (Prabu
Siliwangi) karena Cirebon dianggap masih ada pertalian darah dengan penguasa
Pajajaran.
Kesultanan Islam Cirebon secara geopolitik menampilkan strategi situasional
yang tepat. Hal itu disebabkan karena pada saat muncul kekuatan Islam di Tatar
Sunda di wilayah itu tengah terjadi rotasi lokalisasi pusat kekuasaan dari pedalaman
yaitu pusat kekuasaan kerajaan Hindu ke pesisir. Jadi pada saat yang bersamaan di
daerah pesisir tumbuh dengan mantap pusat kekuasaan Islam di daerah pesisir. Disini
sangat memungkinkan bahwa pada masa kesultanan Islam Cirebon, terjadi
percampuran antara etnis Sunda dan Jawa yang kemudian melahirkan subetnik sunda
yaitu Cirebon. mereka adalah orang Cirebon, yang berbahasa Jawa Cirebon, dan
mengembangkan budaya Cirebon. Dengan demikian, Kesultanan Cirebon telah
melahirkan karakteristik masyarakat yang beragam budaya, dengan ciri kehidupan
kota bandar dengan masyarakat religius dan egalitarian, sesuai dengan konsep
ummah.
Cirebon sebagai sebuah pusat kekuasaan politik dan dakwah berada diantara
pusat-pusat kekuasaan lainnya. Untuk menjelaskan mengenai hal tersebut perlu
dijelaskan bagaimana geostrategi Cirebon pada abad ke-16 terutama aspek ekonomi
dan politik. Hal ini perlu dijelaskan bahwa peran Cirebon sebagai pusat kekuasaan
dan dakwah Islam merupakan bagian inheren dari sosialisasi Islam di Jawa Barat.
Secara ekonomis Kesultanan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sunan
Gunung Jati berada didalam jalur internasional perdagangan jarak jauh yaitu
perdagangan jalur sutra. Dengan letaknya yang strategis secara ekonomis, maka di
kesultanan Cirebon tumbuh dan berkembang pemukiman bagi para pelaku ekonomi
baik yang berasal dari dalam maupun luar Cirebon atau pendatang. Hal inilah yang
mendorong Cirebon muncul kota bandar dan merupakan salah satu bandar utama di
pantai Utara Jawa. Letak Kesultanan Cirebon secara diametral berada pada jalur
antara Banten dan Jayakarta di bagian Barat dan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan
Giri di bagian Timur. Dengan demikian posisi bandar Cirebon berada ditengah
jaringan ekonomi perdagangan dan penyiaran Islam baik ke Barat maupun ke Timur.

3. Ajaran-Ajaran Sunan Gunung Jati

Terdapat ajaran Sunan Gunung Jati yang berupa pepatah-pepatah


(pakhlakribahasa) yang sampai sekarang masih diajarkan oleh keturunannya melalui
Sultan Kesepuhan dan kerabat Keraton Cirebon. Pepatah-pepatah itu mengandung
ajaran hidup berupa pandangan hidup, anjuran, pesan, teguran, nasihat, kritik, dan lain
sebagainya pepatah-pepatah tersebut mengajarkan berbagai hal, seperti ketakwaan,
akhlak yang baik, kedisiplinan, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya,marilah kita simak
pepatah-pepatah Sunan Gunung Jati, sebagaimana yang telah ditulis Dadan Wildan,
sebagai berikut.
 Petatah-petitih yang Berkaitan dengan Ketakwaan dan Keyakinan.
“Ingsun titipna tajug lan fakir miskin. Yen sembahyang kungsi
tertaling gundewa. Ibadah kang tetap. Manah den syukur lan Allah. Kudu
ngahekaken pertobat.”

Terjemahanya:

Aku (Sunan Gunung Jati) titip Tajug dan fakir miskin. Jika shalat, harus
khusyuk dan tawadhu’ seperti anak panah yang menancap kuat. Jika puasa
harus kuat seperti tali gondewa. Ibadah itu harus terus-menerus. Hati harus
bersyukur kepada Allah. Banyak-banyaklah bertaubat.
 Petatah-petitih yang Berkaitan dengan Kedisiplinan.
“Aja nyindra mubarang. Pemboraban kang ora patut anulungi. Aja
ngaji kejayaan kang ala rautah.”

Terjemahanya:
Jangan mengingkari janji. Yang salah tidak usah ditolong. Jangan belajar
untuk kepentingan yang tidak benar atau disalahgunakan.

 Petatah-petitih yang Berkaitan dengan Kearifan dan Kebijakan.


Singkirna sifat kanden wanci.
Duweha sifat kang wanti.
Amapesa ing bina batan.
Angadahna ing perpadu.
Aja ilok ngamad kang durung yakin. Aja ilok gawe bobat.
Kenana ing hajate wong.
Aja dahar yen during ngeli.
Aja nginum yen during ngelok.
Aja turu yen during ketaken arif.
Yen kaya den luhur.
Aja ilok rarohi ing wong.
Den bisa megeng ing nafsu.
Angasana diri.
Tepo saliro dan adol.
Ngoletena rejeki sing halal.
Aja akeh kang den pamrih.
Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur.
Gegunem sifat kang panuji.
Aja ilok gawe lara ati ing wong.
Ake lara ati, namung saking duriat.
Aja ngagungaken ing salira.
Aja ujub ria suma takabur. Aja duwe ati ngunek.

Terjemahannya:
Jauhi sifat yang tidak baik. Miliki sifat yang baik. Jangan serakah atau
berangasan dalam hidup. Jauhi pertengkaran. Jangan suka mencela sesuatu
yang belum terbukti kebenarannya. Jangan suka berbohong. Kabulkan
keinginan orang. Jangan makan sebelum lapar. Jangan minum sebelum
haus. Jangan tidur sebelum mengantuk. Jika kaya, harus dermawan.
Jangan suka menghina orang. Harus dapat menahan nafsu. Harus mawas
diri. Tampilkan prilaku yang baik. Carilah rezeki yang halal. Jangan
banyak mengharap pamrih.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Walangsungsang sejak kecil dididik oleh Subang Larang dengan kultur Islam.
Peran dan pengaruh Walangsungsang dalam Islamisasi di Cirebon, diantaranya
sebagai penyebar agama Islam, pembuka peradaban Islam, pencetus Istana
Pakungwati sebagai simbol kekuasaan Islam di Cirebon. Peran Walangsungsang
memberikan pengaruh dalam kegelimangan Islam yang dipimpin Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) Temenggung yang bergelar Susuhunan tahun 1479 M. Jadi
kurang lebih dalam jurun waktu sejak dipimpin oleh Kuwu hingga Susuhunan.
Artinya perjuangan Walangsungsang dalam menyebarkan agama Islam, pembuka
peradaban Islam Pakungwati yang kemudian menjadi sebuah keraton berbasis Islam.
Walangsungsang sebaagai uwak dan penasihat kerajaan berharap setelah Kerajaan
berdiri menjadi daerah territorial dan penetapan sistem pemerintahan berbasis Islam
serta perekonomian menjadi semakin maju dan berkembang. Walangsungsang juga
lebih terkenal dengan panggilan Cakrabuwana dimana nama tersebut bukan hanya
tokoh legenda, mitos dan lain sebagainya, melainkan bagian dari tokoh historis dan
fakta sosial melalui rekonstruksi historis peradaban Islam Nusantara, terutama di
Cirebon pada tahun 1445-1479 M.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), adalah salah satu dari Wali Songo
yang biasa sering kali kita dengar dengan sebutan gurunya para orang-orang Jawa.
Sunan Gunung Jati seorang keturunan bangsawan (kesepuhan). Sejarah Cirebon
dengan jelas mencatat identitas dan silsilah Sunan Gunung Jati yang nasabnya dapat
diurut hingga ke Rasulullah saw. Dari garis Ayah Sunan Gunung Jati merupakan
putra dari Syarif Abdullah bin Nur Alam (atau Nurul Alim) dari Bani Hasyim.
Sedangkan dari garis ibu, beliau merupakan putra dari Nyi Rara Santang (Syarifah
Muda’im) Binti Prabu Jaya Dewata atau Raden Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi.
Masa muda Sunan Gunung jati dikisahkan bahwa dirinya mendalami ilmu agama
sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Selain penyebaran agama, sebagai seorang Sultan, Sunan Gunung Jati terus
melebarkan kekuasaannya demi memperluas kekuasaan Islam.

Strategi Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon


dilakukan dengan pendekatan agama, ekonomi, politik dan kultural. Dengan
pendekatan tersebut maka dalam waktu yang relatif singkat Islam dapat menyebar
hampir keseluruh wilayah Jawa Barat terutama di Cirebon. Selain menjadi Raja ia
juga menjabat sebagai Dewan Wali Songo untuk membantu para-para wali dalam
penyebaran agama Islam.
Peranan Sunan Gunung Jati dalam memimpin Kesultanan Cirebon banyak
memberikan kontribusi pada perkembangan dan penyebaran agama Islam di Tanah
Jawa khususnya di Cirebon. Di antara bidang yang lebih berperan penting dalam
penyebarannya adalah bidang politik. Hal ini disebabkan selain seorang Sultan ia juga
seorang Dewan Wali Songo yang dapat memobilisasi penyebaran kepada negara-
negara yang telah ditaklukan oleh Sunan Gunung Jati.

B. Saran
Mempelajari Penyebaran Islam di Cirebon sangat penting bagi mahasiswa,
yang ingin memperdalam tentang Penyebaran Islam di Cirebon. Untuk itu kami
menganjurkan kepada pembaca untuk dapat mempelajari dan memahami tentang
materi ini.
Dengan makalah ini semoga dapat membantu pembaca dalam mempelajari
materi ini sebagai rujukan dalam belajar tentang Cirebonologi. Kami menyadari
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Maskur Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga dari Masa kecil, Dewasa, Hingga Akhir
Hayatnya, h. 390-391

Feby Nurhayati dkk, Wali Sanga; Profil dan Warisannya, h. 94.


Zulfah, Siti. Islamisasi di Cirebon: Peran dan Pengaruh Walangsungsang Perspektif Naskah
Carios Walangsungsang, Vol 6. No.1, Januari- Juni 2018: Tamaddun

Anda mungkin juga menyukai