Anda di halaman 1dari 18

Makalah

PEMIKIRAN ILUMINASI DAN RESPON ATAS FILSAFAT


PERIPATETIK: AL-SUHRAWARDI DAN MULLA SADRA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam

DOSEN PEMBIMBING :

Dr. H. Aminullah, M.Ag.


Dr. Win Ushuludin Bernadien, M. Hum.

Kelompok 1 :

ACH DIMYATI MUSTOFA 203206080002

ACH BADRUS SHOLEH 203206080001

KHAIRUNNISA SAFITRI 203206080004

URWATUL WUTSQA 203206080006

PRODI STUDI ISLAM

PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER

MEI 2021
A. Pendahuluan

Para orientalis Barat mengira, bahwa tradisi filsafat Islam telah mati pasca
wafatnya Ibnu Rusdy. Namun, klaim semacam itu akan terbantahkan dengan
munculnya interpretasi-interpretasi tentang filsafat iluminasinya, contohnya
Suhrawardi yang dilakukan oleh para pengkaji baru, seperti Henry Corbin, Sayyid
Hosein Nasr, Hosein Ziai, dan sebagainya. Sesungguhnya klaim demikian terjadi
karena para orientalis yang mengira filsafat Islam telah mati atau punah tidak
memberikan perhatian pada periode setelah wafatnya Ibnu Rusyd di dalam
mempelajari filsafat Islam dan mereka hanya mengkaji dari sisi pengaruh dan
hubungannya dengan filsafat Barat. 1

Filsafat iluminasi dan respon atas filsafat peripatetik mempunyai bentuk


tersendiri dalam melandasi pengetahuan manusia dan kesadarannya. Iluminasi dan
respon atas filsafat peripatetik menggunakan cahaya sebagai simbolnya. Cahaya
merupakan entitas yang sangat nyata. Dan cahaya juga menampakkan segala
sesuatu (to manifest). Pengetahuan dinyatakan sebagai kehadiran sesuatu yang
ingin diketahui. Pengetahuan dalam kajian iluminasi dan respon atas filsafat
peripatetik dapat diperoleh dengan metode pembersihan jiwa melalui mujahadah
dan mukasyafah. Teori ilmunisasi dan respon atas filsafat peripatetik ini disebut
dengan ilmu hudhuri, yaitu pengetahuan dengan kehadiran. Untuk memahami
hiararki wujud, dapat dijelaskan bahwa orang yang dekat dengan sumber cahaya
maka ia akan menemukan intetitas wujud yang banyak, begitu sebaliknya. Pada
tingkatan tertingginya, siapa yang mendekat kepada Allah maka ia telah mendekat
kepada sumber cahaya tersebut. Ini yang disebut Nur Fauqo Nur dalam kitabnya
Al-Ghozali Miskatul Anwar.

Setelah melihat betapa besar pengaruhnya filsafat iluminasi dalam wacana


pengembangan filsafat Islam, maka melakukan kajian terhadapnya secara
mendalam dan komprehensif menjadi suatu hal yang sangat penting untuk
dilakukan.

1
Eko Sumadi, Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin Suhrawardi, FIKRAH:
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, Nomor 2, Desember, 2015. Hal. 278.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi suhrawardi ?
2. Bagaimana corak filsafat suhrawardi tentang cahaya dalam jiwa
manusia ?
3. Bagaimana biografi mulla sandra ?
4. Bagaimana konsep filsafat mulya candra tentang Esensi dan
Eksistensi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi suhrawardi
2. Untuk mengetahui corak filsafat suhrawardi tentang cahaya dalam
jiwa manusia
3. Untuk mengetahui biografi mulla sandra
4. Untuk mengetahui konsep filsafat mulya candra tentang Esensi dan
Eksistensi
D. Pembahasan
Biografi Al-Suhrawardi
Al-Suhrawardi mempunyai nama lengkap Syaikh Syihab al-Din
Abu al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di
Suhraward, negeri Iran Barat Laut, tidak jauh dari Zanjan pada tahun 548
H/1153 M. Dia dikenal sebagai Syaikh al-Isyraq atau Master of
Iluminasionist (Bapak Pencerahan), al-Hakim (Sang Bijak), al-Syahid
(Sang Martir), dan al-Maqtul (yang terbunuh), Al-Suhrawardi mempunyai
julukan al-Maqtul (yang terbunuh), ini terkait dengan cara kematiannya
yang dibunuh di Halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi pada
tahun 587 H/1191 M. Karena itu beliau juga disebut guru yang terbunuh.
Dan hal ini lah yang membedakan dia dengan dua tokoh sufi lainnya, yaitu
Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 563 H) dan Abu Hafah Syihabuddin al-
Suhrawardi al-Baghdadi (w. 632 H). 2
Setelah sekian lama al-Suhrawardi terkenal dan mempunyai
doktrin-doktrin yang esoteris (bersifat khusus, rahasia) serta kritik yang
tajam yang dilontarkan kepada para fuqaha’ kala itu menimbulkan reaksi
keras yang dimotori oleh Abu al-Barakat al-Baghdadi yang anti terhadap
aliran Aristotelian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M atas desakan para
fuqaha’ kepada Malik al-Zhahir yang di kala itu membutuhkan dukungan
dari fuqaha’ untuk menghadapi tentara salib yang mengancam umat Islam,
sehingga al-Suhrawardi diseret ke penjara dan di hukum mati pada usia 38
tahun yang masih cukup relatif muda.

Cahaya Sebagai Simbol Iluminasi

Inti filsafat iluminasi dan respon atas filsafat peripatetik adalah


sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi yang membahas tentang
konsep cahaya, berdasarkan Al-qur’an QS. Al-Nur ayat: 35 :

‫هّٰللَا‬
ِ ۗ ْ‫ت َوااْل َر‬
‫ض‬ ِ ‫ُ نُوْ ُر السَّمٰ ٰو‬
2
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005). Hal. 110.
Dalam surat ini Allah menyebut dirinya sebagai Cahaya langit dan bumi.
Al-Ghozali mengembangkan pemahamannya tentang makna cahaya
tersebut dalam bukunya Miskat al-Anwar, Al-Ghozali mengatakan bahwa:
”Al-Nur” yang sebenarnya adalah Allah swt yang dinamakan Nur ’Ala
Nur (Cahaya di atas Cahaya). Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah
dengan Nur al-Nur (Cahaya dari Cahaya-cahaya). 3

Cahaya ini tidak dapat didefinisikan karena ia merupakan realitas


yang paling nyata. Juga karena ia merupakan realitas yang
”menampakkan” (to manifest) segala sesuatu. Cahaya ini juga merupakan
substansi yang masuk kedalam komposisi semua substansi yang in-meteril
maupun imateril. Hubungannya dengan objek-objek dibawahnya cahaya
ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang pada dirinya sendiri dan
cahaya yang terang sekaligus menerangi lainnya. Karena itu menurut
kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa
semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya.

Cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme


cahaya digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan
wujud, bentuk, materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder,
intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingakat intensitas pengalaman
mistik. Jelasnya penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter
dari bangunan filsafat isyraqiah.

Simbolisme cahaya digunakan oleh suhrawardi untuk


menggambarkan masalah-masalah ontologis dan khususnya untuk
memaparkan struktur-struktur kosmologis. Sebagai contoh wujud niscaya
dalam peripatetik disebut cahaya dari segala cahaya (nur al-anwar),
intelek-intelek terpisah disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar
mujarradah).

3
Al-Ghozali, Misykat Cahaya-cahaya, diterj. Oleh Muhammad Baqir dari Miskat Al-Anwar,
(Bandung: Mizan, 1995). Hal. 123.
Iluminasi dan respon atas filsafat peripatetik bagi Suhrawardi
adalah ilmu cahaya yang membahas sifat dan cara pembiasannya. Cahaya
ini menurutnya tidak dapat di definisikan karena ia merupakan realitas
yang paling nyata sekaligus menampakkan sesuatu. Cahaya ini juga
merupakan substansi yang masuk kedalam komposisi semua substansi
yang lain-meteril maupun imateril. hubungannya dengan objek-objek
dibawahnya cahaya ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang
pada dirinya sendiri dan cahaya yang terang sekaligus menerangi lainnya.
Cahaya yang terakhir ini menerangi sagala sesuatu, namun bagaimana
statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang terang dan sebagaimana
disebutkan ia merupakan sebab tampaknya sesuatu yang tidak bisa tidak
beremanasi darinya.

Filsafat iluminasi ini diambil dari kata Isyroq yang berarti Timur.
Timur diartikan dengan dunia cahaya dan dunia malaikat yang bebas dari
kegelapan dan materi, sedangkan barat adalah dunia kegelapan dan materi.
Dunia Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara
cahaya dan sedikit kegelapan. Suhrawardi dalam iluminasinya
menyebutkan sumber dan hasil iluminasi sama-sama dengan
menggunakan istilah nur. Istilah cahaya dan kegelapan digunakan untuk
merepresentasikan ruh dan materi dalam filsafat iluminasi ini.

Metode Pencapaian Pengetahuan

Mendapatkan pengetahuan bagaikan menerima penerangan.


Pengetahuan adalah kehadiran objek yang ingin diketahui. Pengetahuan
seperti ini merupakan karakteristik filosof Timur masa klasik, sehingga
Isyraqi bisa diartikan sebagai penisbatan wilayah Timur masa klasik.
Pemetaan Timur dan Barat tersebut adalah imbas dari perbedaan
metodologi antara Yunani dan Persia.4 Yunani menggunakan metodologi
4
Sayyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim penerjemah
Mizan, (Bandung: Mizan, 2003). Hal. 76.
rasional demonstratif, sedangkan Persia menggunakan metodologi
irasional spiritualis.

Mereka membangun teori pengetahuannya melalui mekanisme


pembersihan jiwa. Pengetahuan hanya bisa dicapai melalui mujahadah dan
mukasyafah, bukan melalui penalasan ilmu logika. Objek pengetahuan
akan hadir dalam jiwa manusia disaat tirai yang menghalanginya mampu
dienyahkan. Keterkuakan tersebut hanya terjadi di saat jiwa mampu
membebaskan diri dari belenggu materi. Ia akan memperoleh penerangan
cahaya di saat dirinya telah suci.

Pengetahuan adalah apa yang diberikan oleh cahaya, bukan


pemberian objek yang diketahui. Jiwa dalam hal ini adalah hal yang
membentuk objek tersebut. Apa yang ditemukan jiwa dalam alam analogi
(alam ide) melalui perantara sebuah cahaya, akan terealisasikan dalam
alam nyata. Apa yang diberikan cahaya kepada jiwa adalah kebenaran,
sedangkan apa yang diberikan akal melalui akal adalah kepalsuan. Akal
hanya digunakan untuk memperkokoh capain yang telah diketahui oleh
jiwa bukan turut campur dalam menemukan capaian tersebut.

Suhrawardi telah membahas masalah pengetahuan, pada akhirnya


berdasarkan iluminasi dan mengusulkan satu teori visi yang dalam
beberapa hal mirip dengan psikologi Gestalt. Ia menggabungkan cara nalar
dengan intuisi, menganggap keduanya sebagai saling melengkapi.
Menurut Suhrawari, nalar tanpa intuisi dalam iluminasi adalah kekanak-
kanakan, rabun dan tidak pernah mencapai sumber transenden dari segala
kebenaran dan penalaran, sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta
latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan pula
tidak akan bisa mengungkap dirinya secara ringkas dan metodis.

Dalam filsafatnya juga Suhrawardi mengungkapkan pendapatnya,


bahwa: akal tanpa bantuan Dzauq tidak dapat dipercaya. Dzauq berfungsi
menyerap misterius segala esensi dan membuang segala skeptisisme. 5
Demikian ciri filsafat Isyraqi yang dibangun oleh Suhrawardi dengan
tujuan akhir dari segala pengetahuan adalah iluminasi dan ma’rifat
(gnosis).

Dengan demikian, pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya


mengandalkan kekuatan intuitif saja, melainkan juga kekuatan rasio. Ia
menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara
intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yamg tidak tergapai oleh
kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi
dan terpercaya.

Realitas Diri dalam Pengertian “Keakuan”

Suhrawardi kemudian merinci lebih jauh rancangan filsafat


cahayanya dilawankan dengan kegelapan, yang barangkali merujuk pada
orientasi keagamaan Persia kuno. Pertama, dia membagi apa yang
diyakininya bahwa "hakikat cahaya itu sendiri" terbagi menjadi “cahaya
substansial yang murni yang berdiri sendiri dan tak bergantung atau
bercampur dengan sesuatu yang lain dan cahaya aksidental yang
bergantung dan bercampur dengan sesuatu yang lain.. Apa yang dalam
hakikat zatnya sendiri adalah bukan cahaya maka secara alamiah termasuk
ke dalam kategori kegelapan.

Kegelapan juga terbagi menjadi kegelapan murni yang mandiri dan


tidak bercampur serta bergantung dengan sesuatu yang lain dan kegelapan
yang tidak mandiri dan bergantung kepada sesuatu yang lain. Contoh dari
yang disebut terdahulu adalah "materi pertama" (al-Hayula), yang dalam
filsafat Iluminasi disebut "substansi gelap" (al-Jawhar al-Ghasiq), yang
hanya memiliki sifat menerima dan pasif. Contoh dari yang disebut

5
Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat
Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003). Hal. 121.
belakangan adalah semua realitas yang terpredikasikan atau yang
“menempel” kepada obyek material yang disebut sebagai aksiden dalam
filsafat Aristotelian.

Dalam filsafat Suhrawardi, juga terdapat yang bukan cahaya dan


kegelapan, tetapi berada diantara keduanya, mereka disebut objek-objek
pertengahan (al-Barzakh), misalnya subtansi-subtansi material yang dalam
kata-kata Suhrawardi, bukan cahaya maupun kegelapan.6 Objek ini akan
nampak ketika terkena cahaya, dan akan kembali ke dalam kegelapan
apabila cahaya itu hilang. Dalam penjelasan linguistik, cahaya dapat
menggantikan wujud dalam doktrin Plato.

Penggambaran Suhrawardi dengan mengatakan saya adalah dia,


kita akan mengenal diri kita sendiri dengan jelas, karena dengan
menggunakan kata “dia” kita dapat memahaminya menjadi objek yang
perlu dipahami, sehingga kita mendapatkan kesadaran diri sendiri dengan
kehadiran. Keterangan kesederhanaan mutlak dan ketakterbagian diri, kita
bisa dengan cukup beralasan mengandalkan prinsip keidentikan antara
“mengetahui” diri melalui pengetahuan dengan kehadiran, dengan
“wujud” realitas objektif diri.

Dalam memposisikan kita sebagai objek yang akan difahami,


hendaklah kita menjadikan kita sebagai orang ketiga yaitu “dia”. Kalau
sebagai “dia” kita akan mudah meneliti dan melihat kekurangan yang ada
dalam kita sehingga kita akan mengenal akan diri kita sendiri.

Semakin dekat dengan Tuhan maka kita akan mendapatkan cahaya


yang berasal dari sumber utamanya yaitu dari Alloh yang menjadi Nur al-
Anwar. Sedangkan istilah yang digunakan al-Ghozali adalah Nur Fauqo
Nur dalam kitabnya Miskat al-Anwar.

6
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hal. 143.
Biografi Mulla Sadra

Sadr al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Yahya Qawami Shirazi


yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra dilahirkan di Syiraz pada
tahun 1572 M, dan wafat di Basrah pada tahun 1050 H/1641 M, pada
dasarnya dapat dikatakan sebagai filsuf Islam yang paling penting setelah
Ibnu Sina. Filsuf ini diberi gelar juga sebagai Sadr al-Muta’allihin atas
pendekatan yang digunakannya dalam mengombinasi filsafat, teologi, dan
intuisi mistik. Ia memperjuangkan sebuah metode filosofis radikal yang
melampaui dikotomi sederhana antara model pengetahuan yang lebih
intuitif, puitis, dan non-proposisional. Inilah yang kemudian membuat
Sadra menjadi terkenal sebagai pemikir yang sanggup merevolusi doktrin
eksistensi metafisika Islam, sehingga Sayyed Hossein Nasr dan Henry
Corbin menyebutnya sebagai “School of Isfahan”.

Mulla Sadra adalah seorang anak tunggal yang lahir dari keluarga
terpandang di daerah Shiraz, Iran Selatan, sekitar tahun 979 H/1571-72 M.
Ia merupakan anak yang cerdas dan memiliki minat yang tinggi untuk
belajar segala disiplin keilmuan. Sadra belajar filsafat dan teologi,
khususnya filsafat peripatetik melalui telaah atas karya-karyanya dan
pemikiran Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) dan Bahmanyar (w. 458 H/1066
M) dari Mir Damad. Ia juga mengkaji filsafat pseudo-Aristotelian dan
Plotiniana Arabika (khususnya yang disebut sebagai Teologi Aristoteles),
dan karya-karya Illuminationist dari Suhrawardi (w. 586 H/1191 M).
Sedangkan dari Shaykh Baha’i, seperti halnya murid-muridnya yang lain,
Sadra mempelajari ilmu tafsir al-Qur’an dan tradisi para Imam Shi’ah
beserta segenap doktrin Shi’ah.7

Filsafat Mulla Sadra

7
Faiz, Eksistensialisme Mulla Sadra, TEOSOFI: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Volume 3,
Nomor 2, Desember, 2013. Hal. 439.
Secara global, filsafat Mulla Sadra dibagi menjadi lima
permasalahan filsafat, diantaranya :

1. Filsafat Pengetahuan atau Epistemologi


2. Filsafat Ketuhanan (Metafisika)
3. Esensi dan Eksistensi
4. Al-Harakah Al-Jauhariyyah (Gerakan Substansial) dan,
5. Filsafat Jiwa.

Mulla Sadra mengkritisi pemikiran filsafat Islam ke dalam


pendekatan sintesis akhir berbagai pemikiran filsafat. Basis utama
pemikirannya yaitu bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, filsafat
peripatetik, iluminatif, kalam Sunni dan Syi’i, serta irfani (gnosis), Mulla
Sadra membuat sintesis secara menyeluruh yang kemudian ia namakan al-
Hikmah al-Muta’aliyah. Mulla Sadra merasa yakin bahwa ada tiga jalan
terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan
intelektual (‘aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf). 8

Suhrawardi pernah mengusulkan penyatuan cara berpikir diskursif,


diwakili terutama oleh Peripatetik, dan menyadari atau mencicipi
pengetahuan (dhawq) yang dicontohkan oleh metafisik Sufi (mistisisme).
Bagi Suhrawardi, filosof yang ideal adalah orang yang menggabungkan
pemikiran analitis dan intuitif pengetahuan, yang melaluinya orang
mencapai pencerahan (isyraq). Dalam memperoleh pengetahuan,
kemudian Mulla Sadra memasukkan model Suhrawardi dan bahkan
mengambil langkah lebih lanjut dengan mengartikulasikan kesatuan
wahyu (qur’an), demonstrasi (burhan) dan metafisik atau menyadari
pengetahuan (‘irfani). Mulla Sadra secara meyakinkan membangun
pemikiran-pemikirannya melalui pendekatan sintesis antara lain; al-isyraq
(illuminatif), massya’i (peripatetik), ‘irfan (gnosis), dan kalam (teologi).

8
Nurkhalis, Pemikiran Filsafat Islam Perspektif Mulla Sadra, Jurnal Substansia, Volume 13,
Nomor 2, Oktober, 2011. Hal. 181.
Ungkapan Hikmah Muta’aliyah, terdiri atas dua istilah al-Hikmah
(artinya teosofi) dan al-Muta’aliyah (tinggi atau transenden). Muta’aliyah
dimaksudkan sebagai sistem filsafat yang melebihi wacana sebelumnya,
yaitu Peripatetik, Illuminasionisme dan gnostis, apabila teologi
menekankan pada teologi argumentasi naqli, apabila peripatetik lebih
menekankan pada argumentasi demontratif, dan apabila illuminasionisme
serta gnostis lebih menekankan pada pembenaran intuisi (zawq), maka al-
Hikmah al-Muta’aliyah menggabungkan ketiga metode diatas yang
direlevansikan dengan al-Qur’an, hadits Nabi, dan perkataan sahabat.
Adapun pengertian al-Hikmah al-Muta’aliyah menurut Mulla Sadra
adalah pengetahuan yang didasarkan pada argumentasi rasional/burhani,
teologi dan filsafat, dan visi rohani/dzauq, tasawuf, serta sesuai dengan
syari’at.9

Dalam filsafat Mulla Sadra terdapat empat aliran berpikir; aliran,


peripatetik, iluminasi, kalam, dan tasawuf, tergabung secara sempurna dan
melahirkan aliran baru filsafat. Dalam pandangan baik akal maupun
syuhud keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam filsafat
dan meyakini bahwa Isyraqi tanpa argumentasi rasional tidaklah memiliki
nilai apapun begitu juga sebaliknya. Mulla Sadra mempertemukannya
dengan kebenaran Al-Qur’an dan Hadis. Harmonisasi yang dilakukannya
menghasilkan sebuah sintesa yakni mengintegrasikannya melalui tiga jalan
yaitu al-Qur’an (wahyu), burhan (demonstrasi atau inteleksi), irfan
(spiritual atau mistis). Karena memang ketiganya tidaklah bertentangan
dalam tujuannya mencapai kebenaran. 10

Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama mencapai kebenaran atau


pengetahuan; jalan wahyu, jalan ta’aqqul (inteleksi) atau al-Burhan
(pembuktian), serta jalan musyahadah dan mukasyafah, yaitu jalan
penyaksian kalbu dan penyingkapan mata hati, yang dicapai melalui

9
Hasan Bakti Nasution, Hikmah Muta’aliyah, (Bandung: Citapustaka Media, 2006). Hal. 39-40.
10
Nurkhalis, Pemikiran Filsafat Islam. Hal.182.
penyucian diri dan penyucian kalbu. Dengan menggunakan istilah lain,
Mulla Sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-Qur’an, jalan al-
Burhan, jalan al-Irfan (makrifat). Istilah husuli (konseptual) tersebut
merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan Mulla Sadra.
Dalam teori pengetahuannya, Mulla Sadra membagi pengetahuan menjadi
dua jenis: pengetahuan husuli atau konseptual (al-‘ilm al-Husuli) dan
pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini menyatu dalam diri
seorang muta’alli, yaitu seseorang yang telah mencapai pengetahuan
berperingkat tinggi, yang disebut oleh Suhrawardi sebagai al-Hakim al-
Muta’alli.

Bangunan epistemologi Mulla Sadra berkaitan erat dengan idenya


tentang wahdah (unity), ashalah (principality), tasykik (gradation), dan
ide perubahan substantif. Menurut Sadra wujud atau realitas itu hanyalah
satu yang membentuk hirarki dari debu hingga singgasana ilahi. Tuhan
sendiri adalah wujud mutlak yang menjadi titik permulaan bidang
eksistensi di mana mata rantai wujud bergerak secara konstan menuju titik
permulaan itu. Dengan demikian, Tuhan adalah transenden vis-a-vis rantai
wujud. 11

11
A. Heris Hermawan, Yaya Sunarya, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2011). Hal.
191.
Esensi dan Eksistensi

Hikmatul Masya’iyyah; kaum filosof Masya’iyyah , seperti Ibnu


Sina, mempunyai pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi
logika Yunani. Tuhan itu ada dan sifat-sifatnya juga ada. Hanya saja,
keberadaan Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan sifat-sifat Tuhan. Dzat
atau substansi, keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer,
sedangkan yang keberadaan sifat-sifat Tuhan, termasuk esensi-Nya
bersifat sekunder. Tidak terbayangkan apabila ada yang kedua tanpa ada
yang pertama. Sebaliknya, tidak demikian. Jadi eksistensi Ilahi
mendahului esensi-Nya. Dalam bahasa ilmu kalam, Dzat mendahului sifat.
Dzat dan sifat sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah
pandangan mazhab peripatetisme Islam atau Hikmatul Masya’iyyah yang
ditegakkan para pendirinya dnegan menggunakan nalar rasional terhadap
konsep-konsep intelektual. Berbeda dengan ontologi Kalam yang hanya
memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang nisbi, para filosof
mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya seperti kaum
Neoplatonis.

Hikmatul Wahdatiyah (wujudiyah). Akan tetapi, para ahli sufi


aliran wujudiyah, misalnya Ibnu ‘Arabi, yang berlawanan dengan
pandangan para filsosof, menyatakan bahwa wujud itu hanya satu, yaitu
Tuhan. Benda-benda lain tak mempunyai wujud, apalagi sifat-sifatnya.
Adapun sifat-sifat Tuhan yang mereka sebut a’yan tsabitah (realitas-
realitas tetap) itu adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuan-Nya.
Sebenarnya, a’yan tsabitah itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di
kalangan Muslim dan non Muslim. Kaum mutakallim menyebutnya
ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah menyebutnya mahiyyah
(esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan gurunya,
Plato, menyebutnya eidos (ide-ide). Bagi Ibnu ‘Arabi, apa yang kita
hadapi sebagai benda-benda fisik itu tak lain dari bayangan realitas-realitas
tetap. Inilah pandangan irfan wihdatul wujud alias kesatuan realitas.
Dalam pandangan ini, wujud atau eksistensi mendahului mahiyyat atau
esensi. Pada arifin ini mencurigai penggunaan rasio atau aql. Sebagai
gantinya, mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai
realitas sebagai sumber utama pengetahuannya, di samping wahyu
tentunya. Dari pengalaman mistik, mereka menyimpulkan adanya jenjang
realitas dan kesadaran yang bersifat diskril.

Hikmatul Isyraqiyah. Seorang sufi lainnya dari Persia Syihabuddin


Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibnu Sina, berusaha
mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya dalam pandangan yang
sama sekali lain. Menurutnya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam
pikiran manusia. Yang benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu, yang
tak lain dari bentuk-bentuk cahaya dari Maha cahaya, yang tak lain adalah
Tuhan. Cahaya itu Satu dan benda-benda yang banyak lagi berbeda-beda
itu hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Dalam
pandangan metafisika cahaya persi ini, wujud bersifat sekunder, dan sifat-
sifat atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi
lebih fundamental atau mendahului, secara logis eksistensi. Inilah
pandangan filsafat iluminasionisme alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi,
pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil kesimpulannya melalui suatu
penelitian filosofis yang menggabungkan metode intuitif mistikus dengan
metode rasioanl filosofis sebagai pelengkapnya. 12

12
A. Heris Hermawan, Yaya Sunarya, Filsafat Islam. Hal. 196-197.
Kesimpulan

Di dalam bagunan filsafat peripatetik suhrawardi dan milla sandra


tergambar jelas melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya
sehingga membentuk warna baru masing-masing kesatuan saling terkait
dan mendukung satu sama lain.kita kemudian menemukan posisi filsafat
paripetik yang jelas-jelas memunculkan warna baru di antara aliran-aliran
filsafat yang ada.

Karakteristik filsafat peripatetik suhrawardi dan milla sandra


merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu
,ucapan-ucapan para imam, kebenaran-kebenaran yang di peroleh melalui
penghayatan spriritual dan iluminasi intelektual ,serta tuntunan-tuntunan
logikan dan pembuktian rasional.

Secara epistemologi filsafat peripatetik suhrawardi dan milla sandra dapat


di kombinasikan dalam tiga prinsip, yaitu: Iluminasi intelektual (dzawag
atau isyraq), pembuktia rasional (‘agl atau istidlal), dan agama (syari’ atau
wahyu). Dan hikmah Muta’aliyah dalam meraih magrifat menggunakan
tiga sumber, yaitu: Argumen rasional (akal), menyingkap (mukasafah), al-
Qur’an dan al-Hadis. Demikian kemunculan filsafat peripatetik suhrawardi
dan milla sandra tidak dapat di pisahkan dan harus dilihat dalam konteks
aliran-aliran pemikir filsafat yang mendahuluinya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghozali. Misykat Cahaya-cahaya. 1995. diterj. Oleh Muhammad Baqir dari


Miskat Al-Anwar. Bandung: Mizan.
Bagir, Haidar. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Faiz. 2013. Eksistensialisme Mulla Sadra. TEOSOFI: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam.
Hermawan, A. Heris. Yaya Sunarya. 2011. Filsafat Islam. Bandung: CV. Insan
Mandiri.
Nasr, Sayyed Hossein. Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
terj. Tim penerjemah Mizan. Bandung: Mizan.
Nasution, Hasan Bakti. 2006. Hikmah Muta’aliyah. Bandung: Citapustaka Media.
Nurkhalis. 2011. Pemikiran Filsafat Islam Perspektif Mulla Sadra. Jurnal
Substansia.
Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sumadi, Eko. 2015. Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin
Suhrawardi. FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan.
Yazdi, Mehdi Hairi. 2003. Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi
Iluminasionis dalam Filsafat Islam. diterjemahkan oleh Ahsin
Muhammad. Bandung: Mizan.

Anda mungkin juga menyukai