DOSEN PEMBIMBING :
Kelompok 1 :
MEI 2021
A. Pendahuluan
Para orientalis Barat mengira, bahwa tradisi filsafat Islam telah mati pasca
wafatnya Ibnu Rusdy. Namun, klaim semacam itu akan terbantahkan dengan
munculnya interpretasi-interpretasi tentang filsafat iluminasinya, contohnya
Suhrawardi yang dilakukan oleh para pengkaji baru, seperti Henry Corbin, Sayyid
Hosein Nasr, Hosein Ziai, dan sebagainya. Sesungguhnya klaim demikian terjadi
karena para orientalis yang mengira filsafat Islam telah mati atau punah tidak
memberikan perhatian pada periode setelah wafatnya Ibnu Rusyd di dalam
mempelajari filsafat Islam dan mereka hanya mengkaji dari sisi pengaruh dan
hubungannya dengan filsafat Barat. 1
1
Eko Sumadi, Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin Suhrawardi, FIKRAH:
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, Nomor 2, Desember, 2015. Hal. 278.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi suhrawardi ?
2. Bagaimana corak filsafat suhrawardi tentang cahaya dalam jiwa
manusia ?
3. Bagaimana biografi mulla sandra ?
4. Bagaimana konsep filsafat mulya candra tentang Esensi dan
Eksistensi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi suhrawardi
2. Untuk mengetahui corak filsafat suhrawardi tentang cahaya dalam
jiwa manusia
3. Untuk mengetahui biografi mulla sandra
4. Untuk mengetahui konsep filsafat mulya candra tentang Esensi dan
Eksistensi
D. Pembahasan
Biografi Al-Suhrawardi
Al-Suhrawardi mempunyai nama lengkap Syaikh Syihab al-Din
Abu al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di
Suhraward, negeri Iran Barat Laut, tidak jauh dari Zanjan pada tahun 548
H/1153 M. Dia dikenal sebagai Syaikh al-Isyraq atau Master of
Iluminasionist (Bapak Pencerahan), al-Hakim (Sang Bijak), al-Syahid
(Sang Martir), dan al-Maqtul (yang terbunuh), Al-Suhrawardi mempunyai
julukan al-Maqtul (yang terbunuh), ini terkait dengan cara kematiannya
yang dibunuh di Halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi pada
tahun 587 H/1191 M. Karena itu beliau juga disebut guru yang terbunuh.
Dan hal ini lah yang membedakan dia dengan dua tokoh sufi lainnya, yaitu
Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 563 H) dan Abu Hafah Syihabuddin al-
Suhrawardi al-Baghdadi (w. 632 H). 2
Setelah sekian lama al-Suhrawardi terkenal dan mempunyai
doktrin-doktrin yang esoteris (bersifat khusus, rahasia) serta kritik yang
tajam yang dilontarkan kepada para fuqaha’ kala itu menimbulkan reaksi
keras yang dimotori oleh Abu al-Barakat al-Baghdadi yang anti terhadap
aliran Aristotelian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M atas desakan para
fuqaha’ kepada Malik al-Zhahir yang di kala itu membutuhkan dukungan
dari fuqaha’ untuk menghadapi tentara salib yang mengancam umat Islam,
sehingga al-Suhrawardi diseret ke penjara dan di hukum mati pada usia 38
tahun yang masih cukup relatif muda.
هّٰللَا
ِ ۗ ْت َوااْل َر
ض ِ ُ نُوْ ُر السَّمٰ ٰو
2
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005). Hal. 110.
Dalam surat ini Allah menyebut dirinya sebagai Cahaya langit dan bumi.
Al-Ghozali mengembangkan pemahamannya tentang makna cahaya
tersebut dalam bukunya Miskat al-Anwar, Al-Ghozali mengatakan bahwa:
”Al-Nur” yang sebenarnya adalah Allah swt yang dinamakan Nur ’Ala
Nur (Cahaya di atas Cahaya). Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah
dengan Nur al-Nur (Cahaya dari Cahaya-cahaya). 3
3
Al-Ghozali, Misykat Cahaya-cahaya, diterj. Oleh Muhammad Baqir dari Miskat Al-Anwar,
(Bandung: Mizan, 1995). Hal. 123.
Iluminasi dan respon atas filsafat peripatetik bagi Suhrawardi
adalah ilmu cahaya yang membahas sifat dan cara pembiasannya. Cahaya
ini menurutnya tidak dapat di definisikan karena ia merupakan realitas
yang paling nyata sekaligus menampakkan sesuatu. Cahaya ini juga
merupakan substansi yang masuk kedalam komposisi semua substansi
yang lain-meteril maupun imateril. hubungannya dengan objek-objek
dibawahnya cahaya ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang
pada dirinya sendiri dan cahaya yang terang sekaligus menerangi lainnya.
Cahaya yang terakhir ini menerangi sagala sesuatu, namun bagaimana
statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang terang dan sebagaimana
disebutkan ia merupakan sebab tampaknya sesuatu yang tidak bisa tidak
beremanasi darinya.
Filsafat iluminasi ini diambil dari kata Isyroq yang berarti Timur.
Timur diartikan dengan dunia cahaya dan dunia malaikat yang bebas dari
kegelapan dan materi, sedangkan barat adalah dunia kegelapan dan materi.
Dunia Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara
cahaya dan sedikit kegelapan. Suhrawardi dalam iluminasinya
menyebutkan sumber dan hasil iluminasi sama-sama dengan
menggunakan istilah nur. Istilah cahaya dan kegelapan digunakan untuk
merepresentasikan ruh dan materi dalam filsafat iluminasi ini.
5
Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat
Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003). Hal. 121.
belakangan adalah semua realitas yang terpredikasikan atau yang
“menempel” kepada obyek material yang disebut sebagai aksiden dalam
filsafat Aristotelian.
6
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hal. 143.
Biografi Mulla Sadra
Mulla Sadra adalah seorang anak tunggal yang lahir dari keluarga
terpandang di daerah Shiraz, Iran Selatan, sekitar tahun 979 H/1571-72 M.
Ia merupakan anak yang cerdas dan memiliki minat yang tinggi untuk
belajar segala disiplin keilmuan. Sadra belajar filsafat dan teologi,
khususnya filsafat peripatetik melalui telaah atas karya-karyanya dan
pemikiran Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) dan Bahmanyar (w. 458 H/1066
M) dari Mir Damad. Ia juga mengkaji filsafat pseudo-Aristotelian dan
Plotiniana Arabika (khususnya yang disebut sebagai Teologi Aristoteles),
dan karya-karya Illuminationist dari Suhrawardi (w. 586 H/1191 M).
Sedangkan dari Shaykh Baha’i, seperti halnya murid-muridnya yang lain,
Sadra mempelajari ilmu tafsir al-Qur’an dan tradisi para Imam Shi’ah
beserta segenap doktrin Shi’ah.7
7
Faiz, Eksistensialisme Mulla Sadra, TEOSOFI: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Volume 3,
Nomor 2, Desember, 2013. Hal. 439.
Secara global, filsafat Mulla Sadra dibagi menjadi lima
permasalahan filsafat, diantaranya :
8
Nurkhalis, Pemikiran Filsafat Islam Perspektif Mulla Sadra, Jurnal Substansia, Volume 13,
Nomor 2, Oktober, 2011. Hal. 181.
Ungkapan Hikmah Muta’aliyah, terdiri atas dua istilah al-Hikmah
(artinya teosofi) dan al-Muta’aliyah (tinggi atau transenden). Muta’aliyah
dimaksudkan sebagai sistem filsafat yang melebihi wacana sebelumnya,
yaitu Peripatetik, Illuminasionisme dan gnostis, apabila teologi
menekankan pada teologi argumentasi naqli, apabila peripatetik lebih
menekankan pada argumentasi demontratif, dan apabila illuminasionisme
serta gnostis lebih menekankan pada pembenaran intuisi (zawq), maka al-
Hikmah al-Muta’aliyah menggabungkan ketiga metode diatas yang
direlevansikan dengan al-Qur’an, hadits Nabi, dan perkataan sahabat.
Adapun pengertian al-Hikmah al-Muta’aliyah menurut Mulla Sadra
adalah pengetahuan yang didasarkan pada argumentasi rasional/burhani,
teologi dan filsafat, dan visi rohani/dzauq, tasawuf, serta sesuai dengan
syari’at.9
9
Hasan Bakti Nasution, Hikmah Muta’aliyah, (Bandung: Citapustaka Media, 2006). Hal. 39-40.
10
Nurkhalis, Pemikiran Filsafat Islam. Hal.182.
penyucian diri dan penyucian kalbu. Dengan menggunakan istilah lain,
Mulla Sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-Qur’an, jalan al-
Burhan, jalan al-Irfan (makrifat). Istilah husuli (konseptual) tersebut
merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan Mulla Sadra.
Dalam teori pengetahuannya, Mulla Sadra membagi pengetahuan menjadi
dua jenis: pengetahuan husuli atau konseptual (al-‘ilm al-Husuli) dan
pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini menyatu dalam diri
seorang muta’alli, yaitu seseorang yang telah mencapai pengetahuan
berperingkat tinggi, yang disebut oleh Suhrawardi sebagai al-Hakim al-
Muta’alli.
11
A. Heris Hermawan, Yaya Sunarya, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2011). Hal.
191.
Esensi dan Eksistensi
12
A. Heris Hermawan, Yaya Sunarya, Filsafat Islam. Hal. 196-197.
Kesimpulan