Oleh:
KELOMPOK 4
FAUZIAH RAMADHANI
FEBRIAWATI
RATI HARIRI
ROPINA SURI
YUNI KARTIKA
Dosen Pengampu:
ANDRIZAL, S.Psi.M.Pd.I
Puji syukur kehadirat Allah swt, karena atas berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ mukasyafah, Ilmu Laduni, Saefi’’ .
Sholawat bertangkaikan mutiara salam tak lupa pula kita sanjungkan kepada
junjungan kita yakni Baginda Rasulullah Saw, karena khalifah yang suci ini lah
manusia tak luput ucapkan sholawat kepadanya. Tujuan penulisan ini sebagai
syarat mengikuti pelajaran Filsafat Ilmu dan Logika.
Meski kami telah berupaya dengan keras agar makalah ini dapat mudah
dipahami, tentu masih terdapat kekurangan dalam struktur penyusunan serta
materi yang terkandung di dalamnya. Dan itu semua semata-mata karena
kekurangan yang ada pada diri kami selaku penulis. Tentunya kami pun berharap
adanya masukan dan saran yang bermanfaat untuk meningkatkan nilai keilmuan
serta kualitas dalam penulisan karya ilmiah serupa.
TIM PENULIS
i
DAFTAR ISI
A. Mukasyafah ..................................................................................................2
B. Ilmu Laduni ................................................................................................12
C. Saefi............................................................................................................16
BAB III PENUTUP ...............................................................................................19
A. Kesimpulan.................................................................................................19
B. Saran ...........................................................................................................21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mukasyafah, ilmu laduni, dan saefi adalah contoh-contoh dari
pengetahuan mistik disini kami akan memberikan sedikit penguraian tentang
hal ini yang mungkin kita sendiri tidak atau belum mendengar akan
pengetahuan mistik ini. Mistik adalah sebuah pengetahuan yang tidak rasional
meskipun pada kenyataannya dapat menimbulkan objek yang empiris,
dimana mistik ini didalam kehidupan masyarakat sangat melekat sekali
terutama pada masyarakat yang masih primitif, yang kini juga banyak di anut
oleh sebagian besar masyarakat modern. Hingga kehidupan mistik
membudaya baik kalangan keagamaan maupun umum, yang akhirnya
membentuklah sebuah keyakinan adanya kekuatan yang ada pada diri luar
manusia. Dengan sifat keingintahuan itulah sehingga para kalangan yang ahli
membentuk teknik-teknik tertentu sebagai alat terwujudnya pencapaian
sesuatu.
Dari penjelasan diatas pemakalah sendiri akan mencamntumkan sedikit
tentang pengetahuan mistik diantaranya Mukasayafah, Ilmu Laduni, dan Saefi
dan bagaimana ontologi ilmu ini, epistemologi, dan aksiologi dari ilmu-ilmu
ini berikut penjelassannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mukasyafah, Ilmu Laduni, dan Saefi?
2. Bagaimana ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari mukasayafah, ilmu
laduni, dan saefi?
C. Tujuan
Untuk mengetahui :
1. Apa yang dimaksud dengan mukasyafah, Ilmu Laduni, dan Saefi
2. Bagaimana ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari mukasayafah, ilmu
laduni, dan saefi
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUKASYAFAH
1. ONTOLOGI
Mukasyafah adalah salah satu contoh pengetahuan mistik, ini
termasuk mistik putih. Bagaimana ontologinya, epistemolginya, serta
aksiologinya? Cobalah ikuti uraian berikut ini.
Sesuatu ilmu pengetahuan adalah kesadaran (conciousness) tentang
hubungan kesatuan dan kesatuan sbjek objek( Karl Jasper, Philosopical
Faith and Revelation, 1967:61). Pengetahuan filsafat oleh karena itu
muncul dari kesadran tentang relasi subjek-objek. Fenomena ini
digambarkan oelh kesadran metodologis descartes cogito ergo sum, suatu
kesadaran rasional. Sistem Dercartes diawali dengan skeptisisme, segala
sesuatu harus diragukan. Karean itu kita dapat mengatakan bahwa
pengetahuan filsafat diawali dengan pemisahan subejk-objek, demikian
pula dengan sain.
Berbeda dengan hal nya dengan dilsafat dan sain, pengetahuan
mukasyafah justru diawali oleh asumsi dan kesadaran tentang adanya
kesatuan esensial secara asasi antara subjek-objek, yaitu Manusia-Tuhan.
Hal ini dirumuskan oleh Ha’iri (ilmu hudluri: prinsip-prinsio epistemologi
dalam islam, 1994:20) sebagai berikut:
Tuhan Dalam Diri- Diri Dalam Tuhan
Mukasyafah adalah salah satu tangga menuju pengetahuan tentang
dan dalam tuhan, suatu pengetahuan hakikiah. Mukasyafah adalah upaya
penyingkapan hijab-hijab yang menutupi diri. Secara esensial
penyingkapan adalah penghancuran tirai yang menutup objek dengan jalan
rohani. Tabir dalam rohani terdiri dari dua jenis, yaitu tirai penutup (hijab
i rayni) yang tidak mungkin dapat disingkap dan kedua tirai pengabur
(hijab i ghayni) yang dapat di campakkan. Maksudnya ialah bagi orang-
orang yang telah sengaja menutup hatinya dari gairah pencarian akan
2
tertutup dan sangat sulit dibuka, bagi orang-orang yang terus menerus
berusaha mencari dan membuka hijab itu, hijab itu akan terbuka. Persoalan
epistemologi ialah bagaimana cara mencampakkan tirai pengabur (hijab i
ghayni) itu.
Pengetahuan mukasyafah berpijak pada asumsi bahwa Allah itu
ada, dan selain Allah ada juga. Akan tetapi terdapat perbedaan sifat
ontologis mendasar antara ada Allah dan ada selain Allah.
Pengetahuan tentang alam (selain Allah) diperoleh hanya jika
manusia melakukan konseptualisasi pengalaman indrawinya. Setelah itu
barulah ia dapat melakukan penalaran lebih lanjut tentang alam tersebut.
Pengetahuan yang diperoleh tidak lebih dari imajinasi manusia tentang
objek hal itu ada dalam bahasa.
Kepasifan alam menuntut manusia aktif, supaya alam itu berbicara
tentang dirinya. Aktivitas manusia itu dimulai dengan aktivitas inderawi.
Kemudian berulah aktivitas rasio.
Penghidupan rasio itu diperlukan untuk menghidupkan cerapan-
cerapan indera tadi. Perolehan indera menjadi perolehan bermakna tatkala
ditafsirkan oleh rasio.
Pengetahuan mukasyafah diperoleh melalui pengalaman langsung.
Tuhan berupa objek yang aktif. Artinya, tuhan sebagai objek pengetahuan
secara aktif menyatakan dirinya. Dari situ diterima pengetahuan oleh
subjek.
Wujud keaktifan tuhan sebagai objek ialah dalam bentuk
pewahyuan dan dalam rahasia alam ciptaan-Nya. Penampakan tuhan pada
alam dan wahyu, secara epistemologis masih memerlukan instrumen dan
potensi indrawi dan rasio, agar mencapai kesadaran dan pengetahuan
tentang tuhan. Tetapi, pengetahuan tentang tuhan seperti ini masih berupa
pengetahuan pada filsafat dan masih spekulatif.
Tuhan mempunyai dua sisi,sisi esensi dan sisi eksistensi,. Tatkala
tuhan bereksistensilah ia dapat dipahami, yaitu tatkala ia berhubungan
dengan selain dia. Jadi, kita tidak akan dapat mengetahui esensi Tuhan.
3
Tuhan diketahui tatkala ia dalam penampakan, dus tatkala ia berhubungan
dengan yang lain, yaitu dalam ciptaannya. Ini masih pada level
pengetahuan filsafat.
Sistem pengetahuan mukasyafah berpijak pada asumsi (keyakinan)
bahwa tuhan memancarkan pengetahuannya. Tetapi pengeetahuan yang
pancarkannya itu tidak dapat dipahami oleh indera ataupun rasio.
Pengetahuan yang dipancarkannya itu hanya mampu dippahami oleh
potensi spiritual kita. Indera dan akal rasional itu hanya penghalang tatkala
potensi spiritual kita berusaha menangkap pengetahuan itu. Karena itu
pada saat pencerahan pengetahuan tuhan oleh potensi spiritual itu, potensi
indera dan rasio di nonaktifkan untuk sementara. Yang dilakukan adalah
,membiarkan potensi spiritual (yaitu hati, qalb) menerima dan menampung
pengetahuan tersebut.
Tetapi bagaimana manusia menonaktifkan potensi indera akal
rasional dan mengaktifkan qalbu-nya?
Karena pengetahuan mukasyafah terkait dengan situasi hati
tertentu maka epistemologinya akan bersifat psikologis, yaitu
mengusahakan agar potensi spiritual pengetahuan tuhan tersebut. Cara
menonaktifkan indera dan akal rasional dan mengaktifkan qalbu itulah
merupakan bahasan ilmu mukasyafah. Uraian berikut mencoba
menjelaskan hal itu sebagainya.
Dalam alquran disebut empat istilah yang berkenaan dengan batin
manusia yaitu nafs, roh, qalb, dan aql. Empat istilah itu dalam khazanah
dalam simpang siur pengertiannya karena memang al qur’an tidak
menerangkannya secara tegas. Bahkan roh itu dikatakan tuhan tidak akan
diketahui oleh manusia. Padalah dalam literatur shufi roh merupakan
dimensi tertinggi sedangkan nafs terendah.
Roh berasal dari kata rih (angin), sementara nafs atau jiwa sama
dengan nafas. Barangkali dari defenisi itu dapat disimpulkan bahwa
manusia dapat merasakan kenadiran roh seperti manusia memahami
4
adanya angin dan adanya gemerisik daun tiupan angin tarikan nafas
,menunjukkan adanya roh. Barangkali begitu.
Roh tercipta dari cahaya sedangkan malaikat sepenuhnya terpisah
dari dunia mareti. Roh adalah realitas tunggal dan sederhana. Sebaliknya
badan terbuat dari tanah liat yang gelap dan mempunyai banyak bagian.
Tidak mungkin ada kaitan langsung antara realitas yang bercahaya dan
tunggal dengan realitas yang gelap dan mempunyai banyak bagian.
Mungkin jiwa adalah penengah antara keduanya yang memiliki sifat kedua
realitas yang berlawanan itu. Jiwa terbuat dari api. Ia adalah campuran
antara cahaya dan gelap, tunggal dan jamak.
Al ghazali, dalalm konteks tersebut melihat ada dua kecenderungan
jiwa manusisa, yaitu bersifat ketuhanan atau rabbani dan kesetanan. Yang
pertama naik dan yamg kedua turun. Yang pertama adalah yamg menarik
ke tuhan, yang kedua adalah yang menarik ke matei. Selama
kecenderungan manusia kepada materi maka ia akan didominasi oleh
materi, manusia akan cenderung kepada keajahatan jika cenderung ke atas
atau ketuhan maka yang mendominasi adalah tuhan, maka jiwa akan
sampai pada kedamaian bersama tuhan.
All qur’an menggunakan istilah qalb dan menyebutnya sebanyak
132 kali. Makna dasar qalbu ialah mambalik, kembali, pergi maju mundur,
berubah, naik turun, mengalami perubahan. Dari sejumlah penampakannya
dalam al qur’an secara garis besar ia menunjuk hati dalam diri manusia.
Atau dapat dimaknai sebagaimana makna dasar tadi, sebagai tempat bagi
kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan.
Secara luar al qur’an menyebutkan hati sebagai alat membuat
manusia ,menjadi manusiawi, pusat kepribadian manusia. Karena manusia
terikat dengan tuhan maka pusat ini merupakan tempat manusia bertemu
dengan tuhan.
Karena merupakan pusat sejati manusia maka tuhan menaruh
perhatian khusus pada apa yang dilakukan hati itu dan kurang
memperhatikan perbuatan manusia lainnya. Tidak ada celanya kau
5
berbuat salah kecuali jika hatimu menyenanginya (QS.33 .5). bandingkan
juga dengan (QS. 2: 1188, 225; 8: 70 atau denan hadits tuhan tidak melihat
badanmu atau bentukmu mrlainkan hatimu.
Hati juga kunci kemunafikan. Tuhan berkata, i tuhan tahu apa yang
adal di dalam hatimu (QS. 33 : 51). Orang-orang munafik itu takut jika
diturunkan sebuah surat yang mengungkapkan apa-apa yang tersirat di
dalam hati mereka (QS. 9:64;3. : 167;48 : 11). Hati juga digambarkan
memiliki mata ddan telinga karena itu ia merupakan pusat pandangan,
ppemahaman dan ingaatan atau dzikir (QS. 79:8; 22:46 dan lain
sebagainya). Sehingga wajar saja bila iman tumbuh di dalam hati, juga
keraguan tumbuh disana, penyelnggara dari jalan lurus juga wajar ( QS. 49
: 14 dan lainnya).
Al Qur’an menempatkan kebaikan-kebaikan seperti kesucian,
kelembutana, keluasan, perdamaian, cinta dan taubat didalam hati. Namun
kebaikan itu tidak melekat didalam hati. Jika tuhan tidak mensucikan hati,
maka hati akan sakit, berdosa, jahat, kasar (QS. 5: 41 dan dicantumkan
dalam ayat Al qur’an lainnya). Untuk itu hati hendaknya lembut dan
bersifat reseptif terhadap petunjuk ilahi, cahaya dan cinta.
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut siatas dapatlah diketahui
dua hal, pertama, hati pada dasarnya bersifat netral, ia diciptakan
mempunyai kecenderungan lurus atau bengkok (sesat), kedua, hati
diperthatikan oleh tuhan untuk cenderung pada sifat baik pada petunjuk,
iman, cahaya, cinta.
Dalam kenyataan sesungguhnya, hati terperangkap antara dua sisi
yaitu cahaya dan kegelapan, roh dan jahat. Hati mungkin dikuasai oleh
“jiwa yang menguasai kejahatan “ yang di selubungi oleh kegelapan. Hati
mungkin berbeda antara jiwa dan roh, yang disitu kegelapan dan cahaya
bersaing hati dengan demikian antara lokus bagi ingatan akan tuhan, ia
merupakan tempat kebimbangan (hawa) muncul mengubah individu
menjadi begini atau begitu sekaligus tempat pertimbangan ( hilm) dari
akal, muncul dan kecenderungan hati pada kebaikan.
6
Kenyataan itu dikemukakan oleh al ghazali, katanya, hati dapat
diibaratkan sebagai cermin yang memantulkan segala sesuatu disekitarnya.
Melalui penerimaannya ia mampu mendapatkan setiap sifat yang ada. Jika
hati hidup dalam situasi kacau dan rasio takhlukan, hati menjadi hati yang
mendung dan gelap. Jika keseimbangan yang benar ditegakkan, cermin itu
mencerminkan kecemerlangan rohani dan mampu meraih sifat-sifat tuhan.
Hubungan antara hati, roh, jiwa dan badan dikemukakan oleh
abdul razzaq kasyani, salah seorang tokoh mazhab ibn al-‘Arabi lewat
takwilnya terhadap surat al nur ayat 35: katanya, hati adalah substansi
yang bercahaya dan terpisah antara roh dan jiwa. Melalui hatilah
kemanusiaan sejati (alinsaniyyah) terwujud. Para filosof menyebutkan
jiwa rasonal. Roh adalah dimensi bantinnya dan jiwa hewan adalah
tanggungannya serta dimensi lahirnya yang terletak diantara dia ( hati
dan jasat). Maka Al qur’an membandingkan hati dengan cermin dan
bintang yang bercahaya, sementara roh dibandingkan dengan lampu.
Inilah firman-nya, “perumpamaan cahaya-Nya bagaikan cahaya corong
berpelita di dalamnya; pelita itu direlung kaca, relung kaca itu bagaikan
cahaya bintang gemerlapan, dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun
yang tunbuh di lembah kudus penuh restu, yang cukup mendapat sinar
matahari sejak terbit dampai terbenam”(QS. 24 : 35). Pohon tiu adalah
jiwa, relung itu adalah badan (sachiko Murata, the tao of islam,
1996:383).
Kondisi tersebut selalu ada dalam pertentangan, dua sisi jiwa
mengakomodasikan kecenderungan roh dan atau badan. Jiwa sebagai
suatu kekuatab negatif menrik individuu menjahui cahaya dan akal,
sementara roh menarik individu mendekati tuhan. Dari sudut pandang ini
hubungan antara roh dan jiwa menyerah pada cahaya dan roh, maka
hubungan itu akan penuh keselarasan dan keseimbangan. Maka hubungan
yang baik dan damai antara roh dan jiwa seringkali dibandingkan dengan
perkawinan akal pertama dan jiwa universal perkawinan yang akan
7
melahirkan hati, atau dari sisi jiwa disebut dengan al nafs al
muthma’innah.
Kemampuan hati untuk terus menerus mengahadap ke arah roh
inilah yang menjadi inti penyingkapan hijab tadi. Pengarahan hati itu
merupakan hak yang sulit, hati kadang-kadang teguh menghadap ke arah
roh, kadang-kadang sebaliknya. Itu digambarkan oleh syuhrawardi
berikkut : hendaklah kamu mengetahui bahwa badanku ini murni terpoles
dan hitam. Aku sendiri tidak ,mempunyai cahaya, tetapi jika aku berada
diseberang matahari, maka kesamaan cahayaannya muncul pada cermin
badanku yang proposinya sesuai dengan derajat oposisnya, sebagaimana
bentuk-bentuk ragawi lalinnya muncul dalam cermin. Kerika derajat
oposisinya bertambah, aku beranjak dari nadir sebagai bulan sabit, ke
zenit sebagai bulan purnama.
Dalam gambaran tersebut syuhrawardi menyimbokan siasana hati
dengan bulan yang hanya dapat bersinal jika berhadapan langsung dengan
matahari, sumbser cahaya. Bulan tidak mungkin selamanya purnama (
dalam arti selalu dapat memantulkan sinar matahari secara sempurna),
bulan terkadang sabit bahkan terkadang gelap. Kecenderungan hati
manusia pun demikian, tidak mampu terus-menerus sanggup memantulkan
cahaya-cahaya. Untuk itu diperlukan riyadhah, yaitu, latihan yang
memungkinkan hati tetap ajeg menghadap roh.
2. EPISTEMOLOGI
8
1. Menyingkirkan segala sesuatu selain Allah yang menghalangi
perjalanan spiritual;
2. Menundukkan jiwa yang cenderung menyuruh berbuat jahat
(al-nafs al ammarah) ke jiwa yang tentang ( al nafs al
muthma’innah);
3. Melembutkan jiwa batiniah (talthif al sirr) dengan tujuan
membuatnya siap menerima pencerahan (lihat murtadla
muthahhari, menapak jalan spiritual, 1995:68-70)
Tujuan ketiga dapat diraih melalui pemikiran yang jernih dan cinta
tampa pamrih, yaitu dengan melembutkan jiwa batin serta membersihkan
jiwa dari segenap kotoran dan noda. Cinta yang dimaksud ialah cinta yang
bersifat spiritual dan intelektual, yang lahir karena sifat –sifat baik orang
yang mencinti bukan karena nafsu jahat.
9
membantunya bergerak maju menuju Allah. pintu-pintu mendorongnya
maju sehingga dia sampai ke gerbang kedamain dan keselamatan serta tiba
ditujuan tempat ia harus menetap. Kakinya kokoh dan kuat, tubuhnya
senang sebab ia menggunakan kalbunya serta menyenangkan tuhunnya.
10
dihadapannya? Jika seseorang dapat membayangkan bahwa cermin itu
mempunyai mata dan memandang dirinya sendiri saat ia berhadapan
dengan matahari. Ia akan dapat melihat matahari. Ia akan berkata akulah
matahari, sebab ia akan melihat dalam dirinya hanya ada matahari. Jika
seseorang berkata akulah yang real atau mulialah diriku atau betapa
hebatnya aku, maka patutlah kita maklum.
11
Kesatuan subjek-objek seperti itu merupakan kondisi tatkala subjek
mengetahui hal-hal gaib. Hijab yang mengahalangi pandangan manusia
untuk mengetahui yang gaib, pengetahuan ilahi, telah tersingkap. Jenis
pengetahuan inilah yang disebut pengetahuan mukhasyafah, pengetahuan
yang diperoleh dari kebersatuan pengetahuan objek-subjek karena hijab
telah tersingkap.
B. ILMU LADUNI
1. ONTOLOGI
12
ilmu dari kami”. Pada ayat 60 sampai ayat 82 surat itu diceritakan
tentang ilmu laduni yang dimiliki nabi khidir. Nabi khidir melubangi
perahu, dan nabi musa tidak mengerti alasnnya; nabi khidir membunuh
seseorang pemuda, dan nabi musa tidak paham alasnnya, alasanya ialah
karena nabi khidir telah mengetahui apa-apa yang belum terjadi
mengenai ketiga episode itu. Musa tidak mengetahuinya. Dalam contoh
ini nabi khidir memperoleh ilmu laduni tentang itu sedangkan nabi musa
tidak.
2. EPISTEMOLOGI
13
hijab (dinding pembetas) antara hamba dan tuhannya. Ketika itulah
hamba tersebut menerima ilmu laduni. Pelaksanaan riyadhah dan
mujahadah itu biasanya dilakukan dibawah bimbingan guru yang telah
menguasai ilmu ini.
14
3) Sebelas hari sebelas malam berbuka degan air kelapa beserta
isinya, fungsi nya agar dapat memahami apa yang tidak dipahami
akal (akal rasional)
4) Puasa 21 hari berbuka biasa (dengan hewan bernyawa), malamnya
wirid istighfar 9 kali, membaca la tadrikuhu labsar wa huwa
judrikuhu l absar wa huwa latifun khabir 6666 kali, fungsinya agar
dapat memahami alam gaib.
1. Asma’ulhusnah
2. La haula wa laa quwwata illa billah
3. La ilaha illallah
4. Surat ikhlas
3. AKSIOLOGI
Kegunaan ilmu laduni ialah sebagai berikut
a. Agar dapat memahami ilmu dengan tepat;
b. Dapat mengetahui tingkatan ilmu seseorang
c. Mengetahui karakter seseorang
d. Dapat mengambil ilmu orang lain yang diinginkan
e. Dapat membedakan antara jin, setan, malaikat, dan dapat berdialoq
dengan mereka itu
f. Dapat mengetahui penyakit seseorang dan dapat
menyembuhkannnya
g. Dapat mengobati orang kena santet
h. Dapat mengetahui jodoh seseorang dan nasibnya
i. Dapat mengetahui kenginginan seseorang tanpa ia mengatakannya....
15
C. SAEFI
1. ONTOLOGI
Dari segi etimologi kata saefi (bahas arab) berarti pedang. Kata ini
dipakai mungkin karena pedang adalah senjata yang tajam. Dari segi
terminologi, saefi adala nama ilmu yang terdiri dari rentetan bacaan
menurut bilangan dan waktu tertentu yan didasarkan kepada Allah. Dilihat
segi substansinya saefi adalah doa yang dibaca terus-menerus atau
berulang-ulang menurut bilangan danwaktu tertentu. Karena doa itu akan
menjadi darah daging orang itu sehingga nilai doa itu akan memiliki
ketajaman se[erti tajamnya pedang yang diasah berulang kali. Doa yang
tajam disini maksudnya ialah doa yang cepat dikabulkan Tuhan.
16
berbagai cara memperoleh pengetahuan saefi, tergantung pada gurunya
dan jenis banyak dzikrullah dan menjahui maksiat.
1. Saefi Dzulfaqar
Pengetahuan iniapabila dimiliki, orang yang memilikinya berwibawa.
Wiridnya sebagai berikut:
2. Saefi Mughni
Saefi ini dapat menyebabkan pemillik atau pengamalnya mendadak kaya.
Wiridnya ialah sebagai berikut:
17
b. Membaca wirid diatas sebanyak 300 kali pada malam hari selama
seminggu
3. Saefi Umum
Saefi ini apabila diamalkan amak apapun yang di inginkan akan mudah
tercapai. Berikut wiridnya:
4. Saefi Antazaman
Saefi ini dapat menyelamatkan orang dari pengaruh negatif arus zaman.
Berikut wiridnya sebagai berikut:
Cara mengamalkannya:
a. Hadiah kepada rasulullah SAW
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mukayafah
2. Ilmu Laduni
19
ilham, iluminasi, atau inspirasi dari sisi Tuhan ( Ensiklopedi Islam, 3: 90
)
Dari segi terminologi saefi adalah nama ilmu yang terdiri dari
rentetan bacaan menurut bilangan dan waktu tertentu yang disandarkan
pada Allah. Dari segi substansi saefi adalah doa yang dibaca terus
menerus atau berulang-ulang menurut bilangan dan waktu tertentu.
a. saefi dzulfaqar,
b. saefi mughni,
20
c. saefi umum,
d. saefi antazaman.
B. Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat, tentu dari penulisan ini
terdapat kekurangan dan kelemahan yang itu datang dari diri penulis sendiri,
penulis mohon saran dan kritiknya dalam penyusunan makalah ini. Semoga
dengan telah selesainya makalah ini penulis susun agar dapat bermanfaat bagi
diri penulis tersebut dan yang lain baik dalam menambah khazanah keilmuan
dalam bidang pendidikan.
21
DAFTAR PUSTAKA
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/23/pengetahuan-mistik/A
(Diakses pada tanggal 14 januari 2019 jam 18:23)
https://anggafadhilah.wordpress.com/2012/11/21/filsafat-pengetahuan-mistik/
(Diakses pada tanggal 14 januari 2019 jam 22:43)
22