Anda di halaman 1dari 16

1

Kewajiban Menuntu Ilmu Menurut Al-Qur’an dan Hadis


Muhamad Thohir
Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Metro
E-Mail : Muhamadthohir86@gmail.com

Abstrak
Kitab al-Qur‟an senantiasa menjadi objek kajian yang tak ada batas. Semakin
lengkap piranti yang kita gunakan untuk mengkaji, maka semakin banyak pula yang
kita peroleh. al-Qur‟an diturunkan untuk umat manusia sebagai kitab petunjuk dan
pembeda antara benar dan salah. Untuk mendapatkan fungsi tersebut, al-Qur‟an butuh
dipahami. Banyak cara dan pendekatan digunakan para ahli untuk memahaminya
dengan tujuan mengungkap semua dimensi kehidupan seperti hukum, sosial, ekonomi,
budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hadis merupakan sumber kedua setelah Al-Qur‟an. Pembahasan persoalan hadis
memiliki cakupan sangat luas, khususnya pada aspek waktu turunnya. Tipologi hadis
terbagi menjadi dua, yaitu pra dan pasca kenabian. Hal ini menjadi penting untuk dikaji,
mengingat perbedaan karakter dari dua bentuk hadis tersebut.
mencari ilmu itu wajib (Fardu ain) bagi umat muslim, dengan catatan untuk
mengetahui ilmu agama seperti fiqih, aqidah, akhlak dan serta mempelajari al-Qur‟an
dan Hadis. Sedangkan hukumnya menjadi fardu kifayah ketika seseorang tersebut
mempelajari ilmu pengetahuan yang umum sepeti, ilmu teknologi, ilmu ekonomi, ilmu
sosial. Yang di maksud dengan fardu kifayah karena tidak semua orang di tuntut
memperaktekan ilmu-ilmu tersebut, sebagian besar saja yang mempelajarinya.
Kata Kunci : Al-Qu’an, Hadis, Ilmu pendidikan

Abstract
Kitab al-Qur'an always be the object of study that there is no limit. The more
complete the tools we use to examine, so the more we earn. Quran was revealed to
mankind as a book of guidance and the distinction between right and wrong. To get
these functions, Quran need to be understood. Many methods and approaches used by
the experts to understand the purpose of exposing all the dimensions of life such as
legal, social, economic, cultural, and science and technology.
Hadith is the second source after the Qur'an. Discussion on the issue of tradition has a
very broad scope, especially in the aspect of time and fall. Hadith typology is divided
2

into two, namely pre- and post-prophetic. It becomes important to be studied, given the
differences in the character of the two forms of the tradition.
seeking knowledge is obligatory (Fardu ain) for Muslims, with the record to determine
the religious sciences such as fiqh, aqeedah, morals, and as well as studying the Koran
and Hadith. While the law becomes fard kifayah when a person is studying the case of
general knowledge, science and technology, economics, social sciences. The purpose of
the obligatory kifayah because not everyone in demand memperaktekan these sciences,
most are studied.
Keywords: Al-Qur'an, Hadis, science education

A. Pendahuluan
Kewajiban dalam penguasaan al-Qur‟an menjadi tanggung jawab kepada setiap
individu muslim. al-Qur‟an merupakan sumber utama dari ilmu pengetahuan untuk
setiap manusia dari semua aspek kehidupan apakah aqidah, syariah, akhlak maupun
duniawi dan ukhrawi. Ini jelas digamarkan dalam Hadis Rasulullah SAW. Yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya “Aku tinggalkan kepada kamu semua dua
perkara, kamu tidak akan sesat lagi berpegang dengan kedua-duanya, yaitu al-Qur‟an
dan As-sunnah Rasulullah. Dalam hadis lain juga Rasulullah bersabda yang artinya “
Sesungguhnya Allah, dengan kitab ini (Al-Qur‟an) meninggikan derajat kaum-kaum
dan menjatuhkan derajat kaum yang lain.” (Hadis Riwayat Muslimm). Hadis ini
menegaskan siapa saja yang mempelajari Al-Qur‟an dijanjikan mendapat kemuliaan
dari Allah SWT. Dan derajat yang tinggi .1
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan begitu cepat, perlu disadari
bahwa islam dalam arti al-Qur‟an dan As-Sunnah itu lebih banyak berbicara masalah
prinsip-prinsip dan landasan pengembangan pemikiran ajaran yang dibawahnya. Agama
islam dapat “berjalan seiring” dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka tidak dapat tidak para intelektual muslim harus melakukan reinterpretasi terhadap
al-Qur‟an dan sunnah, penggalian kembali khazanah intelektual mulim pada masa

1
Mohd Faisal Mohamed, Wan Hasmah Wan Mamat, and Moh Yakup Zulkifli Mohd Yusoff, “Kelas
Kemahiran Al-Quran Ke Arah Pembangunan Generasi Al-Quran Di Malaysia,” EDUKASIA ISLAMIKA
10, no. 1 (2014): 1–2, http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/forumtarbiyah/article/view/369/0.
3

lampau, reaktualisasi ajaran islam dan upaya islamisasi kebudayaan dan peradaban
terutama islamisasi ilmu dan teknologi.2
Menurut Mehdi Gulshami, masuknya sains modern ke dalam islam pada permulaan
abad ke-19 diiringi dengan bermacam-macam reaksi dari kalangan intelektual muslim.
Namun demikian, hal itu terjadi lebih didominasi. 3
B. Pengertian al-Qur’an
Kitab suci al-Qur‟an merupakan sebagai pedoman hidup umat muslim manusia
yang haqiqi senantiasa memberikan kontribusi monumental dalam setiap kehidupan.
Selain itu juga al-Qur‟an tidak menjadikan dirinya sebagai pengganti uasaha manusia,
akan tetapi sebagai pendorong dan pemandu, demi berperannya manusia secara positif
dalam berbagai bidang kehidupan. al-Qur‟an berbicara tentang berbagai hal yang
melekat dalam kehidupan.4
Menurut Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, prinsip-prinsip tafsir ilmi
sudah diletakan oleh Abu Hamid al-Ghazali satu abad sebelum Fakhrurrazi. Dalam Ihya
Ulumuddin, al-Ghazali membela tafsir ilmi dari serangan ulama pengikut Ibnu Abbas
dan mufasir lainya. Ia mengemukakan akhbar dan atsar yang menunjukan bahwa al-
Qur‟an mempunyai makna yang lebih lugas daripada yang terdapat pada keterangan
yang mangkul. Bila Ibnu Mas‟ud mengatakan, “siapa ingin mengetahui ilmu orang
terdahulu dan kemudian, renungkanlah al-Qur‟an. “kata imam Al-Ghazali, bagaimana
mungkin kita memperolehnya dengan hanya tafsir lahirnya saja. Imam Al-Ghazali
menulis seluruh ilmu tercakup dalam afal (perbuatan-perbuatanya) Allah dan sifat-
sifatnya. Ilmu itu tidak ada batasanya, dan di dalam al-Qur‟an terdapat petunjuk kepada
keseluruhannya. Upaya untuk mendalami perinciannya, juga kembali kepada
pemahaman terhadap al-qur‟an semata-mata tafsir zahirnya saja, tidak menunjukan hal
itu.5
Al-qur‟an merupakan Kalam Allah yang terdiri dari 6660 ayat yang terdiri dari 114
surah dan 30 jus. Seluruh ayat-ayat ini merupakan firman Allah, hidayah bagi manusia

2
Abubakar Madani, “Aktualisasi Filsafat Ilmu,” 170, accessed March 22, 2017, https://journal.iain-
samarinda.ac.id/index.php/lentera_journal/article/view/183.
3
Abbas Abbas, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” Shautut Tarbiyah: Ilmu-Ilmu Sosial Dan Keislaman
232, no. 2 (2010): 31.
4
Prabowo Adi Widayat, “Argumentasi Makna Jihad Dalam Al-Quran Ditinjau Dari Perspektif
Masyarakat Kosmopolitan,” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam 18, no. 2 (2013): 2,
http://journal.stainmetro.ac.id/index.php/akademika/article/view/36.
5
H. Abdul Manan Syafi‟i, “Perspektif Alquran Tentang Ilmu Pengetahuan,” Media Akademika 27,
no. 1 (2012): 32, http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/mediaakademika/article/view/143.
4

untuk pedoman di dunia menuju kebahagiaan dunia akhirat. Sebagai hidayah bagi
kehidupan manusia, maka Al-qur‟an tentunya tidak hanya menunjuki pada aspek
ketuhanan (spritual), semata tetap juga mencakup aspek dunia. Dengan ayat suci al-
Qur‟an manusia hidupnya bisa terarah karena manusia mempunyai sebuah permasalah-
permasalahan. Manusia itu mempunyai masalah batin tetapi juga mencakup masalah
lahir , masalah pribadi juga masalah sosial, masalah gaib juga masalah saintifik.
Al-Qur‟an diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk bagi manusia umat
muslim, agar mereka mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Al-quran
merupakan sebuah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT. dan
bukan hanya sebuah ilmu pengetahuan tentang hakikat alam semesta atau fenomena
alam. Tafsir ilmi mengalihkan manusia dari usaha memperoleh petunjuk ke arah usaha-
usaha ilmiah. menurut Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan bahwa salah satu
kesalahan kaum muslim dalam menafsirkan Al-quran ialah menyibukkan diri.
Ayat suci al-Qur‟an berisi sebuah firman Allah Swt, kalimat dan dirangkai menjadi
bahasa. Kata-kata atau kalimat-kalimat dalam bentuk tulisan itu bukan berasal dari para
ilmuwan, filosof, hartawan dan atau penguasa, melainkan dari Allah Swt. al-Qur‟an
memang telah menjadi sumber penggerak manusia tak terhitungt jumlahnya. Mari kita
membayangkan, dengan al-Qur‟an itu berapa jumlah masjid di muka bumi ini telah
berdiri. Berapa jumlah manusia yang setiap hari memekikkan suaranya memanggil
orang datang ke majid lewat suara adzan. Sepanjang waktu, oleh karena dunia ini bulat,
selalu terdapat orang yang menyuarakan kalimah adzan, dzikir, bersholawat, membaca
al-Qur‟an dan lainnya. Belum semua penduduk bumi mempercayai al-Qur‟an, tetapi
kitab suci ini telah dikenal sejumlah besar penduduk bumi yang tersebar di seluruh
dunia.
Al-Qur‟an telah menggerakkan sejumlah besar bibir manusia untuk menyebut
Asma-asma Allah SWT. Menunaikan sholat, berpuasa, berhaji dan menuntut ilmu
pengeta huan. Kita melihat peristiwa haji, tidak kurang dari 5 atau 6 juta dan bahkan
lebih penduduk bumi dari berbagai belahan dunia, setiap tahun datang dengan berbagai
kendaraan mendekat Ka‟bah, melakukan serangkaian
Seorang mufasir arif-sufi mutakhir, Mirza Muhammad Ali Syahabdi mengukir
kandungan fitrah menjadi empat karakter yakni ingin sempurna, ingin mandiri, ingin
bebas, dan ingin senang. Dalam berbagai skala fitrah, semua manifestasi dan
kandungannya tak terbatas. Manusia tidak akan pernah puas dengan yang terbatas; ia
5

akan selalu mencari yang lebih dan lebih hingga yang paling tinggi. Karena itu, totalitas
wujud manusia ialah cinta yang tak akan berhenti kecuali menjangkau kecintaan
mutlak, ia ingin bebas yang tak terpenuhi kecuali hanya berada dalam kebebasan
mutlak, juga ingin mandiri yang terus berupaya tidak di bawah otoritas yang lain, dan
ingin senang yang tidak tak terpuaskan kecuali meraih kebahagiaan mutlak. Maka cinta
diri sendiri merupakan ingin bebas, ingin mandiri dan ingin senang merupakan watak
bawaan dan karuniawi ilahi yang ber-sifat mutlak dan tak terbatas.6
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa kitab suci al-Qur‟an
merupakan kalam Allah yang di wayuhkan kepada nabi Muhammad Saw. Al-Qur‟an
menjadi pedoman kehidupan umat muslim, Sehingga umat muslim di dunia ini
senantiasa menjaga al-Qur‟an dengan cara menghafal ataupun mengamalkan ke dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun firman Allah SWT. Yang berbunyi:

َ‫اَّللُ الَّذِيه‬ ُ ‫اَّللُ لَ ُك ْم َوإِذَا قِي َل ا ْو‬


ُ ‫ش ُزوا فَا ْو‬
َّ ِ‫ش ُزوا يَ ْزفَع‬ َّ ِ‫سح‬َ ‫س ُحىا يَ ْف‬َ ‫س ُحىا فِي ْال َم َجا ِل ِس فَا ْف‬ َّ َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِيهَ آ َمىُىا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم تَف‬
)١١( ‫يز‬ ٌ ِ‫اَّللُ بِ َما ت َ ْع َملُىنَ َخب‬ ٍ ‫آ َمىُىا ِم ْى ُك ْم َوالَّذِيهَ أُوتُىا ْال ِع ْل َم دَ َر َجا‬
َّ ‫ت َو‬
Artinya :
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. Al-Mujadilah 11)
mencari ilmu itu wajib (Fardu ain) bagi umat muslim, dengan catatan untuk
mengetahui ilmu agama seperti fiqih, aqidah, akhlak dan serta mempelajari al-Qur‟an
dan Hadis. Sedangkan hukumnya menjadi fardu kifayah ketika seseorang tersebut
mempelajari ilmu pengetahuan yang umum sepeti, ilmu teknologi, ilmu ekonomi, ilmu
sosial. Yang di maksud dengan fardu kifayah karena tidak semua orang di tuntut
memperaktekan ilmu-ilmu tersebut, sebagian besar saja yang mempelajarinya.
Di dalam al-Qur‟an ada sebuah istilah-istilah metode penafsiran di antaranya
Metode merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani dari akar kata “methodos”
yang berarti jalan atau cara. Kata “methodos” dalam bahasa Yunani berarti penelitian,

6
Ammar Fauzi, “Konsep Umat Dalam Al-Quran: Menggali Nilai-Nilai Apriori Dan Aposteriori
Sosial,” Tanzil: Jurnal Studi Al-Quran 1, no. 1 (2015): 76.
6

uraian ilmiah, hipotesa ilmiah dan metode ilmiah. Dalam bahasa Inggris kata metode
tersebut ditulis dengan kata “method”, Dalam bahasa Arab metode diterjemahkan dari
kata “manhaj” atau “thariqah”, dan dalam bahasa Indonesia kata metode tersebut
mengandung makna cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai suatu
maksud atau tujuan.7
Dalam ilmu pengetahuan metode berarti cara kerja yang teratur dan saling berkaitan,
sehingga membentuk suatu totalitas untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan
guna untuk mencapai suatu tujuan yang ditentukan. Pendek kata, metode merupakan
salah satu sarana yang teramat penting untuk mencapai sebuah tujuan yang telah
ditetapkan.
corak tafsir klasik yang ada lebih menekankan dialog antara teks (ayat) dengan
mufassir, dan kurang merefleksikan dinamika sosio kultural serta sisi historisnya.
Dalam konteks ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa metode hermeneutika
merupakan keniscayaan dan kebutuhan yang mendesak dalam memahami makna-
makna al Quran secara utuh, baik dari segi teologis, etis, maupun legal (fiqh), menjadi
satu kesatuan yang sinergis. Penafsiran teks (tafsir) sebagai produk sejarah manusia,
tidak terlepas dari gerak perubahan sejarah sosial-budaya yang mengitarinya, sehingga
muncul persoalan relevansi yang selalu mengintip dari belakang tabir percaturan
pemikiran keagamaan dan pemikiran keiIslaman kontemporer. Oleh sebab itu,
hermeneutika nampak lebih tepat diterapkan sebagai metode penafsiran al-Qur‟an di
era global dewasa ini, karena terkait dengan tiga aspek dari sebuah teks, yaitu konteks
dimana teks itu ditulis, komposisi gramatika dari keseluruhan teks, dan pandangan
dunianya.8
Namun demikian, kebutuhan terhadap hermeneutika sebagai penelitian metode
ilmiah dalam membaca teks belum begitu eksplisit pada generasi awal umat Islam
maupun generasi klasik, Baaik model tafsir maupun tawil. Keduanya masih sama-sama
mengabaikan konteks, karena yang pertama, pesan pewahyuan dipahami identik dengan
makna harfiah, dan jika ada pengaruh realitas historis kepada teks seperti asbab an-
nuzul, afirmasinya terhadap konteks hanya bersifat artifisial. Sementara yang kedua,

7
Zuailan Zuailan, “Metode Tafsir Tahlili,” Diya Al-Afkar 4, no. 01 (2016): 60,
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/diya/article/view/805.
8
Fathul Mufid, “Pendekatan Filsafat Hermeneutika Dalam Penafsiran Al-Quran: Transformasi
Global Tafsir Al-Quran,” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 2013, 3, http://ejournal.uin-
malang.ac.id/index.php/ululalbab/article/view/2395.
7

pesan pewahyuan terletak pada realitas transendental yang sangat subyektif. Hal ini
dapat dilihat dari kaidah yang lazim dipakai di kalangan umat Islam: al-„ibrah bi umum
al lafaz la bi khusush as-sabab.
C. Ilmu dalam Hadis
Hadis Nabi SAW. merupakan sumber ajaran agama Islam setelah al-Qur‟an.
Dalam berbagai ayat al-Qur‟an sendiri dikatakan bahwa kedudukan nabi Muhammad
SAW. Sebagai nabi dan Rasul Allah SWT. yang mesti diikuti petunjuk-petunjuk-nya.
Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa hadis-hadis Nabi saw di samping sumber
ajaran Islam, juga merupakan bayan li al-Qur‟an (penjelas mengenai isi Alquran).
Hadis-hadis Nabi, telah termaktub dalam berbagai kitab hadis dan telah beredar di
kalangan masyarakat luas. Dalam kitab-kitab hadis tersebut ditemukan banyak tema
yang membicarakan tentang pendidikan. Fakta ini, juga membuktikan bahwa hadis-
hadis tentang pendidikan yang terdapat dalam kitab9
Menurut al-Tahhan kemunculan takhrij al-hadis terkait dengan konsep sejarah
yang membentang dari proses perkembangan ilmu hadis. Para ulama hadis yang
tergolong mutaqaddimin belum mempergunakan kaidah-kaidah dari metode takhrij al-
hadis. Karena pengetahuan mereka yang sangat luas dan pengaruh tradisi hafalan yang
kuat terhadap sumber-sumber hadis atau sunnah Nabi. Misalnya, ketika seorang ulama
membutuhkan suatu hadis, dalam waktu yang singkat dapat menemukan tempatnya
dalam berbagai kitab hadis, bahkan sampai juz dan halamannya pun mereka ketahui.
Kondisi ini karena sekali lagi memperlihatkan kapasitas10
Menurut sebagian ulama muhaddisin, pengertian hadis di atas merupakan
pengertian yang sangat sempit, padahal pengertian hadis mempunyai makna yang
sangat luas, yaitu tidak hanya terbatas penyandaran kepada Nabi, akan tetapi termasuk
penyandaran kepada sahabat dan thabi‟in. Menurut al-Turmizi bahwa hadis bukan
hanya yang disandarkan kepada Nabi (marfu‟), melainkan bisa juga yang disandarkan
kepada para sahabat (mauquf) dan yang disandarkan kepada thabi‟in (maqthu‟).
Perbedaan pengertian yang dikemukakan oleh ulama, baik ulama hadis maupun
ulama ushul di atas, karena ada yang melihat Nabi saw. sebagai pembentukan hukum

9
Limyah Alamri, “Pendidikan Dalam Perspektif Hadis: Syarh Al-Hadis Al-Mawdhu‟i,” Dinamika
Ilmu: Jurnal Pendidikan 12, no. 1 (2012): 1, https://journal.iain-
samarinda.ac.id/index.php/dinamika_ilmu/article/view/57.
10
Nasrullah Nasrullah, “Metodologi Kritik Hadis:(Studi Takhrij Al-Hadis Dan Kritik Sanad),”
HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 4, no. 4 (2007): 105.
8

sehingga menurut mereka hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang dapat disebut
hadis Ada tiga penyebab disabdakannya hadis yaitu:
1) Hadis terbentuk atau dilafazkan oleh Nabi saw. karena diintervensi oleh tradisi orang
Arab jahiliyah. Bagi ulama ushul, ini bukan hadis melainkan.
2) Hadis terbentuk disebabkan Nabi saw. sebagai manusia biasa, maka kekeliruan
dalam hal sebagai manusia bisa saja terdapat pada Nabi saw.
3) Hadis terbentuk karena diintervensi oleh wahyu. Artinya pembentukan hadis
tersebut, karena berhubungan dengan kekuasaan Allah swt. Karena jenis hadis terakhir
ini semuanya berhubungan dengan pembentukan hukum, sangat diintervensi oleh
wahyu Allah swt.

Untuk memperoleh kesuksesan atau kebahagian baik di dunia maupun di akhirat


bahkan keduaduanya harus mempergunakan alat, alat untuk mencapai kesuksesan itu
adalah ilmu. Ilmu ibarat cahaya yang mampu menerangi jalan seseorang untuk
mewujudkan segala cita-citanya, sementara kebodohan akan membawa seseorang
kepada kemadlaratan atau kesengsaraan yang membelenggu hidupnya.
Yang pertama para ahli hadis mengidentikkan sunnah dengan hadis yakni Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapannya. Yang kedua, Ilmu Ushul Fiqh, pengertian hadis atau
sunnah menurut ulama ushul fiqh yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
SAW. Berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum
syarak. Yang ketiga Ilmu Fiqh, pengertian sunnah menurut ahli fiqh, hampir sama
dengan pengertian yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Akan tetapi istilah as sunnah
dalam fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, berarti suatu perbuatan
apabila dikerjakan mendapat pahala bila di tinggalkan tidak berdosa. Semua hadis yang
sampai kepada kita, dilihat dari segi kualitasnya untuk dapat diamalkan ataupun
ditinggalkan. Hadis dapat dibagi menjadi tiga, yakni (shahih, hasan dan dhaif).11
Menurut sejarah, tidak semua hadis pada masa Rasulullah saw. dapat ditulis oleh
para sahabat karena selain tidak ada perintah dari Nabi saw. juga ada kehawatiran
terjadinya pembauran antara al-Qur‟an dan hadis Nabi saw. Jadi tidak ada perintah
penulisan hadis secara resmi dari Nabi, kecuali surat-surat Nabi saw. yang ditulis baik
secara resmi kepada penguasa non Muslim dalam rangka dakwah , maupun yang secara

11
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut Al-Syafi‟i,” Jurnal
Ushuluddin 17, no. 2 (2014): 184.
9

tidak resmi berupa catatancatatan yang dibuat oleh para sahabat atas inisiatif mereka
sendiri yang jumlahnya tidak banyak.(al-Raharmuziy, 1984). Disamping itu, hadis telah
pernah mengalami pemalsuan-pemalsuan terutama pada pemerintahan khalifah Ali bin
Abi Thalib. 12
Karena banyaknya hadis palsu yang beredar di tengah-tengah masyarakat, maka
diperlukan ilmu yang dapat mendeteksi bahwa hadis ini bersumber dari Nabi. Hal inilah
yang membuat para sahabat besar seperti Abubakar dan Umar bin Khattab sangat
berhati-hati dalam menerima hadis, sehingga mereka hanya akan menerima hadis
bilamana ada saksi atau bukti yang dapat dipercayai bahwa hadis itu benar-benar
bersumber dari Nabi saw. Penghimpunan hadis Nabi saw. telah mengalami perjalanan
yang cukup panjang yaitu sejak wafatnya Nabi saw. hingga masa pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz. Namun demikian, pada masa pemerintahan Umar inilah,
penghimpunan hadis secara resmi dilakukan. Akibatnya, interval waktu yang cukup
lama tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam hadis palsu. Oleh karena itu,
untuk mengetahui mana hadis palsu dan mana hadis yang bersumber dari Nabi saw.
dibutuhkan ulum al-hadis.
Dikatakan sebagai hadis maqbul, yaitu hadis yang wajib diamalkan dan dapat
menjadi hujjah, sedangkan yang disebut terakhir (hadis dhaif) atau mardud, dalam arti
tidak boleh diamalkan atau ditolak. Sementara yang berkualitas maqbul, tidak sedikit
pula yang membingungkan untuk dilaksanakan atau diamalkan, karena ada terdapat
beberapa hadis yang membicarakan satu topik dan bertentangan secara zahirnya antara
satu dengan yang lainnya . Hal ini sudah barang tentu mendapat perhatian serius dari
para ulama hadis, sehingga mereka mengkaji hadis-hadis mukhtalif itu dengan seksama
agar keduanya dapat diamalkan. Mereka membangun kerangka teoritis untuk
menyelesaikan hadis-hadis tersebut, dituangkan dalam salah satu cabang ilmu hadis
yang disebut dengan “Ilmu Mukhtalif.

Secara material, ulama usul fikih memang membatasi cakupan hadis (dan sunnah)
pada tiga aspek pokok; perkatan, perbuatan, dan persetujuan, sehingga muncul tipologi
hadis qawliyyah, fi‟liyyah, dan taqrīriyyah. Sementara, ulama hadis, justru memperluas
cakupan hadis tersebut hingga meliputi budi pekerti dan penampilan fisik. Lebih dari

12
Kamaruddin Kamaruddin, “Urgensi Ulum Al-Hadis Dalam Memahami Al-Qur‟an Dan Status Hadis,”
HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 2, no. 1 (2005): 40.
10

itu, hadis bukan hanya mencakup elemen-elemen tadi, tetapi juga biografi Nabi
Muhammad saw. Bahkan, di luar materi sīrah, ekspedisi militer (magāzī), atau
terkadang disebut pula peperangan.13
Bahwa hadis pada dasarnya selalu mengacu kepada pemberitaan tentang Nabi
Muhammad saw. yang kemudian diperluas dalam segala aspek yang berkaitan
dengannya. Perluasan aspek tersebut adakalanya bersifat material, sehingga apapun
yang dilakukan Nabi saw. dari gerak dan diamnya, hingga dalam kondisi jaga dan tidur,
termasuk bagian dari hadis. Ada pula yang diperluas dari sisi sumber, sehingga
pernyataan para sahabat dan tābi‟īn pun, menjadi bagian integral dari hadis. Begitu pula
dari sisi historis, semua peristiwa yang dialami Nabi saw. dari sebelum hingga setelah
kenabian, dianggap sebagai hadis. Perluasan dari sisi ini tentunya terkait erat dengan
perspektif ulama hadis, yang menganggap bahwa sīrah, merupakan bagian integral dari
hadis
D. Pendidikan
Pendidikan agama Islam di sekolah mengajarkan berbagai jenis pelajaran yang
mencakup beberapa mata pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik, bahkan
seorang peserta didik harus mampu memahami ataupun menyerap pelajaran yang
diberikan pendidik. Namun tidak mudah, sebab seorang peserta didik pasti mempunyai
kecerdasan yang berbeda-beda karena seseorang dilahirkan dalam keadaan bersih, suci
atau fitrah dan sudah memiliki keunikan tersendiri, dan bahkan bakatnya tersendiri yang
dari waktu ke waktu dapat ditumbuh kembangkan. Di dalam dunia Pendidikan Agama
Islam, ada sebuah interaksi edukatif yaitu terjadinya proses kegiatan belajar serta
mengajar yang di jalankan oleh seorang pendidik dan seluruh peserta didik yang ada di
forum kelas. Kelas merupakan tempat interaksi antara seorang guru dengan seluruh
peserta didiknya di dalam kelas, dan guru pastinya memberikan peran dan contoh yang
baik bagi anak didiknya.14
Seorang pendidik kadang mengalami masalah dalam menyampaikan materi dalam
proses pembelajaran, maka sangat dibutuhkan alat atau media pembelajaranyang tepat,
baik, efektif, dan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam

13
Dzikri Nirwana, “Pemetaan Historis Hadis-Hadis Sirah,” ADDIN 7, no. 2 (2015): 338,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/582.
14
Dedi Wahyudi and Tuti Alafiah, “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences Dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam,” MUDARRISA: Jurnal Kajian Pendidikan
Islam 8, no. 2 (2016): 257.
11

hal penggunaan alat atau media pembelajaran ada yang masih bersifat konvensional dan
ada juga yang menggunakan alat bantu komputer dan internet. Melalui internet peserta
didik dapat melakukan perjalanan dari kenyamanan ruang kelas mereka sendiri, bahkan
perjalanan mereka akan terasa lebih nyata ketika muncul konferensi gratis dan
tersedianya berbagai macam alat kolaborasi pada internet.15
Learning revolution merupakan belajar secara mengasyikan dan menyenangkan
tanpa terikat oleh sistem atau peraturan yang meniadakan kebebasan berpikir bagi
peserta didik. Dalam learning revolution, guru atau pendidik bertugas sebagai fasilitator
sekaligus teman berdiskusi bagi para peserta didiknya.16
Di sini yang dapat diharapkan dari seorang guru Pendidikan Agama Islam yaitu
dapat menjadikan peserta didik sebagai anak yang cerdas, terampil, dan bertakwa. Guru
diharapkan mampu memahami karakter seorang perserta didik, dan tentunya menjadi
seorang guru patut memiliki kesabaran, ulet dan teliti dalam memperhatikan peserta
didiknya. Oleh karenanya menjadi guru atau pendidik itu tidak hanya memberikan
materi dan lepas dari tanggung jawabnya yang lain seperti memahami karakter,
keterampilan serta kecerdasan apa yang dibawa oleh setiap peserta didiknya. Pada
dasarnya seorang peserta didik itu tidak sama yaitu berbeda jenis kecerdasan atau
kemampuan yang dimilikinya. Maka dari itu pentingnya bagi seorang guru Pendidikan
Agama Islam untuk menentukan stategi mengajar yang tepat yang ditunjukkan untuk
pelajaran peserta didik. Strategi pembelajaran yaitu aktivitas kegiatan pembelajaran
yang wajib dikerjakan oleh seorang pendidik serta peserta didik supaya tujuan dari
pembelajaran dapat terwujud serta berjalan secara efektif dan efisien. Pendidik bisa
merumuskan model pembelajaran yang tepat dengan isi materi pembelajaran yang
diajarkan. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan memudahkan siswa untuk
lebih terlibat aktif dalam aktivitas belajar sehingga proses belajar dan hasil pelajaran
yang diperoleh peserta didik mampu mendapatkan hasil optimal. Selain itu yang lebih
utama guru atau pendidik harus teliti untuk dapat melihat setiap individunya, walaupun
sebenarnya hal yang demikian itu tidak mudah bagi guru atau pendidik dan memerlukan
waktu yang cukup lama. Tetapi dengan itu akan tercipta proses bembelajaran yang

15
Dedi Wahyudi, “Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak Dengan
Program Prezi (Studi Di Smp Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014),” JURNAL
JPSD (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar) 1, no. 1 (2015): 5.
16
Dedi Wahyudi and Habibatul Azizah, “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep
Learning Revolution,” ATTARBIYAH 26 (2016): 4.
12

berlajalan dengan efesien dan lebih efektif. Guru yang tidak paham akan kecerdasan
dari peserta didik tentu berbeda dengan guru yang memahami kecerdasan.
Dengan instrumen pasar bebas, internasionalisasi akan menjadi suatu
keniscayaan yang tidak menutup kemungkinan untuk terjadi, termasuk dalam dunia
pendidikan tinggi yang pada dasarnya merupakan embrio dari arus internasionalisasi
ilmu pengetahuan, seni dan budaya yang berjalan tanpa batas (borserless higher
education market). Internasionalisasi pendidikan menurut penulis pada dasarnya
terjadi disebabkan oleh setidaknya oleh 4 faktor utama yaitu; (1) perhatian pemerintah
suatu negara terhadap bidang pendidikan yang masih rendah, (2) keterbatasan dana
yang dialami negara-negara berkembang, (3) peningkatan permintaan akan pendidikan
tinggi yang bermutu, serta (4) kemajuan teknologi informasi. Oleh karena itu, menurut
penulis dapat dimaklumi kenapa Indonesia menjadi incaran negara eksportir jasa
pendidikan, karena Indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih 220 juta hanya
mampu memiliki partisipasi penduduknya terhadap pendidikan tinggi sebesar 14% dari
jumlah penduduk usia 19-24 tahun. Seiring dengan kenyataan itu, pendidikan pada fase
selanjutnya menjadi salah satu komoditi internasional WTO yang sangat potensial
melalui aplikasi General Agreement on Trade in Services (GATS) di samping sektor
kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, dan lain sebagainya.
Bagi negara maju, liberalisasi pendidikan dengan wajah internasionalisasi merupakan
lahan subur yang mampu menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Sejak medium
1990, di negara-negara maju, perdagangan jasa pendidikan tumbuh pesat dan telah
memberikan sumbangan yang besar dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder.
Tiga negara yang paling banyak mendapatkan keuntungan itu adalah Amerika Serikat,
Inggris dan Australia. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa negara-negara maju
begitu getol menyerukan internasionalisasi pendidikan melalui WTO. Betapa tidak,
bagi Australia misalnya, sektor itu mampu menyumbangkan 20% pada PDB Australia,
menyerap 70% tenaga kerja dan merupakan 25% dari ekspor total negeri kanguru
tersebut.
Dalam konteks itu, tidak menutup kemungkinan pendidikan tinggi Islam akan
menjadi salah satu komoditi kompetitif dari internasionalisasi pendidikan, manakala
PTAI di Indonesia mampu mendesain pendidikan tingginya sejajar dengan kebutuhan
dan standar internasional. Namun, untuk menuju kearah itu, PTAI di Indonesia perlu
bersikap ekstra hati-hati (antisipatif) dan melakukan persiapan guna menyongsong era
13

itu secara bertahap, baik dalam skala internal PTAI yang bersangkutan maupun dalam
dataran pemerintah selaku pengambil kebijakan pendidikan nasional. Sikap ini
dimaksudkan agar perguruan tinggi di Indonesia termasuk PTAI tidak akan hanyut
dalam arus hitam globalisasi pendidikan, atau dalam bahasa Alfin Tofler13, culture
shock akan implikasi negatif globalisasi dan liberalisasi pendidikan serta mengorbankan
kepentingan nasional, tetapi juga untuk memastikan tahapan ke arah itu berjalan dengan
baik yang pada akhirnya pendidikan tinggi Islam PTAI di Indonesia juga bisa
diharapkan dapat memberikan konstribusi terhadap negara Indonesia sebagaimana yang
telah diraih oleh negara-negara maju, termasuk dalam hal ini memperbaiki daya saing
tenaga kerja Indonesia di level mancanegara menjadi lebih kompetitif dan produktif.
Sebagai bahan reflektif, dibahwah ini ditampilkan tabel fakta daya saing tenaga kerja
Indonesia dibandingkan dengan negara Asia lainnya sebagai implikasi dari mutu sistem
pendidikan negara masing-masing.
Pendidikan Islam berperan penting dalam mempersiapkan calon pemimpin yang
visioner, di bawah bimbingan para guru, dosen dan praktisi pendidikan yang visioner
pula, serta mendapatkan tauladan dari pemimpin-pemimpin di negeri ini pada semua
sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama. Al munawar menjelaskan
bahwa para pemimpin masa depan dilahirkan dan dibentuk melalui suatu proses belajar
di sekolah dan kehidupan sosial. Pemimpin tidak lagi dimonopoli oleh paham garis
keturunan pemimpin, tetapi kepemimpinan lebih dimengerti sebagai pekerjaan (job),
tanggung jawab (responbility), dan peran (role), yang dalam intensitasnya merupakan
urusan individual dan ada dalam diri semua orang. Artinya semua orang memiliki peran
dan eksistensi sebagai pemimpin.17
Sangat sering kita mendengar berbagai ulasan dan analisis seputar hubungan antara
agama dan masyarakat di era globalisasi ini. Umumnya keprihatinan yang muncul
adalah tentang betapa semakin menurunnya masyarakat dalam memegang teguh nilai-
nilai agama dalam kehidupan mereka. Salah satu yang dituduh sebagai penyebab bagi
terpinggirkannya peran agama dalam membentuk moral masyarakat adalah pengaruh
dari nilai-nilai budaya asing yang disebarkan oleh teknologi komunikasi dan informasi.
Orang pun kemudian sangat akrab dengan istilah globalisasi, sebagai akar dari semua
itu. Globalisasi suatu saat disebut-sebut sebagai puncak perjalanan sejarah manusia
17
Aguswan Khotibul Umam, “Kepemimpinan Visioner Menurut Islam Dan Internalisasinya Dalam
Konteks Kepemimpinan Dan Budaya Masyarakat Lampung,” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam 16,
no. 1 (2011): 3, http://journal.stainmetro.ac.id/index.php/akademika/article/view/28.
14

yang akan membawa kepada kemajuan, tetapi suatu saat yang lain ia akan dituduh
sebagai penyebab segala kerusakan, kemiskinan, dan degradasi moral masyarakat.
Globalisasi laksana makhluk yang menyeramkan yang akan melumat apa saja yang ada
dihadapannya.
Setiap pemimpin dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berorganisasi,
berbangsa dan bernegara, dituntut untuk memiliki ketajaman visi dan kedalaman nilai
serta normatif, sehingga setiap anggotanya dapat berkesinambungan dalam mengikuti
dinamika perubahan zaman. Artinya secara prinsip, peran pemimpin visioner sangat
menentukan kesinambungan dan kesejahteraan suatu komunitas kehidupan. Tuntutan
kepemimpinan di lapangan yaitu seorang pemimpin harus menjadi pimpinan yang ideal,
yang harus dapat menjabarkan visi dan misi kepemimpinannya ke dalam program kerja
yang nyata, rasional dan operasional. Sodiqin menyebutkan bahwa banyak sekali visi
dan misi yang mandul dan tidak menjadikan inspirasinya dalam memimpin. Kondisi ini
menghawatirkan karena visinya hanya sebagai simbol semata.
Misi agama Islam adalah mencoba mentransformasikan dinamikadinamika yang
dimiliki, dan hal ini terus-menerus mendesak akan adanya transformasi sosial. Islam
memiIiki cita-cita ideologis yaitu menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar dalam
masyarakat di dalam kerangka keimanan kepada Tuhan. Sementara amar ma'ruf berarti
humanisasi dan emansipasi, nahi munkar merupakan upaya untuk liberasi. Dan karena
kedua tugas ini berada dalam kerangka keimanan, maka humanisasi dan liberasi
merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dari transendensi. Di setiap
masyarakat, dengan struktur dan sistem apapun, dan dalam tahap historis yang
manapun, cita-cita untuk humanisasi, emansipasi, liberasi dan transendensi akan selalu
memotifasikan Islam.18
Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang
meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi belief (creed) yang berupa
tauhid dan diimplementasikan ke dalam dimensi praxis yang meliputi kultur, sosial dan
budaya maupun tradisi keislaman lainnya. Sebagai pangkal dari seluruh rangkaian
ibadah dalam Islam, tauhid bukan saja menyangkut persoalan proposisi-proposisi
teologis semata, melainkan juga sebuah implikasi logis yang bersifat kreatif, dinamis,

18
Muhammad Harfin Zuhdi, “Visi Islam Rahmatan Lil „Alamin: Dialektika Islam Dan Peradaban,”
Akademika: Jurnal Pemikiran Islam 16, no. 2 (2011): 10,
http://journal.stainmetro.ac.id/index.php/akademika/article/view/40.
15

dan menyejarah: pengakuan satu Tuhan yang direfleksikan dengan sikap pasrah dan
pelayanan konkret (ibadah).
pendidikan dalam konteks globalisasi sejatinya merupakan akselerasi percepatan
dunia di bidang pendidikan. Satu sisi, internasionalisasi mampu menawarkan beribu
wajah impian akan kesuksesan, tetapi disisi lain juga tak kalah mengerikannya,
menggulung siapapun dalam jurang kehancuran. Internasionalisasi, kata Stigliztyaitu
fundamentalism globalization, yang menyediakan peluang sekaligus ancaman untuk
meraih kemajuan sekaligus keterpurukan.
Agama selalu menjadi spirit bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia.
Banyak peradaban besar dalam sejarah manusia yang berkembang karena peran yang
besar dari agama. Masalahnya adalah apakah di era globalisasi seperti sekarang ini
peran agama masih memberikan pengaruh kuat bagi pembentukan matrik peradaban,
ataukah justru sebaliknya, agama berada dalam „kotak sampah‟ peradaban.

REFERENSI
Abbas, Abbas. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan.” Shautut Tarbiyah: Ilmu-Ilmu Sosial Dan
Keislaman 232, no. 2 (2010): 30–39.
Alamri, Limyah. “Pendidikan Dalam Perspektif Hadis: Syarh Al-Hadis Al-Mawdhu‟i.”
Dinamika Ilmu: Jurnal Pendidikan 12, no. 1 (2012). https://journal.iain-
samarinda.ac.id/index.php/dinamika_ilmu/article/view/57.
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut Al-Syafi‟i.” Jurnal
Ushuluddin 17, no. 2 (2014): 183–201.
Fauzi, Ammar. “Konsep Umat Dalam Al-Quran: Menggali Nilai-Nilai Apriori Dan
Aposteriori Sosial.” Tanzil: Jurnal Studi Al-Quran 1, no. 1 (2015): 71–84.
Kamaruddin, Kamaruddin. “Urgensi Ulum Al-Hadis Dalam Memahami Al-Qur‟an Dan
Status Hadis.” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 2, no. 1 (2005): 39–50.
Madani, Abubakar. “Aktualisasi Filsafat Ilmu.” Accessed March 22, 2017.
https://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/lentera_journal/article/view/183.
Mohamed, Mohd Faisal, Wan Hasmah Wan Mamat, and Moh Yakup Zulkifli Mohd
Yusoff. “Kelas Kemahiran Al-Quran Ke Arah Pembangunan Generasi Al-Quran
Di Malaysia.” EDUKASIA ISLAMIKA 10, no. 1 (2014). http://e-journal.stain-
pekalongan.ac.id/index.php/forumtarbiyah/article/view/369/0.
Mufid, Fathul. “Pendekatan Filsafat Hermeneutika Dalam Penafsiran Al-Quran:
Transformasi Global Tafsir Al-Quran.” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 2013.
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ululalbab/article/view/2395.
Nasrullah, Nasrullah. “Metodologi Kritik Hadis:(Studi Takhrij Al-Hadis Dan Kritik
Sanad).” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 4, no. 4 (2007): 403–416.
16

Nirwana, Dzikri. “Pemetaan Historis Hadis-Hadis Sirah.” ADDIN 7, no. 2 (2015).


http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/582.
Syafi‟i, H. Abdul Manan. “Perspektif Alquran Tentang Ilmu Pengetahuan.” Media
Akademika 27, no. 1 (2012). http://e-
journal.iainjambi.ac.id/index.php/mediaakademika/article/view/143.
Umam, Aguswan Khotibul. “Kepemimpinan Visioner Menurut Islam Dan
Internalisasinya Dalam Konteks Kepemimpinan Dan Budaya Masyarakat
Lampung.” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam 16, no. 1 (2011).
http://journal.stainmetro.ac.id/index.php/akademika/article/view/28.
Wahyudi, Dedi. “Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan
Akhlak Dengan Program Prezi (Studi Di Smp Muhammadiyah 2 Mlati Sleman
Tahun Ajaran 2013-2014).” JURNAL JPSD (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar)
1, no. 1 (2015): 146–161.
Wahyudi, Dedi, and Tuti Alafiah. “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis
Multiple Intelligences Dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.”
MUDARRISA: Jurnal Kajian Pendidikan Islam 8, no. 2 (2016): 255–282.
Wahyudi, Dedi, and Habibatul Azizah. “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan
Konsep Learning Revolution.” ATTARBIYAH 26 (2016): 1–28.
Widayat, Prabowo Adi. “Argumentasi Makna Jihad Dalam Al-Quran Ditinjau Dari
Perspektif Masyarakat Kosmopolitan.” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam 18,
no. 2 (2013).
http://journal.stainmetro.ac.id/index.php/akademika/article/view/36.
Zuailan, Zuailan. “Metode Tafsir Tahlili.” Diya Al-Afkar 4, no. 01 (2016).
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/diya/article/view/805.
Zuhdi, Muhammad Harfin. “Visi Islam Rahmatan Lil „Alamin: Dialektika Islam Dan
Peradaban.” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam 16, no. 2 (2011).
http://journal.stainmetro.ac.id/index.php/akademika/article/view/40.

Anda mungkin juga menyukai