Kata dari Taubat dalam bahasa Arab berarti kembali. Taubat adalah kembali
kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang
diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya. Taubat
adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai
maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena
sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal atau pintu
masuk yang benar.
Pada tahap tawbah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs)
daripada perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah. Tawbah juga
merupakan sebuah terma yang dikembangkan para salikin (orang-orang
menuju Tuhan) untuk mencapai maqamat berikut yang akan dihuraikan
selepas ini.
Tawbah itu sendiri mengandungi makna kembali; dia bertawbah bererti
dia kembali. Jadi tawbah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh
Syara menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Al-Junayd al-Baghdadi seorang
ahli sufi pernah ditanya tentang tawbah. Dia menjawab: Tawbah adalah
menghapuskan dosa seseorang. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada
Sahl al-Tustari seorang ahli sufi katanya: Tawbah bererti tidak melupakan
dosa seseorang. Tawbah menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah pula adalah
kembalinya seseorang hamba kepada Allah dengan meninggalkan jalan
orang-orang yang dimurkai Tuhan dan jalan orang-orang yang tersesat.
Dia tidak mudah memperolehinya kecuali dengan hidayah Allah agar dia
mengikuti sirat al-mustaqim (jalan yang lurus). Tawbah itu sendiri tidak sah kecuali
dengan menyedari dosa tersebut mengakui dan berusaha mengatasi
akibat-akibat daripada dosa yang dilakukan. Menurut pengertian lain tawbah
juga bererti bangunnya psikologi manusia yang melahirkan kesedaran
terhadap segala kekurangan atau kesalahannya dan menetapkan tekad dan
azam yang disertai dengan amal perbuatan untuk memperbaikinya
Adapun syarat taubat seseorang itu dapat diterima, maka dia harus memenuhi tiga
hal yaitu:
(1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad tidak mengulanginya.
Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang
dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang
dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus
melakukannya. Akankah kita percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia
dengan ridho masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia
membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak
main-main. Bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan syarat yang keempat,
yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. sehingga kapan saja seseorang
mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya tidak benar. Akan tetapi
sebagian besar para ulama tidak mensyaratkan hal ini.
Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan
dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan
Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi Muhammad
telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: "Setiap anak
Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa
adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)."
"Dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang"(Al-Baqarah: 160)
Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara, bahkan pintunya selalu terbuka luas
tanpa penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-
hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat
Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari: "SesungguhnyaAllah membentangkan
tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan
pada malam hari sampai matahari terbit dari barat."
Merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan
dirinya terus-menerus melampai batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka dan
sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya karena sesungguhnya
Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang.
Tepatlah kiranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 133, "Bersegaralah
kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang
menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang dan Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui."
Taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Allah adalah "Taubat Nasuha",
yaitu taubat yang murni. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim: 66, "Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang
yang beriman bresamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di
sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan 'Ya Tuhan kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kamidan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu'".
Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuatnya saat ini dan menyesal
atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan brejanji untuk tidak
melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut
terhadap bani Adam (sesama manusia), maka caranya adalah dengan meminta
maaf kepadanya. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, "Apakah
penyesalan itu taubat?", "Ya", kata Rasulullah (H.R. Ibnu Majah). Amr bin Ala
pernah mengatakan: "Taubat Nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan
dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya"
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Athaillah adalah dengan bertafakkur dan
berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan
instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati
perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia
bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya
berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat
kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai
bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk
ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas
kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik
sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah
perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah
besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-
Nya.
Syaykh Abu Nashr as-Sarraj -rah- menjelaskan: Jawaban as-Susi tentang taubat
adalah dimaksudkan untuk taubatnya para 'murid' yang pada tahap mencari dan
baru pada tahap awal dalam merambah jalan Allah, yang belum istiqamah dalam
melakukan ketaatan kepada Allah. Hal ini maksudnya sama dengan jawaban Sahl
bin Abdullah, senantiasa mengingat dosa bagi para murid dimaksudkan agar
senantiasa berharap kemurahan dan ampunan Allah. Adapun jawaban al-Junaid,
bahwa taubat adalah melupakan dosa, merupakan jawaban taubat bagi orang-
orang yang sanggup mencapai kebenaran hakiki (al-mutachaqqiqiyn). Secara
syariat mereka telah terbiasa menjaga diri dari berbuat dosa, mereka tidak lagi
mengingat dosa-dosa mereka karena hati mereka telah disibukkan dengan terus-
menerus mengingat Allah
Hal ini sebagaimana yg pernah ditanyakan pada Ruwaym bin Ahmad -rah- tentang
taubat, ia menjawab: ''Taubat adalah dari taubat.'' Dzun-Nuwn al-Mish.ri -rah-
ketika ditanya tentang taubat, ia menjawab, ''Taubatnya orang-orang awam adalah
taubat dari dosa, sedangkan taubatnya orang-orang khusus (khawas) adalah taubat
dari kelalaian mereka untuk mengingat Allah.
Maka dengan demikian, ada dua tipe hamba yang bertaubat, dimana masing-
masing berbeda dengan yang lainnya: Pertama, orang yang bertaubat dari segala
dosa dan kesalahan. Kedua, orang yang bertaubat dari ketergelinciran dan
kelalaian, dan bertaubat dari melihat kebaikan dan ketaatan yang ia lakukan.
Taubat akan mengharuskan wara' (menjaga diri dari syubhat). Demikian yang
dapat diringkas dari kitab Al-Luma. Sementara itu, pembahasan tentang taubat
masih amat luas dan panjang