Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang terdiri dari berbagai macam dimensi. Selain
dimensi akidah dan syariat, ada juga dimensi akhlak atau yang kerap muncul dengan
nama tasawuf. Salah satu karakteristik tasawuf, sebagaimana disebutkan oleh al-
Taftazani, adalah peningkatan moral, pembersihan jiwa, serta pengekangan diri dari
materialisme duniawi. Melalui tasawuf, manusia dibimbing untuk menjadi pribadi
yang cerdas, baik akal maupun spiritual.1
Secara histories tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat,
bermula dari upaya meniru pola kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya, kemudian menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Maka dalam sejarah
perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada
tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku, ada pula tasawuf yang mengarah
pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering
disebut sebagai tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, atau tasawuf sunni (mistiko-sunni).
Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi.
Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai
filosof (mistiko-filosofis), disamping sebagai sufi.2
Faham tasawuf falsafi adalah suatu tasawuf yang bercampur dengan ajaran
filsafat yang menonjolkan ungkapan-ungkapan ganjilnya (Shatahiyat) dalam ajaran
yang dikembangkan oleh para sufi. Tasawuf falsafi mulai muncul pada abad ke tiga

1
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani (Bandung : Pustaka. 1418 H / 1997 M), hlm. 5.

2
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…., hlm. 140.

1
dan ke-empat, namun pada Abad ke lima ada kemunduran dan kembali bersianar
pada abad ke Enam.3
Salah satu tokoh besar tasawuf falsafi yang terkenal adalah Husain Ibnu
Mansur al-Hallaj, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hallaj. Ia merupakan seorang
sufi yang memperkenalkan teori al-Hulul dalam ajaran tasawufnya. Hulul
sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Nasr al-Thusi dalam al-Luma’ ialah faham
yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat- sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh
itu dilenyapkan.4 al-Hallaj juga seorang sufi yang terkenal dengan jargonnya Ana al-
Haq (Akulah sang kebenaran).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan di atas, maka
penulis mengajukan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah ajaran tasawuf Al-Hallaj.
2. Bagaimanakah konsep Al-Hulul dalam ajaran tasawuf Al-Hallaj.
3. Bagaimanakah konsep Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah menurut ajaran Al-
Hallaj.

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui ajaran tasawuf Al-Hallaj.
2. Untuk mengetahui konsep Al-Hulul menurut ajaran tasawuf Al-Hallaj.
3. Untuk mengetahui konsep Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah menurut ajaran
Al-Hallaj.

3
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.
69.

Abu Nasr Sarraj al-Thusi, al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, terj Wasmukan dan
4

Samson Rahman (Surabaya, Risalah Gusti, 2002), hlm. 871.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tasawuf Falsafi Al-Hallaj
Al-Hallaj merupakan salah seorang sufi yang produktif dan banyak
melahirkan karya tulis. Tercatat bahwa Ia melahirkan sekitar 50 karya tulis. Akan
tetapi seluruh karya-karya al-Hallaj dibakar oleh para penguasa yang sentimen pada
saat itu, kecuali Tawasin dan Diwan.5
Sangat berbeda dengan para sufi lain dalam menyampaikan pemikiran
tasawufnya, petualangan al-Hallaj dalam “meneriakkan” pemikiran-pemikiran
tasawufnya yang kontroversial penuh dengan pertentangan dan konflik. Baik dengan
guru, mertua, masyarakat, pemerintah, para sufi lain dan berbagai kalangan lainnya.
Pertentangan paling keras terhadap paham tasawuf yang dibawa al-Hallaj banyak
dilayangkan oleh para ulama fiqih, ulama kalam dan penguasa politik pada saat itu.
Konflik inilah yang menentukan kisah hidup dan perjalanan ajaran tasawuf
falsafinya.6
Al-Hallaj tercatat pernah diusir lebih dari lima puluh kota karena paham hulul
yang dibawanya. Ia juga harus bolak-balik merasakan gelapnya kehidupan dibalik
jeruji besi penjara. Sehingga pada ahirnya al-Hallaj harus rela disalib dan dieksekusi
mati secara brutal oleh pemerintah dinasty abbasiyah, yang saat itu tampuk
kekuasaanya dipegang oleh kholifah al- Muqtadir. Ia dieksekusi secara sadis karena
mempertahankan pendirian tasawufnya.7
Kontroversi al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan- ungkapan
ganjilnya (syatahiyat) yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap

5
Sai'id Abdul Fattah, Di Ambang Kematian Al Hallaj: Tragedi Perjalanan Menuju Makrifat,
terj. Abdurrahim Ahmad (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 67.

6
Muhammad Zaairul Haq, al-Hallaj: Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2010), hlm. 28.

7
Muhammad Zaairul Haq, al-Hallaj: Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan….. hlm. 32.

3
secara substansial oleh orang-orang pada saat itu, khususnya para fuqaha’ (ulama
fiqh) dan mutakalimin (ulama kalam). Sehingga al-Hallaj dituduh anti syari’at,
penganut wahdatul wujud, dan lain sebagainya. Tuduhan-tuduhan itu muncul karena
mereka tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani yang telah dialami al-Hallaj.
Padahal tujuan utama al- Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan keTuhanan
secara lebih transparan. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan al-
Hallaj, karena ia telah membuka rahasia-rahasia Ilahiah, yang seharusnya ditutupi.

B. Konsep Al-Hulul Menurut Ajaran Tasawuf Al-Hallaj


Pemikiran al-Hallaj yang sangat kontroversial, menonjol dan dianggap
sebagai pemikiran yang ekstrim sepanjang sejarah tasawuf dalam Islam adalah
ajarannya tentang hulul. Hulul artinya Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana.8 Al-Hallaj dalam doktrinnya melebihi para sufi
sebelumnya. Dia berkata "Tinggallah alam ciptaan sehingga memungkinkan kamu
menjadi Dia dan Dia menjadi kamu".9 al-Hallaj juga memiliki tingkah laku yang aneh
sehingga dianggap sebagai tukang sihir (perbuatan magis), sebagai sosok yang
melakukan keajaiban-keajaiban.
Al-Hallaj dalam ajaran hululnya, menyatakan bahwa Tuhan telah memilih
tubuh manusia tertentu untuk bersemayam (menitis) di dalamnya dengan sifat-sifat
ketuhananNya. Kerena manusia mempunyai dua sifat dasar yaitu nasut
(kemanusiaan) dan lahut (keTuhanan). Demikian juga Tuhan memiliki dua sifat dasar
lahut dan nasut, dengan membersihkan jiwa dan mendekatkan diri pada Tuhan
melalui ibadah, manusia dapat bersatu dengan- Nya. Hal ini bisa dilihat dari salah
satu gubahan syairnya tentang hulul yang terkenal sebagai berikut:

8
A. Kadir Mahmud, Falsafah al Shujiyah fi al lslam. (Kairo Dar al Fikri, 1966), h.33.

9
Julian Baldick, Mystical Islam. (London: IB. Touris &; Co, Ltd. 1992), h.97.

4
“Aku adalah Dia yang aku cintai, dan Dia yang aku cintai adalah Aku.
Kami adalah dua ruh yang berkelindan dalam satu jasad
Ketika kau melihatku, kau melihat-Nya.
Dan ketika kau melihat-Nya, maka sesungguhnya kau melihat Kami berdua.”
Al-Hulul atau inkarnasi Tuhan dalam tubuh manusia tercapai setelah melalui
berbagai amalan-amalan, antara lain: sopan, kagum, kelelahan, mencari, takjub,
kejujuran, dan lain-lain, dan terwujud melalui cinta sehingga tercapai persatuan yang
sungguh “Ain al-Jami”. Seluruh perhatian dan pikirannya diwarnai oleh Tuhan, tetapi
terjadinya persatuan tidak menjadikan al-Hallaj hilang sebagaimana Abu Yazid al
Bustami, hancur dalam ittihad-nya yang ada hanya Tuhan, dalam ittihad yang tampak
hanya satu wujud sedangkan dalam hulul-nya al-Hallaj tetap dua wujud, tetapi
bersatu dalam satu tubuh. al-Hallaj tidak mengaku sebagai Tuhan, sebagaimana
ucapannya, “Sesungguhnya kemanusiaanku hancur dalam keTuhananMU tanpa
percampuran maka keTuhananMU menguasai kemanusiaanku tanpa bercampur”.
Ketika al-Hallaj mengatakan ana al-haq maka roh Tuhan yang berbicara yang
mengambil tempat pada dirinya.10
Teori lahut dan nasut ini didasarkan pada konsepsinya tentang kejadian
manusia pertama (Nahi Adam) yang dijadikan Tuhan sebagai copy dari dirinya
dengan segala sifat dan kebesarannya. Setelah menjadikan Adam dengan cara seperti
ini, ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Menurut al-Hallaj, perintah Allah
untuk bersujud kepada Adam (Al Baqarah: 34) adalah disebabkan pada diri Adam
Allah menjelma sebagaimana penjelmaan-Nya dalam diri Isa AS.

Bentuk-Bentuk Al-Hulul yaitu terdiri dari:


10
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam. Depag, Jakarta, 1993, h. 339-341

5
1. Al-Hulul Al-Jawari yaitu dua keadaan dimana esensi yang satu dapat
mengambil tempat pada yang lain (tanpa ada penyatuan) sebagaimana halnya
terlihat air bertempat dalam tempayang
2. Al-Hulul Al-Sayorani ialah menyatunya dua esensi sehingga tampak hanya
satu esensi, seperti zat cair yarng telah mengalir dalam bunga. Rupanya
paham kedua inilah yang dikembangkan Al-Hal1aj.
Al Damiri penulis buku Hayat Al-Hayawan menjelaskan ketokohan AlHallaj;
bukanlah hal yang mudah menuduh seseorang Islam keluar dari Agamanya, terutama
bila masih ada kata-kata yang biasa di ta'wilkan lebih baik di diartikan yang lain
karena tidak ada hak manusia untuk menvonis seseorang keluar dari agama Islam
secara tergesa-gesa sehingga dapat memberi hukuman yang mencelakakan bahkan
merenggut maut sebagaimana yang dipahami dalam pembunuhan Al Hallaj.11
seorang ulama kenamaan dari mazhab malik (Ibnu syuraih) memberi jawaban:
“Ilmuku tidak mendalam tentang dirinya” sebab itu saya tidak dapat berkata-kata.
Imam A1-Ghazali seketika di tanyai tentang Al Hallaj ia menjawab: “Perkataan
keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah, apabila cinta itu
sudah sangat mendalam, tidak dirasakan lagi perpisahan diantara diri dengan
cintanya.”
Memperhatikan beberapa pernyataan Ulama Sufi seperti tersebut diatas maka
jelas dapat di pahami kepercayaan sufi Al Hallaj tentang persatuan di antara manusia
dengan Tuhan bila mana dicermati dengan baik ternyata pemikirannya tidaklah
seperti yang tersurat karena di waktu yang lain keluar pula perkataan yang berbeda
dan berlawanan sekali dengan penjelasan pertama, ketika penjelasan pertama jelas dia
berkata tentang persatuan itu, yang merupakan paham Pantheisme, namun di tempat
lain dia berkata:
“Keinsananku tenggelam ke dalam Ketuhanan-Mu, tetapi tidaklah mungkin
percampuran. Sebab ke-Tuhan-Mu itu senantiasa mengusai keinsananku.” Demikian

11
Nurmaningsih Nawawi, Pemikiran Sufi Al-Hallaj Tentang Nasut Dan Lahut, (Makassar:
AL-FIKR, 2013), h. 581

6
pula ia pernah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa Ketuhanan-Mu
bercampur dengan keinsanan atau keinsanan bercampur dengan ke-Tuhan-Mu,
maka kafirlah orang itu. Sebab Allah tidak serupa dengan manusia”.
Dari ungkapan di atas jelaslah bahwa pengakuan a1-Hallaj bahwa dirinya
adalah kebenaran bukanlah bermakna tekstual bahwa ia sebagai Tuhan namun pada
hakikat yang sebenarnya itu adalah kata-kata tuhan yang diucapkan melalui lidah al-
Hallaj dan perbuatannya juga perbuatan dari Tuhan yang dilakukan oleh manusia bila
telah menfanakan sifat nasut-Nya dengan sifat lahut-Nya.

C. Konsep Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah Menurut Ajaran Al-Hallaj.


Nur Muhammad merupakan sebuah paham di dalam tasawuf, falsafi, yang
menganggap bahwa dunia seisinya itu bermula dari Nur Muhammad. Paham Nur
Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan adanya pemujaan dan penghargaan
terhadap manusia agung, Nabi Muhammad saw., yang namanya selalu disandingkan
bersama Allah dalam persaksian (syahadat) seorang muslim. Bermula dari seorang
teolog abad ke-6 M yang bernama Muqattil menafsirkan Al-Qur'an (QS,24:35) yang
terkenal dengan “ayat cahaya”. Ayat tersebut berbunyi:
          
          
        
            
           

Artinya: "Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada
pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang
(yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon minyak yang
banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah
timur(nya) dan tidak di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-

7
hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapislapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (QS,24:35).
Ide Muqattil itu diambil oleh Sahl al-Tustari, tokoh sufi Irak (wafat th. 896 M)
yang mengatakan adanya “lajur cahaya”, yaitu sejenis timbunan yang terdiri dari
segenap jiwa-jiwa yang suci.12
Spekulasi Sahl At-Tustari tentang ayat cahaya di atas mempengaruhi para sufi
berikutnya seperti Al Hallaj.13 Di dalam kitabnya Thasin Al-Shiraj yang merupakan
bab I dari kitab Al Thawasin (hal 9-11) Al Hallaj mengatakan:
"Dia adalah sebuah lampu dari cahaya yang tak terlihat.... sebuah bulan
yang bercahaya di antara bulan-bulan lainnya, yang rumahnya berada dalam
lingkaran segala misteri. Kebenaran Ilahi (Tuhan) menyebutnya ummy dikarenakan
kesempurnaan aspirasinya yang mulia (Himmah)...
Cahaya-cahaya kenabian, dari cahayanyalah mereka muncul, dan cahaya-cahaya
mereka berasal dari cahayanya, yang tiada cahaya terang serta mendahului pra-
eksistensi, dari pada cahaya tokoh mulia ini.”
Menurut al-Hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat, yakni pertama hakikat
cahaya azali yang telah ada sebelum adanya segala sesuatu dan menjadi landasan
ilmu serta ma'rifat.14 Kedua, hakikat yang baru dalam kedudukannya sebagai seorang
nabi, pada ruang dan waktu tertentu. Cahaya yang pertama itulah yang menjadi
landasan semua para nabi dan para imam/ wali yang lahir sesudahnya. Dalam syair
indahnya, al-Hallaj mengungkapkan:
“Tha Sin.
Sinar cahaya gaib pun tampak dan kembali.
12
Atja. “Hikayat Nur Muhammad”. Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
(Jakarta: 1966). h. 15

13
Abd Lilian, 1982:19 ; Syukur, 1982 : 53-54 ; Hamka, 1984 ; 122
14
Nicholson, A. Studies in Islamic Mysticism, (New Delhi: Idarah Adabiyat Delhi 1975), h.
51

8
Sinar itu pun melintasi dan mendominasi segala sesuatu.
Sebuah bulan bersinar cemerlang di antara berbagai bulan, zodiaknya ada dalam
bintang rahasia.
Yang Maha Benar (Tuhan) memberi nama Ummi (yang tidak ditandai dengan huruf)
kepada sinar itu, untuk menghimpun aspirasi-Nya dan dia juga diberi nama Hurmi
(Muhammad) karena keagungan karunia-Nya, serta Makki karena tempat
kelahirannya pada kedekatan-Nya (Al Hallaj)”
Al-Hallaj adalah salah seorang sufi pertama yang mengisyaratkan sesuatu
semacam logos Islam dan menekankan kekudusan Muhammad dan bahkan
menegaskan keabadian dan praeksistensinya. Menurut Al-Hallaj (Afifi,1989 : 123)
eksistensi Muhammad telah terjadi bahkan sebelum noneksistensi dan namanya pun
ada sebelum pena. Ia telah dikenal sebelum substansi-substansi dan kejadian-kejadian
dan sebelum realitas-realitas yang belum maupun yang sudah. Ia datang dari suatu
suku yang bukan timur bukan barat ( bandingkan dengan ayat cahaya ).
Bagi Al-Hallaj, Muhammad adalah cahaya yang tak pernah padam yang terus
menerus menerangi hati para sufi. Semua Nabi dan orang suci mendapatkan cahaya
(pengetahuan) mereka dari cahaya Muhammad saja. Cahayanya lebih cemerlang dan
lebih abadi (Aqdam) dari pada cahaya pena. (Thawasin hal 11-12).
Ada tiga pokok ajaran Al Hallaj yang menggemparkan ulama fikih yaitu
hulul, al-haqiqatul-Mucammadiyah. Menurut Al Hallaj, kejadian alam ini pada
mulanya berasal dari al-haqiqatul-Muhammadiyah atau Nur Muhammad, Nur
Muhammad itulah asal segala sesuatu. Menurutnya Nabi Muhammad saw itu terjadi
atas dua rupa; rupa yang qadim dan azali. Rupa yang pertama adalah qadim (dahulu)
yang terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Rupa yang kedua berwujud
manusia, sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah. Rupa yang kedua ini menempuh mati.
Tetapi rupanya yang qadim tetap ada meliputi alam. Maka dari Nur (cahaya) rupanya
yang qadim itulah diambil segala nur untuk menciptakan segala nabi dan rasul serta
para wali (Syukur, 1982 : 54 ; Hamka, 1984 : 123).

9
Al Hallaj mengatakan bahwa dalam kejadian, Nur Muhammadlah yang awal
namun dalam kenabian, dialah yang akhir. Al-haq adalah sama dengan Nur
Muhammad, dengan dialah hakikat itu. Dia yang pertama dalam hubungan dan yang
akhir dalam kenabian. Dialah yang batin dalam hakikat dan yang lahir dalam ma'rifat.
Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam, dan pusat kesatuan nubuwwat segala
Nabi, dan Nabi-nabi itu nubuwwatnya, atau pun dirinya hanyalah sebagian saja dari
pada cahaya Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah
pancaran belaka dari sinarnya " (Hamka, 1984 : 123)
Pemikiran Al-Hallaj tentang al-haqiqatul-Muhammadiyah ini tidak bisa
dipisahkan dengan faham hulul-nya. Menurut Al Hallaj, sebelum Allah menjadikan
makhluk, Ia hanya melihat dirinya sendiri (tajallil haq li nafsihi). Dalam kesendirian-
Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang tidak
menggunakan kata-kata atau huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan
ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya lalu Ia jatuh cinta pada zat-Nya
sendiri, Cinta inilah yang menjadikan wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun
mengeluarkan dari yang tiada (ex nihilo) bentuk/ copy dari diri-Nya. Bentuk/ copy itu
adalah Adam. Adam pun lalu dimuliakan dan diagungkan-Nya. Pada diri Adamlah
Allah muncul dalam bentuknya, sehingga Allah menyuruh para malaikat sujud
kepada Adam. Hal ini disebabkan pada diri Adamlah Allah menjelma sebagaimana Ia
menjelma dalam diri Isa a.s (Nasution, 1990:89; Hamka, 1964:120-121).
Di sini bertemulah kepercayaan Kristen yang menganggap Allah menjelma ke
dalam diri Isa al-Masih putera Mariam dengan kepercayaan Al Hallaj. Bagi Al Hallaj,
bukanlah pada Isa al-Masih saja Tuhan bisa menjelma, tetapi juga pada setiap insan
yang telah sanggup memfanakan dirinya ke dalam Tuhan sehingga mendapat baqa di
dalam Tuhan. Al Hallaj mengutip satu hadis yang sangat berpengaruh besar bagi ahli
sufi "Innallaaha khalaqa Adama 'alaa suuratihi" (Sesungguhnya Tuhan menciptakan
Adam sesuai dengan bentuk-Nya) (Nasution, 1990:88-89)
Seperti hal yang telah dibahas diatas sepintas pernyataan dan ajaran Al Hallaj
ini berbau pantheisme, namun sebenarnya Al Hallaj sendiri di tempat lain

10
mengatakan bahwa keinsanannya tenggelam ke dalam ketuhanan, tetapi tidaklah
mungkin ada percampuran. Hal itu disebabkan ketuhanan senantiasa menguasai
keinsanannya. Katanya selanjutnya:
“Barang siapa yang menyangkal bahwa ketuhanan bercampur dengan
keinsanan jadi satu, atau keinsanan masuk ke dalam ketuhanan, maka kafirlah orang
itu. Sebab Allah ta'ala itu berdiri dalam zat-Nya dan sifat-Nya daripada makhluk dan
sifat-Nya pula. Tidaklah Tuhan serupa dengan manusia dalam rupa, dan bentuk yang
mana jua pun." (Hamka, 1984:122)
Pernyataan Al Hallaj yang menggemparkan yaitu ana al-haq tidak boleh boleh
dipandang sebagai ucapan manusia, melainkan ucapan Allah yang ada di dalam
manusia itu. Allah bagi Al Hallaj adalah transenden dan imanen. Allah tidaklah
identik dengan manusia (Hadiwiyono, tt:19).
Di lain tempat Al Hallaj sendiri menyangkal adanya persatuan antara hamba
dan Tuhan (sebagaimana ajaran al ittichad dari Abu Yazid al Busthami). Di dalam
chulul, tetap ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh (Nasution, 1990: 90).
Zoetmulder sendiri menyangkal bahwa Al Hallaj adalah seorang pantheis maupun
seorang monis, walaupun tulisan-tulisan dan gagasan-gagasannya turut
mengembangkan faham pantheisme dalam sufi Islam dan sekalipun ucapan-ucapan
yang dilepaskan dari konteksnya dan yang disalahartikan, berbau pantheis
(Zoetmulder, 1991:37-44).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dalam hal itu penulis dapt mengambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). Karena ajarannya, al-
Hallaj dipenjara. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M al-Hallaj dihukum mati.

11
Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling dikenal adalah al-hulul dan Al-
hakikat Muhammadiyah.
2. Al-Hallaj dalam ajaran hululnya, menyatakan bahwa Tuhan telah memilih
tubuh manusia tertentu untuk bersemayam (menitis) di dalamnya dengan sifat-
sifat ketuhananNya. Kerena manusia mempunyai dua sifat dasar yaitu nasut
(kemanusiaan) dan lahut (keTuhanan). Demikian juga Tuhan memiliki dua
sifat dasar lahut dan nasut, dengan membersihkan jiwa dan mendekatkan diri
pada Tuhan melalui ibadah, manusia dapat bersatu dengan- Nya.
3. Menurut Al Hallaj, kejadian alam ini pada mulanya berasal dari al-haqiqatul-
Muhammadiyah atau Nur Muhammad, Nur Muhammad itulah asal segala
sesuatu. Menurutnya Nabi Muhammad saw itu terjadi atas dua rupa; rupa
yang qadim dan azali. Rupa yang pertama adalah qadim (dahulu) yang terjadi
sebelum terjadinya seluruh yang ada. Rupa yang kedua berwujud manusia,
sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah. Rupa yang kedua ini menempuh mati.
Tetapi rupanya yang qadim tetap ada meliputi alam. Maka dari Nur (cahaya)
rupanya yang qadim itulah diambil segala nur untuk menciptakan segala nabi
dan rasul serta para wali.
4. Paham Al-Hallaj mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan ulama.
Ulama syari’ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham alHallaj
menyesatkan bahkan kafir. Sebagian lagi orang yang setuju dengan konsep
hulul karena itu hanyalah bentuk ekspresi al-Hallaj tentang kedekatan dengan
Tuhan dan itu hanya didapatkan melalui pengalaman, intuisi dan tajribah
sufiyah yang tidak bisa dirasakan semua orang. Wa Allah a’lam
DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani Bandung : Pustaka. 1418 H / 1997 M
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf Bandung: Pustaka Setia, 2000
Abu Nasr Sarraj al-Thusi, al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, terj Wasmukan
dan Samson Rahman Surabaya, Risalah Gusti, 2002

12
Sai'id Abdul Fattah, Di Ambang Kematian Al Hallaj: Tragedi Perjalanan Menuju
Makrifat, terj. Abdurrahim Ahmad Jakarta: Erlangga, 2009

Muhammad Zaairul Haq, al-Hallaj: Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan


Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010
A. Kadir Mahmud, Falsafah al Shujiyah fi al lslam. Kairo Dar al Fikri, 1966
Julian Baldick, Mystical Islam. London: IB. Touris &; Co, Ltd. 1992
Nurmaningsih Nawawi, Pemikiran Sufi Al-Hallaj Tentang Nasut Dan Lahut,
Makassar: AL-FIKR, 2013
Atja. “Hikayat Nur Muhammad”. Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Jakarta: 1966
Nicholson, A. Studies in Islamic Mysticism, New Delhi: Idarah Adabiyat Delhi 1975

13

Anda mungkin juga menyukai