Anda di halaman 1dari 18

KONSEP AL-ASHÎL DAN AL-DAKHÎL

DALAM TAFSIR ALQURAN

Muhammad Ulinnuha
Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta
Jl. Ir.Juanda No.70 Ciputat, Jakarta
E-mail: maznuha@gmail.com

Abstract: The Concept of al-Ashîl and al-Dakhîl in the Quranic Exegesis. This study examined the concept of al-ashîl
and al-dakhîl in the Quranic exegesis. These two issues were important to discuss because in the books of exegesis
there were many data and information that were irrelevant to the content of verses and sublime messages of
the Quran. Even authoritative exegesis books were also not sterile from the infiltration of interpretation, either
in the form of historical data, ra’y (the result of ijtihad) or inner cues. Based on this, this study aimed to explain
the concept of ashâlat al-mashdar (source authenticity) so that al-dakhîl fî al-tafsîr (infiltration of interpretation)
could be known, criticized and evaluated. Criticism of the infiltration of quranic interpretation was necessary so
that the exegesis books—as a work in direct contact with the main source of Islam—were completely cleansed
from the reality of al-dakhîl.
Keywords: al-dakhîl; infiltration of exegesis; al-ashîl; exegesis criticism.

Abstrak: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran. Penelitian ini menguji konsep al-ashîl dan al-dakhîl
dalam tafsir Alquran. Kedua isu ini penting untuk didiskusikan karena dalam kitab tafsir banyak data dan informasi
yang tidak relevan dengan isi ayat dan pesan luhur Alquran. Bahkan kitab-kitab tafsir yang otoritatif juga tidak
steril dari infiltrasi penafsiran, baik dalam bentuk data historis, ra’y (hasil ijtihad) atau isyarat batin. Berdasarkan
hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konsep ashâlat al-mashdar (keaslian sumber) sehingga
al-dakhîl fî al-tafsîr (infiltrasi interpretasi) dapat diketahui, dikritik dan dievaluasi. Kritik terhadap infiltrasi
interpretasi Alquran diperlukan agar kitab-kitab tafsir—sebagai karya yang berhubungan langsung dengan
sumber utama Islam—benar-benar dibersihkan dari kenyataan al-dakhîl.
Kata kunci: al-dakhîl; infiltrasi penafsiran; al-ashîl; kritik tafsir.

Pendahuluan saja terjadi pada era kontemporer, tapi secara


Tafsir adalah produk pemikiran manusia.1 genealogis sudah terjadi sejak masa-masa klasik
Sepanjang tafsir merupakan produk manusia, seiring dengan penyebaran Islam ke berbagai
maka hal itu tidak akan lepas dari kekurangan penjuru dunia.
atau bahkan penyelewengan. Di antara bentuk Hal itu dapat dijumpai dalam beberapa karya
penyelewengan (inhirâf) itu adalah dimasukkannya tafsir klasik maupun modern, dengan adanya
data-data yang tidak valid ke dalam pembahasan sistem, orientasi dan metode penafsiran yang
tafsir Alquran yang kemudian disebut dengan tidak sesuai (incompatible). Kecenderungan-
istilah al-dakhîl (infiltrasi). Menurut Abdul Wahhab kecenderungan itu semakin tampak seiring dengan
Fâyed,2 praktek infiltrasi penafsiran itu tidak munculnya pola-pola baru dalam menafsirkan
Alquran, terutama dengan semakin menguatnya
gairah untuk memberikan makna yang lebih
1
Tafsir disebut dengan hasil pemikiran karena semua
produk penafsiran (baik yang terkategori tafsir bi al-ma’tsur,
memuaskan keinginan mufasir dalam memahami
bi al-ra’yi maupun bi al-isyârah) tidak ada yang steril dari Alquran, dengan berusaha mengelaborasi
kontribusi akal/ijtihad penulisnya. metodologi tafsir yang tidak seluruhnya steril
2
Baca selengkapnya pada Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl
fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-Hadharah al- dari semangat kepentingan.
‘Arabiyah, 1978), Juz I, h. 102-108.

127 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

Pada era sahabat sendiri 3 sudah terjadi tafsir yang dihasilkan mencapai titik objektifnya
penyelewengan tafsir. Contohnya adalah pe­ di sisi yang lain.
nafsiran Qudâmah ibn Mazh’ûn al-Khâthi’ (w.36 Objektifitas dalam penafsiran tidak mungkin
H) terhadap Q.S. al-Mâ’idah [5]:93. Qudâmah dapat dilakukan seratus persen. Maka benar
menganggap bahwa khamr boleh dikonsumsi pernyataan Hasan Hanafi (l. 1935 M) bahwa
dengan dua syarat; pelakunya memiliki keimanan setiap penafsiran, baik yang menggunakan
dan rajin beramal saleh, bertakwa dan berbuat pendekatan rasional (bi al-‘aql) maupun riwayat
kebajikan secara terus menerus. Belakangan (bi al-naql), selalu berangkat dari kepentingan,
terungkap bahwa penafsiran Qudâmah atas tidak ada penafsiran yang sepenuhnya objektif,
Q.S. al-Mâ’idah [5]:93 itu dilakukan dalam rangka absolut dan universal.6 Kendatipun demikian,
menjustifikasi kegiatan pesta khamr yang kerap ia subjektifitas penafsiran bukan berarti tidak dapat
lakukan ketika menjadi Amîr (gubernur) di daerah diminimalisir dan dikendalikan. Abou el-Fadl (l.
Bahrayn pada era Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab.4 1963 M) misalnya, menawarkan hermeneutika
Benih-benih penyelewengan penafsiran seperti negosiasi7 untuk mengendalikan subjektifitas
ini terus berlangsung pada masa tabiin, tabi’ dan kepentingan mufasir tersebut. Itu artinya,
tabiin, generasi pertengahan hingga sekarang. penafsiran dapat didekatkan kepada titik
Fenomena di atas mendorong para ahli objektifitas­nya dengan menggunakan metode
Alquran untuk melakukan kritik evaluatif dengan dan pendekatan ilmiah.
mem­ b uat metode dan prosedur kritiknya. Sementara Fayed (1936-1999 M) juga me­
Diantara­­nya adalah metode kritik terhadap hadis nawarkan pendekatan ashâlat al-mashdar
maudlu’, kritik isra’iliyat dan kritik al-dakhîl dalam (otentisitas sumber) untuk mengetahui dan me­
karya-karya tafsir. Tulisan ini secara spesifik ngukur tingkat objektifitas penafsiran. Secara
berusaha untuk menjelaskan hal ihwal metode singkat, pendekatan ini meniscayakan verifikasi
kritik al-dakhîl (infiltrasi) penafsiran Alquran. sumber data penafsiran; apakah sumbernya
termasuk al-ashîlah (otentik) ataukah al-dakhîlah
Definisi Otentisitas dan Infiltrasi Penafsiran (terkontaminasi/terinfiltrasi dimensi lain).
Dalam menafsirkan Alquran, mufasir sering Orisinalitas dan otentisitas sumber penafsiran
terpengaruh oleh latar belakang keilmuan dan itu disebut dengan istilah al-ashîl.8 Al-ashîl inilah
ideologinya. Mufasir yang ahli bahasa cenderung
6
Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion,
menafsirkan Alquran secara lingustik, seorang Ideology and Development, (Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop,
sufi cenderung menafsirkan secara intuitif 1995), Vol I, h. 184. Lihat juga Ilham B. Saenong, Hermeneutika
dan begitu seterusnya.5 Tafsir yang diwarnai Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi
(Jakarta: Teraju, 2002), h. 168.
secara kuat oleh background keilmuan dan 7
Menurut Abou el-Fadl, dengan hermeneutika negosiasi,
ideologi mufasirnya disinyalir tidak lagi objektif. penafsir/pembaca tidak saja mampu mengungkap makna teks,
Oleh karenanya, ulama meletakkan dasar dan tapi juga dapat membongkar kepentingan yang tersimpan
dalam teks. Dalam konteks ini, ia menawarkan lima syarat
metodologi penafsiran secara ketat agar mufasir yang harus dimiliki mufasir untuk menjaga dan mengendali­
tidak terjebak pada romantisme pra-konsepsi dan kan libido subjektifitasnya yaitu; kejujuran intelektual
ideologi yang dimilikinya di satu sisi, dan supaya (honesty/amânah), kesungguhan (diligence), kom­prehensifitas
(comprehensiveness/kâffah), rasionalitas (reasonableness) dan
pengendalian diri (self restrain). Lihat Khaled Abou el-Fadl,
Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women
3
Nama lengkapnya adalah Ibrahim ‘Abd al-Rahman (England: Oneworld, 2003), h. 99.
Muhammad Khalîfah. Guru Besar dan mantan Ketua Prodi 8
Sebelum membedah hakekat al-dakhîl, Fâyed terlebih
Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. dulu memulai penjelasannya tentang al-ashîl atau al-ashâlah
4
Ibrahim ‘Abd al-Rahman Muhammad Khalifah, (otentisitas) dalam penafsiran Al-Qur’an. Karena al-ashîl
(selanjutnya disebut Ibrahim Khalifah), al-Dakhîl fî al-Tafsîr, merupakan antonim dari al-dakhîl, maka persoalan al-ashâlah
(Kairo: Universitas Al-Azhar, 1996), h. 11 dan 118-122. ini dijelaskan lebih dulu dengan harapan agar antonimnya
5
Model-model penafsiran yang terpengaruh dengan (al-dakhîl) dapat diketahui secara baik oleh pembaca. Dalam
latarbelakang keilmuan mendapat kritik tajam dari Amin al- perspektif filsafat, metode semacam ini dikenal dengan ta‘rîf
Khuli. Sebab penafsiran semacam itu tidak mampu menge­ al-ashyâ’ bi adhdadihâ (mendefinisikan sesuatu dengan cara
tengahkan Al-Qur’an secara objektif dan universal. Karena itu menjelaskan antonimnya). Tim Penulis, ‘Âlam al-Ghayb wa
ia menawarkan konsep kritik penafsiran dengan pendekatan al-Shahâdah (Tehran: Markaz al-Nûn Jam‘îyah al-Ma‘ârif wa
literary criticism. Lihat Amin al-Khuli, al-Tafsîr: Ma‘âlim Hayâtih, al-Tsaqâfah, 2012), h. 15. Lihat juga ‘Abdul Wahhab Fayed, al-
Manhajuhu al-Yawm, (Kairo: Dâr al-Ma’rifah, 1962), h. 40-46. Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 13.

| 128
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

yang kemudian dijadikan sebagai parameter untuk Jika diperhatikan, definisi Fâyed di atas ter
mengukur sejauhmana kualitas penafsiran. Jika lihat hanya mencakup satu jalur tafsir saja yaitu
sejalan dengan teori al-ashîl, maka sebuah tafsiran bi al-ma’thûr dan belum mengakomodir tafsir bi
dapat dikatakan sahih dan objektif. Sebaliknya, al-ra’y. Oleh karenanya, definisi al-ashîl fî al-tafsîr
bila berlawanan, maka tafsir dapat dikategorikan yang jâmi‘ dan mâni‘ (komprehensif) adalah tafsir
sebagai al-dakhîl yang subjektif sehingga perlu yang memiliki sumber rujukan dan dasar yang
dilihat, diteliti, dievaluasi dan pada tahap tertentu, jelas serta dapat dipertanggungjawabkan, baik
jika perlu, direkonstruksi. sumber itu berasal dari Alquran, hadis sahih,
Dalam konteks ini, mengetahui hakekat al- pendapat sahabat dan tabiin yang valid, atau
ashâlah (otentisitas) dalam tafsir Alquran menjadi berasal dari rasio sehat yang memenuhi kriteria
penting. Sebab dengan mengetahui hakekat dan prasyarat ijtihad.14
al-ashâlah—antonim al-dakhîlah—maka secara Adapun ad-dakhîl secara etimologi bermakna
otomatis akan diketahui hakekat teori kritik al- antara lain; (a) orang yang berafiliasi kepada
dakhîl. yang bukan komunitasnya, (b) tamu, disebut
Secara etimologi, al-ashîl berasal dari bahasa dakhîl karena ia masuk ke rumah orang lain
Arab al-ashl yang berarti asal, valid, dasar, pokok yang dikunjunginya, (c) kata serapan, karena
dan sumber. 9 Dalam bahasa Inggris, al-ashîl ia berasal dari bahasa asing, dan (d) orang
sepadan dengan kata authentic yang berarti asli, asing yang datang untuk tujuan eksploitasi.15
orisinil, valid dan genuine.10 Dalam bahasa Arab Bahkan Ibn Manzhûr (630-711 H) mengatakan
dikatakan, shay’un ashîlun berarti sesuatu yang bahwa al-dakhîl adalah semua unsur eksternal
memiliki asal usul kuat, rajulun ashîlun adalah yang masuk ke dalam diri manusia, dan ia dapat
pemuda yang memiliki asal-usul/silsilah yang jelas, merusak akal, mental dan fisiknya.16 Sementara
dan memiliki akal yang kuat dan sehat.11 Fayrûz bagi al-Râghib al-Ashfihânî (w.502 H/1108 M),
Âbâdî (w.817 H) dalam al-Qâmûs mengatakan kata al-dakhîl yang terdiri dari huruf dâl, khâ’
bahwa al-ashl adalah dasar atau pondasi, al- dan lâm berpusat maknanya pada aib dan cacat
ashîl adalah orang yang memiliki asal usul jelas.12 internal.17 Menurut Ibrahim Khalifah, aib dan
Dengan demikian, secara bahasa al-ashîl adalah cacat itu karena beberapa faktor, antara lain:
segala sesuatu yang memiliki asal usul yang pasti, (a) keterasingan, seperti kata serapan dan tamu
jelas, otentik, orisinil dan valid. yang tidak diundang; (b) cacat inderawi dan cacat
lainnya yang terselubung dan tidak diketahui
Secara terminologi, ahli ilmu Alquran berbeda
kecuali setelah diteliti dengan seksama, seperti
pendapat dalam mendefinisikan term al-ashîl.
penyakit, usaha makar, penipuan, keraguan, ulat
Namun menurut ‘Abd al-Wahhâb Fâyed, secara
dalam batang pohon dan lain lain.18
garis besar pendapat itu dapat dikerucutkan
menjadi dua definisi: pertama, tafsir yang memiliki Padanan kata al-dakhîl dalam bahasa Inggris
asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas adalah outsider yang berarti orang luar19 dan
dari agama. Kedua, tafsir yang ruh, dan nafasnya infiltration yang berarti peresapan, penyusupan
bersandarkan kepada Alquran, sunah, pendapat dan perembesan.20 Berdasarkan pemaknaan ini,
para sahabat, dan tabiin.13
1, h. 13.
9
Lihat misalnya Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ali al- 14
Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al-
Fayyûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Sharh al-Kabîr (Kairo: Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Universitas Al-Azhar,
al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 2000), h. 119. t.th.), h. 11.
10
Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris 15
Lihat misalnya Ibrahim Mushthafa, et.all., al-Mu‘jam al-
Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1975), h. 21. Wasîth, (Istanbul: Dâr al-Da‘wah, 1990), h. 275.
11
Abu al-Fadhl Muhammad ibn Makram ibn Manzhûr 16
Ibn Mazhûr, Lisân al-‘Arab, (Bayrut: Dâr Shâdir, 1956),
(selanjutnya disebut Ibn Mazhûr), Lisân al-‘Arab, ditahqiq oleh Jilid 11, h. 241.
‘Abdullah ‘Ali al-Kabîr, dkk., (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif), Juz 13, h. 16. 17
al-Râghib al-Ashfihânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân
12
Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Muhammad (Libanon: Dâr al-Ma‘rifah, t.th.), h. 166.
ibn Ibrahim ibn ‘Umar al-Shayrâzî al-Fayrûz Âbâdî (selanjutnya 18
Ibrahim Khalifah, al-Dakhîl fî al-Tafsîr, (Kairo: Universitas
disebut Fayrûz Âbâdî), al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs al- Al-Azhar, 1996), Jilid 1, h. 2.
Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm al-‘Arab Shamâmîth, 19
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
(Bayrut: Mu’assasah al-Risalah, 1407 H), Cet. II, h. 4. Indonesia..., h. 39.
13
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 20
Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus

129 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

maka secara bahasa, virus atau bakteri penyakit Kelompok Bâthinîyah mengatakan bahwa
dapat disebut al-dakhîl karena ia merupakan unsur Alquran dan hadis memiliki makna lahir dan batin.
eksternal yang meresap ke dalam tubuh manusia. Makna batin merupakan inti dan esensi ajaran
Kata serapan juga dapat disebut al-kalimah al- Islam. Karena itu, orang-orang yang ber­henti pada
dakhîlah karena ia tidak berasal dari rahim atau pemahaman makna lahiriah, maka hidupnya akan
rumpun bahasa aslinya. berada di bawah belenggu syariat. Sementara yang
Sementara secara terminologis, al-dakhîl adalah berani melampauinya dan mampu menangkap
penafsiran Alquran yang tidak memiliki sumber, makna batinnya, maka ia akan keluar dari belenggu
argumentasi dan data yang valid dari agama.21 syariat tersebut dan dapat beristirahat dari beban
Dengan kata lain, al-dakhîl adalah penafsiran yang perintah-perintah agama.
tidak memiliki landasan yang valid dan ilmiah, baik Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa
dari Alquran, hadis sahih, pendapat sahabat dan kesimpulan penting. Pertama, otentisitas tafsir
tabiin, maupun dari akal sehat yang memenuhi Alquran sangat bergantung kepada validitas data
kriteria dan prasyarat ijtihad.22 dan sumber yang digunakan mufasir. Kedua,
Sumber al-dakhîl dapat berasal dari dua penafsiran yang berlandaskan kepada data-
sisi; eksternal dan internal. Secara eksternal, data yang valid dan dapat dipertanggungjawab­
penafsiran semacam ini berasal dari sebagian kan secara ilmiah dapat dikategorikan sebagai
kelompok outsider yang dengan sengaja ingin penafsiran objektif. Ketiga, sumber-sumber
mem­porandakan ajaran Islam. Mereka menyerang otentik penafsiran Alquran terdiri dari Alquran,
Islam dari berbagai lini, termasuk Alquran. sunah Nabi, pendapat sahabat dan tabiin, kaidah
Bangunan peradaban yang dibangun baginda bahasa Arab dan akal sehat yang memenuhi
Nabi Saw melalui ajaran Alquran dirongrong kriteria dan prasyarat ijtihad. Keempat, penafsiran-
sedemikian rupa dengan cara misalnya, me­ penafsiran yang tidak bersumber dari hal-hal
masukkan penafsiran-penafsiran berbau mistis di atas dikategorikan sebagai al-dakhîl (tafsir
dan khurafat yang tidak mempunyai sumber dan infiltratif) yang patut dikaji, dievaluasi, dikritisi
data yang jelas dari doktrin agama. Penafsiran dan direkonstruksi.
semacam itu mereka gelindingkan ke dalam
Alquran dengan maksud untuk memecah belah Sejarah dan Bentuk-Bentuk al-Dakhîl
dan merusak teologi umat.23 Sementara secara 1. Sejarah Munculnya al-Dakhil
internal, al-dakhîl berasal dari sebagian kelompok Embrio al-dakhîl sejatinya telah muncul sejak
insider. Mereka mengaku bagian dari Islam, tapi sebelum Islam lahir di jazirah Arab. Pasalnya,
sesungguhnya secara politis mereka berorientasi sebelum Islam datang di Jazirah Arab, telah
untuk merusak ajaran Islam dari dalam. Salah ada sekelompok Ahli Kitab yang sebagian besar
satu kelompok yang dikategorikan berbahaya beragama Yahudi. Mereka berhijrah dan masuk
adalah kelompok Bâthinîyah. Dengan alibi Alquran jazirah Arab pada sekitar tahun 70 Masehi. Mereka
memiliki makna lahir dan batin, kelompok ini ber­mukim di sebuah lembah yang dikelilingi oleh
kemudian mencetuskan beragam penafsiran pegunungan serta terdapat banyak pohon kurma,
yang akhirnya ingin mendegradasi dan bahkan tempat itu dinamakan Yatsrib.25 Mereka datang
menafikan syariat Islam.24 berbondong-bondong ke Jazirah Arab karena
ramalan para pemuka agama mereka tentang
Inggris Indonesia..., h. 63. Kata ilfiltration sudah diserap ke
diutusnya Nabi akhir zaman sebagai penerus Musa
dalam bahasa Indonesia menjadi “infiltrasi” yang diartikan
penyusupan dan perembesan. Lihat Tim Penulis, Kamus Bahasa
Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), h. 586. 25
Kota Yatsrib diubah oleh Nabi Saw menjadi Madinah
21
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz beberapa saat setelah kedatangan beliau di kota tersebut. Nama
1, 13. Madinah mengisyaratkan bahwa di tempat baru itu hendak
22
Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, 13. diwujudkan suatu masyarakat teratur dan berperadaban.
23
Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, 14. Dengan demikian, konsep Madinah adalah pola kehidupan
24
Kelompok Bathiniyah mengatakan bahwa Al-Qur’an sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan
dan hadis memiliki makna lahir dan batin. Lihat Fâyed, al-Dakhîl kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.
fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz 1, h. 14-15; dan Ibn al-Qayyim al- Lihat Muhammad Syafii Antonio, Muhammad SAW: The Super
Jawzi, Talbîs Iblîs (Iskandariyah: Dâr ibn Khaldun, t.th.), h. 100. Manager, The Super Leader, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2007)

| 130
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

yang akan mengembalikan mereka kepada tanah Yahudi memeluk Islam dan sebagian sahabat
suci sebagaimana telah dijanjikan Tuhan. Selain bertanya kepada mereka mengenai isi Taurat dan
tinggal di Yatsrib, sebagian ada juga yang hidup Injil, terutama mengenai cerita umat terdahulu
berkelompok di Yaman dan Yamamah.26 yang disebutkan secara global dalam Alquran,
Interaksi sosial yang berlangsung lama inilah maka terjadilah kontak pengetahuan diantara
yang menyebabkan pertukaran kultur dan budaya mereka. Pada awalnya, Rasul memang melarang,
di antara kaum Yahudi dan bangsa Arab. Ketika bahkan marah ketika melihat ‘Umar ibn al-Khattab
Rasul Saw datang dengan syariat Islam dan datang dengan membawa lembaran-lembaran
memperluas medan dakwah hingga menjamah kitab suci yang diperoleh dari Ahli Kitab.29 Tetapi
Yatsrib, kemudian diikuti para sahabat yang seiring perjalanan waktu, ketika Islam sudah kuat
berhijrah dari Mekah menuju Madinah. Mulai dan tersebar ke seluruh penjuru Madinah dan
dari sinilah beberapa orang Yahudi masuk Islam, sekitarnya, Rasul pun mengizinkan sahabat untuk
diantaranya adalah Ka‘b ibn Mâti‘ al-Humayrî al- meriwayatkan cerita-cerita isra’iliyat selama tidak
Ahbâr (w. 32 H), ‘Abdullah ibn Salâm (w. 43 H) dan bertentangan dengan ajaran Islam.30
Tamîm al-Dârî (w. 40 H/660 M). Setelah memeluk Kemudian pelansiran riwayat isra’iliyat dari Ahli
Islam, mereka menjadi salah satu rujukan para Kitab ini semakin marak pada masa tabiin sehingga
sahabat dalam menafsirkan Alquran, terutama yang seorang pembaca tafsir akan sulit membedakan
berkaitan dengan kisah-kisah umat terdahulu. Abû mana cerita yang sahih dan mana cerita yang
Hurayrah (w.57 H/676 M), ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w. dibuat-buat oleh ahli kitab. Dan begitu seterusnya,
68 H/687 M) dan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash dari generasi ke generasi, fenomena al-dakhîl dalam
(w.63 H), adalah diantara sahabat yang kerap tafsir Alquran—khususnya al-dakhîl bi al-ma’tsûr
bertanya kepada Ahli Kitab.27 yang berasal dari isra’iliyat—terus berkembang
Dari keterangan singkat di atas, dapat ditarik seiring dengan perkembangan zaman.
benang merah bahwa, proses merasuknya al-dakhîl Adapun terkait dengan al-dakhîl dalam tafsir
ke dalam tafsir Alquran paling tidak melalui dua bi al-ra’y, para ulama mencatat ada beberapa
jalan. Pertama, ketika Rasulullah Saw tinggal di sebab yang turut mendorong perkembangannya.
Madinah, beliau mendakwahi Ahli Kitab dari bangsa Antara lain, yang paling utama adalah pemahaman
Yahudi (bani Qaynuqâ’, bani Nadhîr dan bani mufasir yang sangat subjektif. Subjektifitas
Qurayzhah) sehingga terjadilah pertemuan antara pemahaman/penafsiran tersebut terjadi karena;
Nabi Saw dan sahabat dengan Ahli Kitab. Proses pertama, tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai
pertemuan dan perhelatan intelektual inilah yang penafsir Alquran. Karena itu, ketika ia bertemu
menyebabkan masuknya al-dakhîl dalam tafsir.28 dengan ayat yang secara zahir bertentangan
Kedua, masuknya sebagian orang Yahudi ke dengan akal, mufasir langsung mengambil ke­
dalam Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salâm (w.43 simpulan dan menerjemahkan ayat tersebut
H), Mukhayrîq ibn al-Nadhîr (w.3 H/625 M) dan
Ka‘b al-Ahbâr (w.32 H). Ketika segelintir orang 29
Hadis larangan melansir riwayat isra’iliyat dari Ahli
Kitab selengkapnya dapat dilihat misalnya pada Imam Ahmad,
Musnad Ahmad, (Bayrut: Dar Shâdir, t.th.) Juz 3, h. 387.
26
Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, 30
Ada tiga tahapan yang dilakukan Rasul Saw dalam
(Kairo: Dâr al-Kutub wa al-Hadîts, 1976), Jilid I, h. 25. menyikapi al-dakhîl dari riwayat isra’iliyat ini. Pertama, pe­
27
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz larangan secara keras dan tegas bagi kaum muslimin untuk
1, h. 14-15. membaca, bertanya dan mendengarkan kabar israiliyat. Hal
28
Ketika Nabi Saw tinggal di Madinah, interaksi antara ini dilakukan pada awal-awal gerakan dakwah di Madinah.
Ahli Kitab dengan umat Islam tidak dapat dihindari. Hanya saja, Kedua, pemberian izin untuk mendengar riwayat isra’iliyat
ketika baginda Nabi masih hidup, pergerakan al-dakhîl belum dengan syarat tidak membenarkan atau mendustakan riwayat
begitu massif karena dua alasan. Pertama, proses penurunan tersebut, tapi cukup mengatakan “Kami beriman kepada
Al-Qur’an masih terus berlangsung, sehingga berbagai Allah dan apa-apa yang diturunkan kepada kami…” (Q.S. al-
persoalan yang muncul tidak perlu dicarikan solusinya kepada Baqarah [2]:136). Sikap seperti ini terjadi pada pertengahan
Ahli Kitab, tapi langsung dapat diatasi oleh Rasul melalui masa dakwah Nabi. Ketiga, pemberian izin untuk berdiskusi
wahyu Allah. Kedua, umat Islam pada saat itu bersikap sangat dan meriwayatkan isra’iliyat dengan syarat riwayat tersebut
hati-hati dengan tradisi, kebudayaan dan ajaran Yahudi dan benar-benar valid dan sesuai ajaran Islam. Sikap ini terjadi pada
Nasrani, sebab terdapat informasi valid mengenai distorsi yang akhir masa dakwah Nabi dimana umat Islam sudah sangat kuat
menimpa kitab suci mereka. Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al- dan disegani banyak kalangan. Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-
Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 103. Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 110-111.

131 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

secara literal, tanpa memandang konteks dan mendukung mazhab mereka.


kemungkinan makna lain yang dikandung Setelah itu, datang masa-masa dinasti
ayat itu. Kedua, penafsiran yang berorientasi Umayyah dan Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah
untuk menjustifikasi pandangan golongan atau berdiri di atas puing-puing dinasti Umaiyah.
kelompok tertentu, seperti yang dilakukan Masa itu merupakan masa transisi tampuk
sebagian sekte Mu’tazilah, Bâbiyah, Bahâ’iyah kekuasaan dari rezim ke rezim lain. Sebagai­
dan Ahmadiyah. 31 Mereka menyelewengkan mana lazimnya masa transisi, maka tentu saja
tafsir Alquran menurut hawa nafsu, dan menolak tidak terjadi secara seketika, tapi dilakukan
teks-teks yang bertentangan dengan akidah dan dengan berbagai cara dan strategi. Salah
keyakinan mereka. satu strategi yang digunakan adalah dengan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kampanye terselubung atas nama agama.
potensi al-dakhîl sudah ada sebelum Islam hadir di Salah satunya adalah dengan manafsirakan
jaziah Arab. Kemudian benih-benihnya mulai ada ayat-ayat Alquran. Contoh penafsiran
pada masa Rasul dan sahabat. Lalu benih-benih itu infiltratif yang dilakukan adalah tafsir atas
tumbuh pada masa tabiin dan terus berkembang firman Allah Swt:
pada masa-masa setelahnya, terutama pada “Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan
masa dinasti Umayyah (661-750 M) dan dinasti kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu
‘Abbasiyah (750-1258 M) ketika kebudayaan, meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak
tradisi penerjemahan dan kajian-kajian ilmiah menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan
dalam berbagai disiplin ilmu ditumbuhsuburkan. kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi
manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang
2. Faktor Penyebab Berkembangnya al-Dakhîl terkutuk dalam Al-Quran. Dan Kami menakut-
Beberapa faktor yang melatari kemunculan nakuti mereka, tetapi yang demikian itu
dan perkembangan al-dakhîl dalam tafsir Alquran hanyalah menambah besar kedurhakaan
adalah: mereka.” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 60)
a. Faktor Politik dan Kekuasaan Diriwayatkan dari Ya‘lâ ibn Murrah bahwa
yang dimaksud dengan al-shajarah al-
Pertentangan politik yang timbul sejak akhir
mal‘ûnah adalah Bani Umayyah. Mereka
kekhalifahan ‘Ustman ibn ‘Affan dan awal
meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa dia berkata
kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib bisa dikatakan
kepada Marwan ibn Hakam (w. 65 H), “Saya
sebagai sebab munculnya sekte-sekte yang
mendengar Rasul Saw berkata kepada ayah
saling menyerang dengan cara membuat
dan kakekmu, (wahai Marwan), kalian (Bani
hadis-hadis dan beragam penafsiran sektarian.
Umayyah) adalah al-shajarah al-mal‘ûnah
Syi’ah Rafidhah misalnya,32 menafsirkan ayat
(pohon terkutuk) yang disebutkan dalam
Tabbat Yadâ Abî Lahabin wa Tabb (Q.S. al-
Q.S. al-Isrâ’ [17] ayat 60.”34
Lahab [111]:1) sebagai Abu Bakar dan ‘Umar
ibn al-Khattab, Maraj al-Bahrayn Yaltaqiyân b. Faktor Kebencian Terhadap Islam
(Q.S. al-Rahmân [55]:19) sebagai ‘Ali dan Golongan yang tidak senang dengan Islam
Fathimah, al-Lu’lu’ wa al-Marjân (Q.S. al- sengaja membuat berbagai riwayat palsu
Rahmân [55]:19) sebagai Hasan dan Husayn, dengan tujuan untuk mengoyak Islam secara
‘An al-Naba’ al-‘Azhîm (Q.S. al-Naba’ [78]:2) internal. Berbagai penafsiran yang tidak
sebagai Ali ibn Abu Thalib,33 dan masih banyak memiliki dasar kuat mereka buat dan sebarkan
lagi penafsiran-penafsiran subjektif yang di tengah-tengah umat. Salah satu contoh
al-dakhîl melalui hadis palsu yang dibuat
31
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz dalam konteks ini adalah kisah Gharânîq35
2, h. 193-224
32
Dalam konteks ini, Imam Syafi‘i mengatakan, “Saya
tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta kepada 34
Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al-
Rasul Saw selain kaum Rafidhah”. Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Universitas Al-Azhar,
33
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 2, t.th.), h. 39-40.
h. 145; lihat juga Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., 35
Yang dimaksud gharânîq dalam konteks ini adalah salah
h. 86. satu jenis berhala yang disembah kaum kafir Quraisy. Gharânîq

| 132
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

yang dikaitkan dengan asbab nuzul Q.S. al- datang seorang pengemis, maka Ali –yang
Hajj [22]: 53 sedang dalam keadaan ruku’- memberikan
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu cincin kepada si pengemis itu. Terkait dengan
seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang kejadian inilah, maka Q.S. al-Mâ’idah [5]
nabi, melainkan apabila ia mempunyai se­ ayat 55 itu diturunkan. Contoh lain adalah
suatu keinginan, setanpun memasukkan penafsiran kaum Syi‘ah atas Q.S. Qâf [50]:24.
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah Mereka melansir sebuah riwayat palsu yang
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh berbunyi: “Ketika kiamat datang, Allah
setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- berfirman kepadaku (Muhammad) dan ‘Ali
Nya.” (Q.S. al-Hajj [22]:53)36 ibn Abi Thalib: ‘Masukkanlah orang-orang yang
kalian cintai ke surga, dan masukkanlah orang-
Tentu riwayat gharânîq ini dianggap tidak
orang yang kalian benci ke neraka’. Riwayat ini
rasional dan bertentangan dengan logika hukum
—menurut mereka—merupakan tafsiran ayat
‘ishmah al-nubûwah (perlindungan terhadap
Alqiyâ fî Jahannama Kulla Kaffârin ‘Anîd (Q.S.
Nabi Saw). Karenanya tidak ber­lebihan jika
Qâf [50]:24).38 Hal yang sama juga dilakukan
para pakar hadis dan tafsir mem­­bantah status
oleh pengikut Muktazilah, Khawarij Murji’ah
riwayat tersebut dan menggolongkannya ke
dan sekte-sekte lainnya.
dalam hadis palsu. Beberapa diantaranya adalah
Ibn ‘Athiyah (481-541 H) dan Syihabuddin al- d. Faktor Perbedaan Mazhab
Alûsî (1217-1270 H)37. Perbedaan (ikhtilâf) adalah suatu kepastian,
c. Faktor Fanatisme sunnatullah, dan manusia tidak mungkin
untuk menghindarinya. Ikhtilâf dapat di­
Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab
benarkan selama tidak menyangkut masalah
sikap ini dapat merusak objektifitas mufasir.
akidah yang prinsip, melainkan dalam
Diantara contoh al-dakhîl yang disebabkan
masalah furû‘. Karena itu, kehadiran berbagai
faktor fanatisme adalah penafsiran sebagian
macam sekte kerap menjadi bumerang bagi
kelompok Syi‘ah terhadap Q.S. al-Mâ’idah
umat Islam. Mereka tidak segan-segan
[5]:55. Mereka mengatakan bahwa ketika
menjadi­kan Alquran sebagai alat justifikasi
‘Ali ibn Abi Thalib sedang shalat tiba-tiba
terhadap ajaran sekte mereka. Salah satu
contonya adalah apa yang dilakukan
berasal dari kata gharnûq atau gharnîq. Ia merupakan nama Ahmadiyah Qadyan. Karena meyakini bahwa
satu jenis burung air (sejenis burung pelikan) yang berkelamin Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi,
lelaki. Kaum kafir menjadikan berhala (gharânîq) sebagai
sesembahan karena ia diyakini mampu memberi pertolongan maka berbagai ayat yang memungkinkan
dan mampu membawa terbang doa-doa yang dipanjatkan untuk dijadikan pembenar ajaran tersebut,
kepada Tuhan, seperti halnya burung yang mampu terbang ke
mereka tafsirkan secara subjektif sesuai
angkasa. Lihat Ibn al-Atsîr, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-
Atsar, (Bayrut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1979), Juz 3, h. 69. ajarannya. Ketika menafsirkan Q.S. al-Nisâ’
36
Sebagian mufasir meriwayatkan asbabun nuzul ayat [5]:69 misalnya, mereka mengatakan bahwa
tersebut bahwa ketika Rasulullah mengalami masa-masa
frase min al-nabîyîn wa al-shiddîqîn wa al-
sulit, yakni ketika ditinggal oleh kaumnya. Nabi pun berharap
kaumnya tidak diazab sebab beliau optimis suatu saat mereka syuhadâ’ wa al-shâlihîn adalah penjelasan
akan menjadi orang-orang yang beriman. Pada saat beliau (bayân) bagi frase sebelumnya; wa man
sedang duduk di salah satu tempat pertemuan kaum Quraisy,
tiba-tiba Allah menurunkan surat al-Najm [53].
yuthi‘illah wa al-rasûl. Berdasarkan penjelasan
sesuatu yang tidak aku bacakan kepadamu (dan juga) bukan semacam ini maka umat Muhammad sangat
berasal dari Allah?”. Nabi Saw pun bersedih dan sangat dimungkinkan untuk mencapai empat derajat
takut. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Q.S.
Al-Hajj [53]: 52). Riwayat mengenai kisah gharânîq ini dapat sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut,
dilihat misalnya pada kitab tafsir Abu al-Qâsim Mahmud ibn yakni; kenabian (al-nubûwah), kebenaran
‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari (selanjutnya ditulis
al-Zamakhsyari), al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-
Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl (selanjutnya ditulis al-Kasysyâf), (Kairo: 38
Lihat contoh-contoh al-dakhîl berupa hadis palsu pada
Dâr al-Kutub, t.th.), Juz 2, h. 65. Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr, h. 78; Ibn Katsir,
37
Ibn ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al- Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, 2000), Juz 3, h.
‘Azîz, (Rabat: Maktabah al-Îmân, 1998), Juz 2, h. 136. Lihat juga 130; dan Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukânî, al-
Syihabuddin al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm Fawâ’id al-Majmû‘ah fî al-Ahâdîts al-Maudhû‘ah, (Bayrut: Dâr
wa al-Sab‘ al-Matsânî, (Kairo: Dar al-Manar, 2000), Juz 17, h. 182. Shâdir, t.th.), h. 382.

133 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

(al-shiddîqîyah), persaksian (al-syahâdah) Alquran. Riwayat-riwayat palsu itu kemudian


dan kebaikan (al-shalâh). Dengan demikian, dinukil oleh sebagian mufasir seperti al-
semua orang yang taat kepada Allah dan Zamakhsyari (467-538 H). Di dalam tafsirnya,
Rasul-Nya dimungkinkan dapat mencapai al-Zamakhsyari melansir berbagai riwayat
derajat kenabian, seperti halnya Ghulam mengenai keutamaan surat-surat Alquran
Ahmad.39 seperti surat al-Nâzi‘ât, al-Infithâr, al-Burûj,
Tafsiran sektarian yang subjektif semacam al-Fajr, al-Dhuhâ, al-Tîn, al-Takâtsur, al-
inilah yang menjadikan al-dakhîl dalam tafsir Kautsar, al-Kâfirûn42 dan beberapa surat
Alquran semakin tumbuh subur. Padahal lainnya. Namun setelah diselidiki ternyata
ketika mufasir melihat ayat di atas secara status riwayat-riwayat tersebut tidak valid
jujur dan objektif, tanpa terbelenggu dengan dan karenanya dapat dikategorikan sebagai
doktrin kenabian Ghulam Ahmad, maka ia al-dakhîl (tafsir ilfiltratif).
akan mampu mempersembahkan penafsiran
yang universal dan kompatibel untuk semua 3. Klasifikasi Bentuk al-Dakhîl
anak zaman. Penafsiran-penafsiran mayoritas Dalam buku al-dakhîl karya Fâyed dijelaskan
ulama menjelaskan bahwa ayat di atas tujuh klasifikasi al-dakhîl (infiltrasi) penafsiran
merupakan tafsiran bagi ayat ketujuh surat al- yaitu; dakhîl yang berasal dari riwayat israiliyat,
Fâtihah. Artinya, jalan bagi orang-orang yang hadis maudhû‘ dan dha‘îf, infiltrasi penafsiran dari
tidak tersesat dan tidak dimurkai Allah adalah sekte Bâthiniyah, ilfiltrasi penafsiran sufistik yang
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengabaikan makna eksoteris, infiltrasi penafsiran
sudah direfleksikan dan diaplikasikan oleh dari aspek linguistik, infiltrasi penafsiran dari sekte
para Nabi, shiddîqîn, syuhadâ’ dan shâlihîn.40 Bâbiyah, Bahâ’iyah dan Qadyâniyah, serta ilfiltrasi
e. Faktor Ketidaktahuan penafsiran dari sebagian pemikir kontemporer.43
Niat baik yang tidak dilandasi pengetahuan Namun dalam beberapa karya ulama lain,
yang cukup tidak selamanya berimplikasi al-dakhîl diklasifikasi menjadi tiga jalur yaitu jalur
kepada kebaikan. Salah satu contohnya al-ma’tsûr (riwayat), jalur al-ra’y (rasio) dan jalur
adalah apa yang dilakukan sebagian muballigh al-isyârah (intuisi). Masing-masing jalur kemudian
yang dengan sengaja melansir riwayat tanpa dibagi lagi menjadi beberapa bagian.
mengetahui status dan validitas riwayat Pertama, al-dakhîl jalur al-atsar (riwayat),
tersebut. Alih-alih membawa kebaikan, meliputi: hadis maudhû‘ (palsu), hadis dha‘îf
riwayat-riwayat semacam itu bisa jadi malah (lemah), riwayat isra’iliyat yang bertentangan
me­nimbulkan polemis yang berkepanjangan. dengan Alquran dan sunah, pendapat sahabat
Menurut catatan al-Suyûthî (849-911 H), dan tabiin yang tidak valid, pendapat sahabat dan
diantara orang-orang yang kerap membuat tabiin yang bertentangan dengan Alquran, sunah,
riwayat palsu dengan maksud baik tapi tidak hukum logika dan tidak dapat dikompromikan.44
dibarengi dengan ilmu yang mendalam adalah Kedua, al-dakhîl dari jalur ra’y (rasio), meliputi:
Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abu Maryam (w.173 tafsir yang didasari niat buruk dan skeptisme
H), Maysarah ibn ‘Abdi Rabbih, Bazî‘ ibn terhadap ayat-ayat Allah, tafsir eksoteris tanpa
Hassân dan Mukhlid ibn ‘Abd al-Wâhid.41 mempertimbangkan sisi kepantasan bila disemat­
Mereka sengaja membuat riwayat-riwayat kan kepada Dzat Allah, penafsiran distorsif atas
palsu mengenai keutamaan (fadhî’il) surat- ayat-ayat dan syariat Allah dengan meng­abaikan
surat Alquran dengan tujuan agar umat sisi literal ayat, tafsir esoteris yang tidak didukung
Islam gemar membaca dan mengamalkan
42
al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, terutama ketika me­nafsir­
39
Lihat Shaykh Muhammad al-Khadhir Husayn, al- kan juz ‘Amma. Lihat juga Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-
Qadyânîyah, (Kairo: al-Makatabah al-Salafîyah, 1932), h. 59-60. Karîm..., Juz 2, h. 59-61.
Lihat juga Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 2, 43
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz
h. 233-234. 1, h. 102-108.
40
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm..., Juz 1, h. 75. 44
Jamâl Mushthafâ ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Wahhâb al-
41
Jalaluddin al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî, (Kairo: Dâr al- Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl, (Kairo: Universitas
Manâr, 2000), Juz 1, h. 282-289. Al-Azhar, 2009), h. 27.

| 134
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

argumentasi yang kuat, penafsiran yang tidak Sumber Otentik Tafsir sebagai Parameter
berbasis pada prinsip dan kaidah tafsir yang baku, Kritik ad-Dakhil
penafsiran saintifik yang terlalu jauh dari konteks Secara umum, sumber otentik penafsiran
linguistik, sosiologis dan psikologis ayat.45 Alquran terdiri dari; (1) Alquran, (2) sunah yang
Ketiga, al-dakhîl dari jalur al-isyârah (intuisi), sahih, (3) pendapat sahabat dan tabiin yang
meliputi antara lain: tafsir esoteris yang dilakukan valid dan dapat dipertanggungjawabkan, (4)
oleh sekte Bâthiniyah, tafsir sebagian kaum sufi kaidah bahasa Arab yang disepakati mayoritas
yang tidak mengindahkan makna eksoteris ayat. ahli bahasa, (5) ijtihâd (rasio) yang berbasis pada
Secara lebih detail, klasifikasi al-dakhîl di atas data, kaidah, teori dan argumentasi yang dapat
dapat dilihat pada tabel berikut: dipertanggungjawabkan secara ilmiah.46
Lima sumber penafsiran Alquran inilah
Tabel 1 : Klasifikasi Al-Dakhîl
yang menjadi basis sekaligus parameter utama
Klasifikasi dalam kritik ad-dakhîl. Oleh karena itu, bila ada
No. Sumber Bentuk/Macam
al-Dakhîl
penafsiran-penafsiran yang kemudian tidak
1. bi al-Ma’tsûr Riwayat 1. Isra’iliyat;
(sunah, 2. Hadis maudhû‘ (palsu); ber­basis kepada lima sumber di atas, dapat di­
pendapat 3. Hadis dha‘îf (lemah); kategori­kan sebagai al-dakhîl yang harus dikritisi,
sahabat dan 4. Pendapat sahabat dan
tabiin serta tabiin yang tidak valid; dianalisis dan dievaluasi validitasnya.
isra’iliyat) 5. Pendapat sahabat Karena sumber-sumber otentik tersebut juga
dan tabiin yang
bertentangan dengan berperan sebagai parameter kritik, maka dalam sub
Alquran, sunah, hukum bahasan ini, akan diuraikan satu persatu bagaimana
logika dan tidak dapat
dikompromikan.
cara kerja masing-masing komponen tersebut.
2. bi al-Ra’y Rasio/Ijtihad 1. Tafsir yang didasari niat
buruk dan skeptisme 1. Alquran
terhadap ayat-ayat
Allah; Alquran dijadikan sebagai sumber penafsiran
2. Tafsir eksoteris pertama dan utama karena ia memiliki otoritas
(tektualis) tanpa
mempertimbangkan tertinggi untuk menjelaskan dirinya sendiri. Fungsi
sisi kepantasannya bila Alquran sebagai penjelas bagi dirinya sendiri
disematkan kepada
Dzat Allah; terlihat dari beberapa ayat misalnya, Q.S. al-
3. Penafsiran distorsif Qiyâmah [75]:16-19, Q.S. al-Hadîd [57]:17, Q.S. Âli
atas ayat-ayat dan
syari’at agama;
‘Imrân [3]:138, Q.S. al-Baqarah [2]:99 & 219, Q.S.
4. Penafsiran yang tidak al-Mâ’idah [5]:15 dan Q.S. al-Hijr [15]:1.47 Ayat-
berbasis pada prinsip ayat tersebut mempertegas bahwa salah satu
dan kaidah tafsir yang
disepakati mayoritas fungsi Alquran adalah menjelaskan dirinya sendiri.
ahli tafsir; Karena itu, tidak berlebihan jika Ibn Taymiyah
5. Penafsiran saintifik
yang terlalu jauh dari
pernah mengatakan bahwa metode tafsir terbaik
konteks linguistik, adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran.48
sosiologis dan
psikologis ayat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana metode
3. bi al-Isyârah Hati/Intuisi 1. Tafsir esoteris yang Alquran menjelaskan/menafsirkan dirinya sendiri.
dilakukan oleh sekte Diantara caranya, yaitu: (1) tafshîl al-mûjaz49
Bâthiniyah, Bahâ’iyah
dan Qadyâniyah;
2. Tafsir sebagian kaum
46
Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h.
sufi yang menafikan 15. Lihat juga Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Ittijâhât al-
makna eksoteris ayat Munharifah..., h. 4-5.
dan tidak memiliki
47
Fâyed, al-Dakhîl..., Juz 1, h. 17-18.
argumentasi yang kuat. 48
Lihat Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., h. 93.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
49
Contohnya adalah cerita tentang Nabi Adam. Kadangkala
ia diceritakan secara ringkas seperti yang terlihat pada Q.S. al-
Kahfi [18] dan Q.S.al-Isrâ’ [17], terkadang diceritakan secara
terperinci dan detail seperti pada Q.S. al-Baqarah [2] dan Q.S.
al-A‘râf [7], dan ada juga yang diceritakan tidak terlalu ringkas
juga tidak terlalu detail seperti yang terlihat pada Q.S. Thâhâ
45
al-Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl..., h. 28. [20], Q.S. Shâd [38] dan Q.S. al-Hijr [15]. Kisah nabi Adam yang

135 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

(merinci yang ringkas/global), (2) bayân al- bayna mâ yûhim al-ta‘ârudh54 (mengkompromikan
mujmal50 (menjelaskan yang belum jelas/mujmal), ayat-ayat yang seakan-akan berlawanan), (7)
(3) takhshîsh al-‘âm 51 (mengkhususkan yang melalui qirâ’ât55 (bacaan) Alquran.56 Dengan
umum), (4) taqyîd al-muthlaq52 (membatasi yang menggunakan tujuh model rumusan inilah, mufasir
mutlak/tidak terbatas), (5) penjelasan dengan cara dapat menjelaskan/menafsirkan Alquran dengan
naskh53 (penghapusan/penggantian), (6) al-taufîq Alquran.

mendetail tentu dimaksudkan untuk menjelaskan dan merinci 2. Sunah Nabi Saw57
cerita yang ringkas. Lihat Fâyed, al-Dakhîl..., Juz 1, h. 18-19. Lihat
juga al-Zarkasyri, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 2, h. 211. Sumber kedua penafsiran Alquran adalah
50
Mujmal adalah kalimat atau ayat yang belum jelas sunah Nabi Saw. Beberapa ayat yang mendasari
makna­nya. Adapun mubayyan adalah kalimat yang sudah jelas
maknanya. Ketidakjelasan makna itu disebabkan beberapa hal
hal ini adalah Q.S. al-Nahl [16]:44 & 64, Q.S.
antara lain; satu lafaz memiliki kemungkinan lebih dari satu al-Hasyr [59]:7. Sementara diantara hadis Nabi
makna (musytarak), perbedaan terhadap lafaz yang terbuang Saw yang melandasinya adalah: “Hendaklah
(hadzf), perbedaan tampat kembali kata ganti (dhamîr),
per­ bedaan kemungkinan antara kata sambung (‘athaf) kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah
dan permulaan kalimat (isti’nâf ), kata-kata asing (gharîb) para khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk
dan perbedaan taqdîm dan ta’khîr. Sementara penjelasan sesudahku. Gigit (pegang erat) sunah tersebut
(bayân) terhadap ayat-ayat yang belum jelas (mujmal) ada­
kalanya dilakukan secara langsung dalam satu rangkaian dengan gigi geraham” (HR. Tirmidzi).58 Dalam hadis
ayat (muttashil), ada juga yang terpisah (munfashil). Contoh lain juga disebutkan: “Sesungguhnya kutinggalkan
penjelasan langsung dalam satu ayat seperti yang tergambar pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak
pada Q.S. al-Baqarah [2]:187. Pada ayat ini, yang dimaksud
al-khayth al-abyadh dan al-khayth al-aswad adalah al-fajr. akan sesat apabila kalian berpegang teguh kepada
Sementara model kedua seperti Q.S. al-Baqarah [2]:37 yang keduanya, yaitu: Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya,”
dijelaskan secara terpisah pada Q.S. al-A’râf [7]:23. Lihat Fâyed,
(HR. Malik).59 Di samping itu, ada juga beberapa
al-Dakhîl..., Juz 1, h. 20-21.
51
‘Âm adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi
segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu tanpa terbatas. Menurut para ulama, naskh merupakan penjelasan terhadap
Sementara khâsh adalah kata khusus yang diperuntukkan untuk masa berakhirnya satu hukum dan berlakunya hukum
makna-makna tertentu saja. Dalam konteks Al-Qur’an, para baru. Dua hukum tersebut (baik yang lama maupun baru)
ulama ada yang berpendapat, hampir tidak ada kata yang umum diketahui oleh Allah, hanya saja manusia tidak mengetahuinya
kecuali ada kata yang mengkhususkannya. Yang mengkhusukan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Karena itu,
kata umum itu adakalanya muttashil (tersambung/langsung), Ibn Hazm (384-456 H) mengatakan bahwa naskh adalah
adakalanya munfashil (terpisah). Yang muttashil berupa istithnâ’ salah satu metode penafsiran dengan cara menangguhkan
(pengecuali) seperti Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]:224-227, al-washf (sifat) (mengakhirkan) penjelasan. Penangguhan penjelasan (ta’khîr
seperti Q.S. al-Nisâ’ [4]:23, al-sharth (syarat) seperti Q.S. al- al-bayân) itu ada yang terkait dengan kata/kalimat dan ada
Baqarah [2]:180, al-ghâyah (tujuan/batas) seperti Q.S.al-Baqarah yang terkait dengan perbuatan.
[2]:187, badl al-ba‘dh min al-kull (pengganti) seperti Q.S. Fâthir 54
Alquran adalah satu kesatuan yang tidak mungkin ter­
[35]:10. Sementara yang munfashil seperti Q.S. al-Nisâ’ [4]:3 jadi perbedaan di dalamnya. Perbedaan itu sejatinya hanya
ditakhshish oleh Q.S. al-Nisâ’ [4]:23-24. Lihat Fâyed, al-Dakhîl..., Juz dalam perspektif kemanusiaan yang sangat nisbi dan terbatas.
1, h. 22-23. Lihat pula Muhammad Su’âd Jalâl, al-Bayân wa al-Naskh Contohnya tentang penciptaan Adam yang disebutkan secara
fî Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah, t.th.), h. 20. berbeda dalam Q.S. Âli ‘Imrân [3]:59, Q.S. al-A‘râf [7]:12, Q.S.
52
Muthlaq adalah kata yang terlepas, tidak terikat. al-Hijr [15], dan Q.S. al-Anbiyâ’ [21]:30.
Artinya kata yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu 55
Qirâ’ât adalah ilmu untuk mengetahui cara baca
tanpa ikatan/batasan apa-apa. Contonya adalah kata raqabah (pengucapan) lafaz-lafaz Alquran, baik yang disepakati maupun
(budak) pada Q.S. al-Mujâdalah [58]: 3. Kata itu tidak dibatasi yang diperselisihkan oleh para ahli qira’at. Qira’at dibagi
dengan kata apapun (muthlaq) sehingga budak yang dimaksud menjadi dua yaitu shahîhah (sahih/sah) dan syâdzdzah (aneh/
pada ayat ini adalah semua jenis budak. Sementara muqayyad jarang). Lihat Ibn Mujâhid, al-Sab‘ah fî al-Qirâ’ât (di-tahqîq oleh
adalah kata yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat Shawqî Dhayf), (Kairo: Dâr al-Kutub, 1999), h. 47-50.
dengan sesuatu yang lain. Contonya, kata raqabah mu’minah 56
Lihat Fâyed, al-Dakhîl..., Juz 1, 18-34.
(budak mukmin) pada Q.S. al-Nisâ’ [4]: 92. Kata raqabah 57
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan sunnah.
di sini dibatasi dengan kata mu’minah, sehingga ia tidak Namun menurut mayoritas ahli hadis, sunnah didefinisikan
lagi muthlaq tapi sudah muqayyad (terbatas), yakni hanya sama dengan hadis yakni; perkataan, perbuatan, ketetapan
budak-budak yang mukmin saja. Menurut al-Zarkasyî, ketika dan karakter Nabi Saw, baik yang bersifat bawaan (khalqiyah)
ditemukan suatu dalil yang mengikat (men-taqyid) kata yang maupun aplikasi keseharian (khuluqiyah). Lihat Muhammad
muthlaq, maka yang muthlaq itu harus ditafsirkan denganya. Abu Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, (Kairo: Dâr al-Fikr al-
Dan jika tidak ditemukan dalil, maka yang muthlaq tetap pada ‘Arabi, 1958), h. 10.
kemutlakanya dan yang muqayyad tetap pada maknanya. Lihat 58
Hadis ini dilansir dari al-‘Irbâdh ibn Sâriyah dan
al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 2, h. 15; al-Suyuthî, statusnya dinilai hasan shahih oleh al-Tirmidzi. Lihat al-Tirmidzi,
al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1999), Juz 2, h. Sunan al-Tirmidzî..., Juz 3, h. 267.
31; dan Fâyed, al-Dakhil fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 23. 59
Hadis ini merupakan penggalan dari isi khutbah Nabi
53
Naskh adalah menghapus atau mengganti hukum Saw pada waktu haji wada, dan dilansir dari Ibn ‘Abbas. Lihat
syar‘i dengan dalil hukum syar‘i lain yang datang kemudian. Mâlik ibn Anas, al-Muwaththa’ ditahqiq Muhammad Fu’ad

| 136
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

riwayat lain yang yang diceritakan oleh al-Awza‘i Alquran kecuali beberapa ayat yang diajari Jibril.”64
(88-157 H) dari Hassan ibn ‘Athiyah (w.130 H), Dalam hadis lain, Rasul Saw secara khusus juga
ia berkata: “Wahyu diturunkan kepada Nabi Saw mendoakan Ibn ‘Abbâs seraya berkata: “Ya Allah,
dan Jibril kemudian menyiapkan sunah sebagai berilah dia (Ibn ‘Abbas) pemahaman tentang agama
penafsirnya.” Hal senada juga dikatakan Mak-hûl dan ajarilah takwil/tafsir (Alquran).”65 Seandainya
(w.113 H) bahwa Alquran sangat butuh kepada Rasul Saw menjelaskan seluruh isi Alquran, maka
sunah. Bahkan Yahya ibn Abi Kathîr (w.132 H) do’a dalam hadis ini tidak ada fungsinya, sebab
mengatakan, sunah adalah penjelas dan penafsir semua sahabat, termasuk Ibn ‘Abbas, akan dapat
Alquran.60 menafsirkan Alquran melalui penjelasan dan
Namun demikian, ulama berbeda pendapat penafsiran baginda Muhammad Saw.66 Dengan
mengenai berapa banyak ayat yang dijelaskan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi
atau ditafsirkan Nabi Saw. Namun secara umum tidak menafsirkan seluruh isi Alquran, tapi beliau
dapat dikelompokkan menjadi dua golongan. hanya menafsirkannya dalam jumlah yang sangat
Pertama, mengatakan bahwa seluruh isi Alquran sedikit.
telah ditafsirkan oleh Nabi Saw. Diantara dalil Perbedaan dua kelompok di atas kemudian
yang digunakan kelompok ini adalah Q.S. al-Nahl dimoderasi oleh kelompok ketiga yang di­
[16]:44. Menurut Ibn Taymiyah (661-728 H), frase li wakili antara lain oleh Husain al-Dzahabi dan
tubayyina li an-nâs pada ayat ini mencakup semua Fayed.67 Mereka mengatakan bahwa Rasul Saw
penjelasan, baik secara leksikal (alfâzh) maupun menjelaskan/menafsirakan Alquran kepada
makna-makna (ma‘ânî).61 Mereka juga melansir sahabat­nya dalam jumlah yang cukup banyak
salah satu riwayat dari Abu ‘Abdurrahman al- sebagaimana dapat dijumpai dalam kitab-kitab
Sulami, dia berkata: “Kami diberitahu orang-orang hadis sahîh. Namun beliau tentu saja tidak
yang mengajari kami cara baca Alquran seperti menafsirkan seluruh isi Alquran, sebab di dalamnya
Utsmân ibn ‘Affan, ‘Abdullah ibn Mas‘ud dan ada ayat-ayat yang hanya dapat diketahui oleh
lainnya bahwa, ketika mereka belajar (Alquran) Allah Swt, ada ayat-ayat yang dapat diketahui
dari Nabi Saw sepuluh ayat, mereka tidak ber­ para ulama, ada ayat-ayat yang diketahui oleh
pindah ke ayat lain sebelum memahami dan orang Arab dari bahasanya dan ada juga ayat-
mengamalkan isinya dengan baik.” Kemudian ayat yang dapat dipahami oleh semua orang.68
mereka berkata: “Maka kami pun mempelajari Adapun metode penafsiran Alquran dengan
Alquran, teori dan aplikasinya sekaligus.”62 sunah, adalah: (1) bayân al-mujmal69 (menjelaskan
Kelompok kedua berpendapat bahwa Nabi
Saw menafsirkan Alquran dalam jumlah sangat 64
Mengomentari riwayat di atas, Qâdhî ‘Abd al-Haq
sedikit.63 Di antara dalil yang dijadikan dasar adalah ibn ‘Athiyah mengatakan bahwa ayat-ayat yang ditafsirkan
Rasul melalui pengajaran Jibril adalah yang terkait dengan
riwayat dari al-Bazzâr (w.292 H) dari ‘Aisyah (w.58 hal-hal supranatural, seperti hari kiamat, surga neraka dan
H), dia berkata: “Rasul Saw tidak menafsirkan semacamnya yang tidak mungkin diketahui hakekatnya kecuali
oleh Allah Swt. Lihat ‘Abd al-Haq ibn Ghâlib ibn ‘Athiyah,
Muqaddimatân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah al-Khanji,
‘Abdul Bâqî, (Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1985), Juz 2, h. 1972), h. 263.
899; Lihat juga Muhammad Abu Shahbah, A’lâm al-Muhadditsîn, 65
Hadis ini diriwayatkan secara beragam oleh beberapa
(Kairo: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1962), h. 12. ahli hadis. Dalam Shahîh al-Bukhârî, misalnya, tidak ada redaksi;
60
Riwayat-riwayat tersebut dapat dilihat misalnya pada wa ‘allimhu al-ta’wîl (dan ajarilah ia tentang takwil). Redaksi ini
Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi (selanjutnya hanya terdapat pada Musnad Imam Ahmad, Shahih Ibn Hibbân
ditulis al-Qurthubi), al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân wa al-Mubayyin dan Mustadrak al-Hâkim. Lihat Abu Hamid al-Ghazâlî, Ihya’ ‘Ulûm
li Mâ Tadhammana min al-Sunnah wa Ahkâm al-Furqân al-Dîn, (Kairo: Musthafa al-Bab al-Halibî, t.th.), Juz 1, h. 379.
(selanjutnya ditulis al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân), (Kairo: Dâr al- 66
Fâyed, al-Dakhîl fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 41.
Kutub al-Mashriyah, 1964), Juz 1, h. 39. 67
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz
61
Lihat Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., h. 35. 1, h. 43-44.
62
Menurut Ibn Taymiyah, hadis di atas menunjukkan 68
Empat pembagian ayat Al-Qur’an sebagaimana
bahwa para sahabat di samping belajar cara baca Al-Qur’an, dijelaskan al-Dzahabî di atas merujuk kepada riwayat yang
juga belajar tafsir dan cara mengaplikasikannya dalam dilansir Ibn Jarir dari Ibn ‘Abbas. Lihat al-Dzahabî, al-Tafsîr wa
kehidupan sehari-hari. Lihat Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî al-Mufassirûn..., Juz 1, h. 53.
Ushûl al-Tafsîr..., h. 36. 69
Contohnya adalah penjelasan Rasul tentang tata cara
63
Diantara yang mengatakan demikian adalah al-Zarkasyî shalat, zakat dan haji melalui hadisnya: “Shalatlah kalian seperti
dan al-Suyûthî. Lihat al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz halnya kalian melihat aku shalat,” dan “Ambillah dariku tata cara
2, h. 178-179. ibadah haji kalian.” (HR. al-Bukhari). Lihat al-Bukhari, Shahîh al-

137 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

ayat yang global), (2) taqyîd al-muthlaq70 (mem­ ajaran Alquran dalam keseharian.77 Dalam dunia
batasi yang mutlak), (3) takhshîsh al-‘âm 71 penafsiran, sahabat merujuk kepada Alquran,
(mengkhususkan yang umum), 4) taudhih al- sunah, dan jika tidak didapatkan keterangan dari
musykil72 (menjelaskan yang ambigu), (5) bayân keduanya, mereka berijtihad sendiri dan sangat
al-naskh73 (penjelasan dengan cara menghapus/ sedikit yang merujuk kepada data-data isra’iliyat.78
mengganti), (6) bayân al-ta’kîd74 (penjelasan Pada era kepemimpinan Abu Bakar dan ‘Umar
untuk menegaskan dan menguatkan), (7) taqrîr ibn Khattab, perbedaan penafsiran di kalangan
mâ sakata ‘anhu al-qur’ân75 (menetapkan hukum sahabat masih sangat minim,79 tatapi pada era
yang belum disebutkan dalam Alquran).76 Melalui ‘Utsmân ibn ‘Affan, seiring terjadinya perebutan
metode-metode inilah sunah dapat menjelaskan kekuasaan antar klan Arab dan penyebaran Islam
isi Alquran. ke segenap penjuru dunia, perbedaan pada bidang
tafsir Alquran pun mulai tumbuh. Kendati harus
3. Pendapat Sahabat dan Tabiin diakui bahwa perbedaan (ikhtilâf) di zaman itu
Sepeninggal Rasul Saw, sahabat menjadi masih bersifat tanawwu‘ (variatif) belum sampai
rujukan dalam penafsiran Alquran. Demikian kepada tadhâd (kontradiktif).
sebab mereka adalah generasi yang paling tahu Karena itu, tidak berlebihan bila al-Suyuthi
mengenai hal ikhwal Alquran; mulai dari proses (849-911 H), hanya mencatat sekitar sepuluh
penurunan hingga pemahaman dan aplikasi penafsir saja dari kalangan sahabat, yaitu: Abu
Bakar al-Shiddiq (w. 13 H/634 M); ‘Umar ibn
Bukhârî..., Juz 5, h. 69. al-Khattab (w.23 H/644 M); Utsmân ibn ‘Affan
70
Contohnya adalah pembatasan Rasul Saw terhadap (w.35 H/656 M); ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661
kemutlakan hukum potong tangan bagi pencuri sebagaimana
M); Ibn Mas‘ud (w.32 H/653 M); Zayd ibn Tsabit
tertera dalam Q.S. al-Mâ’idah [5]:38, dibatasi sampai
pergelangan tangan. Hadis ini dapat dilihat pada misalnya, (w.45 H/665 M); Ubay ibn Ka‘b (w.20 H/640 M);
Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah dan Abu Musa al- Asy‘ari (w. 44 H/664 M); ‘Abdullah
Musnad Ahmad.
71
Contohnya adalah pen-takhshish-an Rasul terhadap
ibn Zubayr (w. 73 H/692 M ); dan ‘Abdullah ibn
keumuman frase al-zhulm (kezhaliman) yang tertera dalam ‘Abbas (w.68 H/687 M).80
Q.S. al-An‘âm [6]:83 dengan al-syirk (menyekutukan Tuhan),
Walaupun demikian, tidak semua sahabat
seraya bersabda: “Sesungguhnya yang dimaksud al-zhulm
(pada ayat ini) adalah al-syirk (menyekutukan Tuhan). Lihat al- memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama
Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 2, h. 193. dalam dunia penafsiran Alquran. Mereka sangat
72
Contohnya adalah penjelasan Rasul terhadap al-khayth
al-abyadh dan al-khayth al-aswad dalam Q.S. al-Baqarah [2]:178
beragam kemampuannya; ada yang memiliki
yang dipahami secara ambigu oleh sebagain sahabat dengan pemahaman yang sangat mendalam, ada juga
memaknainya sebagai tali putih dan hitam. Maka Rasul me­ yang tidak; ada yang memiliki kesempatan cukup
ngatakan: “Ia adalah putih (terang)-nya siang dan hitam
(kelam)-nya malam.” (HR. al-Bukhari). Lihat Muhammad ibn luas untuk mengakses informasi dari Rasul Saw,
Isma‘il al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, (Bayrut: Dâr ibn Katsir,
2002), Juz 6, h. 31. 77
Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., h. 95;
73
Bagi kelompok yang menyetujui adanya naskh (peng­ Lihat pula Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm..., Juz 1, h. 13
hapusan) Alqura dengan sunah maka mereka mem­ berikan 78
Mengenai hal ini dapat dilihat misalnya dalam hadis
contoh antara lain, ayat yang membolehkan wasiat bagi riwayat al-Tirmidzi yang berisi tentang dialog Nabi Saw dengan
orangtua dan kerabat ahli waris sebagaimana dalam Q.S. al- Mu‘adz ibn Jabal sebelum ia diutus ke Yaman sebagai hakim.
Baqarah [2]: 180 dinaskh dengan hadis; “Tidak ada wasiat bagi Lihat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzî..., Juz 3, h. 137.
ahli waris”. Lihat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmizhî..., Juz 2, h. 193. 79
Ada beberapa hal yang menjadikan dua era khilafah
74
Misalnya adalah hadis Nabi Saw yang sejalan dengan rashidah (Abu Bakar dan Umar) ini masih sangat minim
AlQuran seperti hadis; “Tidak halal harta seseorang kecuali perbedaan dalam penafsiran, antara lain: 1) dua era tersebut
yang diperoleh dengan cara yang baik” (HR. al-Dayla‘î). Hadis masih dekat masanya dengan masa Rasul Saw; 2) pada dua
ini menguatkan firman Allah dalam Q.S. al-Nisâ’ [4]:29 yang era itu para sahabat masih berpegang teguh dengan prinsip
melarang memakan harta dengan cara yang batil. Lihat Fâyed, musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan, sehingga
al-Dakhîl fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 46. perbedaan dapat diminimalisir; 3) para sahabat di dua era ini
75
Beberapa hal yang belum dijelaskan status hukumnya masih terkonsenterasi pada satu wilayah yakni Madinah dan
oleh Al-Qur’an kemudian dijelaskan oleh Rasul melalui sunnah­ sekitarnya, sehingga memudahkan proses pengawasan dan
nya. Contohnya adalah keharaman memakan binatang buas controlling; 4) dua era ini masih relatif aman dan belum terjadi
yang bertaring, burung yang berkuku tajam dan keledai pertempuran berdarah seperti halnya era-era setelahnya. Lihat
rumahan serta keharaman menikahi bibi/tante, baik dari jalur lebih dalam pada Muhammad ‘Ali al-Sâyis, Nasy’ah al-Fiqh al-
ibu maupun ayah. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Ijtihâdî wa Athwâruh, (Kairo: Majma‘ al-Buhûts al-Islâmiyah,
Dâr al-Manâr, 1998), Juz 3, h. 59. 1970), h. 74.
76
Fâyed, al-Dakhîl fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 44. 80
al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 2, h. 187.

| 138
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

ada pula yang tidak; ada yang sibuk berpolitik, ayat fikih (âyât al-ahkâm) dan muamalat. Dalam
bekerja dan ada yang menggeluti dunia akademik; konteks ini, riwayat yang dapat dijadikan sumber
ada yang mampu menghafal seluruh isi Alquran, data otentik penafsiran hanya yang disepakati
ada pula yang tidak.81 (mujma‘ ‘alaih) saja, sementara riwayat yang
Keragaman kondisi sahabat ini berkonsekuensi mukhtalaf fîh83 (terjadi perbedaan) tidak dapat
logis pada keragaman kemampuan mereka dalam digunakan sebagai sumber data otentik penafsiran
menafsirkan Alquran. Karena itu, tidak heran Alquran.84
bila diantara sekian banyak sahabat yang kerap Ketiga, riwayat tentang cerita-cerita isra’iliyat.
menjadi rujukan dalam bidang tafsir hanya ada Riwayat isra’iliyat yang dilansir dari sahabat
tiga orang yaitu: ‘Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/661 harus dikroscek tingkat kesahihannya. Jika mata
M), ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w.68 H/687 M) dan rantai sanadnya benar-benar tersambung dan
‘Abdullah ibn Mas’ud (w.32 H/653 M). terpercaya, maka boleh jadi riwayat tersebut
Kemudian terkait dengan kualitas riwayat benar. Jika riwayat itu benar, tentu jumlahnya
(pendapat) sahabat dalam bidang tafsir, dapat sangatlah sedikit. Sebab sahabat sangat berhati-
diklasifikasikan menjadi tiga hal. hati dalam melansir isra’iliyat tersebut. Mayoritas
isra’iliyat yang dilansir dari sahabat adalah riwayat
Pertama, riwayat tentang hal-hal yang tidak
yang tidak valid karena tidak bersumber langsung
dapat diintervensi akal (mâ lâ majâla li al-ra’y
dari sahabat, ia hanya riwayat buatan yang
fîh), seperti riwayat mengenai asbâb al-nuzûl,
kemudian dinisbatkan oleh perawinya kepada
nâsikh mansûkh dan muhkâm mutasyâbih. Riwayat
sahabat. Karena itu, tidak berlebihan bila Abu
sahabat dalam konteks ini dapat dibagi menjadi
Zahrah (1898-1974 M) misalnya, menilai bahwa
dua jenis; shahîh dan da‘îf sanadnya. Jika sanadnya
mayortias riwayat isra’iliyat yang dilansir dari
shahih maka riwayat tersebut dapat digunakan
sahabat berstatus maudhû‘ah (palsu). Dikatakan
sebagai data penafsiran, sebab ia dihukumi
demikian sebab banyak data yang membuktikan
sebagai hadis marfû‘ (sampai kepada Nabi Saw).
kehati-hatian sahabat dalam melansir isra’iliyat,85
Tapi jika sanadnya lemah, maka tidak dapat
mereka sudah merasa cukup dengan keterangan
dijadikan data penafsiran, kecuali bila didukung
yang didapat dari Alquran dan sunah Nabi Saw.86
oleh salah satu diantara dua hal yaitu; ada riwayat
dari sahabat lain yang mendukungnya, dan/atau Penafsiran sahabat itu kemudian dikembang­
riwayat tersebut berasal dari sahabat senior yang kan oleh generasi tabiin. Berbeda dengan para
dikenal kredibilitasnya.82 sahabat yang secara umum bermukim di Madinah,
Kedua, riwayat mengenai hal-hal yang dapat
83
Menurut al-Suyuthî, perbedaan riwayat sahabat me­
diintervensi akal (mâ kâna li al-ra’y fîhi majâl). ngenai tafsiran ayat-ayat hukum ini sedapat mungkin di­
Kebanyakan yang termasuk dalam kategori kompromikan (al-jam‘), namun bila tidak memungkinkan maka
kedua ini adalah riwayat tentang persoalan ayat- dapat dilakukan pentarjihan (menetapkan pendapat yang
kuat diantara beberapa pendapat yang ada) dengan melihat
misalnya sisi kualitas, senioritas dan kredibilitasnya. Lihat al-
81
Bahkan dalam konteks ini, al-Qurthubi (w.671 H) me­ Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 2, h. 103.
lansir beberapa riwayat dalam kitab tafsirnya. Salah satunya 84
Termasuk dalam konteks ini, Abu Zahrah (1898-1974 M)
adalah riwayat dari al-Anbârî (304 H) dari Ibn Mas‘ud (w.32 memasukkan pendapat satu sahabat mengenai hukum halal
H) bahwa dia berkata: “Sesungguhnya sulit bagi kami untuk haram yang tidak mendapatkan dukungan atau sanggahan
menghafal Al-Qur’an, tapi mudah untuk mengamalkannya. dari sahabat lain sebagai sumber otentik penafsiran.
Sebaliknya, bagi generasi setelah kami, mereka akan mudah Lihat Muhammad Ahmad Mushthafa Ahmad Abu Zahrah
menghafal Al-Qur’an tapi sulit untuk mengamalkannya”. (selanjutnya ditulis Abu Zahrah), al-Mu‘jizah al-Kubrâ: al-Qur’ân,
Riwayat kedua dilansir dari Ibn ‘Umar (w.73 H), dia berkata: (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1970), h. 591.
“Orang yang mulia di antara kami, generasi sahabat Nabi Saw, 85
Antara lain adalah riwayat dari Ibn ‘Abbas yang mem­
tidak menghafal Al-Qur’an kecuali satu atau beberapa surat peringatkan para sahabat agar tidak kerap melansir riwayat
saja namun kami diberi kemampuan untuk mengamalkannya. isra’iliyat dari Ahl Kitab seraya berkata: “Wahai kaum muslimin,
Dan generasi akhir dari umat Muhammad nanti akan mudah bagaiaman bisa kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang
membaca dan menghafal Al-Qur’an, bahkan anak-anak dan suatu perkara, sementara kitab kalian yang diturunkan kepada
orang yang buta sekalipun, sementara mereka tidak mampu Nabi Saw adalah berita terbaru yang barusan saja kalian baca.
untuk mengamalkannya.” Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâm Sungguh Allah telah menceritakan kepada kalian bahwa Ahli
al-Qur’ân..., Juz 1, h. 40. Kitab telah merubah ketetapan Allah dan mengganti kitab
82
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqallânî (selanjutnya ditulis mereka dengan tangan mereka sediri…” Lihat al-Bukhari, Sahih
ibn Hajar al-‘Asqallânî), Hadyu al-Sârî Muqaddimah Fath al-Bârî al-Bukhari..., Juz 3, h. 237.
bi Sharh al-Bukhârî, (Kairo: Maktabah al-Salafîyah, t.th.), h. 16. 86
Abu Zahrah, al-Mu‘jizah al-Kubrâ..., h. 592.

139 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

terutama pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar ibn bahwa setidaknya ada empat karakteristik tafsir
al-Khattab, pada masa generasi sahabat kecil tabiin. Pertama, variasi tafsir tabiin jauh lebih
dan tabiin, tokoh-tokoh Islam sudah tersebar banyak bila dibandingkan dengan tafsir sahabat.
luas di berbagai kota. Di setiap kota terkemuka Kedua, tafsir tabiin sudah mulai banyak terinfiltrasi
seperti di Madinah, Mekah, Irak terdapat sejumlah oleh riwayat palsu dan isra’iliyat. Ketiga, terdapat
mufasir ternama. benih-benih tafsir sektarian, baik dalam bidang
Beberapa nama mufasir yang bermukim di hukum (fikih) maupun teologi. Ini merupakan
Mekah yang umumnya berguru dan belajar kepada konsekuensi logis dari lahir dan berkembangnya
‘Abdullah ibn ‘Abbas, antara lain, Mujahid ibn Jabr sekte dan tradisi berijtihad kala itu. Keempat,
(21-103 H/641-721 M), Sa‘id ibn Jubayr (w.94 H/712 kendati demikian, tafsir tabiin tetap menjaga
M), ‘Ikrimah maula ibn ‘Abbas (w.106 H/724 M), tradisi periwayatan dan transmisi secara oral
dan ‘Athâ’ ibn Abi Rabah al-Makkî (w.114 H/723 sebagaimana yang terjadi pada tafsir sahabat.90
M).87 Sementara yang bermukim di Madinah, yang Berdasarkan data dan fakta di atas, para
berguru kepada Ubay ibn Ka‘b, misalnya, Zayd ulama 91 berbeda pendapat mengenai boleh
ibn Aslam (w.136 H), Abu al-‘Âliyah (w.90 H) dan tidaknya merujuk kepada tafsir tabiin. Satu pihak
Muhammad ibn Ka‘ab (w. 118 H). Dan beberapa ahli menolak penafsiran tabiin karena setidaknya dua
tasfir yang bermukim di Kufah, yang kebanyakan alasan; pertama, secara kronologis mereka tidak
merupakan murid dari Ibn Mas’ud, antara lain, mendengar langsung dari Nabi Saw atas apa yang
al-Nakha‘î (w.95 H/713 M), ‘Alqamah ibn Qays mereka tafsirkan. Kedua, tabiin tidak menyaksikan
(w.102 H/720 M), dan al-Sya‘bî (w.105 H/723 M).88 langsung proses penurunan Alquran.92
Sumber-sumber penafsiran tabiin adalah Sementara pihak lain menerima tafsiran tabiin
Alquran, sunah, pendapat sahabat, riwayat Ahli dengan alasan bahwa mayoritas tafsir tabiin
Kitab (isra’iliyat) dan ijtihad. Mengomentari berkaitan dan bersumber dari hasil penafsiran
sumber penafsiran ini, Najmuddin al-Thufi (w.716 sahabat. Pendapat ini merujuk pada perkataan
H/1216 M) mengatakan bahwa keberagaman Mujahid ibn Jabr (21-103 H) dan Qatadah ibn
sumber penafsiran tabiin disebabkan, antara lain; Di‘âmah (61-118 H) –sebagaimana dilansir al-
tabiin mendapatkan sumber tafsir dari sahabat Suyuthi- yang menyatakan bahwa tidak ada
yang mereka temui saja tanpa berusaha untuk satu ayatpun dari Alquran, kecuali tafsirannya
melengkapi atau mengkonfrontirnya kepada telah didengar dari sahabat. Akan tetapi, apabila
sahabat lain. Kemudian mereka berijtihad penafsiran itu cenderung menggunakan rasio, ia
sendiri untuk melengkapi penafsiran itu dengan tidak wajib dijadikan sebagai data penafsiran.93
mengambil data dari bahasa Arab, sunah Nabi, Terlepas dari dua pendapat di atas, tafsir
Alquran dan sumber lain yang dianggap cocok tabiin yang disepakati dan yang terkait dengan
seperti sejarah umat terdahulu dan riwayat hal-hal yang tidak dapat diintervensi akal94 tentu
isra’iliyat, sehingga berkembanglah beragam
bentuk penafsiran dan menyebarlah berbagai 90
Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm..., Juz 1, h. 69-71.
model tafsir infiltratif (al-dakhîl).89 91
Salah satunya adalah Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-
Berdasarkan fakta tersebut, dapat dicatat 855 M), dia mengatakan bahwa pendapat (tafsiran) tabiin itu
ada yang boleh dijadikan sumber data penafsiran, ada juga yang
tidak diperbolehkan. Lihat al-Suyûthî, al-Itqân.., Juz 2, h. 179.
92
Ibnu Taymiyah menyatakan bahwa pernyataan (tafsir)
87
Tentang mereka itu, Sufyân al-Tsaurî (97-161 H) berkata: tabiin tidak boleh dijadikan hujjah (data penafsiran) bagi
“Silahkan kalian ambil tafsir dari empat orang, yakni Sa‘îd ibn umat sesudahnya. Sementara hasil ijma’ mereka atas sesuatu
Jubayr, Mujahid, ‘Ikrimah, dan al-Dhahhâk”. Lihat Ibn Taymiyah, dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi apabila terjadi perbedaan
Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., h. 61. Lihat juga Tim Penyusun, pendapat, pendapat yang satu tidak dapat dijadikan hujjah atas
Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen lainnya juga tidak dijadikan hujjah oleh umat sesudahnya. Sikap
Agama RI, 2008), h. 49. terbaik adalah mengembalikan segala permasalahan AlQuran
88
Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., h. 61. dan Sunah kepada keumuman bahasa Arab, atau perkataan
Lalu bandingkan dengan Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’an al- para sahabat. Lihat Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-
Karîm..., Juz 1, h. 68-69. Tafsîr..., h. 105.
89
Sulayman ibn ‘Abd al-Qawi ibn al-Karîm al-Thûfî al- 93
Lihat al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 2, h. 179.
Baghdâdî -biasa dikenal Najmuddin al-Thûfî-, al-Iksîr fî ‘Ilm 94
Mengenai penafsiran tabi’i yang terkait dengan hal-hal
al-Tafsîr, di-tahqiq ‘Abd al-Qâdir Husayn, (Kairo: Maktabah al- di luar wilayah ijtihad, al-Dzahabî menilai bahwa jika sumbernya
Âdâb, 1977), h. 36. berasal dari tabi‘i yang terkenal mengambil riwayat dari ahli

| 140
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

boleh dan bahkan harus dijadikan sumber data Urgensi merujuk kepada bahasa Arab dalam
penafsiran. Sementara tafsir yang diperselisihkan penafsiran Alquran dipertegas oleh Nabi Saw
dan yang terkait wilayah ijtihad tentu saja tidak melalui salah satu sabdanya: “A‘ribû al-Qur’ân
scara spontan dapat dijadikan data penafsiran. wa-l-tamisû gharâ’ibah” (tafsirilah Alquran dengan
Dalam konteks kedua inilah Abu Hanifah (80-150 merujuk kepada kaidah dan aturan main bahasa
H) pernah mengatakan, hum rijâl wa nahnu rijâl95 Arab dan carilah penjelasan tentang kata-kata
(mereka [tabiin] adalah generasi [yang dapat yang gharîb (aneh/asing/sukar)).97 Mengomentari
berijtihad] dan kami juga generasi [yang mampu riwayat ini, Ibn ‘Athiyah (481-541 H) mengatakan,
berijtihad]). meng-i‘rab Alquran (menafsirkannya dengan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kaidah dan aturan main bahasa Arab) adalah asal
tafsir tabiin tidak dapat dijadikan rujukan, kecuali usul syariat Islam, sebab hanya melalui itu makna-
dengan dua syarat, yakni: pertama, riwayat makna lafazh Alquran—yang darinya syariat
mereka tidak terkait masalah ijtihadi. Kedua, dibangun—dapat dipahami dan dimengerti.98
tabiin yang bersangkutan tidak dikenal sebagai Ibn ‘Abbas (w. 68 H) juga kerap merujuk
tukang pelansir riwayat dari ahli kitab. Bila kedua kepada bahasa Arab, khususnya sya’ir dan
syarat ini terpenuhi, maka tafsiran mereka dapat prosa-prosanya. Dalam konteks ini, dia pernah
diterima, jika sebaliknya, maka pendapat mereka mengatakan; “Jika kalian bertanya kepadaku
tidak dapat dijadikan sumber data penafsiran. tentang makna kata-kata yang gharîb (asing/
aneh/sukar) dalam Alquran, maka carilah di dalam
4. Bahasa Arab syai‘r, sebab sya‘ir adalah dîwân (perpustakaan)-
nya orang Arab.”99 Statemen Ibn ‘Abbas ini me­
Sumber otentik penafsiran selanjutnya
negaskan betapa sya‘ir (bahasa Arab) adalah
adalah bahasa Arab. Bahasa Arab dijadikan salah
sumber primer tafsir Alquran.
satu sumber otentik penafsiran, sebab Alquran
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab Saking pentingnya bahasa Arab sebagai salah
(Q.S. Yûsuf [12]: 2; Q.S. An-Nahl [16]:103; Q.S. al- satu sumber penafsiran, Mujahid ibn Jabr (21-104
Dukhân [44]: 58; Q.S. as-Syu‘arâ’ [26]: 192-195). H) sampai melarang orang yang beriman kepada
Dengan demikian, merujuk kepada bahasa Arab hari akhir menafsirkan Alquran tanpa menguasai
dalam penafsiran Alquran adalah keniscayaan bahasa Arab.100 Bahkan Imam Malik ibn Anas (93-
yang tak terbantahkan. 179 H) juga pernah berjanji untuk menghukum
siapapun yang berani menafsirkan Alquran tanpa
Yang dimaksud merujuk kepada bahasa Arab
adalah merujuk kepada sya’ir, puisi, prosa, surat
menyurat dan dialek Arab. Selian itu, penafsir 97
Diriwayatkan Ibn Abi Syaibah, Abu Ya‘la al-Mawshilî dan
juga harus merujuk kepada kaidah dan rahasia- al-Baihaqî dari Abu Hurairah. Dikatakan bahwa hadis ini lemah.
rahasia bahasa Arab. Yang dimaksud kaidah dan Lihat Abu al-Fadhl Zaynuddin ‘Abdurrahman ibn al-Husayn al-
‘Irâqî (selanjutnya ditulis al-Hafizh al-‘Irâqî), al-Mughnî ‘an Haml
rahasia bahasa Arab adalah makna kosa kata, al-Asfâr fî al-Asfâr fi Takhrîj Mâ fî al-Ihyâ’ min al-Akhbâr, (Bayrût:
diksi, penjelasan kalimat, gaya bahasa yang Dâr Ibn Hazm, 2005), Juz 1, h. 378.
meliputi; keindahan (badî‘), ketepatan (ma‘ânî),
98
‘Abd al-Wahhab Fâyed, Manhaj Ibn ‘Athiyah fî Tafsîr al-
Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Majma‘ al-Buhûts al-Islâmiyah, 1973),
kejelasan (bayân) dan semantik (dalâlah) serta h. 148.
berbagai aturan main lainnya yang ditetapkan 99
Salah satu bukti kepiawaian Ibn ‘Abbas dalam me­
para ahli gramatikal dan sastra Arab.96 nafsirkan Al-Qur’an dengan rujukan sya‘ir-sya‘ir Arab adalah
peristiwa musâ’alah (pertanyaan) Nâfi‘ ibn al-Azraq (w. 65 H)
kepada Ibn ‘Abbas tentang berbagai persoalan. Cerita ini dapat
kitab, maka penafsirannya tidak dapat dijadikan sumber data. dilihat pada al-Suyûthî, al-Itqân fi. ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 1, h. 119.
Lihat al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn..., Juz 2, h. 128-129. Lihat juga Muhammad Ahmad al-Dâlî, Masâ’il Nâfi‘ ibn al-Azraq
95
Redaksi lengkap statemen Abu Hanifah itu –sebagai­ ‘an ‘Abdillah ibn ‘Abbâs, (Damaskus: al-Jaffân wa al-Jâbî li al-
mana dikutip Abu Zahrah- adalah “Idzâ Âla al-Amr Ilâ al- Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1993).
Hasan wa Ibrâhîm, fa-Hum Rijâl wa Nahnu Rijâl” (jika perkara 100
Mujahid berkata: “Orang yang beriman kepada hari
[pendapat] ini berasal dari Hasan al-Bashri (w.110 H) dan akhir, tidak boleh berbicara (tentang tafsiran) Kitab Allah (Al-
Ibrahim ibn Adham (w.162 H), maka mereka lelaki kami juga Qur’an) jika ia tidak pandai bahasa Arab”. Sementara Imam
lelaki). Maksudnya, mereka dapat berijtihad, kami juga mampu Malik berkata: “Sungguh jika didatangkan kepadaku seorang
berijtihad. Lihat Abu Zahrah, al-Mu‘jizah al-Kubra..., h. 593-594. penafsir Kitabullah yang tidak mengerti bahasa Arab, niscaya
96
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz aku akan menghukumnya.” Lihat al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm
1, h. 74-75. al-Qur’ân..., Juz 1, h. 292.

141 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

merujuk dan menguasai bahasa Arab.101 mengenai hukum penafsiran Alquran bi al-ra’y.
Dari penjelasan di atas terlihat betapa Menanggapi hal ini, para ulama secara umum
Nabi, sahabat, tabiin dan generasi setelahnya dapat dikelompokkan menjadi dua. Sebagian
tidak dapat mengabaikan bahasa Arab dalam menerima dan menyetujui panafsiran bi al-ra’y/
menafsirkan Alquran. Tak berlebihan bila al- bi al-ijtihâd,104 sementara yang lain melarang dan
Suyuthi mengatakan, penguasaan bahasa Arab bahkan mengharamkannya.105
bagi yang ingin menafsiri Alquran adalah salah
satu kebutuhan primer (dharûrîyah).102 Dengan
104
Diantara argumentasi yang digunakan kelompok ini
adalah: (1) Terdapat beragam ayat yang menegaskan penting­
demikian, jelaslah posisi dan urgensi bahasa nya bertadabbur dan bertadzakkur seperti Q.S. al-Baqarah
Arab—dengan segala macam karakteristik, kaidah [2]:221, Q.S. al-Dukhân [44]: 58, Q.S. Shâd [38]:29, Q.S.
dan aturan mainnya- sebagai salah satu sumber Muhammad [47]:24. Bertadabbur dan bertafakkur tentu tidak
dapat dilakukan secara maksimal tanpa pemahaman yang baik
primer dan otentik penafsiran Alquran. terhadap Alquran. Dan pemahaman terhadap isi Alquran mem­
butuhkan penalaran dan ijtihad yang berkesinambungan; (2)
Ditemukan data-data penafsiran yang beragam dari generasi
5. Ijtihad (Akal) sahabat dan tabiin. Keberagaman penafsiran itu di satu sisi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa menunjukkan bahwa Rasul Saw tidak menafsirkan seluruh isi
Alquran, dan di sisi lain disebabkan karena para sahabat dan
Nabi Saw tidak menafsirkan semua isi Alquran. tabiin menggunakan ijtihad masing-masing dalam menafsirkan
Dan riwayat yang sahih mengenai penafsiran Alquran. (3) Ibn ‘Abbas dido’akan langsung oleh Rasul Saw;
Alquran juga jumlahnya sangat sedikit. Karena Allahumma Faqqih-hu fi al-Dîn wa ‘Allim-hu al-Ta’wîl. Makna takwil
di sini tentu tidak terbatas pada pentakwilan yang diajarkan Rasul
itu, penggunaan akal/rasio dalam dunia penafsiran saja, tapi bersifat umum, termasuk pentakwilan yang dilakukan
(tafsîr bi al-ra’y) adalah keniscayaan yang tak Ibn ‘Abbas. Jika yang dimaksud takwil pada hadis ini terbatas
terelakkan. Bahkan, sejak masa-masa awal Islam pada pentakwilan Rasul semata, maka do’a beliau kepada Ibn
‘Abbas tidak ada manfaatnya. Dengan demikian, takwil tersebut
pun tradisi seperti ini sudah mulai tumbuh. Hanya bersifat umum dan tentu saja berdasarkan rasio/akal yang
saja harus diakui bahwa tradisi penafsiran bi al- baik dan sehat. (4) Ada beberapa riwayat yang menegaskan
pentingnya berijtihad, antara lain; diriwayatkan dari ‘Ali ibn
ra’y di era-era awal Islam masih berkutat seputar
Abi Thalib bahwa dia ditanya: “Apakah engkau pernah diberi
tafsir bi al-Ma’tsûr; mulai dari penegasan (ta’kîd), pesan khusus oleh Rasul Saw?” ‘Ali menjawab: “Kami tidak
penguatan (tarjîh), pelemahan (tadh‘îf) terhadap diberi pesan khusus kecuali apa yang tertuang dalam shahîfah
(Alquran) ini. Atau pemahaman yang diberikan Allah kepada
suatu riwayat, hingga penjelasan (syarh), istinbâth
seseorang mengenai isi Kitab-Nya.” Ketika Ibn Mas‘ud ditanya
dan istisyhâd dengan sya’ir.103 mengenai hukum waris bagi wanita yang dinikahi, lalu suaminya
mati sebelum sempat memberi mahar dan berbulan madu, Ibn
Kemudian tradisi penggunaan al-ra’y (rasio)
Mas‘ud pun berkata: “Menurut pendapatku, dia harus mendapat
dalam dunia penafsiran ini terus berkembang di mahar mitsil, maka tidak boleh ada dendam dan permusuhan.
masa-masa berikutnya, sehingga sampai pada Seandainya pendapatku ini benar, maka itu dari Allah, jika salah
maka itu dari saya dan setan, Allah dan Rasul-Nya bebas dari
titik dimana tafsir bi al-ra’y tidak lagi berkelindan kesalahan pendapat ini.” Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân
dengan tafsir bi al-ma’tsûr, tapi sudah mulai al-Karîm..., Juz 1, h. 83-85. Lihat pula Muhammad ‘Ali al-Sâyis,
masuk kepada penggunaan rasio secara liar dan Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdî wa Athwâruh..., h. 40; dan Shihabuddin
al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî..., Juz 1, h. 6.
subjektif. Penafsiran seperti ini terjadi sangat 105
Diantara argumentasi kelompok ini adalah: (1) Firman
kentara terutama sejak munculnya berbagai Allah dalam Q.S. al-Naml [27]:44 “Wa Anzalnâ Ilayka al-Dzikra
sekte seperti Syi‘ah, Khawarij, Muktazilah, li Tubayyina li al-Nâs Mâ Nuzzila Ilayhim”. Pada ayat ini Allah
menyandarkan kata al-bayân (penjelasan) Alquran hanya
Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan semacanya. kepada Rasul Saw. Dengan demikian, tidak diperkenankan bagi
Dengan mengatasnamakan Islam, tiap-tiap sekte selain Rasul Saw untuk menjelaskan/menafsirkan Alquran. (2)
kemudian menafsirkan Alquran secara rasional Ada dua hadis yang mengatakan penafsiran Alquran dengan
rasio itu berbahaya dan berpotensi salah. Pertama, “wa man
untuk menjustifikasi teologi dan ajaran sekte qâla fi al-Qur’ân bi ra’yih fal-yatabawwa’ maq‘adahu min al-
masing-masing. nâr” (barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an dengan akal/
pendapatnya, maka sejatinya dia sedang menyiapkan tempat
Tak pelak, kondisi tersebut menimbulkan duduk dari api neraka). Kedua, “man qâla fi al-Qur’ân bi ra’yih fa
beragam reaksi dari para pengkaji tafsir, khususnya ashâba fa qad akhtha’a” (barangsiapan berkata tentang Alquran
dengan akalnya, kemudian hasilnya benar, maka sejatinya
itu salah). (3) Ada beberapa riwayat dari sahabat dan tabiin
101
Lihat al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 1, yang menunjukkan larangan menafsirkan Alquran dengan
h. 292. rasio. Antara lain adalah riwayat dari Abu Bakar, dia pernah
102
Lihat al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 1, h. 114. berkata: “Bumi mana yang dapat dijadikan pijakan, langit
103
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz mana yang mau memberi naungan, bila aku berkata tentang
1, h. 80. Alquran mengenai sesuatu yang tidak aku ketahui.” Riwayat

| 142
Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

Dua pendapat ini sejatinya dapat di­ nilai-nilai luhur Alquran diharapkan dapat dipahami,
kompromikan pada satu titik, yakni; keduanya dibumikan dan diimplementasikan dengan baik
sama-sama membolehkan penafsiran bi al-ra’y oleh umat, sehingga tercapai kemaslahatan hidup
bila penafsirannya sesuai dengan ajaran agama di dunia dan akhirat.
dan bahasa Arab, dan keduanya akan melarang
jenis tafsir ini bila hasil penafsirannya berlawanan Pustaka Acuan
dengan agama dan bahasa Arab. Abou el-Fadl, Khaled, Speaking in God’s Name:
Dengan demikian, dapat ditarik benang Islamic Law, Authority and Women, England:
merah bahwa tafsir bi al-ra’y itu dapat diklasifikasi Oneworld, 2003.
menjadi dua macam; pertama tafsir yang sesuai Abu Shahbah, Muhammad, A’lâm al-Muhadditsîn,
dengan dalil syar‘i dan kaidah bahasa Arab. Tafsir Kairo: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1962.
semacam ini tentu dapat diterima dan dianjurkan Abu Zahrah, al-Mu‘jizah al-Kubrâ: al-Qur’ân, Kairo:
untuk dikembangkan. Kedua tafsir yang tidak Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1970.
sesuai dengan dalil syar‘i dan kaidah bahasa Abu Zahw, Muhammad, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn,
Arab. Yang semacam ini tentu tidak dianjurkan Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
dan tertolak. Dalam konteks ini, ilmu-ilmu terkait Alûsî, Syihabuddin, al-, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-
Alquran, baik yang intrinsik maupun ekstrinsik, Qur’ân al-’Azhîm wa al-Sab‘ al-Matsânî, Kairo:
menjadi prasyarat yang harus dimiliki bagi penafsir Dar al-Manar, 2000.
bi al-ra’y. Tanpa penguasaan terhadap ilmu-ilmu Antonio, Muhammad Syafii. Muhammad Saw: The
tersebut, tentu hasil penafsirannya akan sulit Super Manager, The Super Leader, Jakarta:
diterima, alih-alih dijadikan dasar atau sumber Tazkia Publishing, 2007.
rujukan bagi orang lain. Ashfihânî, al-Râghib, al-, al-Mufradât fî Gharîb al-
Qur’ân, Libanon: Dâr al-Ma‘rifah, t.th.
Penutup Asqallânî, Ibn Hajar, al-, Hadyu al-Sârî Muqaddimah
Fath al-Bârî bi Sharh al-Bukhârî, Kairo: Maktabah
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
al-Salafîyah, t.th.
sumber otentik tafsir Alquran—yang merupakan
Bukhari, Muhammad ibn Isma‘il, al-, Shahîh al-
parameter kritik ad-dakhîl—adalah Alquran, sunah,
Bukhârî, Bayrut: Dâr ibn Katsir, 2002.
pendapat sahabat dan tabiin yang valid, bahasa
Dâlî, Muhammad Ahmad, al-, Masâ’il Nâfi‘ ibn al-
arab, dan hasil ijtihad yang berdasarkan data-
Azraq ‘an ‘Abdillah ibn ‘Abbâs, Damaskus: al-
data objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jaffân wa al-Jâbî li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1993.
Penafsiran-penafsiran yang tidak bersumber dari
Dzahabi, Muhammad Husain, al-, al-Ittijâhât
keempat hal tersebut dapat dikategorikan ad-
al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karâm:
dakhîl (infiltratif), sehingga ia layak untuk dikritisi,
Dawâfi’uhâ wa Daf’uhâ, Kairo: Maktabah
direview dan direvisi.
Wahbah, 2000.
Kritisisme terhadap ad-dakhîl penting dilakukan
_____, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr al-
agar kitab-kitab tafsir—yang merupa­kan karya
Kutub wa al-Hadîts, 1976.
turunan dari Alquran—dapat dipasti­kan steril dan
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris
bersih dari segala bentuk penyelewengan data dan
Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1975.
informasi. Pada akhir­nya, pesan-pesan agung dan
Fâyed, ‘Abd al-Wahhab, Manhaj Ibn ‘Athiyah fî Tafsîr
al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Majma‘ al-Buhûts
lain mengenai kehati-hatian Sa‘id ibn al-Musayyab, dilansir al-Islâmiyah, 1973.
dari Yazid ibn Abu Yazid, “Kami bertanya kepada Sa‘id ibn al-
Musayyab tentang masalah hukum halal dan haram, dia adalah
_____, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Kairo:
orang yang paling pandai, tapi ketika kami bertanya tentang Matba’ah al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1978.
tafsir Alquran, dia diam dan tak menghiraukan pertanyaan Fayrûz Âbâdî, Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb
kami.” (4) kelompok ini mengatakan bahwa tafsir dengan
rasio/ijtihad itu termasuk perkataan berdasarkan asumsi ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Umar al-
(zhann), dan pernyataan berdasarkan zhann sama dengan Shayrâzî, al-, al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs
menyatakan sesuatu tentang Allah tanpa landasan ilmu, dan al-Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm
berkata mengenai Allah tanpa landasan ilmu hukumnya haram.
Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 81- al-‘Arab Shamâmîth, Bayrut: Mu’assasah al-
83; al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzî..., Juz 2, h. 157. Risalah, 1407 H.

143 |
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

Fayyûmî, Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ali, al-, al- Indonesia, 1987.
Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Sharh al-Kabîr Musthafa, Ibrahim. et.all., al-Mu‘jam al-Wasîth,
Kairo: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 2000. Istanbul: Dâr al-Da‘wah, 1990.
Ghazâlî, Abu Hamid, al-, Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, Kairo: Najjâr, Jamâl Mushthafâ ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-
Musthafa al-Bab al-Halibî, t.th. Wahhâb, al-, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi al-
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari Tanzîl, Kairo: Universitas Al-Azhar, 2009.
Hermeneutika Hingga Idiologi, Jakarta: Teraju, Qaththân, Mannâ‘ Khalîl, al-, Mabâhits fî ‘Ulûm
2003. al-Qur’ân, Bayrût: Mu’assasah al-Risâlah, 1983.
Hanafi, Hasan, Islam in the Modern World: Religion, Qurthubi, Muhammad ibn Ahmad al-Anshari, al-,
Ideology and Development, Kairo: Anglo- al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân wa al-Mubayyin li
Egyptian Bookshop, 1995. Mâ Tadhammana min al-Sunnah wa Ahkâm al-
Husayn, Muhammad al-Khadhir. al-Qadyânîyah, Furqân, Kairo: Dâr al-Kutub al-Mashriyah, 1964.
Kairo: al-Makatabah al-Salafîyah, 1932. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dâr al-Manâr,
Ibn ‘Athiyah, ‘Abd al-Haq ibn Ghâlib, al-Muharrar al- 1998.
Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, Rabat: Maktabah Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan:
al-Îmân, 1998. Metodologi Tafsir Alquran Menurut Hasan
_____, Muqaddimatân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002.
Maktabah al-Khanji, 1972. Sâyis, Muhammad ‘Ali, al-, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdî
Ibn al-Atsîr, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al- wa Athwâruh, Kairo: Majma‘ al-Buhûts al-
Atsar, Bayrut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1979. Islâmiyah, 1970.
Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, Kairo: Dâr Shâlih, Shubhi, al-, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
al-Turâts, 2000. Bayrût: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1977.
Ibn Manzhûr, Abu al-Fadhl Muhammad ibn Makram. Sulayman, Musthafâ Muhammad, al-Nâsikh fî
Lisân al-‘Arab, ditahqiq oleh ‘Abdullah ‘Ali al- Alquran al-Karîm, Kairo: Maktabah al-Amânah,
Kabîr, dkk., Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th. 1991.
Ibn Mujâhid. al-Sab‘ah fî al-Qirâ’ât, di-tahqîq oleh Suyuthî, Jalaluddin, al-, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
Shawqî Dhayf, Kairo: Dâr al-Kutub, 1999. Kairo: Dâr al-Manâr, 1999.
Ibn Qutaybah. Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, di-tahqiq _____, Tadrîb al-Râwî, Kairo: Dâr al-Manâr, 2000.
Ahmad Shaqr, Kairo: Maktabah al-Turats, t.th. Syaukânî, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad,
Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Bayrut: Dar Shâdir, al-, al-Fawâ’id al-Majmû‘ah fî al-Ahâdîts al-
t.th. Maudhû‘ah, Bayrut: Dâr Shâdir, t.th.
Irâqî, Abu al-Fadhl Zaynuddin ‘Abdurrahman ibn Thûfî, Najmuddin, al-, al-Iksîr fî ‘Ilm al-Tafsîr, di-
al-Husayn, al-, al-Mughnî ‘an Haml al-Asfâr fî tahqiq ‘Abd al-Qâdir Husayn, Kairo: Maktabah
al-Asfâr fi Takhrîj Mâ fî al-Ihyâ’ min al-Akhbâr, al-Âdâb, 1977.
Bayrût: Dâr Ibn Hazm, 2005. Tim Penulis, ‘Âlam al-Ghayb wa al-Shahâdah,
Ismâ’îl, M. Bakr, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Tehran: Markaz al-Nûn Jam‘îyah al-Ma‘ârif
Dâr al-Manâr, 1991. wa al-Tsaqâfah, 2012.
Jalâl, Muhammad Su’âd, al-Bayân wa al-Naskh fî Tim Penulis, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Ushûl al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Nahdhah, t.th. Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Jauzi, Ibn al-Qayyim, al-, Talbîs Iblîs, Iskandariyah: 2008.
Dâr ibn Khaldun, t.th. Umar, Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad,
Khalifah, Ibrahim, al-Dakhîl fî al-Tafsîr , Kairo: al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Kairo:
Universitas Al-Azhar, 1996. Universitas Al-Azhar, t.th.
Khuli, Amin, al-, al-Tafsîr: Ma‘âlim Hayâtih, Manhajuhu Yuslem, Nawir. Ulumul Qur’an, Bandung:
al-Yawm, Kairo: Dâr al-Ma’rifah, 1962. Citapustaka Media Perintis, 2011.
Mahmud, Basyiruddin, al-Tafsîr al-Shaghîr, edisi Zamakhsyari, Abu al-Qâsim Mahmud ibn ‘Umar
Indonesia, Alquran dengan Terjemahan dan ibn Muhammad, al-, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq
Tafsir Singkat, dengan Restu Hadrat Mirza al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl,
Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV, Edisi II, Kairo: Dâr al-Kutub, t.th.
Jakarta: Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah

| 144

Anda mungkin juga menyukai