Disusun Oleh:
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-quran merupakan mukjizat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad melalui perantara malakat jibril. Al-quran diturunkan ketikan nabi
Muhammad sedang berkholwat di gua hiro. Wahyu yang pertama kali diturkan yakni qs.
Al-alaq ayat 1-5 yang berisi tentang perintah untuh membaca. Dalam ulumul quran terdapat
ilmu yang bernama tafsir, tafsir merupakan penjelas atau keterangan mengenai suatu ayat
yang masih perlu dijabarkan untuk mendapat suatu pemahaman. Dapat dikatakan
bahwasannya tafsir merupakan produk dari manusia, suatu produk yang dihasilkan
manusia pasti tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu butuh suatu
pembaharuan dan perbaikan dari masa ke masa. Sebelum melakukan mentafsiran terhadap
suatu ayat, diaharuskan seorang mufasir memiliki kapasitas keilmuan yang memadai
supaya terhindar dari kesalahan dalam menafsirkan seperti, memasukan data-data yang
tidak valid kedalam penafsiran yang selanjutnya disebut al-dakhil (infiltrasi)1.
Penyelewengan yang terjadi dalam dunia penafsiran al-quran dapat ditemui pada beberapa
karya tafsir klasik dan modern.
B. Rumusan Masalah.
a. Apakah yang dimaksud dengan al-Dakhil dalam penafsiran?
b. Bagaimana konsep al-Ashil dalam tafsir?
c. Bagaimana contoh al-ashil dan al-dakhil dalam implementasi penafsiran?
C. Tujuan masalah
a. Mengetahui makna al-Dakhil dalam ilmu tafsir
b. Mengetahui konsep al-Ashil dalam ilmu tafsir
c. Mengetahui contoh implrmrntsdi ad-dakhil dan al-ashil.
1
Ulinnuha Muhammad. “KONSEP AL-ASHIL DAN AL-DAKHIL DALAM TAFSIR AL-QURAN”. MADANIA Vol. 21, No. 2,
Desember (2017). 127.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna al-Ashil dalam ilmu tafsir
a. Pengertian al-ashil
Ketika seorang mufasir menjelaskan mengenai makna dalam Al-quran atau
dengan kata lain menafsirkan Al-quran, mufasir sering terbawa oleh latar
belakang keilmuan dan ideologinya. Mufasir yang berkemampuan dalam
bidang bahasa cenderung menafsirkan Alquran secara lingustik, begitupula
dengan seorang ahli tasawuf cenderung menafsirkan al-quran secara intuitif dan
begitu seterusnya.2 Tafsir yang diwarnai secara kuat oleh latar belakang
keilmuan dan ideologi mufasirnya disinyalir tidak lagi objektif. Maka dari itu,
ulama membuat patokan dasar dan metodologi penafsiran secara ketat supaya
mufasir tidak terjebak pada kenyamanan pra-konsepsi dan ideologi yang
dimilikinya di satu sisi, dan supaya tafsir yang dihasilkan mencapai titik
objektifnya di sisi yang lain.
Objektifitas dalam penafsiran tidak bisa terpenuhi secara maksimal, pasti
akan terjadi noda subjektifitas walau hanya sebagian kecil. Maka benar
pernyataan Hasan Hanafi (l. 1935 M) bahwa setiap penafsiran, baik yang
menggunakan pendekatan rasional (bi al-‘aql) maupun riwayat (bi al-naql),
selalu berangkat dari kepentingan, tidak ada penafsiran yang sepenuhnya
objektif, absolut dan universal.3 Kendatipun demikian, subjektifitas penafsiran
bukan berarti tidak dapat diminimalisir dan dikendalikan. Abou el-Fadl (l. 1963
M) misalnya, menawarkan hermeneutika negosiasi untuk mengendalikan
subjektifitas dan kepentingan mufasir tersebut. Itu artinya, penafsiran dapat
didekatkan kepada titik objektifitasnya dengan menggunakan metode dan
pendekatan ilmiah.
Sementara itu Fayed (1936-1999 M) menawarkan pendekatan ashâlat al-
mashdar (otentisitas sumber) untuk mengetahui dan mengukur tingkat
2
Amin al-Khuli, al-Tafsîr: Ma‘âlim Hayâtih, Manhajuhu al-Yawm, (Kairo: Dâr al-Ma’rifah, 1962), h. 40-46.
3
Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology and Development, (Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop,
1995), Vol I, h. 184. Lihat juga Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut
Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 168.
objektifitas penafsiran. Secara singkat, pendekatan ini meniscayakan verifikasi
sumber data penafsiran; apakah sumbernya termasuk al-ashîlah (otentik)
ataukah al-dakhîlah (terkontaminasi/terinfiltrasi dimensi lain). Orisinalitas dan
otentisitas sumber penafsiran itu disebut dengan istilah al-ashîl. 4
Al-ashil ini kemudian dijadikan sebagai tolak ukur sejauhmana kualitas
sebuah tafsir. Jika sebuah penafsiran sejalan sama dengan konsep al-ashil maka
bisa dikatakan shahih dan objektif. Begitu juga sebaliknya, maka tafsir
dikategorikan sebagai al-dakhil yang subjektif hingga diperlukan penelitian,
evaluasi, dan rekontruksi.
Secara etimologi, al-ashîl berasal dari bahasa Arab al-ashl yang berarti asal,
valid, dasar, pokok dan sumber. Dalam kamus bahasa Inggris, al-ashil sepadan
dengan kata authentic yang berarti asli, orisinil, valid dan genuine. Dalam
bahasa Arab dikatakan, shay’un ashilun berarti sesuatu yang memiliki asal usul
kuat, rajulun ashilun adalah pemuda yang memiliki asal-usul/silsilah yang
jelas, dan memiliki akal yang kuat dan sehat.5 Fayruz Abadi (w.817 H) dalam
al-Qâmûs mengatakan bahwa al-ashl adalah dasar atau pondasi, al-ashil adalah
orang yang memiliki asal usul jelas.6 Dengan demikian, secara bahasa al-ashil
adalah segala sesuatu yang memiliki asal usul yang pasti, jelas, otentik, orisinil
dan valid.
Secara terminologi, ahli ilmu Alquran berbeda pendapat dalam
mendefinisikan term al-ashîl. Namun menurut ‘Abd al-Wahhâb Fâyed, secara
garis besar pendapat itu dapat dikerucutkan menjadi dua definisi: pertama,
tafsir yang memiliki asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas dari
agama. Kedua, tafsir yang ruh, dan nafasnya bersandarkan kepada Alquran,
sunah, pendapat para sahabat, dan tabiin.7 Sedangkan Jamâl Mustafâ al-Najjâr
4
Tim Penulis, ‘Âlam al-Ghayb wa al-Shahâdah (Tehran: Markaz al-Nûn Jam‘îyah al-Ma‘ârif wa al-Tsaqâfah, 2012),
h. 15. Lihat juga ‘Abdul Wahhab Fayed, al- Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 13.
5
Abu al-Fadhl Muhammad ibn Makram ibn Manzhûr (selanjutnya disebut Ibn Mazhûr), Lisân al-‘Arab, ditahqiq
oleh ‘Abdullah ‘Ali al-Kabîr, dkk., (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif), Juz 13, h. 16.
6
Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Umar al-Shayrâzî al-Fayrûz Âbâdî
(selanjutnya disebut Fayrûz Âbâdî), al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs al- Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm
al-‘Arab Shamâmîth, (Bayrut: Mu’assasah al-Risalah, 1407 H), Cet. II, h. 4.
7
Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1 h. 13.
berpenapat bahwasannya al-ashil adalah suatu penafsiran yang ditetapkan
bersandar kepada kitab suci al-quran, hadis nabi Muhammad, qoul sahabat dan
tabiin, serta pendapat yang berasal dari tafsir al-rayu al-mahmud.8 Maka dari
itu, dapat disimpulkan definisi al-ashîl fî al-tafsîr yang (komprehensif) adalah
penafsiran yang mempunyai sumber rujukan dan latar belakang dasar yang jelas
serta dapat dipertanggungjawabkan. Sumber tersebut berasal dari Alquran,
hadis sahih, pendapat para sahabat dan tabiin yang valid, atau berasal dari rasio
sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.9
8
Jamâl Mustafâ ‘Abd al-Hamîd al-Najjâr, Usȗl al-Dakhîl fî al-Tafsîr Ayî al-Tanzîl, (Cairo: Universitas al-Azhar Press,
2009), 23.
9
Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al- Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Universitas Al-Azhar,
t.th.), h. 11
السََّل ُمَ،قالَ:أناَ ُموسىَ،قالُ َ:موسىَبنِيَ ِإسْرائِيل؟َقالَ:نع ْمَ،أت ْيتُكَ ِلتُع ِلمنِ ِ
يَم َّماَع ُِل ْمتَرشدًاَ،قالِ (َ:إنَّكَ
َم ْن َ ِع ْل ِمَاللَّ ِهَعلَّم ِني ِه َِلَت ْعل ُمهَُأ ْنتَ،وأَْنتَعلىَ ِع ْل ٍم ِ
َم ْنَ ل ْنَتسْت ِطيع َم ِعيَصب ًْرا)َ،ياَ ُموسىَ ِإ ِنيَعلىَ ِع ْل ٍم ِ
ْصيَلكَأ ْم ًرا}َ[الكهفَ:ِع ْل ِمَاللَّ ِهَعلَّمكهَُاللَّهَُِلَأَعْل ُمهَُ،فقالَ ُموسى{َ:ست ِجدُنِيَإِ ْنَشاءَاللَّهَُصابِ ًراَ،وِلَأع ِ
ض ُر{َ:فِ ِ ِن َاتَّب ْعتنِيَفَل َتسْو ْلنِيَع ْن َش ْيءٍ َحتَّىَأُحْ دِث َلك ِ
َم ْنهَُ ِذ ْك ًرا}َ[الكهفَ،]07َ: َ،]66فقال َلهَُالخ ِ
ضرَفحملُو ُه ْمَبِغي ِْرَن ْو ٍلَ، تَس ِفينةٌَفكلَّ ُمو ُه ْمَأ ْنَيحْ ِملُو ُه ْمَ،فعرفُواَالخ ِ اح ِلَالبحْ ِرَفم َّر ْ انَعلىَس ِ فا ْنطلقاَي ْمشِيَ ِ
س ِفين ِة َ ِبالقد ُو ِمَ،فقالَلهَُ ُموسىَ:ق ْو ٌمَقدَْ اَم ْنَأ ْلواحَِال َّ
ض ُرَقدَْقلعَل ْو ًح ِ س ِفين ِة َل ْم َي ْفجو َْ ِإ َِّلَوالخ ِ
فل َّماَر ِكباَفِيَال َّ
َْجئْتَش ْيئًاَ ِإ ْم ًراَقالَأل ْمَأقُ ْلَ ِإنَّكَل ْنَتسْت ِطيعَحملُوناَ ِبغي ِْرَن ْو ٍلَعمدْتَ ِإلىَس ِفين ِت ِه ْمَفخر ْقتهاَ( ِلت ُ ْغ ِرقَأ ْهلهاَلقد ِ
سولَُاللَّ ِهَصلَّىَاللهَُ عس ًْرا)َ"َ،قالَ:وقالَر ُ اخذْ ِنيَ ِبماَن ِسيتُ َوَِلَت ُ ْر ِه ْق ِن ِ
يَم ْنَأ ْم ِريَ ُ م ِعيَصب ًْراَقالَِلَتُؤ ِ
س ِفين ِة َفنقر َفِيَ
ف َال َّ صفُ ٌ
ور َفوقع َعلىَح ْر ِ ع ْىَم ْن َ ُموسىَنِسْيانًاَ،قالَ:وجاء َ ُ ت َاألُول ِ عل ْي ِه َوسلَّمَ"َ:وكان ِ
َم ْنَهذاَالبحْ ِرَ، صفُ ُ
ور ِ َم ْنَ ِع ْل ِمَاللَّ ِهَإِ َِّل ِ
َمثْلَُماَنقصَهذاَالعُ ْ ض ُرَ:ماَ ِع ْل ِميَو ِع ْل ُمك ِ
البحْ ِرَن ْقرةًَ،فقالَله َُالخ ِ
انَ،فوَخذَ غَل ًما َي ْلعبُ َمع َال ِغ ْلم ِض ُر َ ُ َّاح ِل َ ِإذْ َأبْصر َالخ ِ
ان َعلىَالس ِس ِفين ِة َفبيْناَهُماَي ْمشِي ِ َمن َال َّ ث ُ َّم َخرجا ِ
َْجئْتَش ْيئًاَنُ ْك ًرا) َ ض ُرَرأْسهَُ ِبي ِدهَِفا ْقتلعهَُ ِبي ِدهَِفقتلهَُ،فقالَله َُ ُموسى(َ:أقت ْلتَن ْف ً
ساَزا ِكيةًَ ِبغي ِْرَنَْف ٍسَلقد ِ الخ ِ
(قالَأل ْمَأقُ ْلَلكَ ِإنَّكَل ْنَتسْت ِطيعَم ِعيَصب ًْرا)َقالَ:وه ِذهَِأش َدَُّ ِمنَاألُولىَ،قالِ {َ:إ ْنَسو ْلتُكَع ْنَش ْيءٍَب ْعدهاَ
عذْ ًراَ،فا ْنطلقاَحتَّىَإِذاَأتياَأ ْهلَق ْريةٍَاسْت ْ
طعماَأ ْهلَهاَفوب ْواَأ ْنَيُضيِفُوهُماَ، فَلَتُص ِ
اح ْبنِيَ،قدَْبل ْغت ِ
َم ْنَلد ُنِيَ ُ
ض ُرَفوقامهَُبِي ِدهَِ،فقالَ ُموسىَ:ق ْو ٌمَ اراَي ُِري َد َُأ ْنَي ْنق َّ
ض}َ[الكهفَ-]00َ:قالَ:مائِلٌََ-فقامَالخ ِ اَجد ً
فوجداَفِيه ِ
اق َب ْينِيَ ُط ِع ُموناَول ْم َيُضيِفُونا{َ،ل ْو َ ِشئْت َِلتَّخذْت َعل ْي ِه َأجْ ًرا}َ[الكهفَ،]00َ:قال{َ:هذاَفِر ُ أتيْنا ُه ْم َفل ْم َي ْ
سو ُل َاللَّ ِهَ وبَ ْي ِنك}َ[الكهفِ َ]07َ:إلىَق ْو ِل ِه{َ:ذ ِلك َتو ْ ِوي ُل َماَل ْم َتس ِ
ْط ْع َعل ْي ِه َصب ًْرا}َ[الكهفَ]76َ:فقال َر ُ
صَاللَّهَُعليْن ِ
اَم ْنَخب ِرهِماَ"َقالََسَ ِعيدَُبْنَُ ُجبي ٍْرَ: صلَّىَاللهَُعل ْي ِهَوسلَّمَ:و ِددْناَأ َّنَ ُموسىَكانَصبرَحتَّىَيقُ َّ
صبًا)َوكان َي ْقرأُ(َ:وَأ َّماَالغَُل ُم َفكانََّاس َي ْقرأ َُ(وكان َأمام ُه ْم َم ِلكٌ َيو ْ ُخذ ُ َ ُك َّل َس ِفين ٍة َصا ِلح ٍة َغ ْ
فكان َا ْبنُ َعب ٍ
كافِ ًراَوكانَأبواهَُ ُمؤْ ِمني ِْن)
Secara keseluruhan, kelima hadis di atas memiliki derajat shahih sehingga
bisa untuk mengkonfirmasi kebenaran suatu kisah dalam QS. Al-Kahfi ayat 60-
82, serta bisa mendeteksi adanya infiltrasi penafsiran (al-dakhil) dalam tafsir
Jalalain surat Al-Kahfi ayat 60-82.
Pada Surat al-Kahfi ayat 60-73, tidak dijumpai adanya al-dakhil dalam
tafsir. Baik itu berupa israiliyyat, hadis maudhu’, hadis dha’if, tafsir mazhab
tertentu, ta’wil yang tidak berdasar, maupun tafsir bathiniyah. Hal tersebut telah
dibenarkan dan dibuktikan keontentikannya dalam hadis yang berstatus shahih.
Sehingga tafsir dalam ayat tersebut termasuk ke dalam kategori al-ashil
(penafsiran yang valid) yang memiliki dasar yang otentik, yaitu kebenaran
kisahnya telah terkonfirmasi dalam hadis shahih.10
10
ITA PURNAMA SARI. Skripsi “AL-DAKHIL DALAM TAFSIR JALALAIN SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82”. Surakarta,
Universitas Muhammadiyah. (2021). Hal. 6
11
Muhammad Misbah, "Dakhil Ayat Kisah dalam al-Qur'an: Studi Analisis Kisah Harut dan Marut Dalam Tafsir ad-
Durr al-Mantsur Karya Jalaluddin as-Suyuthi", Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Vol.11 No. 2 (2017), 227.
12
Nur Fadilah M.E., Skripsi: "Ad-Dakhil dalam Tafsir al-Ibriz Karya Bisri Mustafa" (Jakarta: IIQ, 2019), Hal. 19.
13
Muhammad Misbah, loc.cit.
al-Qur’an dan hadits, hadits mauquf, hadits maqthu' dan penafsiran yang
bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, hukum logika, dan tidak dapat
dikompromikan.
ad-Dakhil fi ar-ra’y (rasio), meliputi: tafsir yang didasari niat buruk dan
skeptisme terhadap ayat-ayat al-Qur’an, tafsir eksoteris yang tidak
mempertimbangkan sisi kepantasan bila disematkan kepada Dzat Allah
SWT, penafsiran distorsif dengan mengabaikan sisi literal ayat, tafsir
esoteris yang lemah argumentasinya, penafsiran yang mengabaikan
kaidah tafsir yang telah baku, penafsiran saintifik yang jauh dari konteks
linguistik, sosiologi, dan psikologi ayat.14
14
Nur Fadilah, op.cit. hal. 20-21.
15
Imam Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah, 2003), hlm.
288.
qiila (dikatakan) ketika menafsirkan peristiwa pembunuhan yang dilakukan
oleh Khidhir kepada anak tersebut, maka dengan redaksi itu, bisa dipastikan
bahwasannya Al-Baidhawi menukil sebuah kisah israiliyyat dalam menafsirkan
ayat ini.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwasannya dalam tafsir ayat ini terdapat al-
dakhil berupa riwayat israiliyyat yang bersumber dari tafsir al-Baidhawi.Yaitu
ketika menafsirkan peristiwa pembunuhan oleh Khidhir kepada anak tersebut,
dengan tanpa diikuti sumber periwayatan yang jelas dalam penukilannya Al-
Dakhil dalam tafsir ini terjadi pada era tabi’in yang dilatarbelakangi oleh faktor
politik dan kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Secara etimologi, al-ashîl berasal dari bahasa Arab al-ashl yang berarti asal, valid,
dasar, pokok dan sumber. Dalam kamus bahasa Inggris, al-ashil sepadan dengan
kata authentic yang berarti asli, orisinil, valid dan genuine. Fayruz Abadi (w.817
H) dalam al-Qâmûs mengatakan bahwa al-ashl adalah dasar atau pondasi, al-ashil
adalah orang yang memiliki asal usul jelas. Dengan demikian, secara bahasa al-
ashil adalah segala sesuatu yang memiliki asal usul yang pasti, jelas, otentik, orisinil
dan valid.
Menurut bahasa, kata ad-Dakhil berarti suatu aib atau kerusakan yang tersembunyi,
hakikatnya samar dan disisipkan di dalam tafsir al-Quran. Karena hakikatnya yang
samar tersebut, dibutuhkan sebuah penelitian untuk mengetahui dan
mengungkapkannya. ad-Dakhil dalam tafsir berarti penafsiran yang tidak ada
dasarnya dalam agama.
Saran:
Kami menyadari dalam proses pebuatan tugas makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan dan keterbatasan kemampuan dari penulis, maka dari itu penulis sangat terbuka
atas masukan dan motivasi yang membangun untuk kedepannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ulinnuha Muhammad. “KONSEP AL-ASHIL DAN AL-DAKHIL DALAM TAFSIR AL-QURAN”.
MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember (2017).
Jamâl Mustafâ ‘Abd al-Hamîd al-Najjâr, Usȗl al-Dakhîl fî al-Tafsîr Ayî al-Tanzîl, (Cairo:
Universitas al-Azhar Press, 2009)
Imam Baidhawi, Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah),
2003.
ITA PURNAMA SARI. Skripsi “AL-DAKHIL DALAM TAFSIR JALALAIN SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82”.
Surakarta, Universitas Muhammadiyah. (2021).
Yasser Muda Lubis. Jurnal “PENAFSIRAN AL-DAKHIL DALAM AL-JAMI LI AHKAM AL-QURAN
KARYA AL-QURTHUBI” . (JAKARTA, Institut PTIQ)
Muhammad Zahir bin Nashir. “Shahih Bukhori”. (Kairo: Matbaah Amriyah) 1286.
Muhammad Ulinnuha. “Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir”. QAF. Jakarta: 2019.