Anda di halaman 1dari 13

TAFSIR TAHLILI BIL RA’YI/DIRAYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:

“Tafsir Tahlili”

Dosen pengampu:
Dr. Kusroni, M.Th.I
Disusun Oleh:
Afkar Nur Madani
NIM:
202112134112
PRODI AL-QU’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FITHRAH
SURABAYA
2023

0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama.
Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat Al-Qur'an harus dilakukan
dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu pada syarat-syarat
yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Al-Qur'an secara teks memang tidak berubah, tetapi penanfsiran atas
teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur'an
selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan)
dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka
metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-
Qur'an itu. Sehingga Al-Qur'an seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Ilmu tafsir berperan menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat- ayat
Al-Qur'an, mengingat Al-Qur'an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat
tinggi, juga terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih. Dalam hal ini para
ulama' sering mengklaim bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan kalimat yang ringkas
namun membawa unsur-unsur uslub (gaya) bahasa yang padat makna sehingga
membuat para ahli bahasa zaman dahulu (bahkan sampai sekarang) tidak mampu
menandingi Al-Qur'an. Selain itu, juga tidak setiap orang memiliki kompetensi
untuk menafsirkan Al-Qur'an.”
Kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Qur'an dan ungkapan Al-
Qur'an tidaklah sama. Sehingga terjadinya perbedaan daya nalar diantara mereka
ini adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi. Itulah sebabnya seorang dalam
meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat membutuhkan ilmu-ilmu
pendukung lainnya. Dengan ilmu tersebut. seseorang bisa lebih mudah mengkaji
dan memahami makna-makna Al-Qur'an. Apalagi mengenaiayat-ayat Al-Qur'an
yang berkategori mutasyabih yang tentu rumit dan pelik. Kenyataan tersebut
melahirkan berbagai metode yang digunakan dalam menjelaskan suatu redaksi.
Untuk menafsirinya tergantung kepada kecenderungan para mufassir, serta latar
belakang keilmuan dan sudut pandang yang digunakan. Para ulama telah sepakat

1
berkaitan dengan pengklasifikasian tafsir Al-Qur'an dilihat dari sumber
penafsirannya, mereka membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma'tsur
(tafsir bi al-riwayah), tafsir bi al-ra'y (tafsir bi al-dirayah), dan tafsir bi al-iqtirani
(campuran antara nas dan akal pikiran manusia).
Dari ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar para
ulama tafsir adalah tafsir bi al-ra'y. Banyak terdapat perbedaan pendapat diantara
mereka dalam pembolehan menafsirkan Al-Qur'an denganmenggunakan akal
pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti tafsir bi al-ray, hanya
ditafsirkan secara subjektif untuk mendukung kepentingan pribadi atau kelompok
mereka. Untuk kepentingan tersebut, maka dalam makalah ini akan didiskripsikan
salah satu metode yang digunakan untuk lebih mudahnya memahami Al-Qur'an
dengan metode Al-Tafsir bi- al-ra'y.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tafsir Bil Ra’yi?
2. Jelaskan sebab-sebab timbulnya tafsir bi al-ra’yi?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang tafsir bi al-ra’yi?
4. Sebutkan macam-macam dan contoh tafsir bi al-ra’yi?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bil Ra’yi
Kata Al-ra’yu berasal dari akar kata ‫ اراء‬- ‫راي‬. Memiliki kata jamak ārā’un
atau ar’ā’un yang bisa berarti berpendapat.1 Sedangkan secara istilah bisa
didefinisikan sebagaimana pendapat beberapa ulama yaitu :
1. Tafsir Bi Al-Ra’y ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya hanya
berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada
ra’yu semata. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-
pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-asam,
al-Juba’I, Abdul Jabbar, Ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.2
2. Tafsir Bi Al-Ra’y ialah Tafsir berdasarkan ijtihad mufassir; pendapat atau
ijtihadnya yang didasarkan atas sarana ijtihad.3
3. Muhammad Ali Ash Shaabuniy, ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil
yang shohih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya
digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau mendalami
pengertiannya.4
Dari beberapa pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa tafsir bi al-ra’y
adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah
memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang
mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa
ada pertentangan.
Tidaklah yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran
berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi berkata “barang siapa yang
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut

1
Mahmud Yunus, Kamus Arabi-Indonesia ( Jakarta: Yayasan Penyelnggara Penerjemah
Pentafsiran Al-Qur’an), h. 136
2
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As ( Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2007), h. 488
3
Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 140
4
Muhammad Ali Al-Shabuny, Study ilmu Al-Qur’an Alih Bahasa Aminuddin ( Bandung : Pustaka
Setia, 1998), h. 258

3
pandangannya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru
dan tercela.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
‫ رواه التر‬.‫فليتبو أ مقعده من النار‬
ّ ‫ومن قال فى القران برأيه‬, ‫فليتبوأ مقعده من النار‬
ُ ّ ‫من كذّب عل‬
‫ي متعمدا‬
‫مذ‬
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan
dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan
Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka
.”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas)
Dan sabdanya pula :
‫من قال فى القران برأ يه فاصاب فقد اخطأ‬
Artinya :
“Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya dan kebetulan
tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.” (H.R. Abi Dawud dari Jundab)
Imam Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits Ibnu Abbas tersebut
memiliki dua penafsiran:
Pertama : Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik
dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti
menentang Allah
Kedua : Barang siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang
ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia
menempatkan diri di neraka.5
B. Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir Bi al-Ra’yi
Pertama kali tafsir Al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari
mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan
hadis, maka tafsir Al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan
merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa

5
Ibid, h. 258

4
itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf
sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani
Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan,
tafsir Al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan
lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut
urutan mushhaf. Penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara
naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr bi al-ma’tsūr. Setelah
itu para ahli ilmu menafsirkan Al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing.
Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin
berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut
sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat
mutasyabihat, untuk menopang paham mereka masing-masing, meskipun
sebenarnya bibit-bibit ta’wil Al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat,
seperti ‘Ali bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra.
Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi,
sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dan akal pikiran, seperti
kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy.6
Diantara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah
dan menyusupkan madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya
banyak orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-kassyaf dalam menyisipkan
paham ke-mu’tazila-annya.
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi al-Ra’yi
Setelah membahas sebab-sebab timbulnya tafsir bi al-ra’y, kami akan
menjelaskan pendapat ulama tentang boleh tidaknya menafsiri Al-Qur’an bi al-ra’y
beserta dengan alasannya. Sebagian ulama mengatakan “ yang dimaksud dengan
ra’yu disini adalah ijtihad”. Karena itu, tafsir ra’yu berarti tafsir Al-Qur’an
berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata dan uslub orang arab
dalam berbicara, serta mengetahui lafal-lafal bahasa arab dan pengertiannya.

6
Rosihan Anwar, Ulum Al- Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 220

5
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an
dengan ra’yu yang terbagi dalam dua pendapat :
Pertama : Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir
ini harus bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Kedua : Pendapatkan yang membolehkan penafsiran dengan ra’yu dengan syarat
harus memenuhi persyaratan-persyaratan diatas. Ini adalah pendapat dari
kebanyakan ulama (jumhur ulama).
1. Alasan pendapat yang tidak diperbolehkan
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dam ijtihad semata tanpa ada dasar yang
sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan.
Ulama yang tidak membolehkan penafsiran dengan ra’yu menyebutkan
beberapa alasan yang dapat kami ringkaskan sebagai berikut :
a. Tafsir dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an dengan
tidak berdasarkan ilmu. Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman
Allah :
َ‫ّلل َما َل تَ ْعلَ ُمون‬
ِ َّ ‫علَى ٱ‬ َ ْ‫إِنَّ َما يَأ ْ ُم ُر ُكم بِٱلس ُّٓو ِء َوٱ ْلفَح‬
َ ‫شا ٓ ِء َوأَن تَقُولُوا‬
Artinya :
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqoroh :
169)
b. Sebuah hadits tentang acaman terhadap orang yang menafsirkan dengan
ra’yu, yaitu sabda Rasul SAW :
‫فليتبو أ مقعده من‬
ّ ‫ومن قال فى القران برأيه‬, ‫فليتبوأ مقعده من نار‬
ُ ّ ‫من كذّب عل‬
‫ي متعمدا‬
‫رواه التر مذ‬. ‫النار‬
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia
menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan
dirinya di neraka.”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas ).
c. Firman Allah SWT

6
ِ َّ‫َوأَنزَ ْلنَا ٓ ِإ َليْكَ ٱل ِذّ ْك َر ِلتُبَ ِيّنَ ِللن‬
‫اس َما نُ ِ ّز َل ِإلَ ْي ِه ْم‬
Artinya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan”( Qs. An- Nahl: 44)
d. Para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-Qur’an dengan
ra’yunya, sehingga abu Bakar Shiddiq mengatakan, “ langit manakah yang
akan menaungiku dan bumi manakah yang akan melindungiku? Bila aku
menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yuku atau aku katakan tentangnya
sedang aku sendiri belum mengetahui betul.”
2. Alasan-alasan Pendapat yang Membolehkan Tafsir Bi al-Ra’yi
Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur
yang menyebutkan beberapa alasan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a. Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti Al-
Qur’an, seperti dalam firman-Nya:
ِ ‫ِك َٰتَب أَنزَ ْل َٰنَهُ ِإلَيْكَ ُم َٰ َب َرك ِلّ َيدَّب َُّر ٓوا َءا َٰ َي ِت ِۦه َو ِل َيتَذَ َّك َر أُولُوا ٱ ْْل َ ْل َٰ َب‬
‫ب‬
Artinya :
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia
Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
b. Allah SWT. membagi manusia dalam dua klasifikasi kelompok awam dan
kelompok ulama (cerdik cendikiawan).Allah memrintahkan
mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar
hokum, firman Allah:
‫سو ِل َو ِإلَ َٰ ٓى‬ َّ ‫عوا ِب ِۦه ۖ َولَ ْو َردُّوهُ ِإلَى ٱ‬
ُ ‫لر‬ ُ ‫ف أَذَا‬ِ ‫َو ِإ َذا َجا ٓ َء ُه ْم أَ ْمر ِ ّمنَ ٱ ْْل َ ْم ِن أَ ِو ٱ ْلخ َْو‬
ُ‫ع َل ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهۥ‬ ْ ‫طونَهۥُ ِم ْن ُه ْم ۗ َو َل ْو َل َف‬
ِ َّ ‫ض ُل ٱ‬
َ ‫ّلل‬ ُ ‫أُو ِلى ٱ ْْل َ ْم ِر ِم ْن ُه ْم لَ َع ِل َمهُ ٱ َّلذِينَ َي ْست َۢن ِب‬
‫يل‬ َ َٰ ‫ش ْي‬
ً ‫طنَ ِإ َّل قَ ِل‬ َّ ‫َلَت َّ َب ْعت ُ ُم ٱل‬
Artinya :

7
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil
saja (di antaramu).” (Qs. An-Nisa : 83)
c. Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan
maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak
hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang
mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik
benar maupun salah dalam ijtihadnya.
D. Macam-macam dan Contoh Tafsir Bi al-Ra’yi
1. Macam-macam Tafsir Bi al-Ra’yi
Berdasarkan pengertian di atas, para mufassir membagi tafsir bi al-ra’y
kepada dua macam, yaitu ra’y madhmumah (yang tercela) dan ra’y mahmudah
(yang terpuji). Yang pertama adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat
semata-mata, yang tidak didukung oleh ilmu alat. Hal ini yang dimaksud dalam
hadits Nabi SAW yang artinya : “Barang siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an
menurut pendapatnya sendiri, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di
neraka” (HR. Tirmidzi). Sebagian besar orang yang menafsirkan dengan ra’yu
adalah orang-orang yang mementingkan hawa nafsu dan bid’ah. Mereka menganut
faham-faham yang sesat, tidak ada alur periwayatan (rujukan) yang jelas, tidak ada
dalil yang kuat. Dimana ia menyatakan bahwa kalam Allah itu maksudnya ini …
atau itu… tafsir semacam ini adalah tafsi yang madzmum atau tafsir yang salah.
Yang kedua adalah pendapat yang didasarkan atas ilmu dan memenuhi kriteria atau
syarat tafsir, yaitu penguasaan ilmu bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharraf,
isytiqaq dan balaghah. Selain itu, seorang mufassir juga dituntut menguasai ilmu

8
qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, qoss Al-qur’an, nasikh mansukh,
dan lain sebagainya.7
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-mahmūdah yang banyak dikenal,
antara lain, adalah:
a. Mafātih al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
b. Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baidawi
c. Madārik al-Tanzīl wa aqā’iq al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
d. Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
e. Al-Bahr al-Mu’ī, oleh: Abū Hayyān
f. Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūti
g. Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-Naisabūriy
h. Al-Sirāj al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy
i. Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
j. Rūh al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy
2. Contoh Tafsir Bi al-Ra’yi
Ayat Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak
maksudnya.
ً ‫س ِب‬
‫يل‬ َ ‫ض ُّل‬ ِ ‫َو َمن َكانَ فِى َٰ َه ِذ ِٓۦه أَ ْع َم َٰى فَ ُه َو فِى ٱ ْل َء‬
َ َ‫اخ َرةِ أَ ْع َم َٰى َوأ‬
Artinya :
“Barang siapa yang buta (hatinya)di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” (Q.S. Al-Isra : 72)
Ia menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta
akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta di sini bukan
mata, tetapi buta hati berdasarkan alasan firman Allah:
‫ض فَتَ ُكونَ لَ ُه ْم قُلُوب يَ ْع ِقلُونَ ِب َها ٓ أَ ْو َءاذَان يَ ْس َمعُونَ ِب َها ۖ فَإِنَّ َها َل‬ ِ ‫ِيروا فِى ٱ ْْل َ ْر‬ ُ ‫أَفَلَ ْم يَس‬
‫ُور‬
ِ ‫صد‬ ُّ ‫وب ٱ َّلتِى فِى ٱل‬ ُ ُ‫ص ُر َو َٰلَ ِكن تَ ْع َمى ٱ ْلقُل‬
َ َٰ ‫تَ ْع َمى ٱ ْْل َ ْب‬
Artinya :
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang

7
Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an, h. 141

9
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Qs. Al-Hajj:46)8
Ayat lain yang dikemukakan oleh sebagian orang yang mengaku pandai
tentang firman Allah SWT.
ٓ
‫ى ِك َٰتَبَهۥُ بِيَ ِمينِ ِۦه فَأُو َٰلَئِكَ يَ ْق َر ُءونَ ِك َٰتَبَ ُه ْم َو َل‬ ُ ُ
َ ِ‫عوا ُك َّل أنَاس بِإِ َٰ َم ِم ِه ْم ۖ فَ َم ْن أوت‬ ُ ‫يَ ْو َم نَ ْد‬
ً ِ‫ُظلَ ُمونَ فَت‬
‫يل‬ ْ ‫ي‬
Artinya :
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak
dianiaya sedikitpun.”(Qs. Al-Isra’: 71)
Mereka berkata bahwa maksud firman Allah di atas adalah “ Allah
Ta’ala memanggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya karena
menutupi mereka.” Mereka menafsirkan kata “imam” dengan “ummahat”
(ibu) dengan berpendapat bahwa imam adalah jamak dari umum padahal
menurut ketentuan bahasa arab tidak demikian, karena jamak dari umum
adalah ummahat sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
َٰ ُ
َ ‫ى أَ ْر‬
‫ض ْعنَ ُك ْم‬ ٓ ِ‫أ َّم َٰ َهت ُ ُك ُم ٱلَّت‬
Artinya :
“Ibu-ibumu yang menyusui kamu…” (QS. An-Nisa’:23)
Bentuk jamak dari ummum itu bukanlah kata imam, karena itu
pengertian di atas menurut bahasa dan syara’ tidaklah benar. Yang
dimaksud imam disana adalah nabi yang diikuti oleh ummatnya atau catatan
amal.9

8
Muhammad Ali Al-Shabuny, Study ilmu al-qur’an, Alih Bahasa Aminuddin, h. 263
9
Ibid, h. 261

10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada saat ini rupanya sangat sulit untuk memahami fenomena-fenomena
tanpa adanya pemahaman fenomena yang terjadi dimasa-masa awal ketika Al-
Qur'an diturunkan. Jika kita rasakan sepertinya wahyu sangat terasa membumi
ketika awal-awal Al-Qur'an di timunkan dan rasal berserta sahabatnya masih
hidup, karena rujukan dan sumbernya dapat ditemukan langsung. Tetapi hal ini
tidaklah menjadi suatu peghalang dalam melihat dan menganalisis Al-Qur'an
yang tentunya tetap berpijak pada pemahaman yang pertama kali dicontohkan
Pendapat yang tidak membolehkan adanya penafsiran bi al-Ra yii pemah
dianggap sebagai hiang keladi adanya kejurudan berpikir dikalangan umat Islan
karena pendapat tersebut memberikan rasa takut dan menyebabkan tidak
mengkaji isi Al-Qur'an, masalah-masalah lain yang menjadi bukti kuat
kekalnya. Al-Quran.
Penggunaan tafsir logika tidak dibenarkan jika dipakai dalam mengkaji
kegiatan ubudiyah yang tidak mungkin terjadi adanya perubahan. Penafsiran ini
hanya bua dipakai untuk masalah-masalah sosial atam aspek kehidupan yang
sangat dinamis, dan berkembang pesat yang membutuhkan kajian sesuai dengan
petunjuk Al- Qur'an, menghasilkan teori yang relevan dengan dinamika yang
ada dengan berdasar pada kekalnya Al-Qur'an dan jawaban terhadap masalah-
masalah yang terjadi, hal ini merupakan konsekuensi logisnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shaabuniy, Muhammad Ali, 1998, Study Ilmu Al-Qur’an, Alih Bahasa
Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia

Al-Qattan, Manna’ Khalil, 2007, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa

Yunus, Mahmud, Kamus Arabi – Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara


Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an

Yusuf, Kadar M, 2009, Study Al-Qur’an, Jakarta: AMZAH

12

Anda mungkin juga menyukai