Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menurut Wahbah al-Zuhaili al-Quran adalah dasar hidup
manusia baik secara umum maupun khusus.1 Setiap orang yang
dengan sungguh-sungguh menghayatinya dan mempelajarinya akan
menemukan solusi yang dibutuhkan pada setiap masa. Karena isi
kandungannya sesuai pada setiap masa dan waktu. 2 Hal tersebut
tidak mungkin tercapai tanpa menggunakan petunjuk-petunjuk yang
digunakan untuk mempelajari al-Quran secara mendalam serta
kesesuaian runtutannya yang sangat indah yang di dalamnya
terdapat petunjuk kebahagiaan dunia maupun akhirat bagi manusia
sesuai pengetahuan Penciptanya. Pendalaman tersebut tidak
mungkin dilakukan tanpa terlebih dahulu memahami al-Qur’an,
mentadabburinya, menghayati nasehat dan petunjuknya serta
menyelami konsep-konsepnya yang terkandung dalam uslubnya
yang sangat indah lagi tidak ada yang mampu menandinginya
(mu’jiz). Semua ini tidak mungkin didapat tanpa menyibak dan
menjelaskan hal-hal yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz al-Quran.
Piranti untuk menggapai tujuan inilah yang dinamakan ilmu tafsir,
karena tafsir adalah kunci untuk membuka perbendaharaan serta
mutiara-mutiara yang dikandung oleh al-Quran.3
Sementara ulama berpendapat bahwa tafsir adalah alat untuk
memahai, menyingkap makna, mengeluarkan hukum-hukum seta
berbagai hikmah yang dikandung oleh al-Quran-Karim. 4 Telah kita
ketahui bersama, penafsiran al-Quran terus berkembang sejak masa
Nabi Muhammad Saw. sampai hari ini. Perkembangan tersebut
sesuai dengan perubahan zaman yang berganti, bahkan bisa
dikatakan perubahan penafsiran al-Quran berkembang melalui fase-
fase yang tidak samar.5

1
. Wahabah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir (Damaskus: Dar al-Fikr,
2003), 9.
2
. Abdul Mustaqim, Madzahib Tafsir (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005), 83.
3
. Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan (Kairo: Mustafa Isa
Babil Halabi, t.th.), 8-9.
4
. Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an (Kairo: Dar al-
Hadits, 2006), 415.
5. Husain al-Dzahabi, Ilmu al-Tafsir (Kairo: Daral-Ma’arif, t. Th. ), 13.

1
Tafsir pada masa awal hanya terbatas pada perpindahan
informasi via riwayat. karena para Sahabat meriwayatkan tafsir
sebagian ayat maupun surat yang mereka terima dari Nabi
Muhammad Saw., begitu pula generasi setelah Sahabat yakni
Tabi’in meriwayatkan penjelasan al-Quran yang mereka dapat dari
Sahabat baik itu yang marfu’ maupun ijtihad Sahabat sendiri. 6
Sehingga tafsir pada periode ini hanya terbatas via musyafahah dan
riwayah.
Kemudian bersamaan permulaan masa kodifikasi secara
umum -kebanyakan pakar sejarah menetapkan masa pemulaan
kodifikasi pada permulaan abad 2 Hijriah- dan khususnya kodifikasi
hadits, tafsir mulai dikumpulkan pada bab tersendiri dalam kitab
kumpulan hadits. Dengan meluasnya kodifikasi serta mulai
terbentuk disiplin-disiplin ilmu secara mandiri, tafsir juga mulai
menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri sedikit demi sedikit. 7
Sehaingga lahir karya tersendiri yang mengandung riwayat-riwayat
yang menafsirkan al-Quran lengkap dengan sanadnya. Namun
bukanlah hal mudah menelusuri siapa orang yang pertama kali
membukukan tafsir secara mandiri, karena karya masa itu yang
sampai kepada kita hanyalah sebuah kitab karya al-Farra’ (w. 207
H) yang berjudul Ma’ani Al Qur’an.8 Meskipun dengan
perkembangan ilmu filologi telah ditemukan dan diterbitkan kitab
tafsir yang lebih tua yaitu Tafsir Muqatil bin Sulaiman karena dia
wafat pada tahun 150 Hijriah. Tetapi, hal ini dikritik oleh Dr. Husai
al-Dzahabi, sebab dalam tafsirnya terdapat riwayat yang dia
sandarkan kepada al-Farra’ yang mana al-Farra’ lahir pada tahun
144 Hijriah.9
Setelah masa kodikifasi bi al-isnad, muncul masa kodifikasi
tanpa sanad. Mufassir hanya mengutip pendapat-pendapat tafsir
tanpa menyandarkan kepada pengucapnya. Akibat yang ditimbulkan

6
. Husain al-Dzahabi, Ilmu al-Tafsir (Kairo: Daral-Ma’arif, t. Th. ), 14 –
19.
7
. Nuruddin Itr, Ulum Al-Qur’an al-Karim (Sarang: Maktabah al-
Anwar, t.th.), 74.
8
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan,
1996), 73.
9
. Husain al-Dzahabi, Israiliat fi al-Tafsir wa al-Hadits (Kairo:
Maktabah Wahbah, t.th.), 115.

2
dari hal tersebut adalah masuknya riwayat palsu (maudhu’) dan yang
bersumber dari ahli kitab (israiliyyat).10
Dengan berjalannya waktu masing-masing ilmu telah menjadi
disiplin ilmu tersendiri seperti muncul ilmu bahsasa, ilmu teologi,
ilmu fikih, ilmu filsafat serta telah tersebar ke berbagai wilayah.
Dampak yang ditimbulkan dari fenomena ini pada tafsir adalah
munculnya model penafsiran baru, yaitu penafsiran yang
mengandalkan nalar-ijtihadi. Ini ditandai dengan adanya tarjih
antara satu pendapat dengan pendapat lain dengan bertendensikan
pada bahasa arab dan siyaq qur’aniyyah. Namun tafsir model ini
menimbulkan pro-kontra antara para pakar, ada yang membolehkan
ada juga yang melarang. 11
Bertolak dari keterangan diatas, dapat kita simpulkan dua hal
penting. Pertama, penafsiran terhadap Al-Quran akan terus
berlangsung dan tidak akan terhenti pada satu fase selama masih ada
akal yang berfikir dan hati yang bertadzakkur. Kedua, jalan yang
ditempuh para mufassir dalam menyingkap kehendak Allah (tafsir)
berbeda-beda.
Lebih jelasnya, ketika kita meneliti kitab-kitab tafsir baik
klasik maupun kontemporer, kita akan melihat setiap mufassir
memilki metode atau jalan khusus yang berbeda dengan mufassir
lain. Di antara mereka ada yang memulai penafsiran dengan
mencantumkan teks ayat, lalu meneliti makna kosakata, menjelaskan
makna yang dikandung secara global, kemudian mengeluarkan
hukum darinya dengan mempertimbangkan berbagai aspek baik
asbab nuzul, munasabah maupun hadits-hadits yang berkaitan.
Penafsir yang lain ada yang menampilkan ayat sesuai urutan mushaf
lalu melakukan penjelasan singkat yang sudah mencakup kosakata
dan makna umum. Ada pula yang menafsirkan dengan
mempertimbangkan tema yang dibahas, dia mengumpulkan berbagai
ayat yang terpencar dalam al-Quran yang masih satu tema kemudian
melakukan penafsiran secara komprehensif. Di sisi lain ada yang
menyampaikan pendapatnya sendiri serta pendapat-pendapat pakar
lain lalu dikomparasikan mana pendapat yang paling tepat.
Perbedaan inilah yang dikenal dengan metode-metode penafsiran.12

10
. Husain al-Dzahabi, Israiliat fi al-Tafsir wa al-Hadits (Kairo:
Maktabah Wahbah, t.th.), 20.
11
. FKI Raden, Al-Qur’an Kita (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2011), 235
-236.
12
. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2019),
321 -336.

3
Seperti keterangan di atas, para penafsir pada masa awal
masih menggunakan riwayat sebagai jalan penafsiran. Dan ketika
disiplin keilmuan telah terspsesialisasikan dan berkembang, maka
muncul para penafsir yang menggunakan nalar-ijtihadi sebagai
sumber penafsiran. Inilah yang dalam diskursus ulum al-Qur’an
kontemporer dikenal dengan nama sumber-sumber penafsiran.13
Di sisi lain kita mendapati perbedaan para penafsir dalam
menggunakan piranti dan tujuan yang hendak dicapai dalam
penafsirannya. Di antara mereka ada yang mengggunakan
pendekatan bahasa dari berbagai aspeknya lalu menjelaskan kata-
kata dalam al-Quran secara mendalam. Penafsir lain ada yang
menafsirkan al-Quran dengan makna yang berbeda dengan makna
lahir, berdasarkan isyarat-isyarat ilmiah bagi para pelaku suluk, dan
makna itu tidak bertentangan dengan makna lahir. Ada pula penafsir
yang menggunakan pendekatan hukum, mereka menjelaskan
panjang lebar ketika menafsirkan ayat al-ahkam. Begitu juga ada
penafsir lain dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.
Perbedaan pendekatan inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah
corak-corak penafsiran.14
Jika kita menelaah berbagai kitab tafsir akan kita dapati
penafsir yang menampilkan penafsiran ayat al-Quran sesuai dengan
urutannya pada mushaf, urutan turunnya surat, dan ada yang
menampilkan ayat dari segi tema. Inilah yang dikenal dengan sistem
penyajian penafsiran.15
Pada abad ke 9 Hijriah tepatnya tahun 845 Hijriah, lahir
seorang ulama yang multidisipliner (al-mutabahhir fi jami’ al-
ulum), seorang yang memplokamirkan diri sebagai mujtahid mutlak
abad 10.16 Ulama itu adalah Abdurrahman bin al-Kamal Abi Bakr
al-Asyuthi al-Mishri al-Syafi’i. 17 Lebih dikenal dengan nama Imam
Jalal al-Din al-Suyuthi dinisbatkan pada daerah asalnya yaitu daerah

13
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan,
1996), 83 – 85.
14
. Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir
Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin]” ALMAWARID 18, (2008): 264.
15
. Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi
Kitab Tafsir (Yogyakata : TERAS, 2004), 25.
16
. Ahwan Fanani, “al-Suyuthi dan Kontroversi Strata Ijtihad (Telaah
atas Klaim Mujtahid Mutlak al-Suyuthi dan Landasan Normatifnya”
ISLAMICA 24, no. 2 (2008): 110.
17
. Muqaddimah Penerbit, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Dar al-
Fikr, 1991), II.

4
Asyuth sebuah daerah di kawasan Mesir. Sedari kecil dia telah
mencintai ilmu dan ulama, kendati dia telah menjadi piatu beberapa
saat setelah dilahirkan dan menjadi yatim pada umur lima tahun,
namun hal itu tidak melunturkan semangat belajarya.18
Dikalangan para ulama Imam Jalal al-Din al-Suyuthi menjadi
terkenal karena penguasannya atas berbagai fan ilmu. Hal tersebut
dapat diteliti dari berbagai karya tulis yang ditorehkan yang
mencakup berbagai cabang ilmu agama. Karya-karyanya dapat
diterima dengan baik, serta beliau menjadi rujukan para ulama yang
semasa dan setelahnya. Banyak permintaan fatwa kepadanya baik
dari Mesir maupun luar Mesir, hingga fatwa-fatwa itu dikumpulkan
dalam sebuah buku tersendiri dengan judul al-Hawi li al-Fatawi.19
Diantara kitab tafsir yang ditulis oleh Imam Jalal al-Din al-
Suyuthi adalah Tafsir Jalalain, al-Durr al-Manstur fi al-Tafsir al-
Ma’tsur dan al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil.20 Untuk dua yang pertama
yaitu Tafsir Jalalain dan al-Durr al-Manstur fi al-Tafsir al-Ma’tsur
sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Tetapi bagi yang disebut
terakhir yakni al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil masih sedikit asing. Hal
ini dibuktikan dengan sedikitnya penelitian yang membahas kitab
tersebut. Dari penelusuran penulis di Indonesia baru ada satu yang
meneliti kitab tersebut, yaitu sebuah tesis di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Padahal dalam beberapa karyanya al-Suyuthi
menyatakan dia menulis sebuah kitab tafsir yang berjudul al-Iklil fi
Istinbath al-Tanzil.21
Jika al-Suyuthi menulis kitab al-Durr al-Manstur fi al-Tafsir
al-Ma’tsur menggunakan metode tahlily (analitis) yakni dengan
memberikan penjelasan pada banyak aspek dengan berdasarkan
pada riwayat Nabi Muhammad Saw, qoul Sahabat dan Tabi’in serta
padangan aimmah al-qurra’ secara terperinci, tanpa menyertakan
pendapatnya pribadi serta penyajiannya runtut dari al-Fatihah

18
. Jalal al-Din al-Suyuthi, Husnul Muhadharah fi Tarikh Misra wa al-
Qahirah (Kairo: Isa Babil Halabi, 1961),vol. 1, 442.
19
. Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi (Beirut: Dar al-Ktub al-
Ilmiah, 1982), 2.
20
. Ahmad bin Muhammad al-Adnawi, Thabaqot al-Mufassirin
(Madinah Munawaroh: Maktabah Ulum wa al-Hikam, 1997), 365.
21
. Muhammad Mufti Najmul Umam Assondani, Epistemologi Tafsir
al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil Karya As-Suyuthi (UIN Sunan Gunung Djati:
Tesis, 2017), 14.

5
sampai al-Nas.22 Maka al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil tidak sama
dengan itu. Begitu pula jika dibandingkan dengan Tafsir Jalalain.
Yang oleh para pakar dimasukkan dalam kategori tafsir ijmaly.23
Dalam pendahuluan al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil al-Suyuthi
mengatakan sebab penyusunan kitab ini. Yakni, para ulama
terdahulu telah menyusun kitab yang membahas ahkam al-qur’an,
tetapi mereka terlalu panjang lebar dalam menjelaskannya. Bahkan
terkadang mereka terjebak dalam perdebatan dengan pendapat yang
tidak seirama dan memaparkan argumentasinya, sehingga tujuan
istinbath dan pesan-pesan yang samar terlewatkan. Kondisi di atas
mendorong al-Suyuthi menyusun sebuah kitab tafsir yang berisi
istinbath dan menjadi pijakan dalil dari ayat al-Quran dalam bidang
fikih, ushul dan akidah tetapi dengan sistematika yang ringkas dan
tetap bernilai serta berkualitas.24
Berangkat dari fenomena di atas, maka penulis berkeinginan
menelusuri kitab tafsir al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil dari sudut
pandang metodologi penafsirannya yang berkaitan dengan metode
penafsiran, sumber penafsiran, corak penafsiran dan sistematika
penyajiaannya. Pembahasan tersebut akan penulis sajikan dalam
bentuk skripsi yang berjudul “Metodologi Penafsiran Imam Jalal
al-Din al-Suyuthi dalam Kitab Tafsir al-Iklil fi Istinbath al-
Tanzil”.

B. Fokus Penelitian
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka penelitian ini
akan berkonsentrasi pada persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan metodologi Imam Jalal al-Din al-Suyuti dalam kitab tafsir
al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil khususnya pada masalah metode,
sumber, corak dan sistematika penyajian kitab tafsir tersebut.25

22
. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1996), hlm. 86.
23
. M. Qraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2019),
hlm. 324.
24
. Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiah, 1981), 20.
25
. Masrukin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Kudus: Media Ilmu
Press, 2017), 83.

6
C. Rumusan Masalah
Untuk mengkonsentrasikan serta memperjelas penelitian,
penulis membatasi masalah pada beberapa hal penting yang
menyangkut metodologi yang digunakan penulis tafsir tersebut,
yaitu :
1. Apa metode penafsiran Imam Jalal al-Din al-Suyuthi dalam
penulisan tafsir al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil?
2. Apa sumber yang digunakan dalam tafsir al-Iklil fi Istinbath al-
Tanzil?
3. Apa corak penafsiran kitab tafsir al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil?
4. Bagaimana sistem penyajian kitab tafsir al-Iklil fi Istinbath al-
Tanzil?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui metode penafsiran kitab tafsir al-Iklil fi Istinbath
al-Tanzil.
2. Mengetahui sumber penafsiran kitab tafsir al-Iklil fi Istinbath
al-Tanzil.
3. Mengetahui corak penafsiran kitab tafsir al-Iklil fi Istinbat al-
Tanzil.
4. Mengetahui sistematika penyajian kitab tafsir al-Iklil fi Istinbat
al-Tanzil?

E. Manfaat Penelitian
Setidaknya penelitian ini memiliki signifikansi sebagai berikut :
1. Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam penelitian
tafsir, khususnya bagi penulis sendiri.
2. Supaya penelitian ini menjadi gambaran awal bagi orang yang
ingin membaca, meneliti maupun membandingkan kitab tafsir
ini dengan kitab-kitab tafsir yang lain.
3. Menambah koleksi perpustakaan yang bertalian dengan
penelitian kitab tafsir.

F. Sistematika Penulisan
Supaya penelitian ini dapat dipahami secara mudah,
tersistematis, runtut dan jelas baik bagi penulis maupun pembaca,
maka penulis menyistematikakan penelitian ini menjadi beberapa
bab. Perinciannya secara runtut sebagaimana di bawah ini :

7
BAB I : Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
B. Fokus penelitian
C. Rumusan masalah
D. Tujuan penelitian
E. Manfaat penelitian
F. Sistematika penulisan
BAB II : Kajian Pustaka
A. Tafsir
1. Definisi tafsir
2. Urgensi tafsir
3. Metodologi tafsir
a. Metode-metode penafsiran
b. Sumber-sumber penafsiran
c. Corak-corak penafsiran
d. Sistematika penyajian penafsiran
B. Penelitian terdahulu
C. Kerangka berfikir
BAB III : Metode Penelitian
A. Jenis dan pendekatan
B. Sumber data
C. Teknik pengumpulan data
D. Teknik analisis data
BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Setting-Biografi Imam Jalaluddin al-Suyuti
1. Riwayat hidup
2. Perjalanan intelektual
3. Guru dan murid Imam Jalal al-Din al-Suyuthi
4. Karya intelektual
B. Perkenalan dengan Kitab Tafsir al-Iklil fi Istinbath
al-Tanzil
1. Nama kitab dan penisbatannya kepada Imam
Jalal al-Din al-Suyuthi
2. Latar belakang penulisan kitab tafsir al-Iklil fi
Istinbath al-Tanzil
C. Metodologi Penafsiran Kitab Tafsir al-Iklil fi
Istinbath al-Tanzil
1. Metode penafsiran
2. Sumber penafsiran
3. Corak penafsiran
4. Sistematika penyajian penafsiran

8
BAB V : Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai