TAFSIR AL-IBRI<Z
SKRIPSI
Oleh:
MAR‟ATUS SHOLIKHAH
NIM. 210413016
Pembimbing:
PONOROGO
2017
1
ABSTRAK
Mar‟atus Sholikhah, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, Jurusan Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir, semester VIII, Pembimbing Zahrul Fata, Ph. D, Judul Skripsi
Pandangan Fiqih KH. Bisri Mustofa dalam Tafsir Al-Ibri>z (Kajian Ayat-Ayat
Ibadah).
Kata Kunci: Pandangan Fiqih, KH. Bisri Mustofa, Tafsir al-Ibri>z, Ayat-ayat
Ibadah
Perkembangan penafsiran dengan beragam metode dan corak penafsiran
dari periode ke periode tidak lepas dari beberapa faktor baik dari mufassir sendiri
maupun faktor kondisi sosial yang melingkupinya. Fanatisme madhhab
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mufassir dalam upaya
menginterpretasi ayat-ayat al-Qur‟an, khususnya ayat-ayat hukum. Penelitian
yang berjudul Pandangan Fiqih KH. Bisri Mustofa dalam Tafsir Al-Ibri>z
(Kajian Ayat-Ayat Ibadah) adalah upaya untuk mengetahui kecenderungan
madhhab melalui pandangan fiqih KH. Bisri Mustofa dalam menafsirkan ayat-
ayat ibadah.
Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
metode dan corak tafsir al-Ibri>z serta pandangan fikih KH. Bisri Mustofa terhadap
ayat-ayat ibadah. Penelitian ini membahas bentuk penafsiran, metode penafsiran,
corak penafsiran yang terdapat dalam tafir al-Ibri>z dan penafsiran KH. Bisri
Mustofa terhadap ayat-ayat ibadah serta pandangan fikihnya dalam menafsirkan
ayat-ayat ibadah dalam tafsir al-Ibri>z.
Jenis penelitian ini adalah library research, sehingga data-data yang
diperoleh berasal dari sumber data primer yaitu tafsir al-Ibri>z karya KH. Bisri
Mustofa dan dari sumber data sekunder berupa karya-karya KH. Bisri Mustofa
yang lain serta kitab-kitab tafsir ahkam dan kitab-kitab perbandingan madhhab.
Karena penelitian ini membahas penafsiran ayat-ayat ibadah maka analisi
penelitian ini menggunakan metode mawd}u‟i>/tematik, serta deskriptif analitis
untuk menggambarkan keadaan subyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang
ada.
Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa metode tafsir al-Ibri>z termasuk
termasuk metode tah}li>li>dengan corak penafsiran yang mencakup berbagai corak,
seperti corak fikih, tasawuf, „ilmi, falsafi, ada>b al-ijtima>‟i>. Selanjutnya,KH. Bisri
Mustofa dalam menafsirkan ayat-ayat ibadah tentang t}aha>rah, shalat, zakat, puasa
dan haji, secara umum menafsirkannya secara global. Meski demikian dapat
dipahami bahwa dari penafsirannya terhadap ayat-tayat tersebut cenderung
terbuka terhadap pendapat beberapa madhhab. Sehingga penafsirannya bersifat
moderat dan dapat juga dikatakan bahwa pemikiran fiqihnya bercorak moderat
atau dapat juga dikatakan berada di antara tipe restriction of traditionalist dan
socio historical approach.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammad saw sebagai Khata>m al-Anbiya>‟ (penutup para nabi), sehingga tidak
akan turun lagi kitab samawi setelah al-Qur‟an. Al-Qur‟an sebagai pedoman
pertama dan utama umat Islam diturunkan Allah Swt dalam bahasa Arab. Untuk
kehidupan, diperlukan sebuah penafsiran bagi suatu umat, apalagi bagi orang-
Sampai hari ini usaha mempelajari al-Qur‟an tak kunjung berhenti. Hal ini
bagi seluruh umat manusia sepanjang masa (s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n). Akan
tidak seluruh ayat al-Qur‟an mudah dimengerti kandungannya. Sebagian ayat al-
Qur‟an memang cukup gamblang ketika menjelaskan sesuatu, namun tak sedikit
munculnya figur-figur orang yang telaten memahami dan menggali makna al-
1
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia, (Solo: Tiga
Serangkai, 2003), 1.
2
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), 3.
3
Sebagaimana disebut sebagai ayat-ayat muh}kam dan ayat-ayat mutasya>biha>t dalam al-
Qur‟a>n Surah Ali „Imra>n, 3:7
3
2
Saw.Nabi bertindak sebagai penafsir pertama dan utama karena tafsir diberikan
langsung oleh beliau berdasarkan wahyu atau ilham dari Allah Swt, baik langsung
penafsiran dilanjutkan oleh para sahabat, ta>bi„i>n dan para ulama yang datang
sesudah mereka.
untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-
penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Di antara faktor yang dapat
motivasi mufassir. Selain itu juga dapat dipengaruhi faktor perbedaan masa dan
Berbagai kitab tafsir yang muncul saat ini tidak lepas dari lahirnya tafsir
pada masa Nabi dan sahabat. Pada periode ini tatkala para sahabat menemukan
sebagai tafsir bil ma‟tsu>r di samping juga dikategorikan sebagai tafsir fiqh.
Demikian juga setelah Nabi wafat, ijtihad yang dilakukan para sahabat dan ta>bi„i>n
4
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia, 7.
5
Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 253.
3
sebagai tafsir bil ma‟tsu>r di samping juga dapat dikategorikan sebagai tafsir fiqh.6
tumbuh pada zaman ta>bi„i>n dan ta>bi„ al-ta>bi„i>n. Sehingga, sebagian tafsir ta>bi„i>n
berlebihan.8
karena itu, setiap imam madhhab berijtihad di bawah naungan al-Qur‟an, sunah,
yang dianutnya. Namun ada juga yang tidak fanatik dengan madhhab yang
6
Abdul Hayy al-Farrmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i, terj. Rosihon Anwar, (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), 30.
7
Ibid., 31.
8
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia, 13.
9
Rachmat syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, 31.
4
atau keseluruhan, ada pula yang pembahasannya lebih berorientasi kepada hukum.
Bahkan ada yang membatasi pembatasan kitab tafsirnya khusus kepada ayat-ayat
hukum.12
10
Ibid., 31.
11
Di antaranya Ah}ka>m al-Qur‟a>n karya al-Jas}s}as} yang pembahasan fikihnya terlalu
fanatik terhadap madhhab H}anafi>. Ah}ka>m al-Qur‟a>n karya Ibn al-„Arabi> yang bermadhhab Ma>liki
namun dalam pembahasannya ia tidak terlalu fanatik terhadap madhhab yang dianutnya. Lihat M.
Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, 141.
12
Kitab-kitab tersebut kemudian populer dengan sebutan kitab-kitab tafsir ayat ah}ka>m
atau disebut juga tafsir ah}ka>m.M. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, 141.
13
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia, 31.
5
Departemen Agama R.I (1967), Tafsir An-Nuur oleh Hasbi ash-Shiddiqi (1973),
Tafsir Qur‟an Karim oleh Mahmud Yunus, Tafsir Al-Mishbah oleh Quraish
Selain yang berbahasa Indonesia, tafsir yang berbahasa daerah pun beredar
Muhammad Ramli dalam bahasa Sunda (1974) dan kitab al-Ibri>z oleh KH. Bisri
mufassir yang satu dengan yang lain tentunya berbeda sesuai dengan corak
madhhab yang mewarnai corak penafsiran di Indonesia, salah satunya yaitu tafsir
keagamaan yang oleh banyak kalangan dinilai bersifat moderat. Sifat moderat
14
Hal ini tidak lepas dari awal mula ajaran Islam sampai ke Indonesia yang dibawa oleh
Pedagang Arab dan India yang bermadhhab Sha>fi‟i>. Selanjutnya paham Sha>fi‟i> banyak
berkembang di seluruh pelosok Indonesia melalui para wali yang dikenal dengan “Wali Songo”.
Dalam pengajarannya, mereka berpedoman kepada madhhab Sha>fi‟i>. Lihat M. Ali Hasan,
Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 108.
6
moderatnya ini antara lain sikapnya yang menerima konsep Nasakom15, Keluarga
berbagai madhhab. Sebab, untuk mengetahui pandangan fiqih seseorang tidak bisa
Dengan demikian, maka untuk penelitian ini penulis memilih judul “Pandangan
15
Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dalam artian bahwa PNI (untuk
nasionalisme), NU (untuk agama), dan PKI (untuk komunisme) yang dipelopori oleh Soekarno
mendapat banyak kritikan, cemoohan dan banyak orang yang tidak setuju. KH. Bisri Mustofa
sebagai tokoh NU yang sangat berpengaruh waktu itu justru sangat gigih mempropagandakan dan
memperjuangkan ide nasakom ini. Sikapnya itu didasarkan atas pertimbangan bahwa ketika
sebuah pemerintahan terdiri dari kekuatan masyarakat yang mayoritas maka pemerintahan tersebut
menjadi kuat dan solid. Sehingga, pemerintah bisa mengetahui kebutuhan dan mampu memberikan
yang terbaik bagi mayoritas warga bangsa Indonesia. Selain itu, dengan bergabungnya NU
(sebagai tempat berkumpulnya para ulama) dalam nasakom diharapkan mampu memberikan
kontribusi yang besar dan menjadi penengah bagi segala konflik yang ada. Lihat, Ahmad Zainal
Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2011), 59.
16
Dalam mengemukakan pendapatnya tentang KB ini KH. Bisri Mustofa menyusun
sebuah buku yang berjudul “Islam dan Keluarga Berencana” (BKKBN, 1970). Sekitar tahun 1968
pada waktu mayoritas ulama NU belum menerima adanya KB, KH. Bisri sudah menerimanya. Ia
menjelaskan bahwa unsur ikhtiar lebih dominan dibanding kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Hal ini diumpamakan kalau jatah makan bagi setiap keluarga hanya cukup untuk empat
piring, hendaknya tiap keluarga tidak menambah anggota keluarganya karena penambahan
anggota keluarga tanpa rencana dapat mengurangi jatah anggota keluarga yang lain. Lihat, Ahmad
Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 61.
7
B. Batasan Masalah
pembahasan terfokus dan tidak melebar, maka penulis perlu memberi batasan
dalam penelitian ini tidak semua ayat-ayat ibadah dalam al-Qur‟a>n yang
dibahas. Dengan demikian, penulis membatasi objek kajian yang akan dibahas
hanya pada ayat-ayat ibadahmah}d}ah saja, yaitu tentang t}aha>rah, shalat, zakat,
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
D. Tujuan Penelitian
E. Kegunaan Penelitian
bidang tafsir, khususnya tafsir lokal karya KH. Bisri Mustofa. Dalam
penelitian ini disajikan paparan tentangmetode dan corak penafsiran tafsir al-
Ibri>z beserta pandangan fiqih KH. Bisri Mustofa terhadap ayat-ayat ibadah
F. Telaah Pustaka
yang sedang dibahas. Dalam hal ini ada dua teori, yaitu empirik dan teoritik.
sulit atau tidaknya kemungkinan orang awam ketika memahami ayat tersebut.
9
Analisis Tafsir Al-Ibriz) thesis yang ditulis oleh Fejrian Yazdajird Iwanebel,
penafsiran KH. Bisri Mustofa dalam tafsirnya Al-Ibriz. Secara analisis tafsir
lokal ini dapat dimasukkan dalam kategori corak adab ijtima‟i, menekankan
pada aspek ilmiah, selain juga yang menjadi utama dalam pembahasan di sini
adalah corak mistis. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kedudukan tafsir
modern quasi sains, meski diwarnai dengan dominasi akar kebudayaan yang
ditulis oleh Abu Rokhmad ini memaparkan tentang karakteristik tafsir al-Ibri>z
yang meliputi aspek penulisan dan aspek metode penafsiran dalam tafsir al-
Ibri>z. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa tafsir al-Ibriz disusun dengan
metode tahli>li> dan dari sisi karakteristiknya tafsir al-Ibriz sangat sederhana
ekonomi dan perdagangan. Buku ini mencoba memotret seorang KH. Bisri
10
Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1997. Buku ini membahas tentang penafsiran
kesimpulan.
yang secara khusus membahas tentang penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap
ayat-ayat tentang ibadah. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
yang berasal dari kajian teks atau buku-buku yang relevan dengan pokok
masalah di atas.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu:
buku yang dapat melengkapi sumber data primer dan dapat membantu
dalam studi analisis. Sumber data sekunder ini antara lain berupa karya-
karya KH. Bisri Mustofa yang lain khususnya dalam bidang fiqih.
Selain itu, sumber data sekunder diperoleh dari kitab-kitab tafsir ah}ka>m,
corak penafsiran KH. Bisri Mustofa dalam tafsir al-Ibri>z. Selain itu juga
ibadah.
sesuai dengan judul dan tema. Dalam hal ini, untuk menghimpun ayat-ayat
ibadah tentang t}aha>rah, shalat, zakat, puasa dan haji, menggunakan tafsir
4. Analisis Data
sebagai berikut:
17
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),
94.
13
H. Sistematika Pembahasan
Agar lebih mudah dalam pembahasan ini, maka penulis akan membagi
lima bab dan beberapa sub bab yang secara garis besar dapat digambarkan
sebagai berikut:
3. Bab ketiga berisi biografi KH. Bisri Mustofa, perjalanan intelektual dan
politik, serta pemikiran dan karya-karya KH. Bisri Mustofa. Selain itu juga
latar belakang penulisan tafsir, serta metode dan corak penafsiran dalam
ayat-ayat ibadah.
5. Bab kelima berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
18
Ibid., 45-46.
14
BAB II
A. Fiqih
1. Definisi Fiqih
Secara bahasa, fiqih berasal dari kata faqiha yafqahu fiqhan yang
berarti mengerti atau paham. Paham yang dimaksud adalah upaya aqliyah
dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-
masalah keimanan atau „aqidah, tidak termasuk dalam ruang lingkup fiqih.21
yang luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dan realita Islam dan
19
Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 13.
20
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 36.
21
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 6.
15
tidak memiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Akan tetapi,
berlalunya waktu, fiqih menjadi istilah teknis untuk menyebut suatu disiplin
ibahah, sunnah dan makruh, juga mengenai apakah suatu transaksi itu sah
korelasi yang sangat erat. Syariat diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan
Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang
baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Ketentuan Allah tersebut
Allah tentang tingkah laku manusia, harus ada pemahaman yang mendalam
tentang syari‟at. Hasil pemahaman itu tertuang dalam bentuk ketentuan yang
22
Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
11-13.
23
Yakni yang berhubungan dengan aqidah dan „amaliyah maupun akhlak.
24
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
20.
25
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 8.
16
disebut fiqih.26
Qur‟an dan al-Sunnah, sedang fiqih sifatnya lebih fungsional karena teks-teks
demikian. Oleh karena itu, fiqih sebagai petunjuk praktis pengamalan syariat
26
Ibid., 8.
27
Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, 18.
28
Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola Mazhab (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2010), 257-259.
17
dengan merujuk nas} secara redaksional, tidak pada inti ajaran yang
agama dilihat pada ada atau tidaknya referensi tekstual nas}. Amalan
agama dianggap benar ketika ada dalil dari nas} secara tersurat. Dapat
Mahfudh, KH. Ali Yafie, dan Masdar F. Mas‟udi adalah contoh lain
1) Fiqih Literalistik-Tekstualistik
Qur‟an dan h}adi>th didekati secara literalistik. Apa yang dinyatakan oleh
teks, itulah yang dipegangi. Karena itu, ciri menonjol fiqih literal adalah
tekstualistik-linguistik.
29
Sofyan A. P. Kau, Fikih Alternatif (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013), 111.
19
secara tekstualistik.30
2) Fiqih Liberal
pemikiran hukum Islam Liberal berada pada posisi oposisi. Karena itu,
berpendapat demikian yaitu Abu> H{ani>fah, Abu> Tsaur, Ibnu Jarir al-
3) Fiqih Moderat
karakteristiknya. Di antara pendapat tersebut, ada yang ketat dan ada pula
yang longgat. Pendapat fiqih yang berada pada posisi antara keduanya
(yang bersifat ketat dan longgar), itulah yang dimaksud sebagai fiqih
moderat. Atau dalam bahasa lain, mengambil jalan tengah di antara dua
30
Ibid., 111.
31
Ibid., 127.
20
4) Fiqih Sufistik
sufistik. Dapat juga dimaknai fiqih yang bercorak tasawuf atau sufisme.
32
Ibid., 134.
33
Ibid., 147.
21
B. Madhhab
Menurut bahasa, madhhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Kata
jalan pikiran atau metode ijtihad yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
Atau berarti fatwa-fatwa imam mujtahid tentang hukum dari suatu peristiwa
imam mujtahid dan hal ini sama dengan bertaqlid dengan hasil ijtihadnya para
imam mujtahid.38
34
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 86.
35
Maksudnya mengenai hukum suatu permasalahan yang belum ditegaskan oleh nash dan
identik dengan fiqih atau ijtihad mengenai suatu hukum. Misalnya, menyentuh wanita bukan
mahram membatalkan wudhu menurut madhhab Sha>fi‟i>. Lihat Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh, 35.
36
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 86.
37
Muhammad Ma‟shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab Studi Analisis Istinbath
para Fuqaha (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 95.
38
Ibid., 97.
22
2. Pluralitas Madhhab
pemahaman terhadap ajaran Islam yang merupakan hasil ijtihad dari para
terkenal dan memilki pengikut yang mayoritas, ada empat madhhab, yaitu
madhhab H{anafi yang dipelopori oleh Imam Abu} H{ani}fah, madhhab Ma>liki
yang dipelopori oleh Imam Ma>lik bin Anas, madhhab Sha>fi‟i> yang dipelopori
madhhab yang sudah diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia merupakan
hasil ijtihad para imam mujtahid, sedang ijtihad itu sendiri merupakan upaya
menggali isi kandungan al-Qur‟an dan al-H{adi>th untuk dikaji, diteliti dan
39
Ibid.
40
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, 37.
41
Ibid., 49.
23
positif.42
Oleh sebab itu, maka orang yang bermadhhab adalah orang yang
para imam mujtahid juga manusia biasa yang tidak bisa terlepas dari
kesalahan.43
C. Ah}ka>m
1. Definisi Ah}ka>m
sesuatu (ithba>t al-shay‟ „ala> al-shay‟), atau bisa juga diartikan dengan
manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun oleh orang yang diberi
anggotanya.45
42
Muhammad Ma‟shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab Studi Analisis Istinbath
para Fuqaha, 100.
43
Ibid., 101.
44
M. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 27.
45
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 9.
24
berdasarkan wahyu Allah dan atau sunnah tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama
Islam.46
Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu diatur seperangkat ukuran
tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut h}ukm jamaknya ah}ka>m.47
ushul fiqih seperti diformulasikan Abdul Wahhab Khallaf dan lain-lain ialah
semua bentuk dalil, baik al-Qur‟an maupun al-Sunnah.49 Dalil disini dipahami
sebagai dalil nas} yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Sedangkan
yang berasal dari selain al-Qur‟an dan al-Sunnah disebut dalil ghair nas} atau
dalil ijtihadi yang merujuk pada hasil ijtihad manusia, seperti ijma‟, qiyas,
istih}san, maslah}ah mursalah, „urf, istish}ab, syariat umat sebelum Islam dan
46
Ibid., 9.
47
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 43.
48
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, terj. Faiz el Muttaqin,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 136.
49
Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, 209.
25
berarti bahwa semua ayat dalam al-Qur‟an berbicara tentang hukum. Hanya
sebagian isi al-Qur‟an yang berbicara tentang hukum, yaitu yang menyangkut
manusia baik yang terkait hubungan kepada Tuhan, maupun dengan sesama
dengan istilah ayat al-ah}ka>m atau a>ya>t al-fiqhiyyah (ayat-ayat tentang fikih),
fiqh al-kita>b (fikih al-Qur‟an). Demikian pula lazim disebut dengan istilah
50
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, 81.
51
Ibid.,, 87.
52
M. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, 26.
53
Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, terj. Faiz el
Muttaqin, 32-34.
54
Wahbah Zuhaili, Al-Qur‟an Paradigma Hukum dan Peradaban, terj. Moh. Luqman
Hakim, Moh. Fuad Hariri (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 28-30.
26
hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf yang berkaitan dengan
rukun iman.
mukallaf. Bentuk hukum ini biasa disebut dengan istilah fiqh al-Qur‟a>n.
ibadah haji.
55
Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, 32-33, dan
Wahbah Zuhaili, Al-Qur‟an Paradigma Hukum dan Peradaban, 28-29.
27
ma>liyyah).57
56
Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, 70.
57
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, terj. Faiz el Muttaqin,
33-34.
28
baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad60 sehingga metode
ijtihad sebagai dasar penetapan hukum dari suatu peristiwa yang tidak ada
58
Wahbah Zuhaili, Al-Qur‟an Paradigma Hukum dan Peradaban, terj. Moh. Luqman
Hakim, Moh. Fuad Hariri, 30.
59
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, terj. Faiz el Muttaqin,
35.
60
Muhammad Ma‟shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab Studi Analisis Istinbath
para Fuqaha, 6.
61
Ibid., 72.
62
Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, 25.
29
jalan yang ditempuh dalam menggali makna-makna hukum baik yang tekstual
maupun kontekstual .
30
BAB III
TAFSIR AL-IBRI<Z
KH. Bisri Mustofa lahir pada tahun 1915 di Kampung Sawahan Gg.
Palen Rembang Jawa Tengah.63 Putera dari pasangan suami istri H. Zainal
Mustofa dan Chodijah ini semula diberi nama Mashadi. Mashadi adalah nama
asli dari KH. Bisri Mustofa yang kemudian setelah ia menunaikan ibadah haji
kandung dari pasangan H. Zainal Mustofa dan Chodijah. Selain itu pasangan
ini juga mempunyai anak-anak tiri dari suami atau istri sebelumnya. Sebelum
Dakilah, dan mendapatkan dua orang anak, yaitu H. Zuhdi dan H. Maskanah.
Pada tahun 1923, KH. Zainal Mustofa menunaikan ibadah haji beserta
istri dan anak-anaknya yang saat itu masih kecil. Mereka terdiri dari Mashadi
(8 tahun), Salamah (3,5 tahun), Misbach (3,5 tahun), dan Ma‟shum (1 tahun).
63
Saifulloh Ma‟sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU(Bandung:
Mizan, 1998), 319.
64
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri
Mustofa(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), 8.
65
Ibid., 8-9.
31
Rombongan sekeluarga itu pergi ke tanah suci menggunakan kapal haji milik
menjalankan ibadah haji di tanah suci tersebut KH. Zainal Mustofa sering
sakit-sakitan. Hingga pada saatnya selesai ibadah haji dan akan berangkat ke
Jeddah untuk kembali ke Indonesia, beliau dalam keadaan sakit keras dan
akhirnya kembali ke Indonesia tanpa seorang ayah dan mereka juga tidak tahu
di mana makam almarhum KH. Zainal Mustofa. Setelah pulang dari ibadah
selanjutnya KH. Bisri Mustofa bersama adik-adiknya yang masih kecil diasuh
oleh kakak tirinya, H. Zuhdi (ayah Prof. Drs. Masfu‟ Zuhdi) dan dibantu H.
66
Saifulloh Ma‟sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, 320.
67
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 10.
68
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media
Indonesia, 2009), 270.
32
keluarga Raden Sudjono, mantri guru HIS yang bertempat tinggal di Sawahan
Rembang Jawa Tengah dan menjadi tetangga keluarga Bisri. Akan tetapi,
setelah KH. Cholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri sekolah di HIS, beliau
dilakukan oleh KH. Cholil dengan alasan bahwa HIS adalah sekolah milik
penjajah Belanda yang dikhususkan bagi para anak pegawai negeri yang
boleh mengaku atau diakui sebagai keluarga orang lain supaya bisa belajar di
sana.
Alasan lain KH. Cholil tidak menyetujui Bisri sekolah di HIS karena
beliau benci dengan penjajah Belanda dan sangat khawatir Bisri nantinya
bulan puasa). Akan tetapi baru tiga hari mondok, Bisri sudah tidak kerasan
dan akhirnya kembali ke rumah. Pada tahun 1926 setelah lulus sekolah di
33
Ongko 2, Bisri diperintah oleh kakaknya untuk mengaji kepada KH. Cholil di
pelajaran nah}wu dan s}araf. Selain itu, Bisri menganggap bahwa KH. Cholil
adalah sosok yang galak dan keras, sehingga ia takut mendapat hukuman
apabila tidak dapat menghafal dan memahami pelajaran yang diberikan. Bisri
Keinginan Bisri pada waktu itu bukanlah mengaji, tetapi ingin bekerja
pedagang.
1930 Bisri diperintahkan untuk kembali belajar mengaji pada KH. Cholil
Kasingan. Merasa belum siap untuk mengaji langsung kepada KH. Cholil,
Bisri memilih untuk terlebih dahulu belajar pada Suja‟i (ipar KH. Cholil).
Oleh Suja‟i, Bisri diajari kitab Alfiyah ibnu Ma>lik dan hanya memperdalam
kitab itu selama dua tahun. Setelah mampu menguasai kitab itu, Bisri
kemudian ikut serta mengaji kitab Alfiyah secara langsung pada KH. Cholil.
69
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 12.
34
Pada tahun 1932, Bisri minta restu kepada KH. Cholil untuk pindah ke
Termas yang waktu itu diasuh oleh Kiai Dimyati. Akan tetapi, KH. Cholil
Kasingan dengan alasan bahwa di Kasingan pun Bisri tidak akan bisa
Bisri sebagai menantu. Pada Juni 1935 berlangsung perkawinan Bisri yang
waktu itu berusia 20 tahun dengan Ma‟rufah binti Cholil yang baru 10 tahun.
kurang sekali. Para santri yang minta mengaji kepada Bisri menganggap
bahwa ia seorang yang pintar dan menguasai banyak ilmu. Akan tetapi Bisri
merasa bahwa dirinya belum mampu dan belum cukup ilmu. Akhirnya Bisri
Rembang.
Pada tahun 1936 Bisri menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah
dan menetap di sana selama setahun dan baru pulang pada musim haji tahun
Alwi al-Ma>liki, Sayyid Amin, Shaykh H{asan Mashshat} dan Sayyid Alwi,
(menantu KH. Hasyim Asy‟ari) dan KH. Bakir (asal Yogtakarta). Untuk
demikian, pesantren yang didirikan dan diasuh oleh KH. Bisri Mustofa ini
tetap hidup dan berkembang hingga sekarang, walaupun telah ditinggal wafat
pesantren, KH. Bisri aktif dalam berbagai kegiatan organisasi sosial maupun
politik sejak usia mudanya di masa penjajahan. Pada tahun 1943, dia
mengikuti pelatihan alim ulama yang diadakan Jepang di Jakarta dan menjadi
73
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, 271.
36
Syuro Muslimin Indonesia) cabang Rembang. Ketua Masyumi pada waktu itu
Hadikusumo.
membentuk sebuah Jawatan Agama atau Kantor Urusan Agama yang diketuai
diketuai oleh KH. Abdul Manan dengan dibantu oleh KH. Bisri Mustofa
Bisri Mustofa meminta keluar dari jabatan sebagai pegawai Kantor Urusan
tidak memiliki SK. Hal ini kemudian dilaporkan oleh salah seorang pegawai
74
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 32.
75
Saifulloh Ma‟sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, 318.
37
Akhirnya KH. Bisri ditahan dan diadili oleh kepolisian Rembang dan
lebih setahun. Selama dalam masa tahanan inilah kemudian KH. Bisri
Pada masa pemilu 1955, KH. Bisri Mustofa menjadi ketua Partai NU
keluar dari Masyumi, KH. Bisri juga ikut keluar dari Masyumi dan mulai
aktif di Partai NU. Pada pemilu tersebut KH. Bisri Mustofa berhasil lolos
Konstituante bubar pada masa Sukarno, KH. Bisri ditunjuk sebagai anggota
MPRS dari unsur ulama dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai
anggota MPRS, dia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai
Pada masa Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I
Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari
Utusan Daerah Golongan Utama. Ketika terjadi fusi empat Partai Islam
pemilu 1977, ulama ini masuk daftar calon anggota DPR mewakili PPP Jawa
Tengah. Akan tetapi, sekitar seminggu sebelum kampanye Pemilu 1977, KH.
76
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 34-
44.
77
Saifulloh Ma‟sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, 318.
38
Bisri Mustofa wafat di Rumah Sakit Umum Dr. Karyadi Semarang karena
serangan jantung, tekanan darah tinggi dan gangguan paru-paru. KH. Bisri
KH. Bisri Mustofa juga dikenal sebagai ulama yang moderat baik
moderat yang dimiliki KH. Bisri Mustofa tersebut dalam artian lebih
78
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 55-
56.
79
Ibid., 60-61.
39
terjebak pada idiom-idiom fiqih yang kadang kala terlalu kaku dalam
melihat suatu masalah. Bukti sikap moderatnya antara lain sikapnya yang
lain.
manusia.
konsep Ahlus sunnah Wal Jama‟ah dalam setiap aspek kehidupan umat
80
AchmadZainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 62.
40
solidaritas dan kepedulian sosial. Jika umat Islam memiliki semangat ini
tangan Allah itu berbeda dengan wajah, mata, tangan yang ada pada
manusia.83
dengan suatu kondisi yang ketika seseorang merasa lega atas hasil
usahanya. Faktor kondisi inilah yang sering dilupakan oleh orang lain
termasuk para kiai dalam menuntut keikhlasan. Dalam hal ini, KH. Bisri
mendapatkan nafkah.84
seorang ulama orator yang cukup terkenal. Selain dikenal sebagai ulama,
politikus, maupun orator, KH. Bisri Mustofa juga dikenal sebagai penulis
83
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 63-
69.
84
Ibid., 82.
42
Mustofa dalam bidang menulis ini telah digelutinya sejak usia muda.
Sebagai seorang muallif yang aktif, banyak karya-karya beliau yang telah
hingga sekarang.85
Tafsir, ilmu H{adi>th dan H{adi>th, ilmu Nah}wu, ilmu S{araf, Sha>ri‟ah atau
Pegon, ada yang berbahasa Indonesia bertuliskan Arab Pegon, ada yang
ada pula saduran atau terjemahan dari kitab-kitab kuning untuk kalangan
a. Bidang tafsir
85
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, 272.
86
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 72.
43
b. Bidang h}adi>th
4) Al-Bayquniyyah/ilmu h}adi>th
c. Bidang fiqih
1) Safinah al-S{ala>h
3) Manasik Haji
5) Al-Qawa>‟id al-Fiqhiyyah
d. Bidang aqidah
3) Al-„Aqi>dah al-„Awa>m
4) Durar al-Baya>n
e. Bidang akhlaq/Tasawuf
3) Mitra Sejati
4) Naz}am al-Maqs}ud
h. Bidang sastra
Syair-Syair Rajabiyah
i. Bidang sejarah
1) Al-Nibrasy
2) Tarikh al-Anbiya>‟
3) Tarikh al-Awliya>‟
2) Ar-Risalat al-H{asanat
3) Kasykul
4) Khotbah Jum‟at
6) Al-Mujahadah wa al-Riyad}ah
7) Muniyatu al-Zaman
8) At}aifu al-Irshad
45
balaghah.
atau langgar. Dalam hal ini karya-karya untuk mereka lebih banyak
atau warisan berupa kitab atau karya ilmiah biasanya jauh lebih awet
E. Tafsir Al-Ibri>z
87
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 73-
74.
88
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, 273.
46
yang besar.89
al-Ibri>z mulai ditulis. Tetapi tafsir ini diselesaikan pada tanggal 29 Rajab
Ny. Ma‟rufah tafsir al-Ibri>z selesai ditulis setelah kelahiran putrinya yang
terakhir (Atikah) sekitar tahun 1964. Pada tahun ini pula, tafsir al-Ibri>z
tafsir ini tidak disertai perjanjian yang jelas, apakah dengan sistem royalti
atau borongan.90
Salah satu santri KH. Bisri Mustofa dari Sememi Surabaya yang
tafsir al-Ibri>z dalam buku biografi KH. Bisri Mustofa yang ditulis oleh
Bisri Mustofa tersebut kemudian ditulis dan disusun kembali oleh santri
89
Ibid., 272.
90
Abu Rokhmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz,” Analisa,vol. XVIII,
01 ( Januari-Juni, 2011), 32.
47
bahwa ia menyusun tafsir al-Ibri>z tak lain supaya dapat membantu umat
seksama karena hal itu merupakan suatu perbuatan yang mulia. Bahkan
karena anugrah dari Allah Swt dan berkat kemuliaan al-Qur‟an, sehingga
dalam bahasa Jawa dengan bahasa yang ringan, dan mudah dipahami
lokal-daerah seperti Jawa dalam karya tafsir seperti ini, menurut Islah
bahasa Jawa dan menggunakan huruf pegon pada satu sisi akan
91
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa,
100.
92
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 1(Kudus: Menara
Kudus, t.th.), 1.
93
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia(Jakarta: Teraju, 2003), 64.
48
model ini pada akhirnya tidak bisa menghindar dari sifat elitisnya, sebab
seakan-akan karya ini hanya ditulis khusus untuk daerah pemakai bahasa
tersebut.94
memiliki banyak peminat dari kalangan umat Islam hingga saat ini.
bagi orang yang mempelajari kitab tafsir ini biasanya orang yang
dengan huruf Arab Pegon. Tafsir yang diterbitkan dalam tiga jilid95
tafsir yang menjadi sumber rujukan tafsir al-Ibri>z ini antara lain
94
Ibid., 64.
95
Tiap jilid berisi 10 juz, ada juga dalam edisi 30 jilid dengan model 1 juz per jilid.
49
terjemah tafsir ini oleh KH. Bisri Mustofa diberi nama al-Ibri>z fi>
berikut:96
di bawah ayat dengan sistem makna gandul atau arti miring. Sistem
b. Terjemah tafsir ayat ditulis di bagian tepi dengan diberi tanda nomor.
96
Langkah-langkah ini dapat dilihat dalam “Muqaddimah” kitab tafsirnya di hal. 1, dan
berdasarkan pengamatan penulis dalam kitab tafsirnya.
50
lain yang ditulis jadi satu dengan tafsir ayat-ayat al-Qur‟a>n. Ada juga
surat al-Fa>tih}ah dan diakhiri dengan surat al-Na>s, atau yang disebut
Amin, KH. Abu „Umar, KH. Hisyam, dan KH. Sya‟roni Ahmadi.98
tertentu terhadap suatu hasil karya tafsir. Salah satu dari sekian banyak
kitab tafsir adalah tafsir al-Ibri>z yang disusun oleh KH. Bisri Mustofa.
97
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 1, 10.
98
Ibid.,1.
51
a. Bentuk Penafsiran
pemikiran (al-Ra‟y).100
dan diriwayatkan dari nabi, sahabat, dan ta>bi‟i>n dari mulut ke mulut
99
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
386.
100
Kedua bentuk ini, menurut al-Farmawi termasuk pada corak tafsir.
101
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 374.
102
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), 51.
103
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 374.
104
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, 51.
52
b. Metode Penafsiran
kandungan al-Qur‟an ayat per ayat dan surat per surat sesuai
105
Ibid., 2.
53
Qur‟an.108
106
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i dan Cara Penerapannya, terj.
Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 38.
107
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, 14.
108
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i dan Cara Penerapannya, 39.
54
dan sebagainya.109
kandungan al-Qur‟an ayat per ayat dan surat per surat sesuai dengan
dari nabi, sahabat, ta>bi‟i>n, maupun ahli tafsir lainnya. Namun aspek
tidak jauh dari sasaran dan maksud al-Qur‟an. Oleh karena itu, tafsir
ini lebih cocok untuk mereka yang baru belajar tafsir al-Qur‟an.
Tidak heran jika tafsir ini banyak diminati dan masih banyak dikaji
oleh umat Islam dari berbagai strata sosial dan lapisan masyarakat.
c. Karakteristik/Corak Penafsiran
109
Ibid., 44.
55
al-ijtima>‟i>).111
yang spesifik secara mutlak, misalnya fikih, aqidah, atau yang lain.
fiqhiyah seperti shalat, zakat, dan puasa. Demikian juga dengan ayat-
disertai analisis yang panjang lebar, meski ada beberapa ayat yang
ditafsirkan demikian.
110
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 388.
111
Lihat skema ilmu tafsir, Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, 9.
56
BAB IV
F. Ayat-Ayat T{aha>rah
kotoran, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan
dosa. Sedangkan t}aha>rah menurut terminologi syara‟ adalah bersih atau suci
dari najis baik najis faktual semisal kotoran maupun najis h}ukmi, yaitu
hadath. Atau dengan kata lain, t}aha>rah adalah sifat h}ukmiyyah yang
yang khusus berkaitan dengan masalah badan dan bersuci dari najis yang
dari hadath terdiri dari tiga macam, yaitu: wud}u>’, mandi, dan tayammum
sebagai ganti dari keduanya.114 Bersuci dari hadath menjadi syarat bagi orang
yang hendak melakukan shalat. Sehingga, tidak sah shalat seseorang yang
berhadath kecil sebelum ia berwud}u>‟ dan tidak sah pula jika ia berhadath
112
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj.
Kamran As‟at Irsyadi, Ahsan Taqwim (Jakarta: Amzah, 2009), 3.
113
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Salat Empat Madzhab, terj. Abu Firly Bassam Taqiy
(Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2011), 43.
114
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Buku 1, terj. Ahmad Hanafi (Jakarta: Bulan Bintang,
1990),1.
57
tayammum.115
1. Q.S. al-Ma>idah, 5: 6.
mandi, dan tayammum bagi orang yang akan mengerjakan shalat. Bunyi
115
Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
158.
58
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan
shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.
Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan
tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi
Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, agar kamu bersyukur.”116Q.S. al-Ma>idah, 5: 6.
Artinya:
“Hai orang-orang mu‟min! ketika kamu semua akan sembahyang (supaya
berwud}u>’), basuhlah wajah dan tangan kamu serta siku dan usaplah
kepalamu dan basuhlah kakimu serta kedua mata kaki. Jika kamu semua
sedang junub, maka mandilah jinabah terlebih dahulu. Jika kamu semua
sedang sakit (tidak boleh terkena air) atau sedang bepergian, atau sedang
hadats atau menyentuh wanita (atau jima>‟), kemudian kamu tidak
menemukan air, maka tayammumlah dengan debu yang suci. Usaplah
wajah serta tangan kamu. Allah Ta‟ala tidak menghendaki kesulitan,
namun menghendaki supaya kamu semua suci, supaya sempurna ni‟mat-
Nya, dan supaya kamu semua bersyukur.”
116
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. II (Jakarta: Departemen Agama
RI, 2009), 360.
117
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 6, 274-275.
59
dan membasuh kedua kaki sampai mata sebagaimana dalam ayat 6 surat
niat termasuk salah satu rukun wud}u>‟ dan kewajiban yang tidak boleh
dalam berwud}u>‟.122
118
Mahmud Syalthut, Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), 35.
119
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 48.
120
Maksudnya berturut-turut mengerjakan tahap rukun wud}u>‟ tanpa diselingi berhenti
sesaat.
121
Maksudnya menggosok-gosok anggota wud}u>‟ yang dibasuh.
122
Mahmud Syalthut, Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf,
41.
60
sepakat bahwa hal itu merupakan rukun wud}u>‟. Hanya saja mereka
seperempat bagian.123
kedua kaki hingga kedua mata kaki. Para imam madhhab sepakat bahwa
penjelasan lebih mengenai rukun wud}u>’ selain empat perkara yang telah
123
M. Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ayat-Ayat Ibadah), 15.
124
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf (Bandung: Hasyimi, 2014), 27.
125
Dalam muqaddimahnya, KH. Bisri Mustofa menyebutkan bahwa Kitab Safi>nah al-
S{ala>h yang ia terjemahkan dalam bahasa Jawa adalah karangan Sayyid „Abd Alla>h bin „Umar bin
Yah}ya> al-H{ad}rami> yang disharh} oleh Shaykh Muhammad Nawawi> Banten. Terjemah kitab ini
kemudian dinamakan Mis}ba>h al-Musha>h yang berarti lampunya orang-orang yang berjalan. Kitab
61
Adapun rukun wud}u>‟ yang enam itu pertama niat, dalam artian
Kedua, membasuh wajah dengan batasan mulai dari atas kening hingga
ujung dagu dan dari telinga kanan hingga telinga kiri. Demikian juga apa
saja yang ada diperbatasan wajah harus dibasuh kecuali jambang dan
jenggot yang lebat. Ketiga, membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
Namun, jika mengusap rambut yang keluar dari batasan kepala maka
tidak sah. Kelima, membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki, dan
yang keenam tertib, dalam artian berurutan. Jadi, semisal membasuh kaki
sah.126
dengan pendapat ulama Sha>fi‟iyah, di mana terdapat niat dan tertib dalam
rukun wud}u>‟. Selain itu dalam hal mengusap sebagian kepala dan
terjemah yang dicetak oleh penerbit Menara Kudus ini ditulis pada bulan September 1959. Lihat
Bisri Mustofa, Safi>nah al-S{ala>h (Kudus: Menara Kudus, t.th.), 1.
126
Bisri Mustofa, Safi>nah al-S{ala>h(Kudus: Menara Kudus, t.th.), 19-20.
62
tersebut bisa diartikan sebagai menyentuh dengan tangan dan bisa juga
perempuan.130
127
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Buku 1, terj. Ahmad Hanafi (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), 112.
128
Ibid., 59.
129
Dalam artian menyentuh wanita yang bukan mahram.
130
Majdi bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi‟i, terj. M. Misbah,
(Jakarta: Pustaka Azam, 2003), 156.
131
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Salat Empat Madzhab, terj. Abu Firly Bassam Taqiy,
99.
63
menjadi ganti dari mandi wajib. Atau dengan kata lain, tayammum dapat
terhadap madhhab lain. Sebab dalam menafsirkan lafaz}aw la> mastum al-
dengan ayat tayammum karena empat sebab: sakit, safar, buang hajat dan
berbunyi:
132
Sebagaimana dijelaskan dalam Safi>nah al-S{ala>h, 22.
133
Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ayat-Ayat Ibadah) (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997),
29.
64
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat,
ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu
ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri mesjid ketika kamu) dalam
keadaan junub, kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu
mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam
perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah
kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu
dengan (debu) itu. Sungguh Allah Maha Pemaaf , Maha
Pengampun.”134Q.S. al-Nisa>‟, 4: 43.
rampung adus jinabah. Menawa sira kabeh lara kang ora kena
mambu banyu, utawa nuju lelungan ing mangka sira junub,
utawa ngandung hadath, utawa sira hadats sebab nguyuh utawa
bebanyu, utawa anggepok wong wadon nuli sira ora nemu banyu,
sira diparengake tayammum kelawan lebu kang suci. Mangka
ngusapa rahi lan tangan. Inna Alla>h ka>na „afuwwan
ghafu>ran.”135
Artinya:
“Pada permulaan zaman Islam, arak belum dilarang. Tiba-tiba ada orang
yang masih mabuk mengerjakan shalat, bacaannya banyak yang keliru.
Kemudian Allah Ta‟ala menurunkan ayat 43 ini yang berbunyi: hai
orang-orang mu‟min, janganlah kamu semua shalat ketika masih mabuk
hingga kamu semua mengerti apa yang kamu ucapkan. Dan janganlah
kamu shalat ketika kamu masih junub (duduk-duduk di masjid saja tidak
boleh) kecuali orang yang hanya lewat di masjid, dan kecuali jika kamu
semua sudah selesai mandi jinabah. Jika kamu sedang sakit yang tidak
boleh terkena air, atau bepergian sedangkan kamu junub, atau
mengandung hadath, atau kamu berhadath sebab kencing atau buang air
besar atau menyentuh perempuan kemudian tidak menemukan air, kamu
diperbolehkan tayammum dengan debu yang suci. Maka usaplah wajah
tan tanganmu. Inna Alla>h ka>na „afuwwan ghafu>ran.”
berbicara tentang larangan shalat bagi orang yang sedang mabuk dan junub.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan firman Allah la> taqrabu> al-
s}ala>hwa antum suka>ra> dalam petikan ayat tersebut. Sebagian besar ahli tafsir
dan juga Abu> H{ani>fah berpendapat, bahwa yang dimaksud kata s}ala>t tersebut
shalat.136
menunjukkan pada suatu yang berbentuk fisik. Karena itu kata s}ala>t lebih
sesuai diartikan masjid. Demikian ini antara lain adalah pendapat Imam
Sha>fi‟i>.137
bagi orang yang junub tidak tegas, namun dilarang berdasarkan sunnah.
orang yang sedang junub itu tegas ada dalam ayat tersebut, kecuali berjalan
larangan shalat bagi orang yang mabuk dan juga menyebutkan larangan shalat
bagi orang yang junub. Namun dalam penafsirannya itu ia juga menyebutkan
bahwa orang yang junub dilarang duduk di masjid kecuali hanya berlalu saja.
terdapat dua penafsiran, yaitu dalam artian shalat yang sebenarnya dan dalam
apabila hendak mengerjakan shalat dan mengenai hal-hal yang menjadi sebab
137
Ibid., 422.
138
Ibid., 423.
67
menurut KH. Bisri Mustofa tayammum dapat menjadi pengganti t}aha>rah kecil
atau wud}u>‟ bagi orang yang berhadath kecil dan juga t}aha>rah besar atau
mandi bagi orang yang berhadath besar seperti junub. Dan penafsirannyanya
ini bersifat lebih terbuka karena tidak cenderung pada salah satu madhhab
saja.
G. Ayat-Ayat Shalat
Shalat secara harfiah berarti doa atau memohon rahmat. Shalat dalam
arti ini seperti dalam doa shalawat.139 Sedang secara syara‟ shalat adalah
ibadah yang dilakukan dengan perkataan dan perbuatan khusus yang diawali
Islam yang ada. Julukan shalat adalah tiang agama yang diberikan Rasulullah
Shalat menjadi salah satu ibadah yang paling utama karena shalat menjadi
sarana untuk bermunajat dengan Allah SWT dan bertujuan untuk dhikr Alla>h
139
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),57.
140
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Salat Empat Madzhab, terj. Abu Firly Bassam Taqiy,
188.
68
garis besarnya, shalat terbagi menjadi shalat fard}u dan shalat sunnat.143
Q.S. Hu>d, 11: 114, Q.S. al-Isra>‟, 17: 78, Q.S. T{a>ha>, 20: 130, Q.S. al-
Artinya:
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” Q.S. al-
Baqarah, 2: 238.
berikut:
Artinya:
“Kamu sekalian supaya memelihara shalat khususnya shalat yang lebih
pilihan, yaitu shalat „as}ar (dan dikatakan) shalat s}ubuh}, dan sembahlah
Allah dengan ketaatan.”
shalat „as}ar.145
bahwa yang dimaksud dengan shalat wust}a> ialah shalat „as}ar. Hal ini
Kemudian KH. Bisri Mustofa juga menyebutkan bahwa shalat wust}a> ada
tersebut dapat diambil pengertian bahwa KH. Bisri Mustofa tidak hanya
maghrib dan „isha>‟), telah disebutkan dalam beberapa ayat dalam al-
Artinya:
“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang)
dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu
145
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 48.
70
berikut:
Artinya:
“Kamu, Muhammad, dirikanlah shalat pada waktu kedua sudut siang
(pagi dan sore) yaitu shalat s}ubuh> z}uhur dan „as}a>r dan pada waktu
sebagian dari malam, yaitu maghrib dan „isha>‟. Sesungguhnya kebaikan-
kebaikan dapat menghilangkan dosa-dosa kecil. Segala perintah yang
telah disebutkan tadi (masalah istiqamah dan lainnya) menjadi peringatan
bagi orang-orang yang menerima peringatan.”
al-naha>r (pagi dan petang) meliputi shalat subuh}, dhuhur, „asar dan zulfa
Artinya:
“Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya
malam dan (laksanakanlah pula shalat) subuh. Sungguh, shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat).”149Q.S. al-Isra>‟, 17: 78.
146
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. IV, 483.
147
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 12, 658-659.
148
Abdul Hamid, Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, 192.
71
Artinya:
“Dirikanlah shalatsejak waktu tergelincirnya matahari hingga gelapnya
malam (yaitu shalat z}uhr, „as}ar, maghrib lan „isya>‟) dan juga shalat fajar
(yaitu shalat s}ubuh}). Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (malaikat
malam dan malaikat siang).”
mencakup waktu shalat z}uhr dan shalat „as}ar, ghasaq al-layl (gelap
dan shalat „is}a>‟, dan fajar (terbit fajar) yang menunjukkan waktu shalat
s}ubuh}.151
shalat wajib, yaitu dalam Q.S. T{a>ha>, 20: 130, Q.S. al-Ru>m, 30: 17-18,
149
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. V, 524.
150
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 15, 860.
151
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia, 59-60.
72
Artinya:
“Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan,
dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit dan
sebelum terbenam, dan bertasbih (pula) pada waktu tengah malam dan
di ujung siang hari, agar engkau merasa tenang.”152Q.S. T{a>ha>, 20: 130.
sebagai berikut:
Artinya:
“Maka bersabarlah kamu, Muhammad! Menghadapi apa yang diucapkan
oleh kuffar Makkah dan shalatlah kamu dengan memuji Tuhanmu
sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat s}ubuh) dan sebelum
terbenamnya matahari (yaitu shalat „as{ar) dan juga pada saat-saat malam
shalatlah kamu (yaitu maghrib dan „isha>‟) dan juga pada waktu dari
kedua sudutnya siang hari (yaitu s}alat z}uhur, maka waktu z}uhr disebut
dua sudutnya siang hari—sebab waktu z}uhr itu berada di akhir separuh
siang yang awal—dan permulaannya separuh siang yang kedua). Semua
itu supaya kamu ridha dan senang menerima pahala.”
Artinya:
17. “Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi
hari (waktu subuh).”
152
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. VI, 211.
153
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 16, 1010.
73
18. “Dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari
dan pada waktu zuhur (tengah hari).”154 Q.S. al-Ru>m, 30: 17-18.
17. “Mangka Maha Suci Allah Ta‟ala, nalika sira kabeh manjing
ing wektu surub lan nalika sira kabeh manjing ing wektu subuh
(ateghes sira kabeh padhaha shalat (nyucekake pengeran) ing
wektu sakwuse surub iya iku shalat maghrib lan „isha>‟ lan ing
wektu subuh iya iku shalat s}ubuh}.”
18. “Lan iku namung kagungane Allah Ta‟ala dhewe, sekabehane
puji ana ing langit-langit lan bumi lan (uga shalat) ing wektu
sore (iya iku shalat „as}ar) lan nalikane sira kabeh manjing ing
wektu tengahe rina (iya iku shalat z}uhur).”155
Artinya:
17. “Maha suci Allah Ta‟ala ketika kamu berada di waktu petang dan
ketika kamu berada di waktu subuh (maksudnya s}alatlah kamu semua
(mensucikan Tuhanmu) pada waktu petang, yaitu shalat maghrib dan
„isha>‟ dan pada waktu subuh yaitu shalat s}ubuh}.”
18. “Dan hanya milik Allah segala puji di langit dan di bumi dan (juga
shalat) pada waktu sore (yaitu shalat „as}ar) dan ketika kamu semua
berada di tengah waktu siang (yaitu shalat z}uhur).”
Artinya:
25. “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang.”
26. “Dan pada sebagian dari malam, maka bersujudlah kepada-Nya dan
bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam
hari.”156Q>S> al-Insa>n, 76: 25-26.
154
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. VII, 471.
155
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 21, 1383-1385.
156
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. X, 482.
74
26. “Lan ana ing sebagiane bengi, sira sujud marang Allah
Ta‟ala (maghrib lan „isha>‟) lan sira sucekna Allah Ta‟ala ana ing
bengi kang dawa (ateghes shalat tat}awwu‟ ana ing bengi, rong
protelone bengi utawa separone bengi utawa sak protelone
bengi).”157
Artinya:
25. “Sebutlah nama Tuhanmu (di dalam shalat) pada waktu pagi dan
waktu sore (s}ubuh}, z}uhr dan „as}ar).”
26. “Dan pada sebagian malam, kamu sujud pada Allah Ta‟ala (maghrib
lan „isya>‟) dan sucikanlah Allah Ta‟ala pada waktu yang panjang
(maksudnya shalat tat}awwu‟ pada waktu malam, dua pertiga malam atau
setengahnya malam atau sepertiga malam).”
dalam beberapa ayat di atas, empat imam madhhab sepakat bahwa awal
waktu z}uhr adalah ketika matahari sudah tergelincir dan berakhir ketika
bayangan setiap benda sama dengan tinggi benda tersebut. 158 Kemudian
permulaan waktu shalat „as}ar yang disepakati para ulama adalah ketika
matahari.159
157
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 29, 2188.
158
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 46.
159
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj.
Kamran As‟at Irsyady, Ahsan Taqwim, 156.
160
Ibid., 157.
75
adalah terbitnya fajar kedua, yaitu fajar s}adiq yang cahayanya tersebar di
ufuk dan tidak ada gelap sesudahnya. Sedangkan akhir waktunya yang
dipilih adalah ketika hari sudah terang. Akhir waktu yang diperkenankan
Dari penafsiran KH. Bisri Mustofa pada kelima ayat di atas dapat
waktu, di antaranya:
161
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 47.
162
Ibid., 47.
163
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Buku 1, terj. Ahmad Hanafi, 187.
164
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 47.
76
b) Waktu shalat „as}ar, yaitu pada waktu siang dimulai sejak tergelincir
e) Waktu shalat s}ubuh}, yaitu pada waktu fajar dan sebelum terbitnya
madhhab.
165
Bisri Mustofa, Safi>nah al-S{ala>h, 29.
77
142-144 dan ayat 148-150. Adapun dalam ayat 148-150 surat al-Baqarah
yang berbunyi:
Artinya:
148. “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan
kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”
149. “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-
78
benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan.”
150. “Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia
atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. maka
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja).
dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu
mendapat petunjuk.” Q.S. al-Baqarah, 2: 148-150.
KH. Bisri Mustofa menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
Artinya:
148. “Setiap umat memiliki kiblatnya masing-masing. Umat Yahudi
kiblatnya Baitul Muqaddas, umat Nashara kiblatnya mat}la‟ al-shams,
Ka‟bah menjadi syarat sahnya shalat kecuali ada uzur, yaitu karena
ke tubuh Ka‟bah itu sendiri („ayn al-ka‟bah). Salah satu yang menjadi
atas, yaitu bahwa yang dimaksud “shat}r” adalah arah yang tepat bagi
167
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 64.
80
mukamu ke arah Masjid al-H{ara>m”. Dalam ayat itu Allah tidak berfirman
“ke arah Ka‟bah”. Maka barangsiapa telah menghadap salah satu sisi dari
rumah atau di mana saja maka wajib menghadap kiblat yaitu Ka‟bah. Ia
saat berdiri atau duduk dengan menghadapkan dadanya, dan selain pada
168
Muh}ammad Ali al-S{a>bu>ni>, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Mu‟ammal Hamidy,
Imron A. Manan, 81.
169
Ibid., 82.
81
dan wajib mengulangi jika ternyata tidak tepat menghadap kiblat. Apa
yang telah dikemukakan oleh KH. Bisri Mustofa tersebut dapat dikatakan
3. Shalat Qas}ar
Artinya:
“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu
men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”171 Q.S. al-Nisa>‟, 4:
101.
170
Bisri Mustofa, Safi>nah al-S{ala>h, 34.
171
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. II, 252.
82
Artinya:
“Ketika kamu semua bepergian maka tidak ada larangan meringkas
shalat (empat raka‟at menjadi dua raka‟at) jika kamu semua khawatir
difitnah orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh
kamu semua yang nyata.”
(Tanbi>h) “Ayat nomor 101 ini sebagai dalil dibolehkannya shalat qas}ar
bagi orang yang musafir. Menurut lahirnya ayat ini, yaitu asal bepergian,
tidak peduli hanya bepergian setengah kilo meter (seperti pemahaman
orang-orang yang ahli memahami ayat secara lahirnya saja). Tetapi
madhhab empat sudah menetapkan bahwa yang dimaksud ini adalah
bepergian yang jauh, tidak asal bepergian. Bahkan, dalam Tafsi>r Jala>layn
dijelaskan bahwa ayat ini diterangkan dengan hadis yang menjelaskan
jika yang dimaksud ini bepergian yang jauh, yaitu empat barid. Menurut
hitungan kilometer, empat barid itu kurang lebih 85 (delapan puluh lima)
kilometer. Maka, bagi para pembaca jika melihat buku-buku terbitan
sekarang harus hati-hati.”
Dengan dasar ayat di atas, para ulama sepakat bahwa boleh shalat
tentang status qas}ar itu termasuk wajib atau rukhs}ah. Mengenai hal ini,
qas}ar bagi orang yang bepergian yang jauhnya telah memenuhi syarat.
H{anabilah.
dan Ma>likiyah, sedikitnya dalam perjalanan dua hari dan jaraknya sejauh
kilometer.175
173
Muh}ammad Ali al-S{a>bu>ni>, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Mu‟ammal Hamidy,
Imron A. Manan, 456.
174
Ibid., 460.
175
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Salat Empat Madzhab, terj. Abu Firly Bassam Taqiy,
354.
84
4. Shalat Khawf
85
Artinya:
102. “Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-
sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka
(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat),
maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang lain yang belum shalat,
lalu mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah
terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu
sekaligus. Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika
kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit,
dan bersiap siagalah kamu. Sungguh Allah telah menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”
103. “Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika
berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka
laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, shalat itu
adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.”176Q.S. al-Nisa>‟, 4: 102-103.
176
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. II, 252-253.
86
Artinya:
102. “Ayat ini menerangkan aturan shalat ketika dalam peperangan, yaitu
pasukan muslimin dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
shalat bersama imam, kelompok yang kedua berjaga-jaga menghadapi
musuh. Setelah shalat satu raka‟at, kelompok pertama tadi niat
mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah) lalu meneruskan shalatnya
sendiri-sendiri. Setelah semuanya selesai shalat kemudian bubar dan
menggantikan tempat kelompok kedua yang berjaga. Kemudian
kelompok kedua shalat ma‟mum pada imam yang masih menunggu dan
selama shalat muslimin harus selalu siap senjata dan waspada. Orang-
orang kafir mengharapkan supaya muslimin terlena, sehingga jika sudah
terlena maka orang-orang kafir akan menyerbu dan menyergap bersama-
sama.”
(Tanbi>h). “Aturan shalat al-Khawf itu bermacam-macam sebab
adakalanya musuh berada di arah kiblat dan adakalanya tidak berada di
arah kiblat dan adakalanya keadaan sudah sangat genting. Para pembaca
yang ingin mengerti lebih jelasnya, dipersilahkan melihat kitab Fath}ul
Qari>b. Wa Alla>h a‟lam.”
103. “Ketika kamu semua telah selesai dari shalat khawf, maka
berdhikirlah pada Allah dengan berdiri, duduk atau berbaring. Kemudian
ketika kamu semua sudah merasa aman, maka kerjakanlah shalat seperti
biasanya. Sesungguhnya shalat itu diwajibkan bagi orang mu‟min dan
ditentukan waktunya.”
al-Sha>fi„i>berkata:
177
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 5, 238-239.
87
ini dapat dikatakan sejalan dengan pendapat Imam Sha>fi‟i>dan juga Imam
Ma>liki.
5. Shalat Jum‟at
178
Majdi bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi‟i, terj. M. Misbah, 132.
179
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 90.
88
Artinya:
9. “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk
melaksanakan shalat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.”
10. “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di
bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar
kamu beruntung.”
11. “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka
segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad)
sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan," dan Allah pemberi rezeki
yang terbaik.”180Q.S. al-Jumu‟ah, 62: 9-11.
180
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. X, 134.
89
min ba‟di>. Dadi anane jum‟ahan adhane loro iku wus mujma‟
„alayh ijma>‟an suku>tiyyan. Yen ana wong ngarani menawa adhan
loro iku bid‟ah munkarah, iku ora bener. Sebab senajan nabi
Muhammad ora nindak ake adhan loro, nanging adhan loro
mahu wus ditindak ake sahabat „Uthma>n, salah sawijine al-
Khulafa>‟ al-Ra>shidi>n. Ing mangka kanjeng nabi Muhammad
ndawuh ake: „Alaykum bi sunnati> wa sunnat al-Khulafa>‟ al-
Ra>shidi>n min ba‟di>. Wa Alla>h A‟lam.”
“Kanggo al-Faqi>r dhewe, bab kaya iki iku ora perlu digawe
ramen-ramen ngisin-ngisini, sebab karo-karone ana dasar
hukume. Sing adhan siji manut tindakane kanjeng nabi, sing
adhan loro manut dawuhe kanjeng nabi. Semono uga masalah
tarawih, tahlil, talqin lan sepadane. Al-Faqi>r kuwatir yen mbok
menawa ana golongan tertentu kang sengaja ngedu antarane kita
karo kita supaya tansah geger ing bab perkara kang sepele-
sepele nganti umat Islam padha lali tujuan kang pokok iya iku
„izz al-Isla>m wa al-muslimi>n, utawa baldatun t}ayyibatun wa
rabbun ghafu>run. Wa Alla>h A‟lam.” 181
Artinya:
9. “Hai orang-orang yang beriman! Ketika shalat telah diserukan pada
hari Jum‟at, berangkatlah kamu semua menuju dhikr pada Allah (yaitu
shalat) dan tinggalkanlah jual beli—berangkat jum‟atan dan
meninggalkan kesibukan urusan dunia—yang demikian itu baik bagi
kamu semua jika kamu mengetahui. Jika yang demikian itu baik, marilah
melaksanakan jum‟atan dan meninggalkan urusan dunia.”
10. “Maka ketika shalat Jum‟at sudah selesai dilaksanakan, kamu
diperbolehkan mencari rizki dari anugrah Allah Ta‟ala di bumi-Nya.
Perbanyak dhikirlah kamu semua pada Allah Ta‟ala (tidak hanya dalam
s}alat tetapi juga saat di luar shalat dianjurkan dhikir pada Allah Ta‟ala)
supaya kamu beruntung.”
11. “Dan ketika orang-orang melihat ada barang dagangan datang atau
mendengar bunyi tabuh, orang-orang kemudian beranjak menuju barang
dagangan dan meninggalkan kamu yang sedang berdiri (khutbah).
Perintahlah kamu Muhammad! Pahala yang ada di sisi Allah Ta‟ala itu
lebih baik daripada barang dagangan. Allah Ta‟ala adalah sebaik-baiknya
pemberi rizki.”
(Qis}s}ah) “Pada suatu hari Jum‟at ketika nabi sedang khutbah kemudian
ada barang dagangan yang datang dari Syam yang dibawa oleh unta-unta.
Biasanya ketika unta-unta tersebut datang membawa barang dagangan,
suasana menjadi ramai, ada yang bertepuk tangan dan ada yang menabuh
gendang. Saat itu harga barang-barang sedang mahal. Setelah orang-
orang yang sedang mendengarkan khutbah mendengar bunyi tabuh dan
melihat barang dagangan datang, mereka kemudian beranjak menuju
pasar karena khawatir jika tidak kebagian. Kecuali beberapa orang yang
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 28, 2067-2070.
181
91
H{anafiyah yaitu tiga orang selain imam, dan menurut ulama Ma>likiyah
Perbedaannya terletak pada berapa kali adhan dilakukan, dan hal ini
perbedaan masalah adhan ini yang terjadi pada masa nabi dan sahabat.
menanggap bahwa adhan dua kali itu adalah bid‟ah sebab walaupun nabi
tidak melakukan dua kali adhan, namun adhan tersebut sudah dilakukan
jamaah dan adhan yang dilakukan sebelum shalat Jum‟at yang banyak
H. Ayat-Ayat Zakat
Selain itu, zakat juga dapat berarti mensucikan.184 Dalam terminologi fiqih,
secara umum zakat didefinisikan sebagai bagian tertentu dari harta kekayaan
menerimanya.185
rangka mematuhi perintah Allah SWT dan mengharap pahala dari-Nya, dan
yang beriringan dengan perintah shalat. Sehingga, dalam rukun Islam zakat
tentang zakat terutama yang bertalian dengan perintah zakat, harta yang wajib
1. Wajib zakat
184
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj.
Kamran As‟at Irsyady, Ahsan Taqwim, 343.
185
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002), 171.
186
Ibid., 171.
187
M. Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ayat-Ayat Ibadah), 51.
94
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” Q.S. al-Baqarah (2) 267.
mengeluarkan zakat dari hasil yang telah diusahakan seperti uang, hasil
188
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 3, 109.
95
harta yang diberikan adalah harta yang berkualitas baik, bukan yang
binatang ternak, dua mata uang (emas dan perak), barang dagangan,
189
Mardani, Tafsir Ahkam(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 66.
190
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 118.
96
Artinya:
“Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan
yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam
rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan
berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebihan.”191Q.S. al-An‟a>m (6) 141.
Artinya:
“Allah lah Tuhan yang menjadikan, dhat yang menciptakan tanaman-
tanaman kebun yang merambat (seperti semangka dan sejenisnya) dan
yang tidak merambat, tetapi berdiri (seperti kelapa dan sejenisnya) dan
Allah lah dhat yang menumbuhkan kurma dan padi, yang buahnya dan
bijinya berbeda-beda, berbeda warnanya, berbeda rasanya. Dan juga
Allah lah yang menumbuhkan zaitun dan delima, yang daunnya serupa
191
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. III, 254.
192
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 8, 286-287.
97
disimpan, dan juga biji-bijian, laus, almond, biji rami, jintan, dan sawi.193
dikeluarkan dari jenis tanaman atau hasil pertanian, adalah sesuai dengan
193
Ibid., 129.
98
3. Distribusi zakat
Artinya:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang
miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana.”194 Q.S. al-Tawbah, (9) 60.
KH. Bisri Mustofa menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
194
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. IV, 137.
99
Artinya:
“Bahwa sejatinya, zakat-zakat itu hanya diberikan pada: (1) orang-orang
faqir, (2) orang-orang miskin, (3) orang-orang yang menjadi amil zakat,
(4) orang-orang yang dibujuk hatinya, (5) untuk memerdekakan budak,
(6) orang-orang yang banyak hutang, tidak bisa membayar, (7) pasukan-
pasukan sukarela pada perang sabil, (8) dan orang-orang musafir yang
kehabisan bekal. Allah Ta‟ala menetapkan ketetapan tadi dan Allah
Ta‟ala Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
(Fa>idah) “Lafaz} wa fi> sabi>lilla>h biasanya menjadi perdebatan. Satu
golongan berpendapat bahwa wa fi> sabi>lilla>h itu khusus pada jihad fi>
sabi>lilla> (perang sabi>lilla>h). satu golongan lain berpendapat bahwa wa fi>
sabi>lilla>h adalah umum, jalan Allah yang mana saja adalah jalan
kebaikan-kebaikan. Adapun golongan yang awal menurut madhhab
Sha>fi‟i> dan jumhur ulama, golongan kedua menurut tafsir al-Mana>r.
golongan kedua berani memberikan uang zakat untuk membangun atau
membenahi masjid, surau, mus}alla, madrasah, darul abnam, dan lain-
lainnya. Golongan awal tidak berani memberikan seperti demikian.
Madhhab Imam Sha>fi‟i> yang disebut tadi, dikuatkan dengan banyak
hadis, yang salah satunya adalah hadith Abi> Sa‟i>d:
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz. 10, 546-547.
195
100
َ َس ٍة اِلَى اَ ْن ق
ال اَ ْو ِ ِ ِ ِ َّ ال الَ تَ ِح ُّل
َ الص َدقَةُ لغَن ٍّي االَّ ل َخ ْم َ َاِ َّن النَّبِ َّي صلى اهلل عليو وسلم ق
الحديث رواه أحمد وابو داود وابن ماجهوالحكيم وقال صحيح. اهلل ِ غَا ٍز فِي سبِْي ِل
َ
.على شرط الشيخين
boleh diberikan pada golongan tertentu saja dari delapan penerima zakat
tersebut.196
Ah}mad, zakat tersebut boleh diberikan kepada salah satu golongan saja
zakat. Jika tidak ada petugas pengumpul zakat maka zakat tersebut
Jika tidak mencukupi, maka diberikan kepada tiga golongan yang ada.198
196
M. Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ayat-Ayat Ibadah), 62.
197
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia, 108.
198
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 142.
101
ini juga disepakati oleh Abu> H{ani>fah dan Imam Ma>lik. Adapun Imam
I. Ayat-Ayat Puasa
secara istilah puasa sering didefinisikan oleh para fuqaha sebagai mehanan
diri dari makan, minum, berhubungan suami istri, dan segala hal yang
199
M. Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ayat-Ayat Ibadah), 68-69.
200
Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, 235.
102
Artinya:
183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.”
103
184. “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka Itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.”
185. “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.” Q.S. al-Baqarah, 2: 183-185.
berikut:
Artinya:
183. “Orang-orang mu‟min diwajibkan puasa sebagaimana diwajibkan atas
umat-umat sebelum umat Muhammad Saw, supaya orang-orang mu‟min
bertaqwa pada Allah Ta‟ala karena puasa bisa meredam syahwat yang
menjadi sumber maksiat.”
184. “Kewajiban puasa tadi hanya pada hari-hari yang bisa dihitung, yaitu
pada bulan Ramad}a>n. Apabila ada uzur, sakit, atau bepergian, kemudian
orang mu‟min tadi berbuka maka harus qad}a>‟ pada hari yang lain. Adapun
orang yang sangat renta dan tidak mampu puasa, maka diperbolehkan
membayar fidyah memberi makan orang miskin satu mud per hari. Jikalau
dalam membayar fidyah dilebihi karena melakukan kesunatan maka itu lebih
baik. Jikalau orang yang sangat renta mau berpuasa juga lebih baik.”
(Tanbi>h)“Penting sekali bagi kita mengkaji bab-bab yang berhubungan
dengan diperbolehkannya berbuka sebab sakit atau bepergian. Karena tidak
sedikit saudara kita yang salah paham sebab hanya membaca z}ahirnya ayat-
ayat yang diterjemahkan. Mereka lantas berbuka karena bepergian, atau
berbuka karena sakit. Padahal pasti ada batas-batas dan syarat-syarat yang
harus dipenuhi. Misalnya sakit yang seperti apa? Bepergian yang bagimana?
Dan yang lain-lainnya. Semua itu hanya bisa dipahami dengan mengkaji
kitab-kitab fiqh yang sudah disaring oleh ulama mujtahidin.”
185. “Puasa adalah pada bulan Ramad}an yang pada bulan itu al-Qur‟an
diturunkan dari al-lawh al-mah}fu>z} untuk menunjukkan pada manusia dan jadi
bukti nyata dari petunjuk Allah Ta‟ala dan membedakan yang haq dan yang
batal. Barang siapa menemui bulan Ramad}a>n maka ia harus berpuasa.
Adapun orang yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka ia boleh tidak
berpuasa tetapi wajib qad}a>‟ di hari yang lain. Allah Ta‟ala menghendaki
kemudahan bagi kita semua dan tidak menghendaki kesulitan. Hitungannya
201
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 2, 63-65
105
puasa Ramad}an harus kita (kamu semua) sempurnakan. Jangan sampai tidak
puasa dan kita (kamu semua) hendaklah mengagungkan Allah Ta‟ala dengan
takbir ketika puasa kita sudah selesai (sempurna). Kita bertakbir sebagai rasa
syukur karena Allah Ta‟ala telah memberi petunjuk pada kita bagaimana cara
beribadah pada Allah.”
Dalam penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap ayat 183-185 surat al-
dipahami bahwa kewajiban puasa yang dimaksud adalah puasa Ramad}a>n dan
bepergian, KH. Bisri Mustofa tidak membahasnya lebih rinci dan hanya
menyebutkan bahwa orang yang berbuka sebab sakit atau bepergian maka
Adapun bagi orang yang sudah sangat renta sehingga tidak mampu
puasa, maka boleh tidak berpuasa namun wajib membayar fidyah, yaitu
memberi makan pada orang miskin sebanyak satu mudd per hari. Mengenai
Sha>fi‟i> adalah satu mudd setiap hari. Menurut Imam H{ana>fi> adalah setengah
s}a>‟ gandum setiap hari. Kemudian menurut Imam Ma>liki tidak wajib puasa
dan tidak wajib membayar fidyah. Menurut Imam Hanbali adalah satu s}a>‟
kurma atau satu mudd gandum.203 Dengan demikian dapat dimengerti bahwa
penafsiran KH. Bisri Mustofa tersebut sesuai dengan pendapat Imam Sha>fi‟i>.
202
Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi>, Fiqih Empat Mazhab, terj. „Abdullah
Zaki Alkaf, 147.
203
Ibid., 148.
106
berbuka ada beberapa pendapat. Menurut Imam Ma>lik, Abu> H{ani>fah dan al-
Sha>fi‟i>, bahwa berpuasa lebih utama bagi yang kuat, dan bagi yang tidak kuat
bahwa berbuka lebih baik karena mengamalkan rukhs}ah, sebab Allah senang
bahwa penafsian KH. Bisri Mustofa sejalan dengan pendapat Imam Ma>liki
dan Sha>fi‟i>.
J. Ayat-Ayat Haji
sesuatu yang diagungkan (al-qas}d ila mu‟az}z}am).205 Kata haji berasal dari
bulan tertentu untuk melakukan ibadah t}awaf, sa‟i, wuquf, dan manasik-
keridhaan-Nya.Haji.206
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan menurut jumhur
204
Muh}ammad Ali al-S{a>bu>ni>, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Mu‟ammal Hamidy,
Imron A. Manan, 159.
205
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj.
Kamran As‟at Irsyady, Ahsan Taqwim, 481.
206
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, 209.
107
dibanding ibadah-ibadah lain semisal puasa dan zakat, tidak berarti haji tidak
ibadah haji merupakan ibadah yang paling berat dan biaya yang mahal. Selain
berikut.
1. Wajib Haji
Artinya:
207
M. Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ayat-Ayat Ibadah), 99-100.
108
Artinya:
96-97. “Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa kiblatnya Bayt al-
Muqaddas itu lebih tua. Kemudian Allah menurunkan ayat:
sesungguhnya permulaan rumah yang dibangun untuk ibadah bagi
manusia adalah rumah yang ada di Makkah (yaitu Ka‟bah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di sana terdapat
tanda-tanda kemuliaan dan keutamaan Ka‟bah seperti maqa>m Ibra>hi>m.
barang siapa masuk di negara Makkah, maka dirinya aman, tidak boleh
diganggu. Orang-orang yang sudah mencukupi syarat-syaratnya,
diwajibkan haji ke Baitullah. Adapun orang yang kufur (tidak percaya
pada Allah atau mengingkari kewajiban haji), Allah Ta‟ala Maha Kaya
daripada orang seluruh alam (Allah tidak membutuhkan).”
Dalam ayat 96-97 surat Ali „Imra>n Allah SWT mewajibkan haji
208
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Vol. II, 4-5.
209
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 4, 155.
109
menafsirkan ayat ini. Ada yang mengatakan mampu dalam hal biaya atau
bekal dalam perjalanan, dan ada pula yang mengatakan sehat badan,
mempunyai makna yang sangat luas, meliputi kesiapan fisik dan mental,
hidup. Dalam hal ini, wanita sama seperti pria dan syarat-syaratnya juga
sama persis dengan syarat-syarat yang berlaku bagi pria. Jika ada satu
syarat dari syarat-syarat ini yang tidak terpenuhi, maka kewajiban haji
syarat-syaratnya haji, maka orang tersebut diwajibkan haji. Hal ini adalah
210
M. Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ayat-Ayat Ibadah), 128.
211
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj.
Kamran As‟at Irsyady, Ahsan Taqwim, 499.
110
212
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, 210.
111
Artinya:
196. “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika
kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka
(sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada
di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia
bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau
bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, maka
bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan
haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika
ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak
berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk
kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya.”
197.”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka
tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-
baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang
yang berakal.” Q.S. al-Baqarah, 2: 196-197
sebagai berikut:
196. “Sira kabeh yen wus ihram haji lan umrah, kudu sira
sampurna aken. Dene lamun sira kabeh alangan merga satru,
sira kabeh kudu mbayar dam (nyembelih wedhus) lan sira aja
nyukur rambut sakdurunge nyembelih wedhus mahu. Sing sapa
wonge nuju ihram dumadaan nandang lara, utawa sirahe ora
kepenak sebab ngelu utawa akeh tumane sahingga kapekso cukur,
wong mahu kudu mbayar fidyah (dendhan) puasa telung dina
utawa sadaqah telung s}a>‟ utawa nyembelih wedhus. Lamun
kahanan wus aman, utawa pancen ora ana gangguan apa-apa ing
mangka ana wong kang ngelakoni tamattu‟, ateghes dhinginake
ihram umrah ngerekake ihram haji ing wulan haji, wong mahu
112
uga kudu mbayar dam (nyembelih wedhus). Dene yen ora kuasa
iya puasa bahe telung dina sakjerone ngelakoni ihram haji, lan
tambah pitung dina mengko yen wus bali menyang omahe bahe.
Dadi genep sepuluh dina. Nanging hukum wajib bayar dam
utawa puasa ing atase wong kang ngelakoni tamattu‟ mahu,
tumrap liyane wong kang omahe parek.”
197. “Wektune ihram haji iku, ana ing wulan tertemtu yaiku
Syawal, Dhul Qa‟idah, lan sebagian saking Dhul Hijjah. Sapa
wonge kang ihram haji dilarang keras jima>‟, maksiat, lan para
padu. Lan supaya padha ngakeh-ngakeh aken ngelakoni
kebagusan, kaya sadaqah lan liya-liyane. Kabecikan apa bahe
kang sira lakoni dipirsani dening Allah Ta‟ala lan yen tindak haji
supaya sangu sahingga ora dadi kangelane liyan.”213
Artinya:
196. “Jika kamu semua sudah ihram haji dan „umrah, maka harus kamu
sempurnakan. Jikalau kamu terhalang musuh, maka harus membayar
dam (menyembelih kambing) dan janganlah kamu mencukur rambut
sebelum menyembelih. Barang siapa sedang ihram kemudian sakit, atau
merasa tidak nyaman kepalanya karena sakit atau banyak kutu sehingga
terpaksa cukur, maka harus membayar fidyah (denda), puasa tiga hari
atau sedekah tiga s}a>‟ atau menyembelih kambing. Apabila keadaan sudah
aman, atau tidak ada gangguan apapun, padahal ada orang yang
melakukan tamattu‟, yaitu mendahulukan ihram „umrah dan
mengakhirkan ihram haji pada bulan haji, orang tersebut juga harus
membayar dam (menyembelih kambing). Apabila tidak mampu maka
puasa saja tiga hari dalam waktu melakukan ihram haji dan ditambah
tujuh hari jika sudah kembali ke rumahnya. Jadi genap sepuluh hari.
Tetapi hukum wajib membayar dam atau puasa untuk orang yang
melakukan tamattu‟ tadi, adalah bagi selain orang yang rumahnya dekat.”
197. “Waktu ihram haji itu pada bulan tertentu yaitu Syawal, Dhul
Qa‟idah dan sebagian dari Dhul Hijjah. Barang siapa ihram haji, dilarang
keras jima>‟, maksiat, dan berbantah-bantahan. Dan supaya
memperbanyak berbuat kebaikan seperti sadaqah dan lain-lain. Kebaikan
apa saja yang kamu lakukan dilihat oleh Allah Ta‟ala. Jika hendak pergi
haji supaya membawa bekal sehingga tidak menjadi beban bagi yang
lain.”
seperti haji. Pendapat mereka ini didasari oleh firman Allah yang
213
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 2, 70-71.
113
KH. Bisri Mustofa pada ayat tersebut adalah dengan kalimat sampurna
tentang sebab yang termasuk dalam kategori ih}s}a>r atau halangan haji dan
ihramnya.
214
Muh}ammad Ali al-S{a>bu>ni>, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Mu‟ammal Hamidy,
Imron A. Manan, 194.
215
Q.S. A<li „Imra>n (3) 97.
216
Q.S. al-H{ajj (22) 27.
217
Lihat Muh}ammad Ali al-S{a>bu>ni>, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Mu‟ammal
Hamidy, Imron A. Manan, 195.
114
ih}s}a>r itu tidak ada melainkan karena adanya musuh, dan ayat tersebut
sahabatnya dan pada waktu itu sedang dalam ihram untuk umrah.
dapat berupa apa saja yang sekiranya menghalangi orang yang beribadah
penghalang.218
bahwa halangan itu berupa musuh dan juga wajib membayar dam dengan
imam madhhab telah sepakat bahwa denda bagi orang yang mencukur
218
Ibid., 196.
219
Ibid., 199.
115
makan untuk enam orang miskin, atau berpuasa tiga hari. Mengenai
masalah ini, dalam penafsiran KH. Bisri Mustofa dapat dikatakan sejalan
masa haji, dan tujuh hari setelah pulang kembali. Mengenai puasa ini
yang dimaksud adalah pada hari-hari di bulan-bulan haji, yaitu antara dua
adalah dalam (masa) ihram haji. Sedang masanya yaitu sejak memasuki
Kemudian tentang puasa yang tujuh hari, para ulama juga berbeda
220
Muh}ammad Ali al-S{a>bu>ni>, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Mu‟ammal Hamidy,
Imron A. Manan, 200.
116
Mustofa mengenai puasa tiga hari dan tujuh hari bagi orang yang berhaji
ْح َر ِاا ِِ ِ ِ ِ
Selanjutnya pada lafaz} َ َل َ ل َم ْن لَم يَ ُك ْن أ َْىلُوُ َحاا ِرال َْم ْس دال,
menurut Abu Hanifah bahwa isyarat “dha>lika” pada petikan ayat tersebut
orang yang (jarak antara rumahnya dengan Masjid al-H{ara>m) dalam batas
221
Ibid., 201.
117
bahwa hukum wajib membayar dam atau puasa bagi orang yang haji
ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut Abu> H{ani>fah dan
Ah}mad, bulan-bulan haji hanya bulan Shawal, Dhul Qa‟dah dan sepuluh
hari bulan Dhul H{ijjah, dengan memasukkan hari nahar (tanggal 10 Dhul
bulan haji adalah bulan Shawal, Dhul Qa‟dah dan sembilan hari pertama
waktu ihram haji itu pada bulan Shawal, Dhul Qa‟dah dan sebagian dari
Ma>lik.
222
Ibid., 202-203.
223
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj.
Kamran As‟at Irsyady, Ahsan Taqwim, 517.
118
Dalam konteks haji, sa‟i diartikan dengan berjalan yang dimulai dari
bukit S{afa ke bukit Marwah. Dari S{afa ke Marwah dihitung sekali, dan
dari Marwah ke S{afa dihitung sekali pula. Sa‟i dilakukan sampai tujuh
kali.224
Artinya:
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah.
Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah,
maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan
Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,
maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
mengetahui.” Q.S. al-Baqarah, 2: 158.
224
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, 227.
119
ulama fiqih. Menurut pendapat Imam Ma>lik dan al-Sha>fi‟i>, sa„i adalah
sunnah haji.226
satu h}adi>th nabi yang menerangkan bahwa Allah telah mewajibkan sa‟i.
225
Bisri Mustofa, al-Ibri>z li Ma„rifah Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>z, Juz 2, 53.
226
Mardani, Tafsir Ahkam, 108-109.
227
Bisri Mustofa, Manasik Haji (Kudus: Menara Kudus, t.th), 22.
120
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
KH. Bisri Mustofa dalam tafsir al-Ibri>z tidaklah mudah karena tafsir tersebut
bukan termasuk tafsir ah}ka>m yang fokus pada ayat-ayat ah}ka>m. Oleh karena
yang lain khususnya dalam bidang fiqih untuk memperoleh gambaran yang
khusus pada satu corak yang spesifik secara mutlak, namun mencakup
ijtima>‟i>.
dan haji, KH. Bisri Mustofa tidak memberikan penjelasan secara panjang
hanya cenderung pada satu madhhab saja yakni madhhab Sha>fi‟i>, namun
shalat Jum‟at dan adhan Jum‟at, ia tidak memihak pada salah satu
B. Saran-Saran
penelitian ini. Oleh karena itu, bagi para pengkaji lain yang ingin mengangkat
yang terkait.
122
DAFTAR PUSTAKA