Anda di halaman 1dari 9

MADZAHIBU TAFSIR

TAFSIR PADA MASA TABI'IN


Oleh: Dyah Nafisatul Aulia (2016080035)

Abstrak
Setelah masa khulafaur rosyidin berakhir,kepemerintahan di pimpin oleh generasi
setelahnya yaitu generasi tabi'in , seiring bergantinya generasi perkembangan ilmu
pun ikut berkembang begitu juga lmu tafsir,penafsiran dari masa ke masa mengalami
perkembangan yang sangat pesat .Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat
diterima baik oleh para ulama dari kaum tabi'in di berbagai daerah kawasan islam
.Tidak ada perbedaan yang besar dalam metode penafsiran pada masa sahabat dan
tabi'in , karena para tabi'in mengambil tafsi dari mereka .Para tabi'in pun sangat
berhati-hati dalam menafsirkan sebuah ayat sebagaimana para sahabat .

Kata kunci: Tabi'in,perkembangan tafsir,kualitas tafsir,metode,perbedaan


dan tokoh-ahli tafsir.

A. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembang
yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa keemasan. Setelah masa
Rasulullah SAW dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian dipegang dan
dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia yang dilakukan
oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan al-
Qur’an. Tegasnya, penafsiran al-Qur’an dari para sahabat diterima baik oleh
generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali
pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad
untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus
berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-
kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti
timbulnya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam
penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-
kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya
penyimpangan dalam penafsirannya.
B. Pengertian tafsir dan tabiin

Tafsir secara terminologi, menurut az-Zarkasyi (1975:13) pengertian tafsir


adalah ilmu untuk mengetahui kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi SAW, dan pengambilan makna serta hikmah-hikmahnya.Sebagian ahli tafsir
ada yang mendefinisikan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-
Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan
manusia (sabuni,1985:66).1
Tabi’in adalah: orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi Shallallahu
‘alayhi wasallam dalam keadaan ia beriman kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi
wasallam meskipun ia tidak melihat Beliau Shallallahu ‘alayhi wasallam dan ia
mati di atas keislamannya.
Menurut keterangan Dr. H. Asyhar kholil, Lc, M.A terdapat tiga
pengertian tabi’in :
1. Orang yang bertemu nabi dalam keadaan kafir, setelah nabi wafat baru masuk
islam sampai mati kemudian bertemu sahabat nabi seperti Abdullah bin Salam
2. Orang yang pernah bertemu nabi dalam keadaan islam tapi masih belum
baligh, setelah nabi wafat meneruskan islamnya sampai wafat dan bertemu
sahabat nabi (tabi’in muhdhoroh)
3. Orang yang tidak pernah bertemu nabi sama sekali (bertempat yang jauh dari
madinah lahir setelah nabi wafat) lahir dalam agama islam sampai wafat dan
bertemu sahabat nabi

C. Tafsir Pada Masa Tabi’in


Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan
kemudian dipegang oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang
tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti alih kepada masa
Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada masa

1
Muhammad Ali Mustofa Kamal,”Konsep Tafsir,Ta’wil dan Hermeneutika:Paradigma Baru
Menggali aspek Ahkam dalam Penafsiran Al-Qur’an,Jurnal Syariati dalam jurn Studi Al-Qur’an dan
Hukum al:,Volume 1 No.01,Mei 2015,hal.2,diakses dari: http://syariati.unsiq.ac.id/index.php/syariati_
j/article/download/1/1

1
itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-
masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah
ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa
sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah
kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir
di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran
agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723
M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin
Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.
Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang Makkah,
karena mereka itu kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir
sebelumnya, sehingga memudahkan mereka dalam memahami tafsir, seperti :
Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Said bin Jubair, dan lain-
lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir berasal
dari kota tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq,
Zaid bin Aslam dan Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.2

D. Kualitas Tafsir Pada Masa Tabi’in


Para ulama berbeda pendapat tentang kualitas tafsir tabi’in jika tafsir
tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari Rasulullah atau para sahabat,
apakah pendapat mereka dapat dipegangi atau tidak?
Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan
pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau
kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mereka
dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya,
banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada
umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.3

2
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2005). hlm.
407-408
3
Ibn ‘Ali al-Khudhri, Tafsir at-Tabi’in, jld. 1, hlm 422-466

2
Pendapat yang kuat adalah jika para tabi’in sepakat atas suatu pendapat,
maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk
mengambil jalan yang lain.
Ibnu Taimiyah menukil pendapat, Syu’bah bin Al-Hajjaj dan lainnya
katanya, “pendapat para tabi’in itu bukan hujjah”. Maka bagaimana pula
pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya,
pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat
dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas
sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah.
Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak
menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabi’in sendiri maupun bagi generasi
sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa
al-Qur’an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal
tersebut.4

E. Metode yang digunakan tabi’in


Tidak banyak perbedaan antara metode yang digunakan sahabat dan
yabi’in. mereka cenderung sama dalam menggunakan metode yang fundamental.
Metode yang digunakan tabi’in adalah sebagai berikut :
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, seperti yang dilakukan sahabat.
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadist Nabi.
3. Menfasirkan Al-Qur’an dengan pendapat sahabat.5
4. Ijtihad. Jika mereka tidak menemukan jawaban di dalam Al-Qur’an, Hadist,
dan Tafsir Sahabat; mereka berijtihad.
Mereka juga terkadang menggunakan pendapat ahli kitab sebagai alat
bantu untuk memahami Al-Qur’an, terlebih lagi yang berkaitan dengan kisah para
nabi dan umat terdahulu.

4
Manna’ al-Qaththan, hlm. 426-427
5
Mujahid bin jubair berkata, “saya mengemukakan mushaf kepada ibnu Abbas sebanyak tiga
kali dari awal Al-Fatihah sampai khatam. Saya berhenti setiap ayat dan menanyakannya. Hal itu
menunjukan bahwa mujahid terpengaruh dengan penafsiran ibnu Abbas yang merupakan gurunya.”
(Ibnu Taimiyyah dalam Muqadimahnya)

3
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa ini
banyak masuk meriwayatkan tafsir israilliyat adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab
Al-Akhbar, Wahab bin Munabbah, dan Abdul Malik bin Juraij.

F. Perbedaan Tafsir Pada Masa Tabiin


Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa perbedaan
pemahaman pada masa sahabat sangatlah kecil karena yang menjadi rujukan
adalah nabi Muhammad SAW. Sementara itu, perbedaan pada masa tabi’in
semakin bertambah karena beberapa sebab berikut.6
1. Setiap ahli tafsir pada masa ini memberikan pendapat yang tidak sama dengan
ahli tafsir lainnya, mekipun objeknya sama, seperti pengertian makna As-
Shirath. Sebagian mereka ada yang mengartikannya dengan mengikuti al-
Qur’an, keislaman, mengikuti As-Sunnah dan al-Jama’ah, jalan peribadatan,
atau menaati Allah SWT dan Rasul-Nya.
2. Sebagian mereka menjelaskan sesuatu yang umum, tetapi tidak bertujuan
memberikan batasan. Misalnya,
‫فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق بالخيرات باذن هللا‬
Lalu diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin
Allah.
Sabiq diartikan sebagai orang yang menunaikan zakat serta memberi sedekah.
Muqtasid diartian sebagai orang yang menunaikan zakat secara semestinya.
Sementara itu, Dzalim diartikan sebagai orang yang enggan menunaikan
zakat.
3. Satu kata memiliki dua kemungkinan makna atau lebih. Misalnya kata
Qaswarah dalam surat Al-Muddatsir (74):51 yang dapat diartikan dengan
seseorang yang melempar atau harimau.
4. Mereka menjelaskan suatu kata dengan makna yang mirip. Misalnya, kata
mauran dalam )9 : ‫ور‬VV‫ماءمورا (الط‬VV‫وم تمورالس‬VV‫ ي‬secara bahasa diartikan

6
Muhammad Umar Haji, Mausu’ah At-Tafsir Qabla ‘Ahd At-Tadwin,(Damaskus:Dar al-
Mkatabi, 2007), hlm. 287-290.

4
bergerak. Sementara itu, jika berdasarkan pemahaman makna ayat yang
menunjukan dahsyatnya hari kiamat, mauran artinya gerakan yang ringan dan
cepat.
5. Ada dua kemungkinan qiraah atau lebih sehingga setiap mufasir
menjelaskannya sesuai dengan bacaan tertentu dan mereka menganggapnya
sebagai suatu perbedaan. Misalnya, : ‫ر‬VVV‫ارنا (الحج‬VVV‫ ّكرت ابص‬VVV‫لقالواانماس‬

)15menurut riwayat dari Qatadah, sukkirat (dengan tasydid) artinya suddat


(tertutup); sedangkan sukirat (tanpa tasydid) artinya suhirat (tersihir)

G. Pusat-Pusat Pengajian Tafsir Dan Tokoh-Tokoh Ahli Tafsir Pada Masa


Tabi’in
Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di
Timur sampai Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita
ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap
pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka ada yang menjadi
guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa ilmu
pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang
mereka terima dari Nabi Muhammad saw.
Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu,
sehingga selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa
selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka
para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan, baik non
Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena kedekatan mereka
dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di samping itu juga mereka telah
semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan tafsir meningkat.
Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian Islam
seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian
tersebut diantaranya :
1. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H).
Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan

5
tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari
makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya
sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah
ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang
berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-
murid beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas,
Thawus bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah.
2. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak
mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam
(w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H),
kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut
Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang
menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah
diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab
yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke
generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada
sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’
oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim
banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah
berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh
Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3)
Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam
membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada
period mutaakhiriin.
3. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana
ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap
sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika
Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu
Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran
al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga
karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah

6
ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi.
(2) banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna
ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya
khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq yang mempelajari
tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin
Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an
Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain.7

H. Kesimpulan
Periode pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi
sahabat.Lalu di mulailah periode kedua tafsir yaitu periode tabi'in yang belajar
langsung dari sahabat.Para tabi'in selalu mengikuti jejak gurunya yang masyhur
dalam penafsiran al-Qur'an,terutama mengenai ayat-ayat yang musykil
pengertiannya bagi orang-orang awam.Setelah meninggalnya Rasulullah yang
kemudian berpindah kepemimpinan kepada khalifah rasyidin sehingga para
sahabat pergi berhijrah guna mengajarkan hakikat islam yang benar kepada
masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khudhri,Ibn ‘Ali , Tafsir at-Tabi’in, jld. 1

Al-Qaththan,Manna’ pengantar stadi Al-Qur’an, terj. Jakarta : Pustaka Al-kautsar,


2005.

Haji,Muhammad Umar , Mausu’ah At-Tafsir Qabla ‘Ahd At-Tadwin,(Damaskus:Dar


al-Mkatabi, 2007)
Kamal, Muhammad Ali Mustofa,Konsep Tafsir, Ta’wil dan
Hermeneutika:Paradigma Baru Menggali aspek Ahkam dalam Penafsiran Al-
Qur’an, dalam Jurnal Syariati dalam Jurnal:Studi Al-Qur’an dan Hukum,vol.1
No.1,2015. diakses dari: http://syariati.unsiq.ac.id/index.php/syariati_j/article/download/1/1

7
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm:66.

7
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir, Jakarta, Amzah 2014.

Anda mungkin juga menyukai