Anda di halaman 1dari 11

INSTITUT DAARUL QUR’AN JAKARTA

FAKULTAS USHULUDIN
ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
Alamat : Jl. Cipondoh Makmur Raya, RT.003/RW.009, Cipondoh Makmur,
Kec. Cipondoh, Kota Tangerang, Banten 15148

Kode Mata Kuliah : IAT2412E


Mata Kuliah : HAdits Akidah dan Akhlak
Semester 4
Dosen Pengampu : Dedi Efendi, Lc, MPd
Hari/Tanggal : Ahad, 31 July 2022
Nama / nim : Mohammad Firdaus S. Utomo / 20120187

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER


TAHUN AKADEMIK 2020/2021 Genap

1. Jelaskan sejarah kodifikasi periode Madzhab Tafisr menurut


a. Muhammad Husain al-Dhahabi
b. Ignaz Goldziher
c. Muhammad Affat al-Syarqawy
d. J. J. G Jansen
2. Jelaskan Sumber dan metode Tafsir pada masa sahabat
3. Jelaskan tokoh Mufassir pada masa sahabat
4. Jelaskan Tokoh dan Aliran Tafsir Masa Tabi’in
5. Sebutkan corak penafsiran dalam al-Qur’an, disertai dengan tokoh dan contoh
6. Sebutkan Metode tafsir, beserta contohnya

7. ِِ َّ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَِ ٰا َمنُ ْوا قَاتِلُوا الَّ ِذيْنَِ يَلُ ْونَ ُك ِْم ِمنَِ ْال ُكف‬
‫ار َو ْليَ ِجد ُْوا‬
َِ‫ّللا َم َِع ْال ُمت َّ ِقيْن‬
َِٰ ‫ن‬ َ ‫فِ ْي ُك ِْم ِغ ْل‬
َِّ َ ‫ظةِ َوا ْعلَ ُم ْٰٓوا ا‬
Tafsirkan ayat diatas menggunakan Tafsir:
a.ِِBilِMa’tsur
b.ِِBilِRa’yi
c. Bil Isyarah

***SELAMAT MENGERJAKAN***
Jawaban UAS Pengantar Madzahibut Tafsir
Jawaban 1.a.
Menurut DR. Muhammad Hussain Al-Dhahabi :
• Pada periode Nabi dan para sahabat, dijelaskan bagaimana dan sejauh mana Nabi
menafsirkan Al-Qur’an.ِ Terbagiِ menjadiِ duaِ kelompok;ِ merekaِ yangِ meyakiniِ
Nabi telah menjelaskan seluruh ayat Al-Qur’anِ danِ merekaِ yangِ meyakiniِ Nabiِ
hanya menjelaskan sebagian kecil saja dari Al-Qur’an.ِ Kemudian,ِ dilanjutkanِ
dengan penafsiran di era sahabat yang dilakukan oleh empat sahabat terkemuka,
seperti:ِAbdullahِbinِAbbas,ِAbdullahِbinِMas’ud,ِAliِbinِAbiِThalibِdanِUbayِ
binِKa’ab.

• Pada periode masa Tabi’in.ِDiِeraِini,ِiaِmembagiِmodelِpenafsiranِmenjadiِtigaِ


madrasah utama; madrasah Mekkah, madrasah Madinah dan madrasah Irak. Mulai
dari madrasah Mekkah yang digawangi oleh Ibnu Abbas, ditemukan para mufasir
seperti:ِSa’idِbinِJabir,ِMujahidِbinِJabir, Ikrimah dan sebagainya.
Sementaraِ diِ madrasahِ Madinahِ dipeloporiِ olehِ Ubayِ binِ Ka’abِ danِ darinyaِ
dikenalِ tokohِ seperti:ِ Abulِ Aliyah,ِ Muhammadِ binِ Ka’abِ danِ Zaidِ binِ Aslam.ِ
Adapunِ melaluiِ madrasahِ Irakِ yangِ diawaliِ olehِ Ibnuِ Mas’udِ tercatatِ namaِ
seperti: Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Amir As-Sya’biِdanِAl-
Hasan Al-Bashri.

• Periode kodifikasi (‘ushhurut tadwin ). urutan kodifikasi tafsir yang dilanjutkan


dengan keterangan tafsirِbilِma’thur serta kajian tentang Israi’iliyat. Lalu
menyebutkan kitab-kitab tafsir terkait, antara lain:
Jami’ulِBayanِfiِTafsirilِQur’an, karya At-Tabari, Bahrulِ‘Ulum, karya As-
Samarqandi, al-Kasyfu wal Bayan ‘an TafsirilِQur’an, karya Ath-Tha’labi dan
sebagainya.

Jawaban 1.b.

Menurut ignaz Goldziher :

• Periode I. Tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-riwayah. Menafsirkan suatu ayat Al-Qur’anِ


dengan ayat Al-Qur’anِyangِlainnya,ِdengan aqwal sahabat dan sebagainya.
• Periode II. Tafsir pada masa menuju madzhab ahli ra’yi (teologi, tasawuf, politik
keagamaan). Menafsirkan Al-Qur’anِdenganِperspektifِteologi,ِtasawuf,ِpolitikِatauِ
keagamaan (berdasarkan ijtihad mufassir).
• Periode III. Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan atau keilmuan Islam yang
ditandai dengan adanya pemikiran-pemikiran baru. Contohnya Muhammad Abduh
memiliki statement baru mengenai ayat poligami dengan menafsirkannya.
• Secara tersirat, Al-Qur’anِjustruِmenganjurkanِuntukِmonogami.ِPemikiranِtersebutِ
dapatِ mematahkanِpemikiranِlamaِterhadapِ ayatِpoligamiِberupaِ“anjuran”ِ untuk
berpoligami.

Jawaban 1 c.

Menurut Muhammad Affat al-Syarqawy :


• Masa Nabi Muhammad SAW (12 SH-11 H) dan para sahabat (12 H- akhir abad 1 H)
Penafsiran pada masa Nabi Muhammad SAW bernilai otoritatif dan mempunyai
kualitas terbaik, karena sifatnya amali (praktis). Sebab bersumber langsung dari Nabi
MuhammadِSAWِdalamِbentukِhaditsِqauliyyah,ِfi’liyyah,ِmaupunِtaqririyyah.ِNabiِ
Muhammad SAW memahami Al-Qur’anِbaikِsecaraِglobalِmaupunِsecaraِspesifik.ِ
Tidak ada satu makna, rahasia, hikmah, dan hukum pun yang terlepas dari pengetahuan
beliau, baik yang tersirat ataupun tersurat. Sebab Nabi Muhammad SAW selalu
dibimbingِ olehِ wahyu,ِ terutamaِ yangِ berkaitannِ denganِ halِ ghaib,ِ syari’at,ِ danِ
ibadah. Nabi Muhammad SAW juga berijtihad dalam hal muamalah, kebijakan politik,
dan strategi perang. Jika ada kesalahan, maka Allah SWT akan menurunkan wahyu
sebagai koreksi dan teguran.

• MasaِParaِTabi’in
Setelahِmasaِparaِsahabat,ِselanjutnyaِpenafsiranِdilajutkanِolehِ masaِparaِtabi’inِ
yang telah berguru kepada para sahabat. Mereka pernah duduk bersama para sahabat
dan menimba ilmu dari mereka. Sebagaimana ada sebagian sahabat yang pandai dalam
hal penafsiran Al-Qur’an,ِbegituِpulaِadaِsebagianِdariِkalanganِtabi'inِyangِpandaiِ
dalam bidang tersebut. Pada masaِ tabi’inِ ini,ِ tafsirِ masihِ merupakanِ bagianِ dariِ
hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.

Kota-kota tersebut seperti Makkah (disebut dengan Madrasah Makkah), Madinah


(MadrasahِMadinah),ِdanِIraqِ(MadrasahِIraq).ِTabi’inِMakkahِseperti Mujâhid ibn
Jâbirِ(w.ِ104ِH)ِ,ِ‘Athâ’ِibnِAbiِRibâhِ(w.ِ114ِH)ِdanِ‘IkrimahِMaulâِIbnِ‘Abbâsِ
(w.ِ 104ِ H)ِ meriwayatkanِ dariِ Ibnِ ‘Abbâsِ (w.ِ 68ِ H)ِ Tabi’inِ Madinahِ sepertiِ
MuhammadِibnِKa’abِ al-Qurazhiِ(w.ِ118ِH),ِAbû’ِal-‘Aliyahِar-Riyâhi (w. 90 H)
dan Zaid ibnِAslamِ(w.ِ136ِH)ِmeriwayatkanِdariِUbayِibnِKa’abِ(w.ِ32ِH).ِTabi’inِ
‘Iraqِ sepertiِ al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Masrûq ibn al-Ajdâ’ِ (w.ِ 93ِ H)ِ danِ
QatâdahِibnِDi’âmahِ(w.ِ117ِH)ِmeriwayatkanِdariِ‘AbdullahِIbnِMas’ûdِ(w.ِ32ِH)

Jawaban 1 d.
Menurut J. J. G Jansen :

• Tafsirِ‘Ilmi,ِyaituِpenafsiranِal-Qur’anِyangِdipengaruhiِolehِpengadopsianِtemuan-temuan
ilmiah yang mutahir.

Adapunِ pengertianِ tafsirِ ‘Ilmiِ menurutِ Jansenِ ialahِ sebagaiِ usahaِ memahamiِ al-Qur’anِ
dengan menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Ayat-ayat al-
Qur’anِ disiniِ lebihِ diorientasikanِ kepadaِ teksِ yangِ secaraِ khususِ membicarakanِ tentangِ
fenomena kealaman atau biasa dikenal sebagai al-ayat al-Kauniyah. Diantara tafsirannya
adalah Fakhruddin ar-Razi (Mafatih al-Ghaib), an-Nasyaburiِ (Ghara’ibِ al-Qur’anِ waِ
Ragha’ibِ al-Furqan), al-Baidawi (Anwar at-Tanzil wa Asrat at-Ta’wil),ِ al-Alusi (Ruh al-
Ma’aniِfaِTafsirِal-Qur’anِal-AdzimِwaِSab’al-Matsani).

• Tafsir Linguistik dan filologis, yaitu penafsiran al-Qur’anِyangِdiِdalamnyaِmenggunakanِ


analisis linguistic (studi ilmiah terhadap bahasa) dan pendekatan filologi (studi
perkembangan kronologis dari bahasa).

Diantara tokoh-tokohِ mufassirnyaِ ialahِ paraِ sahabat,ِ yaituِ 4ِ orangِ khulfa’urrasyidin,ِ


AbdullahِbinِMas’ud,ِAbdullahِbinِAbbas,ِUbaiِbinِKa’ab,ِZaidِbinِTsabit,ِAbuِMusaِal-
Asya’ri,ِdanِAbdullahِbinِZubair

• Tafsir Praktis, yaitu penasiran al-Qur’anِyangِbanyakِberkaitanِdenganِpersoalanِkeseharianِ


umat.

Yang dimaksud adalah manusia sebagai satu kesatuan yang tak bisa hidup sendirian, akan
muncul perselisihan dan silang pendapat ketika bermasyarakat. Maka, maka disini peran al-
Qur’anِdiperlukanِuntuk menyelesaikan problem-problem yang terjadi.

Jawaban 2.
Sumber dan metode tafsir sahabat ada empat yaitu yaitu :
1. Menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an
Penafsiran al-Quran dengan al-Quran merupakan sumber penafsiran tertinggi menurut
kesepakatan ulama. Para sahabat juga mengawali penafsiran dengan mencari
pemahaman di ayat lain al-Quran.
2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah
Salah satu contoh penafsiran sahabat yang menggunakan hadits adalah penafsiran Abu
Bakar dalam kitab hadits Sunan Tirmidzi.
“DariِAbuِBakar,ِiaِberkata:ِWahaiِumatِmanusia,ِsesungguhnyaِkalianِmembacaِayatِ
iniِ “........Jagalahِ dirimu;ِ tidaklahِ orangِ sesatِ ituِ akanِ memberiِ madharatِ kepadamu
apabilaِ kamuِ mendapatِ petunjuk”,ِ sedangkanِ akuِ mendengarِ Nabiِ bersabdaِ :ِ
sesungguhnya manusia jika melihat kedzaliman dan ia tidak merubahnya dengan
tangannya maka Allah akan meratakan siksa-Nya”ِ
3. Menafsirkan al-Qur`an dengan Ijtihad
Para sahabat apabila tidak menemukan penafsiran suatu ayat dengan al-Quran atau
hadits maka mereka menggunakan ijithad masing-masing. Dalam melakukan ijtihad,
para sahabat menggunakan beberapa alat yaitu mengetahui bahasa Arab beserta
rahasianya, mengetahui adat kebiasaan Arab, mengetahui keadaan Yahudi dan Nasrani
waktu turunnya ayat, dan kuatnya serta luasnya pemahaman
4. Menafsirkan dengan Asbabun Nuzul
Salah satu contoh penafsiran dengan asbabun nuzul adalah penafsiran Ibn Abbas saat
ditanyaِolehِAbuِRafi‘ِsebagaimana yang dikutip dalam Sahih Bukhari :
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa Telah mengabarkan kepada kami
Hisyam bahwa Ibnu Juraij Telah menceritakan kepada mereka dari Ibnu Abu Mulaikah
bahwa 'Alqamah bin Waqqash telah mengabarkan kepadanya bahwasanya Marwan
berkata kepada penjaga pintunya; "Wahai Abu Rafi', pergilah menemui Ibnu Abbas,
tanyakan kepadanya; 'Apabila setiap orang dari kita akan disiksa karena merasa senang
dengan apa yang dia kerjakan dan suka untuk dipuji terhadap apa yang belum dia
kerjakan, dengan demikian berarti kita semua akan di adzab? Ibnu Abbas berkata; 'Ada
apa dengan ayat ini? Ayat ini hanya di turunkan mengenai orang Yahudi.." Yaitu ketika
nabi shallallahu 'alaihi wasallam menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, namun
mereka menyembunyikannya dan mengabarkan hal yang lain. Lalu mereka perlihatkan
kepada beliau bahwa mereka berhak mendapat pujian dari apa yang telah mereka
kabarkan itu dan mereka senang dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu sikap
mereka yang menyembunyikan sesuatu yang beliau tanyakan. Lalu Ibnu Abbas
membaca ayat; "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang
telah diberi (yaitu), "Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi kitab itu)
kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya." (Ali Imran: 187).
Dan Ibnu Abbas membaca ayat; "Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas
perbuatan yang tidak mereka lakukan. (Ali Imran: 188).
Jawaban 3.
a. Said bin Jubayr, ia berasal dari Habasyah dan berkulit hitam, namun ia dikenal
dengan putih budi pekertinya. Ia merupakan santri senior yang berguru pada Ibnu
‘Abbas.ِIaِjugaِsangatِmenguasaiِqiroah-qiroah sahabat lainnya. Selain itu, ia juga
sangat menonjol dalam banyak bidang keilmuan lainnya. Sehingga ia menjadi salah
satu penafsir terkemuka di kalangan tabi’in.
b. Muhajir bin Jabr, ia wafat pada usianya yang ke-83 tahun. Walaupun ia adalah
penafsirِyangِpalingِsedikitِmeriwayatkanِdariِIbnuِ‘Abbas,ِtetapi ia sangat kredibel
danِmenjadiِrujukanِtokohِbesarِsepertiِImamِSyafi’iِdanِal-Bukhari. Menurut al-
Dzahabi, penafsiran Mujahid ini terhitung liberal, karena ia memberikan kebebasan
yang sangat luas dalam menafsirkan al-Quran.
c. Ikrimah, tabi’in berdarah Afrika ini juga menerima riwayat dari Ali bin Abi Thalib,
Abu Hurairah, dan sahabat yang lainnya. Walaupun banyak sekali pandangan
negatif tentang dirinya, tetap saja kredibilitas-nya dianggap oleh para Imam hadits.
Menurut al-Dzhabi, ia sangat mengakui kapabilitas dan moralitas Ikrimah.
d. Abu al-‘Aliyah,ِiaِtermasukِtokoh tabi’in besar di kalangan tafsir. Banyak ulama
terdahulu yang mencatatnya sebagai sumber terpercaya. Ia banyak menerima
riwayatِtafsirِdariِUbayِbinِKa’b.ِTokohِsepertiِal-Thabari, Ibnu Abi Hatim,
Ahmad bin Hanbal, mengambil riwayat dari jalur ini.

e. Al-Qurdhi, ia dikenal sebagai orang terpercaya, adil, dan wara’. Menurut Ibnu
‘Aun,ِal-Qurdhi merupakan tabi’in yang sangat pandai dalam takwil Al-Qur’an.ِIaِ
juga termasuk tokoh terkemuka di Madinah dengan keilmuan dan kefakihannya.

f. Zayd bin Aslam, ia merupakan tokoh tabi’in besar yang dikenal sebagai ahli fikih
dan tafsir. Ia menafsiri banyak ayat-ayat Al-Qur’anِdenganِlogika.ِWalaupunِ
begitu, tidak ditemukan pandangan ulama mengenai Zayd sebagai penafsir yang
mengada-ada. Para ulama juga mempercayai ke-tsiqah-an ia sebagai penafsir di
kalangan tabi’in.

g. AbdullahِbinِMas’ud.ِIbnuِMas’udِmeletakkanِdasarِpencarianِdalilِhukumِ
melalui upaya rasional. Mufasir kalangan tabi’in di Kufah menerima riwayat-
riwayat dari Guru Besar Kufah ini. Karena kawasan Kufah dikenal sebagai
kawasan rasional. Tidak heran kebanyakan tafsirnya diwarnai nuansa rasional dan
ijtihad.

5. A. Corak Tafsir Fiqhi (Hukum) Tafsir fiqhi merupakan corak tafsir yang
kecenderungannya menjelaskan hukum-hukum fikih dalam ayat-ayat Alquran baik
secara tersurat maupun tersirat. Tafsir fiqhi lebih populer disebut tafsir ayat al-
ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Alquran. Dari sinilah
kemudianِmunculِparaِImamِMazhabِsepertiِImamِHanafi,ِMaliki,ِSyafi’iِdanِ
Hambali.
Di antara yang memiliki kecenderungan corak tafsir fiqhi adalah :
- Ahkam Alquran karya al-Jashash, ahli fiqh mazhab Hanafi (917-980 M),
- Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi yang memiliki corak
mazhabِSyafi’i,
- al-Jami’ li Ahkam Alquran karya al-Qurtubi yang memiliki corak mazhab Maliki,
- Kanzu al-‘Irfan fi Fiqh Alquran karya Miqdad al-Saiwari yang memiliki corak
mazhab Imamiyah,
-Tafsir al-Maraghi karya Musthafa al-Maraghi, dan sebagainya.
B. Corak Tafsir ‘Ilmi (Ilmiah) Tafsirِ ‘ilmiِ adalahِ penafsiranِ Alquranِ yangِ
menggunakan pendekatan ilmiah atau menggali kandungan Alquran berdasarkan teori-
teori ilmu pengetahuan. Tafsir ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu
yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Diِantaraِyangِmemilikiِkecenderunganِcorakِtafsirِ‘ilmiِadalah
- Jawahir al-Tafsir Alquran karya Thantawi al-Jauhari,
- Tafsir Alquran al-‘Adzim karya Ibn Katsir,
- Tafsir wa al-Mufassirun karya al-Dzahabi,
- Tafsir Jalalain karya Jalauddin al-Mahalli dan al-Suyuthi,
- Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh, dan sebagainya.

C. Corak Tafsir Tarbawi (Pendidikan) Tafsir tarbawi lebih berorientasi pada


ayat-ayat tentang pendidikan. Berbeda dengan corak tafsir lainnya, kitab tafsir tarbawi
lebih sedikit. Di antara yang memiliki kecenderungan corak tafsir tarbawi adalah :
- Namadzij Tarbawiyah min Alquran al-Karim karya Ahmad Zaki Tafahah (1980 M),
- Nadzariyah al-Tarbiyah fi Alquran wa Tatbhiqatuha fi Ahd al-Rasul karya Dr.
Aminah Ahmad Hasan (1985 M)
- Manhaj Alquran fi al-Tarbiyah karya Muhammad Syadid (1991 M).

D. Corak Tafsir Falsafi, Secara definisi, tafsir falsafi ialah upaya penafsiran Alquran dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat, atau bisa diartikan juga penafsiran dengan menggunakan
teori-teori filsafat. Di antara karya mufassir yang tergolong tafsir falsafi adalah
- Rasail karya Ikhwan al-shafa,
- Fusus karya al-Hikam
- Rasail karya Ibn Sina.

E. Corak Tafsir Akhlaqi, Tafsir Akhlaqi merupakan penafsiran yang lebih berorientasi pada
ayat-ayat tentang akhlak dan menggunakan pendekatan ilmu akhlak. banyak dijumpai di
beberapa kitab tafsir terutama aliran tafsir bi al-ma’tsur dan kitab tafsir tahlili. Namun, tidak
berarti bahwa tidak ada kitab tafsir yang secara khusus menggarap ayat-ayat tentang akhlak.
Salah satu di antaranya adalah Tafsir al-Nasafi karya Imam Ali al-Barakat Abdullah bin Ahmad
bin Mahmud al-Nasaf.

F. Corak Tafsir I’tiqadi (Teologis), Tafsir teologis merupakan salah satu bentuk penafsiran
Alquran yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh ia
merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang sebuah aliran teologis. Tafsir
model ini lebih banyak membicarakan dan memperbincangkan tema-tema teologis daripada
mengedepankan pesan pokok Alquran. Seperti layaknya diskusi yang dikembangkan dalam ilmu
kalam, tafsir ini sarat muatan sektarian dan pembelaan-pembelaan terhadap paham-paham
teologis yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya.

G. Corak Tafsir Sufi, Perkembangan sufisme di dunia Islam kian marak yang ditandai oleh
praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam sejak munculnya
konflik sepeninggal Nabi Muhammad saw. Bahkan sampai diteorikan dan dicarikan dasar
mistiknya melalui Alquran. Hal inilah yang kemudian muncul teori sufisme seperti mahabbah,
maqamat, khauf, ma’rifat dan sebagainya.
Tafsir sufi dibagi menjadi dua, yaitu tafsir sufi nadzari dan ishari. Tafsir sufi nadzari adalah
tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat. Sedangkan tafsir ishari lebih
kepada penafsiran ayat-ayat Alquran secara tersirat atau isyarat tersembunyi yang nampak pada
pelaku ritual sufistik dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana
yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.

Jawaban soal no 6.
1. Metode Tahlili (Analitik), metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Al-
Qur'an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an. Tafsir ini dilakukan secara berurutan
ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan
Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosakata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki,
sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsurِi’jaz,ِbalaghah,ِdanِkeindahanِ
susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil
syar’i,ِartiِsecaraِbahasa,ِnorma-norma akhlak dan lain sebagainya. Menurut Malik bin
Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk
meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur'an, sesuatu
yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu
perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang
beraneka ragam dan terpisah-pisah. Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa
bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-
persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan
bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan
tempat. Hal ini dirasa terlalu "mengikat" generasi berikutnya.
Contoh :
4 ) ‫َّاس‬
ِ ‫ْخن‬َ ‫س َواسِِال‬ْ ‫نِِشَرِِال َْو‬ْ ‫( م‬3)ِ‫)ِإلَهِِالنَّاس‬2(ِِ‫)ِملكِِالنَّاس‬1ِ
َ (ِِ‫لِِأَ ُعو ُذِِب َربِِالنَّاس‬
ْ ‫(ق‬
ُ ِ
6) ‫َّاس‬
ِ ‫ِِوالن‬ َ ‫نِِالْجنَّة‬
َ ‫)ِم‬5(ِِ‫يِص ُدورِِالنَّاس‬
ُ ‫سِِف‬
ُ ‫سو‬ ُ ‫ا َّلذ‬
ْ ‫يِي َو‬

Imam Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah berkata,


“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia”,ِ
maksudnya yang mencipta mereka, memiliki mereka. Di sini manusia disebutkan secara khusus
sebagai bentuk pemuliaan kepada mereka dan sekaligus untuk menyesuaikan dengan pengertian
kejahatan waswas setan dalam hati mereka.
“Raja manusia.”
“Sembahan manusia”,ِ iniِ sebagaiِ badalِ atauِ sifatِ atau athaf bayan. Tambahan mudhaf ilaih
dengan kata manusia sebagai penjelasan.
“Dari kejahatan bisikan setan (syarril waswaas)”,ِdisebutkanِbisikanِsetanِkarenaِkebanyakanِ
godaanِ yangِ dilancarkannyaِ ituِ melaluiِ bisikan.ِ “Yang bersembunyi (al-khannaas)”,ِ
maksudnya setan itu bersembunyi dan meninggalkan hati manusia apabila hati manusia ingat
kepada Allah.
“Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia”,ِ keِ dalamِ kalbuِ manusiaِ diِ kalaِ
mereka lalai mengingat Allah.
“Dari jin dan manusia”,ِlafazِayatِiniِmenjelaskan pengertian setan yang menggoda itu, yaitu
terdiri dari jenis jin dan manusia,

2. Metode Ijmali (Global), Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara
singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan
bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode
tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang
lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh
lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada
penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas
dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Contoh
Imam Qurthubiy dalam tafsirnya al Jami’ Liahkamil Qur’an,ِyangِmembutuhkanِtigaِ
halaman dalam menjelaskan atau menafsirkan Firman Allah QS Al Baqarah 1.
Imam memulai penafsiran ayat ini dengan mengemukakan pentakwilan huruf-huruf
muqattha’ahِ diِ dalamِ Alquran.ِ didalamnyaِ adaِ beberapaِ pendapat diantaranya yang
dikemukakanِ‘AmirِasِSya’biyِdanِSufyanِatِTsauriyِbesertaِsekelompokِmuhaddistinِ
yang menyatakan huruf-hurufِ muqattha’ahِ adalahِ bentukِ rahasia-rahasia Allah, yang
hanya Allah Mengetahuinya dan kita tidak perlu untuk membahas dan membicarakannya.
Dalam pendapat ini Qurthubiy memaparkan beberapa perkataan sahabat yang berkenaan
dengan masalah ini, diantaranya perkataan Abu Laist ats Tsamarqadiy dari Umar, Ustman
danِIbnuِMas’udِyangِberkata:ِ“ِHurufِ-hurufِmuqattha’ahِtidakِperluِuntukِditafsirkan.

3. Metode Muqarin, metode ini melakukan perbandingan antara ayat dengan ayat, atau
ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
perbedaan tertentu dari objek yang diperbandingkan itu.

perbandingan dua ayat yang redaksinya hampir sama yakni surah Al-Hadid ayat 20 dan
surah Al-An'am ayat 23. Berikut bunyi dari surah Al-Hadid ayat 20:

‫اِ ْعلَ ُم ْٰٓوا اَنَّ َما ْال َحيٰو ِة ُ الدُّ ْن َيا لَعِبِ َّولَ ْه ِو‬

Artinya: "Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan


sendagurauan".

Sementara bunyi surah Al-'Ankabut ayat 64 adalah:

ِ َّ ‫َو َما ٰه ِذ ِِه ْال َحيٰوِة ُ الدُّ ْنيَِا ٰٓ ا‬


ِ ‫ِّل لَ ْهوِ َّولَع‬
‫ِب‬

Artinya: "Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan"

4. Metode Maudhu'i (Tematik) Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam
Al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan
tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode
ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama
membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya
selaras dengan sebabsebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubunganhubungannya dengan ayat-
ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Contoh :
tafsirِtematik/maudhû’iِpadaِmasaِNabiِMuhammadِSAW.ِIalahِbeliauِmenafsirkanِ
kataِِ‫ِظُ ْلم‬dalamِQSِal-An’âm,ِ6:ِ82.

Dengan penafsiran Nabi tersebut berarti beliau telah menanamkan tafsir


maudhû’i/tematikِdanِmemberiِisyaratِbahwaِlafal-lafal yang sukar diketahui
maksudnya dalam suatu ayat perlu dicari penjelasannya pada lafal-lafal yang terdapat
dalam ayat yang lain. Dalam konteks ini, Abdul Hayyi al-Farmawi mengatakan bahwa
semua ayat yang ditafsirkan dengan ayat al-Quranِadalahِtermasukِtafsirِmaudhû’iِdanِ
sekaligusِmerupakanِpermulaanِpertumbuhanِtafsirِmaudhû’iِ(al-Farmawi, 1977: 54).
Jawaban Soal no 7.
7a. tafsirِbilِma’tsur

َ ‫ِو ْليَ ِجد ُْواِفِ ْي ُك ْمِ ِغ ْل‬


‫ظ ِة‬ ْ َ‫ِٰيٰٓاَيُّ َهاِالَّ ِذيْنَ ِٰا َمنُ ْواِقَاتِلُواِالَّ ِذيْنَ ِيَلُ ْونَ ُك ْمِمِن‬
ِ َّ‫ِال ُكف‬
َ ‫ار‬
ْ ‫ِّللاِ َم َع‬
َِ‫ِال ُمتَّ ِقيْن‬ َ ٰ ‫َوا ْعلَ ُم ْٰٓواِاَ َّن‬

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian itu. dan
hendaklah mereka menemui kekerasan dari kalian

Maksudnya, hendaklah orang-orang kafir itu merasakan adanya sikap yang keras dari kalian dalam
perang kalian melawan mereka. Karena sesungguhnya orang mukmin yang kamil ialah orang yang
lemah lembut terhadap saudaranya yang mukmin dan keras terhadap musuhnya yang kafir seperti
yang telah disebutkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

{ِ‫ى ْال ُمؤْ ِمنِينَِ أ َ ِع َّزة‬


ِ َ‫ّللاُ ِبقَ ْومِ يُ ِحبُّ ُه ِْم َويُ ِحبُّونَ ِهُ أ َ ِذلَّةِ َعل‬
َِّ ‫ي‬ِ ِ‫ف َيأْت‬ َ َ‫ف‬
َِ ‫س ْو‬
َِ‫ى ْال َكافِ ِرين‬
ِ َ‫} َعل‬
Maka Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir. (Al-Maidah: 54)

7b. tafsirِbilِra’yi
“Wahai orang-orang Mukmin, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian, agar
mereka tidak menjadi sumber malapetaka bagi kalian. Dan jadilah kalian orang-orang yang tegas
kepada mereka dalam pertempuran, dan jangan merasa iba kepada mereka. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, dengan pertolongan-Nya.

7c. tafsir bil isyarah


Yangِ dimaksudkanِ disiniِ adalahِ “nafsu”.ِ Alasannya: Allah perintah memerangi orang yang
disekelilingِ kitaِ ituِ adalahِ karenaِ “dekat”.ِ Padahalِ tidakِ adaِ suatuِ yangِ lebihِ dekatِ kepadaِ
manusia dari pada nafsunya sendiri. Demikian juga An-Nasafi mengatakan, sebagaimana
dijelaskan Az-Zarqani dan AsSuyuti bahwa: “Nash-nash itu harus berdasarkan zahirnya,
memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah merupakan bentuk
penyelewengan”ِ(Hadnan,ِ1993:ِ46).

Anda mungkin juga menyukai