Disusun Oleh :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik
dan hidayahNya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
membahas materi “Sejarah Hadist yang Meliputi Prakodifikasi dan
Pascakodifikasi”. Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada Junjungan
Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang setia
hingga akhir zaman.
Kami telah menyelesaikan makalah guna menyelesaikan tugas mata kuliah
Ulumul Hadist. Dalam pembuatan makalah ini kami telah usahakan semaksimal
mungkin dengan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga kami mengucapkan
terimakasih terhadap pihak-pihak yang telah membantu kami. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.
Kami sadar dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat
kesalahan, baik disengaja maupun tidak sengaja. Untuk itu, kami meminta maaf
yang sebesar-besarnya. Kami mengharapa adanya kritik dan saran yang dapat
membantu menyempurnakan makalah kami.
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Sejarah hadits yang meliputi prakodifikasi dan
pascakodifikasi ?
C. Tujuan
Dalam setiap penelitian apapun bentuknya senantiasa di barengi dengan
tujuan tertentu, oleh karena itu sebagai kelengkapan penjelasan penulisan
mengenai tujuan dan kegunaan penelitian yaitu untuk mengetahui Sejarah
perkembangan Hadits dan pembukuannya, dari zaman Rasulullah hingga
sekarang.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan agar para pelajar
mampu mengkaji dan memahami perkembangan hadits pada masa Rasulullah
SAW, Sahabat, dan tabi`in (masa Pra-Kodifikasi) dan masa pascakodifikasi.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Rasul adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah SWT dan
diperintahkan penyampaikan kepada umat manusia, tetapi ketika wahyu
yang turun kebanyakan hanya menerangkan hal-hal yang bersifat global
maka diperlukan adanya penjelasan dari Rasul yang memerinci dan
menafsirkan keglobalan tersebut. Penjelasan, perincian dan penafsiran
Rasul terhadap keglobalan al-Qur`an itulah hadits.
Ketika Islam baru muncul di Mekah, Rasul menjadikan dar al-
Arqam sebagai pusat dakwah Islam. Namun setelah Islam berkembang
dengan pesat – yang di mulai di Madinah – tempat pengajaran Islam,
dalam hal ini hadits tidak terfokus hanya pada satu tempat, tetapi
dimana ada kesempatan disitulah hadits diajarkan.2
1
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, Edisi 3, 2009), hlm. 24-25.
2
Lukman Zain, MS., Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam
journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm. 3
8
3
Mohammad Gufron, M.Pd, Rahmawati, MA., Ulumul Hadits Praktis dan mudah
(Yogyakarta:Sukses Offset, 2013), hlm.22-23.
4
Prof. Dr. H. Zainul Arifin. MA, Ilmu Hadits Historis & metodologis,(Surabaya: Pustaka
al-Muna, cet. 1, 2014), hlm. 73-76.
5
Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, Vol. 1., 214 (Hadits nomor 124)
9
Di sisi lain, pegangan para sahabat dalam menerima hadits dari Rasul
adalah dengan kekuatan hafalan mereka, hal ini karena para sahabat yang
pandai menulis sangat sedikit jumlahnya. Tetapi keorisinalan hadits sangat
dimungkinkan tetap terjaga karena bangsa Arab pada saat itu mempunyai
kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga merupakan sesuatu hal yang mudah
bagi mereka untuk menghafal hadits-hadits yang datang dari Rasul.6
Beberapa sahabat yang banyak memperoleh pelajaran dari Nabi SAW
dapat dibedakan menjadi kelompuk sebagai berikut:
6
Lukman Zain, Sejarah Hadits, Dhiya`…, 3
10
Semua penulis sejarah Nabi SAW, ulama hadits dan umat Islam
sepakat, bahwa al-Qur`an memperoleh perhatian yang penuh dari Rasulullah
SAW maupun dari para sahabat. Nabi SAW selalu memerintahkan kepada
sahabat untuk menulis al-Qur`an di lampiran-lampiran, tulang, pelepah
kurma, batu dan lain-lain.8
Hal ini sangat berbeda dengan penulisan hadits pada masa
Rasulullah, bahkan Nabi SAW hanya memerintahkan kepada para sahabat
untuk menghafalkan hadits-hadits tersebut dan tidak memintanya untuk
dibukukan. Adapun beberapa sebab antara lain:
1. Jika hadits dibukukan, maka Nabi SAW merasa khawatir catatan-catatan
hadits akan bercampur baur dengan catatan-catatan ayat al-Qur`an.9
2. Berhubung pada waktu itu, para sahabat masih banyak yang ummi.
3. Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuan
mereka, untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan.
4. Membukukan ucapan, amalan, serta mu`amalah Nabi adalah suatu hal
yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabar yang terus-
menerus harus menyertai Nabi untuk menulis al-Qur`an, padahal orang-
orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung.10
2. Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa` Rasyidin
(dari 12 H – 40 H)
a. Pengertian Sahabat Nabi SAW
Menurut Ibnu Hajar dan ahli Hadits lainnya, pengertian sahabat
adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan beriman pula. Lebih lanjut lagi
beliau mengatakan, masuk dalam kategori orang yang bertemu Nabi SAW,
baik orang yang lama bermujalasah atau hanya sebentar bersama beliau,
orang yang turut berperang atau tidak. Sahabat yang paling akhir wafatnya
7
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan ..., 30.
8
Zainul Arifin, Ilmu Hadits…, 77.
9
Lukman Zain, Sejarah Hadits, Dhiya`…, 8.
10
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan ..., 31.
11
adalah Abu al-Thufail `Amir ibn Wa`ilah al-Laitsi, yang meninggal pada
tahun 110 H di Makkah.11
b. Menjaga Pesan Rasulullah SAW.
11
Mohammad Gufron, Ulumul Hadits…, 26.
12
Ibid., 26.
13
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, Ed. 2, 2013),
hlm. 52.
12
14
Muhammad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirah al-Huffazh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1177)., hlm. 2. Juga lihat Lukman Zain, Sejarah Hadits, Dhiya`…, 12.
13
15
Lukman Zain, Sejarah Hadits, Dhiya`…, 12-17.
16
Saifuddin, Arus Tradisi…, 128-136.
16
17
Lukman Zain, Sejarah Hadits, Dhiya`…, 18.
18
Mohammad Gufron, Ulumul Hadits…, 32.
19
Zainul Arifin, Ilmu Hadits…, 86-87.
20
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan ..., 50.
17
Mulai saat itu terdapatlah diantara riwayat-riwayat ada yang shahih dan
ada yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyak dan beraneka pula. Mula-
mula yang memalsukan hadits adalah golongan Syi`ah sebagaimana yang diakui
sendiri oleh Ibnu Abi al-Hadid, seorang ulama Syi`ah dalam kitabnya Syarh
Nahju al-Balaghah, dia menulis,”ketehuilah bahwa asal mula timbul hadits yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi`ah sendiri.”
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Jama`ah, mereka juga membuat
hadits-hadits untuk mengalahkan hadits yang dibuat oleh golongan Syi`ah
tersebut.
Maka dengan keterangan ringkas tersebut nyatalah bahwa kota yang
mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (Iraq) tempat
kaum Syi`ah berpusat.21
21
Ibid., hlm. 51.
22
Idri,studi Hadist,(Jakarta:kencana,2010,cet.1),hlm.93
18
23
Munzier Suparta,Ilmu Hadist,(Jakarta:PT.Raja grafindo Persada,2003),hlm.91-92
19
24
Abdul Majid khon,Ulumul Hadist,hlm.56-58
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits pra-kodifikasi meliputi masa Rasulullah SAW, Sahabat, dan
Tabi’in. Pada periode Rasulullah terdapat larangan penulisan Hadits (Nahyu al-
Kitabah), hanya ada perintah untuk menghafalnya saja dan tidak ada karya buku
yang tertulis dimasa ini, hanya berwujud lembaran-lembaran (shahifah).
Periode kedua: masa Sahabat, hadits tidak terlalu banyak berkembang
karena sikap kehati-hatian para sahabat, dan apabila ingin menyampaikan suatu
hadits, maka harus disertai sumpah dan saksi. Hal ini menunjukkan bahwa
Sahabat sangat mengagungkan perintah nabi agar mendahulukan al-Qur’an. Dan
pada masa sahabat belum terdapat buku-buku hadits, tetapi hanya berupa
lembaran-lembaran (shahifah).
Periode ketiga: masa Tabi’in mulailah penghimpunan dan pengumpulan
hadits (al-Jam’u waat-Tadwin), tetapi pada masa sahabat ini masih banyak hadits
Nabi yang bercampur dengan fatwa sahabat dan aqwal sahabat. Adapun buku-
buku hadits pada masa tabi’in seperti Shahafiyah, Mushannaf, Muwaththa’,
Musnad, dan Jami’ Musnad.
Periode keempat: masa Tabi’ Tabi’in (Masa Pembukuan) dimulailah
kodifikasi hadits secara resmi atas perintah khalifah Umar Bin Abdil Aziz, beliau
mengintruksikan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm gubernur
Madinah dan para ulama Madinah, agar memperhatikan dan mengumpulkan
hadits dari para penghafalnya. Dan intruksi yang sama ditujukan kepada
Muhammad Ibn Syihab al-Zuhri.
24
Periode kelima: awal abad ke-3, hingga akhir, pada periode ini mulai
mentashhihkan hadits, mulai memilah-milah hadits yang shahih dari yang dha’if.
Dan pada masa ini pula terlahirlah kitab Ilmu Mushthalah al-hadits, yaitu ilmu
yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan
riwayat.
Periode keenam: awal Abad ke-IV H. hingga jatuhnya Baghdad tahun
656H, Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini ialah
Mengumpulkan hadits-hadits Al-Bukhari atau Muslim dalam sebuah kisah,
Mengumpulkan hadits-hadits kitab enam, Mengumpulkan hadits-hadits yang
terdapat dalam berbagai kitab, Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan
menyusun kitab-kitab hukum, Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun
kitab-kitab athraf.
Periode ketujuh: dari tahun 656 H. hingga sekarang, dalam periode ini
ulama mulai mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab
yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, yang mereka namai dengan
kitab zawaid. Dan yang lainnya yaitu Jawami’ dan Takhrij.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Wahid, Ramli. Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Citapustaka Media, 2015).
Arifin, Zainul. Ilmu Hadits Historis & Metodologis, (Surabaya: Pustaka al-Muna,
Ed. 1, 2014).
Majid, Abdul, Khon. Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, Ed. 2, 2013).
Zuhri, Saifuddin, Qudsy. “Umar Bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan
Hadits”., dalam Journal Esensia Vol. XIV. No. 2 (2013).
26