Anda di halaman 1dari 35

SEJARAH PERKEMBANGAN, PENULISAN

DAN TADWIN HADITS

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Hadits, Metodologi dan
Tematik

Dosen Pengampu :
Dr. Ratu Vina Rohmatika, M.Pd

Disusun oleh:

Addaratul Fakhira (2271010043)


Afrisa Nuril Hidayati (2271010044)
Annisa Miftahul Jannah (2271010047)

Kelas A

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1444 H/2023 M

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits adalah sumber Pendidikan Islam yang kedua sesudah Al-
quran. Didalam kitab suci tersebut Allah telah memberikan petunjuk yang
mencakup berbagai aspek termasuk Pendidikan dan dapat mengantarkan
manusia menuju kebahagiaan dunia maupun akhirat. Petunjuk dalam al-
quran bersifat global. Untuk memahaminya diperlukan hadits , baik yang
berbentuk perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi Muhammad
SAW.
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang
telahdilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh
dalampengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke ge
nerasi. Denganmemperhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa
timbulnya/lahirnyadi zaman Nabi SAW, meneliti dan membina hadis serta
segala hal yangmempengaruhi hadits tersebut. Para ulama Muhaditsin
membagi sejarahdalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis
sejarah hadis berbeda- beda dalam membagi sejarah hadis, ada yang
membagi dalam tiga periode,lima periode dan tujuh periode.
Dalam makalah yang singkat ini akan penulis
uraikansejarah perkembangan hadis pada masa Rasulullah dan sahabat,
bagaimana sejarah pengumpulan hadits, pembukuan hadits, faktor
pengodifikasian hadits, bagaimana hadits pada abad ke III sampai
sekarang serta analisis larangan penulisan hadits pada masa Nabi
Muhammad SAW.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. BagaimanakahHadits Pada Masa Rasulullah?
2. Bagaimanakah Hadits Pada Masa Sahabat (Khulafaurrasyidin, masa
sahabat dan Tabi’in Besar)?

1
3. BagaimanakahMasa Pengumpulan dan Pembukuan Hadits, Sejarah
dan Faktor Pendorong Kodifikasi Hadits?
4. Bagaimanakah Hadits Abad III-VII?
5. BagaimanakahHadits pada Pertengahan Abad VII- Sekarang?
6. Bagaimanakah Analisis Larangan Penulisan Hadits pada Masa Nabi
Muhammad SAW?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Hadits Pada Masa Rasulullah.
2. Untuk Mengetahui Hadits Pada Masa Sahabat (Khulafaurrasyidin,
masa sahabat dan Tabi’in Besar).
3. Untuk Mengetahui Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadits,
Sejarah dan Faktor Pendorong Kodifikasi Hadits).
4. Untuk Mengetahui Hadits Abad III-VII.
5. Untuk Mengetahui Hadits pada Pertengahan Abad VII- Sekarang.
6. Untuk Mengetahui Analisis Larangan Penulisan Hadits pada Masa
Nabi Muhammad SAW.

2
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN, PENULISAN

DAN TADWIN HADITS

A. Hadits Pada Masa Rasulullah.


Definisi Hadis1 merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-
Qur’an. Yang dimana didalam Istilah hadis biasanya mengacu pada segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, berupa sabda,
perbuatan, persetujuan, dan sifatnya (fisik ataupun psikis), baik yang terjadi
sebelum maupun setelah kenabiannya. Dalam sejarah dan perkembangan
hadist dapat dilihat sendiri dari dua aspek yakni dari periwayatannya dan pen-
dewa-annya. Dari kedua aspek tersebut dapet diketahui proses transfoemasi
yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari
nabi SAW kepada sahabat dan seterusnya.
Hadis di periode ini disebut dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yakni
masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam 2. Keadaan seperti ini
menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama
jaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan
(aqwal), perbuatan (af’al), dan taqrirnya yang berfungsi menerangkan al
quran untuk menegakkan syariat islam dan membentuk masyarakat islam 3.
Sehingga apa yang didengar dan disaksikan oleh para sahabat merupakan
pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.4 Rasulullah SAW juga
memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan
menyebarluaskan hadis-hadis. Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan,
namun beliau juga banyak memberi dukungan melalui doa-doanya, dan tak
jarang Nabi juga menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal
hadis dan menyampaikannya kepada orang lain5.

1
Leni andariati, Hadist dan sejarah perkembangannya, jurnal Diroyah ilmu hadis, Vol.4.2, (Maret
2020), hlm.153
2
Muhammad al Faith suryadilaga, ulumul hadis, (Yogyakarta:Kalimedia, 2015) hlm.50
3
M. Khamzah, dkk, hikmah membina kreatifitas dua prestasi (Qur’an Hadist),Madrasah Aliyah,
Kelas satu, (CV. Arifandi)
4
Munzir Suparta, Ilmu hadis, (Jakarta: Raja wali Press, 2010), hlm.70.
5
Ahmad Isnaeni, historisitas hadis, dalam kacamata M. Mustafa Azami, Quhas, Jurnal of Quran
dan hadist Studies, Vol. 3, no.1, 2014, hlm. 233

3
Para sahabat mendapat hadist ada beberapa cara yang pertama
perimaan secara langsung dan tidak langsung, sedangkan mendapat tentang
hadis secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai
sumber hadis. Tempat yang dijadikan Nabi dalam menyampaikan hadis
sangat fleksibel, terkadang hadis disampaikan ketika Nabi bertemu dengan
sahabatnya di Masjid, pasar, ketika dalam perjalanan, dan terkadang juga di
rumah Nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa cara Rasulullah SAW
menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui majlis
ilmu, yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW
untuk membina para jamaah. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah
SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang
kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika hadis yang disampaikan
berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis
tersebut disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah
atau pidato di tempat terbuka, misalnya ketika haji wada’ dan fath alMakkah.6
Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa
cara, menurut Muhammad Mustafa Azami 7 ada tiga cara, yaitu: Pertama,
menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan
pengajaran-pengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk
memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi mengulang-
ulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan hadis melalui
media tertulis atau Nabi mendiktekan kepada sahabat yang pandai menulis.
Hal ini menyangkut seluruh surat Nabi yang ditujukan kepada para raja,
penguasa, gubernur-gubernur muslim. Beberapa surat tersebut berisi tentang
ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang zakat dan tata cara
peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis dengan mempraktek secara
langsung di depan para sahabat, misalnya ketika beliau mengajarkan cara
berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan sebagainya.

6
Leni andariati, Hadist dan sejarah perkembangannya, jurnal Diroyah ilmu hadis, Vol.4.2,
(diakses pada Maret 2020), hlm. 155
7
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indiana: Amarica
Trust Publications, 1977), hlm.10

4
B. Hadits Pada Masa Sahabat (Khulafaurrasyidin, masa sahabat dan
Tabi’in Besar).
Periode ini memasuki periode kedua yang disebut Ashr- At-Tatsabbut wa
Aqlal Min Al-riwayah yang artinya masa ini masa membatasi dan menyedikiti
riwayat). Dimasa ini disebut masa khulafaurrasyidin (Abu bakar, Umar ibn
Khattab, Usman Ibn Affan, dan Ali bin Abi thalib) yang berlangsung sekitar
tahun 11 H sampai dengan 40 H. yang mana disebut pula dengan sebutan masa
sahabat Besar.8Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum
begitu berkembang dan masih ada pembatasan dalam periwayatan. Oleh
karena itu para ulama menganggap masa ini sebagai masa pembatasan
periwayatan9
a. Abu bakar as-sidiq
Seorang abu bakar adalah sahabat nabi yang pertama-tama
menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Hal ini terbukti
bahwa beliau tidak bersegera menerima riwayat hadis daro al-Mughirah
ebelum meneliti periwayatannya. Dan dalam melakukan penelitian pun
Abu Bakar meminta periwayat hadis untuk menghadirkan saksi. Dengan
adanya sikap abu baka yang selektif dalam meriwayatkan hadis
menjadikan hadis yang diada relative sedikit. Padahal Abu Bakar adalah
sahabat yang telah lama bergaul dan akrab dengan nabi.
Adapun beberapa faktor10 yang mengakibatkan Abu bakar as-sidiq
hanya meriwayatkan hadis sedikit adalah, pertama abu bakar selalu sibuk
ketika menjabat sebagai khalifah. Kedua, kebutuhan hadis tidak sebanyak
pada masa sesudahnya. Ketiga, jarak watu antara kewafatannya dengan
kewafatan nabi sangat singkat.
b. Umar ibn al khattab
Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam
periwayatan hadis, seperti halnya Abu Bakar. Selain itu, Umar juga
menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan

8
M. Agus Sholihin dan Agus Suyadi, Ululumul hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm. 59
9
Munzir suparta, ilmu hadis,…hlm.59
10
Leni andriati, Hadist dan sejarah perkembangannya,…hlm.158

5
hadis di masyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi masyarakat tidak
terpecah dalam membaca dan mendalami al-Qur’an, selain itu juga supaya
umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis.
Kebijaksanaan Umar inilah ya menghalangi orang-orang yang tidak
bertanggungjawab untuk melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis.11
Para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada
pemeliharaan dan penyebaran alQur’an. Akibatnya periwayatan hadis pun
kurang mendapat perhatian bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati-
hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis. Abu Hurairah yang
dikenal sebagai sahabat yang paling banyak dalam meriwayatkan hadis,
terpaksa menahan diri dengan tidak banyak meriwayatkan hadis pada
zaman Umar. Abu Hurairah sendiri menceritakan bagaimana larangan
memperbanyak periwayatan hadis pada zaman Umar. Abu Hurairah pernah
menyatakan sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar
bin Khattab, niscaya dia akan dicambuk olehnya 12. Khalifah Umar
memang dikenal sangat tegas dalam menerapkan aturan dan larangan.
Kejadian yang dialami Abu Hurairah merupakan salah satu bentuk
ketegasan Umar terhadap para sahabat yang memperbanyak periwayatan
hadis sebagai bentuk penjagaan Umar terhadap hadis. Tindakan ini
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang diterapkan oleh para
pendahulunya.
Adapun faktor yang membuat Umar melarang untuk memperbanyak
hadis namun bukan berarti melarang untuk periwayatan hadis, sebenarnya
tidak tertuju kepara periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar
masyarakat berhati-hati dalam periwayatan hadis dan perhatian masyarakat
terhadap Al Quran tidak terganggu. Dasar pernyataan tersebut dikuat oleh
bukti-bukti sebagai berikut:
1. Umar bin khattab pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam
untuk mempelajari hadis Nabi dari para ahlinya, karena mereka
lebih mengetahui tetang kandungan al Quran.
11
Nuruddin ‘Itr, Ulumul hadis, (Manhaj Naqd fii Ulumul hadis), terjemahan, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2012), hlm. 38
12
Syuhudi Ismail, kaidah kesahihan Sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan
ilmu sejarah, (bandung: Bulan Bintang), hlm.46

6
2. Umar bin khattab telah banyak meriwayatkan hadis sekitar 300
hadis.
3. Umar bin Khattab pernah merencanakan menghimpun hadis Nabi
secara tertulis sehingga Umar meminta pertimbangan kepada para
sahabat dan para sahabat pun menyetujuinya. Tetapi setelah satu
bulan lamanya Umar memohon petunjuk kepada Allah dengan
jalan melakukan shalat istikharah, akhirnya dia mengurungkan
niatnya. Dia khawatir himpunan hadis itu akan memalingkan
perhatian umat Islam dari alQur’an
c. Usman ibn Affan
Amir Al Mukmin Utsman bin Affan bahwa beliau juga menerapkan
kebijakan sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya dalam
menyedikitkan periwayatan hadis Dalam suatu kesempatan khutbah,
Utsman bin Affan meminta kepada para sahabat agar tidak banyak
meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada
zaman Abu Bakar dan Umar. Utsman bin Affan pribadi tampaknya
memang tidak terlalu banyak dalam meriwayatkan hadis. Ahmad bin
Hambal meriwayatkan hadis dari Utsman bin Affan sekitar 40 saja,itu pun
banyak matan hadis yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadis
yang banyak terulang itu adalah hadis tentang wudlu’13.
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh
berbeda dengan kebijakan dua khalifah sebelumnya. Hal ini terbukti ketika
Usman memiliki kesempatan untuk berkhutbah, dalam khutbahnya Usman
meminta kepada para sahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis
yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan
Umar. Umar sendiri memang tampaknya tidak banyak meriwayatkan
hadis. Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan hadis Nabi yang berasal dari
riwayat Usman sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun banyak matan hadis
yang terulang, dikarenakan perbedaan sanad14.

13
Arifatul Mu’awana, Perkembangan hadis pada masa sahabat (Taqlil wa Tathabbut min al-
Riwayah), Jurnal kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al Fithrah, Vol.9, (diakses 2 agustus 2019),
hlm.20.
14
Leni andriati,Hadist dan sejarah perkembangannya…, hlm.158

7
Dalam khutbahnya Usman telah menyampaikan seruan agar umat
Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Namun seruan tersebut
nampaknya tidak begitu besar pengaruhnya terhadap periwayat tertentu
yang bersikap longgar dalam periwayatan hadis. Hal ini terjadi karena
selain pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah
Islam sudah mulai meluas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan
bertambahnya kesulitan dalam mengendalikan periwayatan hadis secara
ketat
d. Ali ibn Abi Thalib
Ali ibn Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi,
baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Hadis yang berbentuk tulisan
berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang
ditawan oleh orang kafir, serta larangan melakukan hukum kisas terhadap
orang Islam yang membunuh orang kafir15. Pada masa khalifah Ali sama
dengan masa sebelumnya, yaitu adanya sikap kehatihatian dari para
khalifah dalam periwayatan hadis. Namun situasi umat Islam yang
dihadapi Ali telah berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Ali,
pertentangan politik semakin menajam dikalangan umat muslim, yaitu
terjadinya peperangan antara kelompok pendukung Ali dan pendukung
Muawiyah. Dan kejadian tersebut yang akhirnya membawa dampak
negatif dalam bidang periwayatan hadis. Kepentingan politik telah
mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemalsuan hadis 16.
Itulah yang menjadikan periwayat hadis tidak dapat dipercaya riwayatnya
secara keseluruhan.
Dalam masa akhir kekhalifahan Ali bin Abi thalib situasi umat Islam sangat
berbeda dengan situasi pada masa kekhalifahan sebelumnya. Pada masa ini telah
terjadi perpecahan di antara para sahabat sehingga menimbulkan persengketaan
antar sesama umat Islam, terutama antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyyah bin Abi sufyan. Persengketaan tersebut pada akhirnya melahirkan
sekte-sekte baru dalam agama Islam yang menjadi cikal bakal munculnya hadis

15
Lukman Zain, Sejarah hadis pada masa permulaan dan Penghimpunannya, jurnal Driya al afkar,
Vol. 2, no 1,(diakses pada 02 mei 2019), hlm.16
16
Alamansyah, pemalsuan hadis dan Upaya mengatasinya, Al hikmah: Jurnal UIN Alauddin
Vol.14, no.2, 2013, (diakses pada 02 mei 2019), hlm.202

8
palsu. Dan hadis palsu yang mula-mula dibuat adalah hadis yang berkenaan
dengan pengkultusan pribadi. Hadis palsu ini dibuat dalam rangka mengangkat
kedudukan imam mereka. Tersebut pula bahwa yang pertama-tama membuat
hadis palsu adalah kaum Shi’ah dengan maksud mengkultuskan Sayyidina Ali bin
Abi thalib17.
Masa sahabat disebut masa yang mana keberadaan sebagai orang pertama
yang berteman dengan Nabi menyambungkan hadis dari Nabi kepada
generasi abad kedua Hijriyah, mereka yang bersama dengan Nabi dan
menyaksikan secara langsung aktivitas dan perkataan Nabi.Para sahabat
telah sepakat menetapkan wajibul ittiba’ terhadap Nabi, baik pada masa
Nabi masih hidup maupun setelah wafat. Di waktu hayat Nabi, para
sahabat sama konsekuen melaksanakan hukum-hukum, mematuhi
peraturan-peraturan dan meninggalkan larangan-larangan. Sepeninggal
Nabi Muhammad, bila para sahabat tidak menjumpai ketentuan dalam Al
Quran tentang sesuatu perkara, mereka akan mencari jawabannya di hadis.
Para sahabat, ahli hadis, dan ahli fiqih telah mati-matian menjaga hadis
dan menyortirnya dari segala bentuk pemalsuan dan penyelewengan.
Mereka rela mengorbankan setiap harta dan keluarganya demi
mendapatkan hadis. Mereka bepergian (rihlah) ke berbagai daerah hanya
untuk mendapatkan hadis dari seorang ahli hadis. Ini dilakukan demi
menjaga ketersambungan hadis dan menjaga kualitas hadis. Jika melihat
usaha dan perjuangan mereka dalam menjaga keaslian hadis, bagaimana
mungkin mereka yang telah beriman kepada Nabi, meneladani setiap
tingkah dan ucapan Nabi, menjadikan Nabi sebagai world view dan
teladan utama, rela meninggalkan harta dan keluarganya hanya untuk
mendapatkan hadis, begitu tega melakukan tindakan pemalsuan terhadap
hadis Nabi. Sungguh ironi sekali. Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh
para sahabat dalam usaha mereka membatasi periwayatan hadis bukan
berarti bahwa penyebaran hadis kala itu hanya tersimpan dalam kalbu
kemudian hilang lenyap tanpa bekas.
e. Masa Tabi’in

17
Arifatul Mu’awana, Perkembangan hadis pada masa sahabat…, hlm.22

9
Selain para sahabat yang sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada
juga para Tabi’in yang nota benenya adalah para murid sahabat juga
banyak mengoleksi hadis-hadis Nabi, bahkan pengoleksiannya sudah
mulai disusun dalam sebuah kitab yang beraturan. Sebagaimana sahabat,
para Tabi’in pun cukup berhati-hati dalam hal periwayatan hadis. Hanya
saja ada perbedaan beban yang dihadapi oleh sahabat dan Tabi’in, dan
beban sahabat tentu lebih berat jika dibandingkan oleh Tabi’in.
Karena di masa Tabi’in, al Qur’an telah dukumpulkan dalam satu
mushaf, selain itu juga pada masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidin
(terkhusus pada masa Usman ibn Affan), para sahabat ahli hadis telah
menyebar ke berbagai wilayah negara Islam. Sejalan dengan pesatnya
perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran sahabat-sahabat ke
berbagai daerah pun terus meningkat, hal ini kemudian berimplikasi juga
pada meningkatnya penyebaran hadis. Oleh karena itulah, masa ini dikenal
sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis. Ini merupakan sebuah
kemudahan bagi para Tabi’in untuk mempelajari hadis.
Para Tabi’in menerima hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk,
jika disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada juga
yang harus dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terpolakan
dalam ibadah dan amaliah para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan
mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada satu hadis pun yang tercecer
apalagi terlupakan18. Perihal menulis hadis, di samping melakukan hafalan
secara teratur, para Tabi’in juga menulis sebagian hadis-hadis yang telah
diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan atau surat-
surat yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai gurunya19.
Ada beberapa kota yang dijadikan pusat pembinaan dalam periwayatan
hadis, yang kemudian dijadikan sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam
mencari hadis. Kota-kota tersebut adalah Madinah al Munawwarah,
Makkah al-Mukaramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalusia, serta Yaman dan Khurasan. Pusat pembinaan pertama yaitu di

18
Utang Ranuwijaya, ilmu hadis: pengantar studi hadis praktis, (Malang: Malang Press, 2008),
hlm.25
19
Ibid…, hlm.65

10
Madinah, karena di Madinah lah Rasulullah menetap setelah hijrah dan
Rasulullah juga membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri atas
kaum Muhajirin dan Anshor. Di antara para sahabat yang menetap di
Madinah adalah Khulafa’ Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah
ibn Umar dan Abu Said al-Khudri, dan lain sebagainya20.
C. Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadits, Sejarah dan Faktor
Pendorong Kodifikasi Hadits.
a. Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadits
a) Masa Pembentukan hadits
Masa pembentukan hadits tidak lain adalah pada masa
kerasulan Nabi Muhammad SAW itu sendiri, ialah lebih kurang 23
tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam
benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al-wahyu
wa al-takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis atau
masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai
sejak Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai nabi dan Rasul
hingga wafatnya (610-632 M).21
b) Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabiin ,
dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 11 H
atau 632. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis atau dibukukan.
Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan
persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling
bertukar hadits dan menggali sumber-sumber utamanya.
c) Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabiin
yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya
tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang
syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat
dan tabiin ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan
diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada
20
Noor sulaiman, Antologi lmu Hadis, (Jakarta: Gaung Perdasa Press, 2009), hlm.70
21
Amjad Fuad, Dwi Sigit. Ulumul Hadits. 2013. h.4

11
hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya, diteliti
secermat-cermatnya, siapa-siapa yang menjadi sumber dan
pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan khalifah Umar
bin Abdul Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabiin
memerintahkan penghimpun hadits. Masa ini terjadi pada abad ke-
II H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang
merupakan hadits marfu, mana yang mauquf, dan mana yang
maqthu’.
d) Masa Penyusunan
Abad ke-III H merupakan masa pentadwinan (pembukuan)
dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi
umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi
Muhammad SAW maka para ulama mulai mengelompokkan hadits
dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ (yang
sanadnya hanya sampai kepada Nabi Muhammad), mana yang
mauquf (yang sanadnya hanya sampai kepada sahabat) dan mana
yang maqthu’ (yang sanadnya hanya sampai kepada tabiin). Usaha
pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan juga
dilakukan penelitian sanad dan rawi-rawi pembawa beritanya
sebagai wujud tashis (koreksi/verifikasi) atas hadits yang ada
maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad ke- IV H, usaha
pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada
masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits.
Sedangkan abad ke-V H dan seterusnya adalah masa memperbaiki
susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk memudahkan
mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-
IV H.22

e) Masa pembukuan hadits


Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan
Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama

22
Ibid. h.5

12
hadits pada pertengahan abad ke-II H. perintah kewarganegaraan
mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah ke-II Abasyiah di
Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Manshur yang memerintahkan selama 22
tahun (136-158 H). Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas
sewaktu Abu Ja’far al-Manshur berkunjung ke Madinah dalam rangka
ibadah haji.
Banyak ulama hadits yang menghimpun bersamaan dengan
kegiatan ulama dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama
seperti fiqih, kalam, dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal
dengan “Ashr Al-tadwin” (masa Pembukuan). Karya ulama pada masa
ini masih bercampur antara hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabiin,
bahkan mereka belum mengklasifikasikan antara hadits shahih, hasan
dan dhaif. Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan
menghimpun hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab,
kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu
karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu:
1. Golongan politik: permulaan abad ke-II H, dari
golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain yang bertujuan
merebut kekuasaan dari dinasti Umayah.
2. Golongan tukang cerita: mereka mengarang hadits palsu
untuk menambah hebat ceritanya dan untuk mendapat
kepercayaan dari orang-orang.
3. Golongan Zindik: mereka mengarang hadits palsu untuk
membuat fitnah dan kekacauan di golongan umat islam.
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama
pada masa ini mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk
mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-sumbernya.
Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti
Yahya bin Said bin al-Qathan dan Abdurrahman bin Mahdi. Ada
beberapa kendala pembukuan hadits, diantaranya:
i. Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu

13
ii. Ulama tidak/belum memperhatikan dhaif, shahih/hasan,
yang penting itu sumbernya dari Rasulullah SAW.
iii. Memisahkan hadits maudhu’ saja, yang lain tidak.
iv. Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini
sudah ya sudah yang lain tidak diurus.23
b. Sejarah dan Faktor Pendorong Kodifikasi Hadits
Kodifikasi adalah menyusun (membukukan) peraturan sehingga
menjadi kitab perundang-undangan, berarti yang di maksud dengan kata
pengodifikasian hadits adalah menyusun atau membukukan sabda atau
ketetapan rasulullah saw dan menjadikannya sumber utama ajaran islam di
samping al-qur'an atau setelah al-qur'an. 24 Sudah dapat di pahami bahwa
dalam abad pertama hijrah, mulai dari zaman rasul saw, masa khulafa al-
rasyidin dan sebagian besar zaman amawiyah, yakni hingga akhir abad
pertama hijriah, hadis-hadis itu berpindah dari mulut ke mulut. Pada masa
itu mereka belum terdorong untuk membukukan-nya. Hafalan mereka
(sahabat dan tabi'in) terkenal kuat dan kekuatan itu juga di akui sejarah.
Ketika kursi kekhalifahan dipegang oleh umar bin abdul aziz
yang dinobatkan dalam tahun 99 H. Seorang khalifah dari dinasti
amawiyah yang terkenal adil dan wara', sehingga beliau di
pandang sebagai "khalifah rasyidin yang kelima", maka tergeraklah
hatinya untuk membukukan hadis, dia terdorong karena kesadaran
nya; bahwasanya para perawi yang membendaharakan hadis di dalam
kepalanya, kian lama kian banyak yangmeninggal. Maka apabila tidak
segera dibukukan hadis dari para perawinya, mungkinlah hadis-hadis
tersebut akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama perawinya ke
alam barzakh.
Ada beberapa Faktor pengkodifikasian hadits yaitu:
1) Tidak ada lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadits,
yaitu kekhawatiran bercampurnya hadis dengan al-qur’an, karena al-
qur’an ketika itu telah di bukukan dan di sebar luaskan.

23
Ibid. h.6
24
Maulana, Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits. 2021. h.13

14
2) Munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena
banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau
karena seringnya terjadi peperangan.
3) Semakin maraknya pemalsuan hadits yang dilatar belakangi oleh
perpecahan politik dan perbedaan madzhab di kalangan umat islam.
4) Karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan islam disertai dengan
semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang di hadapi umat
islam, maka hal itu menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk dari
hadits nabi saw, selain dari petunjuk al-qur’an.25
Supaya mewujudkan niat baik tersebut, pada tahun 100 H. Khalifah
memintakepada gubernur madinah, abu bakar bin Muhammad bin amr bin
hazmin, supaya membukukan hadits rasul sawyang terdapat pada
pengahafal Wanita yang terkenal, Amrah binti Abdurrahman bin Sa'ad
bin Zurarah bin Ades, seorang ahli fiqh, murid dari Aisyah RA dan
hadis-hadis yang ada pada al-qasim bin Muhammad bin abu bakar ash-
shiddiq, seorang pemuka tabi'in dan salah seorang fuqaha' tujuh madinah.
Di samping itu Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada gubernur
ke semua wilayah kekuasaannya, supaya berusaha membukukan hadis yang
ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing.
Abu bakar Muhammad bin muslim bin ubaidillah bin syihab az-zuhry,
seorang tabi'in yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits, adalah ulama besar
yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran khalifah dan beliau
membukukan seluruh hadits yang ada di madinah. tapi sayangnya
kitab hadis az-zuhry tidak diketahui keberadaannya sekarang.
Kitab hadis pertama yang ditulis atas perintah khalifah adalah kitab
hadis yang di tulis oleh ibnu hazm, namun sayangnya kitab tersebut tidak
sampai kepada zaman sekarang, karena tidak terpelihara dengan semestinya
dan kitab tersebut tidak membukukan seluruh hadis yang ada di madinah.
Ciri dan sistem pembukuan hadis pada abad ke-2 hijrah:
i. Sistem ulama’ abad ke-2 hijrah dalam membukukan hadis adalah
dengantidak menyaringnya, dalam artian mereka tidak membukkan

25
Ibid. h.14

15
hadis saja, tetapi fatwa-fatwa para sahabat, para tabi’in,
semua itu di bukukan bersama-sama. Maka dalam kitab-kitab
itu terdapat hadis-hadis marfu’ mauquf, dan maqthu’. Yang hanya
menghimpun hadis rasul saww adalahkitab yang di susun oleh ibnu
hazm sebagaimana instruksi khalifah yaitu“janganlah kamu terima
selain dari hadis nabi saw.”
ii. Pengkodifikasian-nya bercampur baur antara berbagai topik yang
ada, seperti yang menyangkut bidang tafsir, sirah, hokum, dan
sebagainya.
iii. Di dalam kitab-kitab hadis pada periode ini belum dijumpai
pemisahanantara hadis-hadis yang berkualitas shahih, hasan dan
dha’if.26
D. Hadits Abad III-VII.
a. Hadist Pada Masa Ke-III Hijriah (Masa Pemurnian, Penshahihan dan
penyempurnaan Kodifikasi.)
Periode ini berlangsung pada masa Pemerintahan Khalifah Al Ma’mun
sampai pada awal pemerintahan khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan
Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini ulama memusatkan perhatian mereka
pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian Hadist Nabi SAW,
sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan Hadist yang semakin marak,
diantaranya:
1) Kegiatan Pemalsuan Hadist
Pada abad ke-II hijriah telah banyak melahirkan para Imam
Mujtahid di berbagai bidang, diantaranya dibidang Fiqih dan Ilmu
Kalam. Meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat,
akan tetapi mereka saling merhormati. Akan tetapi memasuki abad
ke-3 Hijriah, para pengikut masing-masing imam berpendapat
bahwa imam nya lah yang benar, sehingga menimbulkan bentrokan
pendapat yang semakin meruncing. Diantara pengikut fanatik
akhirnya menciptakan hadist-hadist palsu dalam rangka
memaksakan pendapat mereka.

26
Ibid. h.15

16
Dan setelah Khalifah Al Ma’mun berkuasa mendukung
golongan Mu’tazilah. Perbedaan pendapat tentang kemakhlukan Al
Qur’an dan siapa yang tidak sependapat akan dipenjara dan
disiksa, salah satu Imam yaitu Imam Ahmad Bin Hambal yang
tidak mengakuinya. Setelah pemerintahan Al Muwakkil, maka
barulah keadaan berubah positif bagi ulama.
2) Upaya Pelestarian Hadist.
Diantara kegiatan yang dilakukan oleh para ulama Hadist dalam
rangka memelihara kemurnian Hadist Rasulullah SAW adalah:
I. Perlawatan ke daerah-daerah
II. Pengklasifikasian Hadist kepada: Marfu’ (disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw), Mawquf (disandrkan
kepada sahabat), dan Maqthu (disandarkan kepada tabi’in).
III. Penyeleksian kualitas Hadist dan pengklasifikasian kepada:
Shahih, Hasan, Dha’if.
3) Tokoh-tokoh Pengumpul Hadist
Diantara tokoh-tokoh Hadist yang lahir pada masa ini adalah :Ali
Ibn Madany, Abu Hatim Ar Razy, Muhammad Ibn Jarir ath
Thabary, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al
Bukhari Muslim, An Nasa’I, Abu Daud, At Turmudzy, Ibnu Majah,
Ibnu Qutaibah Ad Dainury.

4) Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah


I. Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist
sahih, sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan
kedalamnya. Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu
penyajian berdasarkan bab masalah tertentu. Hadist yang
dihimpun menyangkut masalah fiqh,aqidah ,akhlak ,sejarah
dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
II. Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadist yang sahih
dan juga hadit dhaif yang tidak terlalu lemah dan
mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab

17
kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk
Mushannaf dan hadistnya terbatas hanya pada masalah
fiqh . Contoh: Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi,
Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
III. Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadist disususn
berdasrkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi
pertama ada yang berdasrkan nabi kabilah seperti bani
hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat
berdasrkan urutan waktu memeluk Islam,dan ada yang
berdasarkan hijaiyah dll. Contoh: Musnad Ahmad ibn
Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan musnab
ustman ibn abi syaibah.

b. Hadist pada abad ke-IV sampai ke-V (Masa Pemeliharaan, Penertiban,


Penambahan, dan Penghimpunan).
1). Kegiatan periwayatan Hadist pada periode ini.
Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai
Khalifah Al Muktashim. Meskipun kekuasaan Islam Pada periode ini
mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7
Hijriah akibat serangan Hulaqu Khan, Cucu dari Jengis Khan.
Kegiatan para Ulama Hadist tetap berlansung sebagaimana periode-
periode sebelumnya, hanya saja hadist-hadist yang dihimpun pada
periode ini tidaklah sebanyak penghimpunan pada periode-periode
sebelumnya, kitab-kitab hadist yang dihimpun pada periode ini
diantaranya adalah:
a). Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah.(313 H)
b). Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)
c). Al Musnad oleh Abu Amanah (316 H)
d). Al Mustaqa oleh Ibn Jarud.
e). Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi.
Setelah Lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama
berikutnya pada umumnya hanyalah merujuk pada karya–karya yang

18
telah ada dengan bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, memeriksa
dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.
2). Bentuk Penyusunan Kitab Hadist pada masa periode ini:
Para Ulama Hadist Periode ini memperkenalkan sitem baru dalam
penusunan Hadist , yaitu :
a). Kitab Athraf, didalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan
sebagian matan hadist tertentu, kemudian menjelaskan seluruh
sanad dari matan itu, baik dari sanad kitab hadist yang dikutib
matannya ataupun dari kitab-kitab lainya contohnya :
I. Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H).
II. Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad khalaf Ibn
Muhammad al Wasithi (401 H).
III. Athraf Al Sunnah al arrba’ah, oleh Ibn Asakir al dimasyqi
(571 H)
IV. Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al
Maqdisi (507 H).
b). Kitab Mustadhrak, Kitab ini memuat matan Hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau
lainnya, dan selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan
hadist tersebut dengan sanadnya sendiri, contoh:
I. Mustadhrak Shahih Bukhari , oleh Jurjani
II. Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H)
III. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu bakar Ibn Abdan al
Sirazi (w.388 H).
a) Kitab Mustadhrak, Kitab ini menghimpun hadist-hadist yang
memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki
salah satu dari keduanya, contoh :
I. Al Mustdhrak oleh Al Hakim ( 321-405 H)
II. Al Ilzamat , oleh Al Daruquthni (306-385 H).
d). Kitab Jami’, Kitab ini menghimpun Hadist-hadist yang termuat
dalam kitab-kitab yang telah ada yaitu yang menghimpun hadsit
shahih Bukhari dan Muslim. Contohnya: Al Jami’ bayn al Shahihaini

19
, oleh Ibn Al Furat ( Ibn Muhammad Al Humaidi (w.414 H)).,Al
Jami’ bayn al Shahihaini, oleh Muhammad Ibn Nashir al Humaidi
(488 H),Al Jami’ bayan al Shahihaini, oleh Al Baqhawi (516 H).

c. Periode Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab


Hadist Abad ke V sampai VII
Usaha ulama ahli hadits pada abad ke V samapi VII adalah
ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-
hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu
kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan dan
mengikhtishar kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang
mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi
(448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
1) Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-
Baihaqy (384-458 H.)
2) Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3) Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany
(852 H.).
4) Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam
Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)

Hadits dimasa abad V H sampai VII hanya ada sedikit tambahan dan
modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad
kelima lebih luas, simple dan sistematis. Diantara mereka adalah:
1) Abu Abdillah al-Humaidi tahun 448 H beliau mengumpulkan 2
kitab sahih sesuai urutan sanad.
2) Abu Sa’adah Mubarak bin al-‘Asyir tahun 606 H beliau
mengumpulkan enam kitab hadis dengan urutan bab.
3) Nuruddin Ali al-Haitami beliau melengakapi 6 kitab dengan
karangan-karangan lain (selain kutub al-sittah).
4) Al-Suyuthi tahun 911 H beliau menulis kitab yang berjudul al-
Jami al-Kabir.

20
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti: Al-
Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-
Mundziry (656 H.); Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu
‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin,
karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk
mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits
apa suatu hadits didapatkan, misalnya:
1) al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-
Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)
2) Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits,
karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-
Nabulisy.
3) Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy,
Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.
4) Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.
E. Hadits pada Pertengahan Abad VII- Sekarang
Jika masa sebelumnya adalah Kodifikasi Hadits Abad IV-VII H, dimana
masa ini adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan (ashr altahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam u) dan
berlangsung sekitar dua setengah abad yaitu antara abad keempat sampai
pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan
Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M. Gerakan ulama hadis pada masa ini
sebenarnya tidak jauh beda dengan gerakan ulama pada masa sebelumnya.
Pada masa berikutnya, yakni abad ke VII-VIII H dan berikutnya disebut
dengan masa penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik (al-
Jam’u wa at-Tanzhim).27 Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa
Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan pindah dari Baghdad ke
Cairo, Mesir dan India.Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang
berkecimpung dalam bidang ilmu hadis, seperti al-Barquq. Di samping itu

27
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), 61.

21
ada juga usaha dari ulama India dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Di
antaranya Ulumul Hadis karangan al-Hakim. Demikian perkembangan
penulisan dan pengkodifikasian hadis sampai abad 12 H. Mulai abad terakhir
ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para
ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan
memberikan syarah hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
Usaha ulama ahli hadits pada abad ke VII sampai sekarang adalah
ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits
yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab
hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan dan mengikhtishar kitab-
kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang
dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) Adapun contoh kitab-kitab
hadits pada periode ini antara lain:
1. Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy
(384-458 H.)
2. Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3. Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852
H.)
4. Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam
Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.

Hadits dimasa abad V H sampai sekarang hanya ada sedikit


tambahan dan modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama
hadits abad kelima lebih luas, simple dan sistematis.

1. Abu Abdillah al-Humaidi tahun 448 H beliau mengumpulkan 2 kitab


sahih sesuai urutan sanad.
2. Abu Sa’adah Mubarak bin al-‘Asyir tahun 606 H beliau mengumpulkan
enam kitab hadis dengan urutan bab.
3. Nuruddin Ali al-Haitami beliau melengakapi 6 kitab dengan karangan-
karangan lain (selain kutub al-sittah).
4. Al-Suyuthi tahun 911 H beliau menulis kitab yang berjudul al-Jami al-
Kabir

22
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti:

1. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-


Mundziry (656 H.)
2. Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy
(1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam
Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari
pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits
didapatkan, al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam
Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.) Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala
Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-
Maqdisy al-Nabulisy, Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-
Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing, Miftahu al-Kunuzi al-
Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.
Periode terakhir, yaitu periode ke-7 ialah periode syarah, penghimpunan, dan
peng-takhrij-an atau Asru al-Syarh wa al-Jam’u wa al-Takhrij. Pada masa ini
dapat dikatakan hadis dan ilmu hadis sudah dalam posisi yang matang dan periode
ini masih berjalan hingga masa kini. Namun demikian, terkait masa yang sedang
berjalan mungkin perlu menjadi pertimbangan pula bahwa saat ini hadis telah
memasuki periode baru, yaitu Era Digitalisasi Hadist.
Perkembangan kajian hadis dalam masa kekinian sebagaimana dikaji oleh para
ahli hadis kekinian Perkembangan tersebut sebagaimana ditulis oleh Yunus
Yussoff, Riskan Ismail dan Zainuddin Hassan, adopting Hadist to Digital
Evidence Autentification. Hasil ulama mutaqaddimin dapat diakses melalui
teknologi, yaitu ketika menilai suatu hadis.
Hadis dan perkembangannya terdapat perkembangan yang signifikan dalam isi
maupun materi yang dibahas dalam beberapa kitab hadis yang sebelumnya
merupakan perkataan perbuatan dan taqrir nabi yang disampaikan nabi kepada
sahabatnya melalui majelis yang dibuat Rasul atau melalui media lainnya kini
menjadi sesuatu yang terbukukan dan beragam kitab yang didalamnya memiliki
metode masing-masing. Dalam perjalanan hadits sejak masa bawah sampai

23
munculnya berbagai kitab standar dan variasi didalamnya dapat dilihat dalam
klasifikasi, di bawah ini:
a. Masa kelahiran hadis dan pembentukan masyarakat Islam. Periode ini
ditandai dengan pewahyuan hadis oleh Nabi Muhammad dengan cara
lisan, tulisan maupun demonstrasi praktis. Terhadap penjagaan hadis Nabi
Muhammad pada masa tersebut dilakukan dengan cara menghafal dan
terkadang Jika memungkinkan bagi sahabat tertentu dalam menulis hadis
hadis yang diperolehnya. Sampai disini memunculkan diskusi panjang
tentang tradisi penulisan hadis setidaknya ada 2 hadis yang menerangkan
tentang larangan penulisan hadis dan pembolehan penulisannya.
b. Di samping itu masa ini juga dinamakan dengan masa pembentukan
masyarakat Islam. Tren pada masa inilah Nabi Muhammad menggembleng
masyarakatnya dengan baik dengan meninggalkan mutiara yang sangat
berharga berupa Alquran dan hadis. Rentang waktu masa ini berjalan
selama 23 tahun selama nabi diutus oleh Allah sebagai Rasul untuk
menyebarkan ajaran Islam. Masa pemateri an dan sedikit an riwayat.
Hanya berjalan pada masa pemerintahan khalifah Ar Rasyidin masa ini
ditandai dengan upaya sahabat besar dalam menerima dan meriwayatkan
hadis hanya terhadap riwayat-riwayat tertentu saja yang dapat diterima.
Oleh karena itu, nampak bahwa pada masa ini hadits tidak banyak lagi
materi kan karena adanya kehati-hatian sahabat dalam menerima dan
meriwayatkan hadis. Hadis baru tersebar luas dan menjadi suatu yang
penting sejak wafatnya Utsman bin Affan dan masa masa sesudahnya.
Persoalan di bidang politik lambat laun menjadi suatu persoalan agama
dengan munculnya justifikasi justifikasi ajaran Islam melalui hadis. Masa
penyebaran ke berbagai wilayah. Pelopornya adalah para sahabat kecil dan tabiin
besar dari berakhirnya khalifah Ar Rasyidin sampai awal dinasti muawiyah abad
pertama Hijriah. Hadis Pada masa ini tersebar ke berbagai wilayah kekuasaan
Islam yang tidak hanya di wilayah Hijaz melainkan telah sampai ke Yaman dan
bahkan sampai ke Afrika. Penyebaran hadis tersebut juga dibarengi dengan
munculnya madrasah-madrasah di berbagai daerah sebagai pusat pendidikan
keagamaan. Waktu periode ini adalah masa sahabat kecil sampai tabiin.

24
Masa pembukaan hadis dimulai awal abad kedua Hijriah. Sampai di
penghujung Abad tersebut. Abad ke-2 Hijriyah merupakan momentum baru bagi
perkembangan hadits dimana hadits yang sebelumnya dipelihara melalui tradisi
hafalan dilakukan dengan cara pembukuan. Kitab Hadis kodifikasi ulama yang
masa tersebut yang masih ada sampai sekarang adalah karya Imam Malik Ibnu
Anas. Walaupun sebagai upaya awal, namun yang dilakukan Malik Ibnu atas
merupakan suatu hal yang baru dan dapat dijadikan kajian oleh ulama sesudahnya.
Jika dihubungkan dengan sejarah perkembangan al-hadits, maka masa ini
merupakan suatu masa keemasan dan kematangan Ulum al-hadits. Oleh karena itu
tidak heran jika masa terakhir perkembangan hadis telah menyempurnakan dirinya
dengan berbagai karya hadis yang tetap mengacu pada hasil ulama sebelumnya
mutaqaddimin. Hadits karya ulama periode ke-7 antara lain Syarah Al Buchori
seperti Fath Al bari Karya Al asqalani, umdat Al-Qori karya Muhammad Ibnu
Ahmad Al Aini dan Irsyad Al Sari karya al asqolani. Hal serupa juga ditemukan
pada kitab-kitab lain seperti shohih muslim sunan at-tirmidzi sunan an-nasa'i dan
Sunan Ibnu Majah. Periodesasi di atas terkesan lebih terperinci dan menyebut
berbagai generasi yang terlihat banyak dalam setiap tahap perkembangan hadis.
Oleh karena itu terdapat 7 tahapan namun pada perkembangan ada juga ulama
yang hanya membagi ke dalam tiga periode saja seperti yang dilakukan oleh
Muhammad Al khotib. Ketiga periode tersebut masing-masing, qolb at tadwin
(sebelum pembukuan),in da al tadwin(masa pembukuan), ba'da al tadwin ( setelah
pembukuan).28
F. Analisis Larangan Penulisan Hadits pada Masa Nabi Muhammad SAW
Ada sebuah fakta bahwa Nabi Muhammad hadir di tengah komunitas buta
huruf. Pada fase awal ke-Nabian di Mekkah, terhitung hanya 17 orang yang
mengenal budaya tulis-menulis. Madinah pun demikian, budaya tulis-menlulis
belum dikenal luas oleh masyarakat Madinah terkecuali sebagian kaum yahudi. 29
Nabi sangat menyadari urgensi tulis menulis sehingga ia menyuarakan agenda
pembelajaran dan menuai hasil memuaskan. Nabi mengangkat 40 sahabat sebagai

28
Wardatul Jannah, “Pengertian Hadist Tematik dan Sejarah Pertumbuhannya 1. Hadist Tematik di
Era Sahabat 2. Hadist Tematik di Era Pra Kodifikasi Hadist 3. Hadist Tematik di Era Kodifikasi
Hadist 4. Hadist Tematik di Era Pra Digitalisasi Hadist” 2, no. 1 (2020): 50.
29
Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Cairo: Syirkah Musahamah Masriah,
1959), 120.

25
sekertaris yang bertugas mencatat setiap kali wahyu diturunkan, dan menunjuk
beberapa sahabat untuk mencatat admistrasi keuangan dan urusan kenegaraan
yang mengetahui surat-menyurat dengan bahasa yang bervariasi.30
Masjid menjadi ikon pendidikan selain berfungsi sebagai tempat peribadatan.
Usaha Nabi dalam memerangi kebuta-hurufan tercermin dengan kebijakannya
dalam melepaskan setiap tawanan perang badr dengan mengajarkan 10 anak
baca-tulis. Kemudian proses pembelajaran mengalami perkembangan yang pesat
di berbagai kota-kota Islam seiring dengan diutusnya beberapa sahabat ke
berbagai kota untuk mengajarkan ajaran Islam.
Sebagaimana jamak diketahui bahwa terdapat beberapa riwayat yang kontras
antara larangan menulis hadis dan pembolehannya.Problematika larangan dan
pembolehan penulisan selain alqur’an pada fase keNabian menggelitik para
pengkaji hadis untuk menyibak misteri di balik teks tersebut. Abu Said al-Khudri
meriwayatkan hadis Nabi”Janganlah kalian tulis apa yang kalian dengan dariku,
selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an
hendaklah dihapus”. Namun beberapa riwayat yang lain membolehkan penulisan
selain alquran bahkan menegaskannya. Muhammad Ajjaj Khatib menyimpulkan,
ada empat pendapat yang bervariasi dalam rangka mengkompromikan dua
kelompok hadis yang terlihat saling bertentangan dalam hal penulisan hadis Nabi
SAW tersebut yaitu:
(1) Menurut imam Bukhari, Hadis Abu Said al-Khudri diatas mauquf dan
karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Tetapi pendapat ini ditolak, sebab
menurut Imam Muslim hadis tersebut adalah sahih dan diperkuat dengan
hadis yang lain.
(2) Bahwa larangan menuliskan hadis itu terjadi pada masa awal islam yang
ketika itu dikhawatirkan terjadinya percampuradukan antara hadis dengan
Alquran. Tetapi setelah bertambah banyak dan mereka telah membedakan
antara hadis dan Alquran, maka hilanglah kekhawatiran itu dan karenanya,
mereka diperkenankan untuk menuliskannya.

30
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikri,
1989), 143.

26
(3) Larangan tersebut ditujukan kepada mereka yang memiliki hafalan yang
kuat sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan, sedangkan kebolehan
diberikan kepada mereka yang hafalannya kurang baik seperti Abu Syah.
(4) Larangan tersebut sifatnya umum, sedangkan kebolehan menulis
diberikan khusus kepada mereka yang pandai membaca dan menulis
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuliskannya, seperti ibn
Abdullah ibn Amru bin Ash yang dipercaya oleh Nabi SAW.
Terlepas dari adanya hadis-hadis yang bertentangan dalam masalah penulisan
hadis, ternyata di antara para sahabat terdapat mereka yang memiliki kumpulan-
kumpulan hadis dalam bentuk tertulis secara pribadi, seperti Abdullah bin Amru
bin Ash yang menghimpun hadis dan dinamainya dengan al-Shahifah al-Anshari
yang memuat seribu hadis. Demikian juga dengan Saad ibn Ubadah al-Anshari,
Samrah bin Jundub, Jabir bin Abdullah al-Anshari dan Anas bin Malik.31
Larangan dari Nabi dalam soal penulisan hadis secara implisit menunjukkan
adanya sebuah kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis akan bercampur
baur dengan catatan ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun memang demikian ada pula
riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada masa Rasulullah ada sebagian
sahabat yang memiliki lembaran (Sahifah) yang berisi tentang catatan hadis,
misalnya Abdullah bin Amr bin Al-Ash dengan lembaran yang diberi nama al-
Sahifah al-Shadiqah, dinamakan dengan demikian karena dia menulis secara
langsung dari Rasulullah nya sendiri, sehingga periwayat nya tersebut di percaya
kebenarannya.32 Begitupun dengan Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik sama-
sama memiliki catatan hadis. Dan ini memang bukan melanggar akan tetapi ada
riwayat lain yang membolehkan dan mengizinkan para sahabat menulis hadis.
Pada masa Rasulullah sedikit yang bisa menulis sehingga yang menjadi
andalan paling ampuh mereka adalah dengan digunakan hafalan. Menurut Abd Al-
Nashr, Allah telah memberikan suatu keistimewaan kepada para sahabat dengan
menggunakan kekuatan daya ingat dan kemampuan hafalannya. Mereka dapat

31
Ahmad Izzan dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Tafakur, 2011), 51.
32
Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, (Kairo: al-Hadisah li al Thaba’ah,
t.t), 15

27
meriwayatkan Al-Qur’an, hadis dan syair. Dengan baik seakan mereka juga
membaca dari sebuah buku.33
Hadis pada masa itu memang umunya hanya diingat dan dihafal oleh para
sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi karena
situasi dan kondisi yang tidak sangat memungkinkan. 34Adanya larangan yang
berakibat hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah melarangpun
tidak mungkin hadis dapat di tulis karena menurut M. Suyudi Ismail hal ini
disebabkan oleh beberapa alasan yaitu :
a. Karena hadis yang disampaikan tidaklah selalu dihadapan sahabat yang
pandai menulis.
b. Perhatian Nabi dan sahabat lebih banyak kepada Al-Qur’an.

33
Idris. Studi Hadis (Jakarta: Kencana. 2013), 35.
34
Abd. Majid Khon Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah 2012), 49

28
BAB III

SIMPULAN

A. Hadits Pada Masa Rasulullah.


Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa cara,
menurut Muhammad Mustafa Azami, ada tiga cara, yaitu: Pertama,
menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan pengajaran-
pengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk memudahkan
pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi mengulang-ulang perkataannya
sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan hadis melalui media tertulis atau Nabi
mendiktekan kepada sahabat yang pandai menulis. Hal ini menyangkut seluruh
surat Nabi yang ditujukan kepada para raja, penguasa, gubernur-gubernur
muslim. Beberapa surat tersebut berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti
ketentuan tentang zakat dan tata cara peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis
dengan mempraktek secara langsung di depan para sahabat, misalnya ketika
beliau mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan
sebagainya.
B. Hadits Pada Masa Sahabat (Khulafaurrasyidin, masa sahabat dan
Tabi’in Besar).
Periode ini memasuki periode kedua yang disebut Ashr- At-Tatsabbut wa Aqlal
Min Al-riwayah yang artinya masa ini masa membatasi dan menyedikiti riwayat).
Dimasa ini disebut masa khulafaurrasyidin (Abu bakar, Umar ibn Khattab,
Usman Ibn Affan, dan Ali bin Abi thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H
sampai dengan 40 H. yang mana disebut pula dengan sebutan masa sahabat
Besar.
a. Abu bakar as-sidiq
Seorang abu bakar adalah sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan
kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Hal ini terbukti bahwa beliau tidak
bersegera menerima riwayat hadis daro al-Mughirah ebelum meneliti
periwayatannya.
b. Umar ibn al khattab
Para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Akibatnya periwayatan hadis pun

29
kurang mendapat perhatian bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati-hati
dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis.
c. Usman ibn Affan
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh
berbeda dengan kebijakan dua khalifah sebelumnya. Hal ini terbukti ketika
Usman memiliki kesempatan untuk berkhutbah, dalam khutbahnya Usman
meminta kepada para sahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis yang
mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar.
d. Ali ibn Abi Thalib
Ali cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, baik dalam bentuk lisan
maupun tulisan. Hadis yang berbentuk tulisan berkisar tentang hukuman denda
(diyat), pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, serta larangan
melakukan hukum kisas terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
e. Masa Tabi’in
Para Tabi’in menerima hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk, jika
disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada juga yang harus
dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan
amaliah para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan mengikutinya.
C. Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadits, Sejarah dan Faktor
Pendorong Kodifikasi Hadits).
a. Masa Pengumpulan dan pembukuan Hadits
Masa pembentukan hadits, masa penggalian, masa penghimpunan,
masa penyusunan, masa pembukuan hadits, dan kendala saat pembukuan
hadits.
b. Sejarah dan Faktor Pendorong Kodifikasi Hadits
Kodifikasi adalah menyusun (membukukan) peraturan sehingga
menjadi kitab perundang-undangan, berarti yang di maksud dengan kata
pengodifikasian hadits adalah menyusun atau membukukan sabda atau
ketetapan rasulullah saw dan menjadikannya sumber utama ajaran islam di
samping al-qur'an.
Ada beberapa Faktor pengkodifikasian hadits yaitu :Tidak ada lagi
penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadits, yaitu

30
kekhawatiran bercampurnya hadis dengan al-qur’an, karena al-qur’an
ketika itu telah di bukukan dan di sebar luaskan; Munculnya kekhawatiran
akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyaknya para sahabat yang
meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi
peperangan; Semakin maraknya pemalsuan hadits yang dilatar belakangi
oleh perpecahan politik dan perbedaan madzhab di kalangan umat islam.
D. Hadits Abad III-VII.
a. Hadist Pada Masa Ke-III Hijriah (Masa Pemurnian, Penshahihan dan
penyempurnaan Kodifikasi.)
b. Hadist pada abad ke-IV sampai ke-V (Masa Pemeliharaan, Penertiban,
Penambahan, dan Penghimpunan).
c. Periode Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab
Hadist Abad ke V sampai VII.
E. Hadits pada Pertengahan Abad VII- Sekaran
Usaha ulama ahli hadits pada abad ke VII sampai sekarang adalah ditujukan
untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu
mereka pada men-syarahkan dan mengikhtishar kitab-kitab hadits yang telah
disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Seperti yang dilakukan oleh Abu
'Abdillah al-Humaidi (448 H.)
Adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:

1. Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy
(384-458 H.)
2. Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3. Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852
H.)
4. Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam
Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.
F. Analisis Larangan Penulisan Hadits pada Masa Nabi Muhammad SAW
Larangan dari Nabi dalam soal penulisan hadis secara implisit
menunjukkan adanya sebuah kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis
akan bercampur baur dengan catatan ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun memang

31
demikian ada pula riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada masa
Rasulullah ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran (Sahifah) yang berisi
tentang catatan hadis, misalnya Abdullah bin Amr bin Al-Ash dengan lembaran
yang diberi nama al-Sahifah al-Shadiqah, dinamakan dengan demikian karena
dia menulis secara langsung dari Rasulullah nya sendiri, sehingga periwayat
nya tersebut di percaya kebenarannya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Alamansyah, pemalsuan hadis dan Upaya mengatasinya, Al hikmah: Jurnal UIN


Alauddin Vol.14, no.2, 2013, (diakses pada 02 mei 2019).
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut:
Dar al-Fikri, 1989), 143.
Andariati, Leni Hadist dan sejarah perkembangannya, jurnal Diroyah ilmu hadis,
Vol.4.2, (Maret 2020).
Arifatul Mu’awana, Perkembangan hadis pada masa sahabat (Taqlil wa Tathabbut
min al-Riwayah), Jurnal kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al Fithrah, Vol.9,
(diakses 2 agustus 2019).
Azami, Muhammad Mustafa Studies in Hadith Methodology and Literature,
(Indiana: Amarica Trust Publications, 1977).
Fuad, Amjad Dwi Sigit. Ulumul Hadits. 2013.
Hasyim, Al-Hasani Abd al-Majid Ushul al-Hadis al-Nabawi, (Kairo: al-Hadisah li
al Thaba’ah, t.t).
Ismail, Syuhudi kaidah kesahihan Sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan
pendekatan ilmu sejarah, (Bandung: Bulan Bintang).
Isnaeni, Ahmad historisitas hadis, dalam kacamata M. Mustafa Azami, Quhas,
Jurnal of Quran dan hadist Studies, Vol. 3, no.1, 2014
Izzan, Ahmad dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Tafakur, 2011).
Jannah, Wardatul, “Pengertian Hadist Tematik dan Sejarah Pertumbuhannya 1.
Hadist Tematik di Era Sahabat 2. Hadist Tematik di Era Pra Kodifikasi
Hadist 3. Hadist Tematik di Era Kodifikasi Hadist 4. Hadist Tematik di Era
Pra Digitalisasi Hadist” 2, no. 1 (2020).
Khamzah, M. dkk, hikmah membina kreatifitas dua prestasi (Qur’an Hadist),
Madrasah Aliyah, Kelas satu, (CV. Arifandi)
Khon,Abdul Majid Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008).
Nuruddin ‘Itr, Ulumul hadis, (Manhaj Naqd fii Ulumul hadis), terjemahan,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012).
Ranuwijaya, Utang ilmu hadis: pengantar studi hadis praktis, (Malang: Malang
Press, 2008).

33
Sholihin, M. Agus dan Agus Suyadi, Ululumul hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2013).
Sulaiman, Noor Antologi lmu Hadis, (Jakarta: Gaung Perdasa Press, 2009).
Suparta, Munzir Ilmu hadis, (Jakarta: Raja wali Press, 2010).
Suryadilaga Muhammad al Faith, ulumul hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015).
Zahw, Muhammad Abual-Hadits wa al-Muhadditsun (Cairo: Syirkah Musahamah
Masriah, 1959).
Zain, Lukman Sejarah hadis pada masa permulaan dan Penghimpunannya, jurnal
Driya al afkar, Vol. 2, no 1, (diakses pada 02 Mei 2019)

34

Anda mungkin juga menyukai