Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH HADIS SEBELUM DIBUKUKAN

Abdullah, Abdul Majid, Ahmad Yusuf, Yasir


Program Studi Pendidikan Jarak Jauh PAI, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Pendidikan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon
ABSTRAK
Tujuan mengenai artikel ini yaitu guna mendiskusikan pengertian
hadis dan perkembangannya. Kultur penulisan hadis telah terjadi
pada masa Nabi. Beberapa sahabat menerima hadis dari Nabi
kemudian mencatat apa yang telah dikatakan Nabi. Tetapi banyak
sahabat yang mampu menulis masih sangat jarang, sehingga materi
hadis yang tertulis pun sangat terbatas. Selain itu pula perhatian
para sahabat yang masih bersandar pada pemeliharaan al-Qur’an,
menjadikan catatan hadis hanya tercecer pada sahifah sahabat.
Proses periwayat dalam memperoleh dan menyampaikan hadis
mengalami perbandingan antara masa Nabi dengan masa Khulafa’
al-Rasyidin. Demikian pula periwayatan hadis pada masa sahabat
tidak sama dengan periwayatan hadis pada masa setelahnya.
Periwayatan hadis pada masa Nabi lebih bebas karena ketiadaan
syarat-syarat yang mesti dipenuhi. Sebab pada masa Nabi tidak ada
dalil yang absah tentang telah terjadinya pemalsuan hadis, dan juga
era Nabi lebih gampang dalam melakukan pemeriksaan andaikan
ada hadis yang diragukan keshahihannya. Pada masa Khulafa’ al-
rasyidin terdapat penyederhanaan periwayatan hadis, di mana
periwayat yang hendak meriwayatkan hadis mesti melakukan
sumpah atau menghadirkan saksi kalau hadis yang ditulis
merupakan benar dari Nabi. Adapun untuk era Tabi’in dan Tabi’i
al-Tabi’in telah terjadi penghimpunan hadis, walaupun masih ada
perbauran antara hadis Nabi, aqwal sahabat dan fatwa Tabi’in.
Barulah saat Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah, hadis mulai
mengalami pengkodifikasian.
Kata Kunci: Hadis, Nabi SAW, Khulafa’ al-Rasyidin,Tabi’in,
Tabi’i al-Tabi’in

A. PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Terma
hadis umumnya merujuk dari segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., berbentuk sabda, perbuatan, persetujuan, serta sifatnya
(fisik ataupun psikis), baik yang terjadi sebelum atau pun setelah kenabiannya.
Terma hadis kadang dipertukarkan dengan terma sunnah. Beberapa ulama
hadis menganggap kedua terma tersebut adalah sinonim (mutaradif), sementara
1
beberapa yang lainnya ada yang membedakan antara keduanya. Sejarah dan
pertumbuhan hadis dapat dilihat dari dua sudut penting, yakni periwayatan dan
penulisannya. Dari keduanya dapat diketahui proses dan transformasi yang
berkenaan oleh perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW
kepada para sahabat dan seterusnya sampai dengan munculnya kitab-kitab
kumpulan hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait pada
masa perkembangan dan kemajuan hadis, para ulama berbeda dalam
menyusunnya (Leni Andariati, 2020:154).
Kelahiran hadis sebagai halnya terkait langsung pada pribadi Nabi
Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, di mana beliau telah membimbing
umatnya selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut ialah kurun waktu
turunnya wahyu (al-Qur’an), bersamaan dengan itu keluar pula hadis. Lahirnya
hadis pada masa Nabi ialah adanya interaksi Rasullah sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan) tentang ayat-ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat
lainnya, dalam rangka penyampaian risalah, dan juga disebabkan adanya
bermacam-macam persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan
jalan pemecahan atau solusi dari Nabi SAW, kemudian para sahabat
memahami dan menghafal apa yang sudah diterimanya dari Nabi SAW
(Mahmud Thahan, 1997:18).
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat
berwaspada dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini dimaksudkan
sebagai upaya menjaga kemurnian al-Qur’an agar tidak tercampur dengan
hadis, selain itu juga untuk menjaga keorisinalitas hadis tersebut (Khotimah
Suryani, 2018:139).
Keadaan di masa tabi’in sedikit berlainan dengan apa yang terjadi di
masa sahabat. Karena al-Qur’an ketika itu sudah disebarluaskan ke seluruh
penjuru negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri dalam
mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai tersebar ke suluruh penjuru
dunia Islam. Dengan begitu, pada masa Tabi’in sudah mulai bertumbuh dalam
penghimpunan hadis (al-jam’u wa al-tadwin), walaupun masih ada
percampuran antara hadis Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di masa tabi’ al-
tabi’in hadis telah dibukukan, sampai-sampai pada masa ini menjadi masa
kejayaan pengkodifikasian hadis. Kodifikasi dilakukan bertumpu pada perintah
khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang
kebijakannya diteruskan oleh ulama di berbagai daerah sehingga pada masa
berikutnya hadis terbukukan dalam kitab hadis (Idris, 2010:93).
Selepas masa tabi’ al-tabi’in, yakni masa abad II, III, IV-VII dan
seterusnya yang terjadi pada hadis ialah penghimpunan dan penerbitan secara
sistematik (al-jam’u wa at-tartib wa at-tanzhim). Dengan begitu, bagaimana
sejarah perkembangan kultur periwayatan hadis dari masa ke masa itulah yang
akan menjadi perhatian atau pembahasan dalam artikel ini.

2
B. PEMBAHASAN
1. Hadis pada Masa Rasulullah SAW
Hadis pada era dikenal dengan sebutan Ashr al-Wahy wa al-Takwin,
adalah era turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam (Muhammad
Alfatih Suryadilaga, 2015:50). Situasi seperti ini menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang
diturunkan Allah dijelaskan Nabi lewat perkataan, tingkah laku, dan taqrirnya.
Sehingga semua apa saja yang didengar dan disaksikan bagi para sahabat
merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka (Munzir Suparta,
2010:70). Rasulullah SAW pun menginstruksikan kepada para sahabatnya agar
menghafal, menyampaikan dan menyebarluaskan hadis-hadis. Nabi juga tidak
hanya menginstruksikan, namun beliau pun banyak memberikan semangat
melalui doa-doanya, dan tak sedikit Nabi pun menjanjikan kebaikan akhirat
bagi mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain
(Ahmad Isnaeni, 2014:233). Hal demikianlah yang kemudian memotivasi
para sahabat untuk menghafalkan hadis, disamping para sahabat merupakan
orang Arab asli yang kebanyakan tidak bisa membaca dan menulis, tetapi
demikian mereka memiliki kemahiran dalam hafalan yang luar biasa, sebab
menghafal adalah budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya (Muhammad
Abu Zahwi, t.t, 49).
Para sahabat juga bisa secara langsung mendapatkan hadis dari
Rasulullah SAW sebagai sumber asal-muasal hadis. Tempat yang dijadikan
Nabi dalam meriwayatkan hadis sangat fleksibel, adakala hadis diriwayatkan
saat Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid, pasar, sat dalam perjalanan,
dan adakala juga ketika di rumah Nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa cara
Rasulullah SAW meriwayatkan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama,
melalui majlis ilmu, yaitu tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membimbing para jamaah. Kedua, dalam banyak
kesempatan Rasulullah SAW juga meriwayatkan hadisnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika hadis
yang diriwayatkan berkenaan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan
biologis, maka hadis tersebut diriwayatkan melalui istri-istri Nabi sendiri.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, semisal ketika haji
wada’ dan fath al-Makkah. Ketika melaksanakan ibadah haji pada tahun 10 H,
Nabi menyampaikan khutbah yang sangat historis di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang sedang melaksanakan ibadah haji, isi khutbahnya terkait aspek
muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang melingkupi
kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan
solidaritas. Selain itu juga adanya perintah larangan Nabi untuk membunuh,
larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk menegakkan tali

3
persaudaraan sesama manusia, juga untuk selalu berpegang teguh pada al-
Qur’an dan Hadis (Lukman Zain, 2014:5).
Tanggapan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak
selalu sama. Hal itu dikarenakan beberapa hal, yakni: adanya perbedaan di
antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga soal
kesanggupan bertanya pada sahabat lain, juga berbedanya waktu masuk Islam
dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada beberapa sahabat
yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah,
semisal para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun al-Awwalun (Abu
Bakar, Umar ibn Khattab, dan Utsman ibn Affan, serta Ali ibn Abi Thalib, dan
Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat
yang meskipun tidak lama bersama Nabi Muhammad Saw, namun banyak yang
bertanya kepada para sahabat secara sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah,
serta Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah ibn Abbas yang
merupakan sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi,
banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong jauh
dari masa hidup Nabi Muhammad SAW (M.M.Azamiy, 2006:78).
Hadis yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw kepada para sahabat
melalui beberapa cara, menurut ahli yaitu Muhammad Mustafa Azami ada tiga
cara, adalah: Pertama, yaitu menyampaikan hadis dengan kata-kata. Nabi
Muhammad Saw banyak melakukan pengajaran-pengajaran kepada para
sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk memudahkan pemahaman dan daya
ingat para sahabat, Nabi mengulang-ulang perkataannya sampai tiga kali.
Kedua, penyampaian hadis melalui media tertulis atau Nabi Muhammad
mendiktekan kepada para sahabat yang bisa menulis. Hal ini meny- angkut
seluruh surat Nabi Muhammad yang ditujukan ke pada para raja-raja,
penguasa, gubernur-gubernur muslim. Serta Beberapa surat tersebut ada yang
berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang zakat serta tata
cara ibadah. Ketiga, penyampaian hadis dengan mempraktekan secara
langsung dengan melaksanakan di depan para sahabat, misalnya ketika Nabi
Muhammad Saw mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, dan menunaikan
ibadah haji dan sebagainya (.M.M. Azamiy, 1977:10).
Pada masa Nabi Muhammad SAW, hadis belum ditulis secara resmi
sebagaimana al-Qur’an ditulis dengan seksama, hal ini dikarenakan adanya
kata-kata larangan dari Nabi. Larangan menulis hadis tersebut dari Nabi
Muhammad Saw sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri
bahwa Rasulullah SAW bersabda:

4
‫ و َمن كتب‬،‫ال تكتبوا عني‬: «‫عن أبي سعيد الخدري أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
ِّ ‫ وحدِّثوا‬،‫غير القرآن فَ ْل َي ْم ُحه‬
:‫أحسِّبه قال‬: ‫ قال همام‬-‫ و َمن كذب علي‬،‫عني وال َح َرج‬ َ ‫عني‬
]‫ ]رواه مسلم‬- [‫ فَ ْليَتَبوأ َم ْقعَدَه ِّمن النار [صحيح‬-‫تعمدًا‬
ِّ ‫ُم‬

Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri berkata bahwa Rasulullah Saw


bersabda, "Janganlah kalian mencatat sesuatu apapun dariku (selain Al-
Qur`an). Siapa yang mencatat dariku selain Al-Qur`an, hendaknya dia
menghapusnya. Sampaikanlah kepadanya (apa yang kalian dengar) dariku
dan tidak ada dosa bagi kalian. Siapa yang berdusta atas namaku dengan
sengaja, hendaknya dia menempati tempat duduknya yang dari api neraka."
(Hadis sahih-Diriwayatkan oleh Muslim) (hadeethenc.com).
Pelarangan oleh Nabi Muhammad Saw dalam penulisan hadis tersebut
secara implisit dan menunjukkan bahwa adanya kekhawatiran dari Nabi
Muhammad Saw apabila hadis yang ditulis akan bercampur dengan catatan
dan tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun demikianadanya, ada juga yang
diriwayatkan yang melalui pernyataan bahwa pada masa Rasul ada sebagian
sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi tentang
catatan hadis, contohnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya
yang diberikan nama al-Sahifah al-Shadiqah, dengan dinamakan demikian
karena menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri, sehingga
periwayatannya dipercaya kebenarannya dan keasliannya (Abdul Majid, t.t,
15). Begitu juga dengan Khalifa Ali ibn Abi Thalib serta sahabat Anas ibn Malik,
keduanya sama-sama memiliki catatan hadis. dengan ini bukan berarti mereka
melanggar akan larangan Nabi Muhammad tentang penulisan hadis, akan tetapi
karena memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw
mengizinkan para sahabat yang untuk menulis hadis, sebagaimana diriwayatkan
para sahabat bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn al-Ash untuk
selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena menurut
sahabat Rasulullah terkadang dalam keadaan marah, sehingga ucapannya yang
tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau
bersabda:
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat dan jiwaku berada
ditangan-Nya yang tidak akan keluar dari apa yang aku ucapakan
melalui mulutku kecuali adanya kebenaran” (M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
1998:60).
Dari sini bisa dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu riwayat
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw melarang penulisan hadis dan
di riwayat lain Nabi Menyatakan menyatakan bahwa Rasul menyatakan untuk
mengizinkannya. Dalam hal ini para ulama memiliki pendangan yang berbeda
pendapat, dan secara garis besar terdapat dua pendapat. Dan Pendapat yang
pertama menyatakan bahwa riwayat yang telah melarang penulisan hadis
5
dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya. Menurut para ulama, pelarangan
penulisan hadis oleh Nabi Muhammad Saw terjadi pada awal-awal adanya
Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara hadis dan ayat al-
Qur’an, maka hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar kemurnian ayat
al-Qur’an (Abdul Majid Khon, 2008:45). Namun ketika rasa kekhawatiran itu
mulai hilang karena para sahabat telah mengetahui serta terbiasa dengan
susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga mereka bisa membedakan mana
ayat al-Qur’an dan mana yang bukan, maka dari itu Rasul mengizinkan para
sahabat untuk menuliskan hadis. Pendapat kedua yang menyatakan bahwa pada
dasarnya kedua riwayat tersebut tidak bertentangan dan tidak saling
menyalahkan. Para sahabat menyatakan bahwa larangan tersebut dikhususkan
kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan tulisan hadis dan
al-Qur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak ada kekhawatirkan
mencampur adukkan keduanya, yaitu izin seperti yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw kepada Abdullah bin Amr ibn al-Ash. Pada dalam kata lain
Nabi Muhammad melarang penulisan hadis secara resmi, akan tetapi tetap
mengizinkan para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi larangan itu
hanya bersifat umum sedangkan izin hanya berlaku untuk sahabat tertentu
(Subhi as-Shalih, 2009:37). Demikian, hadis pada masa Nabi Muhammad
SAW tidak tertulis kecuali hanya sedikit.
2. Hadis pada Masa Khulafa’ al-Rasyidin
Periode kedua bahwa sejarah perkembangan hadis berada pada masa
Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, serta Ali
ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H.
Masa ini disebut dengan masa sahabat besar (M. Agus Sholihin dan Agus
Suyadi, 2013:59). Pengertian para sahabat menurut istilah bahwa ilmu hadis
yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis, adalah orang-orang Islam yang
pernah bersama atau melihat Nabi Muhammad serta meninggal dalam keadaan
beragama Islam. Keterlibatan para sahabat Nabi dalam proses diterimanya
hadis adalah sebuah keniscayaan. Baik hadis yang diriwayatkan secara
langsung dengan lisan maupun tulisan, namun kesemuanya itu melalui
informasi yang disampaikan oleh para sahabat dari Nabi Muhammad SAW.
Dengan melalui informasi yang disampaikan para sahabat, materi (matan)
hadis yang diterima secara berantai dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Tanpa adanya kehadiran sahabat, maka mustahil informasi dan pesan-pesan
Nabi Muhammad Saw akan sampai kepada generasi selanjutnya.
Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan
dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang
dan masih ada pembatasan dalam periwayatan. Oleh sebab itu para ulama
menganggap masa sekarang ini sebagai masa pembatasan periwayatan
(Munzier Suparta, 2010:59).
6
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Abu Bakar merupakan sahabat Nabi Muhammad Saw yang pertama-tama
menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan tersebut
berdasar pengalaman Abu Bakar pada saat menghadapi kasus seorang nenek.
Suatu hari, bertemu seorang nenek yang menghadapnya, nenek tersebut
meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan oleh cucunya tersebut. Dan
Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk di dalam al-Qur’an
serta praktek Nabi Muhammad yang memberikan bagian harta warisan kepada
nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sahabat, dan al-Mughirah
Ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar bahwa Nabi Muhammad Saw
sudah memberikan bagian waris kepada sang nenek tersebut sebesar seperenam
bagian. Dengan mendengar pernyataan tersebut al-Mughirah, Abu Bakar
meminta untuk menghadirkan seorang saksi, untuk kemudian Muhammad ibn
Salamah memberikan kesaksian kepada kebenaran per- nyataan al-Mughirah
tersebut. kemudian Abu Bakar menetapkan nenek tersebut sebagai ahli waris
dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi Muhammad
yang disampaikan oleh al-Mughirah (Abu Dawud Sulaiman, t.t, 121). Dari sini
tergambar bahwa ternyata Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan
suatu hadis, hal ini terbukti beliau tidak bersegera menerima riwayat hadis dari
al-Mughirah sebelum meneliti periwayatnya. kemudian dalam melakukan
penelitian tersebut Abu Bakar pun meminta kepada periwayat hadis agar
menghadirkan saksi.
Sikap Abu Bakar yang sangat berhati hati dalam periwayatan hadis
mengakibatkan hadis yang telah diriwayatkan pun relative sedikit. Abu Bakar
adalah sahabat yang telah lama bergaul serta sangat akrab dengan Nabi
Muhammad Saw, kemudian mulai dari masa sebelum Nabi hijrah sampai Nabi
Muhammad wafat. Selain faktor kehati-hatian, faktor lain pun menyebabkan
Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis yaitu, yang pertama, Abu Bakar
selalu sibuk pada saat menjabat sebagai khalifah. Yang kedua, kebutuhan hadis
yang tidak sebanyak pada masa sesudahnya. Dan yang ketiga, jarak waktu
antara wafatnya Sahabat dengan kewafatan Nabi sangat singkat (K. Ali,
1980:83).
b. Umar ibn al-Khattab
Umar ibn al-Khattab juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-
hati dalam periwayatan hadis, seperti dengan Abu Bakar. kemudian, Umar juga
menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis
di tengah-tengah masyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi masyarakat
tidak terpecah dalam membaca dan mendalami al-Qur’an, selain itu juga
supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan pada periwayatan hadis.
Kebijaksanaan yang diambil oleh Umar inilah yang kemudian mampu

7
menghalangi orang-orang yang tidak bertanggungjawab dalam melakukan
pemalsuan-pemalsuan hadis (Nuruddin, t.t, 38).
c. Usman ibn Affan
Secara umum, kebijakan yang diambil oleh Usman tentang periwayatan
hadis tidak jauh berbeda dengan kebijakan dua khalifah sebelumnya. Hal
tersebut terbukti bahwa ketika Usman memiliki kesempatan untuk berkhutbah,
kemudian dalam khutbahnya Usman meminta kepada para sahabat untuk tidak
banyak meriwayatkan hadis yang jarang atau tidak pernah mereka mendengar
hadis tersebut pada masa Abu Bakar dan Umar. Dan Umar sendiri memang
tampaknya tidak terlalu banyak meriwayatkan hadis. Serta Ahmad ibn Hanbal
yang meriwayatkan hadis Nabi berasal dari riwayat Usman yang telah lama
sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun banyak matan hadis yang terulang,
disebabkan perbedaan sanad (Lukman Zain, 2014:15). Dengan begitu, total
hadis yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak jumlah hadis yang
diriwayatkan oleh Umar ibn al- Khattab.
Dari sini bisa terlihat jelas bahwa pada era Usman ibn Affan, kegiatan
umat Islam dalam periwayatan hadis lebih banyak kalau dibandingkan dengan
kegiatan periwayatan pada era Umar. Dalam pidatonya Usman telah
menyampaikan imbauan supaya umat Islam harus berhati-hati dalam
meriwayatkan atau menyampaikan hadis. Namun imbauan tersebut rupanya
tidak begitu besar pengaruhnya terhadap periwayat tertentu yang bersikap
bebas dalam periwayatan hadis. Hal ini terjadi sebab selain pribadi Usman
tidak setegas pribadi Umar, juga disebabkan wilayah Islam sudah mulai
meluas. Luasnya wilayah Islam menimbulkan bertambahnya kesulitan dalam
mengendalikan periwayatan hadis secara ketat.
d. Ali ibn Abi Thalib
Perkembangan hadis pada era Khalifah Ali ibn Abi Thalib juga tidak jauh
berbeda dengan khalifah terdahulunya terkait periwayatan hadis. Ali hanya
bersedia menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang berkenaan
mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya tersebut itu benar-
benar bersumber dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah hanya jikalau periwayat
benar-benar sudah dipercayainya. Dengan begitu, dapatlah dinyatakan bahwa
fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah dijadikan sebagai
syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak
dibutuhkan apabila orang yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar
diyakini tidak mungkin keliru (Subhi as-Shalih, 2009:285).
Ali ibn Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, baik
secara lisan maupun tulisan. Hadis yang berbentuk tulisan berkisar tentang
hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang

8
kafir, juga larangan melakukan hukum qisas terhadap orang Islam yang
membunuh orang kafir (Lukman Zain, 2014:16).
Pada era khalifah Ali sama dengan era sebelumnya, yakni adanya sikap
kehati-hatian dari para khalifah dalam periwayatan hadis. Akan tetapi situasi
umat Islam yang dihadapi Ali telah berbeda dengan era sebelumnya. Pada era
Ali, kontradiksi politik semakin memanas dikalangan umat muslim, yakni
terjadinya peperangan antara kedua kelompok yaitu kelompok yang
mendukung Ali dan kelompok yang mendukung Muawiyah. Kejadian tersebut
yang akhirnya membuat dampak negatif dalam bidang periwayatan hadis.
Kepentingan politik mendorong pihak-pihak tertentu guna melakukan
manipulasi hadis (Alamsyah, 2013:202). Itulah yang menyebabkan periwayat
hadis tidak dapat dipercaya riwayatnya secara keseluruhan.
Dari ulasan tersebut dapat dinyatakan bahwa kebijakan al-Khulafa al-
Rasyidin terkait periwayatan hadis terdapat empat bentuk, yakni: Pertama,
seluruh khalifah setuju tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan
hadis. Kedua, keseluruhannya melarang untuk memperbanyak periwayatan
hadis, terutama pada era khalifah Umar ibn Khattab, tujuannya agar periwayat
bersikap selektif dalam meriwayatkan hadis dan agar perhatian masyarakat
tidak berpaling dari al-Qur’an. Ketiga, pengucapan sumpah ataupun
menghadirkan saksi bagi periwayat hadis adalah salah satu cara untuk meneliti
riwayat hadis. Periwayat yang dipandang mempunyai kredibilitas yang tinggi
tidak dibebani kewajiban mengajukan sumpah atau juga saksi. Keempat, semua
khalifah telah meriwayatkan hadis, hanya saja tiga khalifah yang pertama (Abu
Bakar, Umar, Usman) meriwayatkan hadis secara lisan, hanya khalifah Ali saja
yang meriwayatkan hadis dalam bentuk lisan dan tulisan.
3. Hadis pada Masa Tabi’in
Selain para sahabat yang telah banyak mengumpulkan hadis Nabi, ada pula
para Tabi’in yang notabennya yaitu para murid sahabat yang banyak
mengoleksi hadis-hadis Nabi, terlebih pengumpulan hadisnya sudah mulai
disusun dalam sebuah kitab yang beraturan. Sebagai halnya sahabat, para
Tabi’in juga cukup berhati-hati dalam hal periwayatan hadis. Namun saja ada
perbedaan beban yang dihadapi para sahabat dan Tabi’in, dan beban sahabat
tentu lebih berat jika dibandingkan oleh Tabi’in. Sebab di era Tabi’in, al-
Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf, selain itu pula pada era akhir
periode al-Khulafa al-Rasyidin (terkhusus pada era Usman ibn Affan), para
sahabat ahli hadis sudah meluas ke berbagai wilayah negara Islam. Selaras
dengan lajunya perluasan wilayah kekuasaan Islam, diseminasi sahabat-
sahabat ke berbagai daerah pun terus berkembang, kondisi ini kemudian
berimplikasi pula pada meningkatnya penyebaran hadis. Oleh sebab itulah, era
ini dikenal sebagai era menyebarnya periwayatan hadis. Ini adalah sebuah
kemudahan bagi para Tabi’in untuk mempelajari hadis. Metode yang dilakukan
9
para Tabi’in dalam mengoleksi dan mencatat hadis yakni melalui pertemuan-
pertemuan dengan para sahabat, selanjutnya mereka mencatat apa yang telah di
dapat dari pertemuan tersebut (Zeid B. Smeer, 2008:25).
Para Tabi’in memperoleh hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk,
jika disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada pula yang
harus dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terstruktur dalam ibadah
dan amaliah para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan mengikutinya. Dengan
begitu, tidak ada satu hadis pun yang tercecer apalagi terlupakan (Utang
Ranuwijaya, 1996:62).
Mengenai menulis hadis, di samping melakukan hafalan secara teratur,
para Tabi’in pula menulis sebagian hadis-hadis yang sudah diperolehnya.
Selain itu, mereka pula mempunyai catatan-catatan atau surat-surat yang
mereka terima langsung dari para sahabat sebagai gurunya (Utang Ranuwijaya,
1996:65).
Ada sebagian kota yang dijadikan pusat pembinaan dalam periwayatan
hadis, yang kemudian dijadikan sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam
mencari hadis. Kota-kota tersebut adalah Madinah al- Munawwarah, Makkah
al-Mukaramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia, Yaman
dan Khurasan (Subhi as-Shalih, 2009:63). Pusat pembinaan pertama yaitu di
Madinah, sebab di Madinah lah Rasulullah menetap setelah hijrah, Rasulullah
juga membina dan membimbing masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri
dari kaum Muhajirin dan Anshor. Di antara para sahabat yang bertempat tinggal
di Madinah ialah Khulafa’ Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah ibn
Umar dan Abu Said al-Khudri, dan lain sebagainya (Noor Sulaiman, 2009:70).
4. Hadis pada Masa Tabi’i al-Tabi’in
Era tabi’i al-tabi’in dimulai dengan berakhirnya era tabi’in, tabi’in
terakhir yaitu tabi’in yang bertemu dengan sahabat yang sudah meninggal
paling akhir. Cara periwayatan hadis pada masa tabi’i al-tabi’in adalah bi lafdzi,
yakni dengan lafadz. Karena kodifikasi hadis mulai dilakukan di akhir era
tabi’in. Kodifikasi pada era ini telah menggunakan cara yang sistematis, yakni
dengan mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang bahasan,
meskipun dalam penyusunannya masih bercampur-campur antara hadis Nabi
dengan qaul atau perkataan sahabat dan tabi’in. Sebagai halnya yang terdapat
dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Barulah pada awal abad kedua hijriah,
dalam kodifikasinya, hadis sudah dipisahkan dari qaul sahabat dan tabi’in.
Selain riwayat bi al-lafdzi, ada juga metode penerimaan dan periwayatan
hadis dengan metode isnad. Maraknya pemalsuan hadis yang terjadi di akhir
era tabi’in yang terus berlanjut sampai era setelahnya menjadikan para ulama
untuk meneliti keontetikan hadis, cara yang dipakai para ulama yakni dengan
meneliti perawi- perawinya. Dari penelitian tersebut menghasilkan istilah isnad
sebagai halnya yang dikenal sampai saat ini. Menurut Abu Zahrah, sanad yang
10
disampaikan pada era tabi’in kerap menyampaikan sebuah hadis dengan tanpa
menyebut sahabat yang meriwayatkannya.
C. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KODIFIKASI HADIS
Kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti
codification, yakni mengumpulkan dan menyusun. Adapun menurut istilah,
kodifikasi merupakan penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi yang
berdasar pada perintah khalifah dengan menyertakan beberapa personil yang
mahir di bidang hadis, bukan di lakukan secara individual ataupun demi
kepentingan sendiri. Jadi, kodifikasi hadis merupakan penulisan,
penghimpunan, dan pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW yang dilakukan
atas perintah resmi dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, khalifah kedelapan
dari Bani Umayyah yang kemudian kebijakannya diteruskan oleh para ulama
di berbagai daerah sampai pada masa hadis terbukukan dalam kitab hadis (Idris,
2010:93).
D. KODIFIKASI HADIS SECARA RESMI
Sebagaimana yang sudah diketahui bahwasannya pada abad pertama
hijriyah, yaitu era Nabi, era al-khulafa’ al-rasyidin hingga berakhirnya abad
pertama hijriah, tradisi penulisan dan penyebaran hadis masih bergantung pada
hafalan para sahabat dan tulisan-tulisan pribadi mereka (Hasbi ash-Shiddieqy,
1988:78). Barulah ketika pemerintahan tiba pada Umar ibn Abdul Aziz yang
termasyhur dengan adil dan wara’, tergugah hatinya untuk membukukan
hadis. Umar ibn Abdul Aziz menyerukan secara resmi dan massal kepada para
gubernur untuk pembukuan hadis. Dikatakan resmi karena dalam kegiatan
penghimpunan hadis tersebut merupakan kebijakan dari kepala negara, dan
dikatakan massal karena perintah kepala negara tersebut ditujukan kepada para
gubernur dan ulama ahli hadis pada zamannya (M. Syuhudi Ismail, 1992:17).
Yang melatarbelakangi kebijakan Umar ibn Abdul Aziz untuk
membukukan hadis secara legal, adalah:
1. Sebelumnya hadis tersebar dalam lembaran dan catatan masing-masing
sahabat, misalnya sahifah yang dimiliki Abdullah ibn Umar, Jabir dan
Hammam ibn Munabbih. Ahli hadis memberikan semua yang berkaitan
dengan penulisan hadis kepada hafalan para sahabat yang lafadznya
mereka terima dari Nabi, akan tetapi ada pula sahabat yang hanya
mengetahui maknanya dan tidak pada lafadznya, hal itu pula yang
kemudian menjadikan adanya pertentangan riwayat penukilan sekaligus
rawinya. Dari situ ada kekhawatiran dari Umar ibn Abdul Aziz kalau nati
hadis Nabi disia-siakan oleh umatnya (Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:68).
2. Penulisan dan penyebaran hadis yang terjadi dari era Nabi sampai era
sahabat masih bersifat kolektif individual, dan serta ada perbedaan para
sahabat dalam memperoleh hadis. Dengan situasi yang seperti itu
11
dikhawatirkan akan terjadi penambahan dan pengurangan pada lafadz
hadis yang diriwayatkan (Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:68).
3. Semakin menyebarnya kekuasaan Islam ke berbagai negara yang
kemudian mempunyai pengaruh besar pada tiga benua, yakni Asia, Afrika
dan beberapa benua Eropa. Dengan begitu juga menjadikan para sahabat
tersebar ke negara-negara tersebut. Dari sana timbul berbagai masalah
yang berbeda yang dihadapi para sahabat, yang berimbas pada
melemahnya hafalan mereka. Belum pula banyak sahabat yang
meninggal di medan perang demi membela bendera keislaman, untuk
itulah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz merasa khawatir jika hafalan para
sahabat hilang begitu saja (Abu Zahwi, t.t, 245).
4. Banyak bermunculan hadis-hadis palsu, terutama setelah wafatnya kha-
lifah Ali ibn Abi Thalib sampai pada masa dinasti Umayyah, yang
membuat umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan yang
membawa mereka untuk mendatangkan keterangan hadis yang
dibutuhkan untuk mengabsahkan sebagai golongan yang paling benar
(Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:77).
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz menyerukan kepada hakimnya atau
qadhi-nya di Madinah yang bernama Abu Bakar ibn Hazm yang berprofesi
sebagai guru Ma’mar, al-Lais, al-Auza’i, Malik ibn Annas, Ibn Ishaq dan Ibn
Dzi’bin agar membukukan hadis yang terdapat pada penghafal wanita yang
termasyhur, sekaligus seorang ahli dalam bidang fiqih yang merupakan
murid Aisyah ra, yakni Amrah bint Rahman ibn Saad Zurarah ibn Ades
(Fatihunnada, 2016:386).
Kitab hadis yang ditulis Ibn Hazm adalah kitab hadis pertama, ditulis
menurut seruan kepala negara, akan tetapi kitab tersebut tidak meliputi secara
keseluruhan peredaran hadis yang ada di Madinah (Muhammad Mudzakir,
1998:32). Adapun yang membukukan hadis di Madinah secara keseluruhan
yaitu Muhammad ibn Muslim ibn Shihab al-Zuhri, seorang ulama masyhur di
masanya. Sesudah generasi Shihab al-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hazm berakhir,
timbul generasi seterusnya yang kemudian meneruskan upaya pembukuan
(Subhi as-Shalih, 2009:57).
Para ulama yang meneruskan kegiatan pembukuan yaitu, di Mekah
timbul Abu Muhammad Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Zuraij al-Bisyri
(150 H), di Madinah timbul Muhammad ibn Ishaq (151 H) serta Malik ibn
Annas, di Basrah timbul Said ibn Abi Arabah (156 H), Rabi’ ibn Shabi’ (160
H), dan Hammad ibn Salamah (167 H), di Kuffah timbul sofyan al-Sauri (161
H), di Syam timbul Abu Umar al-Auza’i (157 H), di Yaman timbul Hasyim
(173 H) dan Ma’mar ibn Asyid (153 H), di Khurasan timbul Jarir ibn Abdul
Hamid (188 H) dan Ibn al-Mubarak (181 H), di Wasit timbul Hasyim ibn
Basyir (104-173 H), di Ray timbul Jarir ibn Abd al-Hamid (110-188 H), dan di
Mesir timbul Abdullah ibn Wahhab (125-197 H).
12
Nama-nama itulah merupakan ahli hadis yang membukukan hadis pada
abad kedua hijriyah, selanjutnya mereka memajukan pengajaran hadis di kota-
kota di mana mereka tinggal, dan tempat tersebutlah yang selanjutnya menjadi
pusat-pusat pengembangan kajian hadis. Pembukuan hadis terus-menerus
berlanjut sampai akhir pemerintahan Bani Umayyah, akan tetapi keadaan
semakin sempurna ketika Bani Abbas dating pada pertengahan abad kedua.
Dengan timbulnya kembali Imam Malik dengan al-Muwatha’nya, Imam Syafi’i
dengan Musnad nya, serta Asar Imam Muhammad ibn Hasan al-Syabani
dengan gerakan penyusunan hadis secara lengkap, mulai dari hadis Nabi
sampai dengan perkataan sahabat dan fatwa tabi’in (Subhi as-Shalih, 2009:59).
Pembukuan hadis pada abad kedua belum tersusun dengan sistematis
dalam bab-bab tertentu. Dalam penyusunannya, mereka masih memasukkan
qaul sahabat dan fatwa tabi’in di samping hadis dari Nabi Muhammad SAW.
Keseluruhannya dibukukan secara bersamaan, dari situlah kemudian terdapat
kitab hadis yang marfu’, mauquf dan maqthi’. Di antara kitab-kitab hadis abad
kedua hijriyah yang mendapat reaksi atau perhatian ulama secara umum yaitu
kitab al-Muwatha’ yang di susun oleh Imam Malik, al-Musnad dan Mukhtalif
al-Hadis yang disusun Imam as-Syafi’i serta as-Sirah an-Nabawiyah atau al-
Maghazi wa as-Siyar susunan Ibnu Ishaq. Dari kesemuanya, al-Muwatha’ lah
yang paling termasyhur dan memperoleh sambutan yang paling ramai dari para
ulama, sebab banyak para ahli yang membuat syarah (penjelasan) dan
mukhtashar (ringkasan). Dalam kitab ini memuat 1.726 rangkaian khabar dari
Nabi, sahabat, dan tabi’in. Khabar yang musnad sebanyak 600, yang mursal
sebanyak 228, yang mauquf sebanyak 613 dan 285 yang maqthu’ (Hasbi ash-
Shiddieqy, 1988:5).
Adapun kitab-kitab hadis yang dibukukan dan dikumpulkan pada abad
kedua lumayan banyak jumlahnya, akan tetapi yang terkenal di kalangan ahli
hadis hanya beberapa saja, yakni:
1. Al Muwattha’, karya Imam Malik ibn Anas (95-179 H)
2. Al Maghazi wa al-Siyar, karya Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3. Al Jami’, karya Abd al-Razak al-san’ani (211 H)
4. Al Mushannaf, karya Syu’bah ibn Hajjaj (160 H)
5. Al Mushannaf, karya Sufyan ibn Uyainah (198 H)
6. Al Mushannaf, karya al-Lais ibn Sa’ad (175 H)
7. Al Mushannaf, karya al-Auza’i (150 H)
8. Al Mushannaf, karya al-Humaidi (219 H)
9. Al Maghazi al-Nabawuyyah, karya Muhammad ibn Wagid al- Aslami
(130-207 H)
10. Al Musnad, karya Abu Hanifah (150 H)
11. Al Musnad, karya Zaid ibn Ali
12. Al Musnad, karya Imam al-Safi’i (204 H)

13
13. Mukhtalif al-Hadis, karya Imam al-Syafi’i (204 H) (Hasbi ash-
Shiddieqy, 1988:83).
Setelah sepeninggalan para tabi’in, yaitu pada permulaan abad ketiga
hijriyah, para ulama mulai berjuang menyusun kitab-kitab musnad yang
mengandung hadis Nabi dan memisahkannya dari qaul sahabat dan fatwa
tabi’in. Penyusun kitabnya ialah Abu Daud al-Tayalisi (202 H). Kitab yang
serupa dan paling memadai yakni Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, walaupun
Imam Ahmad hidup pada era setelahnya. Walaupun sudah dipisahkan dari qaul
sahabat dan fatwa tabi’in, hadis dalam kitab musnad masih bercampur dengan
hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Oleh sebab itu pada era pertengahan
abad ketiga hijriyah disusunlah kitab yang didalamnya benar-benar mencakup
hadis yang shahih, misalnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-
Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Madjah, dan Sunan al- Nasa’i (Masturi
Ilham, 2013:287). Orang yang pertama menulis dan mengumpulkan hadis
dalam satu bab tertentu ialah al-Jarir Amir al-Sya’bi, beliau menyusun kitab
hadis khusus tentang talak. Selanjutnya diteruskan oleh Abdullah ibn Musa al-
Abasy al-Kufi, Musaddad al-Basry, Asad ibn Musa dan Na’im ibn Hammad
al-Khaza’i. Pada abad ketiga ini timbul berbagai kitab hadis, kemudian
diadakan kritik pada matan dan sanad hadis serta jarh wa ta’dil dalam suatu
hadis. Usaha ini dikenal dengan istilah pentashihan dan penyaringan hadis
dengan kriteria tertentu, seperti mana yang dilakukan oleh al-Bukhari dan
beberapa orang muridnya, sehingga hadis yang diproduksi termasuk hadis yang
berskala nilainya. Al-Siba’i mengungkapkan bahwa sesudah era al-Bukhari
kegiatan pembukuan dan pengumpulan hadis terhenti. Yang berkembang
hanya tabi’at (tradisi) penyempurnaan dan pengembangan hadis (Agus
Sholahudin, 2008:45).
Adapun kitab-kitab yang disusun dan dibukukan pada abad ketiga
hijriyah, yang masyhur adalah:
1. Al-Jami’ al Shahih, karya Imam al-Bukhari (256 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih, karanganImam Muslim (261 H)
3. Al-Sunan, karangan Ibn Majah (273 H)
4. Al-Sunan, karangan Abu Daud (275 H)
5. Al-Sunan, karangan al-Tirmidzi
6. Al-Sunan, karangan al-Nasa’i (303 H)
7. Al-Musnad, karangan Ahmad ibn Hanbal
8. Al-Musnad, karangan al-Darimi
9. Al-Musnad, karangan Abu Daud al- Tayalisi (Ahmad Hasyimi,
1993:268).
Dengan daya upaya para ulama besar abad ketiga, tersusunlah tiga bentuk
kitab hadis, yaitu: kitab-kitab Shahih, kitab-kitab Sunan serta kitab-kitab
Musnad.

14
Sedangkan abad keempat sampai dengan abad keenam merupakan era
pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan (ashr al-tahdzib
wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Dengan kekhasan penulisan hadis
berbentuk Mu’jam (Ensiklopedi), Shahih (himpunan Shahih saja), mustadrak
(susulan shahih), Sunan al-Jam’u (gabungan antara dua atau beberapa kitab
hadis), ikhtishar (resume), istikhraj dan syarah (ulasan). Pada era selanjutnya,
yaitu abad ketujuh sampai abad kedelapan hijriyah dan berikutnya disebut
dengan era penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik (al-Jam’u
wa at-Tanzhim) (Abdul Majid Khon, 2008:61).
Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa Tartar pada tahun 656
H, maka pusat pemerintahan pindah dari Baghdad ke Kairo, Mesir dan India.
Pada era ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang
ilmu hadis, seperti al-Barquq. Di samping itu ada pula usaha dari ulama India
dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Di antaranya Ulumul Hadis karya al-
Hakim. Demikian sejarah perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadis
sampai abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat disebut tidak
ada lagi kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, selain hanya
membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis-hadis yang sudah
terhimpun sebelumnya (Abdul Majid Khon, 2008:63).
E. KESIMPULAN
Hadis adalah ucapan, perbuatan atau penetapan yang dikaitkan atau
dinisbatkan kepada Nabi, segala sesuatu yang ada pada Nabi Muhammad
SAW. Sejarah perkembangan hadis mengalami lima periode, yakni:

Karakteristik
No Periode Perkembangan Model Buku
Penulisan
Era Nabi Catatan pribadi
Larangan penulisan Hadis dihafal di
1 Muhammad, bentuk shahifah
(Nahyu al-Kitabah) luar kepala
SAW (lembaran)
Disertai sumpah Catatan pribadi
Penyederhanaan
Era Khulafa’ al- dan saksi pada dalam bentuk
2 periwayatan (Taqli
Rasyidin masa Khulafa’ shahifah
ar-Riwayat)
al-Rasyidin (lembaran)
Bercampur
Shahifah,
Penghimpunan antara hadis
mushannaf,
antara hadis Nabi Nabi dengan
3 Era Tabi’in Muwatha’,
dan fatwa sahabat fatwa sahabat
musnad,
serta aqwal sahabat dan aqwal
dan jami’
sahabat
Kejayaan kodifikasi
Era Tabi’ al- Penyeleksian dan Musnad, Jami’,
4 hadis (Azha’ Al
Tabi’in klasifikasi (Ashr dan Sunan
Ushur Sunnah)

15
al Jami’ wa at
Tashhih)
Penghimpunan dan Bereferensi
Mu’jam,
Era setelah penertiban secara (Muraja’ah)
Mustadrak,
Tabi’ al-Tabi’in sistematik pada buku-buku
5 Mustakhraj,
(abad II s/d (al-Jam’u wa at- sebelumnya
Istikhsar, dan
seterusnya Tartib wa at- tetapi lebih
Syarah
Tanzhim) sistematik

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, Al-Hasani Hasyim, Ushul al Hadis al Nabawi, Kairo: al Hadisah
li al Thaba’ah, t.t
Abu Syahbah, Muhammad ibn Muhammad, al Wasit fi Ulum wa Mustalah al
Hadis, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t
Abu Zahwi, Muhammad, al Hadis wa al Muhaddisun al Inayah al Ummah al
Islamiyah bi al sunnah bi al Muhammadiyyah, Mesir: Dar al Fikr al
Arabi, t.t
Agus, M. Sholihin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia,
2013
Ajjaj, Muhammad al-Khatib, as Sunnah qabl at Tadwin, Kairo: Maktabah
Wahbah, 1963
Alamsyah, Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya, al Hikmah: Jurnal
UIN Alauddin, Volume 14, Nomor 2, 2013
Alfatih, Muhammad Suryadilaga, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Kalimedia,
2015
Ali, K., A Study of Islamic History, Delhi: Idarah al-Adabiyat Delhi, 1980
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Dawud, Abu Sulaiman ibn al-Asy’ ats al- Sajistani, Sunan Abu Dawud, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t, juz III
Fatihunnada, Hadis dan Sirah dalam Literatur Sejarawan Nusantara, Jurnal
Living Hadis, Volume 1, Nomor 2, 2016
Hasbi, T.M. Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, Jakarta: Bulan
Bintang, 1988)
Hasyimi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Idris, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010
Ilham, Masturi, Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi dari Tinjauan Sejarah,
ADDIN: Media Dialektika Ilmu Islam, Volume 7, Nomor 2, 2013
Isnaeni, Ahmad, Historisitas Hadis dalam Kacamata M. Mustafa Azami,
QUHAS: Jurnal of Qur’an and Hadith Studies, Volume 3, Nomor 1, 2014
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an Naqd Fii Uluum al Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr,t.t
Majid, Abdul Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008
Mudzakir, Muhammad, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1998
Muhammad, muhammad Abu Zahwi, al Hadis wa Muhaddisin, Mesir: Dar al-
fikr al-Arabi, t.t
Mustafa, Muhammad Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature,
Indiana: American Trust Publications, 1977
Musthafa, M. Azamiy, Dirasat fi al Hadi al Nabawi wa Tarikh Tadwinih, yang
diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub dengan judul Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996

17
Sholahudin, Agus, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Smeer, Zeid B., Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang:
Malang Press, 2008
Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadis, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009
Suparta, Munzir, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Press, 2010
Suryani, Khotimah, Metode Pembelajaran dalam Perspektif Hadis Nabi, Dar
el- Ilmi: Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan, dan Humaniora, Volume.
5, Nomor. 2, 2018
Syuhudi, M. Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994
Syuhudi, M. Ismail, metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1992
Thahhan, Mahmud, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997
Wensinck, A.J., al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi VI,
Leiden: E.J. Brill, 1936
Zain, Lukman, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya,
Jurnal Driya al Afkar, Volume 2, Nomor 01, 2014

Plagiarisme : 14%

18

Anda mungkin juga menyukai