Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN HADIS

(PENGANTAR STUDI ISLAM)

KELOMPOK 5

1. Muhammad Syamsudin (H94218046)


2. Nabilah Amaliyah (H04218008)
I. Pengertian Hadist, Sunnah, Khabar, dan Atsar

1. Pengertian Hadis
 Kata “hadis” atau al-hadis menurut bahasa,berarti al-jadid
(sesuatu yang baru). Kata hadis juga berarti al-khabar (berita),
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Hadis dengan pengertian al-khabar ini banyak
dijumpai pemakaiannya di dalam Al-Qur’an. Seperti contoh

‫فلياتوا بحديث مثله ان كانوا صدقين‬

Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang


serupa dengan Al-Qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang
benar (QS.Al-Thur,52:34)
2. Pengertian sunnah

 Menurut bahasa “Sunnah” berarti “jalan dan kebiasaan yang baik atau

yang jelek”, atau dikatakan pula dengan “jalan (yang dijalani) baik/terpuji

maupun tercela”. Bisa diartikan juga dengan “jakan yang lurus”. Berkaitan

dengan pengertian dari sudut kebahasaan ini, Rasulullah SAW. Bersabda :

‫من دل على خيرفله مثل اجر فا عله ومن دل على شرفله مثل وزرفاعله‬

“Barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang baik, ia akan


mendapatkan imbalan kebajikan (dari perbuatan itu) dan imbalan (yang
seimbang dengan orang) yang mengikutinya setelah dia. (Begitu pula, siapa
yang melakukan sesuatu perbuatan yang jelek ia akan menanggung dosanya
dan dosa orang-orang yang mengikutinya, dengan tidak dikurangi dosanya
sedikit pun). (HR. Muslim).
3. Pengertian khabar

 Kata “khabar” menurut bahasa adalah segala berita


yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
Dilihat dari pendekatan bahasa, khabar sama artinya
dengan hadis. Menurut ibn Hajar al-Asqalani, bahwa
istilah hadis sama artinya dengan khabar. Keduanya
dapat dipakai untuk sesuatu yang al-makruf, al-mauquf,
dan al-maqthu’.
Ulama lain mengatakan bahwa khabar, adalah sesuatu
yang datang selain dari Nabi saw., sedang yang datang
dari Nabi saw. Disebut hadis. Pada keduanya berlaku
kaidah “umuman wa khushushan muthlaq”.
4. Pengertian atsar

 Atsar menurut pendekatan bahasa juga sama


artinya dengan khabar, hadis dan sunnah.
Sedangkan atsar menurut istilah , terjadi
perbedaan pendapat diantara para ulama. Jumhur
ahli hadis mengatakan bahwa atsar sama dengan
khabar, yaitu sesuat yang disandarkan kepada
Nabi saw., sahabat dan tabi’in. Sedangkan menurut
ulama Khurasan,
bahwa atsar untuk hadis yang al-mauquf dan al-
khabar untuk hadis marfu’
II. Unsur unsur hadist

A. Sanad secara bahasa berarti “sandaran yang kita besandar


padanya”. Juga berarti yang dapat dipegangi, dipercayai.
Sedangkan secara istilah adalah jalan menuju matan. Yaitu
mata rantai perawi dari mukhrij sampai shahibul matan
yang pertama. Dalam istilah ‘ulum hadis, selain istilah
sanad lazim juga disebut isnad.

B. Matan secara bahasa berarti punggung jalan (muka jalan);


tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan secara istilah
adalah teks-teks hadis, baik yang bersumber kepada Nabi,
sahabat maupun tabi’in.

C. Rawi hadis adalah orang-orang yang terlibat dalam


periwayatan hadis.
III. Fungsi hadist terhadap Al-Qur’an

Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup dan


sumber ajaran Islam. Antara satu dengan yang lainnya
jelas tidak dapat dipisahkan. Al-Qur’an bersifat umum dan
global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci.
Disinilah hadis menempati fungsinya sebagai penjelas
(munayyin) dari isi kandungan Al-Qur’an tersebut.

Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap al- Qur’an itu


bermacam-macam.
Para ulama’ pun berbeda pendapat mengenainya.
Seperti pendapat imam As-Syafi’i menyebutkan lima fungsi
yaitu bayan al-tafshil, bayan al-takhshish, bayan al-ta’yin,
bayan al-tasyri’ dan bayan al-nasakh.
IV. Perkembangan awal studi hadist
a) Pro dan kontra penulisan hadis

Dari beberapa catatan tentang hadis pada masa Nabi, ada dua hal
yang dikemukakan. Yaitu, larangan dan perintah menulis hadis. Pada
awalnya Nabi, melarang para sahabat untuk menulis hadis karena
dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara ayat Al-Qur’an dengan
hadis. Namun, larangan itu tidak bersifat umum. Artinya larangan menulis
hadis itu terkait dengan daya hafal masing-masing sahabat.

Sedangkan perintah untuk menulis hadis Nabi, itu dikarenakan


dengan hilangnya kekhawatiran akan terjadi percampuran antara ayat Al-
Qur’an dengan hadis Nabi, maka dengan sendirinya larangan untuk
menulis hadis juga hilang.
b) Hadis pada masa Rasulullah saw., dan para
sahabat

Pada periode Rasulullah saw., kodifikasi


hadis belum mendapat perhatian yang serius dari
para sahabat. Para sahabat lebih banyak menulis
dan menghafal ayat Al-Qur’an. Hadis pada waktu
itu lebih banyak dihafal dengan pengamalan.

Meskipun kodifikasi hadis masih belum


mendapatkan perhatian khusus dari para sahabat,
Rasulullah saw., sangat menaruh perhatian yang
cukup besar dalam aspek pengembangan ilmu
pengetahuan.
c) Hadis pada masa kodifikasi

Seiring program khalifah Umar ibn Khattab meluaskan dakwah


islam, membuat para sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Mereka
memiliki hadis baik yang dihafal maupun yang sudah ditulis. Sehingga
di berbagai wilayah bermunculan Islamic Center sebagai pusat kajian
Al-Qur’an dan hadis.

Pasca wafat Umar ibn Khattab, kebijakan itu dilanjutkan khalifah


Utsman ibn Affan dan Ali ibn Thalib, sehingga untuk menguasai hadis-
hadis Nabi pada waktu itu tidak mudah. Seseorang harus melakukan
rihlah ke berbagai wilayah.

Pada masa inilah lahir para ulama’ madzab, sehingga bukan


mustahil saat ditanya suatu persoalan, mereka belum menemukan
hadis yang spesifik, akhirnya terpaksa memberi jawaban dengan
pendekatan ijtihad murni yang dampaknya bisa benar bisa salah.
d) Hadis pada masa pasca kodifikasi

Yang perlu dicatat dari upaya pembukuan hadis


tahap awal adalah masih bercampurnya antara hadis
Nabi dengan berbagai fatwah sahabat dan tabi’in.
Hanya catatan Ibn Hazm yang secara khusus
menghinmpun hadis Nabi saw., karena khalifah Umar
ibn ‘Abduk Aziz menginstruksikan kepadanya untuk
hanya menulis hadis. Hanya saja, sangat
disayangkan bahwa manuskrip ibn Hazm tersebut
tidak sampai kepada genersi sekarang. Namun
demikian, pada masa ini pula lahir ulama hadis
kenamaan seperti Imam Malik, Sufyan al-Tsauri, al-
Auza’iy, al-Syafi’i dan lainnya.
V. Pendekatan utama dalam studi
hadis

Dalam studi hadis ada beberapa pendekatan dan


metodologi yang ditempuh, yakni pendekatan dari segi
sanad dan matan. Kedudukan sanad dalam riwayat hadis
sangat penting sekali. Dari kedua unsur inilah –sanad
dan matan- menjadi sebagai pendekatan utama dalam
studi hadis yang nantinya akan menimbulkan cabang
ilmu yang banyak. Sanad adalah tempat bersandarnya
suatu hadis. Tanpa sanad, maka hadis itu akan tertolak
keabsahannya. Sedangkan matan adalah lafal-lafal hadis
yang dikandung, yang memiliki makna-makna tertentu.
Upaya mengetahui kualitas hadis melalui dua
unsur ini, dapat dilakukan berbagai pendekatan,
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Ilmu Hadis Riwayah


2. Pendekatan Ilmu Hadis Dirayah
3. Pendekatan Ilmu Rijalul Hadis
4. Pendekatan Ilmu Jarh dan Ta’dil
5. Pendekatan Ilmu Gharib al-Hadis
6. Pendekatan Ilmu ‘Illah al-Hadits
7. Pendekatan Ilmu Asbab al-Wurud
8. Pendekatan Ilmu Nasikh dan Mansukh
VI. Perkembangan modern dan kritik studi
hadis
Berbeda dengan Alquran, hadis seringkali
dipersoalkan. Sejumlah kritikan ditujukan untuk
hadis dan bahkan ada yang menolaknya. Hadis pun
juga masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya.
Penyebabnya diantaranya adalah tidak adanya
jaminan tentang kesahihannya, juga akibat
keterlambatan penulisan hadis itu sendiri. Sehingga
diduga periwayatan hadis banyak yang palsu. Kritik
hadis perlu dilakukan, karena banyak silang
pendapat, perbedaan, serta konflik di tengah
kehidupan masyarakat muslim akibat hadis-hadis
yang mengundang interpretatif, baik sanad maupun
matan-nya.
Dengan status sebagai sumber kedua
dari ajaran Islam, hadis yang dimaksud
bukanlah hadis yang kadar sanad dan
matan-nya tidak jelas dan tidak memiliki
sandaran yang kuat. Untuk mengukur ke-
dhabitan (kevalidan) hadis, biasanya dipilih
istilah kritik hadis, yaitu sebuah upaya
untuk menilai dan menimbang hadis dari
berbagai sisi, baik dari segi sanad/matan-
nya yang memungkinkan diterimanya ke-
dhabitan hadis tersebut.
Kritik matan dan sanad ini terus
berlangsung pada generasi sesudah
sahabat,. Walaupun banyak ketimpangan
(tidak seimbangnya kritik sanad dan matan)
pada masa itu, namun perkembangan studi
hadis hari ini menselaraskan antara kritik
sanad dan matan. Berikutnya,
perkembangan mutakhir dalam kritik studi
hadis, tidak hanya di kritik matan dan sanad
saja, bahkan sudah sampai pada
keberadaan hadis itu sendiri sebagai
sumber hukum Islam yang kedua.
Menurut Muhammad al-Ghazali, ulama
telah sepakat menempatkan Alquran
sebagai sumber hukum dan perundang-
undangan Islam, sementara hadis sebagai
implementasinya. Oleh karena itu Alquran
haruslah dijadikan sebagai ukuran
kesahihan suatu hadis. Hadis yang sejalan
dengan Alquran dapatlah dinyatakan
sebagai hadis sahih dan hadis yang tidak
sejalan dengan Alquran haruslan
ditinggalkan.
Tidak hanya dari kalangan ummat Islam, kritik terhadap
hadis yang bisa disebut sebagai perkembangan mutahir dari
studi hadis adalah adanya kritikan dari para orientalis akan
orisinilitas hadis sebagai sumber hukum kedua dalam Islam

Pada intinya gugatan para orientalis terhadap hadis pada


awalnya adalah mempersoalkan ketiadaan data historis dan
bukti tercatat yang dapat memastikan otensitas hadis,
sehingga sejumlah pakar melakukan penelitian intensif
perihal sejarah literatur hadis guna mematahkan argumen
orientalis yang mengatakan bahwa hadis baru dicatat pada
abad kedua dan ketiga hijriah. Dan penelitian tersebut pada
akhirnya pasti membutuhkan referensi utama dan
pendukung untuk melakukan studi terhadap hadis tersebut.
Sekian
Terima kasih

Wassalamu’alaikum wr wb.

Anda mungkin juga menyukai