Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur`an.
Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur`an. Untuk
al-Qur`an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir.
Sedang untuk Hadis Nabi, sebagian periwayatanya berlangsung secara
mutawatir, dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Karenanya, al-
Qur`an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai
qat`i wurud, dan sebagian lagi, bahkan yang terbanyak, berkedudukan
sebagai zhanni wurud. Dengan demikian, dilihat dari segi periwayatannya.
seluruh ayat al-Qur`an tidak perlu dilakukan penelitian tentang
orisilitasnya, sedang Hadis Nabi1, dalam hal ini yang berkategori ahad,
diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu, akan diketahui, apakah Hadis
yang bersangkutan dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya berasal
dari Nabi ataukah tidak2.
Sebagai sumber hukum utama dalam ajaran Islam yang selalu
dijadikan pedoman hidup oleh umatnya, al-Qur’an dan hadis tidak dapat
dipisahkan antara satu sama lain. Karena al-Qur’an berisi ajaran-ajaran
yang masih bersifat global atau umum, maka secara umum hadis berfungsi
untuk memberikan penjelasan, keterangan, serta perincian terhadap hal-hal
yang belum jelas di dalam al-Qur’an. Dilihat dari fungsinya terhadap al-
Qur’an, hadis memiliki empat fungsi 3, yaitu: Pertama, hadis berfungsi
untuk menetapkan dan memperkuat apa-apa yang telah dijelaskan dan

1
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sunnah/ hadis berdiri sendiri sebagai
dalil hukum, akan tetapi ada juga sebagian lain berpendapat bahwa sunnah/ hadis
menetapkan dalil yang tersirat dalam secara implisit dalam al-Qur‟an. Lihat:
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 19.
2
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang,Cetakan ke 1 1992), hlm. 3-4.
3
Muhammad Ma‟shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, (Jombang:
Darul Hikmah, 2008), hlm. 16.

1
ditetapkan oleh al-Qur’an, sehingga hadis dapat dikatakan sebagai
tambahan terhadap apa-apa yang termuat di dalam al-Qur’an. Kedua, hadis
berfungsi untuk memberikan tafsiran dan rincian terhadap hal-hal yang
sudah dibicarakan oleh al-Qur’an. Ketiga, hadis berfungsi untuk
membentuk hukum yang di dalam al-Qur’an tidak ada atau sudah ada
tetapi sifatnya hanya khusus pada masalah-masalah pokok, sehingga
keberadaan hadis dapat dikatakan sebagai tambahan terhadap apa-apa
yang termuat di dalam al-Qur’an. Dan yang terakhir, hadis berfungsi untuk
melakukan perubahan terhadap apa-apa yang telah ditetapkan oleh ayat-
ayat al-Quran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Hadis?
2. Menjelaskan Sejarah dan Penulisan Al-Hadis?
3. Menjelaskan kategori Hadis: Sahih, Hasan, Dho’if, dan Maudhu’?
4. Menjelaskan sifat Al-Hadiis terhadap ajaran Al-Qur’an?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis
Bila ditelusuri lebih lanjut, hadis dan sunnah secara etimologis
mempunyai pengertian yang berbeda. Secara etimologis ( bahasa), hadis
berarti jadid ( baru), juga bermakna berita. Dengan demikian hadis lebih
mengacuh kepada perkataan. Sedangkan sunnah secara etimologis berarti
jalan, pengertiannya lebih mengacuh kepada perbuatan.
Menurut ibn manzhur, kata hadis berasal dari bahasa arab, yaitu al-
hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan dan al-hudtsan. Disamping
pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikanbahwa kata hadits (arab:
al- hadits), secara etimologi ( lughawiyah), berarti komunitas,kisah,
percakapan: religius atau sekuler, historis atau kontemporer.4
Hadis menpunyai beberapa sinonim/muradif menurut para pakar
ilmu hadis, yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Dari segi terminologi, banyak
para ahli hadis (muhadditsin) memberikan definisi yang berbeda redaksi,
tetapi maknanya sama, diantaranya Mahmud Ath-Thahan (guru besar
Hadis di fakultas syari’ah dan dirasah islamiyah di universitas kuwait)
mendefinisikan: “sesuatu yang datang dari nabi Saw, baik berupa
perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan. 5
Para ulama, baik muahaditsin,fuqaha, ataupun ulama ushul,
merumuskan pengertian hadis secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan
tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-
masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang
didalamnya.6
1. Hadis menurut Muhadditsun
Para ulama hadis mensinonomkan pengertian hadis dengan
sunnah. “Sunnah dalam pengertian para ahli hadis adalah segala riwayat

4
M.M. Azami.Studies in Hadis Methodology and Literature. Terj.Meth
Kieraha.Jakarta:Letera.2003.hlm.21-23.
5
Ath-thahan, Taysir Mushthalah AL-Hadits...,hlm.15 dan Amr bin Abdul mun’im, Taysir Ulumul Al-
Hadits...,hlm.12.
6
Endang Soetari.Ilmu Hadis: Kajian Riwayah Dan Dirayah.Bandung: Mimbar Pustaka.2005.hlm.2.

3
yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan
( teqrir ),sifat fisik dan tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat
menjadi Rasul ( seperti thannuts beliau di Gua Hira) maupun
sesudahnya.7
2. Hadis menurut Ushuliyyun
Para ulama ahli ushu fiqh ( ushuliyyun), juga mensinonimkan
pengerian hadis dan sunnah. “ al sunnah menurut pengertian ulama ushul
fiqh adalah segalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain
Al-Qur’an, berupa perkataan,perbuatan maupun ketetapan ( taqrir)
beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah.
3. Hadis menurut Fuqaha
Para ulama fiqh tidak memberikan definisi secara khusus
tentang pengertian hadis namun mereka memberikan definisi sunnah,
yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu bentuk atau sifat hukum
yang lima ( al ahkam al khamsah). Para fuqaha mendefinisi sunnah
sebagai segala perbuatan yang ditetapkan oleh Rasulullah, namun
pelaksanaannya tidak sampai kepada tingkat wajib.
B. Sejarah Dan Penulisan Al Hadis
1. Penulisan Hadis
Sebelum agama islam datang, bangsa Arab tidak mengenal
kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa
yang ummi (tidak bisaa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti
bahwa tidak ada seorang pun yan bisa menulis dan membaca. Keadaan
ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka.sejarah telah mencatat
sejumlah orangyang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-
Adi (w.35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan
merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat
yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajari
anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat
perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis
dan orang yang mampu membaca dan menulis di Kota Mekah hanya
7
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuh wa Musthalahuh ( Beirut: Dar al-
Fikr,1975),19.

4
sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa
yang ummi.8
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih
banyak terdapat di Mekah dari pada di Madinah. Hal ini dibuktikan
dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar
dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menulis dan
membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah
Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa’id bin ‘Ash agar
mengajar menulis di Madinah, sebagimana disebutkan Ibnu Abdil Barr
dalam Al-Isti’ab Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli ‘abdullah bin
Sa’id bin Al-‘Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama
Abdullah, dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.9
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam
sependapat bahwa Al-Qur’an Al-Karim telah memperoleh perhatian yang
penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat
untuk menghafalkan Al-Qur’an dan menuliskannya di tempat-tempat
tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan
sebaginya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an telah
dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-
Qur’an pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk
sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu
kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Qur’an. Penulisan hadis
dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak
diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat
memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat
sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.

8
Al-Qaththan.Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mifdol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.2005
9
Ibid.hlm. 47

5
Diantara sahabat Rasulullah SAW yang mempunyai catatan-
catatan hadis Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang
menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.
2. Penghafalan Hadis
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi Saw berpegang
pada kekuatan hafalannya, yakni menerimanya dengan jalan hafalan,
bukan dengan menulis hadis dalam buku. Karena itu, kebanyakan
sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati yang
disabdakan Nabi. Kemudian, terekamlah lafazh dan makna itu dalam
sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan
atau mendengar pula dari orang yang mendengarkannya sendiri dari Nabi
karena tidak semua dari mereka dapat mengikuti ataumenghadiri majelis
Nabi pada setiap waktu. Kemudian, para sahabat menghafal setiap apa
yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat yang
pernah Nabi lakukan lalu menyampaikannya kepada orang lain secara
hafalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat yang mencatat hadis yang
didengarnya dari Nabi SAW. Diantara sahabat yang paling banyak
menghafal atau meriwayatkan hadis adalah Abu Hurairah. Menurut Ibnu
Jauzi, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berjumlah 5.374 buah
hadis. Adapun sahabat yang paling banyak hafalannya sesudah Abu
Hurairah adalah:
1. ‘Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4. ‘Abdullah Ibnu Abbas meriwayatkan1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.

6
3. Pembukuan Hadis
Pada abad pertama hijriah, yakni masa Rasulullah SAW,
Khulafaar Rasyidin, dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga
akhir pertama hijriah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan
dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu
meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya.hafalan mereka
terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang
pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara
tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin
khathab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh
Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam
mempelajari Al-Qur’an.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
dinobatkan akhir abad pertama Hijrah, yakni tahun 99 Hijriah,
C. Kategori Hadis: Sahih, Hasan, Dho’if, Dan Maudhu’
1. Hadits Sahih
a. Pengerian
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain
yang( juga) adil dan dhbiath sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak
janggal serta titak mengandung cacat ( ilat).
Definisi diatas mengandung lima sifat yang harus dimiliki oleh
suatu hadis agar dapat dikategorikan sebagai hadis sahih
1. Bersambung sanadnya
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah
bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar
menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
2. Keadilan para perawinya
Uraian arti adil dan perincian syarat-syaratnya telah
disebutkan dimuka. Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi
diterimanya suatu riwayat, karena keadialn itu merupakan suatu

7
sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan
mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang
merusak harga diri ( muru’a) seseorang.
3. Ke-dhabith-an para perawinya
Yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadis
yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik
dengan hafalannya yang kuat atau dengan kitabnya, kemudian dia
mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
4. Tidak rancu
Kerancuan ( syudzudz) adalah suatu kondisi dimana
seorang rawi berbeda denganrawi lain yang lebih kuat posisinya.
Kondisi ini dianggap rancu karena bila ia berbeda dengan rawi
lain yang lebih kuat darinya, bai dari segi kekuatan daya hafalnya
atau jumlah mereka yang lebih banyak, maka para rawi yang lain
itu harus diunggulkan dan ia sendiri disebut syudzudz atau rancu.
Dan karena kerancuannya maka timbulah penilaian negatif
terhadap periwayatan hadis yang bersangkutan.
5. Tidak ada cacat
Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas
dari cacat kesahihannya. Yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat
samar yang membuatnya cacat, meskipun tanpak bahwa hadis itu
tidak menunjukkan cacat-cacat tersebut.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh rawi yang adil,yang rendah tingkat daya hafalnya
tidak rancu dan tidak cacat.10
Dengan membandingkan definisi hadis hasan ini dan definisi
hadis sahih, maka akan kita temukan titik keserupaan yang cukup
besar diantara dua jenis hadis ini. Keduanya harus memenuhi seluruh
kriteria kecuali yang berkaitan dengan kekuatan daya hafalnya yakni

10
Syarh al-Nukhbah, hlm. 17; Lihat pula Syarh al-Baiquniyah karya al-Zarqani, hlm. 25.

8
kuat hafalannya dan tinggi tingkat akurasinya, sedang rawi hadis
hasan adalah rendah tingkat daya hafalnya.
3. Hadits dho’if
Hadis dho’if adalah hadis yang kehilangan salah satu syaratnya
sebagai hadis maqbul ( yang dapat diterima).
Syarat-syarat hadis maqbul ada enanm yaitu:
a. Rawinya adil
b. Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna.
c. Sanadnya bersambung
d. Padanya tidak terdapat suatu kerancuan
e. Padanya tidak terdapat ilat yang merusak
f. Pada saat dibutuhkan hadis yang bersangkutan menguntungkan
tidak mencelakakan.
4. Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’ adalah hadis yang diada-adakan dan dibuat-buat.
Yakni hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan dusta dan
tidak ada kaitannya yang hakikih dengan Rasulullah. Bahkan, sebenarnya
ia bukan hadis, hanya saja para ulama menamainya dengan hadis
mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu adalah hadis.
Hadis madhu’ adalah hadis dho’if yang paling jelek dan yang
paling membahayakan bagi agama islam dana pemeluknya.
D. Fungsi Hadits Terhadap Al Qur'an
1. Hadits sebagai bayan tafsil
Yang dimaksud bayan tafsil adalah bahwa kehadiran hadits
berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al
Qur'an yang masih bersifat global (mujmal). Atau dengan kata lain
adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian
atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan
‘aam. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian (tafshil).
Diantara contoh ayat-ayat yang Al Qur'an yang masih mujmal
adalah perintah shalat, ayat Al Qur'an tentang shalat masih bersifat
mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, syarat-syarat, atau halangan-

9
halangannya. Oleh karena itu Rasulullah SAW, melalui haditsnya
menafsilkan dan menjelaskan masalah tersebut. Sebagai contoh salah
satu haditsnya adalah bersumber dari Abu hurairah bahwa Rasulullah
SAW bersabda
“apa bila kamu berdiri untuk shalat, maka sempurnakan wudhu,
kemudian menghadaplah kiblat, kemudian takbirlah, kemudian
bacalah ayat yang ringan, kemudian ruku'lah hingga tuma'nina
dalam keadaan ruku', kemudian beririlah hingga i'tidal dalam
keadaan tegak, kemudian sujudlah hingga tuma'ninah dalam
sujud, kemudian bangunlah hingga tuma'ninah dalam keadaan
duduk, kemudian sujudlah hingga tuma'ninah dalam sujud,
kemudian kerjakanlah hal tersebut disetiap kali kamu shalat”.
( HR Buhori )
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al
Qur'an tidak menjelaskan secara rinci, salah satu ayat yang
memerintahkan shalat adalah:
Artinya: Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku' (QS. Al Baqarah (3): 43)
2. Hadits sebagai bayan takhsis
Bayan takhsis, yaitu menghususkan Al Qur'an, maka yang 'amm
kemudian dikhususkan. Berfungsi memberikan takhsis (penentuan
khusus) ayat-ayat Al Qur'an yang masih umum. Misalnya perintah
mengerjakan shalat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di
dalam Al Qur'an tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara
mendirikan shalat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan juga tidak
dijelaskan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah
diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Hadits.
Al Qur'an juga telah mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak
dalam surat Al Maidah ayat 3:
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah], daging
babi .... (QS. Al Maidah (5): 3)

10
Kemudian Hadits mentakhsiskan keharamannya, serta menjelaskan
macam-macam bangkai dan darah yakni dengan sabda Nabi SAW
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah.
Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan dan bangkai
belalang, sedangkan dua macam darah itu adalah hati dan limpa”.
(HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
3. Hadits sebagai bayan taqyid
Bayan taqyid, ialah membatasi ayat-ayat mutlaq dengan sifat,
keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sedangkan mutlaq artinya kata yang
menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa
memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Sebagai contoh hadis Rasul
SAW berikut:
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada
(pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih”. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqyid ayat berikut:
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Maidah (5): 38)
4. Hadits sebagai bayan ta'kid
Bayan ta'kid disebut juga dengan bayan taqrir atau bayan itsbat.
Yang di maksud bayan ta'kid adalah menetapkan dan memperkuat apa
yang diterangkan dalam Al Qur'an. Bayan al-Ta’kid , yaitu penjelasan
untuk memperkuat pernyataan al-Qur’an.
Dalam hal ini, Hadits semakna dengan apa yang disampaikan Al-
Qur'an, karena masih dalam tujuan dan sasaran yang sama. Maka dalam
keadaan seperti ini, ia berkedudukan sebagai penguat dan menegaskan
apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Sebagai contoh adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim dari ibnu umar, sebagai berikut:
“apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga
apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berbukalah”. (HR.
Muslim).

11
Hadits ini menta'kid Al Qur'an surat al baqoroh ayat 185
Artinya: …… barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu ….(QS. Al Baqoroh (2): 185)
Rasulullah SAW juga bersabda,
“Rasulullah SAW bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang
berhadats sebelum berwudhu”. (HR Buhori)
Hadits di atas menta'kid Al Qur'an surat al maidah ayat 6 mengenai
keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki. ….(QS. Al Maidah (5): 6).
Abu hamadah menyebutkan bayan ta'kid atau bayan taqrir ini dengan
istilah bayan al muwaffiq lin nash al kitab. Hal ini dikarenakan
munculnya hadits itu sealur (sesuai) dengan nash Al Qur'an
5. Hadits sebagai bayan tasyri'
Dasar tasyri (syari'at Islam) tidaklah asing bagi kaum muslimin
dan tidak diragukan lagi bahwa As-Sunnah merupakan salah satu sumber
hukum Islam disamping Al-Qur'an dan dia mempunyai cabang-cabang
yang sangat luas, hal ini disebabkan karena Al-Qur'an kebanyakan hanya
mencantumkan kaidah-kaidah yang bersifat umum serta hukum-hukum
yang sifatnya global yang mana penjelasannya didapatkan dalam As-
Sunnah An-Nabawiyah.
Dengan demikian maka yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah
mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam
al-Qur’an, atau hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Hadits
Rasulullah SAW berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap
berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam Al Qur'an.
beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat
atau yang tidak diketahuinya, dengan menjelaskan duduk persoalannya.

12
Oleh karena itu As-Sunnah mesti dijadikan landasan dan rujukan
serta diberikan inayah (perhatian) yang sepantasnya untuk digali hukum-
hukum yang terkandung di dalamnya. Dan pembahasan tentang sunnah
Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam merupakan hal yang sangat penting
dalam pembentukan fikrah islamiyah serta upaya untuk mengenal salah
satu mashdar syari'at Islam, apalagi As-Sunnah sejak dulu selalu menjadi
sasaran dari serangan-serangan firqah yang menyimpang dari manhaj
yang haq, yang bertujuan untuk memalingkan ummat Islam dari manhaj
Nabawi dan menjadikan mereka ragu terhadap As-Sunnah.
Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini,
diantaranya hadis tentang zakat fitrahpenetapan haramnya
mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya),
hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan
hukum tentang hak waris bagi seorang anak.
Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
“Bahwasannya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dari
bulan Ramadhan atas manusia, satu sho' berupa kurma atau satu
sho' berupa gandum kepada setiap orang merdeka, hamba baik
laki-laki maupun perempuan yang Islam”. (HR Muslim)
Hadits tersebut di atas merupakan bayan at tasyri', wajib diamalkan,
sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu Qoyyim berkata,
bahwa hadits-hadits Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap Al
Qur'an harus di ta'ati dan tidak boleh ditolak atau mengingkarinya. Ini
bukan sikap Rasulullah mendahului Al Qur'an, melainkan semata-mata
karena perintah.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu hadits yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan
Ulumul Hadits mengandung dua kata yaitu ‘Ulum dan al - Hadits’ kata
ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti ilmu-
ilmu, sedangkan al-Hadits menurut bahasa mengandung berbagai makna
diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan
banyak. Pengertian Ulumul Hadits yaitu “ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.
Selain itu, perlu ditambahkan bahwa pentingnya mempelajari serta
memahami Ulumul Hadits ialah kita akan terhindar dari mengamalkan
suatu riwayat yang salah dan karenanya dapat dengan tepat mengamalkan
sunnah Nabi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang
dikandungnya.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh karena itu kami menyarankan kepada teman-teman sesama
mahasiswa untuk mencari informasi lain sebagai tambahan dari apa yang
telah kami uraikan di atas.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Suparta, Munzier. 2014. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
Solahudi, Agus,dan Agus Suyadi.2011. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Syafe’i, Rachmat. 2000. AL-HADIS Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum
. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis ILMU HADIS. Malang: UIN-Maliki Press.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2014. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar.
Khon, Abdul Majid.2013.Ulumul Hadis.Jakarta:Amzah.

15
TENTANG PENULIS

YULIA NISMA adalah seorang mahasiswa UIN IMAM BONJOL PADANG


tahun angkatan 2017 dan dari jurusan Tadris IPA/FISIKA. Lahir pada tanggal 9
Juli 1998 di Padang Panjang 1, Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan.
Penulis juga suka berolahraga, dan olahraga yang paling di sukainya adalah bola
volly, selain itu ia juga hoby membaca dan menggambar. Sejak kacil sampai
sekarang ia masih gemar menggambar, dan paling suka menggambar
pemandangan walaupun tidak secantik dan sebagus pelukis profesional. Ibunya
bernama Raulis dan ayahnya bernama Nuar, ia anak ketiga dari tiga bersaudara,
saudara yang pertama bernama Nusmaneli dan saudara yang kedua bernama
Bustami. Sejak kecil penulis mengikuti kedua orang tuanya merantau ke Pasaman
Barat. Di sana penulis juga menempuh sekolah dasar di SD Swasta Bina Agro
Gersindo dan melanjutkan ketingkat menengah pertama di SMP Swasta Bina
Agro Minang Gersindo, setelah lulus penulis kembali ke kampung halaman,
disana ia tinggal bersama nenek dan melanjutkan sekolah ketingkat menengah
atas di SMA Negeri 1 Lengayang. Setelah lulus ditingkat menengah atas, ia
melanjutkan keperguruan tinggi dan mengikuti berbagai ujian, mulai dari
SNMPTN, SBMPTN sampai UMPTKIN. Dan penulis lulus ujian di UIN IMAM
BONJOL PADANG.

SILVIA FEBRIANTI, ia adalah seorang mahasiswa UIN IMAM BONJOL


PADANG tahun angkatan 2017 dengan jurusan Tadris IPA/FISIKA. Ia lahir pada
tanggal 24 Februari 1999 di Sukaraja, Bengkulu. Ia merupakan anak kedua dari
empat bersaudara. Ia juga hoby membaca, baik itu buku pelajaran, novel, dan
sebagainya. Penulis menempuh taman kanak-kanak di TK Darma Wanita,setelah
wisuda ia melanjutkan pendidikan di SD Negeri 24 Seluma dan lulus di tahun
2011. Setelah itu ia melanjutkan ketingkat menengah pertama di SMP Negeri 06
Seluma,dan lulusan pada tahun 2014. Dan melanjutkan pendidikannya di SMA
Negeri 06 Seluma, lulus ditahun 2017. Setelah lulus ditingkat menengah atas, lalu
ia meneruskan pendidikan di UIN IMAM BONJOL PADANG di tahun 2017 dan
memilih jurusan fisika keguruan.

16
NADIA NURLAILA adalah seorang mahasiswa UIN IMAM BONJOL
PADANG dengan jurusan Tadris IPA/FISIKA. Lahir pada tanggal 11 Juni 1998
di Pariaman. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis juga
menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 04 Koto Bangko, dan melanjutkan
ketingkat menengah pertama di SMP Negeri 3 Sungai Geringging, setelah lulus ia
melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Sungai Geringging.
Cita-cita yang diinginkan sejak kecil adalah ingin menjadi seorang guru, dan
menjadi PNS guru fisika. Penulis hoby dengan olahraga badminton. Pengalaman
penulis dari sejak duduk dibangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama ,
Sekolah Menengah Atas sampai melanjutkan studinya di UIN IMAM BINJOL
PADANG, ia sangat bersyukur dari apa yang dilaluinya sehingga ia masih dapat
melanjutkan studinya dari yang dasar sampai ke perguruan tinggi seperti saat ini,
oleh karena itu ia berusaha dengan sebaik-baiknya menggunakan kesempatan ini
untuk terus melanjutkan pendidikan ini sampai tercapai apa yang diinginkan dan
dapat membanggakan kedua orang tuanya. Sekian terima kasih.

17

Anda mungkin juga menyukai