Anda di halaman 1dari 14

HADIS DAIF DAN MAUDU’

Disusun untuk memenuhi tugas sebagai materi presentasi pada Mata


Kuliah Ulumul Hadis,

Dosen Pembimbing
Dr. Laode Ismail Ahmad, M.Th.I
Dr. Darsul S. Puyu, M.Ag

Disusun Oleh
Muh. Afdhal sonaru
Aditya Ryanto Putra Tambunan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2021

1
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa hadis Nabi adalah sumber ajaran Islam
yang kedua setelah Al-Qur’an.1 Sebagai sumber kedua, hadis membutuhkan
pengkajian dan penelitian yang lebih mendalam sebelum menggunakannya
sebagai legitimasi dalam kehidupan keberagamaan, baik hadis yang berkaitan
dengan ibadah ritual formal seperti hadis-hadis yang berkaitan dengan shalat,
puasa, dan sebagainya maupun hadis-hadis yang berkaitan dengan ibadah sosial.
Sejak zaman sahabat sampai sekarang banyak hadis yang bermunculan yang
secara kualitas berbeda antara satu dengan hadis yang lain, sehingga
membutuhkan keseriusan dan ketelitian untuk membedakannya. Perbedaan hadis-
hadis dari segi kualitas disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Pertama. Pada zaman Rasulullah SAW., tidak semua hadis ditulis oleh para
sahabat untuk didokumentasikan atas dasar kekhawatiran Rasulullah akan
bercampur baur dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan juga kekhawatiran terhadap
berkurangnya konsentrasi sahabat terhadap Al-Qur’an.2
Kedua. Pertikaian sahabat pada perang shiffin yang memunculkan peristiwa
tahkim, hingga munculnya kelompok-kelompok politik yang dalam
perkembangannya beralih ke masalah teologi, banyak hadis-hadis yang
dimunculkan sebagai legitimasi dalam mempertahankan kelompok
masingmasing.3
Ketiga. Proses pentadwinan hadis pertama kali terjadi di masa khalifah
Umar bin Abd. Aziz yang memerintahkan para gubernur untuk menghimpun hadis

1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Toha Putra, 1995), h.
80 dan 132.
2 Abdullah bin Ismail bin Ibrahim bin al-Muqirah al-Bukhary, Shahih al-Bukhari, Juz I
3 Muhammad al-Fayyad, Manhaj al-Muhadditsin fi Dabt al-Sunnah diterjemahkan oleh A.
Zarkasy Cumaidy dan Maman Abd. Jalil dengan judul Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis
(Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 5.

2
Rasulullah SAW. 4 Penghimpunan hadis ini berjalan hingga pertengahan abad ke
dua Hijriyah. Dari upaya ini muncul berbagai kitab hadis yang telah tersebar di
berbagai kota, namun hadis yang beredar beragam dari segi kualitasnya dan tidak
semua berkualitas sahih.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW., sampai kepada proses pentadwinan hadis
sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya dari segi kualitas hadis, tidak
sedikit hadis-hadis yang ditemukan dhaif dan maudhu’ disamping hadis-hadis
sahih dan hasan. Hadis sahih dan hasan mempunyai persyaratan atau kriteria-
kriteria yang hampir sama sehingga sama-sama hadis maqbul (dapat diterima)
sebagai hujjah. Di samping itu, hadis dha’if secara kualitas tidak memenuhi
kriteria hadis sahih dan tidak pula memenuhi kriteria hadis hasan, dan di antara
bentuk hadis dha’if terdapat hadis mawdhu’ yang oleh sebagian ulama hadis
dinilai sebagai seburuk-buruk hadis dha’if.
Begitu kompleksnya permasalahan hadis-hadis ditinjau dari segi
kualitasnya, sehingga penulis menganggap bahwa pengkajian tentang kualitas
hadis sesuai dengan tema yang diamanahkan sangat penting untuk didiskusikan
pada forumforum ilmiah dikalangan generasi intelektual untuk lebih mudah
mengidentifikasi dan menghindari pemaknaan yang keliru dalam menggunakan
hadis sebagai dalildalil terhadap permasalahan-permasalahan agama.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dianggap relevan dengan judul makalah adalah
sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Hadis Da’if, Maudhu’ dan Macam-macamnya?
2. Bagaimana Latar Belakang Munculnya Hadis Da’if dan Maudhu’?

4 Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi; Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 113-114.

3
BAB II PEMBAHASAN

B. Hadis Dha’if dan Hadis Maudhu’


1. Hadis dha’if
1) Pengertian
Kata dha’if secara etimologis berarti lemah lawan dari qawi (yang kuat),
yang juga berarti saqim (yang sakit). Secara terminologis, para ulama memberikan
defenisi dha’if dengan redaksi yang beragam, namun tidak berbeda dari segi
substansinya. Al-Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if dengan:

َ ‫مال م ي و جد ف ي هَش ر وط ال ص ح ةَ و َل‬


.‫ش ر وط ا ل ح س ن‬
Artinya:
“Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan
syarat-syarat hadis hasan”.

Defenisi yang paling baik menurut Nur al-Din ‘Itr bahwa hadis dh’aif
adalah:
َ ‫ما ف ق َد ش رطا َ م نَ ش ر و ط ا ل ح د ي‬
.‫ث ل م قب و ل‬
Artinya:
“Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul”.
Ibn al-Shalah memberikan pengertian yang cukup luas terhadap hadis
dha’if. Ia menyatakan bahwa hadis dapat dikatakan sebagai hadis dha’if apabila
tidak memenuhi kriteria hadis sahih.5 Dalam artian bahwa yang dikatakan hadis
dha’if adalah hadis yang tidak mempunyai salah satu dari ciri-ciri hadis sahih,
yaitu: 1) Bersambung sanadnya kepada Nabi; 2) hadis yang diriwayatkan oleh
orang yang tsiqah; 3) tidak mengandung ‘illat (cacat) dan; 4) terhindar dari
syudzuz (kejanggalan-kejanggalan).
2) Macam-macam hadis dha’if
a. Hadis dha’if karena sanadnya terputus

• Hadis mu’allaq
5 Moh. Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis; Kajian Historis Metodologis (Cet. 1;
Yogyakarta: STAIN Kediri Press, 2010), h. 162.

4
Hadis mu’allaq adalah hadis yang terputus di awal sanad. Kata
mu’allaq secara bahasa berarti tergantung. Secara terminologis, hadis
mu’allaq adalah hadis yang meriwayatkan di awal sanad (periwayatan
disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang atau lebih
secara berurut. Patokan tentang keterputusannya terletak pada awal sanad
baik secara periwayat atau lebih. Contoh hadis mu’allaq adalah riwayat
Al-Bukhari dengan perbandingan sanad dari Abu Dawud, al- Nasa’i dan
Ibn Majah: “Bab tentang orang yang mandi telanjang sendirian ditempat
yang sepi dan menutupi lebih baik. Bahz mengatakan dari ayahnya dari
kakeknya dari
Nabi Saw. Sabdanya,’Allah lebih berhak untuk disikapi malu dari pada
manusia.
Pada sanad di atas ada beberapa periwayat yang digugurkan sebelum
AlBukhari setelah bahz dan untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan
membandingkan dengan sanad-sanad pada hadis-hadis berikut:
1. Dalam sunan Abi Dawud
2. Dalam sunan al-nasa’i.
3. Dalam sunan Ibnu Majah.
• Hadis Munqathi
Hadis munqathi adalah hadis yang ditengah sanadnya ada periwayat
yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
Contoh hadis munqathi adalah riwayat Ibn Majah yang artinya:
“Keluar juga membaca shalawat untuk Muhammad dan berdoa,’ Ya
tuhanku’ Ali ibn Hajar bercerita kepada kami, katanya Ismail Ibn Ibrahim
bercerita kepada kami dari layts ‘Abd Allah ibn Al-Hasan dari ibunya
fatimah binti Al-Husain dari neneknya fatimah Al-kubrah katanya,’
apabila Rasulullah memasuki masjid, ia membaca shalawat bagi Nabi
Muhammad dan berdoa, Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan bukalah
pintu rahmatmu.’ Dan jika ia ampunilah dosaku dan bukalah pintu
keutamaan-mu. 6
6 Ibid., h. 179-202.

5
Untuk mengetahui keterputusan sanad Al-inqitha pada hadis
munqathi’ dapat diketahui dengan tiga cara:
- Dengan jelas, yaitu periwayatan yang meriwayatkan hadis dapat diketahui
dengan pasti tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis
kepadanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat
izin (ijazah) untuk meriwayatkan hadisnya.
- Dengan samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir dan/atau wafat
periwayat, maka keterputusan hadis munqathi’ hanya diketahui oleh orang
ahli saja.
- Dengan komparasi, yaitu dengan memperbandingkan hadis-hadis dengan
hadis lain yang senada sehingga diketahui apakah hadis tertentu munqathi’
atau bukan.
• Hadis Mu’an’an dan muannan
Disamping itu, hadis yang termasuk kategori hadis dha’if karena
sanadnya diduga mengalami keterputusan (Al-inqitha) adalah hadis
almu’an’an dan almuannam. Kata Al-Muannan berasal dari kata annana
yang berarti periwayat berkata : Anna (bahwa) yang menunjukkan bahwa
periwayat meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan menggunakan
metode anna.
• Hadis Mu’dhal
Kriteria hadis mu’dhal adalah: a. Sanad yang gugur atau terputus
lebih dari satu orang ;b. Keterputusan secara berturut-turut; c. Tempat
keterputusan di tengah sanad, bukan di awal atau akhir. Jadi, hadis mu’dhal
adalah hadis yang gugur dua orang periwayatnya atau lebih secara
berturutturut baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in, antara tabi’in
dengan tabi’al-tabi’in atau dua orang sesudah mereka.
Contoh hadis mu’dhal dapat dilihat dalam kita Al-muwathth’ karya
Imam Malik: “Malik bercerita kepadaku bahwa sebuah berita sampai
kepadanya, Abu Hurayah berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, Seorang

6
budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian serta ia tidak dibebani
pekerjaan kecuali ia mampu”.
• Hadis Mursal
Sebagaimana terlihat pada penjelasan sebelumnya, sebuah hadis
disebut mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’i langsung dari Nabi tanpa
menyebut sahabat. Kata mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan
dengan cepat atau tanpa halangan.
Contoh hadis mursal shahabi dalam shahih Ibnu Hibban: ”Al-Husayn
bin Idris Al-Anshar bercerita pada kami, katanya Ahmad bin Abi Bakar
bercerita pada kami dari Malik dari Ibn Syihab Al-Zuhri dari ‘Ubayad
Allah bin ‘Abd Allah dari Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullah Saw. Keluar ke
Mekkah pada tahun pembukaan kota itu bulan Ramadhan, ia berpuasa
hingga sampai ke kadid. Kemudian ia berbuka dan umat muslim juga
berbuka.
• Hadis Mawquf dan Hadis Maqthu’
Hadis mawquf adalah hadis yang di sandarkan kepada sahabat Nabi,
atau hadis yang diriwayatkan dari para sahabat berupa berkataan,
perbuatan, atau persetujuannya.
Contoh hadis mawquf adalah perkataan ‘Ali dalam riwayat
AlBukhari:”Dan ‘Ali berkata,’Berbicaralah dengan manusia tentang
sesuatu yang mereka ketahui. Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasul–
Nya didustakan?. Hadis ini diceritakan kepada kami oleh ‘Ubayd Allah bin
Musa dari ma’ruf bin Kharbudz dari Abu All-Tufayl dari ‘Ali.
b. Hadis Dha’if Karena periwayatnya tidak ‘Adil
• Hadis Mawdhu’
Hadis Maudhu’ adalah hadis yang dusta yang dibuat-buat dan
dinisbahkan kepada Rasulullah.
• Hadis Matruk
Hadis Matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang
tertuduh sebagai pendusta. Contoh hadis matruk berkualitas dha’if:

7
Artinya:”Barang siapa yang mempunyai kegelapan akal dan keyakinan
yang menipu, hal itu tidak akan membahayakan dosanya sedikitpun.
• Hadis Munkar
Hadis Munkar berasal dari kata Al-Inkar (mengingkari) lawan dari kata
Al-Iqrar (menetapkan). Dikalangan ulama hadis, hadis munkar
didefinisikan dengan :1. Hadis yang dalam sanadnya terdapat periwayatan
yang mengalami kekeliruan yang parah, banyak mengalami kesalahan, dan
pernah berbuat fasik; 2. Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang
dha’if yang bertentangan dengan riwayat yang siqaht.
Contoh hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh An-nasa’i
dan Ibn Majah dan Aisyah secara marfu’ yang Artinya: “Muhammad bin
umar bin Ali bin Atha’ bin miqdam bercerita kepada kami katanya, Yahya
bin Muhammad bin Qays bercerita kepada kami katanya, aku mendengar
Hisyam bin Urwah menyebutkan hadis dari ayahnya dari Asyah katanya,
Rasulullah Saw. Bersabda,’Makanlah kurma atau yang masih mudah.
Karena jika seseorang memakannya, maka setan akan marah dan
berkata,’seseorang telah hidup sampai makan ciptaan yang baru.
c. Hadis Dha’if karena Periwayatnya Tidak Dhabit
• Hadis Mudallas
Berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu atau
menyembunyikan cacat. Menurut istilah, hadis mudallas adalah hadis yang
diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak cacat.
Periwayat yang menyembunyikan cacat disebut Al-Mudallis, hadis yang
disebut Al-Mudallas, dan perbuatan menyembunyikan disebut Al-Tadlis.
Contoh hadis mudallas kategori tadlis Al-Isnad riwayat Ibn ‘Umar:
”Hannad bin Al-Sara bercerita kepada kami dari ‘Ubbadah dari Ibn Ishaq
dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar, katanya aku mendengar Rasulullah Saw.
Bersabda’ bila salah seorang diantara kalian mengantuk dimasjid,
hendaklah ia bergerak di tempat lain.
• Hadis Mudraj

8
Kata mudraj berasal dari kata adraja (menyisipkan) seperti kata (Aku
menyisipkan sesuatu pada sesuatu. Menurut istilah ilmu hadis, mudraj
adalah hadis yang bentuk sanadnya diubah kedalam matannya dimasukkan
sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut
tanpa ada ikatan pemisah.
2. Hadis Maudhu’
1) Pengertian
Maudhu’ Secara bahasa adalah isim maf’ul dari kata wadha’a, yang berarti
al-isqath (menggugurkan), al-tark (meninggalkan), al-iftira’wa al-ikhtilaq
(mengada-ada atau membuat-buat). Sedangkan secara terminologi, menurut ibn
alshalah dan diikuti oleh Al-Nawawi, Hadis maudhu’ berarti ”Sesuatu yang
dinisbatkan kapada rasulullah Saw. Secara mengada-ada dan dusta, yang tidak
beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.7
Dari pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hadis maudhu’ adalah
segalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Baik perbuatan,
perkataan maupun taqrir-nya, secara rekaan atau dusta semata-mata.
Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadis maudhu’ disebut juga dengan hadis
palsu.
Kata-kata yang bisa dipakai untuk hadis maudhu’ adalah al-
mukthtalaqu, al-muhtala’u, dan al-makdzub. Kata tersebut memiliki arti yang
hampir sama. Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid)
bahwa hadis semacam ini semata-mata dustakan nama Rasul saw.
2) Sejarah dan perkembangan hadis mawdhu’
Para ahli berbeda pendapat tentang awal mula kemunculan hadis mawdhu’.
pertentangan ini berkisar pada apakah pemalsuan hadis terjadi ketika Nabi masih
hidup, atau sesudah masa kenabian. Di antara pendapat tersebut adalah: -
Sebagian para ahli berpendapat bahwa pemalsuan hadis telah terjadi sejak masa
Rasulullah SAW masih hidup. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin
(w.1373 H/1954 M). argument yang dimajukan adalah hadis Nabi yang

7 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Cet. 1; Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 297.

9
menyatakan bahwa “barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong
dengan mengatasnamakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap

menempati temapt duduknya di neraka.”8 Hadis ini menurut Ahmad Amin


memberikan gambaran bahwa kemungkinan besar telah terjadi pemalsuan
hadis pada zaman Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi Ahmad Amin tidak
memberikan bukti-bukti mengenai hadis palsu yang beredar pada masa Nabi.
- Shalah al-Din al-Adhabi berpendapat bahwa pemalsuan hadis yang sifatnya
semata-mata melakukan kebohongan terhadap Nabi yang berhubungan dengan
masalah keduniaan telah terjadi pada masa Nabi yang dilakukan oleh orang
munafik. Sedangkan pemalsuan hadis yang berkaitan dengan agama belum
pernah terjadi pada masa Nabi.
- Jumhur ulama hadis berpendapat bahwa pemalsuan hadis baru trjadi untuk
pertama pada Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Menurut pendapat ini, keadaan
hadis pada zaman nabi sampai sebelum terjadinya pertentangan antara Ali ibn
Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan (wafat 60 H= 680) masih terhindar
dari pemalsuan.
Dari tiga pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa
Nabi Muhammad SAW, belum terjadi pemalsuan hadis. Berdasarkan bukti-bukti
yang dapat dipercaya adalah pemalsuan hadis mulai terjadi pada masa Ali ibn
Thalib. Kronologi munculnya pemalsuan hadis ini dimulai sejak tahun 41 hijriah,
pada masa pemerintahan khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, ketika kaum
Muslim saling berselisisih dan terpecah-pecah dalam beberapa kelompok
mayoritas:
golongan Muawiyah, Khawarij, dan Syi’ah.Yakni setelah terjadinya perang
Shiffin.
Perpecahan yang terjadi dikalangan sahabat dengan membentuk
golongangolongan ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dan
pertentangan, bukan saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam

8 Nawir Yuslem, ibid., h. 301.

10
ketentuanketentuan agama. Dan dari susasana tersebutlah maka timbul pemalsuan-
pemalsuan hadis. Namun, penyebaran hadis mawdhu’ pada masa ini belum begitu
meluas karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui
dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadis.

Pemalsuan hadis dikalangan para sahabat ini dilatarbelakangi beberapa


factor, yaitu motif politik, usaha dari musuh Islam (zindiq), sikap fanatik dan
sektarian, pembuat cerita atau kisah-kisah, perbedaan pendapat dalam masalah
fiqh atau ilmu kalam, semangat yang berlebihan dalam beribadah tanpa didasari
ilmu pengetahuan, dan sebagai upaya yang dilakukan untuk mendekatkan diri
kepada penguasa.
Factor-faktor pemalsuan hadis di atas menegaskan bahwa dikalangan umat
Islam pada zaman sahabat lebih mengkonsentrasikan eksistensi kelompok dalam
memperbanyak penganut, selain itu pembuatan hadis hanya didasarkan pada
kepentingan politik tanpa mempertimbangkan keotentikannya.
3) Ciri-Ciri Hadis Maudhu’
Para ulama hadis telah menentukan kaidah-kaidah untuk mengenali
hadishadis mawdhu’. Adapun ciri-ciri kepalsuan hadis dapat dilihat pada sanad
dan matannya.
a) Ciri-ciri pada sanad
- Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan salah seorang
guru tasawuf ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-
ayat Al-
Qur’an, serentak ia menjawab: “Tidak seorangpun yang meriwayatkan
hadits kepadaku. Akan tetapi serentak kami melihat manusia-manusia
sama benci terhadap Al-Qur’an, kami ciptakan hadits ini (tentang
keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an) agar mereka menaruh perhatian untuk
mencintai Al-Qur’an.

11
- Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits
palsu (maudhu). Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadis dari
seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut.
- Hadits mawdhu’ memang yang paling banyak tidak memiliki sanad.
b) Ciri-ciri pada matan
Ciri-ciri yang terdapat pada matan hadits palsu atau hadits maudhu, dapat
ditinjau dari segi makna dan segi lafadznya. Dari segi makananya, maka makna
hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir, ijma dan akal sehat.
Adapun dari segi lafadznya yaitu susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih.

12
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun
ada beberapa hal yang menjadikan sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa
diterima, yaitu dikarenakan hadits tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang
ringan seperti mu’allaq, munqathi’, mu’dhal mursal dan yang sejenisnya.
Adapun hadits dha’if yang tertolak adalah hadits dha’if berat seperti hadits
maudhu’, munkar, matruk dan sejenisnya.

B. Saran
Dari apa yang telah dibahas dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya
masih terdapat keurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat
berterima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan
yang bermanfaat bagi penulis makalah ini juga kepada saudara-saudara yang
sedang mendalami disiplin ilmu ulumul hadits ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Agama RI (Semarang: PT. Toha Putra, 1995).

al-Fayyad Muhammad, Manhaj al-Muhadditsin fi Dabt al-Sunnah diterjemahkan


oleh A. Zarkasy Cumaidy dan Maman Abd. Jalil dengan judul
Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
1998

Ismail, Syuhudi Muhammad Kaedah Kesahihan Hadis Nabi; Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah Cet. II; Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1995

Idri, Studi Hadis Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.

Khon Abdul Majid, Ulumul Hadis Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010.

M. M. Azami. Metodologi Kritik Hadis. Terj. A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah

Muslim, Moh. Akib, Ilmu Mustalahul Hadis; Kajian Historis Metodologis Cet. 1;
Yogyakarta: STAIN Kediri Press, 2010

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis Cet.1 ; Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.

Syaikh Manna’ Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadis Cet. 1V; Jakarta timur:
Maktabah Wahbah.

14

Anda mungkin juga menyukai