Anda di halaman 1dari 26

ILMU HADITS DAN SEJARAH PEMBUKUANNYA

MAKALAH

DISUSUN OLEH:

YANDA BURHANURUL URAN /10120220096

DOSEN PENGAMPUH:

H. YUNUS ANWAR Lc.,M.Ag.

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki
sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-
kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad
ke-2 H. Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan,
dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadis. Larangan tersebut berdasarkan
kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu,
juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis
al-Qur'an. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadis secara resmi dimulai pada
masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Terlepas dari naik-
turunnya perkembangan hadis, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan
hadis memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ilmu hadits?
2. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits?
3. Bagaimana perkembangan dan pertumbuhan ilmu hadits?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ilmu hadits
2. Mengetahui cabang-cabang ilmu hadits
3. Untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan ilmu hadits
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Hadits


Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan
hadis. Secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledge, dan science.
Sedangkan hadis artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuan.
Para ulama ahli hadis banyak yang memberikan definisi ilmu hadis, di
antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:
“Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan
untuk mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan.”
Atau:
“Ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu hal yang dengan
hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadis itu diterima atau tidak.”1
Atau definisi yang lebih ringkas:
“Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang
diriwayatkannya.”
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadis adalah ilmu
yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang
diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan
menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu
hadis.
Menurut mudasuir mengutip pendapat ulama Mutaqaddimin, Ilmu
Hadits adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara
persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW. dari segi hal ihwal
para perawinya, yang menyangkutkedabitan dan keadilannya dan dari segi
bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.2
Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung dengan
pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka,
dan bagaimana daya ingat mereka, apakah sangat kuat atau lemah.
Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwî) terkadang guru-guru perawi
yang membawa berita dalam sanad suatu hadis atau isi berita (matan) yang
diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad
atau matan perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal
tersebut, dapat diketahui mana hadis yang shahih dan yang tidak shahih.
Ilmu yang berbicara tentang hal tersebut disebut ilmu hadis.
Secara garis besar ilmu hadits terbagi menjadi dua yaitu ilmu hadis
riwayah dan dirayah.

1 Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalahal al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.t.), h. 15.
2Mudasuir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia.1999), h. 41
1. Pengertian Ilmu Hadis Riwayah
Secara bahasa, riwayah berarti menceritakan, mengambarkan,
cerita, atau kabar. Dalam ilmu hadis, riwayah adalah suatu pemberitaan
yang disandarkan kepada nabi muhammad saw.3
Maksudnya ilmu riwayah adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya.4
Adapun lafal pengertian riwayah lebih spesifik, antara lain:
a. Riwayah Aqran artinya orang-orang yang sebanding atau orang yang
setara,
b. Riwayah Mukhtalith artinya sesuatu yang rusak akalnya, pikirannya,
atau hafalannya,
c. Riwayah tawaqquf artinya terhenti atau tertahan,
d. Riwayah ahli bidah artinya sesuatu yang diada-adakan atau
diciptakan, atau sesuatu yang baru kenal,
e. Riwayah al-akabir an ash-shaqhir. Menurut bahasa, kanir artinya
yang lebih besar, lafal ‘an artinya dari shaqir artinya kecil,
f. Riwayah sabiq wa lahiq. Menurut bahasa, sabiq artinya yang
mendahului, terdahulu, atau telah lewat,
g. Riwayah hadis bi al-makna. Menurut istilah hadis yang
diriwayatkan secara maknawi,
h. Riwayah Tsiqah. Menurut bahasa, bermakna riwayat dari orang
kepercayaan.5
Contoh hadits dengan riwayat yang baik, yaitu:
“Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan dia menurunkan pula
obat penawarnya”.

3Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap : Ilmu Hadis, ( Medan :Perdana
Publishing, 2011), h. 207
4Daniel Juned, Ilmu Hadis : Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Medan : Erlangga, 2010), h. 97,

lihat juga kutipan Ajja Al-Khatib, Ushul Al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu,(Beirut : Dar Al-fIkr, 1981), h.7
5 Ramli Abdul Wahid & Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap: Ilmu Hadis, h.208-210
Sabda Rasulullah saw---Abu Hurairah---‘Atha ‘bin Abi Rabih----
Umar bin Sa’id---Abu Ahmad---Muhammad bin Al Mutsna---Bukhari.
Imam bukhari sendiri mengumpulkan 600.000 hadis secara
keseluruhan, sementara yang beliau pilih bukukan sebanyak 9.082, berbeda
dengan Al-Muwathta karangan imam malik adalah kitab tertua, berisi 1820
hadits.6
Upaya penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan
Hadits secara besar-besaran terjadi pada abad ke-3 H yang dilakukan oleh
para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud,
Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan telah dibukukannya Hadits-Hadits
Nabi SAW oleh para Ulama di atas, dan buku-buku mereka pada masa
selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para Ulama yang datang kemudian,
maka dengan sendirinya Ilmu Hadits Riwayah tidak banyak lagi
berkembang.7
Menurut Al-Suyuthi atau Imam Jalal Al-Din Abd Al-Rahman ibn
Abi Bakar Al-Suyuthimengenai objek Kajian Ilmu hadis riwayah adalah
bagaimana cara menerima, menyampaikan hadis kepada orang lain yang
mempelajari.8 Hadis nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharanya, hal
tersebut mencakup cara periwayatan hadis baik segi cara penerimaan dan
demikian juga cara penyampainnya dari seorang perawi kepada perawi
lainnya, serta cara pemeliharaan hadis dalam bentuk penghafalan,
penulisan, dan pembekuannya.
Dalam menyampaikan atau membukukan hadits hanya disebutkan
apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya, ilmu ini
tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) atau ‘ilat (kecacatan)
matan hadits, dan juga tidak membahas kualitas perawi baik dalam keadilan,
maupu kefasikan nya. Adapun faedah mempelajari ilmu Hadits Riwayah

6 Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, ( Jakarta : Hijri Pustaka Utama,2006),
7 Nawir Yuslem,Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001), h. 3
8 Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi , ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1988), h. 7
adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya
yang pertama yaitu nabi muhammad saw.9
Analisis tentang tata cara penerimaan riwayat hadis, dan
mengeluarkan riwayat hadis di anggap penting karena ahli hadis atau ulama
sebagai para periwayat dan penghimpunan hadis mengenai ucapan,
perbuatan, taqrir, atau hal ihwal nabi muhammad saw yang biasanya disebut
dengan sanad.
a. Tata cara penerima riwayat hadis
Ulama hadis menetapkan istilah harf atau term tertentu untuk
menghubungkan periwayatan dengan periwayat lain yang dekat dengan
sanad. Istilah itu menggambarkan cara yang ditempuh oleh periwayat hadis
yang bersangkutan dalam menerima hadis.Fungsi harf sebagai pentunjuk
mengenai cara riwayatan yang telah ditempuh oleh periwayatan.10 Kalangan

ulama menyatakan pengertian huruf harf dengan ‫قل‬, ‫عن‬, ‫ا ن‬


b. Periwayat Hadis
Untuk membuktikan keterputusan periwayat atau tidaknya, haruslah
diteliti dengan kualitas pribadi riwayat yang memakai harf. Adapun
sebagian nama periwayat hadis sebagai berikut: Anas bin Malik, ‘Abdullah
bin ‘amr, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin abu sufyan (kalangan sahabat nabi
muhammad saw), Malik, Al-Bukhari, Muslim, At-Turmizi, Abu Dawud, Ibn
Majah dan Ahmad bin Hambal (Periwayat mukharjji/ periwayat yang
tercatat terhimpun bersumber dari sahabat nabi).11

2. Pengertian Ilmu Hadis Dirayah


Dirayah bermakna ilmu atau ma’rifah yang diperoleh dari usaha
manusia (pengetahuan).12 Maksudnya ilmu dirayah adalah ilmu untuk
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syaratnya, macam-macamnya, dan
hukum-hukumanya, mengetahui perawi, syarat-syarat, dan jenis-jenis yang

9 Munzier Suparta, Ilmu Hadis. h. 25


10 Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), h. 42
11 Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), h.44
12 Al-Munawiy, At-Tauqif Muhammad al-Ta’arif, cet 1 (Dar al-Fikr. Beina, 1416), h.335
diriwayatkan, serta hal-hal lain yang bertalian.13 Menurut Subhi al-Shalih
memiliki definisi ‘Ilmu Hadits Dirayah sebagai suatu pembahasan masalah
untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan,untuk mengetahui
apakah bisa diterima atau ditolak.14
Fatchur Rahman, mendefinisikan ‘Ilmu Hadits Dirayah sebagai
berikut:
“kaedah-kaedah atau aturan untuk mengetahui hal ihwal sanad,
matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan
lain sebagainya”.15
Yang dimaksud dengan:
a. Hakikat periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya
kepada sumber hadits atau sumber berita.
b. Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap
hadits yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara
penerimaan, seperti melalui Al-Sima (pendengaran), Al-Qiro’ah
(pembacaan), Al-Washiyah (berwasiyat), Al-Ijazah (pemberian izin
dari perawi).
c. Macam-macam periwayatan adalah memicarakan sekitar
bersambung dan terputusnya periwayatan, dan lainya.
d. Hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima
atau ditolaknya suatu hadits.
e. Keadaan para perawi adalah pembicaraan sekitar keadilan,
kecacatan para perawi dan syarat-syarat mereka dalam menerima
dan meriwayatkan hadits.
f. Macam-macam hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits
yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tashnif, kitab tasnid, dan kitab
mu’jam.16

13 Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap : Ilmu Hadis, h. 38
14 Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 101
15 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: al-Ma’arif, t. t), h. 74
16 Munzier Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta :Raja Grafindo Persada. 2002), h.76-77
Penjelasan selanjut diatas, mengenai keadaan rawi (hal ar-rawi)
memberikan defenisi hal-hal berkaitan dengan perawi, sifat-sifatnya seperti
baik dan jelek, cara menerima dan menyampaikan hadis, kekuatan hafalan
dan menyakung pribadinya. Seorang rawi dapat diterima riwayatnya apabila
ia memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti ‘adil dan dhabith. Sebaliknya,
riwayatnya akan ditolak bila ternyata ia tidak memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan, seperti buruk hafalanya, fasiq, dan riwayatnya menyalahi atau
menyelisihi riwayat perawi lain yang lebih tsiqah darinya.Begitu juga
dengan maksud dari keadaan yang diriwayatkan (hal al-Marwiyah) ialah
mengetahui segala sesuatu yang menyakut dengan sanad, ‘illah yang
tersembunyi, dengan kata-kata yang gharib (aneh) yang kesumanya dapat
mempengaruhi kualitas hadis. Dengan demikian jelas bahwa pokok objek
kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matanhadis. Pengkajian sanad
itu sudut keadaan masing-masing perawi dan pertalian antara satu dengan
yang lain. Kajian mantan berarti peninjauan dari sudut cacat atau ‘illah yang
mempengaruhi nilai hadis tersebut dari sudut redaksinya.
Untuk meneliti kebenaran dan kesahihan hadis serta persyaratannya,
maka para ulama ahli hadis telah mentapkan lima persyaratan untuk
menerima hadis nabi muhammad saw dengan baik, tiga point a-b berkenaan
dengan sanad (mata rantai para perawi), dan c-d berkenaan dengan matan
(materi hadis), anatara lain:a. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis
haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan
benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkan
setelah itu, tepat sepertinya, b. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia
juga harus seorang yang baik dari kepribadiannya dan bertakwa kepada
allah swt, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan,
c. Kedua sifat tesebut dari butiran 1 dan 2 harus dimilki oleh masing-masing
perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tak
terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak
anggap mencapai derajat shahih, d. Mengenai matan (materi) hadis itu
sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya
bertentangan dalam periwayatan dengan perawi lainnya dianggap lebih
akurat dan lebih dapat dipercaya), e. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah
qadihah (yakni cacat yang diketahui oeleh para ahli hadis, sedemikian
mereka menolaknya).17
Hal ini di atas menjukkan metode dalam memahami hadis-hadis,
menurut muhammad al-Ghazali untuk mempraktikkan kriteria-kriteria
tersebut, maka perlu kerja sama antara muhaddits dengan berbagai ahli
bidangnya termasuk fuqarah, ahli ushul fiqih, ahli kalam, dan lain-lain,
mengingat matan materi hadis ada yang berkenaan dengan akidah, ibadah,
dan mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli.18
Objek pembahasan Ilmu Hadits Dirayah adalah keadaan para perawi
dan marwinya (sanad dan mantanya), Keadaan para perawi, yaitu
penyangkut pribadinya, seperti akhlak, tabiat, dan keadaan pahalannya
sanad. Adapun keadaan marwi, yaitu dari sudut kesasihan dan kedaifannya,
maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan. objek kajian
atau pokok bahasan Ilmu Hadits Dirayah ini berdasarkan definisi di atas,
adalah sanad dan matan hadits.19

B. Cabang-Cabang Ilmu Hadits


Banyak sekali jumlah cabang Ilmu Hadits, para Ulama
menghitungnya secara beragam, ada yang menghitungnya secara terperinci
dan ada yang menghitungnya secara global. Ibnu ash Sholah menyebutkan
bahwa ada 65 cabang Ilmu Hadits, Imam as Suyuthi mengatakan ada 93
cabang, al Hazimi berkata: “Ilmu Hadits mencakup banyak cabang yang jika
dihitung mencapai seratus dan setiap cabangnya merupakan disiplin ilmu
tersendiri. Subhi Sholih hanya meringkasnya menjadi 6 cabang Ilmu Hadits

17 Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi kritik Atas Hadis Nabi Saw : Antara pemahaman tekstual dan
kontekstual, diterjemahkan dari buku As-Sunnah An-Nabawiyah : Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, ( Dar
Asy-Syuruq : Kairo, 1998), h. 26
18 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi : Persepektif muhammad al-ghazali dan Yusuf Al-

Qaradhawi (Yogjayakarta :Teras, 2008), h. 78 lihat juga kutipan Muhammad Al-Ghazali, al-Sunnah al-
Nabawiyah, h. 19-21
19 Mudasuir, Ilmu Hadis, h. 45
dalam kitabnya, sementara ada juga yang meringkasnya menjadi 10
cabang.20

1. Ilmu rijal Al-Hadits


Ilmu Rijal al Hadits adalah salah satu Ilmu penting dalam cabang
Ilmu Hadits, karena Ilmu Hadits adalah Ilmu yang membahas tentang
urusan Sanad dan Matan dan orang-orang yang dibahas dalam sanad adalah
periwayat hadits serta otomatis menjadi bahasan dalam Ilmu ini, maka tidak
aneh jika para ulama memberikan perhatian yang lebih terhadap cabang
Ilmu Hadit ini.
Adapun Ilmu Rijalul Hadits dibagi menjadi dua, Ilmu Tawarikh ar
Ruwah dan Ilmu al Jarh wa at Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa Ilmu Tawarikhur Ruwah adalah:

‫التعريف بالوقت الذي تضبط باألحوال من المواليد والوفيات والوقائع وغيرها‬


Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi kelahiran, wafat, peristiwa/
kejadian dan lain-lainnya
Jadi, Ilmu Tawarikur Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang
hal keadaan perawi Hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan
kewafatan mereka, siapa guru-gurunya atau dari mana mereka menerima
Sunnah dan siapa murid-muridnya, atau kepada siap mereka menyampaikan
periwayatan Hadits, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut
tabi’in.
Para Ulama generasi awal menyebut cabang Ilmu ini dengan
berbagai sebutan, diantaranya; Ilmu at Tarikh, Tarikh ar Ruwah, Wafayat ar
Ruwah, dan lainnya. Akan tetapi kebanyakan pengarang kitab setelah abad
ke 5 Hijriyah menyebutkannya dalam arangan mereka dengan sebutan at
Tawarikh wal Wafayat.
Ilmu ini berkembang seiring perkembangan periwayatan hadits
dalam Islam, para ulama memberi perhatian pada Ilmu ini untuk mengetahui

20 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, hal 93, AMZAH-Jakarta, 2013


orang-orang yang meriwayatkan hadits, mereka menanyakan kepada para
periwayat tentang umur, tempat tinggal, cara mendapatkan hadits dari guru
mereka, sebagaimana mereka juga menanyakan tentang diri para periwayat
itu sendiri.
Ini merupakan hak bagi para ulama untuk memperhatikannya demi
mengetahui kebenaran klaim dari para periwayat tentang pendengaran
hadits dari guru mereka dan mengetahui kesinambungan sanad atau
terputusnya serta membedakan yang mursal dari yang marfu’.
Tujuan Ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung tidaknya
sanad suatu hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan
langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau
pembawa berita ataukah tidak, atau hanya pengakuannya saja. Semua itu
dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttashilnya sanand ini nantinya dijadikan
salahsatu syarat kesahihan hadits dari segi sanad.
Ilmu ini adalah senjata yang terbaik bagi para ulama dalam
menghadapai para pembohong, Imam Sufyan ats Tsauri berkata: “ketika ada
sebagian perawi yang berbohong maka kami menggunakan Imu ini untuk
menghadapi mereka”.
Karena perhatian para ulama pada Ilmu ini sangat besar maka
terkumpullah banyak kitab-kitab yang membahas tentang hal ihwal
periwayat hadits. Orang yang mempekenalkan ilmu ini adalah al Bukhori
(256 H) kemudian Ibnu Sa’ad dalam kitab Thobaqot-nya (230 H), lalu pada
tahun ke 7 Hijriyah Izzuddin bin Atsir (630 H) mengumpulkan dalam kitab
Usud al Al Ghobah fi Ma’rifah as Shohabah akan tetapi di dalamnya masaih
tercampur dengan sebagian nama yang bukan Shahabat. Maka setelah itu
Ibnu Hajar al Atsqolani (852H) mengarang kitab Al Ishobah fi Tamyiz as
Shohabah yang kemudian diringkas oleh salahsatu muridnya, yaitu as
Suyuthi (911 H) dalam kitabnya ‘Ain al Ishobah.21

21 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta, AMZAH, 2013, hal 94


2. Ilmu Al-Jarh wa at-Ta'dil
Secara bahasa Jarh )‫ (الجرح‬adalah mashdar dari kalimat ‫جرح – يجرح‬
yang berarti luka/ mengalirkan darah, dan ta’dil )‫ (التعديل‬berasal dari ‫العدل‬
yang berarti apa yang terdapat dalam diri yang menyebabkannya menjadi
lurus/ baik. Dan menurut Istilah, di dalam kitabnya, Dr.Shubhi as Sholih
mendefiniskan Ilmu Jarh wa at Ta’dil sebagai berikut:

‫علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد في شأنهم مما يشينهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة‬

“ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang
datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau memuji
mereka dengan menggunakan kata-kata khusus”.
Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat )‫ (الجرح‬atau adilnya
(‫ (التعديل‬seorang perawi dengan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki
hierarki tertentu. Kaidah Syara’ menunjukkan bahwa syariah harus dijaga,
dan menjelaskan keadaan perawi adalah jalan yang tepat untuk menjaga
Sunnah yang merupakan salahsatu komponen dalam Syariah. Tujuan ilmu
ini adalah untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke-
dhobit-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits. Jika sifatnya adil
dan dhobit maka haditsnya dapat diterima dan jika cacat, tidak ada keadilan
dank e-dhobit-an maka haditsnya tertolak.
Para ulama hadits, fiqh dan ushul berijma’ bahwa syarat dari
diterima tidaknya hadits dari seseorang adalah bahwa orang tersebut
haruslah adil dan dhobit. Adil artinya dia harus muslim, berakal, baligh dan
bersih dari kefasikan serta hal yang mencoreng kehormatannya. Dhobit
artinya dia benar-benar hafal apa yang dihafalnya, baik itu melalui hafalan
atau kitab dan mengerti makna yang dihafalanya. Atau dengan kata lain
hafalannya tidak menyalahi hafalan Tsiqot, bagus, tidak salah, tidak lupa,
dan tidak banyak keragu-raguan.
Adapun al ‘Adalah )‫ (العدالة‬dapat ditetapkan pada diri seorang perawi
dengan salah satu dari 2 cara, yaitu;
Pertama, at Tanshihsh )‫ (التنصيص‬adanya petunjuk atau nash dari
salahsatu ulama ilmu Jarh wat Ta’dil yang menyatakan keadilan seseorang.
Kedua, al Istifadhoh wa asy Syuhroh )‫ (االستفاضة و الشهرة‬yaitu
terkenalnya seorang perawi di kalangan ulama dengan keadilannya dan
bahkan dipuji karena hal tersebut.
Ibnu ‘Adi (365 H) dalam kitabnya Mukaddimah Al Kamil
menjelaskan nilai keadilan para ahli haditssejak masa sahabat. Diantara
sahabat yang menyebutkan sifat dan keadaan para perawi hadits adalah Ibnu
Abbas, Ubadah bin Shomit, dan Anas bin Malik. Dan diantara tabi’in adalah
Asy Sya’bi, Ibnu Sirin, dan Sa’ad bin al Musayyab, sedikit sekali diantara
mereka yang digolongkan cacat )‫ (الترجيح‬dalam keadilan. Pada abad ke 2
Hijriyah mulailah terdapat perawi hadits yang dhoif. Pada masa akhir
tabi’in, yaitu sekitar tahun 150 H, bangkitlah para ulama untuk mengungkap
para perawi yang adil )‫ (التعديل‬dan cacat )‫(الترجيح‬, diantara mereka adalah
Yahya bin Sa’id al Qothan dan Abdurrahman al Mahdi.

3. Ilmu 'ilal al-Hadits


Dalam bahasa al ‘Illah diartikan al Marodh )‫ المرض‬:‫ (العلة‬yang artinya
penyakit. Dalam istilah ilmu hadits ilmu Ilal al Hadits adalah:
‫سبب خفي يقدح في الحديث مع ظهور السالمة منه‬
“suatu sebab tersembunyi yang menyebabkan cacat pada hadits,
sementara lahirnya tidak tampak penyebab tersebut”.
Ilmu Ilal al Hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang
samar yang membuat kecacatan keshahihan hadits, seperti me-washal-kan
hadits yang munqothi’, atau memasukkan suatu hadits ke hadits yang lain.
Ilmu ini adalah salahsatu cabang ilmu hadits yang utama, karena tidak dapat
terungkap kecuali oleh para ulama yang memiliki kelimuan yang sempurna
tentang tingkatan perawi dan memiliki indra yang kuat tentang matan dan
sanad.22
Adapun tempat biasanya terdapat ‘Illah pada suatu hadits adalah:
a. Sanad
Disinilah biasanya yang banyak terdapat ‘Illah, terkadang ‘illah
tersebut mempengaruhi alur sanad hadits saja seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid at Thonafisi dari Sufyan ats Tsauri dari
Amru bin Dinar dari ibnu Umar dari Rosulullah SAW )‫(البيعان بالخيار‬.
Sesungguhnya Ya’ala salah dalam menyebutkan Amru bin Dinar, karena
para pengikut Sufyan meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Dinar,
bukan Amru bin Dinar.
Dan terkadang juga mempengaruhi matan hadits, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Musa bin ‘Uqbah dari Suhail bin Abi Sholih dari Ayahnya
dari Abu Huroiroh dari Rasulullah tentang hadits (siapa yang duduk dalam
suatu majlis yang banyak keributannya lalu membaca
subhanakallahumma… maka akan diampuni atas apa yang terjadi di dalam
majlis tersebut). Imam Hakim an Naisaburi meriwayatkan bahwa Imam
Muslim mendatangi Imam Bukhori dan menanyakan tentang hadits ini, ia
berkata: aku tidak menemukan dalam bab ini kecuali hadits ini, akan tetapi
kondisinya Ma’lul (ada ‘Illah di dalamnya) yang dikabarkan oleh Musa bin
Ismail dari Wahib dari Sahal dari Aun bin Abdullah bahwa perkataan dalam
hadits diatas adalah perkataan Aun bin Abdullah bukan perkataan Nabi
Muhammad SAW, inilah yang lebih utama karena Musa bin Uqbah tidak
disebutkan pernah mendengar dari Suhail bin Abi Sholih.
b. Matan,
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Thohhan dari Abu
Hurairoh tentang hadits hendaknya mencuci tangan setelah bangun tidur.
Abu Hatim ar Razi berkata: kalimat (hendaklah ia menciduk air dengan

22 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta, AMZAH, 2013, hal 96-97
menggunakan tangan kanan…dst) merupakan perkataan Ibrahim bin
Thohhan yang tercampur dengan hadits tersebut.
c. Matan dan Sanad secara bersamaan
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Baqiyah dari Yunus dari Zuhri
dari Salim dari ibnu Umar dari Rosulullah SAW (barangsiapa yang sempat
untuk melakukan rukuk bersama imam pada sholat jumat dan lainnya maka
ia mendapatkan satu rokaat). Abu Hatim ar Razi berkata: ini kesalahan pada
Matan dan Sanad, yaitu dari Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Huroiroh dari
Rosulullah SAW (barangsiapa yang sempat melakukan rukuk bersama
imam maka ia mendapatkan satu rokaat), adapun kalimat (sholat jumat)
maka itu bukan bagian dari hadits, jadi kesalahan terletak pada Sanad dan
Matan.

4. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits


Menurut istilah ilmu Asbabul Wurud adalah:
‫علم يعرف به أسباب ورود الحديث ومناسبته‬
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab datangnya hadits dan
beberapa munasabah nya (latar belakang)”.
Ilmu ini menjelaskan tentang sebab-sebab datangnya hadits, latar
belakang, dan waktu terjadinya. Misalnya, datangnya suatu hadits karena
Nabi ditanya oleh seorang sahabat tentang suatu masalah yang dianggap
sulit baginya. Ilmu ini sangat penting untuk memahami makna yang
terkandung dalam matan hadits secara kontekstual seperti ilmu Asbabun
Nuzul Al Qur’an bagi pemahaman Al Qur’an.

5. Ilmu Mukhtalif al-Hadits


Di dalam kitabnya, Dr. Mahmud Ath Thohhan menjelaskan secara
sederhana tentang Mukhtalaf al Hadits:
‫هو الحديث المقبول المعارض بمثله مع امكان الجمع بينهما‬
“hadits maqbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan
dikompromikan antara keduanya”.
Ilmu Mukhtalaf al Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits
yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik
dengan cara pembatasan )‫ (التقييد‬yang muthlaq, mengkhususkan yang umum
)‫ (تخصيص العام‬atau dengan lainnya. Ilmu ini disebut juga Talfiq al Hadits.
Tujuan ilmu ini adalah mengetahui hadits mana saja yang kontra
dengan yang lain dan bagaimana pemecahnnya atau langkah-langkah apa
yang dilakukan para ulam dalam menyikapi hadits tersebut.
Untuk mengkompromikan hadits yang kontradiksi ada beberapa
tahapan:
a. Jika memungkinkan disatukan antara dua hadits tersebut maka wajib
untuk diamalkan.
b. Jika tidak mungkin disatukan maka:
• Jika diketahui salah satunya Nasikh dan satunya Mansukh
maka Nasikh didahulukan atas Mansukh.
• Jika tidak diketahui Nasikh atau Mansukh-nya maka
dilakukan Tarjih (pemilihan yang lebih kuat dari yang
lainnya).
• Jika tidak bisa di-tarjih maka berhenti untuk
mengamalkannya sampai diketahui factor penguat salahsatu
hadits dari lainnya23

C. Perkembangan Ilmu Hadits


Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu
mengiringinya sejak masa Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan
sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadis muncul bersamaan dengan
mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan
selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka.
Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis berkembang sedemikian
rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada masa

23 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta, AMZAH, 2013


Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan
karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah
mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya
atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya.
Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis,
tetapi para peneliti hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran
dan hadis Rasulullah S.A.W. Misalnya firman Allah S.W.T dalam Q.S. (Al-
Hujurat) 49: 6
‫ع ٰلى َما فَ َع ْلت ُ ْم‬ ِ ُ ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا ا ِْن َج ۤا َء ُك ْم فَاس ٌِۢق ِبنَبَ ٍا فَتَبَيَّنُ ْٰٓوا اَ ْن ت‬
ْ ُ ‫ص ْيب ُْوا قَ ْو ًم ٌۢا ِب َج َهالَ ٍة فَت‬
َ ‫ص ِب ُح ْوا‬
َ‫ٰندِمِ يْن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang
kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu
tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat
kamu menyesali perbuatanmu itu”.
Demikian juga dalam Q.S. (Al-Baqarah) 2: 282
َ‫ض ْونَ مِ ن‬ َ ‫ش ِه ْيدَي ِْن مِ ْن ِر َجا ِل ُك ْۚ ْم فَا ِْن لَّ ْم َي ُك ْونَا َر ُج َلي ِْن فَ َر ُجل َّوا ْم َراَ ٰت ِن مِ َّم ْن ت َْر‬
َ ‫َوا ْست َ ْش ِهد ُْوا‬
‫َض َّل اِ ْح ٰدى ُه َما‬ ِ ‫ش َه ۤدَاءِ ا َ ْن ت‬
ُّ ‫ال‬
“..Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika
tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang
perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang
ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain
mengingatkannya..”
Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji
berita yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita
yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa
pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika pembawanya orang yang jujur,
adil, dan dapat dipercaya maka diterima. Akan tetapi sebaliknya, jika
pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif, pembohong dan lainlain,
maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah terhadap orang lain
yang menyebabkan penyesalan dan merugikan.
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang
baru dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar
tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali
orang tersebut mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran
riwayat yang disampaikannya. Dan masa Utsman tahap kedua, masa ini
terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan), para
sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi dan
bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah
SAW. Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah
hadis. Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu
ilmu yang didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka setelah
beliau wafat hadis di sampaikan oleh para sahabat kepada generasi
berikutnya dengan penuh semangat dan perhatian sesuai dengan daya hafal
mereka masing-masing. Para sahabat juga telah meletakkan pedoman
periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu hadis. Mereka juga
berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya dapat
diketahui hadis makbul untuk diamalkan dan hadis yang mardud untuk
ditinggalkan. Dan dari sini muncullah mushthalah al-hadits.Pada masa awal
Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis karena orangnya
masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain. Akan
tetapi, setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara
pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte;
Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi
pemalsuan hadis (hadis mawdhû’) dari masingmasing sekte dalam rangka
mencari dukungan politik dari masa yang lebih luas. Melihat kondisi seperti
hal di atas para ulama bangkit membendung hadis dari pemalsuan dengan
berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan
mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus
disertai dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika
dihadapan suatu periwayatan: “Sebutkan kepada kami para pembawa
beritamu”.24
Ibnu Al-Mubarak berkata:
Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh
sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki.
Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan hadis tidak
diterima, tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri
menghimpun hadis dari para ulama di atas lembaran kodifikasi. Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa periwayatan hadis tidak di terima, kecuali
disertai sanad. Pada periode Tabi’in, penelitian dan kritik matan semakin
berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang
para Tabi’in hadapi. Demikian uga dikalangan ulama-ulama hadis
selanjutnya. Perkembangan ilmu hadis semakin pesat ketika ahli hadis
membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau
tidak (dhâbit), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul
wa adâ), hadis yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau
kompromi, kalimat hadis yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-
lain. Akan tetapi, aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan
secara lisan (syafawî) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis.
Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga
Hijriyah, ilmu hadis mulai di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang
sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih
campur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara
terpisah. Tetapi pada dasarnya, penulisan hadis baru dimulai pada abad
kedua Hijriyah. Imam Syafi’i adalah ulama pertama yang mewariskan
terori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam
karyanya. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti
dalam kitab Ar-Risâlah yang ditulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan
fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan solusi hadis-hadis yang kontra dengan

24 Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah, t.t., h. 363-364.


diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’i (w. 204 H). Hanya saja,
teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah
dan kitab Al-Umm.
Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis yang
disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga
Hijriyah, perkembangan penulisan ilmu hadis juga pesat, karena
perkembangan keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadis
masih terpisah-pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri,
ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Mushthafa As-Siba’i mengatakan
orang pertama kali menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya
Al-Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi.25 Dr. Ahmad Umar Hasyim juga
menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu hadis adalah Ali bin
Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari
dan Muslim.26 Di antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah kitab
Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan
ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H). Kedua Ketika
pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu
hadis mulai di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum
terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan
ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada
dasarnya, penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam
Syafi’i adalah ulama pertama yang mewariskan terori-teori ilmu hadisnya
secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya. Misalnya ilmu hadis
bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang
ditulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm.
Dan solusi hadis-hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts
karya Asy-Syafi’i (w. 204 H). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak
terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan kitab Al-Umm. Sesuai

25 as-siba’i, as-sunnah, t.t., h. 107


26 Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah, h. 398
dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis yang disebut pada masa
kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga Hijriyah,
perkembangan penulisan ilmu hadis juga pesat, karena perkembangan
keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadis masih terpisah-
pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam
bentuk bab-bab saja. Mushthafa As-Siba’i mengatakan orang pertama kali
menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari,
Muslim, dan Tirmidzi.7 Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa
orang pertama yang menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani dan
permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Muslim.8
Di antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-
Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan ta’wîl
Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H). Kedua kitab tersebut
ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog yang
sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan Mu’tazilah dan
ahli bid’ah.
Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadis pada mukadimah
bukunya seperti Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi
pada akhir kitab Jâmi’-nya. Di antara mereka Al-Bukhari menulis tiga
Târîkh, yaitu At-Târîkh Al-Kabîr, At-Târîkh AlAwsâth dan At-Târîkh Ash-
Shaghîr, Muslim menulis Thabaqât At-Tâbi’in dan Al-‘Ilal, AtTirmidzi
menulis Al-Asmâ’ wa Al-Kunâ dan KitâbAt-Tawârikh, dan Muhammad bin
Sa’ad menulis Ath-Thabaqât Al-Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang
menulis secara khusus tentang periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’
ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh An-Nasa’i, dan lain-
lain. Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad
ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai
ilmu hadis, ia hanya terdiri dari bab-bab saja. Perkembangan ilmu hadis
mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang
merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang
berkembang pada abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan.
Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-
Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah orang yang pertama kali memunculkan
ilmu hadis yang berdiri sendiri dalam karyanya Al-Muhaddits Al-Fâshil
bain Ar-Râwî wa Al-Wâî. Akan tetapi, tentunya tidak mencakup
keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu
Abdullah An-Naisaburi (w. 405 H) yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-Hadîts
tetapi kurang sistematik, Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364 H)
yang menulis Al-Jâmi li Adâb Asy-Syaikh wa As-Sâmi’ dan kemudian
diikuti oleh penulis-penulis lain.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau
sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang
membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka
yang ada dalam sanad suatu hadis.
Menurut mudasuir mengutip pendapat ulama Mutaqaddimin, Ilmu
Hadits adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara
persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW. dari segi hal ihwal
para perawinya, yang menyangkutkedabitan dan keadilannya dan dari segi
bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya. Secara garis besar ilmu
hadits terbagi menjadi dua yaitu ilmu hadis riwayah dan dirayah.
Banyak sekali jumlah cabang Ilmu Hadits, para Ulama
menghitungnya secara beragam, ada yang menghitungnya secara terperinci
dan ada yang menghitungnya secara global. Ibnu ash Sholah menyebutkan
bahwa ada 65 cabang Ilmu Hadits, Imam as Suyuthi mengatakan ada 93
cabang, al Hazimi berkata: “Ilmu Hadits mencakup banyak cabang yang jika
dihitung mencapai seratus dan setiap cabangnya merupakan disiplin ilmu
tersendiri. Subhi Sholih hanya meringkasnya menjadi 6 cabang Ilmu Hadits
dalam kitabnya, sementara ada juga yang meringkasnya menjadi 10 cabang.
Di antaranya Ilmu rijal Al-Hadits, Ilmu Al-Jarh wa at-Ta'dil, Ilmu 'ilal al-
Hadits, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits.
Kemudian sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu
mengiringinya sejak masa Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan
sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadis muncul bersamaan dengan
mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan
selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka.
Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis berkembang sedemikian
rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada masa
Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan
karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah
mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya
atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya.
Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan hadis tersebut.

B. Saran
Penulis sadar makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pembuatan
makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Beirut: Dar Al-Fikr,


1988.
Al-Munawiy, At-Tauqif Muhammad al-Ta’arif, cet 1 Dar al-Fikr. Beina, 1416.
Abu Jamin Roham, Hadits Teladan Amal, Jakarta: Media Da’wah, 1992.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah, 2013.
As-siba’i. as-sunnah, t.t
Daniel Juned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, Medan:
Erlangga, 2010.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits Bandung: al-Ma’arif, t. t
Hasyim, Ahmad Umar. As-Sunnah An-Nabawiyyah, t.t
Mudasuir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia.1999.
Medan: Perdana Publishing, 2011.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis. Jakarta :Raja Grafindo Persada. 2002.
Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, Jakarta: Hijri Pustaka Utama,2006.
Nawir Yuslem,Ulumul Hadits, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001.
Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, Dar Asy-Syuruq : Kairo, 1998.
Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap: Ilmu Hadis
Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996.
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi kritik Atas Hadis Nabi Saw: Antara
pemahaman tekstual dan kontekstual, diterjemahkan dari buku As-Sunnah
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Persepektif muhammad al-
ghazali dan Yusuf Al-Qaradhawi (Yogjayakarta: Teras, 2008.
Thahhan, Mahmud al-. Taisir Musthalahal al-Hadits. Beirut: Dar ats-Tsaqafah
alIslamiyah, t.t.

Anda mungkin juga menyukai