MAKALAH
DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAMPUH:
MAKASSAR
2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki
sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-
kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad
ke-2 H. Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan,
dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadis. Larangan tersebut berdasarkan
kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu,
juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis
al-Qur'an. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadis secara resmi dimulai pada
masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Terlepas dari naik-
turunnya perkembangan hadis, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan
hadis memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ilmu hadits?
2. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits?
3. Bagaimana perkembangan dan pertumbuhan ilmu hadits?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ilmu hadits
2. Mengetahui cabang-cabang ilmu hadits
3. Untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan ilmu hadits
PEMBAHASAN
1 Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalahal al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.t.), h. 15.
2Mudasuir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia.1999), h. 41
1. Pengertian Ilmu Hadis Riwayah
Secara bahasa, riwayah berarti menceritakan, mengambarkan,
cerita, atau kabar. Dalam ilmu hadis, riwayah adalah suatu pemberitaan
yang disandarkan kepada nabi muhammad saw.3
Maksudnya ilmu riwayah adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya.4
Adapun lafal pengertian riwayah lebih spesifik, antara lain:
a. Riwayah Aqran artinya orang-orang yang sebanding atau orang yang
setara,
b. Riwayah Mukhtalith artinya sesuatu yang rusak akalnya, pikirannya,
atau hafalannya,
c. Riwayah tawaqquf artinya terhenti atau tertahan,
d. Riwayah ahli bidah artinya sesuatu yang diada-adakan atau
diciptakan, atau sesuatu yang baru kenal,
e. Riwayah al-akabir an ash-shaqhir. Menurut bahasa, kanir artinya
yang lebih besar, lafal ‘an artinya dari shaqir artinya kecil,
f. Riwayah sabiq wa lahiq. Menurut bahasa, sabiq artinya yang
mendahului, terdahulu, atau telah lewat,
g. Riwayah hadis bi al-makna. Menurut istilah hadis yang
diriwayatkan secara maknawi,
h. Riwayah Tsiqah. Menurut bahasa, bermakna riwayat dari orang
kepercayaan.5
Contoh hadits dengan riwayat yang baik, yaitu:
“Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan dia menurunkan pula
obat penawarnya”.
3Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap : Ilmu Hadis, ( Medan :Perdana
Publishing, 2011), h. 207
4Daniel Juned, Ilmu Hadis : Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Medan : Erlangga, 2010), h. 97,
lihat juga kutipan Ajja Al-Khatib, Ushul Al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu,(Beirut : Dar Al-fIkr, 1981), h.7
5 Ramli Abdul Wahid & Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap: Ilmu Hadis, h.208-210
Sabda Rasulullah saw---Abu Hurairah---‘Atha ‘bin Abi Rabih----
Umar bin Sa’id---Abu Ahmad---Muhammad bin Al Mutsna---Bukhari.
Imam bukhari sendiri mengumpulkan 600.000 hadis secara
keseluruhan, sementara yang beliau pilih bukukan sebanyak 9.082, berbeda
dengan Al-Muwathta karangan imam malik adalah kitab tertua, berisi 1820
hadits.6
Upaya penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan
Hadits secara besar-besaran terjadi pada abad ke-3 H yang dilakukan oleh
para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud,
Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan telah dibukukannya Hadits-Hadits
Nabi SAW oleh para Ulama di atas, dan buku-buku mereka pada masa
selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para Ulama yang datang kemudian,
maka dengan sendirinya Ilmu Hadits Riwayah tidak banyak lagi
berkembang.7
Menurut Al-Suyuthi atau Imam Jalal Al-Din Abd Al-Rahman ibn
Abi Bakar Al-Suyuthimengenai objek Kajian Ilmu hadis riwayah adalah
bagaimana cara menerima, menyampaikan hadis kepada orang lain yang
mempelajari.8 Hadis nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharanya, hal
tersebut mencakup cara periwayatan hadis baik segi cara penerimaan dan
demikian juga cara penyampainnya dari seorang perawi kepada perawi
lainnya, serta cara pemeliharaan hadis dalam bentuk penghafalan,
penulisan, dan pembekuannya.
Dalam menyampaikan atau membukukan hadits hanya disebutkan
apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya, ilmu ini
tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) atau ‘ilat (kecacatan)
matan hadits, dan juga tidak membahas kualitas perawi baik dalam keadilan,
maupu kefasikan nya. Adapun faedah mempelajari ilmu Hadits Riwayah
6 Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, ( Jakarta : Hijri Pustaka Utama,2006),
7 Nawir Yuslem,Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001), h. 3
8 Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi , ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1988), h. 7
adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya
yang pertama yaitu nabi muhammad saw.9
Analisis tentang tata cara penerimaan riwayat hadis, dan
mengeluarkan riwayat hadis di anggap penting karena ahli hadis atau ulama
sebagai para periwayat dan penghimpunan hadis mengenai ucapan,
perbuatan, taqrir, atau hal ihwal nabi muhammad saw yang biasanya disebut
dengan sanad.
a. Tata cara penerima riwayat hadis
Ulama hadis menetapkan istilah harf atau term tertentu untuk
menghubungkan periwayatan dengan periwayat lain yang dekat dengan
sanad. Istilah itu menggambarkan cara yang ditempuh oleh periwayat hadis
yang bersangkutan dalam menerima hadis.Fungsi harf sebagai pentunjuk
mengenai cara riwayatan yang telah ditempuh oleh periwayatan.10 Kalangan
13 Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap : Ilmu Hadis, h. 38
14 Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 101
15 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: al-Ma’arif, t. t), h. 74
16 Munzier Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta :Raja Grafindo Persada. 2002), h.76-77
Penjelasan selanjut diatas, mengenai keadaan rawi (hal ar-rawi)
memberikan defenisi hal-hal berkaitan dengan perawi, sifat-sifatnya seperti
baik dan jelek, cara menerima dan menyampaikan hadis, kekuatan hafalan
dan menyakung pribadinya. Seorang rawi dapat diterima riwayatnya apabila
ia memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti ‘adil dan dhabith. Sebaliknya,
riwayatnya akan ditolak bila ternyata ia tidak memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan, seperti buruk hafalanya, fasiq, dan riwayatnya menyalahi atau
menyelisihi riwayat perawi lain yang lebih tsiqah darinya.Begitu juga
dengan maksud dari keadaan yang diriwayatkan (hal al-Marwiyah) ialah
mengetahui segala sesuatu yang menyakut dengan sanad, ‘illah yang
tersembunyi, dengan kata-kata yang gharib (aneh) yang kesumanya dapat
mempengaruhi kualitas hadis. Dengan demikian jelas bahwa pokok objek
kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matanhadis. Pengkajian sanad
itu sudut keadaan masing-masing perawi dan pertalian antara satu dengan
yang lain. Kajian mantan berarti peninjauan dari sudut cacat atau ‘illah yang
mempengaruhi nilai hadis tersebut dari sudut redaksinya.
Untuk meneliti kebenaran dan kesahihan hadis serta persyaratannya,
maka para ulama ahli hadis telah mentapkan lima persyaratan untuk
menerima hadis nabi muhammad saw dengan baik, tiga point a-b berkenaan
dengan sanad (mata rantai para perawi), dan c-d berkenaan dengan matan
(materi hadis), anatara lain:a. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis
haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan
benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkan
setelah itu, tepat sepertinya, b. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia
juga harus seorang yang baik dari kepribadiannya dan bertakwa kepada
allah swt, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan,
c. Kedua sifat tesebut dari butiran 1 dan 2 harus dimilki oleh masing-masing
perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tak
terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak
anggap mencapai derajat shahih, d. Mengenai matan (materi) hadis itu
sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya
bertentangan dalam periwayatan dengan perawi lainnya dianggap lebih
akurat dan lebih dapat dipercaya), e. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah
qadihah (yakni cacat yang diketahui oeleh para ahli hadis, sedemikian
mereka menolaknya).17
Hal ini di atas menjukkan metode dalam memahami hadis-hadis,
menurut muhammad al-Ghazali untuk mempraktikkan kriteria-kriteria
tersebut, maka perlu kerja sama antara muhaddits dengan berbagai ahli
bidangnya termasuk fuqarah, ahli ushul fiqih, ahli kalam, dan lain-lain,
mengingat matan materi hadis ada yang berkenaan dengan akidah, ibadah,
dan mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli.18
Objek pembahasan Ilmu Hadits Dirayah adalah keadaan para perawi
dan marwinya (sanad dan mantanya), Keadaan para perawi, yaitu
penyangkut pribadinya, seperti akhlak, tabiat, dan keadaan pahalannya
sanad. Adapun keadaan marwi, yaitu dari sudut kesasihan dan kedaifannya,
maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan. objek kajian
atau pokok bahasan Ilmu Hadits Dirayah ini berdasarkan definisi di atas,
adalah sanad dan matan hadits.19
17 Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi kritik Atas Hadis Nabi Saw : Antara pemahaman tekstual dan
kontekstual, diterjemahkan dari buku As-Sunnah An-Nabawiyah : Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, ( Dar
Asy-Syuruq : Kairo, 1998), h. 26
18 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi : Persepektif muhammad al-ghazali dan Yusuf Al-
Qaradhawi (Yogjayakarta :Teras, 2008), h. 78 lihat juga kutipan Muhammad Al-Ghazali, al-Sunnah al-
Nabawiyah, h. 19-21
19 Mudasuir, Ilmu Hadis, h. 45
dalam kitabnya, sementara ada juga yang meringkasnya menjadi 10
cabang.20
علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد في شأنهم مما يشينهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
“ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang
datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau memuji
mereka dengan menggunakan kata-kata khusus”.
Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat ) (الجرحatau adilnya
( (التعديلseorang perawi dengan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki
hierarki tertentu. Kaidah Syara’ menunjukkan bahwa syariah harus dijaga,
dan menjelaskan keadaan perawi adalah jalan yang tepat untuk menjaga
Sunnah yang merupakan salahsatu komponen dalam Syariah. Tujuan ilmu
ini adalah untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke-
dhobit-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits. Jika sifatnya adil
dan dhobit maka haditsnya dapat diterima dan jika cacat, tidak ada keadilan
dank e-dhobit-an maka haditsnya tertolak.
Para ulama hadits, fiqh dan ushul berijma’ bahwa syarat dari
diterima tidaknya hadits dari seseorang adalah bahwa orang tersebut
haruslah adil dan dhobit. Adil artinya dia harus muslim, berakal, baligh dan
bersih dari kefasikan serta hal yang mencoreng kehormatannya. Dhobit
artinya dia benar-benar hafal apa yang dihafalnya, baik itu melalui hafalan
atau kitab dan mengerti makna yang dihafalanya. Atau dengan kata lain
hafalannya tidak menyalahi hafalan Tsiqot, bagus, tidak salah, tidak lupa,
dan tidak banyak keragu-raguan.
Adapun al ‘Adalah ) (العدالةdapat ditetapkan pada diri seorang perawi
dengan salah satu dari 2 cara, yaitu;
Pertama, at Tanshihsh ) (التنصيصadanya petunjuk atau nash dari
salahsatu ulama ilmu Jarh wat Ta’dil yang menyatakan keadilan seseorang.
Kedua, al Istifadhoh wa asy Syuhroh ) (االستفاضة و الشهرةyaitu
terkenalnya seorang perawi di kalangan ulama dengan keadilannya dan
bahkan dipuji karena hal tersebut.
Ibnu ‘Adi (365 H) dalam kitabnya Mukaddimah Al Kamil
menjelaskan nilai keadilan para ahli haditssejak masa sahabat. Diantara
sahabat yang menyebutkan sifat dan keadaan para perawi hadits adalah Ibnu
Abbas, Ubadah bin Shomit, dan Anas bin Malik. Dan diantara tabi’in adalah
Asy Sya’bi, Ibnu Sirin, dan Sa’ad bin al Musayyab, sedikit sekali diantara
mereka yang digolongkan cacat ) (الترجيحdalam keadilan. Pada abad ke 2
Hijriyah mulailah terdapat perawi hadits yang dhoif. Pada masa akhir
tabi’in, yaitu sekitar tahun 150 H, bangkitlah para ulama untuk mengungkap
para perawi yang adil ) (التعديلdan cacat )(الترجيح, diantara mereka adalah
Yahya bin Sa’id al Qothan dan Abdurrahman al Mahdi.
22 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta, AMZAH, 2013, hal 96-97
menggunakan tangan kanan…dst) merupakan perkataan Ibrahim bin
Thohhan yang tercampur dengan hadits tersebut.
c. Matan dan Sanad secara bersamaan
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Baqiyah dari Yunus dari Zuhri
dari Salim dari ibnu Umar dari Rosulullah SAW (barangsiapa yang sempat
untuk melakukan rukuk bersama imam pada sholat jumat dan lainnya maka
ia mendapatkan satu rokaat). Abu Hatim ar Razi berkata: ini kesalahan pada
Matan dan Sanad, yaitu dari Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Huroiroh dari
Rosulullah SAW (barangsiapa yang sempat melakukan rukuk bersama
imam maka ia mendapatkan satu rokaat), adapun kalimat (sholat jumat)
maka itu bukan bagian dari hadits, jadi kesalahan terletak pada Sanad dan
Matan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau
sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang
membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka
yang ada dalam sanad suatu hadis.
Menurut mudasuir mengutip pendapat ulama Mutaqaddimin, Ilmu
Hadits adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara
persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW. dari segi hal ihwal
para perawinya, yang menyangkutkedabitan dan keadilannya dan dari segi
bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya. Secara garis besar ilmu
hadits terbagi menjadi dua yaitu ilmu hadis riwayah dan dirayah.
Banyak sekali jumlah cabang Ilmu Hadits, para Ulama
menghitungnya secara beragam, ada yang menghitungnya secara terperinci
dan ada yang menghitungnya secara global. Ibnu ash Sholah menyebutkan
bahwa ada 65 cabang Ilmu Hadits, Imam as Suyuthi mengatakan ada 93
cabang, al Hazimi berkata: “Ilmu Hadits mencakup banyak cabang yang jika
dihitung mencapai seratus dan setiap cabangnya merupakan disiplin ilmu
tersendiri. Subhi Sholih hanya meringkasnya menjadi 6 cabang Ilmu Hadits
dalam kitabnya, sementara ada juga yang meringkasnya menjadi 10 cabang.
Di antaranya Ilmu rijal Al-Hadits, Ilmu Al-Jarh wa at-Ta'dil, Ilmu 'ilal al-
Hadits, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits.
Kemudian sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu
mengiringinya sejak masa Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan
sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadis muncul bersamaan dengan
mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan
selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka.
Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis berkembang sedemikian
rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada masa
Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan
karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah
mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya
atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya.
Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
B. Saran
Penulis sadar makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pembuatan
makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA