Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur‟an. Segala sesuatu yang
tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur‟an baik dari segi ketentuan hukumnya,
cara mengamalkannya,dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan dalam hadits
Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur;an. Al-Qur‟an dan
hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami
betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat Islam.
Seiring perkembangan zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan
hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu. Menimbang betapa pentingnya
hadits untuk kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar,
maka sebagai umat Islam kita harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi
keaslian hadits, kita harus mempelajari struktur hadits itu sendiri seperti tentang
sanad, matan, perawi dan mukharij hadits beserta transformasinya. Transformasi
hadits yakni periwayatan hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai pada
rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan hadits.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai sanad, matan, rawi dan mukharij,
syarat-syarat perowi dan bentuk-bentuk transformasi hadits. Semoga dengan adanya
makalah ini kita bisa lebih mengetahui secara mendalam tentang hadits beserta isinya.
Amin…..

B. Rumusan Masalah
Untuk mencapai rumusan pembahasan yang diinginkan, penulis merasa perlu
merumuskan masalah masalah terlebih dahulu. Merujuk pada latar belakang, penulis
merumuskan masalah pada beberapa pertanyaan berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan sanad, matan, rawi dan mukharij?
2. Apa syarat-syarat menjadi seorang perawi?
3. Bagaimana cara menerima hadits?

1
C. Tujuan Masalah
Untuk mencapai tujuan pembahasan yang diinginkan, penulis merasa perlu
merumuskan masalah masalah terlebih dahulu. Merujuk pada latar belakang, penulis
merumuskan tujuan berikut :
1. Menjelaskan definisi dengan sanad, matan, rawi dan mukharij?
2. Mengidentifikasi syarat-syarat menjadi seorang perawi?
3. Menjelaskan Bagaimana cara menerima hadits?

2
BAB II
PEMBAHSAN

A. Unsur-Unsur (Struktur Hadits)


1. Pengertian Sanad
Sanad menurut bahasa berarti sandaran, tempat kita bersandar. Sanad secara
bahasa dapat diartikan pula al-mu`tamad )‫( الوعخوذ‬, yaitu yang di perpegangi
(yang kuat) / yang bias di jadikan pegangan atau dapat juga di artikan :

“ ‫“ يبسرفع يٍ االسض‬

Yaitu sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah .1

Menurut istilah ahli hadits sanad ialah jalan yang menyampaikan kepada
matan hadits.

Secara terminologis , definisi sanad ialah :

" ‫ اً سهسهّ انشواح انزٍٍ َقهواا انًزٍ يٍ يصذسِ االول‬,ٍ‫”ْو طشىق انًز‬

Sanad adalah jalannya matan , yaitu silsilah para perawi yang memindahkan
(meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:32)

Maksudnya ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan


materi hadits sejak yang disebut pertama sampai rasul saw, yang perkataan,
perbuatan, takrir, dan lainnya merupakan materi atau matan hadits. 2 Dengan peng
ertian di atas , maka sebutan sanad hanya berlaku pada rangkaian orang-orang, bukan
dilihat dari sudut pribadinya secara perorangan, sedangkan sebutan untuk pribadi,
yang menyampaikan hadits di lihat dari sudut perongannya disebut dengan rawi.
Sanad sering disebut juga thariq dan wajh.3 Selain sanad, dalam hadis terdapat istlah
isnad. Isnad menurut ilmu bahasa menyandarkan, sedangkan menurut istilah isnad

1
Nawir Yuslem,op, cit., halaman 148
2
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988) halaman 24
3
Sohari Sahroni, Ulumul Hadits (IAIN SMH Banten, 2005) halaman 129

3
ialah menerangkan sanad hadits (jalan menerima hadis). Menurut Ath-Thibi,
sebagaimana di kutip al-Qosimi , kata al-isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang
hampir sama atau berdekatan, berbeda dengan istilah al-musnad mempunyai beberapa
arti : pertama, berarti hadits yang di riwayatkan dan di sandarkan atau di sanadkan
kepada seseorang yang membawanya seperti ibn-Syihab az-Zuhri, Malik bin Annas,
dan Amarah binti Abdarrahman ; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun
hadits-hadits dengan sisitem penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat
perawi hadits , seperti kitab musnad ahmad, berarti nama bagi hadits yang memenuhi
riteria marfu` (di sandarkan kepada nabi saw.) dan muttashil ( sanadnya bersambung
sampai kepada akhirnya ). 4 Isnad adalah:

ّ‫سفع انحذٍث اني قبئهّ او فبعه‬

“Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya.”

(Hasbi As-Shiddiqi,1985,43).

Atau:

ّ‫عضو انحذٍث اني قب ئه‬

“Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya.”

Adapun orang yang menerangkan hadis dengan menyebutkan sanadnya,


dinamakan musnid. Adapun hadis yang disebutkan dengan diterangkan sanadnya
yang sampai kepada nabi dinamakan musnad. 5 Dengan sanadlah dapat diketahui
mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak
sah. Asy-syafii mengatakan perumpamaan orang yang mencari hadits tanpa sanad
sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api dimalam hari yang gelap. 6

4
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta, Raja Grafindo Persada,1997) halaman 3
5
Ibnu Hamzah al-Husin al Hanafi al Damisyqi, ilmu hadis, (Surabaya: Kalam Mulia, tt hal. V)
6
Munzier Suparta, op. cit. halaman 131. H. Muddasir, op. cit. halaman 146

4
2. Pengertian Matan
Matan menurut bahasa adalah punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras
dan tinggi ” ‫” يب صهت و اسرفع يٍ االسض‬. Kata matan dalam ilmu hadits ialah penghujung
sanad, ada juga yang mengatakan materi atau lafal hadits itu sendiri. Sedangkan
menurut ath-Thibi mendefinisikannya dengan:

‫انفظ انحذٍث انزي رزقوو ْب يعبََخ‬

“Lafal-lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu.”

(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:31)

3. Pengertian Rawi
Rawi adalah seorang yang mengutip hadis sekaligus dengan isnadnya, dia bisa
laki-laki maupun perempuan.7Rawi menurut bahasa adalah orang yang meriwayatkan
hadits atau memberitakan hadits. 8 Menurut Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar
Ulumul Hadits:16) bahwa sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Sana-sanad pada tiap Thobaqoh-nya, juga disebut rawi, jika yang
dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits.
Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau
pentadwinan hadits.9

Menurut A.Hasyim yang dikutip Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar Ulumul
Hadits:17), rawi ialah orang yang menyampaikan dan menuliskan dalam suatu kitab
apa-apa yang telah didengar dari seorang gurunya (A.Hasyim, 2004:120)

‫انشاوً يٍ رهقٌ اانحذٍث وادِ ثصَغخ يٍ صَغ االءداء‬

7
Al- kifayah 97
8
Tadrib ar-Rawi, halaman 11; bagian rawi halaman 197
9
Ulumul Hadis, halaman 108-109

5
“Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu
bahasa penyampayanya .”10

Jadi rawi itu ialah orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits
dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Atau orang yang telah
menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab. Menurut ilmu hadits Rawi
adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits
adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi
negatif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta‟dil. Ilmu ini
membahas tentang kondisi perawi, apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan
tergas atau sebaliknya.

4. Pengertian Riwayat, Takhrij dan Mukharij


Riwayat menurut bahasa ialah memindahkan dan menukilkan berita dari
seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits ialah memindahkan hadits dari
seorang guru kepada muridnya atau membukukannya kedalam kumpulan hadits. 11

Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat.


Menurut istilah ilmu hadits ialah:

a. Mengambil sesuatu hadits dari suatu kitab, lalu mencari sanad yang lain dari
sanad penyusunnya kitab itu. Orang yang mengerjakan hal ini, dinamakan
mukharij dan mustakhrij.
b. Menerangkan perawi dan derajat hadis yang tidak diterangkan.12

Adapun mukharrij (‫)هخشج‬


ّ berasal dari kata: kharraja (‫)خشج‬
ّ Akhraja (‫)أخشج‬
mukhrij (‫ )هخشج‬mukharrij (‫)هخشج‬
ّ “orang yang mengeluarkan”. Menurut para Ahli
Hadits, mukharrij:

10
Al-Manhaj al-Hadits bagian rawi hlm.5
11
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Studi Hadits, (Semarang, Pustaka
Rizki Putra, 2009) halaman 37
12
Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung, Rosdakarya, 1994) halaman 191

6
‫انًخشج ْو انزً ٍشزغم ثجًع انحذٍث‬

“mukharrij atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits “

Rawi dan Mukhrij adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangunan sebuah
hadits. Mukharij maksudnya ialah “Orang yang mentakhrij hadits dan
mengumpulkannya pada satu kitab hadits” Misalnya, Imam Bukhari, Imam Muslim,
dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan Mukhorij adalah orang yang
menyebutkan perawi hadits. Contoh sebuah hadits:

‫ ال سِن فى االسالم لوي ال صالة لَ ّال صالة لوي ال‬:‫ قال سسْل هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬:‫عي ابى ُشيشة سضي هللا عٌَ قال‬
)‫ (سّاٍ البزاس ّ اخشج الحاكن عي عا ئشت سضي هللا عٌِا‬.َ‫ّضْء ل‬

“Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw besabda,” Tiada bagian dalam islam
bagi orang yang tidak mengerjakan shalat dan tiada shalat bagi orang yang tidak
berwudhu.” ( HR. Bazzar dikeluarkan oleh imam Hakim dari Aisyah ra.)”13

‫ ليس يخحسش اُل الجٌت اال علي ساعت‬:‫ قال سسْل هللا صلي هللا عليَ ّ سلن‬:‫عي هعار بي جبل سضي هللا قال‬
)‫ (اخشجَ الطبشاًى ّ البيِقي سّاٍ احوذ ّ ابي حباى ّ الحاكن باسٌاد صحيح‬.‫هشث بِن لن يزكش ّا هللا حعالى فيِا‬
“Dari Muadz bin Jabal ra. Rasulullah saw bersabda,” Ahli surga tidak akan menyesali
apapun (segala sesuatu di dunia) kecuali atas waktu yang mereka lalui tanpa
dzikrullah didalamnya.” (dikelurkan oleh Thabrani dan Baihaqi diriwayatkan oleh
Ahmad, Ibnu Hibban,dan Hakim dengan sanad yang shaih).”14

13
Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta, Pustaka
Nabawi,2003), halaman 227
14
Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta, Pustaka
Nabawi,2003), halaman 337

7
B. Syarat Seorang Perawi Dan Proses Transformasi
1. Syarat-Syarat Seorang Perawi

a. Adl dan Jarh
Jarh dan Ta‟dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al-Saba‟i
memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al
Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi
kredibilitas, perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat
penting, siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini
menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak, layak dijadikan sumber
hukum atau tidak.

Adl menurut pendapat ulama ialah suatu tenaga jiwa (malakah) yang
mendorong kita tetap berlaku taqwa dan memelihara muru ‟ah. Orang yang seperti ini
dinamakan adil. Muru‟ah ialah membersihkan dari segala macam perangai yang
kurang baik seperti buang air besar ditengah jalan. Menurut ulama hadits‟ adl ialah:

‫وانزعذٍم ْو رضكَخ انشاوً و انحكى عهَّ ثبَّ عذل او ضب ثط‬

“Menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukumiya bahwa ia adil dan
dhabit”.15

Sedangkan jarh menurut bahasa ialah melukakan badan yang karenanya


mengeluarkan darah (Hasbi, 1981: 2004). Menurut istilah ialah mencela perawi dan
menolak riwayatnya. Menurut istilah ilmu hadis jarh adalah:

"Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya, hafalannya, karena
gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah." (Ajaj al-Khatib, 1986:260). Sebagian
ulama hadits mengatakan:

ّ‫انجشح عُذ انًحذثٍَ انطعٍ في ساوى انحذٍث ثًب ٍسهت او ٍخم ثعذا نزّ او ضجط‬

“Menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adil dan
kedhabitannya”.16

15
Ibid, halaman 55.

8
Sifat-sifat yang menggugurkan keadilan perawi ada lima:

 Dusta
 Tertuduh dusta
 Fusuq (melanggar perintah)
 Jahalah atau tidak terkenal
 Menganut bid‟ah

Cacat-cacat yang merusakkan keshahihan hadis, yaitu:

 Terlalu lengah
 Banyak keliru (salah)
 Menyalahi orang-orang yang terpercaya
 Banyak berprasangka
 Tidak baik hafalannya

Berakal cakap, adil dan islam adalah syarat-syarat yang mutlak harus dipenuhi
oleh rawi agar riwayatnya dapat diterima. Syu‟bah bin al-Hajjaj mengatakan bahwa
ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila haditsnya ingin diterima
yakni cakap atau cermat dan adil. Mengenai persyaratan harus islam dan berakal
keduanya sudah persyaratan yang berlaku mutlak. 17 Menurut ulama hadis syarat
yang harus ada pada seorang rawi bukan hanya saja berakal tetapi baligh pun harus
terdapat paa seorang perawi.18

Yang dimaksud dengan seorang rawi yang cermat adalah dia yang
mendengarkan riwayat sebagaimana mestinya, mampu memahaminya dengan cermat
dan saksama, menghafalnya dengan sempurna, hingga tidak menimbulkan keraguan,

16
Qism ar-Ruwwat, halaman 82
17
Lihat Ihya Ulumuddin (Afat AL-Lisan), 3: 148-150; Riyadh ash-Shalihin, 374-375; ar- Rafu wa at-
Takmil karya al-Kunawi dengan catatan kakinya halaman 9-11dan at-tadrib halaman 520
18
Marifah Ulum al-Hadis lil Hukmi halaman62.

9
mempertahankan semuanya secara utuh mulai saat mendengar sampai waktu
menyampaikannya.19

Seorang rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah
baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga
dirinya jatuh dan ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.Maka dari itu rawi di
tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari
kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits
yang diriwayatkan. Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen
tinggi terhadap urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang
dapat merusak kepribadian. 20 Al-Khatib al-Baghdadi memberikan definisi tentang
adil sebagai berikut: “Adil adalah yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala
yang diperintahkan kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi
dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam dalam segala
tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan
merusak kepribadian. Barang siapa dapat mempertahankan sifat-sifat tersebut ia bisa
disebut bersikap adil terhadap agamanya, dan hadis-hadisnya diakui kejujurannya.”21

b. Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab


Seorang rawi harus benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang
mendalam, diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu nahwu, sharaf dan ilmu
bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan
dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
Perawi dalam kondisi terpaksa, lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan
hadits tersebut sangat diperlukan, hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan
suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya
sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat
diperlukan ummat Islam.

19
Kifayah hlm. 54. Pada bab yang menerangkan tentang keabsahan mendengar hadis bagi anak kecil.
20
At-tadrib 110.
21
Bandingkan dengan Taudliah al-Afkar 2/118

10
Perawi harus menyertakan kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa hadits
tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat -
kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna
(Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu
tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayatan. 22Tetapi cara
ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi
saw. Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di
bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits,harus
dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak
sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya.
Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz
tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.

c. Sanadnya harus muttasil (bersambung)


Sanad yang muttasil artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari
gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar
mendengar dari Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam.
d. Kuat hafalannya
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat ingatan/ kokoh ingatan ialah
sempurna ingatannya sejak ia menerima haditsnya itu dan dapat meriwayatkannya
setiap saat. Kekohan ingatan (kekuatan ingatan) perawi itu,dibagi dua:

 Kuat ingatannya karena kitabnya terpeihara. Ini dinamakan dinamakan


dhabith al-kitab.
 Kuat hafalan dan pemahamannya. Ini dinamakan dhabith ash-shadari.
e. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat
dipercaya.
f. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya
tidak diterima.

22
T.M. Hasbi As-Sidiqy…, op. cit. halaman 13-14

11
Perawi-perawi yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima
riwayatnya ialah:
 Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
 Orang yang banyak kesilapan (kesalahan) nya dalam menyalahi imam-imam
yang kenamaan/terpercaya dalam riwayat-riwayatnta.
 Orang yang banyak lupa
 Orang yang rusak akal diakhir umurnya
 Orang yang tidak baik hafalannya
 Orang yang menerima hadis dari sembarang orang saja.

Hukum mencela para perawi menurut Al-Ghazaly dalam Ihya Ulumuddin dan an-
Nawawy dalam Riyadh as-Shalihin dan ulama lain berpendapat mencela keadaan
seseorang baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan apabila
karena ada sesuatu kepentingan agama.

Ada 6 sebab yang meembolehkan mencela seseorang:

 Karena teraniaya.
 Meminta pertolongan untukmembasmikemungkaran.
 Untuk mencela fatwa
 Untuk menghindarkan diri dari kejahatan
 Orang yang dicacati adalah orang-orang yang terang-terangan berbuat bid „ah.
 Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya.

Adapun nama-nama perawi yang dikenal maupun yang tidak dikenal adalah
Imam Bukhari, Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam
Ahmad. Al-Khathib al-Baghdady dalam kitab al-Kifiyah mengatakan orang yang
majhul menurut ahli hadits ialah orang yang tidak dikenal mencari hadis dan tidak
pula dikenal oleh sebagian besar ulama dan hanya diterima dari seorang perawi saja,
seperti Amar Darinur, Jabbar at-Tha‟i, Abdullah ibn Awaj al-Hamdani dan Sais ibn
Haddan.

12
Adapun Sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadis yang terkenal
dengan sebutan bendaharawan hadis, yakni menerima hadis menghafal dan
mengembangkan atau meriwayatkan hadis lebih dari 1000 hadis adalah:

a. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5374, menurut Al-
Kirmany 5364.
b. Anas ibn umar, meriwayatkan 2630.
c. Anas ibn malik, meriwayatkan 2276.
d. Aisyah istri Rasul SAW meriwayatkan 2210.
e. Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan 1660.
f. Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540.
g. Abu sa‟id al-khudri meriwayatkan 1170.
h. Abdullah ibn Mas‟ud.
i. Abdullah ibn Amribn Ash.

Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya yang banyak karena:

1. Mereka paling awal masuk islam


2. Terus menerus mendampingi nabi saw
3. Menerima riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari nabi saw
4. Lama menyertai nabi saw dan mengetahui keadaan-keadaan nabi saw
5. Berusaha untuk mencatatnya

2. At-Tahamul wal Ada (Proses Transformasi Hadits) dan Shigat-Shigatnya


Tahammul wal ada adalah “mengambil atau menerima“ hadits dari salah
seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya
(meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. 23 Yang dimaksud dengan
“bentuk penyampaian” (sighatul-ada‟) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli
hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya
dengan kata : sami‟tu ( ‫“ ) َس ِو ْعج‬Aku telah mendengar”; haddatsani ( ‫“ ) َحذَّث َ ٌِي‬telah

23
Afif Djalil, Ulumul Hadits, Diktat STAIN “SMHB” Serang, Tahun 2000

13
bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya . Dalam menerima hadits tidak
disyaratkan seorang harus muslim dan baligh.24 Inilah pendapat yang benar. Namun
ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat
seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau
sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang
bathil). Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun
yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat
memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar,
itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama‟ atau
mendengar lafadh syaikh; al-qira‟ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-
munawalah, al-kitabah, al-I‟lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.25 Berikut ini masing-
masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masingnya sebagai
berikut:
a. Mendengar (Al Sama‟)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima‟ mencakup imlak (pendekatan)
dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits. Simak merupakan
shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di perbolehkan untuk
mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini kepada
kami).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru
membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis
apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulis. Menurut jumhur
ulama, as-sama‟ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah
mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah
mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia
mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh dengan bahsa arab
24
Abidin Zinal, Musthalah al-Hadits, Fa Setia Karya, Bandung, t.th.
25
Saefullah Yusuf dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits, (Bandung, Pustaka Bani
Quraisy,2001) halaman 191

14
yaitu : ‫ قبل نُب‬,‫ ركش نُب‬,ٌَ‫ اخجش‬,ٌُ‫ حذث‬,‫“ سًعذ‬sami‟tu, haddatsani, akhbarani,dzakara lana,
qala lana.”26
b. Membaca (Al Qira‟ah)
Yaitu seorang murid menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam
periwayatannya, bisa seorang murid sendiri yang membacakan haditsnya pada
seorang guru atau gurunya membacakan dan muridnya mendengarkan dengan baik.
Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan
hadits ini kepada fulan).
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan
syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau
orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari
hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau
memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka
(para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia
setingkat dengan as-sama‟, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih
rendah dari as-sama‟. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si
perawi menggunakan lafadh-lafadh : ٌ‫“ قشئذ عهٌ فال‬qaratu ala fulanin”atau
“qaraa ala fulanin wa ana asma‟,‫“ حذثُب‬haddasana” ‫“ اخجشَب‬akhbarana”27 aku
telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar
orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama‟ berikutnya adalah yang
terikat dengan lafadh qira‟ah seperti : ٌ‫“ حذثُُب قشءح عه‬haddatsana qira‟atan
„alaih” (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya).
Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh
akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
c. Ijazah (Al Ijazah)
Ijazah menurut bahasa yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang
lain. Sedangkan menurut istilah ahli hadits ijazah adalah pemberian izin oleh seorang
guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits

26
M.Ajaj al-Khatib, op.cit. hal. 234. Subhi Shaleh, op. Cit. Hal. 86. MM. Azmi, op.cit. hal. 40
27
Syuhudil Ismail , op. Cit. Hal. 59-60

15
tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan
cara tertulis. ‫“حذثُب اجبسرُي‬haddatsana ijaratana”. 28 “aku berikan ijazah (lisensi)
padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al
Bukhari”
Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya :
Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan hadits dariku demikian. Di antara
macam-macam ijazah adalah :
Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang
tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih
Bukhari”.
Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dan juga
tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku
ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul.
Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin
Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang
mempunyai nama seperti itu.
Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi
mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia
berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Bentuk pertama dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut
jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat
yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara
para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam
menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ٌ‫ اجبص نفال‬ajaza li
fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), ‫ حذثُب اجبصح‬haddatsana
ijaazatan,‫ اخجشَب اجبصح‬akhbarana ijaazatan, dan ‫ اَجئُب اجبصح‬anba-ana ijaazatan (beliau
telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).

28
Ibid

16
d. Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah terbagi dua
: “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak
disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”. 29
Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling
tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika
seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu
mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka
riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan
bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka
diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya
lebih rendah daripada as-sama‟ dan al-qira‟ah.
Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan :
“Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan
berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam
menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan
munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii,
atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana
munawalatan.
e. Menulis (Al Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits
kepada orang di tempat lain. Kata – kata yang di pakai “seseorang telah bercerita
kepadaku dengan surat menyurat”. Kitabah ada 2 macam :
Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena
kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.

29
MM. Azmi, Ioc. Cit.

17
Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis
sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya,
tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat
perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika
diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
f. Pemberitahuan (I‟lam)
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini
adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan
daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara
al-I‟lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, perawi berkata : A‟lamanii syaikhi
(guruku telah memberitahu kepadaku).
g. Wasiat (Al Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkan kepada
orang lain. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang memberi wasiat. Demikian
pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku
dengan sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu sifulan”
Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat seseorang yang diterima
dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama. Ketika menyampaikan
riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : ‫( اوصب انٌ فالٌ ثكزبة‬Aushaa ilaya
fulaanun bi kitaabin) (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau
haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat).
h. Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini
biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits orang

18
lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan
kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”. 30
Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun
ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi‟, karena si perawi tidak
menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau
kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, perawi berkata, ٌ‫“وجذد ثخط فال‬Wajadtu
bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara‟tu bi
khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian
menyebutkan sanad dan matannya.

Dari delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas,
yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama, Al-
Qira‟ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif. Selebihnya
diperselisihkan. Perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi
disebabkan karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits.

30
Ibid, halaman 82-83

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits merupakan sumber islam yang kedua setelah al- Qur‟an. Didalam
memiliki struktur tertentu, yaitu sanad matan, rawi dan mukharij. Menurut ulama
hadits, definisi sanad ialah :

" ‫ اً سهسهّ انشواح انزٍٍ َقهواا انًزٍ يٍ يصذسِ االول‬,ٍ‫”ْو طشىق انًز‬

Sanad adalah jalannya matan , yaitu silsilah para perawi yang memindahkan
(meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:32).
Sedangkan pengertian matan dapat didefinisikan debagai berikut:

‫انفظ انحذٍث انزي رزقوو ْب يعبََخ‬

“Lafal-lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu.”

(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:31). Adapun pengertian rawi adalah:

‫انشاوً يٍ رهقٌ اانحذٍث وادِ ثصَغخ يٍ صَغ االءداء‬

“Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu
bahasa penyampayanya .”

Sedangkan untuk mukharij dapat diartikan:

‫انًخشج ْو انزً ٍشزغم ثجًع انحذٍث‬

“mukharrij atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits “

Didalam meriwayatkan hadits, terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki


oleh seorang perawi, yaitu:

20
a. „Adl dan Jarh
b. Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
c. Sanadnya harus muttasil (bersambung)
d. Kuat hafalannya
e. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak
diterima.
Adapun transformasi hadits dari seorang guru kepada muridnya ada 8 metode,
yaitu:
 Mendengar (Al Sama‟)
 Membaca (Al Qira‟ah)
 Ijazah (Al Ijazah)
 Memberi (Munawalah)
 Menulis (Al Kitabah)
 Pemberitahuan (I‟lam)
 Wasiat (Al Wasiyah)
 Penentuan (Al – Wijadah)

B. Saran
Tim penulis menyadari akan kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan
makalah ini. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna. 2004. Mabhatsu Fi Ulumil Hadits. Maktabah Wahbah: Saudi


Arabia.

Anwar Bc, Moh. 1981. Ilmu Mustalah Hadits. Al-Ikhlas: Surabaya.

As-Shalih, Subhi. 1997. Ulumul Hadits wa Musthalahu. Dar al-Ilmi lil-Malayani:


Beirut.

As-Shiddieqy, Hasbi, Muhammad. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.


Pustaka Rizki Putra: Semarang.

Nuruddin. 1995. Ulumul Hadits. Rosda Karya: Bandung.

Rahman, Fathur.1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT. Al-Ma‟arif: Bandung.

Saefullah, Yusuf dkk.2004. Pengantar Ilmu Hadits. Pustaka Bani Quraisy: Bandung.

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Ghalia Indonesia.: Bogor.

Sholeh Al-Utsaimi, Muhammad. 2002. Ilmu Musthalah Hadits. Dar Al-Atsar: Mesir.

Smeer, Zeid. 2008.Ulumul Hadits dan Pengantar Studi Hadits. Praktis: UIN Press.
Malang.

http://abuzaidalbadri.wordpress.com/2012/05/02/metode-transformasi-hadits/ html.

http://udink.wordpress.com/tahamul-ada-hadis/. html
http://runa0344.blogspot.com/2011/01/syarat-syarat-seorang-perawi-dan-proses.html

http://khairuddinhsb.blogspot.com/2008/06/syarat-perowi-dan-proses-
transformasi.html.

22

Anda mungkin juga menyukai