Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Mayoritas umat Islam sepakat bahwa sumber pokok ajaran Islam adalah al-
Qur’an dan hadis. Sebagai sumber pokok, keduanya merupakan entitas yang tidak bisa
disangsikan keberadaannya ketika seseorang hendak mengungkap hakikatIslam yang
sebenarnya. Meski demikian, sejauh ini perkembangan pemikiran dan kajian terhadap
hadis tidak sesemarak sebagaimana pemikiran terhadap al-Qur’an.1 Ini terlihat adanya
beribu-ribu kitab tafsir dengan berbagai coraknya, sejak abad pertama Hijriyyah untuk
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang secara kuantitas kurang dari 7.000 ayat. Para
pakar di bidang hadis pun tak sebanyak pakar di bidang al-Qur’an.2
Dalam bidang hadis, perkembangan pemikiran yang ada tidak sejalan dengan
jumlah hadis Nabi sendiri yang jumlahnya berlipat ratusan kali lebih banyak dari jumlah
ayat al-Qur‘an. Kondisi tersebut sangat bisa dimaklumi, karena hadis sebagai sumber
kedua ajaran Islam, dalam banyak aspeknya berbeda dengan al-Qur’an, diantaranya :
1. Sejarah mencatat, terkodifikasinya hadis memiliki rentang sekitar dua abad dari
masa hidup Nabi. Rentang waktu yang cukup panjang tersebut telah melahirkan
perdebatan mengenai orisinalitas hadis yang berimbas pada ketidakseragaman
kualitas teks hadis (shahîh,hasan dan dhaîf, bahkan maudhû’)serta adanya
keragaman kuantitas (mutawâtir dan ahâd) dan keragaman jalur sanad (rangkaian
periwayat yang mentransmisikan hadis dari Nabi sampai pengarang kitab hadis).
2. Redaksi hadis bisa diriwayatkan sama persis (bi al-lafdzî) atau berbeda redaksi (bi
al-ma’nâ). Ini menunjukkan, sejak awal interpretasi para perawi hadis masuk dalam
redaksi hadis.
3. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kebanyakan ulama mendahulukan sikap
reserve untuk menelaah ulang dan mengembangkan pemikiran dan pemahaman
terhadap sunnah secara bebas, karena khawatir dianggap Inkâr al-Sunnah.3

1
M. Amin Abdullah, “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah”, dalam, Yunahar Ilyas dan M.
Masudi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis (Yogyakarta: LPPI, 1996), 201
2
Suryadi, Rekonstruksi Kritik Sanad Dan Matan Dalam Studi Hadis, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta
3
M. Amin Abdullah, op. Cit. 201
Selama ini, tidak bisa dipungkiri bahwa secara umum kajian pada hadis berkutat
pada dua persoalan, yaitu kritik sanad (naqd al-sanad/al-naqd al-khârijî/ kritik
eksternal)dan kritik matan (naqd al-matn/alnaqd al-dâkhilî/kritik internal). Keduanya
adalah cara yang dipergunakan untuk memilih dan memilah mana hadis yang dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya sampai Nabi dan mana yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar diragukan dari sekian banyak hadis yang
bertebaran dalam berbagai kitab hadis. Terkait dengan hal ini, telah banyak ulama hadis
klasik dan modern yang terlibat aktif dalam diskusi seputar kritik sanad dan matan.
Dengan demikian, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran,
perbaikan, perumusan kembali, nasikh dan mansukh, serta penyempurnaan rancang
bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan
mandeg dengan sendirinya atau bersifat statis. Islamic Studies dalam artian kegiatan
keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk dapat diubah,
dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan dengan semangat
zaman yang mengitarinya.4
Karena itulah, hendaknya terus dilakukan upaya untuk mengembangkan atau
merumuskan kaidah dan metode untuk studi kritik terhadap sanad dan matan hadis.
Selain itu hal apa saja yang perlu di kritik tentang sanad dan matan hadis. Dalam hal ini,
penulis mencoba menulis Pokok-pokok kritik sanad dan Matan hadis. Sebagai tugas
yang diberikan dosen mata kuliah studi qur’an hadis. Mudah-mudahan menambah
pengetahuan tentang hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam.

4
Suryadi, op. cit
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kritik Sanad
Secara etimologis, sanad mempunyai arti “bagian bumi yang menonjol” dan
“sesuatu yang berada dihadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda
memandangya.” Bentuk plural (jama’) dari kata ini adalah asnâd. Sementara itu,
segala sesuatu yang anda sandarkan pada orang lain disebut musnad. Pemakaian
kata sanad dapat dilihat dalam redaksi “asnad fî al-jabal”, yang artinya “seseorang
mendaki gunung” dan “fulân sanad”, yang mempunyai arti “seseorang menjadi
tumpuan.5
Sementara dari tinjauan terminologis, sanad adalah “jalur matan”, yaitu
rangkaian para periwayat yang memindahkan matan dari sumber primernya. Jalur
tersebut disebut sanad adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam
menisbatkan matan kepada sumbernya, dan adakalanya juga karena para hâfidz
bertumpu pada “periwayat” (orang yang menyebutkan sanad) dalam mengetahui
kualitas suatu hadis.6

Sanad, menurut ‘Ajjāj al-Khaṭīb adalah:

Artinya : “Jalan matan hadis, yaitu silsilah para perawi yang menukilkan matan
Hadis dari sumbernya yang pertama.”
Dari definisi ini ditemukan substansi Sanad adalah rangkaian yang menyampaikan
seseorang kepada matan hadis.7 Rangkaian itu adalah orang-orang yang saling
menghubungkan dan menyandarkan informasi yang dibawanya atau
5
Suryadi, ibid.
6
Suryadi, ibid
7
Cut fauziah, i’tibar sanad dalam hadis al bukhori, jurnal hadis no. 1, 2018, 126
disampaikannya (matan) kepada yang lainnya, sehingga hal itu membentuk mata
rantai. Disebabkan ia berkedudukan sebagai mata rantai, maka sanad tidak diterima
jika terputus. Adapun kata musnad mengandung beberapa makna yang relative lebih
luas cakupannya, yakni:
1. Musnad adalah hadis yang bersambung sanadnya dari pertama hingga terakhir
dan disandarkan kepada Rasullah.
2. Musnad dipahami sebagai sebutan sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan
nama sahabat.
3. Musnad juga sering disamakan maknanya dengan isnad, yang berarti dianggap
bersighot mashdar.
Kritik terhadap sanad dalam kajian hadis ditujukan untuk mengetahui sisi
otentisitas sebuah hadis. Apakah suatu hadis memang benar-benar bersumber dari
Nabi ataukah diragukan bersumber dari Nabi atau bahkan perkataan palsu yang
diatributkan pada Nabi saja. Dari aspek sanad tersebut, seseorang dapat pertama kali
mengklaim sisi otentisitas hadis yang ditelitinya. Secara lebih spesifik dapat
dikatakan bahwa otentisitas sanad merupakan suatu kemutlakan dalam memahami
hadis lebih jauh. Pandangan seperti inilah yang dipegangi oleh mayoritas ulama
hadis.8
Kritik sanad lazimnya dilekatkan pada lima kriteria, yaitu
(1) ‘âdil (integritas periwayat);
Seluruh periwayat dalam sanadnya adalah periwayat yang memiliki kredibilitas
ketaqwaan dengan indikasi sebagai seorang muslim yang melaksanakan
ketentuan agama dan menjauhi larangannya serta dapat menjaga muru’ah. Untuk
mengetahui ke-‘âdil-an periwayat adalah dengan melihat kesaksian ulama
semasa atau penilaian dari para kritikus mengenai periwayat yang bersangkutan.
(2) dhâbith(intelektual periwayat)
Setiap periwayat dalam sanad itu (termasuk periwayat dari kalangan sahabat)
memiliki kredibilitas intelektual, kuat ingatan dan pemahaman, sehingga mampu
menerima periwayatan yang disampaikan kepadanya, memahami, dan
menghafalnya serta mampu menyampaikan kepada orang lain sebagaimana yang
diterimanya.

8
Suryadi, op.cit.
(3) muttashil(sanadnya bersambung)
setiap periwayat dalam sanad itu menerima langsung dari periwayat lain yang
menyampaikannya. Al-Khathîb al-Baghdadî menyebut dengan musnad, yakni
bukan sekedar muttashil tetapi juga marfû (disandarkan kepada Nabi).
(4) ghair syâdz (tidak ada kejanggalan)
hadis tersebut tidak mengandung syudzûdz, kejanggalan. Yakni diriwayatkan
oleh periwayat yang tsiqah, dan tidak diriwayatkan oleh periwayat lain yang
tsiqah ataupun diriwayatkan oleh periwayatan yang tsiqah yang menyelisihi atau
bertentangan dengan periwayatan beberapa periwayat lain yang juga tsiqah.
(5) ghair ‘illah (tidak ada cacat).
Tidak adanya cacat yang tersembunyi, yang menjadikan teks hadis yang secara
lahiriah berkualitas shahîh ternyata tidak berkualitas shahîh. Untuk mengetahui
cacat yang tersembunyi adalah dengan cara pengetahuan dan pemahaman yang
luas terhadap hadis, yakni dengan mengkomparasikan hadis-hadis yang setema.

Kritik Sanad Hadis :

ُ‫ َو هللا‬:‫ا َل‬PPَ‫ْح َأ َّن النَّبِ ُّي ص م ق‬ ِ ‫ َح َّدثَنا ابن أبَ ْي ِذْئ‬: ‫ي‬
ِ ‫ َري‬P‫ ِع ْي ِد ع َْن اَبِي ُش‬P‫ب ع َْن َس‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ع‬
ُ ‫َاص ُم بْنُ َعلِى‬
َ P‫ْأ َمنُ َج‬P َ‫َالَّ ِذيْ الَ ي‬: ‫ قِي َْل َو َم ْن يَا َرسُوْ ُل هلل؟ قا َ َل‬, ُ‫ َو هللاُ الَ يُْؤ ِمن‬, ُ‫ َو هللاُ الَ يُْؤ ِمن‬, ُ‫الَ يُْؤ ِمن‬
ُ‫ه‬P َ‫ارهُ بَ َواِئق‬P
)‫(رواه البخارى‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Asim bin Ali: yang bersumber dari ibnu abi dzi’bin
dari sa’id dari abi syuraih bahwa rasulullah bersabda: demi allah tidak beriman, demi
allah tidak beriman, demi allah tidak beriman, mereka bertanya? Apa itu wahai
rasulullah, rasul menjawab: seseorang yang tidak pernah aman dari gangguannya.
(H.R Bukhari)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa hubungan bertetangga di masyarakat,
apalagi di kota-kota besar sekarang ini. Banyak orang bersikap individualis.
Seseorang tidak mau peduli dengan tetangga di sebelahnya. Jangankan
menyampaikan kebaikan, justru kejelekan yang “dipersembahkan” untuk tetangga,
dengan berkata buruk kepada tetangga, mengganggu istirahatnya dengan suara
berisik, menyempitkan jalannya, dan perbuatan lain yang membuat tetangga tidak
nyaman dan merasa terganggu.
Skema Sanad Hadits

Rasulullah

Abu Syuraih

Sa’id Al-Ma’buri

Dzi’bin

Asim bin Ali

ُ‫وْ ُل هلل‬P ‫َأ َّن َر ٌس‬:‫ْح ال َك ْعبِ ِّي‬


ِ ‫ع َْن َأبِ ْي ُش َري‬,‫ َع ِن ْال َم ْقب ُِري‬,‫ب‬ ٍ ‫َأ ْخبَ َرنَا اِبْنُ َأبِ ْي ِذْئ‬:‫َح َّدثَنَا يَ ِز ْي ُد ْب ِن هَارُوْ نَ قَا َل‬
‫ا ُر اَل‬PP‫ "اَ ْل َج‬:‫ال‬P
َ Pَ‫وْ ُل هلل؟ ق‬P‫ا َر ُس‬PPَ‫ك ي‬ Pَ ‫ َو َما َذا‬:‫ قَالُوْ ا‬," ُ‫ َوهللاُ الَيُْؤ ِمن‬, ُ‫ َوهللاُ الَيُْؤ ِمن‬, ُ‫ الَيُْؤ ِمن‬Pُ‫" َوهللا‬:‫ال‬
َ َ‫ص م ق‬
َ َ‫يَا َرسُوْ ُل هلل َو َما بَوَِئقَهٌ؟ ق‬:‫يَْأ َمنُ َجا َرهُ بَوَِئقَهُ " قَالُوْ ا‬
َ ":‫ال‬
)‫ش َّرهُ" (رواه احمد‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata, telah mengabarkan
kepada kami Ibnu Abu Dzi’b dari Maqburi dari Abu Syuraih Alka’bi bahwa
Rasulallah Saw bersabda: “demi allah tidak beriman, demi allah tidak beriman, demi
allah tidak beriman”. Para sahabat bertanya, apa itu wahai rasulallah? Beliau
menjawab: “seseorang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari
gangguannya?” mereka bertanya lagi, “apa yang dimaksud dengan gangguannya?
Beliau menjawab: “keburukannya”. (H.R Ahmad)

BIOGRAFI SANAD 
1. ABU SYURAIH AL KHUZAE AL KA’ABI

Nama : Abu Syuraih al Khuzae al Ka’bi


Generasi : Pertama (sahabat )
Lahir : di Madinah
Wafat : di Madinah 68 H
Guru-gurunya :
1. Nabi Muhammad Saw,dan
2. Abdullah bin Mas’ud
Murid-Muridnya :
1. Sa’id al- Maqburi
2. Sofyan ibnu Abi ‘Auja
3. Nafi’ bin Mut’am
4. Abu Sa’id al-Maqburi
Sahabat Sebayanya :
Khuwaylid bin Maqburi.
Menurut Ulama :
Telah disimpulkan Ibnu Hajar bahwa Abu Syuraih adalah sahabat yang hidup pada
masa Nabi, beriman kepada Nabi, bertemu kepada Nabi, dan wafat dalam keadaan
muslim.
Kesimpulan :
Setelah disimpulkan Abu Syuraih, riwayat yang disampaikan Abu Syuraih dari
Rasulullah SAW adalah dapat diterima.

2. SA’ID 
Nama : Sa’id bin Abi Sa’id Kaisan al Maqburi, Abu Sa’id al Madani
Genersai : ketiga (pertengahan dari tabi’in)
Wafat : 120 H
Guru-gurunya :
1. Anas bin Malik
2. jabir bin Abdullah,
3. Jabir bin Mu’tam,
4. Salim Maula Nairin,
5. Sa’id bin Abi Waqqos,
6. Abi al Hubab Sa’id bin Yasir,
7. Syariq bin Abdullah bin Abi Namr,
8. ‘Amir bin Abdullah bin Jabir,
9. I’bad bin Abi Sa’id al Maqburi,
10. Abdullah bin Ropa’ Maula Ummu Salamah,
11. Abdullah bin Umar bin Khattab,
12. Abdullah bin Abi Qotada,
13. Abdullah bin Bujaid
14. Abdurrohman bin Abi Sa’id al Khudri
15. Abdurrohman bin Mahron al Madani
16. ‘Abid bin Jariz
17. ‘Urwah bin Jabir
18. ‘Ubaid Nasutho
19. ‘Atho’ bin Mina’
20. ‘Atho’ Maula ibnu Abi Ahmad
21. ‘Atho’ Maula Ummu Sobiyah
22. Umar bin Abi Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hasyim
23. Umar ibnu Hakim bin Suban
24. Umar bin Salim Jurkim
25. ‘Uwan bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
26. ‘Iyat bin Abdullah bin Sa’id bin Abu SyarihKa’ab bin ‘Ijrah
27. Muawiyyah bin Abi Sofyan
28. Yazin bin Harun
29. Abi Ishak al-Quraisy
30. Abi Sa’id al-Qudri
31. Abi sa’id al-Maqburi
32. Abi Sa’id Maula al-Mahri
33. Abi Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf
34. Abu Syarih al-Khoja’i
35. Abi Marwah Maula Ummu Haniah
36. Abu Hurairah
37. Aisyah
38. Ummusalamah
Nama Muridnya :
1. Ibrahim bin Thuhban
2. Abu Ishak Ibrahim bin al-Padhli al-Makhjumi
3. Asamah bin Jaid al-Laisyi
4. Ishak bin Abi al-Parroq
5. Ismail bin Aniyah
6. Ismail bin Rafa’
7. Ayub bin Musa
8. Ayub Abu al-‘Ula al-Qosaf
9. Al-Haris bin Abdurrahman bin Jabbab Addausi
10. Hamid bin Syokhor al-Madani
11. Khalifah bin Khalid al-Laisi
12. Daud bin Khalid al-Laisi
13. Daud bin Qoisy al-Faroi
14. Jaid bin Abi Anisah
15. Abu Hajam Salamah bin Dinar al-Madani
16. Syu’bah bin Hijaj
17. Adduhak bin Usman al-Hajami
18. Tholhah bin Abi Sa’id
19. Abdullah bin Sa’id al-Maqburi
20. Abdullah bin Abdul Aziz al-Laisy
21. Abdullah bin Umar al-Amri
22. Abdullah bin Yunus
23. Abdul Hamid bin Ja’far al-Anshori
24. Abdurahman bin Ishaq al-Madani
25. Abdurrahman bin Abi Umar
26. Abdurrahman bin Yazid bin Jabir
27. Abdurrahman al-Saroji
28. ‘Ubaid bin Umar
29. Usman bin Muhammad al-Akhnas
30. ‘Asim bin Nasts al-Madani
31. Ali bin Urwah Addamsyik
32. Umar bin Syu’aib’
33. Umar ibn Abi Umar Maula al-Mathlubi
34. Imran bin Musa al-Quraisy
35. Laisi bin Sa’id
36. Malik bin Anas
37. Muhammad bin Ishaq bin Yasir
38. Muhammmad bin Abi Ji’bin
39. Muhammad bin Abdurrahman bin Maharan
40. Muhammad bin Ajlan
41. Muhammad bin Musa al-Fatir
42. Muhammad bin al-Walid bin Jabid
43. Muslim bin Abi Maryam
44. Mu’an bin Muhammad al-Khifar
45. Najih Abu Ma’sur al-Madani
46. Hisyam bin Sa’id
47. Al-Walid bin Kasir
48. Yahya bin Harib
49. Yahya bin Sa’id al-Anshari
50. Yahya Abi Sulaiman al-Madani
51. Yahya bin ‘Amir al-Bajaj al-Madani
52. Ya’kub bin Jaid bin Thalhah Attaimi
53. Abu Uwais al-Asbah
Pendapat Ulama:
Telah disimpulkan Ibnu Hajar, bahwa Sa’id bin Abi Sa’id shiqah.
Kesimpulan:
Setelah diteliti riwayat yang disampaikan dari Sa’id bin Sa’id dari Abi Syuraih
adalah dapat diterima.

3. ABI DZI’BIN
Nama : Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Mughirah bin al Harits bin Abi Dzi’bin
Lahir : 80 H
Generasi : ketujuh )tabi’ tabi’in besar)
Wafat : 158 H dan di katakan juga 159 H di Kuffah
Kuniyah : Abu Al Harits
Negeri semasa hidup : Madinah
Guru-gurunya :
1. Ishak bin Yazid Al-Hazuli
2. Aswad bin Alai’ bin Jariyah bin As-Saqafih
3. Husaid bin Abi Husaid Al-Baradi
4. Zabir bin Abi Shaleh (Saudaranya)
5. Haris bin Abdurrahman Al-Kurafiy (Pamannya)
6. Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib
7. Hakim bin Muslim bin Hakim As-Salamiy
8. Az-Zabarqoni bin Amr bin Umayyah Addomi
9. Said bin Khalid Al-Quraidji
10. Said bin Abi Said Al-Maqburi
11. Said bin Sam’an
12. Sulaiman bin Abdurrahman bin Sauban
13. Sarhabil bin Sa’ad Mauli Al-Anshar
14. Subbah Maulid ibn Abbas
15. Shalih bin Hasan
16. Shalih bin Abi Hasan
17. Shalih bin Kasir
18. Shalih bin Nubham
19. Abi Juhaidi Abdullah bin Jikwan
20. Abdullah bin Sa’ab bin Yazid
21. Abdurrahman bin ‘Atua Madani
22. Abdurrahman Maghirah bin Abi Jaib
23. Abdulrahman bin Mihran
24. Abdul Aziz bin Abdullah Amri
25. Abdul Aziz bin Iyas
26. ‘Abid bin Salman Al-Akhar
27. Usman bin Abdullah bin Suraqah
28. Usman bin Muhammad Al-Akhnasi
29. Ukbah bin Abdurrahman bin Abi Mu’ammar
30. Ikrimah Mauli Ibn Abbas
31. Umar bin Abi Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hasyim
32. Ghasim bin Ibnu Abbas
33. Muhammad bin Amar bin Atho’i
34. Muhammad bin Munkadir
35. Muslim bin Jundub Al-Najuli
36. Mughirah bin Abdurrahman bin Abi Jakbin
37. Muhajir bin Musammar
38. Mafi’ bin Abi Nafi’ Al bajjar
39. Nafi’ Maula ibn Umar
40. Yazin bin Khusyaifah
41. Abi Al-Muktamar bin ‘Amr bin Rafibin
42. Abi Al-Walid Mauli ‘Amr bin Khadasya
Murid-muridnya :
1. Ahmad bin Abdullah bin Yunus
2. Adam bin Iyas
3. Ishaq bin Muhammad bin Alfarwi
4. Asid bin Musa
5. Hijaj bin Muhammad Al-A’wa
6. Husin bin Muhammad Al-Maruji
7. Hamid bin Khalid Khayat
8. Hamid bin Masidah
9. Said bin Ibrahim bin Said
10. Sofyan As-Sawri
11. Syababah bin Siwar
12. Saib bin Ishak Ad-Damasaqi
13. Ashim bin Ali bin Asim Wasitha
14. Abdullah bin Rozak al-Maki
15. Abdullah bin Mubarik
16. Abdullah bin Nafi’ Assaigh
17. Abdullah bin Namir
18. Abdullah bin Wahab
19. Abdrrahman bin Abi Arrijal
20. Usman bin Abdirrahman Al-Harani Attosoifi
21. Usman bin Usman al-Ghotofani
22. Usaman bin Umar bin Fars
23. Ali bin Jugli
Menurut Ulama :
Telah disimpulkan Ibnu Hajar bahwa Abi Dzi’bin termasuk Shiqah Fiqih dan Fadhil.
Kesimpulan :
Setelah diteliti Abi Dzi’bin riwayat yang disampaikan Abi Dzi’bin dari Sa’id adalah
dapat diterima.

4. ‘ASIM BIN ALI


Nama : ‘Asim bin Ali bin ‘Asim bin Sahib al-Wasti
Generasi : 9 (Sembilan) dari Tabiin-Tabiin Kecil
Wafat : 221 H
Guru-gurunya :
1. Hasan bin Ali bin Hasim
2. Jahir bin Muawiyah
3. Syarik bin Abdillah
4. Syu’bah bin Hajaj
5. Abi al-Husyo Salam bin Salim
6. Asim bin Muhammad bin Jaid al-Umar
7. Abi Uwais Abdullah bin Abdullah al-Madani
8. Abdurrahman bin Abdullah al-Mas’udi
9. Abdul Aziz bin Muhammad bin Abi Salmah al-Mazsun
10. ‘Ikromah bin Umar al-Yamamu
11. Ali bin Asim
12. Al-qosyim bin al-Fadhli al-Hadani
13. Umaroh bin Zajjan Asshoidalani
14. Qozi’ah bin Sua’id al-Bahiliy
15. Qoisy bin al-Robi’
16. Al-laisy bin sa’ad
17. Mubarok bin Fadholah
18. Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Dzi’bin
19. Muhammad bin al-Farot Attamimi
20. Mahdi bin Maimun
21. Abi Mu’syar Najih bin Abdurrahman as-Sanadi
22. Yazid bin Ibrahim Attastari
Murid-muridnya :
1. Bukhori
2. Ibrahim bin Ishaq al-Harobi
3. Ahmad bin Ishaq bin Shalih al-Wajan
4. Ahmad bin Hambal
5. Abu Ja’far bin Ali bin Fudhail al-Khoroja al-Maqro al-Hadada al-Maqro
6. Ja’far bin Muhammad bin Syakor Assoikh
7. Harits bin Muhammad bin Abi Asamah
8. Hasan bin A’lawiyah al-Qothan
9. Hasan bin Muhammad bin Asbah Ajja’faroni
10. Hambal bin Ishaq bin Hanbal
11. Sulaiman bin Taubah Annahruwani
12. Abdullah bin Ahmad bin Ibrahim Addawarqi
13. Abdullah bin Abdurrahman Addarmi
14. Ubaidillah bin Umar al-Qowariri
15. Ali bin Abdul Aziz al-Baghwi
16. Umar bin Hafis Assadusi
17. Amru bin Ali al-Falasi
18. Muhammad bin Ahmad bin Nahir al-Azdi
19. Abu Hatim Muhammad bin Idris Arrozi
20. Muhammad bin Ja’far A’yin al-Baghdadi
21. Muhammad bin Harbi al-Masai
22. Muhammad bin Husain bin Abi Hanin al-Haniyan
23. Muhammad bin Suwaid Attohan
24. Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin Sulaiman al-Maruzi
25. Muhammad bin Yahya Azjahli
26. Muhammad bin Yunus al-Kadimi
Menurut Ulama :
Telah disimpulkan Ibnu Hajar bahwa ‘Asim bin Ali adalah Shoduq. Menurut Zahbi
bahwa ‘Asim bin Ali adalah Shiqoh.
Kesimpulan :
Setelah diteliti ‘Asim bin Ali riwayat yang disampaikan ‘Asim dari Abi Dzi’bin
dapat diterima.

5. YAZID BIN HARUN


Nama : Yazid bin Harun bin Zaza dan dikatakan Ibnu Zazan bin Tsabit
Lahir : 117 H ada yang mengatakan 118 H
Thabaqoh : 9 dari Tabi’-Tabi’in Kecil
Wafat : 206 H
Guru-gurunya :
1. Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Dzi’bin
2. Abi Khosam Muhammad bin Makhtrub
3. Muhammad bin Abdullah Sa’sa
4. Dll
Murid-Muridnya :
1. Ahmad bin Ibrahim Dauraqi
2. Ahamad bin Hammbal
3. Ahmad bin Khalid al-Khillal
4. Dll
Menurut Ulama :
Telah disimpulkan Ibnu Hajar bahwa si Yazid adalah Shiqoh Muttaqin ‘abid.
Kesimpulan :
Setelah diteliti Yazid bin Harun, riwayat yang disampaikan Yazid bin Harun dari Abi
Dzi’bin adalah dapat diterima.
B. Kritik matan hadits
Secara etimologis, matan mempunyai arti segala sesuatu yang keras bagian
atasnya. Bentuk plural dari kata ini bisa berbentuk “mutûn” atau juga “mitân”.
Matan dari segala sesuatu adalah bagian permukaan yang tampak darinya, juga
bagian bumi yang tampak menonjol dan keras. Terkait dengan kata matan, terdapat
sebuah kalimat “mattana al Qawsatamtînan”, yang artinya “seseorang mengikat
anak panah dengan tali.”9
Secara terminologis, matan adalah redaksi hadis yang menjadi unsur
pendukung pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali didasarkan pada alasan
bahwa bagian tersebut merupakan bagian yang tampak dan menjadi sasaran utama
hadis. Oleh sebab itu, penamaan “matan” untuk merepresentasikan redaksi hadis
sebenarnya berasal dari pengertian etimologisnya.10
Terkait dengan kondisi suatu matan hadis, para ulama klasik berpendapat
bahwa suatu sanad yang shahih, pasti matannya shahih juga, sehingga tidak perlu
lagi dilakukan pemahaman atau pemahaman ulang. Bagi mereka, sanad yang shahih,
maka matannya tinggal diamalkan saja. Keyakinan tersebut berlainan dengan ulama-
ulama modern, yang menyatakan bahwa sanad yang shahih belum tentu matannya
shahih. Implikasi dari hal ini, penelitian hadis tidak boleh terhenti pada aspek sanad
saja, tetapi juga harus mengkaji matan secara kritis.11
Kajian matan sendiri selalu merujuk kepada dua kaedah, yaitu: Tidak janggal
(ghair syadz) dan tidak cacat (lâ ‘illah). Kedua kaedah ini kemudian dikembangkan
menjadi berbagai kaidah. Kaidah-kaidah itu biasanya mencakup: 1) Tidak
bertentangan dengan al-Qur’an; 2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih
kuat; 3) Tidak bertentangan dengan fakta sejarah; dan 4) Tidak bertentangan dengan
kebenaran ilmiah.12
Muhammad Thâhir al-Jawâbî menuturkan bahwa kritik matan hadis
mempunyai dua cakupan, yaitu (1) Kritik dalam upaya menentukan benar tidaknya
matan hadis tersebut, (2) Kritik matan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang
9
Suryadi, Op.cit
10
Suryadi, ibid.
11
Suryadi, ibid
12
Suryadi, ibid
benar mengenai kandungan yang terdapat dalam sebuah matan hadis. Kedua unsur
tersebut, yaitu kritik matan dan pemahaman hadis, sangat sulit untuk dipisahkan
dalam studi matan hadis, mengingat untuk mengungkap otentisitas matan hadis,
harus mengungkap kandungan dari matan suatu hadis. Demikian pula sebaliknya,
dalam mengungkap kandungan hadis, sebenarnya juga ingin mengetahui otentisitas
matan hadis tersebut. Dengan demikian, pemahaman hadis pada dasarnya
merupakan bagian dari kritik matan, dan kritik matan merupakan bagian dari kritik
hadis.13
Matan hadits bermuatan konsep ajaran islam mengambil bentuk, antara lain:
1. Sabda penuturan Nabi (hadits qauliy), termasuk pernyataan yang mengulas
kejadian atau peristiwa sebelum periode nubuwwah, penghikayatan tokoh
Rasul/Nabi maupun norma syari’at yang diberlakukan
2. Surat-surat yang dibuat atas perintah Nabi dan selanjutnya dikirim kepada
petugas di daerah atau kepada pihak-pihak di luar islam, termasuk juga fakta
perjanjian yang melibatkan Nabi
3. Firman Allah SWT selain Alqur’an yang disampaikan kepada umat dengan
bahasa tutur Nabi (hadits qudsi) 
4. Pemberitaan yang terkait erat dengan Alqur’an, seperti interpretasi Nabi
terhadap ayat-ayat tertentu (tafsir nabawiy) dan asbab al nuzul;
5. Perbuatan atau tindakan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan kembali oleh
sahabat (hadits fi’liy atau hadits amaliy) 
6. Sifat dan ihwal pribadi Nabi (hadits khalqiy) 
7. Perilaku dan kebiasaan Nabi dalam tata kehidupan sehari-hari, serta pengalaman
dalam perjalanan kepemimpinan atau kemanusiaan Nabi (sirah nabawiyyah)
8. Sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang lain atau
kelompok sekalipun tidak terlaksanakan;
9. Kejadian atau kebijakan sahabat sepeninggal Nabi yang berpotensi sebagai
penjabaran ajaran Nabi atau terkait dengan eksistensi kesumberan ajaran islam
dan pelestarian sunah nabawiyah. Misalnya, suksesi (upacara) kepemimpinan
khulafa’ al rasyidin, proses pembukuan mushaf Alqur’an, proses kodifikasi
hadits, konflik sosial yang menimpa umat islam generasi pertama, dan lain-lain.

13
Suryadi, ibid
Langkah-langkah kritik matan terdiri atas:
1. Proses kebahasaan, termasuk kritik teks yang mencermati keaslian dan
kebenaran teks, format qauliy atau format fi’liy. Target analisis proses
kebahasaan matan hadits ini tertuju pada upaya penyelamatan hadits dari
pemalsuan dan jaminan kebenaran teks hingga ukuran sekecil-kecilnya. Temuan
hasil analisisnya bisa mengarah pada gejala maudh’, mudhtarib, mudraj, maqlub,
mushahhaf/muharraf, ziyadat al tsiqqah, tafarrud, mu’allal dan sebagainya.
2. Analisis terhadap isi kandungan makna (konsep doktrin) pada matan hadits.
Target kerja analisisnya berorientasi langsung pada aplikasi ajaran berstatus
layak diamalkan, harus dikesampingkan atau ditangguhkan pemanfaatannya
sebagai hujjah syar’iyyah. Hasil temuan analisisnya bisa menjurus pada gejala:
munkar, syadz, mukhtalif atau ta’arudh.
3. Penelusuran ulang nisbah pemberitaan matan hadits kepada narasumber. Target
analisisnya terkait potensi kehujjahan hadits dalam upaya merumuskan norma
syari’ah. Hasil temuan analisisnya menjurus pada data marfu’, mauquf, maqthu’.
Melihat dari matan hadits mengenai tetangga yang merasa tidak aman
terhadap gangguan tetanganya, maka matan hadits tersebut bersetatus shohih, karena
hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Sebagai mana diterangkan
dalam surah al-Ahzab ayat 58:
‫ت بِ َغي ِْر َما ا ْكتَ َسبُوْ ا فَقَ ِد احْ تَ َملُوْ ا بُ ْهتَانًا َّواِ ْث ًما ُّمبِ ْينًا‬
ِ ‫َوالَّ ِذ ْينَ يُْؤ ُذوْ نَ ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِم ٰن‬
Artinya:
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka itu telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata.
Dari keterangan hadits diatas bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan
hadits shohih yang lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan
imam Muslim bahwasanya Rasulullah bersabda: barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari kiamat maka hendaklah ia memuliakan jiran tetangganya.
Dilihat dari segi sanad, hadits tentang tidak aman nya seseorang terhadap
tetangganya, dapat dinilai shohih karena setiap sanad hadits itu memiliki penelitian
dari kritikus hadits. Dan saling bersambung satu sama lain. Melihat dari matan
hadits mengenai tetangga yang merasa tidak aman terhadap tetangganya, maka
matan hadits tersebut berstatus shohih, karena hadits tersebut tidak bertentangan
tentang Al-Qur’an.14

14
Siti Nurjannah Lubis, Makalah Kritik Sanad Hadis Dalam Kajian Ulumul Hadis,
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam bidang hadis, perkembangan pemikiran yang ada tidak sejalan dengan
jumlah hadis Nabi sendiri yang jumlahnya berlipat ratusan kali lebih banyak dari
jumlah ayat al-Qur‘an. Kondisi tersebut sangat bisa dimaklumi, karena hadis
sebagai sumber kedua ajaran Islam.
2. secara umum kajian pada hadis berkutat pada dua persoalan, yaitu kritik sanad
(naqd al-sanad/al-naqd al-khârijî/ kritik eksternal)dan kritik matan (naqd al-
matn/alnaqd al-dâkhilî/kritik internal). Keduanya adalah cara yang
dipergunakan untuk memilih dan memilah mana hadis yang dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya sampai Nabi dan mana yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar diragukan dari sekian banyak hadis
yang bertebaran dalam berbagai kitab hadis.
3. Sanad adalah rangkaian yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis.15
Rangkaian itu adalah orang-orang yang saling menghubungkan dan
menyandarkan informasi yang dibawanya atau disampaikannya (matan) kepada
yang lainnya, sehingga hal itu membentuk mata rantai.
4. Kritik terhadap sanad dalam kajian hadis ditujukan untuk mengetahui sisi
otentisitas sebuah hadis. Apakah suatu hadis memang benar-benar bersumber
dari Nabi ataukah diragukan bersumber dari Nabi atau bahkan perkataan palsu
yang diatributkan pada Nabi saja.
5. Kritik sanad lazimnya dilekatkan pada lima kriteria, yaitu : (1) ‘âdil (integritas
periwayat); (2) dhâbith(intelektual periwayat); (3) muttashil(sanadnya
bersambung); (4) ghair syâdz (tidak ada kejanggalan); (5) ghair ‘illah (tidak ada
cacat).
6. Matan adalah redaksi hadis yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.
7. Kajian matan sendiri selalu merujuk kepada dua kaedah, yaitu: Tidak janggal
(ghair syadz) dan tidak cacat (lâ ‘illah). Kedua kaedah ini kemudian
dikembangkan menjadi berbagai kaidah. Kaidah-kaidah itu biasanya mencakup:
1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an; 2) Tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat; 3) Tidak bertentangan dengan fakta sejarah; dan 4) Tidak
bertentangan dengan kebenaran ilmiah.
8. kritik matan hadis mempunyai dua cakupan, yaitu (1) Kritik dalam upaya
menentukan benar tidaknya matan hadis tersebut, (2) Kritik matan dalam rangka
15
Cut fauziah, i’tibar sanad dalam hadis al bukhori, jurnal hadis no. 1, 2018, 126
mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kandungan yang terdapat dalam
sebuah matan hadis.
9. Langkah-langkah kritik matan terdiri atas: (1) Proses kebahasaan, termasuk
kritik teks yang mencermati keaslian dan kebenaran teks, format qauliy atau
format fi’liy, (2) Analisis terhadap isi kandungan makna (konsep doktrin) pada
matan hadits. (3) Penelusuran ulang nisbah pemberitaan matan hadits kepada
narasumber.
Referensi

M. Amin Abdullah, “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn
Taimiyyah”, dalam, Yunahar Ilyas dan M. Masudi (ed.), Pengembangan Pemikiran
terhadap Hadis (Yogyakarta: LPPI, 1996)

Suryadi, Rekonstruksi Kritik Sanad Dan Matan Dalam Studi Hadis, Uin Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Cut fauziah, i’tibar sanad dalam hadis al bukhori, jurnal hadis no. 1, 2018

Siti Nurjannah Lubis, Makalah Kritik Sanad Hadis Dalam Kajian Ulumul Hadis,

Anda mungkin juga menyukai