Anda di halaman 1dari 11

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Hadits Nabi saw., merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an,
yang sekaligus berfungsi sebagai penjelas atas keglobalan hukum yang terdapat
di dalamnya. Bahkan dalam konteks tertentu ia merupakan pembentuk syariat
yang belum tercantum di dalam al-Qur‟an. Namun demikian, dalam
perjalanannya banyak problem yang dihadapi dalam mengukuhkan perannya
sebagai sumber utama dan pertama hukum Islam. Atas dasar itu, sangat penting
untuk diperhatikan bagaimana penyampaian dan penerimaan serta tersebarnya
hadits di kalangan umat Islam dalam konteks modern ini, apakah kemurnian atau
keshahihan hadits masih terjaga? Oleh karena rentang waktu antara Rasulullah
saw., yang notabene sebagai qa‟il dengan para muhaddits sudah berselang lama,
maka diperlukan rangkaian orang-orang yang membentuk mata rantai, sehingga
dapat menyampaiakan hadits yang diterima oleh penerima terakhirnya kepada
Rasulullah. Rangkaian inilah yang dalam ilmu hadits lazim disebut sanad.

Sementara itu, teori tentang otoritas Nabi sebagai sumber kedua setelah al-
Qur‟an telah menjadi keyakinan ulama dan umat Islam secara umum. Teori
tersebut menyatakan bahwa hadits sebagai penjelas/penafsir al-Qur‟an. Akan
tetapi, yang menjadi problem, selain bagaimana menjaga kemurnian atau
keshahihan hadits, bahwa teori-teori tentang otentisitas hadits masih menyisakan
banyak keraguan di kalangan peneliti hadits, terutama dari kalangan orientalis
lebih-lebih di era kontemporer di mana banyak bermunculan ilmuwan hadits.
Untuk mengejawantahkan teori tersebut, para ulama yang memiliki kapasitas
dalam bidang hadits kemudian menetapkan beberapa kriteria yang menjadi
syarat-syarat utama agar otentisitas sebuah hadits terpelihara dengan baik.

Syarat-syarat tersebut tampak, terutama dalam definisi hadits shahih (juga


minimal hadits hasan), yakni hadits yang bersambung sanad-nya (transmisi
informasinya), disampaikan oleh para rawi yang „adl (kredibel, memiliki
otoritas), dhabit (teliti), diperoleh dari rawi yang semisal dengannya sampai akhir
jalur periwayatan, tanpa ada syudzudz dan terlepas dari illat. Beberapa kriteria
yang menjadi syarat syarat utama untuk memepertahankan otentisitas sebuah

1
hadits di atas, dapat menjadi perisai untuk menghadapi atau meminimalisir
berbagai pemalsuan hadits yang telah dan akan senantiasa dilakukan oleh orang-
orang yang tidak bertanggungjawab. Namun kenyataan itu mengandung sisi
positif yakni ulama hadits lebih berhati-hati dalam melakukan periwayatan suatu
hadits.1

Kehati-hatian ulama itu dapat dilihat, misalnya, pada kegiatan ulama hadits
menciptakan berbagai kaidah dan ilmu hadits, baik berkenaan dengan matan
maupun sanad hadits. Dengan berbagai kaidah dan ilmu itu, suatu riwayat dapat
diteliti dan diketahui apakah riwayat itu memang benar hadits Nabi atau bukan
hadits Nabi. Dalam kapasitasnya sebagai fakta sejarah, proses transmisi sanad
hingga munculnya pembukuan hadits secara besar-besaran dikemudian hari,
hadits telah mengalami proses panjang dan alot. Pada awal mulanya tidak
terdapat masalah berkaitan dengan hadits Nabi. Namun dalam perjalanannya
kemudian muncul suatu fenomena penyebaran hadits-hadits maudhu‟ (palsu).
Fakta ini akhirnya mendorong ulama, terutama ulama hadits untuk melakukan
proses seleksi yang sangat ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Sehingga dari proses
seleksi ini dapat diketahui apakah suatu hadist bersumber dari Nabi ataukah
selainnya.2

Dari problematika di atas, maka Penulis hendak membahas tentang


pembagian hadist secara kualitas dan kuantitas sanad, mengingat akan pentingnya
hal sebab berkaitan erat dengan jalur riwayat transmisi hadist dan sebagai tolok
ukur nilai sebuah hadist bisa dikatakan sohih atau tidak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang disebut dengan Sanad dalam terminologi ilmu hadist?
2. Ada berapa pembagian hadist secara kualtas dan kuantitas sanad?

1
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2014), hal. 15
2
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur‟an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010),
hal. 330.

2
Bab II

Pembahasan

A. Pengertian sanad

Istilah sanad sudah ada pada masa pra-Islam, sebagaimana ditemukan


dalam penyampaian-penyampaian puisi-puisi. Namun urgensi sanad dalam kasus
tersebut tidak ditemukan atau kalau pun ditemukan sangatlah samar hingga nyaris
tidak dapat dilacak. Hal yang berbeda, dalam tradisi hadits ditemukan arti penting
sanad yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam sebagai sebuah agama.3
Sanad dalam kajian ilmu hadits merupakan salah satu teori yang membahas
sistem penyandaran dalam hadits, di mana hal itu dimaksudkan untuk mengetahui
asal mula penyandaran terhadap hadits. Secara etimologi (bahasa) sanad berarti
sandaran atau tempat bersandar atau dapat dikatan sebagai salah satu untuk
mengetahui arah jalur dari sebuah sandaran hadits tersebut.4

Sementara termonologi sanad mengacu pada makna jalur matan atau isi
hadits yang di dalamnya terdapat serangkaian para perawi yang memindahkan
matan dari sumber primernya. Jalur tersebut dikatakan sebagai sanad, yang mana
adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam menisbatkan suatu
matan kepada sumbernya. 5

Sanad memiliki dampak pada kuantitas dan kualitas hadits. Dari sisi
kuantitas, semakin banyak orang yang terlibat dalam periwayatan hadits dalam
setiap tingkatannnya maka semakin baik. Begitu pula sebaliknya, jika orang
terlibat dalam periwayatan hadits hanya terbatas daalam setiap tingkatannya
maka diperlukan penilaian terhadap periwayat yang terlibat di dalam hadits
tersebut dan penelitian harus dilanjutkan ke kapasitas kualitasnya. Sanad hadits
menjadi sebuah tolok ukur kualitas hadits. Kalangan ulama hadits telah
melakukan sejumlah penelitian dan membuat serangkaian kaidah yang
dinisbatkan dalam sanad hadits ini. Dengan kajian yang mendalam terhadap
sanad maka kualitas hadits akan diketahui sahih atau tidaknya.

3
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ilmu Sanad Hadis, (Yogyakarta: Idea Press, 2017), hal. 11.
4
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 147.
5
Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998), hal. 12.

3
Adapun bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah: (1) nama
para rawi pembawa hadits yang terlibat dalam periwayatan hadits yang
bersangkutan; dan (2) lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan
oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan,
misalnya sami‟tu, akhbarani, „an dan anna. Pada umumnya ulama hadits dalam
melakukan penelitian sanad hanya berkonsentrasi kepada dua pertanyaan, yakni
apakah seorang rawi tersebut layak dipercaya, ataukah justru seorang rawi
tersebut tidak pantas untuk dipercaya.

B. Pembagian Hadist
1. Pembagian hadist dari segi kuantitas sanad

Ulama memandang bahwa klasifikasi hadist secara kuantitas terbagi


menjadi dua yakni hadist muawatir dan hadist ahad. Maksud kuantitas di sini
tolok ukurnya adalah seberapa banyak jumlah perawi hadist.

a. Hadist mutawatir
1) Pengertian Hadist Mutawatir

Mutawatir secara etimologi berarti tatabu‟ (terus menerus). Secara


terminologi ia merupakan hadist yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang yang secara adat tidak mungkin sepakat untuk berdusta.6

2) Klasifikasi Hadist Mutawatir


Para ulama membagi hadist mutawatir menjadi dua yaitu
mutawatir lafdzi dan mutawatir ma‟nawi.
1. Hadist mutawatir lafdzi adalah hadist yang diriwayatkan dengan
lafad dan makna yang sama7, contoh:

،‫صالِ ٍح‬ ٍ‫ص‬


َ ‫ َع ْن أَِِب‬،‫ني‬
ِ ‫ عن أَِِب ح‬،َ‫ حدَّثَنَا أَبو عوانَة‬،‫ي‬
َ ْ َ ََ ُ
ٍ
َ ُّ ‫َو َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن عُبَ ْيد الْغََُِب‬
،‫ب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّم ًدا‬ ِ ِ ُ ‫ قَ َال رس‬:‫ قَ َال‬،َ‫عن أَِِب ىري رة‬
َ ‫ « َم ْن َك َذ‬:‫صلَّى هللاُ َعلَيْو َو َسلَّ َم‬
َ ‫ول هللا‬ َُ َْ َ ُ َْ
»‫فَلْيَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬

6
Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalahah Al-Hadits,t.t. hlm 21.
7
Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalahah Al-Hadits,t.t. hlm 22.

4
“Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia
bersiap siap menduduki tempat duduknya dineraka”

2. Hadist mutawatir maknawi adalah hadist yang diriwayatkan


dengan makna yang sama tetapi lafadnya tidak8, contoh:

ٍ ِ‫ عن سع‬،‫ وابن أَِِب ع ِد ٍي‬،‫ حدَّثَنا ََيَي‬،‫حدَّثَنا ُُم َّم ُد بن بشَّا ٍر‬
ِ َ‫ َع ْن أَن‬،‫ َع ْن قَتَ َاد َة‬،‫يد‬
‫س‬ َ ْ َ ّ َ ُ ْ َ َْ َ َ َ ُْ َ َ َ
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم الَ يَ ْرفَ ُع يَ َديِْو ِِف َش ْي ٍء ِم ْن دُ َعائِِو إَِّال‬ ٍ ِ‫ب ِن مال‬
ُّ ِ‫ " َكا َن الن‬:‫ قَ َال‬،‫ك‬
َ ‫َِّب‬ َ ْ
"‫اض إِبْطَْيو‬ ِ ِ ِ
ُ َ‫ َوإِنَّوُ يَ ْرفَ ُع َح ََّّت يَُرى بَي‬،‫ِِف اال ْست ْس َقاء‬

“Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa doa


beliau, kecuali dalam sholat istisqa, dan beliau mengangkat kedua
tangannya hingga tampak putih putih kedua ketiaknya”
b. Hadist Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid
berarti satu. Menurut istilah, hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan
oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup
syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya,
hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.9

1) Klasifikasi Hadist Ahad


Ulama ahli hadist membagi hadist ahad menjadi tiga, yaitu hadist
Masyhur, hadist Aziz, dan hadist Ghorib.
a) Hadist Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti sesuatu yang sudah tersebar
dan populer sedangkan menurut istilah adalah hadist yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih yang tidak mencapai derajat
mutawatir. Contoh:

8
Ibid.hlm 22.
9
Solahuddin agus, suyadi agus, Ulumul hadist, (Bandung : Pustaka setia, 2008),hlm 133

5
)):‫َو َسلَّ َم قَ َال‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو‬ ِ َّ ‫اَّلل بْ ِن َع ْم ٍرو َر ِض َي‬ َِّ ‫عن عب ِد‬
ِّ ِ‫ َعن الن‬،‫اَّللُ َعْن ُه َما‬
َ ‫َِّب‬ َْ ْ َ
(( ‫امل ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم امل ْسلِ ُمو َن ِم ْن لِ َسانِِو َويَ ِده‬
ُ ُ
“Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sasama
muslim lainnya dari gangguan lisan dan tangan”
b) Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa adalah Asy-safief (yang mulia),
sedangkan secara istilah adalah:

‫ني أ َْو ثَالثَة َولَو ِمن طَ َبق ٍة َو ِاح َد ٍة ِمن طَبَ َقاتِو‬
ِ ْ َ‫ما يَرِو ِيو اثْن‬
ْ
“hadist yang diriwayatkan oleh dua orang atau tiga orang
walaupun hanya terjadi pada satu thabaqoh”10

Contoh hadist ahad:

‫ني‬
َ ‫َْجَع‬ ِ ‫ب إِلَْي ِو ِم ْن َوالِ ِد ِه َوَولَ ِد ِه َوالن‬
ِ ْ ‫َّاس أ‬ َّ ‫َح‬
َ ‫ َح ََّّت أَ ُكو َن أ‬،‫َح ُد ُك ْم‬
ِ
َ ‫الَ يُ ْؤم ُن أ‬

“Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga aku lebih


dicintainya dari pada dirinya sendiri, orang tuanya, anak
anaknya, dan orang orang semuanya”

c) Hadist Gharib
Gharib menurut bahasa “al-munfarid” (menyendiri),
sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya. 11

Contoh hadist gharib:

ِ َ‫ واحلياء ُشعبةٌ ِمن ا ِإلمي‬،‫ضع و ِستُّو َن ُشعب ًة‬


‫ان‬ ِ ِ
َ َْ ُ ََ َ َْ َ ٌ ْ ‫اإلميَا ُن ب‬

“Iman itu bercabang cabang menjadi 60 cabang dan malu itu


salah satu cabang dari iman”.

10
Yusuf ibn jaudah yasin ad daudi, Syarah al mandhumah al baiquniyah, maktabah syamilah
11
Muhammad bin alwi al maliki, Al qawaid al asasiyah fi ilm musthalah al hadist(Surabaya :
Hai‟ah As-Shofwah,t.th), hlm 30

6
2. Pembagian Hadist dari Segi Kualitas Sanad
Hadits ditinjau dari segi kualitas sanad terbagi dalam tiga macam, yaitu
sahih, hasan, dan dhaif.
1. Shahih
a. Pengertian Hadits Shahih

Sahih secara bahasa adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat lawan
sakit. Menurut ahli hadits, hadits sahih adalah hadits yang sanadnya
bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang
sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. 12 Seperti:

‫ حدثنا عبد هللا بن يوسف اخَبان مالك عن اِب الزاند عن االعرج عن‬:‫قول البخارى مثال‬

‫ قال رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص((طعام االثنني كاِف الثالثة))رواه البخاري‬:‫اِب ىريرة انو قال‬
“Makanannya dua cukup untuk tiga orang”
b. Syarat-Syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari
perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian
sampai akhir sanad dari suatu hadits.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya
sifat Muru‟ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah
laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai
daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat
hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu
menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini
artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara

12
Solahuddin Agus, Suyadi Agus, Ulumul hadist, (Bandung : Pustaka setia, 2008), hlm. 141

7
utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu
menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya
sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya.
Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan
rawi lain yang lebih kuat posisinya.
5) Tidak Ber‟illat
Hadits ber‟illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat
penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak
keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari
segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran
pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak
shahih.

Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

‫ع ْن أ َ ِب ْي ِه قَا َل‬ ْ ‫ب َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم‬


َ ‫ط ِع ِم‬ ٍ ‫ف قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلكٌ َع ِن اب ِْن ِش َها‬ ُ ‫َحدَّثَنَا َع ْبدُهللاِ بْنُ ي ُْو‬
َ ‫س‬
)‫ط ْو ِر "(رواه البخاري‬ ِ ‫م قَ َرأ َ ِفي ْال َم ْغ ِر‬.‫هللا ص‬
ُّ ‫ب ِبال‬ ُ ‫َس ِم ْعتُ َر‬
ِ ‫س ْو َل‬

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah


mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad
bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah
mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-
thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan)”.

Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara


berurutan sebagai berikut:

1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).


2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.

8
2. Hasan

Hasan seacara etimologi adalah sesuatu yang diinginkan nafsu.


Sedangkan secara terminologi adalah hadits yang sanadnya bersambung
dan dinukil oleh orang yang adil yang kapasitasnya dibawah derajat
shahih, tidak cacat dan tidak syadz. Seperti:

‫حديث دمحم بن عمرو بن علقمة عن اِب سلمة عن اِب ىريرة هنع هللا يض‬
Muhammad bin umar diatas populer kejujurannya namun kurang
sempurna hafalannya.13
a. Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir
sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat („Illat) yang
merusak hadits.
2) Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui
keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak
kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat
dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya.
3) Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun
derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat
diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam
menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits,
ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits
hasan.
3. Dhoif

Dhoif secara etimologi adalah lemah, sedangkan secara terminologi


adalah hadits yang tidak menghimpun sifat sifat shahih dan hasan.14

13
Muhammad bin Alwi al-Maliki, Al qawaid al asasiyah fi ilm musthalah al hadist, (Surabaya :
Hai‟ah As-Shofwah,t.th), hlm 18

9
Definisi yang paling baik untuk hadits dhaif adalah sebagai berikut:

.‫ما فقد شرطا من شروط احلديث املقبول‬

“Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul


(yang dapat diterima)” 15

Hadits yang di dalamnya tidak terdapat ciri keshahihan dan


kehasanannya, hanya saja di dalamnya terdapat periwayat pendusta atau
tertuduh dusta, banyak membuat kekeliruan, pelupa, suka maksiat dan
fasik, banyak angan-angan, menyalahi periwayatan yang terpercaya,
periwayatnya tidak dikenal, penganut bid‟ah, serta tidak baik hafalannya.
Di kalangan ulama masih memperselisihkan jumlah hadits dhaif. Di antara
ulama ada yang mengklasifikasikan menjadi 381 bentuk. Namun Ibn
Shalah berpendapat jumlahnya tidak lebih dari 42 bentuk. Pembagian
hadits dhaif menurut ulama menjadi berbagai macam tergantung di mana
letak kelemahannya. Kelemahan tersebut bisa dalam lima hal,
sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai salah satu syarat hadits
shahih.16

Seperti:

َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم تَ َو‬ ِ َ ‫َن رس‬


ْ ‫ضأَ َوَم َس َح َعلَى‬
‫اْلَْوَربَ ْني‬ َ ‫ول هللا‬ ُ َ َّ ‫أ‬

“Bahwasanya nabi SAW berwudu‟ dan mengusap dua kaos kaki”

14
Muhammad Bin Alwi al-Maliki, Al-qawaid al-Asasiyah fi Ilm Musthalah al-Hadist,
(Surabaya : Hai‟ah As-Shofwah,t.th), hlm 19
15
Nururdin Itr, Ulumul Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1994), hlm. 29
16
Octoberrinsyah dkk, Al-Hadits, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005),
hlm. 120

10
Daftar Pustaka

Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalahah Al-Hadits,t.t.

Solahuddin agus, suyadi agus, Ulumul hadist, (Bandung : Pustaka setia,


2008)

Yusuf ibn jaudah yasin ad daudi, Syarah al mandhumah al baiquniyah,


maktabah syamilah

Muhammad bin alwi al maliki, Al qawaid al asasiyah fi ilm musthalah al


hadist (Surabaya : Hai‟ah As-Shofwah,t.th)

Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ilmu Sanad Hadis, (Yogyakarta: Idea


Press, 2017)

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu


Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009)

Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits,


(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)

Muhammad Bin Alwi al-Maliki, Al-qawaid al-Asasiyah fi Ilm Musthalah al-


Hadist, (Surabaya : Hai‟ah As-Shofwah,t.th)

Nururdin Itr, Ulumul Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1994)

11

Anda mungkin juga menyukai