Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KUANTITAS HADIST

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata

Kuliah Ulumul Hadist

Dosen Pengampu: Drs.Asep Herdi M. Ag

Disusun Oleh:

Dwi Anggriani Mulia 1232020080

M. Syamsul Irfan 1232020099

Nanda Aulia Fadilah 1232020079

Nuralam Syah 1232020097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN

KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAM

ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah swt, karena atas rahmat dan kasih
sayangNya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kuantitas Hadist”. Solawat serta
salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga,
sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Ulumul Hadist.
Melalui makalah ini dipaparkan terkait kuantitas haidst. Penulisan makalah ini didasarkan
pada materi yang didapatkan selama perkuliahan dan literatur dari berbagai sumber.

Diucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Drs. Asep Herdi M. Ag yang telah
memberikan arahan serta materi, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Bandung, 25 September 2023

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hadits merupakan sumber yang kedua setelah al-qur'an untuk memberi petunjuk
kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam Al-Quran akan
dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits. Karena pada dasarnya, hadits
merupakan perkataan, ajaran, dan perbuatan Rasulullah. Namun karena pada zaman Nabi
tidak diperbolehkan menulis selain ayat- ayat Al Qur'an dan juga begitu banyak hadits
yang dikhawatirkan merupakan hadits palsu, maka bermunculan penelitian-penelitian
tentang kajian ilmu hadits. Salah satunya adalah melihat hadits dari banyak sedikitnya
orang yang meriwayatkanya atau jumlah perawinya.
Kita sebagai seorang muslim tidak boleh menyakini bahwa semua hadits adalah
shahih dan tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu. Maka, dalam
menentukan status suatu hadits dapat lebih dipertimbangkan jika mengetahui banyak
sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Pembagian hadits berdasarkan
kuantitasnya ada 2 yaitu hadits Mutawatir dan hadits Ahad. Dalam makalah ini penulis
akan memaparkan pengertian, syarat-syarat dan macam-macam hadits Mutawatir dan
hadits Ahad.
Penulis dalam hal ini, Insya Allah akan membahas secara ringkas dan terbatas
mengenai pembagian hadist berdasarkan kuantitasnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Ada berapakah klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas sanadnya?
2. Apa saja syarat, macam-macam dan contoh Hadis Mutawatir?
3. Apakah pengertian dari Hadist Ahad?
4. Bagaimanakah kedudukan Hadist mutawatir dan Hadist Ahad?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk:
1. Mengetahui tinjauan klasifikasi hadist dari segi kuantitas sanadnya.
2. Mengetahui penjelasan dan syarat-syarat hadist dari segi kuantitasnya.
3. Mengetahui apa saja mcama-macam hadits ditinjau dari segi kuantitasnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist
Kata Hadist berasal dari bahasa Arab, yakni al-hadist, jamaknya al-
ahaadist, al-hidsan dan al-hudsan. Dari segi bahasa berarti al-jadid (yang baru), dan
al-khabar (kabar atau berita).1 Sedangkan hadist menurut istilah ialah segala sesuatu
yang datang dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan maupun
sifatnya.2 Para ahli Ushul memberikan definisi bahwa hadist itu ialah, “segala
perkataan nabi saw yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syarak.”

B. Klasifikasi Hadist Berdasarkan Kuantitas


Beberapa ulama berbeda pendapat terkait dengan pembagian Hadist ditinjau
dari rawi-nya atau kuantitas. Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi 3
bagian, yakni Mutawatir, Masyhur, dan Ahad. Mereka menjadikan hadist Masyhur
berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadist Ahad. Pendapat ini diyakini
sebagian ulama Ushul seperti Abu Bakar Al-Jasashah. Namun ada pula ulama yang
mengkategorikan hadist Masyhur sebagai bagian dari hadist Ahad dan tidak dapat
berdiri sendiri. Pendapat ini banyak diikuti oleh ulama Ushul dan Kalam sehingga
mereka membaginya menjadi 2 bagian saja, yakni Mutawatir dan Ahad.

1. Hadist Mutawatir
a. Pengertian Hadist Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa bererati mutatabi', yakni sesuatu yang datang
berikut dengan kita atau yang beringin-ingin antara satu dengan lainnya tanpa ada
jaraknya.3 Mutawatir merupakan isim fail dari kalimat al-tawatur yang artinya
berturut-turut.
Menurut istilah, hadist mutawatir adalah hadist-hadist yang diriwayatkan
oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat
dipahamkan bahwa mereka telah sepakat berdusta. Keadaan tersebut terus
menerus hingga sampai kepada akhirnya.4
Nur Ad-Din’Atar mendefinisikan bahwa hadist mutawatir ialah hadist
yang diriwayatkan oleh banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk
berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada
pancaindra.5

1
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta, Bulan Bintang, 1988) halaman 24
2
A. Zakaria, Pokok-pokok Ilmu Musthalah Hadist (Garut, Ibn Azka Press, 2014) halaman 2
3
Dr. Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) halaman 83
4
Teuku Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadist (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2008) halaman
154
5
H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ilmu Hadits (Bandung, Pustaka Setia, 2004) halaman 87
2
b. Syarat-syarat Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin dan ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan
sebagai hadis mutawatir bila memenuhi syarat-syarat berikut ini.
1. Diriwayatkan oleh Sejumlah Perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk
berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama ada beberapa pendapat, ada
yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya.
Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, menurut adat,
dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil
mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan menurut ulama yang
menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai
jumlahnya.6
Al-Qadi Al-Baqilani menetapkan bahwa sejumlah perawi hadis
mudmalir sekurang-kurangnya 5 orang. Sementara itu, Astikhary
menetapkan bahwa yang paling baik, minimal 10 orang, sebab jumlah itu
merupakan awal bilangan banyak. Ada pula Ulama lain yang menentukan
12 orang, berdasarkan firman Allah swt. dalam surat Al-Maidah ayat 12:

َ‫ص ٰلوة‬ ‫ِ ن’ي م َ عكُ ْۗ م لَ ِٕى ْ ن‬ ‫م ْ َيثاق َ ب س َر ۤا ِء ْي َۚ َل و َبعَثْنَا م ْن عش َر وقَا‬ ٰ‫ولََقدْ اَ َ خذَ ل ّال‬
‫اَ َق ْمتُ ُم ال ّٰلال‬ ‫ُه ُم اثْنَي ِق ْي ًب ۗا َل‬ ‫نِ ي ا‬
‫ضا َ ك ِف’ َر َّ ن ع ْنكُ ْم‬ ‫و ٰا َم ْنتُ ْم ِب ُر ُ س ِلي وع َّز ْرتُ ُم قَ ْر‬ ‫و ٰاتَ ْيتُ ُم ال َّز‬
ˇ‫س ِ’ي ٰا ِتكُ ْم ّل‬ ‫حسنًا‬ ‫َّٰلال‬ ‫ْوهُ ْم واَ ْق َرضتُ ُم‬ ‫ٰكوة‬
‫ت تَ م ْ ن تَ ْ ح ِت َها ا ْ َّل ْن ٰه َۚ ُر ذ م ْنكُ ْم ض َّ ل س َو ۤا َء الس ِب ْي ِ ل‬ ‫و َّلُدْ ِ َ خلنَّكُ ْم‬
‫َفَقد‬ ‫م ْ ن كَف َر ْ عد ِلك‬ ‫ْج ِري‬ ‫جنه‬
َ

Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang diperlukan


dalam hadis mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah swt
dalam Surat Al-Anfal ayat 64:

‫حسب ٰ و َم ِ ن اتَ م َ ن ا ْل ُم ْؤ ِم ِن ْي َ ن‬ ‫يْٓاَ ُّي َها ال َّن‬


‫َب َ عك‬ ‫ك‬ ‫ِبي‬
‫لُا‬

2. Adanya Keseimbangan Antarperawi Pada Setiap Thabaqat


Jumlah perawi hadis mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat
lainnya harus seimbang. Jumlah yang banyak itu terdapat di semua
tingkatan, yaitu: di tingkat sahabat, tabi’in, tabi’ut al tabi’in dana
seterusnya.7

3. Berdasarkan Pancaindra dan Mustahil Berdusta


Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan pancaindra. Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus

3
benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan
atas dasar pemikiran. Contohnya, berita tentang terjadinya Tsunami,

6
Dr. Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) halaman 85
7
A. Zakaria, Pokok-pokok Ilmu Musthalah Hadist (Garut, Ibn Azka Press, 2014) halaman 12

4
beritanya bersifat mutawatir karena diriwayatkan oleh orang banyak,
ditulis di berbagai media, dan mustahil semuanya sepakat untuk berdusta.
Dan juga berita tersebut diperoleh melalui indrawi, yaitu hasil penglihatan
dan pendengaran.

c. Pembagian Hadits Mutawatir


Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu
Mutawatir Lafazhi dan Mutawatir Maknawi. Sebagian ulama lainnya
membaginya menjadi tiga, yakni hadis mutawatir lafadz, maknawi, dan amali.
1. Mutawatir Lafazhi
Yang dimaksud dengan hadits mutawatir lafzhi adalah:

ُ‫عل متَ َع ِ’مًدا َ ف ْل َيتَ َبو أُ َم ْقعََده‬ َّ‫م َ ن ا نل َّا ْ كذ‬


‫ي‬ ‫ِر ن ب‬

‫م‬

“Hadis yang mutawatir periwayatannya dengan suatu redaksi yang sama


atau hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya."8
Berat dan ketatnya kriteria hadis mutawatir lafzhi ini menjadikan
jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimi, Ibnu
Ash-Shahih yang diikuti oleh An-Nawawi menetapkan bahwa hadis
mutawatir lafzhi sedikit sekali dan sukar dikemukakan contohnya.
Contoh hadits mutawatir lafzhi adalah sabda Rasulullah saw..

‫م َ ن‬
‫م ْ ن‬ َّ‫عل كذ‬ ‫ أُ َم ْق ْ ل‬.
‫النَّا ِر‬ ‫ي ب‬ ‫ِ’مًدا‬ ‫عدُه َيتَ َبو‬
َ َ
َ‫مت‬
‫َع‬

“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (yang mengatakan sesuatu


yang tiada aku katakan atau aku kerjakan), hendaklah ia menempati
neraka.”
Menurut Al-Imam Abu bakar As-Sairi bahwa hadis ini diriwayat-
kan secara marfu' oleh enam puluh sahabat. Sebagian ahli haffaz
mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat,
termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Menurut sebagian
ulama lain menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 200 sahabat.
Ibrahim Al-Harabi dan Abu Bakar Al-Bazari mengatakan, hadis in
diriwayatkan oleh seratus orang.

2. Mutawatir Maknawi
5
Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir maʼnawi adalah:

‫َن َّز َ ل ا ْلق ع س ْب َ ع ِة أَ ْ ح ُرف‬


‫ْرآن َلى‬

8
Dr. Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) halaman 87

6
“Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafalnya tidak."
Ada juga yang mengatakan, “Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah
orang yang mustahil sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka
menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau
mempunyai tidak persamaan. Abu Bakar As-Suyuthi mendefinisikan
sebagai berikut.

‫عهُ تَ ْنقُ ُ ل أَ ْن َ و‬ ‫عَلى ت ُ ه عا‬ ‫ذ ِل ك َ يتَ َواتَ ُر أَ ْم شتَ َر مخت وَقا ِئ َ ع ال‬
َ ‫ست‬
‫ِحيل م‬ ‫َدة‬ ‫َوا ْ م‬ ‫َ ك ِذ ب‬ ˚‫ِر ِفي ا َكت ِلَفة‬
‫ا‬ ‫ُن‬
‫ج‬
‫ا ْل ستَ َرك ا ْلَقْد ُر‬
‫ُم‬

“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil
mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi bertemu pada
titik persamaan.”
Misalnya, seseorang meriwayatkan bahwa Hatim memberikan
seekor unta kepada laki-laki, sementara yang lain meriwayatkan bahwa
Hatim memberikan seekor kuda kepada seorang laki-laki, dan yang
lainnya lagi mengatakan bahwa Hatim memberikan beberapa dinar kepada
seorang laki-laki, demikian seterusnya. Dari riwayat-riwayat tersebut
dapat dipahami bahwa Hatim adalah seorang pemurah. Sifat pemurah ini
dapat dilihat melalui jalan khabar mutawatir ma'nawi.

3. Mutawatir ‘Amalia
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan
agama dan telah mutawatir antara umat Islam bahwa Nabi Muhammad
saw. mengerjakannya, menaruhnya, dan sebagainya. Jenis hadis mutawatir
‘amalia ini banyak jumlahnya, misalnya hadis yang menerangkan waktu
salat, rakaat salat, salat jenazah, tata cara salat, cara pelaksanaan haji dan
lain-lain.

d. Faedah Hadits Mutawatir


Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan
untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis
mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qathi'i (pasti).
Ibnu Tamiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh
sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi
golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadis tersebut mutawatir. Barang
siapa yang telah meyakini ke-mutawatir-an hadis yang diwajibkan untuk
mengamalkan sesuai dengan tuntunan-nya. Sebaliknya. bagi mereka yang belum
mengetahui dan meyakini ke-mutawatir-annya wajib baginya mempercayai dan
mengamalkan kewajiban mereka mengikuti ketentuan hukum yang disepakati
7
oleh ahli ilmu.
Para perawi hadis mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai
keadilan maupun ke-dhabit-annya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu

8
ketat, sebagaimana telah ditetapkan di atas menjadikan mereka tidak mungkin
sepakat melakukan dusta. Para ulama Darul dan juga Imam Nawawi dalam
Syarah Muslim tidak menetapkan syarat "muslim" bagi para perawi hadis
mutawatir. Ada juga yang pembahasan ilmu hadis dilihat dari para perawi dan
dari cara menyampaikan periwayatannya, dijadikan dalam hadis mutawatir,
kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Yang menjadi titik
tekan dalam hadis mutawatir ini adalah kuantitas perawi dan kemungkinan
adanya kesepakatan atau tidak.9

2. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka ahad atau
khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang. Adapun yang dimaksud
dengan hadis ahad menurut istilah banyak didefinisikan oleh para ulama, antara
lain sebagai berikut:

‫ح ِب ُر وا ِحًدا أ ْو اثْ َن ْي ِ ن أَ ْوثَ َلتًا أ ْ سةً أَ ْو‬ ‫َ كا َ ن‬ ‫م ْبلَ َ غ الخ ْي ِر ال‬ ‫مالَ ْم تَ ْبلُ َغ نَقَ َلتُ هُ ى ال َ ك‬
‫ْو أَ ْربَ ً عا أَ ْو م‬ ‫واء ا ْل ُم‬ ‫ُمتَ َوا ِت ِر‬ ‫ِثي َر ِة‬
‫س‬
‫ح‬
‫غ ْي َر ذ م َ ن ا ْْلَ عَدا ِد ال َت سعُ ُر أَ َّن ا ْلخ ح َ ها خ َب ِر ا ْل ُمتَ َوا ِت ِر‬
‫ِفي‬ ‫َب َ ر د َ ل‬ ‫ِتي ّل‬ ‫ِل ك‬

“Khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir,
baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis
mutawatir.”10 Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat
yaitu jumlahnya tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.11
Abu Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadist ahad itu ialah hadis yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak
mencapai jumlah perawi hadis mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak
perawi hadis sampai terakhir, dan sanad hadis ahad ini tidak mendatangkan
kepastian.12
Jumhur ulama sepakat bahwa hadis ahad yang tidak memenuhi ketentuan
maqbul, hukumnya adalah wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad
memakai hadis ahad bila syarat-syarat periwayatannya yang sahih telah terpenuhi.
Akan tetapi, Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqah dan adil bagi perawinya, dan
amaliahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan. Adapun Imam Malik
menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli
Madinah.

9
Dr. Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) halaman 90

9
10
Munzier Suparta, Op. Cit., halaman 107
11
Mahmud Thahan, Tafsir Musthalah Hadits. halaman 21
12
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa KH. Masdar Helmy (Bandung, Gema Risalah Press, 1977)
halaman 77

1
Ibnu Qayyim mengatakan, "Ada tiga segi keterkaitan sunah dengan
Alquran. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan yang terdapat dalam Alquran.
Kedua, menjelaskan maksud Alquran. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak
terdapat dalam Alquran." Alternatif ketiga itu merupakan ketentuan yang
ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang wajib ditaati. Lebih dari itu, ada yang
menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Al-Quran, as-sunnah,
dan ijmak."

b. Pembagian Hadist Ahad


Para ulama membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghair
masyhur, sedangkan ghair masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.
1. Hadis Masyhur
a. Pengertian Hadist Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu' (sesuatu
yang sudah tersebar dan populer). Adapun menurut istilah terdapat
beberap definisi, ada yang mengatakan bahwa hadist masyhur ialah hadis
yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih, tetapi bilangannya tidak
mencapai ukuran bilangan mutawatir. Ada juga yang mendefinisikan hadis
masyhur secara ringkas, yaitu “Hadis yang mempunyai jalan yang
terbatas, tetapi labih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis
mutawatir."
Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang
dimaksud dengan hadis masyhur shahih ialah yang telah memenuhi
ketentuan hadis sahih baik pada sanad maupun matan-nya, seperti hadis
dari Ibnu Umar:
‫َ ذا جا َء ُك ُم الج ْم َ عةُ َف ْل َي ْ غس ْ ل‬

“Bagi siapa yang hendak melaksanakan salat Jum'at hendaklah ia


mandi.” Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah
hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan,
baik
mengenai sanad maupun matan nya, seperti sabda Rasulullah saw:

)‫س ِل َم ٍة (رواه ابن ماجه‬


ُ ‫ِ ع ِ ض عل ِ ِ ل‬ ‫طل‬
‫ْ ل ِم ر ة ى ’ ٍم م‬
‫ل مس‬ ˚ ‫ي‬
‫با‬
‫و‬ ‫ْل‬

"Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan."13
Adapun yang dimaksud dengan hadis mashyur dhaif adalah hadis
mashyur yang telah memenuhi syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik

1
pada sanad maupun pada matannya, seperti hadis: "Barangsiapa yang
mengenal dirinya, maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya."

13
KH. U. Bulkra Syakir, 100 Hadist Syarif, (Surabaya, Bina Ilmu, 1992) halaman 1

1
b. Macam-macam Masyhur
1) Masyhur Muthlaq, ialah hadist yang dikenal di kalangan ahli
hadist dan yang lainnya.
2) Masyhur Muqayyad, ialah hadist yang dikenal di kalangan ahli
hadist saja.

2. Hadist Ghair Masyhur


Para ulama ahli hadist membagi Ghair Masyhur kedalam 2 macam,
yakni:

a. Hadist Aziz
Kata aziz berasal dari kata azza, yaʼizzu, yang berarti sedikit atau
jarang adanya atau berasal dari azza - ya'azzu, berarti kuat. Dinamai
sedikit karena jarang adanya atau sedikit, dan dinamai kuat karena ada
jalan lain yang menguatkannya.14 Adapun kata Aziz menurut istilah
ialah hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua
thabaqat sanad.
Ada juga yang mengatakan bahwa Aziz ialah hadist yang
diriwayatkan oleh dua orang sekalipun hanya berada pada satu
tingkatan saja. Dalam pemahaman seperti tersebut, bisa saja terjadi
suatu hadis yang pada mulanya tergolong sebagai hadis aziz, karena
hanya diriwayatkan oleh dua orang, tetapi berubah menjadi hadis
masyhur, karena pada thabaqat selanjutnya atau pada thabaqat lainnya
berjumlah banyak. Contohnya ialah hadist:

‫والنَّاس‬ َ‫ّل ُي م ْ ن أ‬
‫ب ْ ِ و َول‬ ‫حتَّى أَ كُ ْو‬
‫ِإلَ ْي ن د ِد ِه‬ ‫َن اَ َ ح‬ ‫ْؤ َحدُ كُ ْم‬
‫ِه‬ ‫ِه‬
‫م و‬
‫ِل‬

“Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih


dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua
manusia.”

Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dan Rasulullah saw.
kemudian diriwayatkan kepada Qatadah dan Abdul Aziz bin Suhab
Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula, yaitu Syu'bah dan
Husain Al-Muallim. Hadis dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua
orang yaitu Abdul Al-Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Kemudian, dari
hads Husain diriwayatkan oleh Yahya bin Said dari Syubah
diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Jafa, dan juga oleh Yahya
bin Said. Adapun had dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb
1
dan dari Abdul Al- War diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban,
dari Yahya

14
A. Zakaria, Pokok-pokok Ilmu Musthalah Hadist (Garut, Ibn Azka Press, 2014) halaman 22

1
diriwayatka oleh Musdad, dan dari Jafar diriwayatkan oleh Ibnu Al-
Musana dan Ibn Basyr, sampai kepada Bukhari dan Muslim.

b. Hadist Gharib
Gharib secara lughawi (bahasa) berarti al-munfarid (menyendiri)
at al-ba'id'an aqarabihi (jauh dari kerabatnya). Ulama ahli hadis
dalam hubungan ini mendefinisikan hadis gharib sebagai hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya.
H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan gharib
sebagai “hadis yang pada sanadnya terdapat seorang yang menyendiri
dalam meriwayatkannya di mana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi."15
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa berkaitan
dengan personalitinya, yakni tidak ada orang yang meriwayatkannya
selain perawi tersebut atau berkenaan dengan sifat atas keadaan perawi
itu sendiri yang berbeda dengan sifat dan keadaan perawi lain juga
meriwayatkan hadis itu. Di samping itu, penyendirian seorang perawi
bisa terjadi pada awal, tengah, atau akhir sanad.
Hadist Gharib terbagi menjadi dua, yakni Gharib Musthlaq dan
Ghair Nisbi.
1) Ghair Muthlaq
Ghair Muthlaq ialah “hadis yang menyendiri seorang
perawi dalam periwayatannya pada asal sanad."
Dikategorikan sebagai gharib mutlak apabila penyendirian itu
mengenai personilnya, sekalipun penyendirian tersebut hanya
terdapat dalam suatu thabaqat.
Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di
tempat ashlu sanad yakni tabiin dan bukan sahabat, sebab yang
menjadi tujuan membicarakan pendirian perawi dalam hadis
gharib ialah untuk menetapkan apakah periwayatannya dapat
diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak
diperbincangkan, sebab telah diakui oleh jumhur ulama ahli
hadist bahwa keadilan sahabat tidak perlu diragukan lagi.
Contoh hadis gharib mutlak, yakni: “Sesungguhnya seluruh
amal itu bergantung pada niatnya.” (H.R Bukhari dan
Muslim).16
15
H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ilmu Hadits (Bandung, Pustaka Setia, 2004) halaman 96
16
Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, halaman 2. Muslim, Shahih Muslim (Beirut, Dar al-Fikri, 1414 H/1993 M) Juz 2
halaman 223

1
2) Ghair Nisbi
Ghair Nisbi ialah hadis yang terjadi gharib di pertengahan
sanadnya. Adapun hadis gharib yang tergolong pada gharib
nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau
keadaan tertentu dari seorang perawi. Hadis gharib nisbi ini
adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi
pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), tetapi di
pertengahan sanadnya terdapat tingkatan yang perawinya
hanya sendiri (satu orang).
Para Ulama juga membagi hadis gharib menjadi 2 golongan, yakni
gharib sanad dan matan, dan gharib pada sanad saja. Pembagian ini
ditinjau dari letak ke-ghariban-nya. Gharib pada sanad dan matan
adalah hadis yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur. Adapun yang
dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis yang telah
populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi
yang meriwayatkannya dari salah seorang lain yang tidak populer.
Bila suatu hadis telah diketahui sanad-nya gharib, mata-nya tidak
perlu diteliti lagi, serta ke gharib-an pada sanad menjadikan hadis
tersebut berstatus gharib. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya
ditunjukkan pada matan-nya. Apabila matan-nya diketahui gharib,
maka hadisnya pun menjadi gharib pula.17
Hadis gharib juga dinamakan dengan hadis fard. Perbedaan antara
keduanya hanya ditinjau dari segi pemakaiannya. Sebutan hadis gharib
lebih banyak dipakai untuk hadis gharib nisbi atau fard. Hadis gharib
ini ada yang sahih, hasan, dan dhaif, tergantung pada kesesuaiannya
dengan kriteria sahih, hasan atau dhaif-nya.

17
Dr. Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) halaman 102

1
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kuantitas hadis memiliki
peran penting dalam menentukan keabsahan dan kekuatan suatu hadis. Hadis mutawatir,
yang memiliki jumlah perawi yang sangat banyak dan sepakat dalam menyampaikan
berita, dianggap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi dan dapat diterima sebagai
sumber hukum dalam agama Islam.
Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yaitu keharusan untuk
menerima dan mengamalkan hadis tersebut sesuai dengan yang diberitakan, karena
membawa pada keyakinan yang pasti. Namun, perlu diingat bahwa meskipun hadis
mutawatir dianggap memiliki kekuatan yang tinggi, tetap diperlukan penelitian dan
analisis yang cermat untuk memastikan keabsahan dan kecocokan hadis dengan prinsip-
prinsip Islam.
Hadits ahad memiliki tingkat keabsahan yang lebih rendah dan digunakan
terutama untuk perkara-perkara kecil dalam Islam. Namun, baik hadits mutawatir maupun
ahad tetap merupakan sumber penting dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam,
dengan penekanan yang lebih besar pada hadits mutawatir dalam menetapkan hukum
agama dan keyakinan yang mendasari aqidah.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
Ismail, M. Syuhudin. (1988). Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta:Bulan Bintang.
Sahrani, Sohari. (2010). Ulumul Hadits. Bogor:Ghalia Indonesia.
Zakaria, A. (2014). Pokok-pokok Ilmu Mushthalah Hadits. Garut:Ibn Azka Press.
Hasbi, Teuku Muhammad. (2008). Sejarah & Pengantar Ilmu Hadist. Semarang:PT.
Pustaka Rizki Putra.
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. (2004). Ilmu Hadits. Bandung:Pustaka
Setia. Syakir, U. Bulkra. (1992). 100 Hadist Syarif. Surabaya:Bina Ilmu.
Khallaf, Abdul Wahab. alih bahasa KH. Masdar Helmy. (1977). Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung:Gema Risalah Press
Muslim. (1414 H/1993 M). Shahih Muslim. Beirut:Dar al-Fikri. Juz 2.
Bukhari. Shahih Bukhari. Juz 1

2. E-Jurnal
Rahmatina, Nazeli. 2023. Hadist Ditinjau Dari Segi Kuantitas. Jurnal Keislaman dan
Kemasyarakatan 8 (1)

1
BIOGRAFI SINGKAT
PEMAKALAH

Nama Lengkap : Dwi Anggriani Mulia


Tanggal Lahir : 25 Agustus 2004
Alamat Lengkap : Kp. Pamoyan Desa. Panenjoan Kec. Cicalengka Kab. Bandung
Nomor Handphone : 081329265491

Nama Lengkap : M. Syamsul Irfan


Tanggal Lahir : 18 Mei 2004
Alamat Lengkap : Kp. Ciseah Desa. Pameuntasan Kec. Kutawaringin Kab. Bandung
Nomor Handphone : 083893503337

Nama Lengkap : Nanda Aulia Fadilah


Tanggal Lahir : 18 Oktober 2005
Alamat Lengkap : Kp. Bojongwaru Desa. Rancamulya Kec. Pameungpeuk Kab. Bandung
Nomor Handphone : 082130323979

Nama Lengkap : Nuralam Syah


Tanggal Lahir : 18 Oktober 2003
Alamat Lengkap : Jl. Manisi Kel. Cipadung, Cibiru
Nomor Handphone : 085759001658

Anda mungkin juga menyukai